Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

k®im ¢endol dlu ah....bua+ suhu...
k®na upda+e +iap ha®i..

mudah2an makin panjan9 ¢e®i+anya...+iap ¢hap+e®………
 
ja9an lupa i®ex dipe®banyak hu...
ups...salah.....
maksud ane. index...

didepan jauh ke+in99alan... hu... index-¢e®i+a....

maap +ou¢h s¢®een ane ®usak hu...
bua+ komen ini j9 makan wak+u 30 meni+ ane ushain...demi suhu...men9ha®9ai...¢e®i+a suuhu...
jd maap klw hu®up... ane 9an+i d9n simbol/an9ka...
 
Ayoo segera diupdate suhu... Biar ilang nech penasaran sama semua kasus satria...
 
========
QUEST#08
========​

“Eh... Kami pergi sebentar, ya...?” kata Nining pada Sari dan Titik yang sedang duduk ngobrol di depan kamar setelah pulang kerja dan mandi sore.
“Ya... Lama juga gak pa-pa kok...” jawab Titik.
“Pulangnya jangan lupa bawa makanan...” kata Sari.
Nining hanya tertawa-tawa kecil mendengar jawaban teman-temannya dan duduk di boncengan sepeda motorku.
“Memangnya kita mo kemana, Ning?” tanyaku.
“Udah... Jalan aja dulu...” katanya.
Langsung aja kustarter sepeda motor ini dan akhirnya setelah hidup, kami sudah ada di jalan. Nining yang mengarahkan aku harus jalan ke mana. Belok ke kanan atau kiri.
Tak lama kami sudah lumayan jauh dari daerah rumah kost kami. Aku sendiri belum pernah ke daerah ini.
“Kenapa? Belum pernah kemari, ya?” tanya Nining.
“Iya... Baru kali ini aku lewat daerah ini... Kalau terus... ini sampai kemana?” tanyaku memperhatikan jalan dengan seksama.
“Kalau terus... bisa sampai ke laut... Kita memang mau ke laut...” katanya.
“Ke laut? Nining mo berenang di laut?” tanyaku bloon.
“Ha... ha... ha... Masa hari gini mo berenang di laut... Aku bisa tambah hitam kalau berenang di laut...” jawabnya dengan tertawa renyah.
“Ya... pake’ sunscreen, dong... Supaya kulitnya gak gosong...” usulku.
“Gak, ah... Cuma mau duduk-duduk aja di pinggir laut...” katanya menolak.
“Oo... Liat sunset, ya?” sadarku.
“Iya... Matahari terbenam... Kan enak bisa liat sunset berduaan...” katanya lebih merapatkan dekapan tangannya di pinggangku.
“Wah... Iya... Romantis, tuh...” seruku.
“Satria... orangnya romantis, gak?” tanya Nining.
“Aku gak romantis nih... Tau kenapa...” jawabku asal saja.
“Masa gak romatis bisa dapat begitu banyak cewek? Cantik-cantik lagi... Yang benar, dong?” godanya.
“Iya, yah... Kenapa, ya? Mungkin karena wajahku yang imut-imut ini, nih...” candaku.
“Yee... Imut-imut dari mana?” cubitnya pada pinggangku.
“Ha... ha... ha...” tawa kami berdua.
--------​
Akhirnya kami duduk di pinggir pantai. Lebih tepatnya di atas sepeda motor ini sambil minum es kelapa muda dari penjual yang banyak bertebaran di sekitar dermaga ini.
Air laut yang tidak pasang berwarna coklat muda karena bercampur lumpur di teluk ini memang terasa cukup untuk merefleksikan cahaya matahari yang akan tenggelam.
Langit berwarna merah dengan sedikit campuran awan gelap. Pertanda akan cuaca panas malam ini.
“Jadi sebenarnya... gimana cara Satria mendapatkan cewek-cewek itu? Masa bisa dapat begitu banyaknya?” tanya Nining kembali mengulang topik ini.
“Sebenarnya... caranya standar saja... Seperti yang sedang kulakukan pada Nining sekarang ini... Didekati... Memperkenalkan diri... Memberitahu maksudku... Ya sudah...” jelasku.
“Masa begitu saja bisa dapat? Gak masuk akal...” kata Nining sambil terus minum air kelapa muda pakai sedotan.
“Itu biasanya... Tapi kalau agak berat... aku akan pakai cara khusus...” kataku.
“Cara khusus? Apa caranya?” tanya Nining seperti tidak antusias saja menanyakannya. Aku yakin ia sengaja mengarahkan percakapan kami ke sini.
“Namanya CHARM... Ini salah satu kemampuan khusus andalanku... Bila memakai kekuatan ini... perempuan manapun akan bertekuk lutut...” jelasku.
“Dan yang terbaru... Ini disebut-sebut sebagai yang terkuat... Dinamakan CRAVE... Tidak hanya perempuan... Laki-laki juga bisa terpengaruh...” sambungku.
“Kenapa Satria belum juga menggunakannya padaku...?” kata Nining tiba-tiba. Ia tetap memandang ke arah langit yang merah.
“Menggunakan CHARM ke Nining?” gumamku tak percaya. Apa ia memintaku menggunakan CHARM pada dirinya?
“Aku tidak bisa sembarangan memakainya... Karena efeknya sangat berbahaya... Yang di pikiran Nining hanya akan ada nafsu saja... Tidak ada kerelaan dan kemauan sendiri... Aku tidak bisa memaksa Nining begitu... karena itu akan sama saja dengan memperkosa Nining...” jelasku.
“Aku rela dan mau... Tapi aku hanya takut... Satria tau kalau aku masih trauma pada kejadian itu... Tapi kalau itu bisa membantu Satria... aku mau membalas kebaikanmu selama ini...” kata Nining kini menunduk. Rela dan mau? Beneran dia ngomong itu barusan...
“Nining...?” kataku mencoba merangkul pinggangnya. Aku tak perduli pada pandangan mata orang-orang yang ada di sekeliling kami.
“Benarkah?... Nining benar-benar mau?” hatiku girang sekali. Akhirnya aku bisa menyentuh Nining yang cantik eksotis ini. Dan ia dengan relanya mau menyerahkan dirinya padaku.
Nining diam saja dan menunduk...
Kubawa kemana cewek ini? Di kamar kost-nya? Tidak mungkin... Ada Sari dan Titik. Ke kamar kost-ku?... Tidak pantas! Dibawa ke rumahku?... Takut dia minder.
--------​
Akhirnya aku membawa Nining ke sebuah hotel yang ada di sekitar wilayah pelabuhan ini. Hotel jenis ini memang menyediakan fasilitas short-time untuk jenis urusan air burung seperti ini.
Tanpa banyak tanya, kami sudah mendapatkan sebuah kamar standar yang hanya dilengkapi fasilitas cukup seperti double bed. TV 14 inch. Pendingin udara. Kamar mandi dengan shower dan bathtub.
Setelah pintu kukunci, aku melihat Nining duduk dengan kikuknya di tepi ranjang.
“Ng... Kita... harus ngapain lagi...?” tanya Nining basa-basi.
“Ya... Kita ngobrol-ngobrol aja dulu...” jawabku agar ia merasa rileks dan tenang sebelum ‘kuapa-apakan’.
Aku duduk di sampingnya di tepi ranjang itu. Kunyalakan TV fasilitas kamar ini dan mulai mencari-cari siaran TV yang menarik.
Sore-sore begini kebanyakan acara TV adalah infotainment yang menjemukan bagi orang sepertiku. Kualihkan kembali perhatianku dengan kembali ngobrol dengan Nining seperti rencanaku semula.
Aku mulai bekerja dengan duduk rapat dengannya. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya tetapi tidak terlalu erat.
Tubuhnya yang wangi sabun mandi sebelum pergi tadi telah tercium jelas oleh hidungku.
Aku mulai menciumi rambutnya yang kini digerai. Wanginya enak, tidak terlalu keras wangi shampo-nya.
Nining meremas tanganku yang berada di pinggulnya. Menikmati nafas hangatku yang menerpa belakang lehernya. Kusibak rambut sebahunya untuk dapat langsung ke leher.
Detik berikutnya aku sudah menciumi lehernya yang luar biasa membuat Nining merinding geli. Ia menggidikkan bahunya karena gelinya. Tanganku semakin diremas.
Tangan kananku meraih bahu kanannya agar gidikan itu diturunkan dan aku berpindah ke bagian telinganya.
Nafasku yang hangat segera menerpa telinganya...
“Ahh...” desah Nining tak tahan.
Lidahku mulai beraksi menyentuh bagian dalam telinganya. Itu menyebabkan tubuh cewek ini bergetar merasakan ujung lidahku yang basah.
Perlahan-lahan kusapukan lidahku keseluruh bagian telinganya yang ternyata sangat sensitif.
“Satria... Ahh...” desahnya lagi. Ia kini meremas lengan kiriku. Tangan kananku kini meremas-remas bahu kanannya.
Pelan-pelan aku turun dari telinganya menuju rahangnya sambil terus mempermainkan lidahku.
Nining menggerakkan wajahnya hingga kini aku bisa mencapai bibirnya.
Akhirnya kami berciuman.
Nining menghisap-hisap bibir bawahku dan aku membiarkannya menikmati ciuman ini sesukanya.
Ia kini tanpa sungkan memelukku dengan erat dan menikmati bibirku sepuas-puasnya.
Seakan rindu dengan rasa sayang dan cinta yang telah lama jauh dari perasaannya selama ini.
Tak terasa kini kami telah bertindihan dengan posisi Nining diatas dan aku dibawah di ranjang hotel. Tanganku mengelus-elus punggungnya.
“Enak, Ning?” tanyaku begitu ia menghentikan kulumannya pada bibirku.
“Hmm... Enak... Aku sudah lama ingin mencium bibirmu... Kelihatannya sangat enak kalau dicium... Ternyata memang seenak yang kubayangkan...” katanya pelan masih tetap menindihku.
“Cium sepuasmu... Aku tidak akan kemana-mana...” kataku dengan menyeka bibirnya yang basah oleh ciuman kami tadi.
Kembali Nining menciumi bibirku. Mengulum dan menghisap bibir atas dan bawahku bergantian. Terkadang kedua bibirku dihisapnya sekaligus dengan gemas.
“Hmm...” ia lalu berhenti sama sekali dan menelusupkan kepalanya di leherku. Nafasnya yang memburu terasa hangat.
Kuelus rambutnya yang acak-acakan.
“Apa Nining masih takut?” tanyaku.
“Tidak... Aku tidak tau... Saat ini aku tidak takut...” jawabnya.
“Ya, sudah... Kita tidak perlu buru-buru...” kataku.
“Boleh aku terus begini...?” tanyanya. Ia tetap menindihku dengan kepalanya di samping leherku. Dadanya terasa di atas dadaku. Tangannya menelusup di bawah ketiakku.
“Boleh... Selama Nining mau...” jawabku. Siapa yang bisa menolak dipeluk cewek secantik Nining seperti ini.
“Makasih...” ia mengecup pipiku lalu menelusupkan kepalanya lagi di leherku.
Hangat tubuh kami bersatu. Hangat...
Tangannya yang tadinya menelusup di bawah tanganku kini bergerak mengelus-elus dadaku dengan perlahan lalu diam sama sekali.
Ia tertidur...
Nining... Nining... Sepertinya ia kelelahan setelah pemanasan ringan tadi.
Kubiarkan ia tidur dengan posisi itu sesukanya. Memelukku.
--------​
Ng... Aku tertidur juga...
Saat kubuka mata, segera aku menemukan wajah Nining yang berseri-seri menatapku tepat dihadapanku.
Ia tidak memakai baju lagi, hanya tinggal BH berwarna krem dan celana jeans birunya.
“Ning?... Maaf aku tertidur juga...” kataku berusaha bangkit.
“Gak pa-pa... Aku juga baru bangun, kok...” jawabnya. Baju kausnya telihat di lantai di bawah ranjang.
“Nining cantik sekali sekali kalau begitu...” kataku.
“Ah, masa, sih... pasti Satria juga ngomong begitu sama semua cewek yang buka baju di depanmu, kan?” kilah Nining.
“Memang begitu... Kalau memang cantik... akan kukatakan cantik... Kalau gemuk akan kukatakan gemuk...” kataku.
“Memang aku tidak gemuk?” tanya Nining.
“Nining tidak bisa dikatakan gemuk... Montok tepatnya...” kataku memperhatikan dadanya yang terbungkus BH krem itu. Menggembung pada bagian tepinya karena ketat.
“34 B, kan?” tebakku pada ukurannya.
“Hmm...” jawabnya malu dan menyilangkan tangannya di depan dadanya, menutupi benda indah itu.
“Satria buka baju juga, dong... Masa aku aja...” pintanya.
“Boleh...” jawabku dan dengan cepat baju kausku itu sudah lepas dan berada di lantai.
“Baru kali ini aku melihat badanmu... Ternyata bagus juga... Kukira kau anak kota yang tidak pernah bekerja keras...” pujinya pada bentuk badanku.
“Trus... Abis buka baju... Ngapain lagi?” pancingku.
“Satria maunya apa?” goda Nining.
“Buka itu...” tunjukku pada dadanya.
“Ihh... Satria mesum...” candanya memutar tubuhnya memunggungiku.
Kudekati tubuhnya dan kudekap dengan cepat. Kulit badanku dan kulit punggungnya bersentuhan.
Kami terdiam beberapa saat.
“Satria... dibelakang... kaitnya...” katanya lirih.
Aku mengerti apa maksudnya. Hanya dengan satu tangan aku melepaskan kait BH-nya dengan mudah. Kusisihkan tali-tali dari dua bahunya dan Nining meloloskan dari tangannya.
Tapi cup-nya masih didekap... Membuatku penasaran!
Segera aku bergerak cepat membuatnya berbaring dengan beralaskan pahaku dan kucium bibirnya.
“Hmm...mm...” lenguhnya saat aku mencium bibirnya dengan cara yang berbeda dengan caranya tadi.
Dengan lidah, aku mempermainkan permukaan bibirnya. Memberikan sensasi yang berbeda sama sekali karena tekstur lidah yang sedikit kasar. Lidahku lalu menyeruak masuk kedalam mulutnya, mencari lidahnya dan mengaduk-aduk isi mulutnya.
“Aahh...” keluh Nining meremas rambutku dengan kedua tangannya. Berhasil...
Aku meneruskan permainan lidahku di dalam mulutnya sementara tanganku mulai menjamah kulit dadanya yang tak lagi terlindungi apapun.
Kenyal sekali. Kuremas-remas lembut bukit dadanya yang tadi sesak di dalam BH berukuran 34 B itu.
“Aaahhsssttt... oohh...” keluhnya.
“Gak pa-pa, kan kalau dada Nining kupegang?” tanyaku meminta izin. Hal yang sangat jarang kulakukan.
Ditariknya lagi kepalaku agar kembali menggumuli mulutnya. Aa... Sudah keenakan ternyata.
Aku makin gencar memainkan lidahku juga tanganku. Putingnya yang kecil kupilin-pilin dengan jari. Terkadang kutarik gemas. Dengan telapak tangan penuh, kuremas dadanya.
Tangan Nining mengacak-acak rambutku. Suara erangan dan keluhannya membuatku semakin bersemangat.
“Ohhmm... sssttt... Sat... aahh...”
“Ning...” kataku melepaskan mulutku dari mulutnya. Kugeser tubuhnya dari kakiku dan kurebahkan ia ke atas kasur ranjang dan kembali kudekati ia.
“Ooaaahhh...” desahnya merasakan ujung putingnya terjilat lidahku.
Dipandanginya aku dalam-dalam. Pandangan penuh nafsu.
Langsung saja aku membenamkan mukaku di dada yang cukup besar itu.
Lidahku menari-nari disekitar putingnya. Menjilat dan menghisapnya bergantian, kiri dan kanan. Tubuh Nining meliuk-liuk dan melengkung menahankan rasa nikmat yang kini kuberikan padanya.
Ia meremas rambut dan menekan-nekan kepalaku dengan kuat. Sakit juga. Tapi enak.
Kali ini tanganku mulai mengusap-usap perutnya yang rata. Terutama daerah sekitar pusarnya yang biasanya juga sensitif. Kulitnya yang halus terasa menegangkan otot-otot perutnya.
Lidahku beringsut turun menjalari garis perutnya dan berputar-putar di lingkaran pusarnya. Kembali Nining bergelinjang geli menahankan rasa yang kuberikan.
Pusarnya kujilat-jilat dan kukorek dengan kuat membuat Nining semakin menekan otot perutnya. Keringat telah menitik di sekujur tubuhnya.
“Satria!”
Tiba-tiba Nining menarik tubuhnya dan meringkuk di kepala ranjang, menutupi tubuhnya dengan kedua tangannya yang bersilang.
Ia teringat pada traumanya itu lagi...
“Maaf, Ning... Apa aku membuatmu takut?” tanyaku dari tempatku sekarang ini.
Ia tidak menjawab. Hanya menangis.
Sebelum ini terjadi, aku memang akan menelusupkan tanganku memasuki bagian atas jeans birunya untuk menemukan gundukan vaginanya.
Saat tanganku sudah sampai di sana itulah tiba-tiba Nining terkejat dan menjauh dariku sampai sekarang.
Wah... Ia sangat trauma pada perkosaan waktu itu.
Kubiarkan saja ia di sana sampai ia bisa mengendalikan dirinya sendiri.
--------​
Sepanjang perjalanan pulang malam itu, kami hanya berdiam diri. Nining juga tidak memeluk pinggangku seperti biasa. Seperti orang asing saja.
“Maaf, ya, Satria... Aku tiba-tiba ketakutan seperti itu...” kata Nining memecah kebisuan.
“Gak apa-apa... Aku bisa mengerti ketakutanmu... Aku akan menceritakan sesuatu... Kita menepi dulu, ya...” jawabku dan memperlambat laju sepeda motor dan menepi di pinggir jalan.
Di depan kebun pisang di tepi jalan ini, aku memarkirkan sepeda motorku dengan standar tengah dan kami duduk berdua memunggungi jalan.
--------​
“Setelah menikamku sore itu... Tinto langsung kabur kembali ke kampung... Kalau Nining lihat aku sehat-sehat saja itu karena aku dibantu teman-temanku... Teorinya begini... Minggu itu adalah hari ulang tahunku... Orang bilang kalau pada hari ulang tahun adalah hari yang terlemah dalam hidup kita...” kisahku.
“Tinto menikamku dengan sebuah keris pusaka bernama Browok Menggolo... pada hari ulang tahunku... hari terlemah dalam hidupku... Itu ada benarnya juga... Karena saat kita lahir ke dunia ini, kita adalah mahluk yang lemah... Tanpa bantuan orang lain kita tidak bisa apa-apa...”
“Tidak seperti hewan... yang sesaat setelah lahir... akan bisa berdiri... berjalan... bahkan berlari... Karena kita mahluk sosial... Memerlukan orang lain...”
“Setelah sembuh berkat bantuan teman-temanku... Aku mengejar Tinto... Aku berhasil menemukannya di luar kota kala ia menaiki bus malam antar kota... Kami bertarung... Tebak apa yang dipakainya sebagai senjata... Keris Browok Menggolo yang telah dipakainya menikamku dari belakang...”
“Aku berhasil mengalahkannya dan temanku mengambil Browok Menggolo itu... Katanya... sifat keras hatinya selama ini adalah karena pengaruh buruk keris pusaka itu... Ia tidak serasi menyandang senjata itu karena ia terlalu lemah dan bisa dipengaruhi dengan mudah...”
“Sekarang... aku yakin kalau tak ada lagi yang perlu ditakuti dari Tinto... Bahkan kalau Nining pulang kampung sekarang dan meminta pemutusan pertunangan... Ia tidak akan bisa menolaknya... Sekarang ia sudah berubah... Bukan orang yang menakutkan lagi...” tuntasku.
“Apa... Satria melakukan itu semua... untukku?” pasti Nining.
“Ya...” jawabku pendek.
“Terima kasih... Satria sudah begitu banyak membantuku... Tapi aku sama sekali tidak bisa membalasnya... Aku sungguh tidak berguna, ya?” katanya menunduk.
“Jangan begitu... Nining hanya takut... Itu wajar saja... Trauma pada kejadian seperti itu adalah sangat normal... Itu bukan salah Nining... Bukan salah siapa-siapa... Masalahnya adalah ketidak mampuan manusia untuk melepaskan diri dari momok menakutkan yang bernama takut...” kataku.
“Takut pada orang... takut pada gelap... takut pada panas... takut pada hantu... takut pada benda tajam... takut pada ketinggian... takut pada ular... dan berbagai macam hal takut lainnya...”
“Padahal kalau dipikir dengan benar... Apa yang kita takutkan itu sama sekali tidak beralasan...”
“Takut pada orang padahal masih sama-sama manusia... Takut pada gelap tetapi menunggu malam untuk istirahat... Takut pada panas tetapi dengan panas kita memasak... Takut pada hantu tetapi belum tentu mahluk itu menyeramkan... Takut pada benda tajam tetapi dengan pisau kita memotong sayur... Takut pada ketinggian tetapi mengagumi indahnya gunung... Takut pada ular tetapi tidak semua ular berbisa... dan berbagai alasan untuk tidak takut pada apapun...” kataku seperti berkotbah saja.
“Satria terdengar sangat dewasa... Padahal masih sangat muda...” kata Nining tersenyum.
“Sori... Apa aku membuat Nining bosan?” sadarku.
“Gak... Enggak, kok... Yang Satria katakan tadi memang benar... Terlalu banyak hal yang tak perlu ditakutkan... Aku akan berusaha, ya?” katanya dengan senyum. Tetapi tidak dipaksakan.
Tulus.

========
QUEST#08
========​

“Halo, Satria... Papa dengar kamu kerja di pabrik PT. Boxindo Mitra Abadi itu, ya?” tanya Papa malam itu lewat telepon.
“Iya, Pa... Papa tau dari siapa?” tanyaku balik.
“Papa tau dari Pak Yahya... Katanya ia sudah memberitahu Satria kalau Papa ada invest di sana...” jelas Papa.
“Pak Yahya... Benar, Pa...” jawabku.
“Apa, Satria sendirian di sana? Papa mau ngomong langsung denganmu, nih...” kata Papa lagi.
“Iya, pa... Sendirian... Tapi sebentar lagi Satria mau pergi...” jawabku.
“Ya... sebentar saja... Tunggu... Tut!” ia menutup telepon.
“Pa...” ia sudah berada di sampingku. Di beranda kamar kost-ku di lantai 3 ini.
“Ini tempat kost-mu, Satria?” kata Papa setelah melayangkan pandangannya berkeliling.
“Iya, pa... Beginilah...” jawabku.
“Ya... tidak apa-apa... Ini pengalaman untukmu... Kau harus punya beragam pengalaman agar dapat survive di dunia yang keras ini...” kata Papa lalu bersandar pada besi tepi beranda.
“Papa mau menceritakan sedikit kisah masa lalu Papa... Kisah ini ada hubungannya dengan pabrik di mana Satria bekerja sekarang...” mulai Papa.
“Sewaktu Papa dan Oom Ron masih kuliah dulu... Kami pernah bertarung dengan seorang musuh tangguh bernama Elang Timur... Dia pemilik awal Anta... Burung elang peliharaan Oom Ron itu... Pertarungan kami itu berlangsung dari jauh di sana... Dari pantai sana sampai melewati daerah ini... Kawasan Industri ini...”
“Hasilnya kami banyak merusakkan berbagai macam tempat... Dan yang terparah adalah pabrik PT. Boxindo Mitra Abadi itu... Hampir separuh pabrik itu rata dengan tanah... Kala itu pabriknya tidak sebesar sekarang...”
“Bisa dibayangkan berapa besar kerugian yang kami timbulkan... Tetapi yang paling Papa khawatirkan adalah para pekerjanya... Kalau pengusahanya tinggal ajukan klaim asuransi sudah beres... Berapa banyak pekerjanya yang harus kehilangan mata pencariannya karena keteledoran kami itu...”
“Makanya... sejak awal memimpin Group Bhumi Surya Chandra Awan bersama Oom Ron... kami secara pribadi berinvestasi untuk membangun kembali pabrik yang terseok-seok bangkit ini... Hingga menjadi besar seperti ini...” jelas Papa.
“Karena itu Papa tidak tinggal diam melihat keuntungan perusahaan itu menjadi permainan angka para Pimpinan pabrik itu... Itu sama saja mempermainkan para karyawan sebagai aset yang paling berharga dari perusahaan itu...” lanjutnya.
“Jadi Papa marah bukan karena keuntungan yang Papa peroleh lebih sedikit dari seharusnya...” tanyaku.
“Heh...? 2.5% itu bukan angka yang sedikit... Tapi yang Papa marahkan adalah keculasan pada karyawan... Begini-begini Papa kenal orang-orang lapangan di pabrik itu...” Papa lalu menyebutkan nama-nama orang senior di pabrik itu.
“Iya, Pa... Pak Yanto... Mandorku di Flexo 6...” kataku mengenali satu nama yang disebutnya.
“Pak Yanto mandormu? Dia orangnya baik... Sangat bisa diandalkan... Tidak pernah mangkir bekerja walau sakit sekalipun... Waktu pabriknya hancur saat itu... ia baru bekerja 2 tahun... Sempat dirumahkan berkali-kali karena ketiadaan modal untuk melanjutkan usaha... Tapi ia tetap bertahan... Papa dulu sempat ke rumahnya beberapa kali...” kenang Papa.
Wah... Papaku ternyata mempunyai hubungan emosi yang cukup kuat dengan pabrik tempatku bekerja saat ini.
Tak pernah kukira.
“Jadi apa rencana Papa sekarang?... Apa tidak lebih baik pabrik itu diambil alih sekalian dan digabungkan dengan Group Usaha saja...?” usulku.
“Rencana Papa memang begitu... Tapi sesuai standar dan kode etik dunia usaha... beberapa hal harus dilakukan dahulu... Seperti pembenahan manajemen dan sistem... Juga proses pembelian saham mayoritas yang akan ditawarkan pada publik dalam waktu dekat... Banyak yang juga mengincar perusahaan ini...” jelas Papa.
Ternyata tak semudah yang kubayangkan...
“Papa mendapat kesan kalau manajemen perusahaan itu sedang berusaha membersihkan semua kebusukan mereka selama ini...” lanjut Papa.
“Iya... Ada banyak sekali hal-hal menyimpang diluar kebiasaan atau standar kelayakan... Terutama bila menyangkut para karyawan... Lebih bisa dikatakan sebagai semena-mena bagi karyawan dan lebih banyak menguntungkan pengusaha...” jelasku.
“Bisa Satria beri contohnya...?” kata Papa.
Lalu aku menceritakan beberapa kasus yang pernah terjadi selama aku bekerja di sana. Juga beberapa kasus lain yang sempat kudengar dari teman-temanku.
--------​
“Hmm... Baik... Informasimu sangat berguna... Beberapa sudah Papa dengar dari Pak Yahya... Baiklah Papa rasa cukup begitu saja... Bagaimana dengan pencarianmu...? Lancar?” tanya Papa.
“Sampai saat ini masih lancar, Pa?” jawabku.
“Bagus... Kalau ada perlu apa-apa... Jangan takut untuk memberitahu Papa... Kalau bisa Papa akan semampunya membantu... Lagipula saudara-saudaramu juga banyak... Mereka juga bisa diandalkan... Bukan begitu...?” kata Papa.
“Iya, Pa...” jawabku.
“OK... Papa pergi dulu...” dalam sekejap ia menghilang lagi menarik kembali bayangan ilmu proyeksinya.
--------​
Aku turun dari kamar kost-ku dan menuju rumah kost Nining dan teman-temannya.
“Darimana aja, Satria...? Udah ditunggui Nining dari tadi, loh...” sambut Sari yang duduk di depan kamar.
“Ada apa?” tanyaku. Seingatku kami tidak ada janji penting.
“Gak tau...” jawabnya.
“Menungguku, Ning?” tanyaku begitu aku masuk ke kamar mereka bertiga.
“Iya... Biasanya jam 7 kamu udah nongol... Aku mo ngajak kamu ke suatu tempat...” katanya sambil berdandan seadanya dengan sebuah cermin kecil.
“Ayo...” setujuku. Mudah-mudahan aja kami bisa melanjutkan yang tertunda kemarin.
“Yee... Kami ditinggal terus... Pulangnya bawa oleh-oleh, ya?” rungut Titik.
“Aa... Kalian ini gak bisa liat orang senang sedikit aja... Nanti kita pergi rame-rame... Kali ini kami berdua aja...” kata Nining.
“Kapan?” tanya Titik antusias.
“Nanti... ke puncak... Rame-rame... Satu pabrik lagi...” jawabnya sambil meleletkan lidah. Ia mendapat cemoohan Titik dan Sari yang sebal.
--------​
“Kemana, Ning?” tanyaku saat kami sudah di jalan diatas 2 roda Supra X.
“Terus aja... Nanti Satria tau sendiri...” jawab Nining dari belakang telingaku. Nafasnya terasa hangat.
Hmm... Mungkin masalah ‘ini’.
Nining melingkarkan tangannya di perutku seperti sebelum-sebelumnya. Tanpa ragu atau canggung lagi. Dadanya yang sempat kucicipi juga menekan punggungku.
Pada arah jalan yang ditunjukkan Nining, kami sepertinya memasuki daerah yang belum pernah kulewati lagi. Tetapi di daerah ini banyak anak muda berpasang-pasangan atau bergerombol berkelompok di tepi-tepi jalan. Sepeda motor mereka menjadi tempat duduk tempat bercengkrama.
Banyak juga warung dan cafe beraneka macam. Kebanyakan menjual makanan atau minuman. Berbentuk lesehan atau konvensional dengan meja dan kursi.
Nining menunjuk satu cafe untuk kami masuki.
Tiap meja lesehan mempunyai sekat tersendiri hingga tidak akan terganggu oleh tetangga sebelahnya. Ruangan bersekat itu hanya terdiri dari satu meja bulat dari kayu dan diterangi lampu pijar 20 watt. Tidak terlalu terang...
Nining memilih satu ruangan bersekat bernomor 11 yang letaknya agak ke sudut, sementara aku memarkir sepeda motor ini.
Segera setelah aku duduk menyusul Nining yang telah duduk santai disana, seorang pelayan cafe ini datang.
“Pesan mi goreng dan jus timun, mbak... Satria pesan apa?” kata Nining.
“Sama... Pesan yang sama aja...” jawabku.
“Jangan... Satria pesan mi ayam sama jus alpukat aja...” cegah Nining. Ia tersenyum lebar.
Pelayan itu mencatat semuanya dan langsung pergi.
“Tapi, kan aku mau mi goreng juga...” protesku.
“He... he... Bukan begitu... Kalau pesannya sama... nanti gak bisa tukaran... Nanti Satria nyicipin mi gorengku... aku nyicipin mi ayam Satria... Gitu...” jelas Nining.
“Oo... Jadi bisa ngerasain dua jenis makanan sekaligus, ya?” pahamku. Nining menganguk dengan senyum lebar.
“Satria... Satria bawa HP, gak? Aku pinjam sebentar dong... HP-ku gak ada pulsanya...” mintanya.
“Oo... Sebentar...” kukeluarkan HP-ku dari kantong jeans-ku dan kuaktifkan. Lalu kuberikan padanya.
Diperhatikannya sebentar HP berukuran lumayan lebar itu.
“He... he... Aku gak ngerti make’nya... Bantuin, dong?” setelah buntu. Ia merapatkan dirinya padaku dan mengembalikan HP itu.
“Sori... Memang agak ribet memakai HP model begini...” kataku lalu memencet layar HP ini untuk memilih nomor telepon.
“Nomornya berapa, Ning?” tanyaku setelah muncul layar nomor telepon.
“Ajarin, dong...” katanya.
Kubimbing tangannya untuk menekan layar touch screen kala ia memasukkan angka-angka nomor telepon itu.
“Lalu tekan tombol ini untuk memulai sambungan...” tunjukku pada tombol paling bawah.
“Ini?” pastinya dan ia menekan tombol hijau itu. Terdengar nada sambung tanda sedang menunggu diangkat orang di seberang sana.
“Halo... Mbak Meiska, ya?” begitu telepon di sana diangkat.
“Ya, benar... Siapa ini?” tanya wanita bernama Meiska itu.
“Ini Nining, mbak...” jawab Nining.
“Oo... Nining... Gimana, Ning?” tanya wanita itu. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.
“Benar, mbak... Aku sudah dapat buktinya... Mas Sugih mengirim surat cinta padaku... Suratnya masih kusimpan... Nanti kalau kita ketemu... Nanti kuberi suratnya pada mbak, deh...” kata Nining.
Surat cinta?
“O ya bagus... bagus... Makasih, Ning atas bantuannya... Besok sore mbak akan ke rumahmu... Makasih, ya?” kata wanita di seberang sana itu.
“Eh... Udah... Makasih, ya HP-nya...” kata Nining mengembalikan HP-ku.
Kuletakkan saja benda itu di atas meja.
“Ada apa tadi, Ning? Ada surat-surat cintanya...?” tanyaku penasaran.
“Ini...” Nining mengeluarkan sebuah amplop berwarna biru dari dompetnya.
“Ada yang ngirim surat cinta padaku... Namanya Sugiharto... Orang pabrik Boxindo juga...” Nining menyerahkan surat itu padaku.
Kalau dilihat dari tulisannya, sepertinya cukup berpendidikan. Tulisannya rapi dan tersusun dengan baik kata-katanya.
“Terus... Yang Nining telepon tadi itu?” tanyaku masih belum mengerti.
“Itu tadi istrinya si Sugiharto...” jawab Nining ringan.
“Istrinya? Jadi Sugiharto yang sudah punya istri itu mengirim surat cinta pada Nining?” kagetku.
“Itu dia suratnya... Aku kesal dilecehkan terus-menerus... Mentang-mentang dia Supervisor... Kulaporkan bini-nya aja sekalian...” jelas Nining.
“Wah... fans-nya Nining banyak sekali, ya? Nanti aku mo nulis surat cinta juga, ah...” candaku.
“Satria mo nulis surat cinta untukku?” tanya Nining berbinar-binar. Sepertinya ia senang sekali.
“Untuk Mamaku... Ya, untuk Nining, dong...” jawabku.
“Uu... Satria nakal...” manjanya menyandarkan tubuhnya padaku.
“Sori... sori... Jadi kalau istrinya Sugiharto sudah dapat surat cinta suaminya untuk Nining itu... abis itu gimana?” tanyaku sambil membelai rambutnya.
“Ya... itu urusan rumah tangga mereka... Aku gak mau tau... Aku gak pernah merayu suami orang, kok...” gerutunya.
“Paling-paling perang dunia ketiga...” kataku. Kami tertawa-tawa bersama. Masih bersandar padaku di ruang lesehan bersekat ini berdua saja.
“HP seperti ini mahal, ya, Satria?” tanya Nining mengambil HP itu lagi dari meja.
“Lumayan juga... Tapi yang seperti ini tidak ada dijual di toko HP manapun... Ini dibuat khusus oleh sepupuku... Namanya Hellen... Ia paling jago kalau soal teknologi...” jelasku.
“Berarti core si Hellen itu termasuk istimewa juga, ya?” ingat Nining tentang masalah keistimewaan core seseorang.
“Iya... Core milik Hellen juga sering membantuku... Mau lihat foto core-nya milik Hellen...? Sebentar...” kataku lalu mencari-cari file gambar sewaktu Hellen kufoto bersama kedua corenya. EBRO dan LIBRO.
“Ini dia... Yang ini yang namanya Hellen...” tunjukku pada foto di layar HP ini.
“Ini bukannya boneka? Lucu amat...” komentarnya.
“Memang lucu bentuknya... Tetapi si EBRO ini yang paling pintar... Dan kalau ia bergabung dengan adiknya... Yang ini... yang berbentuk seperti ular kobra raksasa ini... LIBRO... Mereka bisa berubah menjadi core manusia robot besar setinggi 2 meter...” jelasku.
“Hebat sekali... Apa core milikku juga begitu...?” tanya Nining terheran-heran.
“Tidak tau... Core Nining harus didapat dulu baru bisa diketahui bentuknya...” jawabku.
“Lihat foto yang lainnya, dong...” minta Nining.
“Ng... Foto apa, ya...” gumamku sambil mencari-cari dari berbagai folder dan thumbnail yang terlihat dilayar HP ini.
“Ini... Yang ini...” tunjuk Nining pada sebuah thumbnail.
“Jangan... Itu gambar jorok...” elakku mengalihkan ke folder lainnya.
“Gak pa-pa... Itu aja...” kata Nining setengah memaksa.
“Ini... Nah... Liat nih...” kataku memasrahkan salah satu koleksiku untuk dilihat Nining.
Cewek itu terdiam sebentar melihat foto syur ini. Foto aku bersama Jessie dan Aya sedang bercinta di rumah kontrakan mereka. Adegan saat aku sedang menggoyang penisku di dalam vagina Jessie dan Aya menjilati batangku yang sedang terbenam dalam vagina kakaknya.
Foto ini dan beberapa lainnya adalah kenangan yang kuabadikan diam-diam dengan timer HP berkamera milikku.
“Siapa mereka ini, Satria...?” tanya Nining akhirnya.
“Yang ini... namanya Jessie... ini adiknya Aya... Jessie pemilik ZODIAC CORE TAURUS... ZODIAC CORE kedua... yang kudapat...” jelasku terus terang.
Ia lalu memilih foto-foto lainnya dalam browser HP ini. Beberapa adegan kelanjutan persetubuhanku dengan kakak beradik itu.
Lalu kumpulan fotoku bersama Silva dan Silvi, kembar identik dengan ZODIAC CORE GEMINI mereka. Bersama mereka, foto-foto itu tidak lagi diambil diam-diam, melainkan terang-terangan. Beberapa juga dijepret sendiri oleh mereka.
Juga ada rekaman video saat kami bertiga bergumul di kamar mereka sehabis belajar bersama.
Nining tak henti-henti memandangi adegan adegan foto ataupun video itu. Menyaksikan aksiku bersama cewek-cewek itu.
--------​
“Mereka cantik-cantik, ya?... Tidak seperti aku yang kampungan begini...” kata Nining setelah berhenti karena pesanan makanan kami datang.
“Nining juga cantik, kok...” kataku sambil mencoba jus timun miliknya.
“Gombal...” katanya.
“Kalau tidak cantik... tidak akan mungkin banyak laki-laki pada tergila-gila sama Nining... Sampai melupakan anak istri... Benar, kan...” kataku lalu menyicipi mi gorengnya sesendok.
“Eh... Itu aku belum nyobain... Kok udah dicicipin duluan...?” seru Nining sadar.
“Ya, udah... cicipin mie ayam sama jus alpukatku, deh...” sodorku menggeser kedua makanan dan minuman pesananku.
“He... he... Becanda kok...” katanya. Tapi tetap mengambil gelas jus alpukat.
--------​
“Gimana? Enak, kan makanan di sini?” tanya Nining.
“Lumayan... Enak juga...” kataku mengelap bibirku dengan tissue.
“Aku selalunya kemari dengan Titik dan Sari...” katanya.
“Selalu dengan Titik dan Sari? Gak pernah dengan cowok?” tanyaku menyelidik.
“Gak pernah... Maksudnya gak pernah kemari... He... he...” jawabnya santai saja. Lebih baik begitu.
Nining lalu menyandarkan tubuhnya kembali padaku dan kembali mengotak-atik HP-ku.
“Mo liat foto itu lagi?” tanyaku.
“Gak... Aku mo dengar lagu koleksi MP3 Satria, kok...” jawabnya dan memutar sebuah lagu. Lagu yang cukup romantis katanya. (Kenapa ada lagu Geisha di HP-ku?)
Kulingkarkan tanganku pada lengannya dan Nining menyambut tanganku dan melingkarkannya di atas perutnya. Aku bersandar pada dinding tripleks yang menjadi sekat dengan ruangan sebelah. Memeluk Nining.
“Apa Satria merasa kesal... soal yang kemarin itu?” tanya Nining perlahan. Tentang kejadian di hotel itu.
“Tadinya iya... Tapi mau bagaimana lagi... Nining masih trauma... Aku bisa mengerti, kok...” jawabku. Nining mengangkat kepalanya dan mencium pipiku.
“Sori, ya... Aku belum bisa membantu Satria...” katanya.
“Ya... Pelan-pelan saja... Waktunya masih banyak...” kataku.
Nining lalu agak merubah posisi bersandarnya. Sekarang ia bersandar menyamping hingga ia merebahkan pipinya di bawah leherku.
Ia mengusap-usap dadaku dari balik bahan kaus itu. Kuciumi ubun-ubun kepalanya. Rambutnya selalu wangi. Kuelus kulit lengannya.
Nining mulai bergerak lagi. Bibirnya mengarah padaku...
Ia mengulang kembali ciumannya sewaktu di hotel kemarin. Ia menguasai ciuman itu dan aku membiarkannya menikmati bibirku sepuasnya.
Kucoba untuk menyentuh dadanya dan ia agak melonggarkan tubuhnya yang merapat padaku agar bisa terjangkau dengan lebih leluasa.
BH-nya terasa lembut oleh gundukan 34 B-nya. Kuremas-remas perlahan bergantian kiri dan kanan. Nafas Nining terasa semakin memburu. Menerpa wajah dan hidungku.
Mulai bernafsu...
Tanganku mulai lebih berani dan menelusup masuk dari bagian bawah kausnya dan tiba di tepi BH-nya.
Kusisihkan kebagian atas penutup dada itu hingga tanganku bisa menggenggam seluruh dadanya.
Nining hanya bisa bernafas berat kala baju kausnya juga kusingkap keatas dan mulutku bermain dengan puting susunya. Ia meremas-remas rambutku keenakan.
“Sat... Hmm... mm...” keluhnya pelan. Tubuhnya mulai terasa hangat.
“Ning?” kagetku merasakan tangannya menyentuh penisku yang mulai bangun dari luar jeans ini.
Ia mengurut-urut kejantananku ini dengan kaku... Sudah ada perkembangan.
Tapi aku tidak mau menirunya dengan juga menyentuh kemaluannya. Aku tidak mau kehilangan momen bagus seperti ini seperti yang terjadi kemarin kala aku terburu-buru ingin menyentuh vaginanya.
Penisku sudah terasa sesak di dalam CD dan kungkungan jeans yang sempit ini. Terasa tersiksa! Gembung besar.
Rupanya Nining mengetahui kegelisahanku ini...
Perlahan-lahan ia menarik restleting jeans-ku dan melepaskan kancing celanaku.
“Jangan dilihat kalau takut...” bisikku dan menekan kepalanya ke leherku. Aku tetap mempermainkan dadanya.
Kubimbing tangannya untuk mengeluarkan penisku dari sangkar yang tak lagi sanggup menampungnya.
Kubuat ia untuk menggenggam 4 cm diameter penisku. Enak sekali...
Sejak pindah untuk kost di daerah pabrik ini... aku sama sekali belum pernah merasakan seks lagi. Karena itu sentuhan tangan Nining di penisku sangat enak hingga berdenyut-denyut keras.
“Satria... besar sekali...” bisik Nining dileherku tanpa melihatnya sama sekali.
“Ya... Begini, Ning...” kataku membimbingnya mengocok penisku perlahan saja.
Ia dengan kaku menaik turunkan tangannya di kulit penisku yang terasa kering.
“Pelan-pelan saja dulu, Ning... Ya... begitu...” kataku tetap perlahan.
Ia cepat belajar dan mengocok penisku dengan lancar. Kadang ia mengganti-ganti tempo kocokan antara pelan, sedang dan cepat.
“Satria... aku mo liat...” bisiknya.
“Tidak takut, kan?” khawatirku. Aku cemas ia menjadi ketakutan seperti kemarin malam. Dan hilanglah kesempatanku kali ini. Padahal aku mulai menikmatinya.
“Nggak... Boleh, ya...?” mintanya yakin.
“Ya... Jangan takut, ya?” cemasku.
Ia mulai memberanikan diri dan mengintip dari balik leherku. Perlahan ia menarik kepalanya agar lebih terlihat jelas penisku yang menegang keras mengacung tinggi.
Nining menyandarkan kepalanya di dadaku, nafasnya berat seperti sesak. Tangannya tak lagi menggenggam batang penisku.
“Nining takut?” pastiku.
Ia hanya menggeleng. Aku tak bisa melihat ekspresi mukanya dari posisi begini. Entah takut atau apa.
Nafasnya masih sesak...
Nining menyentuhnya lagi!
Nining memulai untuk mengocok penisku lagi.
Kali ini lebih teratur dan berirama. Penisku mulai memerah panas dan berdenyut-denyut. Tapi aku tak berharap kalau ia mau memasukkannya ke dalam mulut. Masih jauh dari tahap itu.
Aku akhirnya nembak dengan ditampung di kertas tissue. Aku sampai harus memakai 6 lembar tissue untuk membersihkan dan menampung spermaku yang keluar banyak sekali. Cadangan spermaku keluar semua malam ini dengan sukses. Walau hanya lewat proses onani.
“Satria puas?” tanya Nining sambil mendekapku erat.
“Iya... puas sekali... Makasih, ya?” jawabku mengecup pelipisnya.
--------​
Begitu hari-hariku berlanjut. Tiap malam kami jalan ke tempat-tempat yang memungkinkan kami melakukan percumbuan ini.
Terkadang kami melakukannya di cafe-cafe sejenis itu. Pernah juga kami melakukannya di tempat yang aneh seperti di toilet supermarket.
Dan yang paling berkesan adalah jenis tempat yang sangat sederhana. Sekatnya hanyalah terbuat dari kain bekas spanduk panjang yang direkatkan pada tiang-tiang kayu. Dengan membayar murah kalau hanya membeli minuman botol, kami berdua bisa bercumbu di sana hampir dua jam lamanya.
Nining semakin mahir mempermainkan penisku. Ia melakukannya dengan banyak variasi. Ia juga sengaja membawa botol baby oil untuk dilumuri dipenisku sebelum dikerjainya.
Aku juga lebih beruntung sudah bisa menyentuh kemaluannya walau masih dari luar pakaian yang dikenakannya. Terasa tebal dan keras.
Selama dua minggu ini kami terus melakukan ini. Ini kusengaja agar Nining terbiasa dan tidak merasa takut lagi dengan seks ini.
Harapanku, kalau sudah begini ia akan meminta untuk maju selangkah lagi. Hubungan kelamin!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd