Chapter 1
(Dawai Jingga)
6 Tahun Kemudian
Bogor, 19 Februari 2016
15.40 WIB
“Anak-anak. Sebelum kita pulang. Nara, tolong kerjakan soal
essay terakhir bab peluang.“ pria berkacamata itu menunjukku dan menyodorkan spidol hitam.
“Baik, Pak.“ aku menarik bangku dan ke depan. Menulis barisan angka-angka dengan rumus yang baru saja diajarkan beberapa saat lalu.
“Selesai, Pak.“ tak sampai sepuluh menit aku telah selesai, disambut dengan bunyi suara bel pulang. Seluruh murid di kelasku merapikan alat tulisnya.
“Bagus, Nara. Silakan duduk. Terima kasih anak-anak, sampai bertemu minggu depan dengan bab baru. Jangan lupa kerjakan PR kalian.“
“Iyaaa Paaaakk!!“ seru anak-anak dengan malas. Aku hendak merapikan tasku dan bergegas pulang sebelum suara melengking seorang gadis tiba-tiba muncul dari belakangku.
“Naraaaaa!!! Mau kemana kamu, ninggalin aku gitu! Ayo pulang bareng!“ sebuah pelukan lembut membuatku terkejut. Sial, Dadanya!! Dadanya menyentuh punggungku!
“Heh, Ri. L-Lepasin! Lo nggak malu apa diliatin temen sekelas?“ ujarku sedikit gagap. Dia adalah
Riana Diandra. Dia adalah tetanggaku yang pindah sejak aku masuk SMA ini. tak perlu kujelaskan bagaimana penampilannya. Semua kriteria ideal untuk seorang gadis telah ia penuhi. Hidung mancung? Bulu mata lentik? Bibir tipis merah muda? Rambut hitam panjang dengan curly diujungnya? Tinggi? Putih mulus? Dan aset mewahnya yang kini bertengger di punggungku. Itu cukup besar. Pokoknya siapapun tak mungkin tak menyukainya. Begitu pula aku. Yah, kami memang dekat. Tapi kurasa dia sangat berlebihan. Maksudku..sangat terlihat kalau dia naksir padaku. Buset, ge-er banget ya? Hahaha.
“Eheemm, pacaran terooss!“ ujar Ikky teman sebangku ku.
Ikky Rizaludin, sahabat karibku dari kelas 2 SMP. Pertemuan kami sebenarnya cukup eneg banget. Dia kupergoki saat lagi
onani di toilet sekolah. Kau tahu kan kamar toilet cowok? Kalau nggak bau pesing pastilah pintunya agak rusak. Dan saat itu aku benar-benar kebelet buang air. Aku buru-buru ke kamar mandi dan semua pintu kekunci. Hanya sisa satu yang agak rusak, dan aku langsung membukanya. Gah, aku mendapati pemandangan laknat. Dia lagi
ngocok. Asem bener emang! Yah, tapi sisi positifnya kami jadi berteman sejak hari itu. Untung saja kami tak dianggap maho.
“Tapi pulang bareng, ya?“ Riana melepaskanku dan tersenyum manis. Hadoh, aku gak kuat kalau dia udah senyum gitu. Pengen nyium rasanya. Tahan, Nar! Inget jangan macem-macem!
“Oke.“ ujarku singkat. Ikky langsung mencibir kami.
“Yaelah, kalo udah ama cewek aja, lupa ama temen.“ aku hanya tertawa.
“Hahaha, makanya punya cewek sono! Lagian kita gak pacaran, kok! Kayak nggak tau kita aja lu ah, haha iya nggak, Ri?“ gelakku, sementara Riana hanya menjawab dengan mengangkat bahu. Ia mengalihkan pandangannya. Heh? Dia kenapa?
“Yaudah lah, gua cabut dulu. nanti kalo mau nyalin PR sms aja.“ ucapku berlalu sambil mengacungkan jempol. Riana hanya terkikik mendengarku.
“Hihihi si Ikky kapan pinternya, kerjaannya nyontek mulu.“ celetuk Riana.
“Hahaha, sialan lu berdua.“ Ikky melempar penghapusnya ke arah kami. Kami menghindarinya dan langsung berlari.
~OreKaImo~
Motor
matic-ku membelah jalanan raya. Di belakangku duduk seorang gadis tetangga yang sangat cantik. Duduknya menyamping. Tapi pelukannya cukup erat. Uhh, bantalan di punggungku benar-benar menggoda. Yah, siapa sangka di SMA ia akan menjadi bunga sekolah. Aku beruntung cukup dekat dengannya. Jalanan kota bogor tidak terlalu padat sore ini. ahh, aku ingin secepatnya sampai rumah. Rasanya ingin segera merebahkan badanku dan tertidur lelap.
“Nar..“ suara Riana memecah kesunyian.
“Ya?“
“Aku boleh ke rumah kamu nggak nanti malem?“
“Heh? Mau ngapain?“ aku sedikit terkejut. Tumben sekali, pikirku. Meski kami bertetangga cukup lama. Dia tak pernah mau main ke rumahku. Malu katanya.
“Yaaa, aku..“ ia terdiam cukup lama. Hanya suara lalu lalang kendaraan yang terdengar. Aku sabar menunggu.
“Aku..mau nyalin PR.“ ucapnya pelan yang membuatku jengah. Tiba-tiba pelukannya dipererat. Posisi payudaranya benar-benar menekan punggungku. Penisku memberontak. Sial, jika digoda begini terus aku bisa-bisa tidak tahan. Aku mencoba bersikap normal.
“Hahaha nyalin? Beneran nih? Kan situ bunga SMA kita, mbak? Udah cantik, juara umum, ramah, ga sombong. Masa mau nyontek? Nggak salah tuh, tadi nyeramahin Ikky kan?“ sindirku sambil tertawa. Kulihat wajahnya bersemu.
“E-ehhh..aku rubah deh. Maksudku aku mau belajar bareng.“ kini giliran aku yang terdiam. Sebenarnya otakku dipenuhi ribuan alasan untuk menolak setiap temanku yang ingin ke rumah. Kenapa? Aku punya alasan tersendiri. Setidaknya itu alasan yang cukup untuk menolak temanku untuk datang. Hanya saja aku tak mungkin bisa mengatakan alasan sebenarnya.
“Maaf deh, Ri. Malam ini gua ada janji mau ke rumah Ikky. Tadi waktu di parkiran Ikky beneran sms gw minta salinan PR.“ jawabku berbohong. Sebenarnya Ikky tadi hanya sms kalau dia mau ke rumah gebetannya sekarang sampai malam. Jadi dia mau nyalin PR nya besok. Aku merasa bersalah, berbohong seperti ini kepada gadis yang dekat denganku. Tapi aku benar-benar..
“Ehhh..Nggak apa-apa kok, Nar. Aku ngerti. Biar gimana kamu udah janji duluan mau ke rumah Ikky. Aku bisa kapan-kapan kok.“ kulihat lewat pantulan kaca spion Ia masih tersenyum. Tapi dapat kurasakan nada kekecewaannya.
“Thanks, Ri.“ ucapku. Ia mengangguk pelan. Maaf Riana. Kau tak akan pernah menduga apa yang terjadi dalam hidupku. Aku harap kau sabar hingga tiba saatnya kuberi tahu.
Setelah itu suasana cukup canggung hingga kami sampai di pelataran rumah Riana. Berbeda dengan rumahku, rumah Riana cukup besar dengan tiga tingkat. Aku menghentikan motorku, Ia turun dan menyerahkan helm-nya.
“Makasih ya, Nar. Aku seneng kamu mau nganterin aku pulang.“ ucapnya.
“Santai, Ri. Kita kan udah temenan lama. Kayak gini mah sih sepele.“ Ia tersenyum mendengarnya.
“Cuph!“ tiba-tiba Ia mencium pipiku.
“E-?!? Ehhh????“ aku melongo sambil memegang bekas ciumannya.
“Hihihi, lain kali anterin aku pulang lagi ya?“ ia mengedipkan matanya. Kemudian ia masuk dengan melambaikan tangannya. Manis sekali. Untuk sepersekian detik aku masih terpaku. Aku tak menyangka ia akan menciumku. Ah, sudahlah! Lebih baik aku pulang! Ku-
starter motorku dan segera melaju pulang.
~OreKaImo~
Baik, Inilah rumahku. Rumah 2 tingkat berukuran sedang. Tidak spesial kan? Pagar rumah itu kugeser dan kuparkirkan motorku. Begitulah, keluarga kami memang tidak punya pembantu. Di mulai dari saat itu. Yah, sudah kubilang ada beberapa alasan yang membuatku harus mandiri saat ini. Setidaknya mengurusi hidupku sendiri. Meskipun aku tidak benar-benar sendiri.
“Heh? Kayaknya ayah belum pulang?“ aku membuka pintu dan serta merta aku disambut dengan keadaan gelap gulita. Eh? Ini..
“Mati listrik? Tumben banget.“
Aku menekan saklar lampu berkali-kali, tapi tetap tidak menyala. Sepertinya ada kerusakan. Mungkin nanti akan coba ku perbaiki. Aku mengeluarkan senter kecil dari dalam tas dan mulai berjalan masuk. Sialan, perasaanku jadi tidak tenang.
“Aku pulang! Ada orang di rumah?“ seruku namun tak ada jawaban. Benar ayah belum pulang. Aku masuk ke dapur, mengambil sebotol minuman isotonik dari kulkas, dan menaiki tangga. Aku menyorot kamar mandi dan dua kamar diatas. Sudah kuduga, rumah ini sangat sepi. Terlebih saat Ayahku pergi bekerja. Dan ayahku bekerja cukup jauh, di luar pulau. Hanya sedikit waktu yang Ia habiskan di rumah. Itu pun jika ia sempat untuk pulang. Ini sungguh keterlaluan, jika mengingat Ibu sudah..
Meninggal.
Itu belum cukup lama, mungkin sekitar setahun yang lalu. Dan kehilangan ibu benar-benar memiliki dampak yang cukup besar untuk kami. Meski Ia hanya ibu tiri, tapi aku tak pernah mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang begitu besar daripada nya. Ia sangat menyayangi kami, keluarganya. Makanya, saat kepergian ibu menguak luka yang begitu dalam di hati kami. Untukku, Ayahku, dan untuk..
Puteri kandungnya.
“TAK!!“ ada sebuah suara di dalam kamar yang aku sorot. Aku membuka pintu, rupanya tak dikunci. Siapapun itu aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena gelap. Yang aku lihat tubuhnya yang berbalut gaun tidur itu bergetar. Rambut panjangnya menutupi seluruh wajahnya. Aku berjalan mendekatinya, namun ia tak bergeming dan hanya meringkuk memeluk kedua kakinya.
“Okaeri nasai, Onii-chan.“
(“Selamat datang, Kak.”) Suara getir bercampur dengan isakan membuatku terhenyak dan menjatuhkan senterku.
(*note: Onii-chan = panggilan Kakak laki-laki dalam bahasa jepang. Bisa onii-chan, Onii-san, Onii-sama, Aniki, Ani-ue. Artinya sama, hanya berbeda di tingkat formalitas saja. CMIIW ^^v )
“S-Shiro..“ gumamku. Tubuhnya melompat menubrukku dan mulai memukuli wajahku. Nggak sakit sih, tapi tetap saja.
“Onii-chan nante dai kirai! Kirai-kirai-kiraaaii!!! Onii-chan wa hidoi, desu!“
(“Aku benci banget sama Kakak! Benci-benci-benciii!!! Kakak itu jahat banget!”) teriak gadis ini di depanku sambil menangis.
Benar juga. Ayah mengajariku untuk hidup mandiri semenjak kepergian Ibu. Ia sengaja untuk memberhentikan pembantu di rumah ini agar aku tidak menjadi anak pemalas dan hanya merepotkan orang lain. Sebab, mulai saat ini dan seterusnya aku yang akan direpotkan orang lain. Ada seseorang yang harus kulindungi saat ayah tak ada di rumah. Gadis ini.
Shiro Kashiwagi. Malaikat terakhirku di rumah ini. Dialah puteri kandung ibuku, aku masih ingat Ia terus menangis dan mengurung diri di kamar setelah ibu dimakamkan.
Haha dasar tolol aku ini! bisa-bisanya aku nggak nyadar ada shiro di dalam rumah! Jelas saja, dia kan takut gelap. Belum lagi dia sendirian! Tolol! Tolol! Tolol! Aku merutuki diriku sendiri. Aku tidak mau kejadian yang sama terulang lagi.
“Ahahaha, aku kira kamu lagi ada di luar jadi aku kira..ahahahaha..“ aku tertawa mencoba untuk meredakan rasa takutnya. Tapi sepertinya..***ring ya? Aku memeluk tubuhnya yang menindihku. Posisi kami sangat rapat sekarang. Wangi parfumnya menyeruak masuk ke dalam hidungku. Hmm, rupanya dia baru selesai mandi.
“Hahhh, Gomen na. Kore wa onii-chan no sei de.”
(“Hahhh, Maaf ya. Ini salah Kakak.”) ucapku dengan bahasa jepangku yang pas-pasan. Astaga, kenapa aku sulit sekali menghafalnya.
“Kenapa kakak nggak ucapin salam?“ gumamnya di pelukanku. Sejak Ibu tiriku dan ayahku menikah, Shiro mempelajari bahasa Indonesia. Karena kami bertemu dari kecil, Ia jadi cukup fasih dalam berbahasa. Namun ada beberapa situasi yang membuat Ia tak tahan untuk mengeluarkan bahasa aslinya. Seperti saat takut atau marah.
“Udah kok. Kamu nggak nyadar tuh. Padahal Kakak teriak tadi.“ karena pegal aku membenarkan posisiku dan duduk bersandar pada dinding. Seakan tak mau aku kabur, Ia segera merangkak dan membenamkan kepalanya di dadaku.
“Kamu benar-benar benci gelap ya, Shiro?“ Shiro hanya terdiam. Keheningan melanda kami. Tapi ini membuktikan bahwa aku masih terlalu bodoh untuk menjadi kakak yang baik untuknya. Dia yang berusia 3 tahun lebih muda dariku. Jelas aku harus menjaganya!
“Bzzzztttt!!“ Lampu tiba-tiba menyala. Mataku berkedip menyesuaikan cahaya terang yang memasuki retina ku. Satu hal yang aku lihat pertama kali adalah kepala gadis dengan rambut hitam panjangnya. Dress hitam tanpa lengan itu tak mampu menutupi kulit lengannya yang putih dan tampak bersinar tertimpa cahaya lampu. Aku membelai helai rambut yang masih basah itu. terlihat ia sempat menaruh pita kecil di rambutnya. Aku tersenyum. Dari dulu ia memang menyukai hal-hal yang imut.
“Hei, udah nggak apa-apa sekarang. Yuk berdiri?“ Perlahan ia mengendurkan pelukannya. Aku membimbingnya berdiri. Wajahnya mulai mendongak menatapku. Mata itu sembab seperti menangis berjam-jam. Namun tak mengurangi wajahnya yang manis dan lugu. Poninya menutupi kening dengan bibir tipis dan hidungnya yang kecil. Aku terkesima dengan hal yang terpampang di depanku. Sekarang jemari lentik nya mulai mengusap air matanya.
“Onii-chan no...baka!“
("Dasar kakak bodoh!") Ia berkata dengan suara serak. ia mengenggam erat-erat bajuku. Aku hanya terdiam takjub untuk beberapa saat. Teman-teman, inilah kenapa aku tak mau mengundang kalian main ke rumah. Inilah kenapa aku bertahan dengan status jombloku hingga akhir masa SMA. Aku hanya tidak ingin kalian tahu. Aku Nara Purnama. Di umurku yang kini menginjak 18 tahun. Untuk beberapa alasan, aku memiliki seorang adik perempuan. Untuk beberapa alasan, Adikku adalah keturunan asli jepang. Dan untuk beberapa alasan, Aku merasa aku menyukai adik perempuanku yang sangat manis.
つづく
BERSAMBUNG