Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

Wah warbiasa banget..! semua genre cerita fantasi diborong suhu Ryu dalam 1 trit.

Mudah2an suhu Ryu berkenan membuat 1 trit cerbung khusus tentang petualangan VRanger.

Keep semprot suhu Ryu...

eh ada suhu aiko_aileen. makasih udah mampir dimari lg. satu trit khusus Vranger aja? awalnya cuma lucu-lucuan aja ada Vranger buatan Fireday Productions cabang Jepang krn mmg ane suka sentai n kamen rider. jadinya malah serius dibuatin gambarnya segala di Corel. trus ada side quest lagi. mudah2an banyak waktu ane utk merealisasikan bbrapa ide yg ada krn keterbatasan waktu rl n gawean. thx lg atas masukannya.
 
ngikutin ni cerita dari jaman masih Quint dan masih jadi Silent Reader sampe ngepost ga bosen

Updatenya rajin ampe ampir tiap hari update mana panjang bener dah

kalo sekarang jadi 3 hari sekali mah wajar daripada yang dulu ampe pegel scroll page belom kelar apdetan


=)) =)) =))
 
3 hari sekali yahsuhu ryu, okelah tetep di nanti, srasa da yg ilang aja dr cerita ini pas puasa mpe sekarang dah wah bgt,tetep semangat suhu ryu, kami tetp menantikan lanjutanya
 
udah mulai kehabisan stok update y suhu
Seminggu sekali jg gpp hu,,,
yang penting tiap update ada kentang y hu,, :pandajahat:
 
Yg biasa apdet tiap hari, sekarang jadi 3 hari sekali, berasa gimana yahhh:ngupil:
 
Oiya...sekarang typ 3hari yak updatenya :tepokjidat:

Ydh deh...numpang :ngeteh: di pojokan y suhu...
 
sudah mulai bisa ditebak ya? tungguin ya. jadinya sekitar hari Jumat gitu update berikutnya klo gak ada force majeur menghadang.
Kan baru perkiraan gan biasa ente suka membeloj dari perkiraan ane hehehe...
Santai aja gan istirahat dlu juga gpp kalau masih ada kendala kami setia menunggu
 
========
QUEST#11
========​

Setelah cukup istirahat dari pagi sampai jam 11 siang, kami sekeluarga berwisata di kawasan pantai Kuta seperti warga masyarakat biasa. Main air di pantai, naik jet ski, naik banana boat dan lain sebagainya. Kami juga menyempatkan diri berbelanja pernak-pernik khas kerajinan Bali.
Cukup menyenangkan menghabiskan waktu bersama Papa, Mama dan kedua saudara kembarku–Putri dan Dewi yang tumben mau melakukan ini semua bersama-sama. Jarang ada waktu kami berkumpul seperti ini. Apalagi kesibukan kedua orang tuaku yang super ketat jadwalnya. Mungkin benar kata orang, kualitas mengalahkan kuantitas.
Para cewek kadang juga memisahkan diri untuk berbelanja aksesoris cewek. Putri dan Dewi bahkan minta rambutnya dikepang kecil-kecil dari ibu-ibu yang banyak menawarkan jasa itu. Sedang Mama dipijat selagi kedua anak gadisnya dikepang.
Aku berdua saja dengan Papa keliling pantai. Kami bahkan membuat tato sementara di pangkal lengan. Papa bergambar naga sedang aku bergambar harimau. Seru sekali. Beberapa kali Papa menunjuk beberapa cewek seksi berbikini yang melewati kami dan menanyakan pendapatku. Aku hanya bisa tertawa sambil terus menjilati es krimku.
Menjelang sore kami berlima berkumpul lagi dan mencari makan malam. Kami memilih kafe pinggir jalan saja untuk menikmati matahari terbenam di laut Bali bersama keramaian pengunjung lainnya. Mataharinya dengan spektakuler hilang di telan laut meninggalkan cercah cahaya temaram berwarna jingga yang memerahkan langit dan laut. Indah sekali. Langit pulau Dewata saat sunset memang tidak ada bandingannya. Pantas saja banyak orang yang pernah kemari akan kembali lagi.
Ini pengalaman pertamaku menikmati matahari tenggelam di Kuta-Bali saat menjelang dewasa begini. Dulu sih sering kemari, tapi masih kecil dan taunya hanya main air dan pasir.
Seru-seruan bareng keluarga memang sangat menyenangkan. Ini tidak akan terlupakan selamanya seumur hidupku.
--------​
“Dapat AQUARIUS?” kaget Hellen mendengarku. Kami sudah berkumpul kembali di villa setelah seharian berkeliling pantai Kuta. Hellen dan keluarganya juga berekreasi di seputaran pantai Kuta seperti kami juga. Juga keluarga bang Eros dan kak Sheila.
“Ya... Nemunya juga gak sengaja...” lanjutku lalu menunjukkan foto cewek itu yang sempat kuambil saat di Bananaque Club tadi malam. Memang gelap tapi masih cukup jelas. “Kak Sheila yang mendapatkan info zodiaknya—tapi tidak tanggal lahirnya... Sekolahnya di asrama Hati Murni dan anggota klub renang sekolah itu yang ikut kejuaraan nasional di Bali sini...” beberku tentang data Maria Kusuma yang sudah berhasil didapat.
“Dan lesbi?” tambah Hellen sambil memasukkan data-data itu di program pencarian yang ada di tablet 10 inchi miliknya.
“Kata kak Sheila begitu... lesbi... Lagipula itu sekolah asrama khusus siswi... jadi aku tidak bisa masuk kesana...” kataku membenarkan.
“Mas Satria berubah aja jadi perempuan... Beres...” katanya ringan sambil terus memasukkan data-data. “Nanti akan kuurus surat-suratnya... Mas bisa masuk sekolah itu sebagai murid pindahan... Beres, kan?” lalu ditekannya tombol virtual “Search”. Program pencarian di tablet ber-OS Micro Chic itu mulai bekerja.
“Jadi perempuan?” kagetku.
“Ya... Jadi Max kemarin bisa... Kenapa jadi perempuan tidak bisa? Pasti bisa, dong?” yakin Hellen malah lebih percaya diri dari pada aku yang memiliki kekuatan itu.
“Wah... Iya benar... Dengan SHAPE SHIFTING aku bisa menjadi perempuan juga... Bego amat aku!” kesalku sendiri dengan menepuk jidat. Pertama kali aku menggunakan kekuatan SHAPE SHIFTING malah berubah menjadi Ana Natasha Killearn untuk mengagetkan Angel dan juga berubah menjadi Fantina Gorin untuk melacak jejak DNA keluarganya.
“Tapi berubah menjadi siapa?” bingungku lagi. Identitas siapa yang akan kupakai.
“Tidak usah menjadi siapa-siapa... Jadi versi mas Satria cewek aja sudah cukup... Nama Satryani boleh juga... Rambutnya agak dipanjangin... Bulu mata dilentikkan... Tambah tetek di sini... Pinggang dirampingin.. Kulit dihaluskan... Ganti kelamin... Jadi deh...” kata Hellen sambil terus otak-atik tabletnya.
“Hmmm?” aku tidak bisa membayangkannya. Malah yang terbayang aku memakai pakaian perempuan dengan dandanan menor seperti banci.
“Begini, loh...” kata Hellen menunjukkan layar 10 inchi itu padaku. “Bagus juga, kok...” katanya. Ternyata dia membuat gambaran diriku kalau dalam versi wanita dengan program khusus lainnya.
“Tingginya kita kurangi sedikit dengan mas Satria sekarang... Sekitar 165 cm... Rambutnya lebih panjang dari pada mbak Dewi apalagi mbak Putri... Mirip mereka berdua sekilas, sih... Dadanya kubuat ukuran 34B... Sedang saja... Ini yang penting... Harus ada vaginanya... Kalau tidak ada—tidak akan lengkap sebagai cewek...” jelas Hellen tentang gambarannya tentang versi perempuan diriku.
“Mmm... Bagus, sih... Aku akan berubah seperti ini saja...” kataku lihat kanan-kiriku yang masih dipenuhi semua keluargaku yang berkumpul di ruangan utama villa ini. Besok pagi kami akan kembali pulang ke kota kami.
“Gak dicoba dulu?” desak Hellen yang penasaran untuk melihat perubahanku menggunakan SHAPE SHIFTING dengan gambaran perempuan buatannya.
“Nanti aja, ah... Masih banyak orang disini...” elakku.
--------​
Karena terus didesak, kami lalu pergi ke kamarku berdua saja. Hellen sangat bersemangat untuk melihat perubahanku. Ia beralasan perlu mengambil fotoku sebagai pelengkap data-dataku. Untuk urusan sekolah dan administrasi nantinya.
Setelah melihat rekaan Hellen tentang versi perempuan diriku itu sekali lagi, kukerahkan kekuatan SHAPE SHIFTING GEMINI keseluruh tubuhku untuk berubah.

Satriyani
“Wow... Wow... Wow... Keren banget, mas Satria!” kagum Hellen melihat hasil perubahan dan prosesnya. Ia ternyata merekam semua kejadian itu dengan HP-nya.
“Bagus, gak?” tanyaku hanya bisa melihat tanganku yang berubah menjadi lebih langsing dan berjari lentik. Kulit lebih halus. Ng? Ada yang menggantung di dadaku. Kuintip...
“Wah... Aku ‘dah punya tetek sekarang... Eh... Suaraku juga berubah, ya? Jadi feminin gitu...” sadarku sambil meremas-remas dadaku sendiri yang menyembul tanpa bra.
“Mas Satria sekarang dah cukup cantik, kok... Coba liat anunya... Udah berubah belon?” pinta Hellen menunjuk celanaku.
“Celanaku jadi longgar... Pinggangku jadi ramping dan pinggul melebar... Ini cewek betulan...” kataku sambil melepas kancing jeans-ku dan melorotkannya di depan Hellen.
Tidak ada gembungan penisku sekarang di dalam CD putih ini. CD ini juga kupelorotkan dan bentuk segitiga khas vagina itu segera terlihat. Hanya ada bulu-bulu halus yang tumbuh di permukaan vaginaku seperti yang digambarkan Hellen di tablet-nya.
“Eh... Aduh...” keluh tiba-tiba. Hellen menjejalkan jari tengahnya ke belahan vaginaku. “Sakit, Len...”
“He... He... He... Dah ga perawan, ya?” gelaknya geli sekali. Ia membaui ujung jarinya yang sempat menembus lubang kemaluan baruku. “Bau, mas Satria gak berubah, ya?”
“Ah... Elu, Len... Beneran sakit, loh, Len... Apaan sih?... Maen masukin jari aja...” kataku menutupi kemaluan baruku dengan memakai CD dan jeans kembali.
--------​
Kembali menjadi diri normalku—kami kembali berkumpul di bangunan utama villa bersama yang lainnya.
“Tanggal lahir si Maria Kusuma ini 9 Februari... Memang AQUARIUS... Anak sulung di keluarganya... Prestasinya di bidang renang lumayan banyak... Ia bahkan diproyeksikan untuk ikut perlombaan tingkat ASEAN tahun ini...” baca Hellen dari hasil pencariannya tentang data si Maria ini.
“Sekolah Hati Murni akan kembali buka semester ini tanggal 10 Januari nanti... Jadi mas Satria punya kesempatan kurang lebih satu bulan untuk mendekati Maria di sekolah itu...” jelas Hellen. Ia berjanji akan mempersiapkan apa-apa yang kuperlukan agar aku bisa masuk ke sekolah itu. Tentu saja menyamar. AQUARIUS bisa diambil mulai 20 Januari sampai 19 Februari tahun ini.
“Jadi namaku nanti Satryani?” pastiku.
“Iya... Hampir sama dengan nama mas sekarang, kan? Kalau panggilan... Satrya... Tria... Yani... Atri... Mas pilih yang mana?” usulnya.
“Kalau nama yang kedengaran paling enak sih... Tria...” pilihku agak ragu.
“Tria tidak jelek juga... Masih di nama mas yang biasa juga, kan? Sa—tria... Yah udah... Tria aja... OK... Begitu aja, mas... Nanti begitu kita sampai rumah... akan kusiapkan semuanya... Mas Satria tinggal terima beres aja... OK?” putus Hellen sepertinya mulai lelah. Ia beberapa kali menguap.
Kumpul-kumpul malam itu tidak kuikuti sampai larut malam. Sekitar pukul 00.25 aku permisi masuk kamar. Tidak langsung tidur, melainkan berselancar di dunia maya untuk mencari data yang kubutuhkan. Memperluas pengetahuan dan cakrawala. Khususnya tentang pencarianku yang kesebelas akan ZODIAC CORE AQUARIUS. Sudah akan mendekati tahap akhir. Kesebelas...
Sekitar jam 02.12, aku sudah tidak tahan lagi apalagi batre HP-ku sudah hampir habis, mengecasnya dan tidur...
--------​
Tanggal 2 Januari di tahun baru pagi ini, kami sudah di atas pesawat jet pribadi ini kembali. Terbang di atas laut Jawa untuk kembali ke kota kami. Setelah liburan akhir tahun dua hari penuh di Kuta–Bali.
Aku punya tugas baru; yaitu mempersiapkan diriku untuk menyamar di sekolah baru. Sekolah asrama Hati Murni khusus putri yang berada di pinggiran kota agar jauh dari kebisingan dan hingar bingar metropolitan.
Persiapan yang kuperlukan adalah: Mempersiapkan diri untuk terbiasa menjadi seorang wanita yang sesungguhnya. Walau di keluargaku mayoritas perempuan, tetapi keseharianku adalah lelaki normal dengan segala tingkah laku lelaki normal juga.
Ada banyak hal yang lelaki lakukan tetapi tidak perempuan lakukan; atau setidaknya dilakukan secara berbeda. Misalnya cara berbicara, cara berpikir, cara berjalan, cara makan dan banyak lainnya.
Yang dasar-dasar saja, banyak berbeda. Misalnya cara buang air kecil. Kebanyakan lelaki akan berdiri di toilet atau urinoir kala buang air kecil. Tetapi itu tidak dilakukan para perempuan; setidaknya akan susah dilakukan. Kalau ada perempuan yang nekat berdiri sambil kencing, dijamin akan berceceran di mana-mana.
Aku harus bisa melakukan ini semua sampai tanggal 9 Januari nanti saat aku akan mulai masuk asrama nanti. Proses belajar mengajar akan dimulai 10 Januari dan semua wajib masuk asrama sehari sebelumnya.
Putri dan Dewi sesekali membantuku dengan masalah ini. Bahkan keduanya dengan rela meminjamkan beberapa jenis peralatan ‘keperempuanan’ padaku. Pakaian, pakaian dalam, sepatu, peralatan make-up, peralatan perawatan tubuh, aksesoris, buku-buku dan majalah.
Wah... Banyak yang harus kupelajari! Semuanya harus keketahui sekaligus. Bagaimana para wanita ini melakukannya, ya? Apa wanita punya massa otak yang lebih besar dari laki-laki hingga bisa melakukan ini semua?
Setelah susah payah dalam teori dan praktek, aku diberi nilai kelulusan oleh Putri dan Dewi dalam hal ‘dunia cewek’ ini dengan nilai pas-pas-an. Nilai yang sangat maksimal yang bisa diberikan keduanya karena aku masih jauh dari kata feminin.
“Butuh tahunan untuk menguasai ini semua dengan baik. Perhatikan dasar-dasarnya dahulu” catatan dari Putri.
“Kalau memang semua gender itu sama, seharusnya pria bisa menjadi wanita. Atau sebaliknya” catatan dari Dewi.
Tumben keduanya bisa memberi catatan begini.
--------​
Semua administrasi sudah diselesaikan Hellen dengan baik. Proses aku masuk ke sekolah Hati Murni ini sebagai murid pindahan sudah beres dan aku bisa masuk asrama mulai hari ini.
Minggu, 9 Januari. Setelah dua minggu liburan semester dan Tahun Baru, sekolah Hati Murni dibuka kembali dan para pengajar dan siswi mulai kembali ke sekolah dan asrama.
Dengan berbekal surat pengantar kalau aku sudah bisa masuk asrama hari ini, kulewati pos security berlantai 2 di bagian depan pagar sekolah yang tinggi. Surat pengantarku distempel Danru (Komandan Regu) satpam berkumis tebal itu sebagai penanda kalau aku boleh masuk dan sudah diperiksa.
Kuseret koper beroda ini melewati jalan lebar menuju gedung sekolah Hati Murni yang berhalaman luas untuk bisa menampung ratusan siswi saat upacara bendera.
Dari brosur yang kudapat, gedung sekolah ini berbentuk angka enam yang sangat besar kalau dilihat udara. Bagian depan dan samping diperuntukkan untuk kegiatan belajar-mengajar, sedang bagian belakang untuk asrama tempat tinggal siswi.
Ratusan siswi yang kembali dari liburan juga masuk bersamaan denganku. Tapi karena mereka sudah saling kenal, tak ada rasa canggung melangkahkan kaki. Beda sekali denganku yang kikuk harus kemana.
Hanya ada beberapa orang yang mengarah ke pintu kaca lebar yang ada di gedung terdepan. Lainnya mengarah ke samping gedung. Tebakanku adalah langsung menuju kamar masing-masing di asrama.
Yang pertama kali kurasakan di dalam gedung ini adalah suara musik dari single lagu populer yang mengalun tidak terlalu keras dari speaker yang ada di langit-langit. Tiap interval 20 meter ada speaker di mana-mana. Gedung ini punya sistem entertainment-nya juga. Mungkin ada operator khusus yang berjaga di sana. Apalagi sistem keamanan dengan pengawasan CCTV.
Benar saja. Ruang administrasi ada di dalam sini. Terlihat dari label yang direkatkan di depan pintu kaca juga. Kuserahkan surat pengantarku pada salah seorang petugas administrasi di sana dan ia dengan sigap memeriksanya.
Tak lama aku sudah digiring untuk melakukan tour singkat di sekolah ini untuk memperkenalkan seluk beluk gedung dan segala fasilitasnya. Gedung bertingkat 4 ini terdiri ratusan ruang kelas, 8 jenis laboratorium praktek berbeda, fasilitas olah raga indoor dan outdor, klinik dengan dokter jaga, aula luas yang bisa menampung semua siswi dan para pengajar beserta staf, ruang makan atau kantin, berbagai macam klub dan hobi serta perpustakaan dan tak lupa tempat ibadah.
Koperku yang kutinggal di ruang administrasi tadi kuambil kembali saat tur sekarang mengarah ke asrama yang ada di bagian belakang.
Asrama ada 6 lantai untuk menampung seluruh siswi yang belajar di sekolah ini. Tiap lantai di sebut level. Aku ditempatkan di level 3, tepatnya kamar bernomor 3-41. Tiap kamar seluas 5 X 5 meter ini difasilitasi AC sentral yang dapat menampung 3 siswi dengan tempat tidur, lemari pakaian dan meja belajar masing-masing, kamar mandi berbagi dan sebuah mesin cuci di dalamnya.
Dua tempat tidur yang berdampingan itu sepertinya sudah terpakai hingga aku memakai yang ketiga. Pegawai administrasi itu lalu menyerahkan kunci kamar padaku dan pergi dengan pesan kalau ada perlu atau pertanyaan lain bisa menghubungi mereka atau bertanya pada siswi lain.
Kumasukkan dan susun pakaianku ke dalam lemari dan buku-buku ke laci meja. Aku lalu berganti pakaian dengan baju santai. Saat aku baru memasukkan leherku ke kaos itu, pintu terbuka dan dua orang gadis bergandengan tangan berlari kecil masuk sambil tertawa lepas.
“Eh... Maaf... Murid baru, ya?” sadar cewek pertama yang berambut pendek, tinggi–langsing dan cantik. Cewek kedua sedikit lebih pendek dariku, berambut panjang, bertubuh sedang dan cantik juga.
“Iya... Baru diantar orang administrasi... Kenalkan namaku Satryani... Panggilanku Tria...” kataku mengulurkan tangan memulai perkenalan. Dialog ini sudah kulatih beberapa kali bersama saudariku.

Hera - Meisya
“Oh... Gue Hera... Ini Meisya...” jawab yang berambut pendek menyambut tanganku. Genggaman tangannya kuat dan kokoh. Meisya lalu setelahnya. Tangannya halus dan lembut.
“Elo ambil yang disitu, kan?” tanya Hera tentang pilihan tempat tidurku.
“Iya... Karena tadi kulihat yang dua itu sudah kalian pakai sejak dulu... Makanya aku disini aja...” jawabku.
“Ya... Gue dan Meisya sudah di sini sejak kelas 10... Gak pernah pindah...” jelasnya. Sekolah Hati Murni ini memakai sistem pelajaran ala barat (High School) yang meneruskan pendidikan dari SD konvensional dan mulai kelas 7 sampai 12 terpadu dalam satu sistem yang berkesinambungan. “Kamu kelas berapa?” lanjutnya.
“Kelas... 12” jawabku pendek.
“Sama... Kami berdua juga kelas 12... Ini semester akhir... Beberapa bulan lagi lulus...” katanya. “Elo pindahan dari mana? Sayangnya cuma satu semester di sini...” sambungnya lagi.
“Aku pindahan dari luar kota... Keluargaku sering berpindah-pindah... Agak sulit mencari sekolah yang mau menerimaku... Syukur bisa masuk kemari...” jawabku sesuai skenario yang sudah aku susun bersama Hellen dan kulatih bersama Putri dan Dewi.
“Hmm... Begitu... Eh, sudah dapat jadwal kelas, belom?” tanya Hera. Ia yang paling aktif bertanya. Meisya sama sekali diam dan hanya duduk di tempat tidurnya.
“Udah... Tapi aku agak bingung, nih... Tiap mata pelajaran ada ruangannya masing-masing... Aku gak terbiasa dengan sistem begini...” kataku memegang kertas jadwal kelas yang sangat asing bagiku. Tiap pelajaran memiliki kelas di bagian gedung tersendiri. Misalkan jam pelajaran pertama hari Senin besok adalah Bahasa Indonesia setelah upacara bendera, di ruang 2-6, maka jam pelajaran kedua Fisika di ruang 2-10 yang tidak jauh dari ruang 2-6. Angka pertama menunjukkan level gedung kelas dan angka kedua adalah nomor ruangannya. Rata-rata satu level lantai memiliki 50 ruangan. Untung saja semua kelasku ada di level lantai yang sama.
“Gampang... Besok ikut aja bareng kita berdua... Jadwal-lu hampir sama dengan kita, kok...” kata Hera begitu melihat jadwalku.
“Apa yang paling menarik di sekolah ini?” tanyaku pada keduanya. Meisya sepertinya tidak akan menjawabnya karena ia berulang kali melihat ke arah Hera.
“Banyak... Terutama klub-klubnya... Tiap siswi maksimal hanya boleh mengikuti dua klub saja agar tidak terlalu terbebani dengan kegiatan banyak klub... Ada klub renang, klub sepak bola, klub basket, klub tenis lapangan... tenis meja juga ada, klub vokal atau paduan suara... klub tanaman, klub catur, klub masak, klub robotik, klub cyber... klub apa lagi ya? Aku lupa... Pokoknya ada 19 klub totalnya di sekolah ini...” terang Hera.
“Klub Karate, pramuka, palang merah remaja, klub pecinta alam, klub fotografi, majalah dinding, cheerleader, sama dance...” sambung Meisya mengingatkan.
“Oh iya... Karena sangking banyaknya klub sampe’ gue lupa apa aja... Padahal gue ini ketua OSIS, loh... He... he... he...” katanya malu sambil mengucek rambutnya yang pendek seleher. Anak ini ternyata ketua OSIS, toh.
“OSIS tidak termasuk dalam klub tadi?” tanyaku. Harusnya dengan OSIS jadi 20.
“OSIS gabungan kesemua klub tadi... Jadi tiap klub mengirim wakilnya ke OSIS dan jadi pengurus... Aku wakil dari klub renang... Klub nomor satu di sini... He... he... he...” bangganya.
“Bagaimana kalau dia ikut bergabung di klub renang...” usul Meisya. Wah ini kabar bagus, tuh...
“Boleh juga... Biar kita bertiga sama-sama di klub renang... Ide bagus, tuh, Mei... Nanti kuusulin sama Maria... Maria ketua klub renang di sini... Jagoan renang...” kata Hera mengacungkan kedua jempolnya.
“Apa ada tes masuknya?” tanyaku agak menahan diri.
“Biasanya ada... Elo bisa renang, kan?” tanya Hera balik.
“Lumayan bisa...” jawabku singkat.
“Tes-nya catatan waktu renang gaya bebas 100 meter...” jelas Hera.
“Dari catatan waktumu akan dinilai apakah kau bisa diterima masuk atau tidak...” sambung Meisya kompak.
“Boleh juga...” kataku.
Terus kami ngobrol membicarakan banyak hal tentang sejarah sekolah, berbagai pelajaran, gosip-gosip terheboh yang telah lalu, tentang Maria yang sedang menerima penghargaan dari instansi pemerintah atas prestasinya, tentang para guru. Hera yang paling banyak bicara dan Meisya kadang menimpali atau menambahi.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang yang ditandai dengan suara bel yang terdengar di seantero sekolah pertanda istirahat makan siang.
Hera dan Meisya mengajakku turun ke kantin sekolah yang berada di pertengahan gedung level dasar. Sudah banyak siswi lain yang juga dalam perjalanan menuju kantin.
Ruang makan ini besar, luas dan terang karena harus bisa menampung ratusan orang siswi sekaligus saat sarapan, makan siang dan malam. Langit-langitnya dibuat tinggi karena memakai dua lantai bangunan dengan banyak kipas angin besar untuk mengatur sirkulasi udara segar keluar masuk dengan bebas.
Makanan diambil dengan cara prasmanan. Pilihan makanan dan minumannya cukup beragam. Misalnya makan siang kali ini sebuah nampan stainless stell diambil sendiri untuk diisi makanan. Tentu saja nasi sebagai makanan utama. Lauk bisa dipilih antara ikan goreng, ikan gulai, ayam goreng, kari ayam, udang goreng atau kerang. Sayuran boleh dipilih dari buncis, bayam, salad, tumis kangkung dan juga bermacam jenis sambal. Minuman boleh teh manis dingin, panas, es cincau, es timun atau sekedar air mineral. Cuci mulutnya pilihan antara pisang, melon atau semangka.
Ya, benar saja, biaya bulanan di sekolah ini mahal sudah termasuk biaya makan 3 kali sehari ini. Dan ini sudah cukup bagus untukku. Dan asiknya, tiap harinya, menu ini akan selalu ditukar agar tidak membosankan.
Aku mengantri mengambil makanan di belakang mereka berdua. Terkadang Hera memilihkan atau mengambilkan lauk untuk Meisya dan sebaliknya. Akrab sekali—mesra bahkan. Aku sudah tahu apa hubungan mereka berdua ini karena aku mengenali mereka berdua saat di Bali kemarin. Mereka juga ada di Bananaque Club, Kuta–Bali waktu itu. Mereka berdua sepasang kekasih.
Keduanya mengarahkanku ke meja panjang yang ada di sudut kanan pintu masuk kantin dimana tidak terlalu banyak orang duduk makan siang disana. Hera dan Meisya menyapa orang-orang yang duduk disana. Cewek-cewek ini menatap tajam padaku persis seperti geng jalanan melihat orang asing yang memasuki daerah kekuasaannya.
“Siapa nih, Her?” tanya seorang cewek yang berambut diwarnai coklat dan alis ditato.
“Calon anggota baru, Mer...” jawab Hera. Namanya Merry.
“Belon pernah liat nih cewek... Anak baru, ya?” tanya yang duduk disamping Merry. Badannya selangsing Hera tetapi rambutnya panjang dan tipis.
“Iya, Dis... Dia masuk ke tempat tidur kosong di kamar kami berdua... Coba aja dites dulu... Siapa tau bagus...” jawab Hera. Namanya kutahu belakangan Gladys. Hera menyuruhku duduk di samping Meisya yang sudah duduk dari tadi disampingnya.
“Halo semua... Namaku Satryani... Panggil aku Tria...” kataku basa-basi sesopan mungkin. Sebagai anak baru aku harus tahu diri dan jaga tata krama.
“Emang elo bisa berenang?” tanya cewek lainnya bernama Ambar dengan ketus. Tubuhnya berpostur sedang dan umumnya gadis remaja.
“Ng... Lumayan bisa...” jawabku mencoba membela diriku sendiri. Tetapi sepertinya mereka tidak tertarik dengan jawabanku barusan karena perhatian mereka teralih pada hal lain di belakangku.

Maria
Seorang cewek remaja yang tidak segera kukenali sebagai Maria Kusuma berjalan dengan cepat memasuki kantin menuju meja ini dengan kaki agak dihentakkan yang berakibat pinggulnya berayun ke kanan-kiri bergantian akibat hak tinggi 5 cm yang dipakainya. Gaun anggun berwarna ungu muda itu sangat pas di tubuh remajanya. Rambutnya ditata bagus dengan semprotan hairspray salon.
“Kenapa, Mar? Kok marah-marah gitu abis dari penyerahan penghargaan?” tanya Merry. Maria duduk di sampingnya dan melepaskan sepatu. Sepasang sepatu berwarna senada dengan gaunnya itu dilemparkannya begitu saja ke atas meja dengan kesal.
“Bandot tua kepala Dinas Pendidikan kurang ajar itu beraninya meremas pantatku waktu foto bersama dengannya... Pengennya kepala botaknya itu kulelepkan ke kolam biar mampus sekalian...” geramnya. Hidungnya kembang kempis menahan amarah. Bibirnya yang dipoles lipstik tipis bergetar. Cantik sekali.
“Lelepin aja...” ceplosku tanpa sadar. Ups!
“Hng?” hening sesaat. Semua mata memandangku sekarang. Semua yang ada di meja ini menatapku heran. Seolah berkata ‘Hei! Siapa elo, heh?’
“Elo siapa?” benar saja aku kena hardik Maria. “Kenapa ada orang ini di meja kita? Siapa elo?” amarah Maria semakin menjadi. Matanya tajam menatapku. Sepertinya amarahnya berpindah dari kepala Dinas cabul itu kepadaku.
“Namaku Tria... Satryani lengkapnya...” jawabku.
“Gue gak butuh nama ‘lo! Yang gue tanya ngapain ‘lo ada di meja ini dan sok songong gitu sama gue? Lo gak tau siapa gue? Hah?” bentaknya keras. Siswi yang duduk meja lain juga terdiam mendengarnya. Hanya bisa menaruh kasihan padaku.
“Maria... Maria... Sori... Aku yang bawa dia kemari... Dia teman sekamar baru aku dan Meisya... Kupikir dia bisa ikut tes masuk klub kita... Sekali lagi sori, Mar...” Hera angkat bicara.
“Masih mau ikut tes kenapa harus duduk di sini?” hardik Maria tak perduli walau sekaliber ketua OSIS sekalipun. “Cabut ‘lo dari sini...” lanjutnya.
“Dimana kepala Dinas Pendidikan itu sekarang?... Aku bisa bantu melelepkannya di kolam kalau perlu...” jawabku tenang dan tetap duduk di tempat semula. Tak bergeming.
“Songong betul ni anak...” dahi Maria mengerut kaget dengan keberanianku. “Si botak itu sedang mengunjungi kolam latihan klub renang sekarang... Buktikan ucapanmu... atau kau tak akan betah di sekolah ini...” tandas Maria mengancam.
--------​
Kolam indoor tempat klub renang berlatih mempunyai dua pintu masuk. Kolam ini ada di posisi basement gedung utama sehingga memerlukan tangga sendiri untuk turun ke sana.
Maria dan anggota klub renangnya bersama aku tentunya tiba saat rombongan Dinas Pendidikan yang sedang melihat-lihat fasilitas sekolah ini. Benar saja, seorang bapak tua berkepala setengah botak sedang mengagumi kolam renang ukuran Olimpiade yang dimiliki sekolah Hati Murni untuk melatih para siswinya. Ia beserta beberapa staf-nya berkeliling sambil bercengkrama dengan pihak manajemen sekolah.
Mereka melambaikan tangan pada kami yang mayoritas adalah anggota klub renang untuk segera turun. Mungkin mereka meminta demonstrasi atau semacamnya.
Entah bagaimana ceritanya dan entah siapa yang melakukannya, tiba-tiba kepala Dinas cabul itu kehilangan keseimbangannya dan tercebur ke dalam kolam yang sayangnya merupakan bagian terdalam dari kolam itu. Sekitar 2.5 meter dalamnya.
Bukan main paniknya bandot tua itu dan para staf-nya. Panik karena sialnya tak ada satupun orang di sana yang bisa berenang. Mereka berteriak-teriak minta tolong. Disini baru peran para anggota klub renang bekerja. Sekitar enam orang termasuk Maria berlari turun dan bermaksud menolong.
--------​
“Ha... ha... haa... Puas banget gue... Kepala bandot tua gue injak-injak di dalam air...” tertawa Maria lepas. Ia memegangi perutnya karena tak tahan terlalu banyak tertawa sore ini. Kami masih di kolam renang indoor ini setelah insiden dengan kepala Dinas Pendidikan siang tadi. Maria bahkan belum mengganti gaunnya yang sudah mulai kering akibat menyebur ke dalam kolam. Kami semua duduk-duduk sekenanya di pinggir kolam.
Saat pria setengah baya itu tenggelam, banyak para siswi anggota klub renang melompat ke dalam kolam dan membantu menaikkan pria malang itu.
“Bagaimana kau tau kalau bandot tua itu bakalan kecebur?” tanya Hera padaku. Yang lain juga berhenti tertawa dan menunggu jawabanku.
“Rencanaku... akan kudorong barisan banyak orang hingga menjadi efek domino... Eh... Taunya bawahannya sendiri yang ngedorong... Mungkin bawahannya itu ada sentimen ato dendam sama tu orang tua...” jawabku sembarangan. Padahal tentu saja itu berkat campur tanganku sendiri dengan memakai tenaga XOXAM.
“Elo masih berminat masuk klub renang?” tanya Maria menatapku tajam. Ia duduk di tempatnya. Semuanya menjadi hening.
“Masih... Ada tes masuk, kan?” jawabku.
“Siapkan dirimu... Kita tes sekarang... Merry... Hitung waktunya...” kata Maria bangkit dan memberi instruksi selanjutnya pada bawahannya. Mereka semua bangkit dari duduknya di lantai kolam indoor ini. Aku juga bangkit.
“Tes sekarang? Aku tidak bawa baju renang...” tolakku.
“Tidak usah pake baju renang... Telanjang aja... Kalau mau aku pinjamkan swimming cap (topi penutup rambut) dan kacamata renang ini...” kata Merry menyerahkan kedua benda itu. Ia sudah memegang sebuah stop watch untuk menghitung waktuku.
“Telanjang?” kagetku. Berenang telanjang di kolam dingin ini?
“Kita ini semua cewek... Apa yang kau malukan? Liat... Bahkan semua pintu masuk sudah dikunci dari dalam...” kata Merry lagi menunjuk kedua pintu masuk di atas sana. Kelima anggota klub lainnya mengangguk membenarkan.
“Aa... aku tidak terlalu yakin dengan... ini... Kalian yakin?” sangsiku. Membayangkan diliatin ketujuh anggota senior klub renang dalam keadaan telanjang membuat bulu kudukku meremang. Puting dada baruku mengeras dan vaginaku hangat.
“Elu mau tes, gak?” sergah Maria yang sudah menunggu, berdiri di tepi kolam. “Jangan buang banyak waktu!” katanya keras.
Mau tak mau aku mulai melepas kaos T-Shirt-ku dan celana jeans selututku. Semua kulakukan ragu-ragu tapi cepat dan aku langsung berjalan ke pijakan lompat di barisan tengah kolam. Mereka semua berkerumun di sekitarku, memperhatikan tubuhku. Pandangan ketujuh wanita ini seperti menelanjangiku menembus pakaian dalam yang masih kukenakan.
“CD sama BH-mu buka saja... Pasti gerakanmu akan lebih cepat...” lanjut Merry mengusulkan. Yang lain membenarkan. Ada bahkan yang menambahi kalau ia sudah membuktikannya.
Putingku terasa semakin keras mendengar keinginan mereka. Mata-mata mereka semakin melotot melihatku melepaskan pakaian terakhirku. BH-ku lepas dan memampangkan payudara sebesar 34B rancangan Hellen ini. Apalagi ketika rambut-rambut halus di sekitar daerah segitiga selangkanganku terlihat. Terasa semakin hangat.
Mata mereka semakin lapar menjilati tiap jengkal tubuhku. Padahal sesama wanita, mereka sangat haus mempelototi tubuh bugilku. Cuaca malam ini semakin dingin dan tubuhku semakin hangat.
Aku berdiri kikuk di atas pijakan lompat menunggu aba-aba yang tak kunjung diberikan Merry sebagai penghitung waktu. Ia memberi waktu bagi teman-temannya untuk menikmati memandangi tubuhku sepuasnya. Tanganku menutupi kemaluanku hingga kedua lengan bisa menutup dada sekaligus.
“Dalam tiga hitungan... Tes renang gaya bebas 100 meter... Kau harus bisa tembus dibawah satu menit untuk lulus tes ini... Paham?” ujar Merry.
Aku hanya mengangguk dan mulai menunduk untuk bersiap melompat pada hitungan ketiga. Malah pantatku mencuat menjulang dan payudaraku menggantung. Tubuhku menjadi tontonan indah bagi mata-mata lapar ini. Mereka berkonsentrasi berdiri dibelakangku. Menikmati tunggingan pantatku. Menikmati indahnya tubuh telanjangku.
Merry tak kunjung mulai menghitung. Ia juga menikmati momen ini. Saat-saat kulitku makin meremang oleh rangsangan aneh walau hanya dengan pandangan tanpa sentuhan sama sekali.
“Tiga... Dua...” Merry akhirnya mulai menghitung mundur. Aku semakin menunduk hingga tanganku mencecah kaki agar aku bisa lebih jauh melenting saat lompatan dimulai.
“Satu!” seru Merry. Dengan itu pula aku melompat sejauh-jauhnya.
Sudut lompatanku tepat dan segera tubuh telanjangku masuk ke dalam air kolam dingin berklorin ini dengan mulus. Kugerakkan kedua kakiku menambah daya dorong lompatanku barusan. Seperempat panjang kolam kulewati dengan mudah lalu aku muncul di permukaan dan mulai mengayuh kaki dan tanganku. Sesekali aku mengambil nafas saat tubuhku meluncur di pembatas mengapung berwarna merah kuning ini.
Saat berbalik arah, kucecahkan kakiku tertekuk ke dinding kolam dan mendorong kuat dengan kedua kaki. Meluncur deras tetapi tidak sampai seperempat panjang kolam. Kembali aku mengayuh secepatnya. Kukerahkan seluruh kemampuan renang gaya bebasku pada tes kali ini.
“Phuahh!” seruku begitu menyentuh dinding kolam kembali menandakan tes sudah selesai. “Waktunya?!” tanyaku pada Merry yang sudah mendapatkan catatan waktu gaya bebas 100 meterku.
Ia mendekati Maria dan menunjukkan stop watch itu hanya padanya. Maria terlihat mengernyitkan dahinya dan melirik padaku. Ia mengatakan sesuatu pada Merry yang kutebak sebagai ‘Reset’
“Naik!” perintah Merry padaku.
Aku ikuti perintahnya dan memanjat naik. Kemana semua pakaianku? Tadi kuletakkan di sini! Kurang ajar! Mereka mau mengerjaiku.
“Bajuku mana?” tanyaku pada semua orang. Mereka semua kompak menggeleng.
“Jatuh di kolam kata Maria...” ujarnya ringan saja. Seperti tidak merasa bersalah. Memang benar, pakaianku mengambang di tengah kolam. Kaos, celana jeans, BH serta CD-ku mengambang di tengah kolam. Tidak mungkin jatuh sampai ke tengah sana. Ini pasti dibuang!
Tubuh basahku semakin terasa dingin di keadaan ini. Ketujuh orang ini memandangi tubuhku tanpa henti seakan-akan ingin diterkam saja.
“Catatan waktuku bagaimana? Dibawah satu menit atau lebih?” tanyaku pada Merry atau Maria. Keduanya bungkam saja. “Apa aku boleh pinjam handuk... Dingin, nih...” pintaku.
“Lebih baik elo diam saja dan jangan melawan...” Maria mendekat dan langsung merangkulku. Jarinya langsung meremas dadaku.
“Akh!” keluhku kaget. Mulutku tak bisa mengeluh lagi saat Maria mencaplok mulutku dan memainkan lidahnya. Bibirnya mengulum rakus bibirku. Tubuhku menggeliat kala jari Maria memilin puting dada kiriku dengan lembut sambil terus meremas.
Dihisap-hisapnya lidahku untuk memancingku agar terangsang. Tangannya yang sebelah lagi lalu mulai meremas bongkahan pantat kananku.
Maria mencumbu mulutku dengan gemas. Ia melakukannya penuh dengan emosi.
“Huah...” desahnya melepas mulut dan penguasaan tangannya padaku sampai aku terdorong mundur selangkah darinya. Rupanya aku belum bebas karena tangan-tangan lain telah menyambutku bak zombie kelaparan. Leher dan telingaku menjadi sasaran cumbuan seorang lain. Kedua tangannya memeluk dan meremas dadaku. Ini Ambar. Terasa dadanya yang tak berbungkus lagi menggencet punggungku. Semuanya sudah bugil!
Maria pelan-pelan melepaskan gaun lembab berwarna ungu muda itu dari tubuhnya. Tak lama ia sudah bugil seperti kami semua. Aku bisa melihat semua tubuh telanjangnya.
Dadanya ketat berukuran 34B juga. Bahunya kokoh dan lengannya kuat. Pinggangnya ramping dan kakinya membulat padat. Pahanya yang terlatih menggawangi bentuk segitiga kemaluannya yang dicukur bikini wax rapi agar tidak mengganggu penampilannya saat memakai pakaian renang. Kulitnya berkilat licin dan bersih.
Kembali ia mendekatiku dalam keadaan bugil begini dan langsung diangkatnya kaki kiriku. Ia merapatkan badannya dan mencumbui bibirku lagi dalam keadaan aku terus dipeluk Ambar.
Selesai dengan bibirku, ia turun beralih ke dadaku sambil mendesak-desakkan tubuh bawahnya pada kemaluanku. Dilengkungkannya punggungnya hingga perutnya menggesek kemaluanku yang terbuka sedikit karena sebelah kakiku diangkat begini.
“Maria... Ahh... Ah...” desahku. Enak sekali ternyata bila payudara ini dikenyot begini. Karena itu banyak sekali wanita yang suka diperlakukan begini. Lidah dan bibir Maria bermain dengan puting dada kiriku bergantian dengan kanan. Aku terus melenguh-lenguh keenakan.
“Akhh...” kagetku saat satu jari Maria menyeruak masuk ke liang senggamaku. Terasa basah dan hangat. “Maria... Jangan Maria...” pintaku. Maria sudah mengorek-korek vaginaku dengan gemas.
“Kenapa? Elo sudah tidak perawan lagi, kan? Elo sudah pernah beginian sama cowomu, kan?” sergahnya. Jarinya terus bermain-main di vaginaku.
“Jangan Maria... Aku tidak mau... Cukup...” mohonku agar ia berhenti melecehkanku. Ambar tidak kunjung berhenti mencumbu leher dan telingaku. Geli sekaligus enak bercampur satu.
“Nikmati saja... Paling sebentar lo dapet...” geram Maria malah mengocokkan jarinya keluar masuk vaginaku. Tubuhku sampai bergetar merasakan jari Maria memompa dengan nikmat. Aku semakin menjerit-jerit.
“Mar... Mariaa... Maarr... Aaaahhhh...” jeritku. Nikmat sekali. Tubuhku berkejat-kejat tak terkendali. Enak sekali orgasme ini.
Begitu sadar, ternyata tubuhku sudah dibaringkan di lantai dingin. Rasa enak itu mulai lagi di vaginaku, di dadaku dan juga mulutku. Tiga cewek merubungiku. Maria menyantap vaginaku, Ambar mengenyoti dadaku dan Gladys mencumbui mulutku.
Dan ternyata rangkaian ini belum berakhir! Dibawah Gladys, ternyata Merry sedang mengoral vaginanya dengan rakus sampai bersuara berkecipak. Begitu juga dengan Ambar dengan cewek lain yang belum kuketahui namanya. Hera menikmati payudara Meisya tidak jauh dari tumpukan konglomerasi ini.
 
Bimabet
ngikutin ni cerita dari jaman masih Quint dan masih jadi Silent Reader sampe ngepost ga bosen

Updatenya rajin ampe ampir tiap hari update mana panjang bener dah

kalo sekarang jadi 3 hari sekali mah wajar daripada yang dulu ampe pegel scroll page belom kelar apdetan


=)) =)) =))

iya bro ock. kehabisan stok nih sampe harus dijarangkan jadi 3 hari sekali post-nya. makasih udah ngikutin karya2 ane selama ini...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd