Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Aku (Lavenia) Sahabatku dan Adik Kelas ku

Status
Please reply by conversation.

CVX12

Semprot Lover
Daftar
12 Oct 2022
Post
201
Like diterima
881
Bimabet
Repost ulang cerita dari akun saya yang bernama monqes...
Cerita ini tentang petualangan sex lavenia dan sahabatnya...

…......…...…………….........................................................................
Menjelang senja, aku pergi ke suatu tempat, dimana dulu biasa kukenakan seragam putih abu-abu. Hari ini, aku berjanji memberikan ‘hadiah’ kepada beberapa pria disana. Sebelum berlanjut lebih jauh, perkenankan aku memperkenalkan diri. Namaku Lavenia,. aku memiliki darah campuran. Papiku pribumi dan Mamiku Swedia, aku lahir di Swedia, Papi bekerja sebagai Duta Indonesia disana. Tentu aku memiliki wajah Indo, paling jelas terlihat dari hidungku yang mancung lancip, kulit dan tulang pipi. Rambutku hitam kemerahan, lurus panjang sebahu. Selain rajin merawat wajah, aku juga selalu merawat tubuh dengan fitness di gym atau sekedar jogging pagi. Tiap hari minggu di Senayan sambil TP (Tebar Pesona). Otomatis, hal itu membuat tubuhku langsing, selain diet yang cukup ketat. Tadinya kuputuskan untuk melanjutkan studi ke Australia. Namun karena permasalahan ini, membuatku banting setir untuk kuliah disini. Sama kasusnya dengan teman-temanku, yang juga ikut acara siang ini di eks sekolah kami. Teman-temanku bernama Lea, Manda dan Sherry. Geng-ku juga satu team cheers, wajah mereka sama kebule-bulean, terutama gadis yang bernama Sherry. Kuparkir mobil ketika tiba, di depanku sudah ada mobil Lea dan Manda. Kami belum mau keluar, tentu menunggu sepi dan semua guru pulang. Aku sempat melihat beberapa guru yang pernah mendidik-ku, rindu sebenarnya aku pada mereka. Ingin kusapa dan kucium tangan mereka. Tapi, bisa panjang urusan jika bertemu, disuruh main ke rumahlah, apalah. Jadinya, aku terpaksa hanya melihat mereka dari balik jendela mobil, yang terlihat gelap dari luar. Seorang pria seperti sosok tukang becak, keluar dari gerbang. Ia menghampiri kami satu persatu. Dari Manda, Lea, terakhir aku. Dia mengetuk kaca jendela mobilku, kutekan tombolnya. Terlihatlah pria hitam bertubuh gempal berpakaian satpam, tertulis nama Lodi di dadanya.
“Wah Non Nia, makin cakep aja kalo begini” pujinya, melihatku mengenakan kaca mata hitam, menghias wajah Indo-ku.
“Hai…gimana, udah sepi ?” tanyaku.
“Udah Non…udah kosong engga ada orang, gerbang juga siap di kunci” jawabnya.
“Sherry dimana ? jadi khan ?” tanyaku lagi mempertegas.
“Jadi dong Non, saya udah ngaceng dari kemaren bayanginnya..apalagi ngeliat Non Nia tambah cakep gini, Non Sherry di kantin nunggunya…” jawab si gemuk itu lagi.
“Ya udah…tunggu aja kita di tempat biasa !” suruhku memastikan.
“Siap Non, hehehe…”, pria itu pergi meninggalkan kami dengan wajah riang. Setelah dia tak terlihat, jalanan benar-benar sepi, barulah kami satu persatu keluar dari mobil.
“Hai, apa khabar ?” sapaku pada kedua sahabat, mereka balik menyapa dan kami pun bertukar pipi.
Kami bertiga, mengenakan jeans panjang dan kaus tanpa lengan. Berbincang sedikit, lalu jalan bersama masuk ke sekolah. Pria gemuk yang tadi menghampiri, berdiri di gerbang memegang kunci. Matanya menelanjangi kami satu persatu. Ketika melintas di depannya, sempat-sempatnya dia menepuk pantat kami bertiga. Seperti biasa, setiap hari sabtu, setelah bubaran sekolah. Kami berjanji melakukan ritual seks dengan mereka, Andre-Tejo-Lodi dan Seto. Tiga diantaranya bertubuh gemuk pendek, hanya yang bernama Tejo yang tinggi besar. Meskipun dari segi wajah, sama amit-amitnya. Ibarat pabrik, mereka barang gagal produksi dan harus dibuang. Kami menghampiri Sherry yang sedang duduk, dia tampak senang dengan kehadiran kami bertiga. Biasanya, dia sendirian yang dikerubuti para penjaga sekolah itu. Aku menoleh ke arah mereka bertiga, lalu berkata.
“Gimana…siap ?” tanyaku, yang langsung dijawab dengan anggukan oleh mereka.
Kami pun berjalan menuju ruang olahraga, tempat kami biasa latihan cheers, juga tempat kami melakukan pesta seks. Persis di depan pintu, aku melihat ke dalamnya. Keempat pria itu menunggu dengan resah dan gelisah, mereka berubah sumringah melihat kami masuk. Aku lebih dahulu memasuki ruangan, teman-teman menyusul di belakangku. Kuputar kaset dalam tape yang ada disitu, alunan musik pun memenuhi ruangan. Kami jejer berempat, meliuk-liukan tubuh menari seirama beat lagu Horny dari Mousse T. Melepas satu demi satu pakaian, hingga telanjang bulat. Ke-empat penjaga sekolah itu menatap penuh nafsu, empat gadis Indo tanpa mengenakan busana, bergoyang erotis. Mereka ikut membuka pakaian tugasnya, kulit hitam legam pun terpampang. Wajah mereka yang sudah buruk, terlihat makin tak tertolong saja ketika bernafsu. Kami bergerak memutar tubuh, membelakangi mereka. Dengan nakal, sengaja kupamerkan isi liang vagina dari belakang. Mereka tak sanggup menahan birahi, bergerak mendekati kami, masing-masing pejantan mencari betinanya. Aku diincar Andre, Tejo menghampiri Lea, Lodi mendekati Manda dan Seto menginginkan Sherry.
We giving them a full fun sex party till sun night smiling at us, as a gift. Gift doin’ what ?.
==================================
Two Weeks before,
Hari ini tepat sebulan setelah kejadianku dengan para kuli bangunan yang memperkosaku dan juga Sherry (baca : Lavenia (lanjutan Adik Kelasku)).
“Pi…ubin di kamar mandi Nia rusak, kena kaki nih berdarah…liat deh !” ujarku manja pada Papi, menunjukkan kaki yang terluka.
“Ya ampun, Niaa…” seru Papi mengomentari luka-ku. Ia langsung berteriak, memanggil para pembantu.
Pak Karsimin si tukang kebun, Jaja supir pribadi dan mbok Siti PRT masuk ke kamarku yang dikiranya ada kejadian apa. Setelah semua berkumpul, melihat keadaan kakiku, mereka segera berlarian mengambil obat merah, kapas dan perban. Papi ngedumel tentang Pak Hasan dan anak buahnya yang tak becus kerja, kamar mandi di dalam kamar pribadiku adalah salah satu tempat mereka merenovasi waktu itu. Mami tidak ada dirumah, dia lebih dulu ke Swedia kemarin. Rencananya papi menyusul besok, disana mungkin semingguan tapi bisa juga lebih. Setelah kakiku selesai diobati, para pembantu balik ke tempat masing-masing untuk kembali bekerja. Papi juga beranjak pergi menuju ke bawah, karena kamarku ada di lantai atas. Kebetulan lukanya tidak terlalu parah, aku masih bisa berjalan normal walaupun agak nyut-nyutan. Aku menuruni tangga dengan susah payah, kulihat Papi duduk di samping pesawat telepon dan menekan beberapa angka disana. Aku duduk di sofa panjang ruang santai keluarga, tiduran menonton Tv. Samar-samar, aku mendengar pembicaraan Papi dengan seseorang, yang aku yakin sepertinya Pak Hasan.
“Bapak gimana sih, anak saya jadi berdarah kakinya !!” omel Papi pada Pak Hasan, mandor sekaligus orang yang memperkosaku kira-kira sebulan yang lalu.
(Iya Pi…omelin aja !, pukulin kalo perlu…dia pernah menggauli anakmu ini sampai tertatih-tatih jalan seminggu !!), keluhku dalam hati.
“Ya udah…besok pagi kita bicarakan, datang aja” kata Papi, menutup perbincangan.
(What !! kuli bangunan itu mau kesini lagi ?! mati gw…), aku diam termangu.
Mataku melayang ke Tv, namun tidak menonton acara yang tertayang. Aku bingung, masalahnya, vcd aku mengerjai Sherry (baca : Adik Kelasku) masih dipegangnya. Pasti dia memanfaatkan moment ini, walaupun aku merasa sedikit aman karena masih ada tukang kebun, supir dan pembantu, entah bagaimana kejadian besok. Aku terus kepikiran sampai tertidur di sofa, Papi menggendongku ke kamar-ku.
Esoknya, aku bangun agak kesiangan. Melihat dari jendela kamarku mobil Papi sudah tak ada, berarti ia sudah berangkat ke kantor. Aku turun ke bawah sarapan, yang biasa disiapkan Mbok Siti. Tapi kemudian, dia izin hendak pergi ke suatu tempat kemungkinan akan pulang malam katanya, aku tak berkeberatan memberinya izin. Selesai sarapan, aku ke ruang tengah menunggu makanan larut dalam perut. Kaki masih terasa sakit, kupijit-pijit pergelangannya, terus turun sampai dekat jari yang terluka.
(Aduh, sialan tuh kuli-kuli !), keluh-ku.
Kunyalakan Tv untuk melupakan nyerinya, tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang rupanya Pak Karsimin, biasa kupanggil Pak Simin.
“Misi Non, ini ada Dokter yang dikirim Juragan…”.
Masuklah seorang pria setengah baya berpakaian putih-putih, yang kukenal bernama dr. Purnomo. Dia adalah dokter keluarga, dibayar via per-kedatangan saja. Itupun juga, jika beliau tidak ada janji lain. Beliau pensiunan RSPAD, rumah sakit yang dikhususkan untuk angkatan darat. Kegiatan beliau saat ini hanya sesekali disana, Papi mengenalnya dari seorang teman.
“Siang…” ucap Pak dokter santun, padaku yang masih terbaring di sofa.
“Siang dok, silahkan masuk…” sahutku bangkit duduk.
“Non, kalo begitu…saya permisi kebelakang yah ” kata Pak Simin, yang kujawab dengan anggukan.
“Mari dok masuk…aku sambil tiduran ya, nyeri soalnya” kataku, agar dia tidak sungkan, dokter Purnomo pun duduk lalu menatapku tajam.
“Hmm, kenapa dok ?!” tanyaku karena risih.
“Anu dik, udah lama yah…‘nda terasa, dik Nia sudah besar sekarang…” ujarnya, yang ternyata merujuk ke masalah fisik.
(Jangan-jangan, jangan-jangan nih dokter…), prasangkaku dalam hati.
Aku jadi tak nyaman juga, masalahnya aku dalam posisi berbaring dengan celana pendek dibalik selimut. Walaupun kuakui aku senang dengan pujiannya, sebagaimana wanita yang selalu ingin disanjung.
Selagi aku berpikir yang tidak-tidak karena narsis, dia menyela.
“Jadi, bagian mana yang sakit ?”.
“Ini dok…” tunjukku, ke ibu jari kaki yang kulitnya sedikit sobek dekat kuku. Dia menghampirinya dan berjongkok disana.
Setelah melihatnya, dia tersenyum. Memang Ayahku terlalu berlebihan, luka seperti ini tidaklah perlu mendatangi dokter. Apalagi sekelas dr. Purnomo, tentu biayanya tidaklah murah. Tetapi, seperti itulah orang kaya membuang duitnya.
“Ini toh…ya ya”, dia mengangguk-angguk dan bangkit menuju tasnya untuk mengambil sesuatu.
Mengenai luka-ku bagaimana sudah dikasih tau Papi, dia hanya ingin melihat langsung takut ada sesuatu yang fatal akibat infeksi atau apa. Pak dokter mengambil buku kecil, dimana dia biasa menulis resep untuk ditebus pasien di apotik. Dia membubuhkan sesuatu melalui penanya, lalu merobek secarik kertas tersebut dan diserahkannya padaku.
“Bisa langsung ditebus yah dok, resepnya ?”.
“Iya, biar cepet hilang nyerinya…itu obat pereda dari dalam” terangnya.
“Oo…”, aku menggaruk-garuk pipi karena gatal.
“Pak Simiiin, Paaak…tolong kesini sebentar !” teriakku keras.
“Iyaaa…sebentar”, terdengar suara derap kaki, dan munculah si tua Simin di muka pintu.
“Ada apa Non ?”.
“Ini Pak, tolong tebus obat yah…” suruhku, kebetulan apotik tidak jauh dari rumah.
“Uangnya Non ?”.
“Ambil aja di kamar saya, dompetnya ada di dalam tas kecil warna Pink Pak”.
“Baik Non…”, Pak Karsimin naik ke atas, tak lama dia turun dan pergi keluar.
(Wah…tinggal gw berdua nih, Hmm…gimana kalau, kuserahkan saja tubuhku ini sebagai ucapan terima kasih), pikirku nakal.
“Itu tadi…obat penyembuh dari dalam dok ?”.
“Betul dik…”.
“Oo…”.
“Memangnya, obat penyembuh dari luar seperti apa dok ?” pancingku.
“Yaa…musti diurut-urut gitu…” jelasnya.
“Diurut gimana dok ?” tantangku, menarik selimut penutup tubuhku sedikit ke atas.
Pak dokter garuk-garuk kepala salting (salah tingkah), dia sempat melirik beberapa detik betis putihku yang dipenuhi bulu-bulu tipis, lucu juga untuk pria seumurnya. Sungguh aku tertantang menggoda pria seperti dia, tidak seperti kebanyakan cowo yang seumuran denganku. Terutama yang tampan dan berharta, pasti mudah kudapatan. Aku dengar dari Papi, dokter Purnomo telah ditinggal mati Istrinya 10 tahun yang lalu. Jadi, sudah 10 tahun dia menduda alias kedinginan (xixixi), kasihan khan ?.
“Diurut gimanaaa ?” tanyaku lagi dengan manja sambil membalik tubuh, sekarang kakiku yang ada di dekatnya.
“Y-ya-yaa-yaaa…di urut…” jawabnya singkat namun terbata-bata.
(Hi hi hi…dasar laki-laki, sama aja…godain lagi ah ^o^), aku tersenyum geli melihat dr. Purnomo yang bingung melempar pandangan. Melihat tubuhku salah, melihat ke tempat lain salah.
“Dokter bisa ajarin urut ‘gak ?” kataku, tidak tanggung-tanggung menarik selimut ke atas hingga setengah pahaku kini menjadi pemandangan gratis baginya.
Glek !, kudengar suaranya menelan ludah, tatapan matanya tiba-tiba berubah, sang Rubah menunjukkan ekornya. Melihat gadis belasan tahun blasteran memamerkan keindahan fisik, membuatnya merasa mubazir jika dianggurkan begitu saja.
“Ehm !” dia berdehem dan menghela nafas, lalu celingak-celinguk seperti maling.
“Dik Nia sendirian ?”.
“Uum…iya, trus gimana urutnyaa ?” kujawab cepat dan kembali menantangnya. Pak
dokter yang sudah terhasut setan mesum, duduk maju mendekatiku.
“Mari dik, kesinikan kakinya!” suruhnya mulai nekat sambil bangkit berdiri, pancinganku akhirnya mendapatkan ‘ikan’.
Kuangkat kedua kaki, dokter Purnomo duduk dan memapahnya. Dia menaruh tangan dan memberanikan diri memijat pergelangan kakiku.
(Emhh…nikmatnyaa…), mata sayuku, gigiku yang menggigit bibir bawah, jariku yang meremas sofa…seolah-olah meng-ekspresikan kata hati.
“Enak dok…Sssh..teruss, biar cepet sembuh” hasutku yang tidak perlu, karena tangannya kini semakin nakal meraba betis.
“Pijatan bapak enak ya Dik ?” tanyanya, aku menjawab dengan anggukan dan desahan yang tentu mengundang birahinya.
“Iya Pak, terus dong…enak….emhh !”, aku menggeliatkan tubuh. Dia semakin berani mengelus paha, bahkan menyentuh pangkalnya.
“Arrhh…Pak !” desahku lantang, ketika kurasakan jarinya mengelusi ‘bagian itu’.
Tubuhku menggelinjang, nafsu dokter Purnomo pun semakin naik dan tak terbendung lagi. Celana pendek beserta celana dalamku, dipelorotkannya dengan sekali tarik.
“Aawh !” aku ber-acting kaget, menutupi kemaluan dengan telapak tangan.
Melihat reaksiku yang malu-malu kucing, membuat dia semakin gemas saja. Celanaku yang sudah turun ke lutut, diloloskan dan dilemparnya jauh-jauh, seolah-olah aku tidak boleh memakainya lagi. Tanganku yang menutupi kemaluan juga dibukanya, sehingga kewanitaan yang selalu kucukur bersih itu ditatapnya nanar. Pak dokter tertegun beberapa saat memandanginya, kemudian dia berkata.
“Tubuhmu sempurna dik Nia !” gombalnya. Pipiku merona, tersanjung mendengar pujian seraya menggigit bibir bawah.
Baru saja dia hendak membenamkan wajah, terdengar pintu garasi terbuka yang artinya Pak Simin sudah kembali dari apotik, ini membuat kami mati kutu,
(Uuh, gagal deh lanjut !), keluhku, dr.Purnomo juga terlihat kecewa dikarenakan ‘nanggung’.
Kami cepat-cepat berpakaian, kembali bersikap seakan tidak terjadi sesuatu. Pak Simin masuk memberikan obat pesananku, lalu pamit ke kamarnya yang ada di belakang.
Pak Karsimin
Pak Karsimin
Aku sebenarnya ingin nekat mengajak dokter ke kamarku di atas. Namun, entah kenapa dia tersadar dari khilafnya. Pak dokter pamit pulang dengan tubuh lesu tak bersemangat. Aku tak bisa menahannya, dan malah jadi BT dengan tukang kebunku yang tak bersalah. Aku makan, minum obat dan tidur siang untuk melupakan libido yang tak tersalurkan. Menjelang sore sekitar pukul 4, aku terbangun, turun ke bawah melahap cemilan untuk menghilangkan lapar. Betul-betul manjur itu obat, nyeriku di kaki hilang total. Padahal baru saja minum sebutir, hebat memang dr. Purnomo. Tapi aah, aku jadi teringat lagi dengan beliau dan masalah libido tadi, juga BT dengan tukang kebun. Aku menuju pintu depan, biasanya jam-jam segini, Pak Simin sedang mencabut rumput, betul saja. (Awas, kubalas), dendamku, yang Pak Simin sendiri tak tau ujung pangkal permasalahan. Aku balik ke kamar, untuk persiapan perang. Kulepas bra dan celdam, kukenakan tank top berdada rendah dan celana pendek full press body. Sehingga, baik itu dada maupun vagina terceplak bentuknya. Sekiranya cukup, aku turun menuju teras depan rumah.
“Sore Non…” sapanya, seraya melempar senyum.
“Sore juga, lagi nyabut rumput yah ?” tanyaku menghampirinya.
“Iya nih, udah panjang…” sahutnya singkat.
“Oo…”, aku sengaja berjongkok di depannya.
“Uhuk ! uhuk !, Ehemm…”, Pak Karsimin merasa sesak di dada, kulihat tonjolan besar di selangkangannya. Aku tertawa menang dalam hati menyukuri.
“Mm, gimana sih…caranya nyabut rumput ? ajarin dong Pak !” pintaku, yang sebenarnya hanya bertujuan menggoda.
“Ehh…ya…iy-iYa” sahutnya tergagap, melihat vaginaku yang terceplak fisiknya di balik celana. Aku pura-pura tidak tau, kalau dia memelototinya lapar.
“Gini yah Pak ?”, tangan kananku menggenggam rumput untuk mencabut, sambil sengaja lagi mencondongkan tubuh hingga payudaraku diintipnya.
“PAK ?!”.
“Eh, iya Non ?”, Pak Karsimin tersentak kaget.
“Gimana doong ? ajarin Niaa…” kataku manja.
“O iya…gini, eh…”, dia terdiam, bingung harus mengajarkannya seperti apa, membantu bagaimana, karena aku sengaja menggenggam rumput keseluruhan. Tidak ada tempat bagi tangannya, selain harus menggenggam tanganku.
“Yaa, cabut Non !” suruhnya, tak berani meraih tanganku.
“Cabut gimana ? engga kuat !” omelku merengutkan wajah, sengaja agar dia lebih nekat.
“Y-ya udah…Non awas dulu tangannya !” sahutnya serba salah.
“Yaah, kalo Bapak yang nyabut…aku engga tau gimana rasanya dong…” kilahku.
“Udah ah, bantuin !” kataku lagi meraih tangannya yang gemetaran, menumpukkannya di pungguk tanganku.
Reaksinya mau mau malu, pasti ini pertama kalinya dia merasakan halusnya tangan gadis belia berwajah Indo.
“Ayo Pak, tariik !”, aku menggenggam rumput kencang, tapi sama sekali tidak menariknya, hanya acting agar dia yang menariknya melalui genggaman pada tanganku.
(Berhasil…hihihi), aku tersenyum, akhirnya dia berani menggenggam erat tanganku.
“Iih, Aaawhh…!!”.
“Non, ‘gak pa-pa ?” tanyanya merangkulku, karena setelah rumput berhasil tercabut, aku pura-pura jatuh dan kepalaku bersandar di dadanya. Dag ! dig ! dug !, jantungnya berdegup di telingaku.
“Engga papa, makasih ya”, aku tersenyum semanis mungkin sambil mengibaskan rambut [TP ^o^], membuat nafasnya tersendat-sendat.
Pak Simin betul-betul memandangku penuh nafsu. Jika dia tidak mengingat budi baik Papi padanya, pasti aku sudah diperkosanya habis-habisan.
“Pak Simin, liat deh…” kataku tertawa kecil seakan senang, sambil memasang wajah se-Innocence mungkin. Padahal sengaja, sedang menarik keluar seluruh syahwat yang dia miliki.
Kakinya yang berjongkok kulihat bergetar, kulirik sedikit, matanya memang sedang menelanjangiku. Ceplakan vaginaku yang paling dia pelototi, matanya seakan ingin keluar dari tempatnya. Yang kedua dadaku yang menyembul, tangan Pak Simin meremas rumput dan mencabik-cabiknya. Dia lakukan dengan tak sadar, hingga hanya rumput di sekitarnya saja yang gundul. Tangannya itu, pasti ingin melakukan hal tersebut pada payudaraku. Aku pun tak kalah horny, putingku mengeras membayangkan Pak Simin bebas semaunya melakukan hal itu padaku. Sayang aku harus jaim, namaku masih putih tak ternoda dalam kaca matanya.
“Nih Pak, Nia ke dalam dulu yaah !” kataku sembari meraih tangannya, menaruh rumput yang tercabut lalu berdiri dan pergi begitu saja.
Kurasakan tatapan matanya seakan menyorot pantatku dari belakang. Di sisi kebun yang terdapat pohon besar, aku menghentikan langkah.
“Mm, ini jamur ya Pak ?” tanyaku, merundukan badan menunggingkan pantat.
Pak Karsimin tidak menjawab, kutahu pasti dia sedang asyik memelototi body-ku dari belakang.
“IYA PAK ?!” tanyaku dengan suara keras. Menolehkan wajah ke arahnya, tetapi masih tetap nungging.
“I-iya Non !” sahutnya tergagap karena busted.
“Oo…”, aku memasang wajah selugu mungkin sambil berlalu meninggalkannya, kembali masuk ke ruang tamu.
Aku mengintip dari balik jendela yang tertutup horden, kulihat Pak Karsimin berjongkok menatap kosong, tampak sedang berpikir sesuatu. Aku yakin yang ada dipikirannya kalau tidak memperkosaku yaa, onani ^o^. Idih, ternyata betul. Kulihat tukang kebunku itu memasukkan tangannya ke dalam sarung, kemudian membuat gerakan yang tidak lain onani. Godaan berikutnya sudah kusiapkan. Kujinjing Polytron mini yang biasa kupakai menyetel musik untuk latihan Cheers, ke teras depan dimana sudah terdapat kaset di dalamnya. Kunyalakan tape dan kuputar kaset, mengalunlah lagu sexy back dari Justine Timberlake. Aku meliuk-liukkan pantat, sesuai judul seirama beat. Gerakanku jadi bukan saja gerakan cherrs, malah di dominasi gerakan erotis. Pak Simin pun jatuh terduduk, kakinya lemas. Dia terang-terangan berani memandangku, walaupun sesekali aku melenggak-lenggokkan kepala ke kiri dan ke kanan, sengaja melempar pandangan ke arahnya. Tampaknya, dia juga tau kalau aku sedang ‘pamer’, menggoda dirinya. Gila !, dia nekat mengeluarkan burungnya dan onani. Aku kini malah yang harus membuang muka, pura-pura tak melihatnya. Ternyata, dia lebih keladi dari yang kunyana.
Tubuhku semakin terasa panas, seperti ketika cheers saja, deg-deg ser namun semakin di tonton semakin merasa seksi. Aku melupakan gerakan cheers, melakukan tarian striptis. Tiang penyangga tingkat rumah berdekorasi ukiran seni, kugunakan untuk berpegangan dan berputar-putar disitu. Kudengar erangan Pak Karsimin semakin keras, kocokannya secepat kilat. Kugigit jari telunjuk, sebelah tanganku menampar-nampar pantatku sendiri, yang semakin lama semakin keras. Sama dengan desahanku, semakin lama semakin bernada tinggi ke arah menjerit orgasme. CROT CROT !!, Walaupun tak melihat langsung, kulirik sekilas Pak Karsimin ejakulasi, mennyemburkan maninya di kebun berumput hijau. Setelah aku yakin dia selesai meledakkan syahwat, aku berjalan mematikan kaset, lalu masuk ke dalam. Sebelumnya, kulihat dia hanya duduk bersila melongo ke arahku. Dia pasti bertanya-tanya apa maksudku, hanya sekedar pamer atau menggoda untuk naik ke ranjang. Kubiarkan dia dalam kebingungannya, aku cukup puas. Dari ruang tamu di balik jendela, kuintip dia sedang apa. Kulihat Pak Karsimin rebahan dengan nafas tersengal-sengal, penisnya yang cukup panjang kini tertidur lemas.
(Bangunin lagi aah hihihi…), aku bermaksud jahat.
Aku berlari ke kamar mandi, menanggalkan seluruh pakaian, hanya mengenakan handuk. Kulepit sengaja tinggi-tinggi di atas dada, sependek mungkin membungkus pahaku. Jika saja aku berjongkok seperti tadi, pasti vagina terlihat keseluruhan. Kuraih kunci mobil pribadiku, untuk berpura-pura mengambil sesuatu di sana. Aku pun keluar teras, kulihat dia masih rebahan dengan mata terpejam. Keisenganku pun menjadi-jadi, kutekan alarm mobil.
“Nguin-nguing-nguing-nguing !!”, Pak Simin terbangun kaget, kulihat dari pantulan kaca jendela mobil di halaman, aku menahan tawa sebisanya.
Kutekan alarm mobil agar berhenti mengaung, kubuka pintu dan pura-pura mengambil sesuatu. Sekiranya actingku cukup, aku keluar mobil dan menguncinya. Aku sengaja tak memandangnya, padahal kutau mata dia tak pernah mengedip dan terus menelanjangi. Masih di teras, tepat depan pintu masuk, sengaja kujatuhkan kunci ke lantai. Dimana Pak Karsimin, juga tepat ada di belakangku.
“Ups…!” aku berakting.
Kutundukkan badan untuk mengambil kunci, aku mendengar Pak Karsimin menegak ludah dengan keras, pasti vaginaku dipelototinya. Hanya segitu aksi pamerku ? tentu tidak. Masih dalam proses mengambil kunci berposisi nungging, kulepas lepitan handuk dengan gerakan yang seakan-akan tidak sengaja ketika kunci terpegang.
“Kyaaa…”, aku berakting menjerit.
“HHNNNNGGGGFFFKKHH !!!”, Pak Karsimin menahan nafas, kulirik di antara kakiku yang mengangkang penisnya mengacung konak sampai mentok ke perut.
“Iyaaaahhh…”, aku pura-pura panik.
Bukannya berjongkok mengambil handuk, aku malah berdiri dan bergerak kebingungan diantara mau mengambil handuk atau kunci mobil. Normalnya tentu mengambil handuk dahulu, tapi karena dalam masa pamer, aku bersikap demikian. Kedua tanganku menutup payudara dan vagina sekedarnya, malah jari sengaja kurentang lebar agar toket terlihat putingnya, vagina terlihat bibirnya. Saat kuambil kunci, kuraih dengan tangan yang menutup vagina. Alhasil, tentu dia melihat bodyku yang telanjang nungging, plus memek yang merekah dari belakang. Aku bangkit dan berbalik untuk mengambil handuk. Sengaja kugunakan kedua tangan, yang tentunya Pak Simin melihat tubuh telanjangku yang berkulit putih salju dari depan. Sengaja lagi aku bergerak selambat mungkin, kulirik mulut Pak Simin meneteskan liur. Kulihat dia bangkit, aku dag di dug, akankah dia nekat memperkosa ??. Aku buru-buru menutup tubuh bagian depan, berbalik badan masuk ke ruang tamu dengan bagian tubuh belakang bugil terpamer indah. Aku sengaja tidak menutup pintu, dan kembali mengintip di balik jendela. Kulihat dia masuk ke kamarnya yang ada di belakang halaman, ternyata dia lebih memiih onani. Menjelang sore, Bang Jaja pulang, pintu gerbang dibuka Pak Simin. Kuintip dari balik tirai jendela kamarku di atas, Bang Jaja berbicara sesuatu dengan Pak Simin, kulihat dia menyerahkan kunci mobil dan berlalu pergi.
Bang Jaja memang hanya supir harian, kerja jika ada Papi Mami. Selain itu, dia pulang ke rumah menemui Istri tercintanya. Pak Simin mengunci gerbang dan masuk ke dalam, dia pasti sedang menaruh kunci di laci ruang tamu.
(Wah, berduaan donk gua sama si Simin tua…), pikirku, aku pun kembali berniat nakal.
Setelah menyiapkan rencana di kepala, aku segera turun menyusul Pak Simin sebelum dia balik ke kamarnya.
“Paak ! Pak Simiiin !!” panggilku, kulihat dia hampir saja pergi.
“Iya Non, A-ada apa ?” sahutnya sedikit terbata, dia tau pasti aku akan bertingkah nakal menggodanya lagi seperti tadi siang.
“Uum, nti malem…temenin Nia makan yah, kita makan bareng !” suruhku, dan langsung naik kembali ke atas karena tak mau ditolak, pastilah dia sungkan makan bersama Nona majikan.
# Dinner together #
Malamnya, Bang Jaja pamit setelah mengambil kunci mobil padaku untuk menjemput Papi. Aku pergi ke kamar merias diri, tampil seseksi mungkin di depan Pak Simin. Kupakai rok mini transparan tanpa dalaman, kaus tanpa lengan berwarna hitam tanpa bra. Kulentikkan bulu mata, kuhias eyes shadow blue dan kuoles tipis bibir dengan Lippgloss pink. Sejam sebelum jam makan, kutelpon KFC untuk order delivery. Selesai berdandan, aku menuruni tangga melingkar rumah. Pak Karsimin terpana dengan apa yang dilihatnya, dandanan-ku tentu tak normal untuk makan malam, untuk ke ranjang sih iya. Mulutnya terus ternganga, aku tersenyum semanis mungkin ke arahnya. Dia menyeka mulutnya yang tak terasa mengalir liur, aku tertawa menang dalam hati. Sambil menunggu orderan datang, aku mengajaknya nonton bersama di ruang tengah. Karena Home theater, tetap enak tertonton walaupun Tv-nya jauh. Pak Simin duduk bersila di lantai, sedang aku duduk di sofa panjang, tempat aku biasa tiduran. Aku sedang berpikir keras, bagaimana cara aku menggodanya.
(Hmm…o-ya, begitu saja…), pikirku.
“Pak, nontonnya disini aja…dingin khan” kataku menepuk sofa di sampingku, seraya memasang wajah polos tak berdosa.
“Engga papa Non…Bapak udah biasa !” sahutnya, matanya melirik pahaku karena aku duduk mengangkat kedua kaki.
“Aah, aku khan kehalangan kepala Bapak nontonnya !” aku berkilah.
“Ooh, maaf Non !”, dia menggeser duduknya.
“Percuma Pak kalo Bapak masih disitu…disini aja Ahh !” aku memaksa dengan wajah cemberut.
Tak enak takut aku marah, Pak Simin pun bangkit. Sebelum bangun berdiri, kulihat dia membetulkan sarungnya, juga ketika berjalan menuju sofa. Tampak dia menekan-nekan selangkangannya yang menonjol itu.
(Oo, udah ngaceng toh hihihi), pikirku jahat dalam hati.
Dia pun duduk di sofa, kini kami dalam sofa yang sama, hanya dia di ujung aku di ujung. Aku melayangkan pandangan ke TV, sedangkan Pak Simin tidak konsen.
Kulonjorkan kaki kearahnya, memamerkan putih…mulus dan jenjangnya. Sesekali, aku menekukkan kedua belah kaki, terkadang sebelah melonjor sebelah terlipat. Jadilah Pak Simin, posisi menghadap ke TV, namun mata melirik ke diriku punya body. Dengan nakal aku sengaja menggaruk-garuk paha, sambil menggeser dikit demi sedikit rok mini. Hingga jika dilihat dari samping, pantatku dapat dinikmati. Kulirik, mata kanan Pak Simin memang miring ke samping, selangkangannya semakin menonjol saja. Sayang kepuasan matanya hanya sampai sini, karena bel berbunyi, tanda pengantar makanan telah datang. Pak Simin ke depan untuk menyambut dan membayar. Kami pun ke ruang makan, aku belum kehabisan akal untuk mengerjainya. Kuatur posisi bangku agar dia ada di sampingku, untuk kosodori ‘paha’. Pak Simin tak berdaya, kubuat konak tanpa bisa merasakan hangat vagina. Aku makan ayam bagian dada mentok, sedang dia kukasih paha. Aku duduk bersila di atas bangku, membuat Pak Simin sering menelan ludah. Sudah beberapa kali dia minum, karena tenggorokannya terasa kering.
“Enak Pak pahanya ?” tanyaku padanya tiba-tiba sekalian menyindir.
“E-enak Non…enaak” sahutnya tergagap, busted.
“Mbok Siti ko’ belum pulang ya Pak ? tadi sih ijin, pergi kemana sih ?”, kuajak dia berbicara, agar exibisionis terasa lebih santai.
“I-i-iya, Bapak lupa nyampein…dia kesini besok shubuh, lagi ada perlu sama kakaknya yang ada di Cengkareng…keponakannya sakit keras !” sahutnya, dengan mata masih saja jelalatan.
“O…Eii !” kujatuhkan sendok ke samping, aku menunduk sengaja menungging, pantatku pasti dipelototinya.
KRAUK !!, “Wadaw…” teriak Pak Simin, aku menoleh penasaran.
“Kenapa Pak ?” tanyaku, melihat dia memegang pipinya.
“A-anu, kegigit tulang Non…” jawabnya mengeluh.
(Rasain ! lu sih mata keranjang, bukan ngeliat paha ayam malah ngeliat paha gw), pikirku senang, sukses mengerjainya lagi.
“Ati-ati Pak !” suruhku, tetapi kembali pamer melipat kaki di atas bangku.
Biasanya, Pak Simin makannya cepat, kali ini aku juara satu. Kurapikan bekas makanan, dan menaruh piring di tempat cucian yang tak jauh.
“Aku duluan ya Pak, temenin Nia nonton lagi lho…” kataku tersenyum manis bertingkah manja, hidungnya langsung keluar ingus.
Aku berjalan meninggalkan dirinya, sambil melenggak-lenggokan pantat. Sesampainya di ruang tamu, kunyalakan Tv dan nonton di sofa menunggunya.
(Mudah-mudahan saja, dia selesai sebelum Papi datang…), harapku.
# Grope, while sleeping #
Kudengar suara langkah kaki, rupanya dia telah selesai. Aku langsung pura-pura tiduran menekuk kaki di sofa. Kurasakan sekali, matanya menelanjangiku. Pasti dia bingung mau bagaimana. Tapi akhirnya, Pak Simin duduk juga di tempatnya tadi duduk.
“Eh !!”, Pak Simin kaget, karena tiba-tiba aku meregangkan tubuh melonjorkan kaki dan menaruh di pangkuannya, membuat dia makin salting saja.
Kurasakan di betis yakni selangkangannya meninggi, dia makin konak Yes !!. Pak Simin menepuk-nepuk telapak kakiku, memanggil namaku untuk mengetahui keadaanku.
“Non, Non Niaa…” dia membangunkanku, namun aku sengaja seperti ini.
Lama kelamaan dia menyerah juga, yang kunanti-nanti datang juga. Tangannya ditaruh di betisku, lalu digesek-gesek untuk merasakan halusnya. Melihat reaksiku Nol, dia semakin ketagihan. Jarinya bergerilya menelusuri paha, sampai meremas pantatku kecil-kecil. Dengan hati-hati, dia mengangkat rok-ku, berniat memuaskan mata melihat isinya.
“HHNGGKH !!”, Pak Simin sesak nafas, dia spontan menyingkap rok-ku sepinggang.
Tubuhku dimiringkannya, sebelah kakiku diangkat dan dipapah ke bahunya. Seketika kurasakan dengus nafas yang menderu, menerpa belahan kemaluanku.
Sniff ! Sniff !!, dia mengendus wangi vaginaku.
Leeeepph !!, sebuah jilatan panjang yang telak di memek tiba-tiba, membuatku tak kuasa menahan desahan.
“Aaaaaaaahh…”, kuintip Pak Simin menyeringai melihat reaksiku. Pria seumurnya, tentu tidak hijau dalam masalah seks. Dia pasti tau kalau aku hanya pura-pura tidur, sengaja menjerumuskan godaan sampai ke hal ini.
Pak Karsimin tertawa cekikikan seperti orang gila tiba-tiba, selanjutnya dia melahap dan menjilat kewanitaanku bagai maniak seks, rakus sekali. Suara seruputan sampai-sampai mengalahkan suara Tv, hal ini menjadi boomerang terhadapku.
(Shit, enak bangeet…), dalam hatiku, tubuhku menggelinjang nikmat tak karuan.
“Sluuurph memek bule…Shrrrrrph Aaaahh, gurih…enak !!” celotehnya.
Senjata makan Nona buatku, aku menyiksa birahi diriku sendiri. Kutahan desahan sebisa mungkin, kugigit bibir bawah untuk menutup suara keluar.
“Emmh…!” aku tersiksa, gairahku meletup-letup, namun tak bisa ku-expresikan. Baik itu melalui desahan, maupun jambakan tangan pada kepala si penyeruput.
Aku hanya bisa mengapit kepalanya karena geli-geli enak, yang percuma karena akan kembali dibentangkan lagi olehnya. Pak Simin menambah serangan, menggerepeh paha dan meremas pantatku. Jarinya dicelup-celupkan ke liang senggamaku yang sudah becek, hingga membuahkan bunyi, Clek..clek..clek..clek !!
“Emmmhh…AAAAAAAAAAAAHHHHH…SSSSHHTT !!” aku orgasme dengan mata terpejam, dan kaki mengapit keras kepalanya.
Kulupakan sejenak status kami, tak peduli bahwa dia adalah tukang kebunku. Yang jelas, mulutnya yang rakus memek itu, berhasil membuatku orgasme. Kenikmatan berganda, di kala orgasmeku yang belum mereda, adalah emutan panjang di bibir vagina. Tubuhku mengejat-ngejat nikmat, Pak Simin tertawa sinting menyaksikan kekalahanku. Mataku masih terpejam, namun dadaku naik turun karena nafasku tersengal-sengal. Dia mengelus-elus pahaku, bangga dengan kemenangannya menaklukanku, dimana aku munafik untuk mengakuinya. Pak Simin melepaskan diri, kuintip dia rupa-rupanya sedang menanggalkan sarungnya. Ternyata, diapun tanpa dalaman, penisnya yang mengacung kini mengincar vaginaku.
(Shit ! gimana niih…?!), pikirku kebingungan.
Maksudku tidak sampai sejauh ini, tidak sampai bersetubuh. Bisa saja aku bangun dan kemudian berakting mengomelinya. Tapi…aku akan gagal mendapatkan kenikmatan berikutnya. Kenikmatan yang lebih nikmat daripada tadi, masuknya penis ke vagina. Selagi aku masih bingung, Pak Simin sudah mengambil posisi mendekati kewanitaanku. Dia kembali memiringkan tubuhku, lalu berjongkok disana. Dipapahnya kakiku sebelah di bahunya, agar lebih mudah memasuki milikku. Aku bingung, Pak Simin melekatkan penis dan bergerak menggesek kewanitaanku. Aku mendesah lirih, sepertinya, aku menyerah saja pada kenikmatan yang terlalu sayang untuk ditolak. Dia membuka lebar bibir kemaluanku, penisnya telah tepat mengarah kesitu.
(Ayo Pak ! setubuhi aku, senggamai aku sampai aku kelojotan bahkan hingga sakit jika jalan…penuhi liangku dengan mani-mu, acak-acak dalamnya sesukamu…entot aku, perkosa aku…milikku adalah milikmu…), dalam hatiku lebai, sudah kepalang horny. Namun sayang, sial bagi kami.
Din Diiiin !!, klakson mobil yang berarti Papi telah pulang.
(Shit ! tanggung banget sih datengnya !!), keluhku, Pak Simin juga bersungut-sungut.
“ADUH !! MEMEK DEPAN MATA, TINGGAL SODOK, WUEDYAAN !!!” omel Pak Simin kesal, gagal maning-gagal maning.
Aku saja yang sudah dapat klimaks sekali merasa tanggung, apalagi Pak Simin. Dia menggebrak-gebrak sofa seperti orang STRES !!, aku memakluminya. Penisnya belum rejeki atas vaginaku, belum jodoh. Pak Simin dengan cepat mengenakan sarung, lalu pergi meninggalkan diriku. Setelah dia keluar, barulah aku segera naik ke atas untuk melepas pakaian dan membersihkan diri dengan mandi susu. Selesai mandi, aku ke kamar Papi untuk menyapanya. Papi sempat bertanya aku tadi dimana sewaktu beliau datang, aku menjawab yang kebetulan tidak perlu berbohong bahwa sedang mandi. Papi hanya menggangguk, aku pamit tidur dan balik ke kamar.

========================================
Esoknya, aku terbangun lebih pagi dari biasanya. Aku segera mandi dan sarapan. Lalu menuju kamar Papi. Pintu kamarnya tampak terbuka, dia sedang beres-beres untuk ke Swedia menyusul Mami. Aku masuk dan memeluknya manja dari belakang, karena akan berpisah dengannya kurang lebih seminggu. Papi tertawa, meledek aku yang sudah besar tapi masih seperti anak kecil. Walaupun dia memaklumi karena aku anak satu-satunya dan perempuan pula. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.
“Maaf tuan…Pak Hasan sudah datang !” kata suara yang rupanya mbak Siti, dia kembali ke dapur. Raut wajahku pun langsung berubah, Papi memandangku dengan wajah penuh tanda tanya.
“Kenapa Non ?” tanya Papi meledek.
Biasanya Papi menggunakan panggilan ‘Non’ kalau sedang ingin bercanda, aku merengut manja menatapnya.
“Sudahlah, jangan terlalu marah sama dia…khan engga sengaja bikin ubin kamar mandi jadi rusak !” nasihat Papi.
(Bukan itu piii…aduuhh !!), keluhku dalam hati.
“Yuk ke bawah…” ajaknya, kami pun menuju ruang tamu.
Aku melihat Pak Hasan dan Asep sedang duduk di sofa, melempar senyum tanpa dosa ke arah kami.
“Apa khabar Pak ?” sapa Pak Hasan mengawali, menawarkan jabatan tangan.
“Ya, ya baik…berduaan aja ?” sahut papi menyambut jabatan tangan.
“Iya…khan yang musti diperbaiki engga banyak, jadi tukang satu…kernet satu, cukup !”.
“Oh gitu, ok silahkan duduk !”.
“Trimakasih, Non Nia juga gimana khabarnya ?” tanya Pak Hasan padaku sok ramah.
“Baik !!” sahutku ketus, mereka tertawa yang maksudnya hanya aku dan mereka yang mengerti, sementara Papi tidak.
Kemudian Papi dan kedua kuli gila seks itu membicarakan mengenai biaya perbaikan. Setelah selesai dan terjadi kesepakatan, Papi dan pak Hasan kembali berjabat tangan. Mereka menawarkan jabatan tangan juga padaku, namun aku menolaknya. Papi tertawa sambil mengelus-elus punggungku, ia menyangkanya aku marah karena kakiku yang terluka. Padahal bukan itu, tetapi hal yang lebih besar lagi. Mereka tertawa seolah-olah memaklumi, padahal sebaliknya. Mereka akan semakin bergairah dalam menyalurkan dendam birahi jika ada kesempatan menyetubuhiku. Pria macam mereka, semakin kami wanita menolak galak melawan, malah semakin bernafsu gila.
“Nia, Papi berangkat dulu yah !” pamitnya mengelus sayang rambutku.
Aku mencium pungguk tangannya, kuantar dia ke mobil. Papi bilang akan men-transfer uang jajan di jalan ke rekeningku. Aku langsung tersenyum manis senang, Papi mencubit pipiku gemas.
“Mbok, aku jalan dulu…titip Nia !”.
“Tuan…anu maaf, saya baru dapat khabar…keponakan saya yang sakit keras…me-me-meninggal Tuan !!”.
“Ya Tuhan…aku turut berduka mbok” sahut Papi.
Aku yang dekat dengan mbok Siti karena anak tunggal, bergerak mendekatinya dan mengusap-usap punggungnya, larut dalam duka nestapa bersama.
“Iya tuan trimakasih…jadi, saya mau izin seminggu !” kata mbok Siti seraya menyeka air mata.
“Ya-ya, engga papa…” jawab Papi mengambil dompet di kantung belakang celananya, lalu mengeluarkan beberapa lembar ratusan ribu untuk diserahkannya ke Mbok Siti.
Mbok Siti menerima pemberian, mengucapkan terima kasih dan pamit lebih dahulu. Aku meneruskan jalan bersama Papi ke parkiran, Jaja membukakan pintu belakang mobil, Pak Karsimin menggeser pintu gerbang.
“Pak Simin, titip Nia yah !” teriak Papi pada si tukang kebun pervert berumur.
“Beres tuan, hehehe…” sahutnya, yang kemudian menyeringai ke arahku.
(Shit, jangan-jangan dia mau lanjut yang kemarin…), dalam hatiku.
Mobil Papi pun melaju meninggalkanku. Kini, tinggalah aku bersama Pak Simin dan dua kuli pemerkosa.
“Aku ke dalam ya Pak…”.
“Iya Non, Bapak juga nerusin kerjaan nih sebentar lagi…nanti juga Jaja pulang abis anter Tuan, Non kalo ada perlu apa-apa cari aja saya di belakang yah !” terangnya.
Aku mengangguk dengan hati yang lega. Setidaknya, dia akan menjagaku dari niat jahat dua kuli itu. Aku kembali ke ruang tamu, Pak Hasan dan Asep tampak sudah memulai pekerjaannya di kamar mandiku yang ada di atas karena bising suara pukulan palu. Kunyalakan Tv tidur selonjoran di sofa, memakai celana pendek dan kaus tanpa lengan. Betul saja dugaanku, tak berapa lama Pak Simin mendatangiku. Menurut laporan penis, vaginaku masih punya saldo hutang birahi.
(Shit, si tua bangka muka memek dateng nyari gw mau ngentot…), keluhku.
Sayang waktunya tak tepat, aku sedang tidak mood. Mana ada dua orang yang kubenci lagi, aku terpaksa harus tegas menolaknya.
“Non Nia, lagi nonton ?” tanyanya sambil tersenyum mesum.
“Iya…” sahutku ketus singkat, berharap dia pergi karena tak tega aku menolaknya.
“Bapak temenin yah…” katanya dengan cengiran, hingga giginya yang hitam dan mulai ompong itu terlihat olehku.
“Engga usah Pak kali ini…” sahutku memberinya kode, namun dia terlalu udik untuk mengerti.
“Oo ya udah…” balasnya langsung terdiam, aku jadi semakin tak enak.
“Non engga senam lagi kaya kemaren ?” tanyanya lagi tiba-tiba tak menyerah.
Aku tau dia memancing, tapi ada Pak Hasan yang membuatku BT dan tak mungkin aku melakukan hal kemarin ada dia. Secara tak langsung, Pak Simin menyudutkanku. Serba salah dan tak mungkin kujelaskan masalahku, Papi saja tidak tau.
“Ada tukang bangunan khan Pak, engga mungkin sekarang-lah…Nia malu donk, udah Bapak keluar deh jangan ganggu Nia dulu !” kataku telepasan ketus, Pak Simin terlihat kecewa dan sedikit marah dari guratan di wajahnya.
Dia bangkit dan berjalan cepat meninggalkanku, aku merasa bersalah jadinya. Habis, harus bagaimana lagi ?. Sementara ini, Pak Simin pasti berpikiran bahwa aku hanya mempermainkan dirinya. Seharusnya aku langsung minta maaf padanya. Dalam masa kalutnya hati dan pikiran, mataku kriyep-kriyep, kata orang sih tidur ayam. Beberapa menit kemudian mataku gelap dan memetik kembang tidur. Aku bermimpi, mimpi kedatangan dua pria tampan. Keduanya bergerak menelanjangi dan menggerayangiku. Melihat ketampanannya aku pasrah, satu pria menciumi pipiku penuh nafsu, satunya menggerayangi pahaku dengan gencar. Tapi aneh ? cumbuan mereka kasar sekali, tidak sesuai dengan wajah, tidak romansa dan tak senada. Pria yang menciumi pipi, sekarang menghisap payudaraku. Pria satunya yang menggerayang paha, melahap rakus kewanitaanku. Keduanya lapar dan dahaga, walau tak kupungkiri aku menikmatinya. Kuangkat kelopak mata sedikit demi sedikit.
(Aah, kenikmatan ini nyata…tapi, mana ada pria tampan ? di rumah semuanya pria buruk muka ?!), aku tersadar dengan mata terbelalak.
(AAAARGHH…SHIIITT !!!).

 
Kalo di thread Semprot kayaknya belum ada yg re-upload cerita legend KBB apalagi karya Sis Diny, cuman sis Diny tahun lalu pernah muncul lg d group FB. Muncul sebentar buat share part 3 "Far Beyond the Sun" tp habis itu ngilang lg sampe sekarang 😁😁😁
 
Kalo di thread Semprot kayaknya belum ada yg re-upload cerita legend KBB apalagi karya Sis Diny, cuman sis Diny tahun lalu pernah muncul lg d group FB. Muncul sebentar buat share part 3 "Far Beyond the Sun" tp habis itu ngilang lg sampe sekarang 😁😁😁
Makasih mang atas infonya
saya kira udah ada di forum semprot cerita legend ini
 

Aku (Lavenia), Sahabatku dan Adik Kelasku 2 [Sambungan dari bagian 1]

Aku tertidur di sofa, bermimpi kedatangan dua pria tampan. Keduanya bergerak melucuti pakaianku, melihat ketampanan mereka aku pasrah. Pria satu memagutku penuh nafsu, satunya meraba paha dengan gencar. Aneh? cumbuannya kasar sekali. Tidak sesuai wajah, kurang romansa, tak senada. Pria yang di atas, kini melahap payudara, yang di bawah melumat vagina. Keduanya bak singa lapar, aku menikmati cumbuan mereka. Kuangkat kelopak mata sedikit demi sedikit.
(Aah, kenikmatan ini nyata…tapi, mana ada pria tampan ? di rumah semuanya pria buruk muka ?!), pikirku tersadar.
AAAARGHH !!!, mataku terbelalak.
Pria yang menghisap payudaraku ternyata Bang Jaja? dan yang melahap rakus vagina Pak Simin, apa-apaan…?!, aku marah dan kecewa. Marah karena mereka seharusnya melindungiku, kecewa karena ternyata mereka sama bejat dengan Pak Hasan cs. Entah dimana para kuli itu, jangan sampai lihat, bisa ikut mengeroyok. Baju tanpa lengan dan Bra-ku sudah terangkat, Bang Jaja mencaplok dada bebas tanpa hambatan. Celana serta CD melorot ke betis. Pak Simin setengah telungkup di sofa yang kutiduri. Dia melumat vaginaku seraya tertawa mesum bebas merdeka, jarinya aktif meraba paha.
“Ja.mmppff…!!”, bibirku dilumat Bang Jaja.
“Mmppfff…emmppfff !!”, aku berontak melawan, kudorong tubuhnya.
Sia-sia, tenagaku bukanlah tandingannya, dia sudah kesurupan setan seks. Bang Jaja membuka rahangku lebar-lebar, dan meludah ke dalam. Disuruhnya aku menelan cairan itu, lalu kembali memagutku. Menjijikkan sekali…sangat menjijikkan. Perlakuan udik Pak Simin, buatku menyerah pasrah. Dia menelan bulat-bulat milikku yang mungil, dikunyah bagai makanan. Mulut peotnya itu, menciumi vagina layaknya pasangan bertautan penuh kerinduan. Pahaku mengapit kepalanya sebagai ekspresi geli-geli enak, benci dikerjai tapi merestui. Diberi angin dia menggila, eranganku makin keras seirama. Bang Jaja tak kalah buas, sampai-sampai cupangannya berbekas merah di payudara. Tak tahan akan derasnya cumbuan, tubuhku menggigil. Sebuah sensasi langka yang kudapat dari pacar maupun mantan…orgasme, otot-ototku serasa mengembang. Kujambak Bang Jaja, aku merintih.panjang dengan kepala terdongak. Beberapa detik tubuhku mengejang, pantat terangkat. Pak Simin langsung menyeruput jus cinta yang kuproduksi. Nikmat orgasme pun terasa lebih panjang dari biasanya.
Kujatuhkan pantat saat orgasme usai, menjauhkan vagina dari mulut Pak Simin yang rakus-doyan-maruk memek. Mendarat di sofa, masih saja dia menyeruput hingga milikku banjir liur, tentu kembali menaikkan libido-ku dengan cepat.
“Srrrp.Aaah, enak Non memeknya…kalo tau gini, udah Bapak entotin dari dulu Slurph !!” ujar Pak Simin asal jeplak.
(Brengsek juga, udah tua piktor…gua kira lu alim !), umpatku dalam hati.
“Aaaahh…Pak, udah..Sssh.Aah..Nngh !!” protesku, mendorong kepala Pak Simin dengan tenaga yang lemah, berakhir dengan menjambak.
Kulihat Bang Jaja menanggalkan pakaian, terpampanglah tubuh berisi hitam legam.
(Oh Noo !, bisa mati orgasme gw…), keluhku, melihat kejantanan Bang Jaja yang padat sepadat tubuhnya.
“MuuuaAch ! memek Non emang gurih banget, baru diemut aja enak…apalagi dientot !”, katanya melepas emutan, meringankan beban birahi sementara waktu.
Kakiku terkangkang lebar, siap dan pasrah disetubuhi siapapun yang ada disitu. Bang Jaja yang sudah bugil menuju kemaluanku, tempat dimana Pak Simin meraja.
“Misi Pak…” ucap Bang Jaja santun, sesuatu yang tak perlu.
“Mau opo kowe ?” tanya Pak Simin bernada tinggi, merasa daerah kekuasaannya hendak diganggu gugat.
“Ngentot-lah…” sahut Bang Jaja to the point.
“Wuah, mau ngalangkahin orang tua sampeyan ?!”.
Bang Jaja yang mengerti maksud berikut tatapan Pak Simin, segera menjauh sambil bersungut-sungut.
“Dasar anak sekarang, engga tau etika !” omel si peot itu seraya menanggalkan pakaian.
Aku jadi ingat, pasti dia mau membalaskan dendam birahi, mengingat tempo hari gagal. Belum disodok, vaginaku sudah terasa ngilu. Aku tau ini perkosaan, tapi terlalu nikmat untuk ditolak. Bagaimanapun juga, aku penasaran dengan pertemuan kelamin kami. Toh lambat laun, aku akan disetubuhinya juga…iya khan ?.
Bang Jaja memang diluar perhitungan, tetapi tak apa, sebagai balas budi telah melayani keluarga selama ini. Disamping kebencianku pada mereka, tidak sebenci aku pada Pak Hasan cs. Asalkan tidak memeras saja, karena aku paling benci diperas. Pak Simin melempar asal celanaku jauh-jauh, menghirup celdam penuh perasaan. Dikenakannya benda itu di kepala bagai topi dengan wajah bahagia. Bra-ku yang masih melingkar, dilepasnya dengan sekali sentakan. Kedua belah kakiku direntang lebar-lebar, aku sudah pasrah, ‘dag-dig-dug’ menanti penis menerabas masuk vagina.
“Jangan Pak, sudah…tolong hentikan !” pintaku.
“Dari kemarin Bapak mau ngerasain memek Non…engga mungkin dong berhenti sampai sini…” sahutnya, dengan cengiran khas pria mesum.
“Bapak khan, disuruh Papi jaga aku !” kataku mengingatkan, sebagai perjuangan terakhir menyadarkan dirinya, walaupun tak menolak jika dia lanjut.
“Tadinya sih…” balasnya singkat, menelurkan sebuah tanda tanya dalam hatiku.
“Apa maksud Bapak ?” tanyaku penasaran.
“Gimana Bapak mau jaga, kalo Non sendiri udah ‘ga bisa jaga diri…tuh liat !” tunjuknya kebelakangku. Aku menguatkan diri bangkit, menoleh ke arah yang dimaksud.
(Aaaaaaaaaaaaaa…tidak !!).
Pak Hasan dan Asep menyeringai, menggoyang vcd berisi aib-ku di tangannya, mereka duduk bersimpuh di lantai tak jauh. Rupa-rupanya, mereka menunjukkan isi vcd itu dan mengajak bekerja sama, dasar kuli dan pembantu kurang ajar. Dari tadi, Pak Hasan dan Asep menonton adeganku sambil coli dan sudah tak berpakaian. Aku buru-buru membuang muka, muak sekali aku, lagi-lagi ulah mereka. Aku juga kesal dengan kedua pembantuku, bukannya melindungi malah menggauli.
(Dasar manusia bertitit !!), umpatku.
“Nah, iya khan Non…kalo Non masih perawan sih okelah” kata Pak Simin kurang ajar, meloloskan sisa baju yang melekat di badanku.
(Tau gw virgin, lu bakal getol jebol memek gw sialan !!), makiku dalam hati, kini aku jadi benci padanya, juga Bang Jaja.
Mataku menatap kosong, semua pria memang sama saja. Percuma juga aku melawan, mereka berempat aku sendiri, bisa apa aku? Pluk ! pluk ! pluk ! Pak Simin menepuk-nepuk kepala penisnya ke bibir vaginaku. Terasa ngilu membayangkan benda itu masuk mengoyak-ngoyak liang.
“Ck ck, anak gadis sekarang…cantik-cantik lonte, HEENGGH !!”, dia menyentak tiba-tiba.
Penisnya membelah vaginaku yang tersegel rapat karena lama tak bersetubuh. Melesak hingga menyundul dinding rahim, membuatku merasa kehilangan liang. Aku mengerang menikmati pencoblosan itu, pertemuan pertama kelamin kami.
“Ohook, legit…kaya.Hgh, perawan Engggh !!” celoteh Pak Simin, wajahnya merah sesak nafas oleh sebab penis terjepit ketat daging legit, memekku.
Tanpa menyia-nyiakan waktu, Pak Simin langsung bergerak penuh nafsu, melampiaskan dendam birahi sedari dulu. Sodokannya makin lama semakin tak beraturan, memberikan sensasi nikmat ke seluruh tubuh. Dicengkramnya kedua pergelangan kakiku, direntangkan olehnya lebar-lebar, pinggulku sampai terangkat tinggi dari sofa yang kutiduri. Dia sendiri berlutut bangun dari duduk, agar memudahkan dirinya memasuki tubuhku. Posisi ini membuat penis masuk kian dalam, aku mendesah lirih kerap kali dihujam. Gesekan demi gesekan, sodokan demi sodokan, sungguh buatku terbuai serasa terbang di awan. Ironi sekali !, aku menikmati perkosaan ini. Erangan panjang keluar dari mulut ketika mencapai orgasme, tubuhku menggigil beberapa saat sebelum lemas kurasa. Peluh bercucuran, membuat kulit pembungkus raga semakin putih mengkilat lezat. Pak Simin tidak memberiku kesempatan beristirahat lama-lama, langsung kembali bergerak menyetubuhi, bahkan lebih getol dari sebelumnya. Penis tua beruntung itu berenang-renang sesuka hati di vagina banjirku.
“Baa-Bapak…keluar…Non !!”. Wajahnya yang minta ampun jelek itu terlihat keenakan. Mata seakan ingin lompat dari tempatnya, lidah terjulur lengkap dengan liur.
Aku hanya bisa pasrah ketika dia menggeram, penis menonjok dasar liang dengan mani bermuncratan. Dengan mata sayu wajah kemayu, kutatap dia. Sebuah kepasrahan betina pada pejantannya. Mudah-mudahan aku tidak hamil, meskipun bukan masa subur, tanpa alat kontrasepsi oral tentu ada rasa takut. Setelah puas digapai, Pak Simin menarik keluar penis, lalu duduk bersimpuh di lantai.
“Oooh, enak banget Non…baru pernah Bapak ngerasain awewe seca’em Non Nia ! Huuf, lagi ah nanti” katanya, lupa amanah Papi untuk menjagaku.
Bang Jaja mendekatiku ngedumel tak jelas, pasti karena tidak sabar ditambah melihat kondisi vagina porak poranda, belepotan penuh onggokan mani yang menggumpal. Dia memiringkan tubuhku, mengangkat belah kaki kiri. Supir jahanam itu mendorong masuk penis, tertancap seluruh batang. Begitu mudah amblas, banyak pelumas menggenang di sana. Sebelah kaki Bang Jaja berlutut di sofa, satunya memijak lantai. Dia jauh lebih kasar dibanding Pak Simin. Pantatku seringkali mendapat hadiah tamparan keras, tentu aku mengaduh dengan wajah meringis. Namun rasa sakit itu padam, diredam ulah bibir tebalnya yang mengemut-emut betis, lidah yang menjilat paha. Sebuah perpaduan antara keras dan lembut, sakit tapi enak. Anehnya, kedua hal bertentangan itu membuatku fly. Mungkin karena sering diperkosa, menjadikan perilaku seks terbiasa akan seks brutal, melampaui batas-batas normal, kurang bergairah dengan seks konvensional. Aku bangkit dari rebahan, kucakar lengannya seraya merintih lirih. Bang Jaja berhenti menggenjot, relakan diriku menikmati orgasme secara utuh. Dalam masalah ini dia lebih pengertian, bahkan memberikanku kesempatan mencari udara barang beberapa menit. Melihat aku kembali menguasai diri, Bang Jaja kembali bergerak mencari ejakulasinya. Selang 3 menit, dia mencabut penis dan mengocoknya di depan wajahku. CROOOTT !!, Muncratlah cairan putih pekat membasahi muka. Diratakannya air hina itu hingga wajah Indo-ku serasa maskeran. Mataku hendak menutup, Pak Simin mencipratkan air agar aku menunda pingsan. Lebih kurang ajar lagi, dia menepuk pipi seperti menampar-nampar kecil. Setelah mata terbuka, tubuhku dibalik seseorang. Orang itu mengangkat pinggul, ingin aku nungging. Aku lihat di lantai Pak Hasan tak ada lagi, hanya Asep. Lemas tubuhku tahu Pak Hasan yang sekarang mengincar. Aku mengerang ketika penis big sizenya membelah vagina.
Detik-detik berikut, tubuhku terhentak-hentak senada sodokan. Samar-samar kulihat Asep berdiri, diikuti Pak Simin. Mereka berjalan santai menuju belakang Pak Hasan, mau antri men-doggy pastinya. Pinggulku dicengkram erat-erat Pak Hasan, disodokkan penisnya dalam-dalam. Air mani pun bermuncratan, menembaki seluruh penjuru liang. Kurasakan perutnya melekat ketat di pantat. Nafasku langsung Senin-Kamis, mati 1 tumbuh 1000. Keluar penis satu, masuk penis lain menggantikan. Aku menghadap depan, jadi tak tau siapa yang nyodok, semua sama binatang. Kepalaku menunduk lesu diatas lengan yang tersilang. Payudara serta kalung berinisial L terombang-ambing kesana kemari, sebagai buah kerasnya sodokan. Ketika ejakulasi, ada yang maju ke depan menyemprotkan mani ke wajah. Ada juga yang mengecrot ke pantat atau punggungku, sisanya memilih ‘Cum Inside’. Pria itu pastilah Pak Simin, pejantan tertua. Pandangan kabur, benar-benar gelap, tak tahan dengan seks 4 lawan 1 ini. Tapi sesuatu membuat mataku terbelalak. Asep, pemuda bertubuh kurus bagai drug user itu, menggesek liang anusku dengan kepala penis. Aku sudah tau apa yang di-inginkannya, ANAL SEX !.
(Oh Shit !!), keluhku tak berdaya, lemas tak bertenaga.
Pemuda itu meludah di sana, menusuk-nusuk dengan jarinya. Aku berontak dengan sisa tenaga yang ada. Namun sebuah tamparan keras mendarat di pipi pantat, aku mengaduh dan berhenti melawan. Asep tertawa senang melihat itu, dia mengganti jarinya dengan penis. Mati-matian Asep mendorong masuk, anusku mengunci, tak rela kemasukan benda asing yang berbentuk buruk seperti pemiliknya. Karena terus dipaksa, pantatku menyerah jua.
Jreebb !!, aku mengerang sakit, Asep melenguh enak.
“Ngehek, seret banget nih pantat Hhgghh…gilaakh…Hiiih !!” geram Asep, meneruskan dobrakkan ‘pintu belakang’. Aku memekik bagai serigala terkena jebakan.
(Sakit !! bohong kalo ada yang bilang Anal enak, sakit sekali !), keluhku.
Asep menarik batangnya lalu meludah di pangkal, kemudian disodoknya masuk kembali seketika hingga aku menjerit. Dia menggunakan tehnik tarik ulur dan mengulang cara itu berkali-kali. Lama kelamaan, sakit yang mendera berkurang, walaupun tidak sepenuhnya hilang. Untung Asep tidak berlama-lama, tampaknya dia tak tahan dengan sempit dan hangatnya. Dia menembaki anusku dengan mani, banyak sekali kurasa. Akhirnya dia menghela nafas dan menarik keluar penis, selesailah penderitaan birahi. Tubuhku kini mengkilat, baik oleh peluh maupun sperma. Kali ini aku sudah benar-benar tak tahan ingin pingsan. Betul saja, mataku gelap, aku tertidur. Sebelum terlelap tadi, aku sempat mendengar Asep berkata.
“Pantat paling enak yang pernah ada !” komentarnya, disambut gelak tawa semua pria bajingan disitu.
=====================================
Mataku perlahan terbuka, kutemukan diri masih bugil. Sisa-sisa sperma membekas pada wajah dan sekujur tubuh, di beberapa tempat bekas cupangan terlihat merah. Entah pergi kemana 4 penjahat kelamin itu. Aku mencari jam dinding untuk mengetahui waktu, kudapati jam menunjuk pukul 3 sore. Kupandang sekeliling, hening tanpa suara. Deg !!, jantung serasa berhenti, melihat di lantai banyak pakaian berceceran, bukan saja punyaku dan ke-4 pria itu. Ada 2 celana panjang jeans, 2 tank top, 3 Bra, 2 CD hitam, 1 celdam bernuansa kartun, 3 tas, 3 pasang sepatu dan 1 stel seragam sekolah. (Manda, Lea dan Sherry-kah ? bagaimana mereka bisa ada disini ?), hatiku bertanya.
———————————————————————–
Menurut perkiraanku dan cerita ke-3 sahabat kusimpukan :
Disaat aku masih pingsan, Pak Hasan minta dicarikan Hp-ku yang kemudian diambilkan Bang Jaja. Dia memang tau dan pernah melihat Hp-ku seperti apa.
Pak Hasan mencari no. telp Sherry, Manda dan Lea. Kemudian menelpon mereka dengan ancaman seputar vcd, juga bagaimana keadaanku dirumah.
Manda, Lea dan Sherry terpaksa datang, apalagi ingin tau kondisiku.
Sesampainya semua di rumahku, mereka diizinkan melihatku.
Setelah itu pula, satu persatu ditelanjangi dan digarap bersama-sama.
Para bandot rupanya menghendaki sebuah pesta sex, dimana kami…4 gadis belia cantik jelita sebagai objek pemuasnya.
———————————————————————–
Setelah mengira-ngira demikian, aku segera ke kamar mandi. Kunyalakan shower untuk mengisi bath tub, bersikan tubuh dari noda-noda hina yang membekas. Dalam hati, aku marah dan sedih diperkosa seperti itu. Apalagi kedua pembantuku, bukannya menolong majikan malah meramaikan. Sehabis mandi, kepenatan tubuh hilang. Kuraih kimono putih tanpa mengenakan apa-apa dibaliknya. Baru saja membuka pintu hendak keluar, Pak Hasan sudah berdiri menunggu disitu. Dia tidak sabar menunggu kehadiranku pasti.
“Mau apa Pak ?!” tanyaku ketus.
“Ya memek Non-lah huehehe” jawabnya asal cengengesan, aku langsung cemberut.
“Temen-temenku dimana ?”.
“Di belakang lagi pada ngentot…yuk kita juga kesana, Bapak udah lama nungguin Non” ajaknya, menarik lenganku untuk bergabung dalam pesta sex sepihak.
“Ini dibuka aja Non, semua telanjang kok !” aku hanya bisa memasang muka galak tanpa bisa berbuat apa-apa, ketika handuk..satu-satunya penutup tubuhku dilucutinya.
Pak Hasan menggiringku ke kolam renang. Sepanjang jalan, tangannya menjamah tiap senti kulit tubuh, mulut tak pernah berhenti menciumi pipi, lengan juga leher. Tentu aku mendesah sepanjang jalan kenangan. Sesampainya kami, terlihat pemandangan yang membuat darah bergolak. Di tepi kolam, Manda rebah dengan kaki mengangkang, Bang Jaja asyik menjilat disana. Sherry di kursi santai panjang, wajah Pak Simin membenam di vagina. Di dalam air Asep berdiri, dia menciumi pantat Lea yang sedang telungkup di pinggir kolam. Aku marah namun horny melihat semua. Tanpa sadar, kustimulasi vagina dengan jari, lupa ada kuli di sisi yang matanya tak pernah lepas dariku.
“Puasin pake kontol aja Non !”, aku tersentak kaget, langsung kuhentikan masturbasi.
“Wuah, memeknya ngiler…” ejek Pak Hasan, melihat vaginaku becek. Dia membungkuk, menangkup pantatku lalu…Sshhrrrrrrpph !!.
Aku yang pada dasarnya penganut seks bebas, dalam keadaan horny pula, takluk dan menikmatinya. Desahan kerasku, menambah suasana kolam kian gaduh. Pak Hasan menyorongkan wajah hingga aku terdorong. Kuarahkan diri ke kursi sebelah Sherry yang juga sedang menggelinjang, karena memeknya dilumat Pak Simin. Aku menjatuhkan diri dan berbaring, mulut Pak Hasan terus mengikuti kemana vaginaku berada.
“Eh Non Nia, udah bangun toh !” sapa Pak Simin, sedetik kemudian balik ke hobby-nya, jilmek. Sherry hanya mampu melirik sayu, tanpa dapat berkata sepatah kata. Lagi-lagi aku bersalah padanya, tambahan kali ini Manda dan Lea.
Sherry menjambak Pak Simin kuat-kuat. Kedua kakinya mengepak-ngepak di udara, Pak Simin tertawa sinting melihat itu. Betapa beruntungnya dia, bebas sesuka hati mempermainkan memek Adik kelas-ku yang jadi incaran banyak cowok. Pak Hasan bergerak menindihku, begitu juga Pak Simin. Mereka berdua naik turun bagai ulekan yang menumbuk bumbu masak. Desahanku dan Sherry sahut-sahutan, kedua kaki melingkari pinggang pejantan. Kujambak Pak Hasan, menyambut ketika dia memagutku. Kursi kolam kreyat-kreyot sebagai gambaran buasnya nafsu.
================================================
Di kolam dangkal, kulihat Lea nungging, dimana Asep meraja di belakangnya, entah mereka straight atau Anal. Awal gerakan lembut, namun lama-lama bertambah kencang dan kasar, sampai air disekitarnya beriak. Di tepi kolam, Manda memacu tubuhnya diatas Bang Jaja yang berbaring santai serasa ditepi pantai. Langit kuning keemasan memantulkan warnanya ke tubuh yang mengkilat terbasuh air, menjadikan suasana erotis.
“AAH…AAAHH…AAAAHHH…AAAAAHHHH !!” desah kami membahana.
Kecrotan demi kecrotan diterima, kami terus bertukar pasangan, mata mulai samar memandang. Kulirik ke-3 sahabatku juga sudah kepayahan. Keadaan kami tak jauh beda, aku pun tak sadarkan diri kemudian. Langit gelap saat aku bangun diguyur air, sahabatku satu per satu menyusul siuman dengan cara yang sama. Kami dipapah ke dalam, diperintah untuk membersihkan diri. Selesai mandi, Asep pergi keluar membeli nasi goreng, usai makan digarap lagi. Curangnya, disaat mencapai batas stamina, mereka menenggak seplement, sedangkan kondisi kami tak diperhatikan. Pesta seks selesai kira-kira jam 10, Sherry dan yang lain memaksa pulang. Pak Hasan akhirnya mengizinkan, dengan catatan, sampai mbok Siti atau orang tuaku pulang harus setor badan. Pak Hasan terpaksa pulang agar Udin, Jamal dan Ronny tidak curiga. Mereka tak ada niatan mengajak, jatah bisa berkurang hematnya. Bang Jaja mau tidak mau juga harus pulang, sebab Istrinya akan datang mencari jika dia tidak pulang. Sedangkan aku masih harus lanjut dikerjai Pak Simin, sampai tidur seranjang di spring bed-ku bagai pengantin baru. Kejadian itu berulang setiap hari, dari pagi hingga malam. Aku dijatahkan pagi, Manda dan Lea siang, Sherry petang. Malamnya, diundi salah satu diantara kami. Walau tak tertutup kemungkinan yang lolos juga dipaksa ‘sumbang tenaga’.
=============================
Sunday, November 20th, 2008.
Paginya, aku minta izin kebaktian. Biasanya aku menyetir sendiri, tapi Bang Jaja maksa menyupirkan. Takut aku kabur, melaporkan atau hal-hal lain yang membuat mereka akan hilang kesempatan menggauliku. Padahal sudah kutekankan berulang kali, bahwa mereka memiliki suatu hal yang penting, berhubungan dengan nama baik. Aku tiba kira-kira jam 8, setelah melakukan ibadah, barulah aku pulang. Beberapa teman mengajak hang out, aku segera beralasan sedang menunggu rumah, sebenarnya sih jadi budak seks. Di sepanjang perjalanan, baik itu berangkat atau pulang, jari Bang Jaja selalu menjajah sekujur tubuhku. Sesampai di rumah, aku disuruh memakai pakaian seksi. Kupakai saja baju cheers, atasannya biru muda dan bawahan rok putih, tentu saja tidak boleh memakai dalaman. Kukuncir rambut agar tidak gerah. Tiba di bawah, ke-4 penjahat kelamin itu berdecak kagum. Warna dari pakaian yang kupakai, sangat kontras dengan warna kulit. Aku menunggu yang lain sambil digerayang. Kesialanku bertambah, menerima telp dari Papi bahwa beliau ada urusan yang belum selesai, jadi harus tinggal seminggu lagi.
(Aduuh, Mbok Siti ‘ga ada khabar…Papi batal pulang, gimana nih ?!), keluhku.
Tak lama sesudah itu, ketiga sahabatku datang satu persatu. Melihatku sudah seksi siap dibantai, mereka juga berganti pakaian. Mimik para bandot langsung sange abis melihat mangsa-mangsanya tampil mengundang, siap dipakai habis-habisan. Seharian, kerja kami hanya seks seks dan seks, bagaimana melayani mereka agar muncrat hingga puas. Aku sampai tidak tau penis siapa yang masuk vagina, berapa kali orgasme. Pokoknya kami hanya mengerang, dibolak-balik kesana kemari. Hari demi hari, penderitaan birahi itu kami alami. Hingga suatu ketika….
============================
Thursday, November 24th, 2008.
Pukul 2.00 Siang…
Ting Nong !, bel rumah berbunyi.
“Non Sherry…memek Non Sherryy…memek Non Sherryyyy”, Pak Simin berlari menuju pintu, dia sudah lapar birahi sedari tadi.
Anehnya, lama sekali mereka di luar, apa Pak Simin langsung sodok di kebun pikirku. Saat itu aku sedang meng-oral Pak Hasan, Manda juga Lea lagi dikerjai Bang Jaja dan Asep. Lebih aneh lagi, Sherry masuk ke dalam sendirian.
“Lhoo, Pak Karsimin kemana Non ?” tanya Bang Jaja turut merasa aneh.
Tambahan, keadaan Sherry masih utuh, tak seperti biasanya dengan pakaian acak-acakan dan rambut awut-awutan. Bukannya menjawab, Sherry malah tersenyum penuh misteri, dia lantas mengeluarkan ultimatum.
“Pak Hasan, mulai detik ini…Sherry ‘ga ikut lagi acara jahanam ini !”, mataku terbelalak kaget, kami serentak stop aktivitas seks.
Sherry yang termuda, lembut dan paling rapuh diantara kami, berubah 180 derajat. Berani sekali menyatakan hal tersebut, apakah dia sudah lelah akan semua perbudakan ini ? atau lupa dengan vcd berisi aib yang dipegang Pak Hasan? Pak Hasan melepaskanku, dia melangkah menuju pakaian yang berserakan di lantai. Dia meraih sesuatu dari salah satu kantung, lalu mengeluarkan benda itu yang tentunya vcd rekaman kami.
“Yakin Non ? mau ini saya sebar ?” ancamnya, menggoyang benda tersebut di jari.
“Jangan Pak…Sher ada apa sih, ‘ko lu jadi gitu ?!”, aku memarahinya karena panik.
“SEMUA…SEKARANG !!!”, tiba-tiba Sherry berteriak.
BRAKK !!, seseorang menendang keras pintu, terlihat ada 4 orang berpakaian hitam dan mengenakan topeng seperti maling di baliknya. Aku, Manda dan Lea yang masih bugil, spontan menjerit menutupi tubuh sekedarnya. Lalu mencari tempat bersembunyi setelah memungut pakaian. Ke-4 orang itu lari masuk secepat kilat, Pak Hasan..Asep dan Bang Jaja yang masih bingung siapa mereka, tidak siap menerima tamu tak diundang tersebut, yang sepertinya mengajak main kasar.
BAK BUG, DUAAK !!, pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan beruntun ke arah Pak Hasan cs. Vcd yang dipegang Pak Hasan jatuh ke lantai, diambil Sherry secepat mungkin, lalu ikut sembunyi bersama untuk nonton pergulatan. Pak Hasan mengadakan perlawanan, badan memang sama besar, tapi tentu kalah dalam jumlah. Ditambah, ke-4 pahlawan bertopeng itu pandai berkelahi.
“Siapa lo pada ? apa urusa.AGH !”, sebuah bogem mentah mendarat di wajah Pak Hasan, nampak ke-4 pria bertopeng tak mau banyak bicara, terus melancarkan serangan bertubi-tubi.
Beberapa pukulan bisa dihindari, tapi sisanya diterima tubuh. Pak Hasan mencoba balas memukul, sayang terelakan atau ditepis mentah-mentah. Akhirnya, dari wajah..badan hingga kaki Pak Hasan cs dihajar sampai memar, ada seorang pria yang mengeluarkan ‘Bacagi’, membuat 1 per 1 penjahat kelamin terjerembab.
“Ampun Bang…ampun !!” Asep mengiba. Pemuda bertubuh kurus itu tentu menyerah terlebih dahulu. Baru Pak Hasan, menyusul Bang Jaja setelah itu mengibarkan bendera putih.
“HEH, AWAS KALO LO PADA BERANI GANGGU CEWE-CEWE ITU LAGI..GUE PATAHIN TUH KAKI, NGERTI ?!” bentak salah seorang pria bertopeng tersebut.
“Nge-ngerti Bang ngerti…ampun !!” kata Bang Jaja, wajah Asep dan Pak Hasan yang babak belur ikut mengangguk.
(Sepertinya kenal suara itu…?), batinku.
“Minta ampun sama Tuhan !! sama gue minta maaf…bukan sama gue juga denk, sama ke-4t cewek yang elo perkaos…NON NIA, NON SHERRY…KELUAR AJA, SUDAH AMAN TERKENDALI !!” teriak salah seorang pria bertopeng tersebut.
(Kok tau nama gue sih ??), pikirku lagi.
Sherry lebih dahulu bangkit. Aku, Manda dan Lea mengikutinya berjalan ke arah tempat pergulatan yang kini telah reda setelah kembali berpakaian.
“Nah ayoo, minta maaf sama mereka !!” suruh pria itu lagi.
“Maafin kita Non…”, Bang Jaja buka suara, yang lain hanya menyahut ‘iya’.
“UDAH GITU DOANG ?! JANJI DOONG, KALO LO SEMUA ENGGA BAKALAN NGULANG LAGI PERBUATAN LO INI !!” bentak seorang pria bertopeng yang lain.
“I-iya…Iya Non, kita janji engga bakal kaya gini lagi !” kata Bang Jaja.
“Elo mana suaranya, HAH ?!”.
“I-iya Non…saya juga !”, Pak Hasan angkat bicara setelah ditegur.
“Bagus…kalo begitu, lo angkat kaki semua sekarang…buat yang kuli, lo terusin lagi setelah orang tua Non Nia pulang…NGERTI !!”.
Pak Hasan dan Asep mengangguk, mereka bertiga pulang dengan langkah terseok-seok. Pasti dikarenakan sakit yang mendera. Dalam hatiku lega sekali karena permasalahan selesai. Kami bertiga memandang penuh tanda tanya, siapa ke-4 pria yang membantu kami. Sherry tersenyum melihat wajah bingungku, lalu berkata…
“Surpriiise…”, bersamaan topeng dibuka, ternyata ke-4 penjaga sekolah.
(Thank God…), aku tersenyum ke arah mereka, begitu juga Manda dan Lea.
Sesudah itu, kami semua menghampiri Pak Simin. Rupanya dia diringkus dan diikat di kebun. Wajah Pak Simin ketakutan melihat kami semua. Setelah ikatan dilepas, Tejo membentaknya.
“HEH TUA BANGKA…UDAH PEOT MASIH DOYAN MEMEK, CARI PAHALA !! MALAH CARI PAHA !!” sindir Tejo dengan suara keras, kami semua tertawa.
Aku kasihan juga melihatnya, salah sendiri sih tua-tua keladi. Untung tidak dihajar Tejo dkk, mengingat dia sudah renta. Setelah berpakaian, Pak Simin juga meminta maaf pada kami semua.
“Iya Pak kita maafin…tapi engga nolak khan, kalo dikasih yang beginian ?” goda Lea, mengangkat rok abu-abu Sherry hingga terlihat celana dalam bernuansa kartunnya.
“Ih Kak Lea…” Sherry menepis tangan Lea dan menutup pemandangan yang sempat ditatap nanar Pak Simin sesaat.
“Alah, apalagi yang lo maluin…bukannya memek lo sama memek Nia sering dikunyah dia !” ujar Lea, aku dan Sherry tersipu malu karena hal itu benar. Diantara kami ber-4, memang Pak Simin lebih mengincar aku atau Sherry.
“Wih gila ni Kakek…tua-tua masih gagah, KONTOLNYA NGACENG OY !” ujar Lodi, melihat sarung Pak Simin menggembung di bagian selangkangan, buah dari melihat paha mulus dan celdam Sherry.
“Tuh kan, apa gue bilang…MUKA MEMEEK, MUKA MEMEEK!” ejek Lea, Pak Simin yang malu ditertawakan, berlalu meninggalkan kami menuju kamar.
Semua pamit setelah bersepakat untuk memberi pelayanan seks kepada para penolong setiap weekend. Walaupun mereka tidak meminta, mereka bilang senang bisa membantu. Tapi itulah janji kami, sebagai hadiah atas pertolongan yang mereka berikan. Hari itu dimulai sabtu 26 November , dimana telah kuceritakan sebelumnya di bagian 1. Karena hanya Sherry yang tidak bawa mobil, aku mengantarkannya sampai ke rumah. Di perjalanan, kami berbincang sedikit.
“Gimana ceritanya Sher, itu satpam sampe ikut andil ?” tanyaku.
Sherry pun bercerita tentang detail-nya, aku mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut dengan penuh ketegangan. Jadi jelasnya…
===============================
Tuesday, November 15th, 2008.
Teng ! teng ! teng !, bel sekolah berdentang. Sherry berlari keluar kelas, mendekati pintu gerbang, seorang satpam tampak berdiri melihat Adik kelasku itu. Si satpam menangkap pergelangan tangannya, dan terjadilah perbincangan singkat diantara mereka.
“Non Sherry, ginian yuk ?” ajak satpam tersebut, menunjukkan jempol terjepit jari tengah dan telunjuk ke wajah Sherry persis.
“Anu Pak…aku lagi dapet (haid) nih, maaf ya” sahut Sherry, langsung berlalu pergi.
Wajah satpam itu terlihat kecewa, setidaknya terpaksa ‘puasa’ beberapa hari kedepan.
===============================
Tuesday, December 22th, 2008.
Noon, @ the School…
===============================
Seorang satpam mendekati Sherry yang sedang menunggu temannya pipis, wajah pria itu sudah demikian pengen. Sherry tegang dan pura-pura memijit no di HP agar tidak terlihat nervous, ia tentu tau apa maksud dan yang diinginkan si satpam.
“Non Sherry, kok akhir-akhir ini pulangnya cepet bener sih ?” tanya satpam itu.
“Anu Pak…aku lagi banyak urusan, maaf ya…” sahut Sherry sekenanya, lalu kembali berakting sibuk dengan HP.
“Gituan yuk Non bentar…”, pria itu berusaha mendapatkan akses memek.
“Mm…aku buru-buru Pak, udah ditunggu Papah Mamah di depan !” kilah Sherry
“Ah Non Sherry ada aja alesannya, minggu kemarin saya udah sabar karena katanya Non lagi dateng bulan…ini udah seminggu, haid kan 3-7 hari, 1-2 hari setelahnya masih kotor saya bisa ngerti, sekarang ko’ engga bisa lagi, gimana sih ?” ujar si satpam panjang lebar, bernada marah.
Tiba-tiba pintu toilet terbuka, teman cherrs Sherry, Yvonne keluar dari situ. Dia melihat Sherry disudutkan satpam yang dikenalnya bernama Tejo. Namun kemudian, Sherry menarik lengannya, lari dan berteriak.
“Lain kali aja ya Pak !”. Wajah Yvonne terlihat bingung, apa maksud sahabatnya.
“Apaan sih Sher, yang lain kali ?”, Yvonne penasaran.
“Engga anuu, dia minta no. HP gue…” kilah Sherry terpaksa berbohong lagi.
“Oh, ciee…yang punya gebetan baru hihihi…” goda Yvonne.
“Yee, enggalah yau…masa satpam gebetan, engga level-lah…” ujar Sherry tersenyum, digoda salah seorang sahabatnya. Padahal hati mengakui sering disetubuhi Tejo dkk.
Tejo memandang punggung Sherry dari kejauhan, hingga hilang dari pandangan. Sudah lama Sherry absen melayani syahwatnya. Dia menggebrak pintu WC seperti orang stress, kesal bukan main. Tentu ketiga rekannya pun juga.
======================
Evening, @ My home…
=======================
Ting Nong !!, bel rumahku berbunyi.
“Siapa tuh !!” teriak Pak Hasan, yang sedang asyik menggumuliku di sofa panjang.
“Pak Simiiin…tolong diliat keluar !!” suruh Pak Hasan.
“Yaaa…sabaarh…nanggunghhg !” sahut Pak Simin, keluar ruangan dengan memeluk Manda dari belakang. Berarti tadi mereka sedang doggy style, yang kurang ajarnya mereka lakukan di kamar orang tua-ku. Pak Simin mendorong pungung Manda hingga nungging 90 derajat. Pak Simin memang tergila-gila dengan posisi itu, tak heran Manda terpental-pental. Hanya 2 menit berjalan, dia menggeram, tubuh rentanya bergetar hebat. Manda yang penuh oleh peluh ambruk di tempat, dilepas bagai barang yang sudah usang, dasar kurang ajar. Wajah Pak Simin puas melihat kondisi Manda, porak poranda dipecundanginya.
“Memek awewe disini legit semua yak…enak, bikin ketagihan” celoteh si tua itu.
Teringat apa yang disuruh Pak Hasan, dia langsung berlari masuk ke kamar orang tua-ku. Cepat-cepat turun menuju pintu gerbang setelah berpakaian, untuk mengetahui siapa yang datang. Kira-kira 5 menitan Pak Simin balik ke dalam. Pak Hasan berhenti menggenjotku yang lagi terlentang telanjang.
“Siapa Pak ?” tanya Pak Hasan.
“Anuu, sodara Mbok Siti…Non Nia, ada berita duka cita…kata laki-laki tadi, Bus yang ditumpangi Mbok Siti dan Kakaknya terbalik di jalan Tol…baru bisa kasih kabar, karena keluarga jadi 3 yang meninggal !” jelas Pak Simin.
(Oooh Mbok Siti, dia merupakan Ibu kedua bagiku…sekaligus teman), air mata tumpah tanpa bisa kutahan.
Melihat kesedihanku, penis Pak Hasan mengecil dengan sendirinya. Ia meninggalkanku pergi, begitu juga Pak Simin. Walaupun penjahat kelamin, ternyata masih punya sedikit nurani. Hari itu, aku ‘bebas tugas’ sebagai pemuas nafsu bejat mereka.
=====================
Night, @ the School…
=====================
“Jo, Non Sherry ada apa ya…kok jadi berubah ? apa kita tanyain Non Nia ?” tanya Lodi, salah seorang penjaga sekolah juga.
“Iya tuh gue juga engga tau…tapi jangan bawa-bawa Non Nia, dia kan udah engga disini lagi” sahut Tejo.
“Terus gimana ?”.
“Ya liat aja besok, pokoknya Non Sherry harus kasih penjelasan…kalo perlu paksa !” kata Tejo. Mereka kembali bermain catur, diselingi seteguk dua teguk hangatnya kopi robusta.
===============================
Wednesday, December 23th, 2008.
“Guys, gue duluan yaa…”, Sherry berpamitan pada kelima sahabatnya.
“Ok deh Princess…buru-buru amir, udah ‘ga tahan ya ketemu yayang hihi” ledek Kezia, salah seorang sahabat Sherry, yang lain ikut menggoda ‘cie..cie..cieee’ ^o^.
“Engga-lah” sahut Sherry singkat, senyum manis dan lesung pipit di pipi, menutupi galaunya hati.
Sherry melangkahkan kaki, menyimpan masalah di hati, menuju penderitaan birahi. Yang ia dan aku inginkan, pastilah berlari meninggalkan masalah, sayang keberuntungan belum berpihak.
But the things will gonna change…soon.
“Misi Pak, aku mau pulang !” pinta Sherry, melihat Tejo dkk membentuk barricade untuk menghalangi langkah kepulangannya.
“Non Sherry, kami menuntut penjelasan !!” ujar Tejo, mewakili semua.
Sherry diam sejenak, membisu seribu bahasa. Tak tahan lagi akan tekanan, mulut pun menguraikan permasalahan. Begitulah kira-kira yang diutarakan kusimpulkan, sebuah belenggu kehidupan.
================================
Friday, November 25th, 2008.
Paginya, aku dikejutkan oleh pengunduran diri Bang Jaja. Dia minta dikhabari jika Papi pulang dari Swedia, karena ingin menyampaikan hal ini secara langsung tanpa perantara. Kucoba membujuk, namun tak bergeming. Pasti Bang Jaja masih merasa tak enak dengan kejadian di antara kami, kumaklumi hal itu. Bang Jaja menemui Pak Simin hendak pamit. Kuintip mereka, perbincangannya cukup lama. Setelah Bang Jaja keluar gerbang, Pak Simin banyak melamun dan sering menghindariku, aku serba salah. Sesuai dugaan, siangnya Pak Simin mengutarakan ingin berhenti juga.
“Pak Simin jahat ! mau ninggalin Nia ! pantesan jauhin aku mulu !” kataku ketus, pipiku berlinang air mata, dia panik melihatku.
“Aduh, jangan nangis dong Non !” katanya, sambil menyeka air mataku. Diusap-usapnya punggungku agar aku lebih tenang.
“Bapak jangan berhenti kerja ya…aku udah kehilangan Bang Jaja, masa harus kehilangan Pak Simin juga, sepi dong disinii…” ujarku manja.
“Yaa, gimana…ya udah Non jangan nangis lagi dong, Bapak ‘ga sanggup ngeliatnya !”, dibelainya sayang rambut hitam kemerahanku.
Jika dipikir-pikir, aku ini sedikit tomboy. Namun sedih ditinggal pria berumur, statusnya tukang kebun pula. What !!, apa-apaan ?, Mulutku bisa berdalih seperti itu, pikiranku bisa berkata aku sudah gila, namun hati jujur apa adanya. Air mata sebagai bukti, pipi menjadi saksi. Kuteruskan lagi, jadi…apakah ini Cinta ?, konflik itu berseteru dalam hati. Karena mau jalan, kubilang padanya pikir-pikir dulu, nanti dibicarakan lagi. Aku ke toko kue, order untuk besok ultah. Diperjalanan aku termenung, sangat kurindukan masa-masa sebelum tragedi, dimana aku menggoda Pak Simin gayung bersambut.
(Oya betul juga, aku harus menggoda !), ideku, segera kuraih HP.
‘Halo Sher…lagi ngaps ?’.
‘Eh Kak Nia, lagi nongkrong aja sama temen-temen di warung depan…ada apa Kak ?’
‘Mm, lo ada acara lagi ‘gak ?’.
‘Engga sih kayanya, ada apa emang ?’.
‘Anuu, gini… lo inget Bang Jaja khan ?’.
‘Ya ingetlah…terus ?’.
‘Nah…dia kemarin bilang mau berhenti kerja !’.
‘Lhoo, kenapa…? bukannya kita udah ngelupain masalah itu ?!’.
‘Makanya…gue juga engga setuju, cuma dia bersikeras…jadi ya udah…’.
‘Umm terus, apa hubungannya sama aku ada acara apa engga ?’.
‘Gini…’, aku pun menjelaskan rencana-rencana di kepala yang telah kususun matang mengenai Pak Simin.
‘Gila lo Kak !’ komentar Sherry kemudian tertawa, aku tersenyum mendengar reaksi positifnya, dia setuju.
‘Ya udah, pulang school gw jemput loe ya !’ kataku menutup pembicaraan dan melaju ke sekolah.
Sherry melambaikan tangan, pamit pada teman-temannya setelah melihat mobil-ku. Dia minta diantar ke rumahnya dulu, menyiapkan seragam untuk besok karena malamnya nginap di rumahku, sekalian minta izin orang tua. Kami Lunch diluar sambil membicarakan misi. Saat hari menjelang sore, barulah pulang. Mampir ke toko kue untuk mengambil Black Forest yang kupesan pagi tadi. Tiba di rumah waktu telah menginjak senja, dimana Pak Simin sedang menyiram tanaman di kebun.
Din Diin !!, kuklakson mobil, si tua itu bergegas menuju pintu gerbang.
Setelah kuparkir kendaraan, pintu gerbang ditutup. Pak Simin nampak nervous melihatku pulang bersama Sherry.
“Pak mau kemana ? ini tolong bawa kue dulu !” suruhku, menunjuk jok belakang mobil. Dia menjalani apa yang kuperintah, tanpa menatapku maupun Sherry.
“Tolong ditaruh di meja makan ya, sama siapin pisau kue dan piring kecil tiga !” kataku, langkah Pak Simin terhenti mendengar piring tiga, yang berarti mengajaknya serta untuk santap kue bersama.
Kukunci pintu mobil dan menggandeng Sherry ke dalam, meninggalkannya di halaman dalam keraguan. Mau tak mau dia melakukan apa yang kusuruh, kami cepat-cepat ganti pakaian serta menyiapkan beberapa bahan sesuai rencana. Baju basket merah, dipadu celana pendek putih ketat. Headband pink melingkar di kepala menambah pesona oleh sebab kontrasnya warna. Selesai berpakaian, turun mengendap-endap bagai maling, kue sudah ada di meja makan. Kumasukan ke kulkas karena disantap nanti. Kuintip kegiatan Pak Simin melalui jendela, dia sedang mencabut rumput. Kami keluar membawa bola basket, menuju lapangan mini persis samping kebun. Aku dan Sherry main sebentar. Kulirik dia mencuri-curi pandang ke arah paha. Kulempar bola agar tersangkut di sisi ring, tidak mudah memang, butuh usaha berkali-kali. Setelah berhasil, aku mengedipkan mata pada Sherry, sebagai kode rencana dimulai.
“Pak, bisa bantu sebentar ga ?” teriakku, dia tersentak, pasti berprasangka bahwa kami mau nakal (emang betul sih ^o^). Pak Simin datang memenuhi panggilan, walau belum berani mata bertemu mata.
“Ambilin bolanya doong !” pintaku manja, menunjuk ke arah ring.
“Susah Non, musti pake tangga kayanya”.
“Engga usah repot, ‘ga tinggi-tinggi amat kok…gini deh, Bapak jongkok !”.
“Hah !” reaksinya, dia semakin yakin bahwa kami bermaksud sesuatu.
“Ayo cepet !” kataku sok galak, Pak Simin pun merunduk perlahan.
“Sher, ayo naik ke atas Pak Simin !” perintahku.
“Ok, ok !”, Pak Simin menatap kami bergantian, tak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Jangan sampai jatuh ya Pak…”, Sherry berbisik manis.
Ia menaikkan paha kirinya ke bahu kiri Pak Simin, kaki Pak Simin yang jongkok terlihat gemetar bagai vibrator.
“Lho Pak, pegang sini dong biar engga jatuh !”, kutumpukkan tangannya di paha Sherry.
Pak Simin menelan ludah, saat menyentuh kemulusan paha. Sarung menggembung tanda konak, sukses besar rencana 1-ku. Sherry berpegangan di kepala, menaikkan lagi sebelah kakinya. Kubimbing tangan Pak Simin satunya ke pinggang agar terjaga keseimbangan. Tentu beberapa jari ‘nyasar’ ke pantat, yang kuyakini itu sengaja.
“Ayo Pak, hati-hati ya !” suruhku, dia pun berdiri.
Walaupun tua, dia pekerja kasar, hal itu bukanlah hal sulit. Sherry menepak bola yang tersangkut. Waktu Pak Simin menurunkannya, kulihat dia sempat mengelus paha dan meremas pantat (kesempatan dalam kesempitan). Bukan kembali ke kebun, Pak Simin malah membatu di tempat, memandangi body remaja Sherry.
“Oya Sher, Pak Simin katanya mau berhenti, sayang ya…padahal mau kita kasih itu yah” pancingku, si tua itu langsung lesu, menyesal dengan pengunduran dirinya.
“Yah sayang banget, padahal aku udah siapin memek wangi-wangi lhoo” tandas Sherry, membuat gelisah gundah ‘junior’ dengar perkataan itu.
“Sama dong !” sahutku menambah godaan.
“Sher, ngalap rambutan yuk ! kayanya udah pada merah deh…Pak, bantuin kita ya”, Pak Simin terdiam, dia pasti berpikir ‘mau apa lagi nih ?’ ^o^.
“Siapin tangga ya Pak !”, kutarik Sherry pergi, meninggalkannya sendiri.
Kami ke kamar ganti pakaian, turun ke bawah sebelum dia berubah pikiran, kecil sih kemungkinan. Berharap, godaan ini membuatnya tetap tinggal disini. Kulihat dia berdiri dekat pohon yang kumaksud, tangga kayu telah bersandar tersedia.
Tuing !, sarung Pak Simin membesar di selangkangan, melihat kami pakai rok mini. Buat ke ranjang sih oke, tapi mengalap buah ? plis deh ^o^.
“Jagain Nia ya Pak ?”.
“I-iya Non, glek !”.
“Bapak pegang dong tangganya, nanti Nia jatuh !” omelku manja, Sherry menahan tawa. Pak Simin berdiri tepat di bawah. Kunaiki anak tangga satu persatu, satu..dua..ti,
“HNNGKH !!”, Pak Simin melotot, melihat bagian bawah tubuhku polos tanpa dalaman, habis di santap mata laparnya.
Trek..tek..tek..tek !, tangga bergetar ulah tangan.
“Pak..Pak, Nia jatuh nih !”.
“Ma-ma-maaf Non…ce-cepet makanya”.
Liur Pak Simin menetes deras, dia sudah mupeng abis, ingin melumat vagina seperti yang sering dilakukannya. Sherry tertawa geli melihatnya, aku malah horny membayangkan si tua ini berlaku semaunya, lembab deh vagina jadi-na.
“AUWH !” aktingku, gambling dia sanggup menahan beban tubuhku atau tidak.
“Hup, Nonh !”, Pak Simin bernafas berat, tangannya menangkap tepat di bongkah pantat, beberapa jari ‘nyasar’ ke vagina.
(Emh…nikmatnyaa…), kugigit bibir bawah.
“Pak, Pak…ayo angkat !”, dia mendorongku, jarinya yang masuk memek ikut mendorong (kesempatan dalam kesempitan lagi) hingga tenggelam 2 buku-buku jari.
Waktu kembali berdiri di tangga, aku nekat menjatuhkan diri lagi ke arahnya, tentu tak masalah jatuh ke rumput. BLUG !”, Pak Simin tertindihku.
“AAAAAHH !!” aku mendesah, kepala Pak Simin tepat di selangkangan dan dia spontan menyedot setelah mendarat.
Aku bangkit berposisi doggy, Pak Simin menangkup pantat menahan kepergianku, mulut hitamnya terus menyeruput.
“Pak..Paakhh…AAGH…lepas.s.inh…Nia.AAAAAAANGHHH…Sssshh”.
Lidah Pak Simin menjelajah dalam, merogoh isi liang vagina. Tangannya meraba paha naik-turun-naik-turun, satunya meremas pantat.
“Sini Kak, aku bantu !” kata Sherry, sebelah tanganku ditariknya, satunya mendorong kepala yang bahagia membenam di vagina.
“Pak Ahh…janganh heh..heh…apa sihh heh..heh” omelku dengan nafas terengah-engah mutlak terangsang, putingku meruncing.
Aku berdiri tepat di atas Pak Simin yang masih tiduran di kebun, Sherry ada di depanku persis. Jadi secara sengaja, kami berdua memamerkan vagina. Pak Simin mengelus betis kami, matanya silih berganti memandang.
“Non, mau ituu…itu jugaa”, Pak Simin menunjuk vaginaku dan vagina Sherry, merengek seperti anak kecil minta boneka.
“Bapak mau ini ?” tanyaku, mengangkat rok dan merentang bibir vagina, Sherry fotocopy apa yang kulakukan, lalu tersenyum semanis mungkin.
“Mau Non, Leeh…”, dia bangun dengan lidah terjulur, hendak memangsa milikku.
“Eiit, enak ajah !”, aku mengelak.
“Katanya Bapak mau berhenti…udah berhenti sana !” kataku ketus, wajah Pak Simin terlihat mupeng tak sampai.
Aku tak tega sebenarnya, ingin hati membiarkan si tua ini berbuat semaunya pada tubuh mudaku. Tapi apa boleh buat, aku ingin memberinya pelajaran dulu. Yang pasti, rencana nakal tahap 2-ku accomplish.
“Yuk Sher…”.
“Dah Pak Simiiin…”, goda Sherry melambaikan tangan.
Kami meninggalkannya di kebun, kuintip dari jendela kamar atas dia sedang melamun duduk bersila. Rencana tahap 3 kumulai, aku dan Sherry naked. Menutup tubuh telanjang dengan handuk, kubuka jendela dan berteriak.
“Pak Simiin, tolong aku Pak !”, kupasang wajah panik, dia menoleh, bangkit lalu lari ke dalam. Kami berdua langsung toss five dan tertawa jahat, membayangkan rencana berikutnya.
Ceklek !, pintu terbuka, wajah kami seakan terjadi sesuatu.
“Ada apa toh…Noon ?”, Pak Simin kaget melihat kami ber-handuk ria.
“Paak, ada kecoa masuk sinii…Nia takut, ambiliin !” kataku manja, menunjuk ke dada.
“Disituu…” sahutnya bernada tinggi.
“Iya Pak, cepet Aa-ah…”, aku menepuk-nepuk lengannya.
“Gi-gimana ambilnya Non ?”.
“Ya gimana kek, cepe-et !”, Pak Simin mau mau malu, ia beranikan diri merogoh, sarung kembali menggembung. Pertama-tama hanya dipermukaan, lama kelamaan berani menyentil puting, bahkan sengaja meremas. Sekiranya cukup, aku mulai dengan yang lebih nakal.
“Engga ada ya Pak ?”, Pak Simin ‘eh-oh’, keasyikan menggerayang sampai lupa tujuan awal, dikasih hati minta meki.
“Perasaan tadi ada deh”, dengan sengaja handuk kulepas jatuh ke lantai.
“HAIIIIHH !”, Pak Simin terbelalak, biarpun sudah merasakan tubuh ini, tetap saja (laki-laki gitu loh).
“Jangan-jangan di handuk aku lagi Kak” ujar Sherry ikut memasang wajah lugu.
“Ya udah, buka dong biar ketahuan !” suruhku ringan, seperti tidak terjadi sesuatu. Jelas-jelas bugil di depan laki-laki, keriput pula ^o^.
Dengan santai Sherry melepas lepitan, bugil ria bersamaku. Kepala Pak Simin lenggak-lenggok kiri dan kanan, menonton pornonya aksi kami. Pasti dia ingin sekali menomplok tubuh kami.
“Ko’ engga ada ya Sher ?” tanyaku dengan wajah polos, jari membuka lebar bibir vagina.
“Iya-ya Kak…”, Sherry turut memamerkan liang.
Wajah Pak Simin stress, dia meremas-remas sarungnya sendiri seperti orang gila. Takut dia bakal nekat, aku segera mengambil langkah pencegahan berikut.
“Pak, tolong buatin sirup dong !” suruhku, mengenakan handuk kembali, pupuslah harapan untuk menggauli.
Dia tidak menyahut, hanya mengangguk dan pergi. Kami toss karena misi berhasil lagi. Kuputar lagu TATU ‘you’re not gonna get us’, untuk mempertegas kemenangan. Sekarang, bagaimana cara buat dia mengemis cinta, memohon akan kenikmatan surga, kami beri hanya karena iba. Aku mencari akal sambil ngemil, Sherry mengikir kuku kaki. Lama menunggu, Pak Simin tak kunjung tiba, kusuruh Sherry ke bawah. Pikirku, pasti dia kapok mendekati kami, hanya bisa lihat tak boleh entot. Sudah 5 menit, Sherry juga tidak balik-balik.
(Ada apakah gerangan ?), pikirku.
Terpaksa kususul turun, terus ke ruang tengah, tak jua kutemukan. Malah suara desahan sayup-sayup terdengar di ruang makan. Betul saja, kulihat Sherry sedang didoggy disana. Sirup yang kupesan memang sudah jadi, gelas itu bergoyang seirama sodokan. Rupanya Pak Simin sengaja menjebak, siapapun yang turun akan kena entot.
(Yee, si Sherry nyuri Start…gimana sih ?), keluhku.
“Kak Niaa…eMmh…maaf Kak…dul..u.anh Aaaaahh !”.
Aku tidak menyahut, adegan itu buatku horny cepat, kustimulasi vagina dengan jari. Sodokan itu over dalam, Sherry mengerang ditiap sentakan.
Pak Simin tiba-tiba berhenti, dia mengangkat pangkal paha Sherry, jadi Sherry kini tidak lagi memijak lantai. Jika dilihat, Sherry seperti gerobak minyak tanah dan Pak Simin abang-abang penjualnya.
“GODAIN BAPAK, HEH…BERANI LAGI, GODAIN NIH…HIIH !!”.
Tubuh mungil Sherry yang melayang terpental-pental, begitu birahi Pak Simin. Sherry pasrah digeluti, ia di dorong hingga terpaksa bertumpu di atas meja bundar tebal itu. Pak Simin sendiri naik ke atas bangku, sodokan maut pun berlanjut.
“AMPUN PAAKH…ENGGA LAGIII…JANJIII…ENGGA.AAAAAAAAHHH !!” iba Sherry di sela desahan, tangannya menghempas semua perangkat makan di meja.
Dari sendok, garpu..pisau bahkan piring jatuh pecah ke lantai. Untung tak ada makanan, karena memang Mbok Siti tidak ada.
“Oi-oi, ngentot sih ngentot…tapi jangan rusuh !” aku peringatkan, namun di acuhkan.
Sherry menggoyang pinggul menyambut sodokan, Pak Simin makin bergairah karenanya. Saking bernafsu, sesekali dia menampari pantat putih yang menggoda iman itu. Disodok-sodoknya Sherry sekuat tenaga yang ada, dan…
“HEEENNGK!!”, badan Pak Simin bergetar nikmat senada kecrotan, menggemeratakan giginya yang jarang.
Paha Sherry direntang lebar, seakan ingin membelah dua tubuh. Sherry mendesah-desah dengan nafas memburu, pinggulnya berkedut, dia pun ternyata orgasme. Huuh, aku jadi iri, terlihat sekali mereka menikmati seksnya. Pak Simin melepas papahan, membuat tubuh Sherry ambruk telungkup di atas meja. Dia mengistirahatkan diri bersandar di bangku, nafas mereka terdengar menderu-deru. Wajah si tua itu puas bukan main, terutama melihat Sherry yang terkapar, senyum kemenangan. Dia menoleh ke arahku yang masih sibuk mengobok vagina.
“Lho, Non Nia…memeknya minta dientot juga ?” ejek si tua itu menyeringai, spontan kuhentikan masturbasi.
Dia menghampiri, tatapannya penuh kemesuman. Aku bergerak mundur menjauh, kedua tanganku menutup alat vital, serasa ditelanjanginya walaupun handuk masih membalut tubuh. Nafasku berat tanda nafsu menyala-nyala, rela dia memperkosa, tapi ngilu teringat Sherry tadi digarapnya.
“Non Nia mau kemana ? lari kemana pun pasti Bapak entot hihihi…Nak ning, ning nang ning nung…nak ning”, Pak Simin berjoget jaipong dengan jari jempol terselip jari tengah dan telunjuk.
Aku menggeleng kepala maksudnya tidak, di sisi lain hati tak menolak. Tanpa terasa, kami sudah di ruang tamu, di situ ada tangga melingkar menuju kamarku. Semakin lama Pak Simin semakin mendekat, penis konak siap beraksi. Rupanya dia gemas dengan reaksi menghindarku, tak mudah pasrah begitu saja. Aku lari ke atas kabur, dia mengejar sambil tertawa cekikikan.
“Heit…mau ke mana cantik, Hm ?”, handukku tertangkap.
TASS !!, lepaslah satu-satunya penutup tubuh.
“Kyaaaaaaa !”.
Aku ditatap bagai Harimau mengincar Zebra, dengan gagah dia melempar handukku ke belakangnya, itu berarti harus melewatinya jika ingin mengambil. Tak punya pilihan, aku lari ke atas lagi, pinggangku ditangkap olehnya.
“Kena kowe montok, Mmuuuaah…Cuph..cup..CUUPH !”.
Pak Simin menghujani pantatku dengan ribuan ciuman, turun ke paha belakang hingga betis. Jarinya mengobok-obok vagina, kaki pun lemas karena terangsang. Aku merunduk sampai akhirnya telungkup di tangga, menyerah pasrah, tak kuasa menolak kenikmatan.
“Paaak…Pak Minhh…eMmmh..Aaahh…Ssssshh, Jang.Aaaah Aaaaaaaannhh Pak!”, aku mendorong kepalanya setengah hati.
Melihat reaksiku minim, Pak Simin makin gencar. Aku menjerit kecil ketika mulutnya yang sebagian besar gusi itu mencaplok pantat dengan gemas. Aku suka sekali, sangat menikmati cara dia menaklukanku, menjatuhkan harga diriku, dimana jelas-jelas aku majikan dan dia hanya pembantu. Penisnya menyenggol pantatku, benda itu terasa keras, siap mengaduk-aduk vaginaku.
(Ooh, aku mau itu…aku mau ituu !), kata hatiku lebay.
“MUUAH…‘ga tahan lagi, ngentot ah !” kata Pak Simin, ambil ancang-ancang.
(Ouh, finally……penetrasi…).
“Maafin Bapak ya Non, kalo kelewatan !” ancamnya menyeringai.
“Justru aku engga maafin kalo berhenti sampe sini…” sahutku menolehkan wajah horny, menyambut ancaman, meninggikan pinggul.
“Jadi betul toh, Non sengaja…kalo begitu jangan nyesel ya !” ancamnya lagi.
“Buat akuu…senyesel-nyeselnya Pak……inii…”, jariku merentang lebar bibir vagina, menantang balik.
Wajah Pak Simin sudah tak karuan jelek karena nafsunya, dia menempatkan diri setengah berdiri setengah berjongkok. JLEEB !, nafasku terasa sesak saat pencoblosan dimulai, baru kepala dan sedikit batang saja sudah enak begini, apalagi semua. Jari Pak Simin mengambil alih bibir vagina, dia ingin merentang lebar sendiri rupanya.
“Memekgh, yangh…LEGIT !”, komentarnya menuntaskan coblosan, tertanamlah seluruh batang.
Aku mengerang Pak Simin melenguh, kurasakan di punggung ada cairan menetes, aku tahu itu liur. Pak Simin menumpukan tangan di pundakku, pantat pun semakin nungging dibuatnya, dia langsung bergerak penuh nafsu. Sungguh fly aku digarapnya, betul-betul tepati janji buatku menyesal. Sodokannya tanpa ampun, memaksa bernafas kacau, terlalu nikmat dirasa tubuh mudaku. Pinggulku yang menjulang tinggi, semakin rendah karena terus menerus dihujam. Tangannya meremas kedua payudaraku, memilin puting pink yang sudah meruncing. Pipi pantat ditamparnya kecil-kecil, reaksiku memekik tinggi kecil-kecil jua.
“HEENNGKH !! HEENNNGKHH !! Enak Noon !! Enaaak !! Enak memeknyakh !!” ceracau Pak Simin jorok.
Aku tak sanggup lagi, titik orgasme sudah di depan mata. Pak Simin benar-benar sukses melampiaskan dendam birahinya. Aku, wanita, yang seharusnya mempunyai daya tahan lebih lama dari pria, takluk kali ini, oleh sebab aku terlalu horny, Sial! Kenikmatan itu pun kuraih, aku membalik badan mencengkram lengannya agar berhenti menyodok.
“PAK SIMIIIIIIIIIIINNNNA.AAAAHH…IYAAH IYA.AAAAAAAHHHH !!!” tubuhku kelojotan, mataku berkunang-kunang, ubin tangga kugebuk-gebuk.
Brutal sekali, brutal…sangat brutal orgasmeku, liarnya seorang wanita penggemas seks ketika meraih puncak kenikmatan bersebadan. Peluh memenuhi tubuh, nafas memburu. Aku jatuh telungkup di tangga itu, banjir sekali kurasa di vagina, tubuhku berkedut-kedut menikmati sisa orgasme.
“OAHH !” kepalaku terdongak, dengan jahil Pak Simin menekan masuk penis dalam-dalam, memberikanku kenikmatan ekstra.
Pak Simin menarik penis keluar, takut cepat ejakulasi jika terus tertanam. Dia menunjuk vaginaku dan penisnya, aku tau apa maksudnya. Setelah nafas terkendali, aku berjongkok di depannya, kami berhadap-hadapan.
“Bapakh…mauh ini, eMhh…” godaku, menggesek-gesek bibir memek ke penis.
“Ma-mau Nonh…mauu !”.
“Mau berhenti, berarti…‘ga mau sama ini lagi dong”, kubuka liang vagina, memamerkan daging merah muda di dalamnya.
“Eng-engga Non…‘ga jadi…ce-cepet masukin !” katanya tidak sabar mengarahkan penis, BLEEESH !!
“OOOOOOOOOOUHHHH !!” lenguh kami.
Pak Simin menangkup pantatku dan menaik turunkannya, sudah sange berat dia rupanya. Kujambak rambutnya sekalian berpegangan, tak peduli lagi bahwa dia pria berumur yang seharusnya kuhormati.
“BILANG LAGI PAK…BILANG LAGI MAU KELUAAAAAR !!” omelku menumbuk keras-keras.
“AMPUUUN NONH…ENGG, GAAK… LAGIIIIIH.HGH !!”.
“BILANG LAGIII…AYOO… KALO BERANII…NIH MEMEK, NIIHH…SUKA PAK AAAAHHH…SU.KAA…KANH ?!”.
Pak Simin tidak menjawab, hanya melenguh dengan nafas tertahan.
“NIKMATI PAK NIKMATI.AAAAHH…SSSH…PUNYA NIAA BUAT…BAPAK !!”.
“OHOOOOK !!!”.
“PAK MIIIIIIIIINHHH…!”.
“NON NIAAAAAAKH…!”.
“PAAAAAAAAAKHH…!!”.
“NOOOOOOOOONHH…!!”.
“IYAAH, IY-YA.AAAAAAAHH !!!”. Crtt crtt…cerrrr !.
“HENNGKKH !!!”. CROOOOOTTTT…CROOOTTT !.
Tubuh kami berkelojotan, penis dan vagina mengejang, masing-masing memuncratkan lendir. Tak ada pemisah di antara kami, tubuh yang mengejat melekat ketat saling mendekap. Pak Simin menambah kenikmatan, dengan menghisap puting payudara yang meruncing.
Lama terasa nikmat bercinta,
Kami resapi bersama-sama,
Lezatnya surga dunia,
Anugerah Tuhan untuk manusia,
Pria <> wanita – tua <> muda.
Aku menyerahkan diri di pelukannya, berdua sibuk memburu udara rebah di tangga, kotor ubin tidak lagi diperdulikan. Kami bergerak memisahkan diri setelah mendapat cukup tenaga. Sperma dan jus cinta menggenang di ubin tangga.
“Gimana Pak ? masih mau berhenti kerja ?” godaku genit.
“Yak, asal bisa gini terus batal Non hihihi”.
“Yeee…mau-na”, kucubit lengannya, lalu kembali jatuh dalam pelukan.
“Ya udah, kalo gitu…besok kan aku ultah…Mm, aku kasih hadiah, yang aku jamin Bapak pasti ketagihan sama hadiah itu…’ga akan mau pergi dari sini lagi”, kataku yakin.
“Yang bener Non…” tanyanya antusias.
“He-eh”, sahutku singkat tersenyum manis, dia memegang daguku dan menggoyangnya.
“Bapak tunggu hadiahnya lho…sekarang, kita mandi dulu yuk, ta’ mandiin ya ?”.
“Huuw, dasar !”, manjaku, merangkul lehernya.
Pak Simin menggendongku ke dalam, Sherry pun tak lupa di ajak. Kami terus melakukan hubungan seks tanpa mengenal rasa lelah. Semua tempat, semua gaya maupun cara kami praktekkan. Detail malam ini, tepatnya jam 12 malam tanggal 26 November hari ultahku, akan aku kupas di cerita berikutnya ^o^. Begitulah keadaan di rumahku, affair majikan dan pembantu. Mencuri-curi waktu jika ada ortu. Atas usulku, kami tidak cari pembantu lagi, dirangkap Pak Simin. Supir tetap orang baru, karena cuma jasa antar jemput. Semua itu hanya akal-akalan, agar aku…Pak Simin dan ke-3 sahabat-ku leluasa ritual seks. Jika aku sedang halangan (mens), ‘kerja memuaskan’ kuoper ke Sherry. Jika Sherry tidak bisa, kualihkan ke Manda atau Lea. Mereka berdua sebenarnya tak suka pada Pak Simin, karena rasa solider saja padaku, mau tak mau dientot juga. Lea sebagai contoh, waktu itu baik aku…Sherry ataupun Manda lagi ada keperluan. Lea hanya mau nungging, lantaran muak melihat wajah Pak Simin. Waktu pulang kutengok mereka gituan, wajah Lea terlihat benci tapi horny. Jeleknya mimik Pak Simin tak usah ditanya, dia semakin bersemangat tau aku nonton. Di sodoknya memek keras-keras, Lea menjerit histeris dipecundangi.
“KAKEK JELEK..! MUKA SEKS..! DOYAN MEMEK, AAAAAHH SSH !!” maki Lea, si cantik itu terpental-pental, rambut ke-emasannya awut-awutan. Sprei ranjang diremas dan digigit hingga acak-acakan. Pak Simin merasa gagah bergairah, mendengar kata-kata kotor Lea yang lancang lagi jalang, dia balas memaki.
“LONTEE…LONTE KOWEE…AWEWE LONTE…LONTE KECE, ENGKH !!”.
Begitulah mereka melakoni peran. Pak Simin sebagai pelanggan hidung belang gratisan, Lea pelacurnya. Apa yang Lea lakoni, tentu aku..Sherry dan Manda lakoni juga. Karena kami ber-4 adalah…4 gadis hyperseks.

END
 
Biasa om... ciri khas dari KBB, berasa nostalgia ke jaman 2010-an pas lg booming² nya cerita KBB. Coba aja cek id Kurama di sana om😂😂😂😂
 
Bimabet
Biasa om... ciri khas dari KBB, berasa nostalgia ke jaman 2010-an pas lg booming² nya cerita KBB. Coba aja cek id Kurama di sana om😂😂😂😂
Saya udah baca beberapa cerita KBB om, jadi paham betul lah🤣
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd