Ore no Kawaii Imouto
Chapter 6
(Singkapan kehangatan)
Bogor, 27 Februari 2016
09.40 WIB
Racuunnn...
Racuuunnn...
Racuuunnnn...
“Nar? Hei, ayo bangun! Temenin aku makan yuk di kantin?”
Mati laju darahkuuhhh..
Memang kau racuuunnn....gruaaahh
“Nar?”
“Naraaaa?”
“Ah, aku nyerah! Susah deh kalo dia udah tidur begini. Ikky! Bantuin aku, dong!”
“Bantuin? Bentar lagi juga dia bangun, kok.”
“Eh? Kok gitu?”
“Beneran. Liat aja.”
Ampuuuunn...
Ampuuuunnnn...
Ampuuuuunnnn..
“Geh..berisik” aku masih setengah sadar dari tidurku di jam istirahat makan siang. sial, bogor tiba-tiba saja panas. padahal ini masih pagi, tapi aku bahkan tidak ingin beranjak keluar kelas.
“Hahaha, tuh kan bener!” gurau garing seorang pemuda. Rasa pening menyerang kala kutajamkan pendengaranku perlahan. Menyadari riuh sekian murid tak mampu menghalau satu suara yang meruncing menembus telingaku. Bukan. Aku tak mempermasalahkan lagu itu. Bahkan
strumming kacau yang dimainkannya sekarang. Meski lagu ‘changcut rangers’ itu identik dengan suara keras, kenapa harus diteriakan dengan nada seperti itu? Sungguh, seperti biola sumbang di tengah malam kelabu.
Horror sekali. Bukan menghina. Tapi kenapa tidak ada yang sadar kalau dia memang tak bagus dalam bernyanyi? Maksudku, siapapun tolong. Urus suaranya meski sedikit.
Takluk sudah hebatku...
Takluk sudah hebatkuuuhhh...
Memang kau racuunnnn..
Pantulan irisku berpendar menyorot seisi penjuru kelas ini. Kini aku dapat melihat kumpulan siswa di ujung kelas. Salah satu orang memainkan gitar, dan satu yang lain bernyanyi dengan
suara emas nya. Kau pernah dengar bocah sok gaul yang sukanya nonton acara musik
indie? mereka disebut dengan nama
"anak acara". Nah, begitulah stelan anak-anak ini. Wajah kusut, seragamnya dibalut sweater kedodoran, topi yang dipasang setengah kepala, berjoget-joget mengikuti irama lagu. penampilan mereka saat pergi ke acara berbeda lagi. mereka akan memakai kemeja rapi yang terkesan dipaksakan, tak lupa juga dengan topinya. Oh, pantas. Jadi itu asal suara tadi. Tatapan jengkel ku kini beralih, seorang gadis yang duduk di sebelahku dan seorang pemuda kribo yang berasyik masyuk dengan ponselnya.
Bokep baru, pikirku.
“Kamu kok ngeliatinnya begitu banget, Nar? Nggak ikhlas ya mau nemenin aku?” rajuk gadis disebelahku. Ia mendongak menatapku, jemarinya menarik-narik kecil kain seragamku. Entah kenapa meski Riana terbilang memiliki sikap dewasa dalam menanggapi banyak hal, Tapi sikapnya sangatlah berbeda saat kami berdua. Ia manja dan semakin lengket saja!
Pengaruh hormon mungkin, pikirku. Ah tidak-tidak-tidak! Alasan logisnya adalah karena apa yang kami lakukan. Benar, apa yang kami lakukan beberapa hari lalu. Bercumbu mesra, mengobarkan hasrat dalam ciuman hebat.
Tapi, dadanya..besar juga, batinku.
Lah, kok malah mikir kesitu! Fokus, Nara. Bagaimanapun aku harus bisa menentukan hatiku sendiri. Aku harus mengerti, kesalahan besar jika aku bermain-main dengan nafsu semata. Dia adalah teman sekaligus sahabat yang kusayangi. Aku tak boleh sampai mengecewakannya. Apalagi sampai menghancurkan ikatan kami. Tapi seandainya aku memilihnya, apa benar itu bagus untuk kami? Apa yang akan terjadi selanjutnya jika nanti kami putus? Apakah kami akan saling meninggalkan seperti seorang
‘mantan’ pada umumnya? Aku rasa tidak seperti itu. Ikatan kami lebih kuat, dia pasti sudah memikirkan segala kwesekuensi saat mengutarakan perasaannya saat itu.
“Hei! Kok malah bengong? Ayo, ih!” telapak Riana mengusap lembut pipiku. Aku yang diperlakukan seperti itu, jelas salah tingkah.
Hadoh, kita belum resmi, Non!
“Heh? A-ahaha nggak kok! gua nggak bengong. Cuma..” aku tak sanggup menatap wajahnya. Gugup sekali!
“Cuma?” desaknya semakin mendekat. Sisi depan seragamnya tertarik bahu seiring badannya yang condong, membuat sembulan bukit itu kian menjadi. Aku takjub dengan keberanian Riana bertindak agresif di tempat seperti ini. Beruntung kami tak jadi sorot perhatian oleh anak-anak dalam kelas. Tapi kulihat Ikky hanya mesem-mesem melihat kami.
Sialan ni anak,rutukku dalam hati.
“Y-yah..gua kurang tidur beberapa hari ini. Jadi kurang fokus. Ngantuk banget.” Jawabku jujur.
“Huh, Kamu tuh ya. Bandel banget, sih. Bentar lagi kan mau ujian. Harusnya kamu jaga kondisi badan kamu.” Ujarnya mulai bersungut-sungut. Ikky yang mendengar hanya tergelak dengan bibir di monyong-monyongkan.
“Uuuuhhh...Nara! kalau sakit gimana? bandel banget ciiih!” cengengesnya yang membuatku nyengir dan melempar pulpenku ke arahnya.
Memang, benar adanya. Seharusnya aku lebih menjaga kondisi badanku. Tapi apa dayaku? Insiden ‘adik ter-gap kakaknya sedang berbuat’ membuat kepalaku ingin terbelah rasanya. Sulit sekali bahkan untuk tidur dimalam hari. Bayangan Shiro malam itu sudah benar-benar merasuki otakku sepenuhnya. Bahkan saking bingung untuk bersikap, aku lebih cenderung diam dan menghindar saat di rumah. Sehingga seakan tak jelas siapa yang lagi ngambek, dia atau aku.
Aku harus melupakannya. Itu keputusanku. Dan kurasa adanya Riana bisa membantuku untuk kembali normal. Parasit yang memanfaatkan? Tidak, ini lebih seperti Ia membantuku selagi aku memutuskan perasaanku.
“Tuh, kan! Bengong lagi.” Aku terhenyak beberapa saat. Riana mulai menatapku kesal.
“Biasa, Ri. Orang lagi kena musibah ya gitu. Stress mulu bawaannya!” celetuk Ikky spontan. Aku terdiam. Apa ikky mulai curiga tentang sesuatu yang menggangguku?
“Eh? Musibah?” tanya Riana tak mengerti.
“Iyalah, tuh liat! Godaannya aja bikin
keras gitu. Makanya, Nar. Meski jomblo, tuh
tongkat sering-sering di
asah. Biar plong pikiran lo! Bahahahaha.” Ia tertawa keras. Wajah Riana mulai merona menyadari kata-kata Ikky.
“Asem, kayak lu nggak aja!” umpatku tersenyum masam.
“Yee, nggak lah! Gua
single gini sih anti
maen sendiri. Yaah, punya
pelampiasan eksklusif, lah!” selorohnya yang membuatku menahan tawa.
“Ih, apa sih, kalian berdua. Omongannya!” Riana mulai memarahi Ikky dengan wajah memerah. Mungkin ia merasa kami tak menghiraukan keberadaannya dengan
obrolan cowok kami.
“Yaudah deh, aku makan sendiri aja.” Dia benar-benar kesal sekarang, terlihat dia yang mulai beranjak dari bangkunya. Merasa sia-sia mungkin mengajakku.
“Ngambek dah ngambek!” ejek Ikky yang hanya dibalas Riana dengan memeletkan lidah.
“Marahnya cuma sama Ikky. Sama Nara, nggak kok!” ia mengedipkan matanya sebelum berlalu. Astaga, manis sekali. Kami berdua hanya geleng-geleng melihatnya. Sepeninggal Riana, Ikky mendekat dan duduk di sebelahku.
“Heh,
Man!” aku hanya mengangkat sebelah alisku.
“Gimana perkembangan lu sama Riana? Kalian udah...” ia memotong pertanyaannya sendiri. Lalu membuat jarinya berbentuk sebuah kutip. Aku hanya menggeleng pelan.
“Ah! Payah lo! Kurang apa si Riana ngodein lu, coba! Kalo gua sih langsung sikat! Hahaha.” Aku hanya tersenyum hambar saja.
Tidak semudah itu, Ky. Tidak semudah itu.
“tapi dia udah nembak gua, Ky.” Ucapku jujur. Ikky terperangah seperti mendengar berita besar.
“Eh, serius? Kapan? Dimana?” tanyanya mulai antusias.
“Di kamar...Riana.” hening sesaat.
******, Nara! Keceplosan!
Ia menepuk bahuku pelan. Kemudian mengacungkan jempol.
“Itu baru temen gua!
Tch, Nggak sia-sia selama ini lu temenan sama gua. Meski, ternyata ada
meki dibalik
sempak! Yah, Gua nggak nyangka aja diem-diem lu mempelajari ilmu gua.” Alisku berkedut menyadari responnya.
“Maksud lo?” tanyaku tak mengerti. Ia hanya tersenyum penuh maksud.
“Hahaha, kalian berdua.. begini kan?” jari kirinya membuat bulatan, sementara telunjuk kanannya di keluar-masukkan seperti menyodok sesuatu.
“
Anjrit, ya kagak lah!” aku tertawa jengah, sementara dia kecewa karena jawabanku yang tak sesuai harapan. Meski kami tidak benar-benar melakukannya, tak mungkin juga aku memberitahu secara detail mengenai apa yang terjadi kepada Ikky.
“Oh, ya. Terus gimana? Nggak ada masalah, dong? Kalian pacaran dong sekarang?” cecarnya kemudian. Aku berusaha menghindari wajah
kepo nya itu dengan menatap jendela kelas.
“G-gua...suruh dia nunggu jawaban gua.” Gumamku lirih. Ikky menepuk jidatnya.
“Ah, bego. Lama lagi dong ini!” ia menggaruk rambut kribonya kasar, gemas sendiri tampaknya.
“Mau gimana lagi, kan! Gua masih baru! Awam buat hal-hal beginian! Lu kan tau gua dari SMP, gua orangnya kayak gimana!” aku mau tidak mau protes.
“Huah, Nara-nara. Lu pinter pelajaran doang, sih. Hal kayak beginian aja bingung lu ngadepinnya.”
“berisik.” Ketusku. Ikky naik ke atas mejaku dan bersandar di tembok. Tangannya ia jadikan bantalan untuk kepalanya yang menengadah menatap langit-langit.
“Hei, Nar?”
“Hmm?”
“Kayaknya, udah saatnya gua berhenti.” Aku menatap gurat sendu di wajahnya. Tapi tak lama, karena kami dengar kumpulan siswayang bernyanyi tadi memanggil kami.
“Ikky! Nara! Nyanyi lah nyanyi. Homoan mulu lo berdua!” celoteh satu orang yang disambut gelak tawa yang lain.
“Hahaha, Bangsat.” Umpat Ikky namun masih bernada gurauan.
Baguslah, pikirku. Akan lebih baik Ikky yang menyanyi. Jujur saja, memang di sekolah ini belum ada yang tahu, kalau Ikky adalah seorang yang berlatih keras dalam permainan gitarnya. Sehingga sekarang bisa dikatakan dia sangat mahir. Suaranya saat bernyanyi juga terhitung bagus. Kiblatnya bermusik adalah
genre hardrock dan
metal. Namun dia tak pernah ingin melebarkannya sayapnya tuk berkarir menjadi seorang musisi atau personil
band.
“Nggak bisa gua.” Tolak ikky dengan mudahnya. Aku terkejut. Ada dua hal yang dapat kunilai dari caranya berbohong, ia malas bermain, atau dia memang tak mau terlalu menunjukkannya. Nekat, mereka datang dan berkumpul di dekat kami. Anak-anak tadi menyerahkan gitar padaku dan menyuruhku bernyanyi.
“A-Apalagi gua. Jelek suara gua. Hahaha.” Aku tertawa garing.
“Alah, bohong banget. Biasanya yang nolak justru yang
pro.”
Buset teori dari mana tuh? batinku bertanya-tanya.
“Ikky aja Ikky.” Aku menjual nama Ikky untuk menyelamatkanku dari situasi ini. Ikky menatapku dengan pandangan
‘sialan lo kenapa jadi ke gua lagi?’
“Errr...yaudah lah! Sekali aja ya.” ia akhirnya mengambil gitar klasik itu dari tangan mereka.
“Yang
Rock, Ky!” ujar yang tadi bernyanyi dengan absurd nya.
“Heh,
Bro. Lu yakin?” bisikku mencoba memastikan. Ikky hanya mengangkat bahunya.
“Hei, gua terpikir sesuatu. Cewek-cewek yang lu gaet emang pada suka
rock, ya?” tanyaku kembali, masih dengan nada berbisik. Iya, aku baru teringat kalau dia adalah penggila wanita, lantas tidak mungkin mereka akan luluh jika hanya dengan pendekatan biasa.
Pasti ada rahasianya, nih.
“hahaha, lu mau berguru cara
SSI cewek ya?”
“SSI?” aku mengerenyitkan dahi.
“
Speak-speak Iblis. Hahaha” aku tertawa kecut mendengarnya.
Ada-ada saja, pikirku.
“Yah, pertama, sih. Gua akan coba cari tahu
genre yang paling dia minati. Karena sebelum lu mau dekatin siapapun, jelas lu harus tau apa yang dia gemari. Kebanyakan yang udah-udah sih,
pop. Tapi nggak jarang gua juga nemuin yang
jazz dan
rock.” Aku masih diam mendengarkan.
“Terus kalau emang bener-bener tuh cewek seleranya
random, gua akan hantam dengan satu serangan terakhir.”
“serangan terakhir?” Ia mengangguk mantap. Lalu terucap dari bibirnya sebuah kata yang hampir tak terdengar.
“Melayu.”
Aku melihat cahaya mentari yang mulai meredup. Angin lembut menyapu wajahnya karena jendela yang terbuka. Mataku masih tak berpaling dari orang ini. Aku tak menyangka keseriusan benar-benar merubahnya. Sulit untuk mempelajari hal yang tidak kita sukai. Tapi keberadaan Ikky sekarang membukakan mataku bahwa segala hal mungkin untuk kita lakukan. Untuk mendapatkan hal yang kita inginkan. Terlepas dari tujuan apakah yang kita pikirkan.
Jika saja. Jika aku mengesampingkan kelakuannya, dan melihat warna asli dari lelaki ini, maka..
Dibanding denganku, orang ini..
Lebih layak untuk mendapatkan cintanya.
Suara bass yang dipetik membuatku terhenyak ke permukaan kesadaran. Kulihat ia memejamkan matanya, seperti ingin menghilangkan realitas dunia untuk sementara waktu dalam pikirannya. Nafasnya melembut kala jemarinya mulai memetik dawai itu. Aku melihat kegetiran yang amat sangat dari mimiknya, seperti raut beberapa saat lalu. Hanya saja saat ini semakin menguat. Suara daun yang diterpa angin membuat
atmosfer keributan kelas ini kian menyurut. Menyisakan kami dalam keheningan tanpa sebab bersama suara Ikky.
Dinginnya angin..
malam ini, menyapa tubuhku..
Mataku terbelalak kala lirik awal Ia nyanyikan. Membuat sekujur tubuhku meremang. Kelu dalam kebisuan. Pelan, namun mampu menyita setiap pasang mata di kelas ini. Aku bahkan tak pernah merasakan ini saat mendengarnya bernyanyi
rock.
Dia memang hebat, hanya saja...ini berbeda. Lagu melayu ini..
Namun tidak dapat dinginkan hatiku..
Yang engkau hangatkan..
Dalam sebuah
strumming keras, ia hentakkan dawai gitar itu. Menyanyikan bait selanjutnya dengan suara yang menggelegar. Menusuk jiwa dan pikiran setiap sorot yang memperhatikannya. Seperti dilambungkan setinggi-tingginya dengan luka sayat yang terbuka, kemudian menghantamnya keras ke bumi hingga luluh lantak. Tak bersisa.
Siapalah aku ini!
Untuk memintal buih yang memutih..
Menjadi permadani..
Seperti mana, yang tertulis dalam novel cinta..
Juga mustahil bagiku..
Menggapai bintang di langit!
Menjadikan hantaran, syarat tuk milikimu..
Semua itu, sungguh aku tak termampu!
Bak seorang pujangga diatas panggung sandiwara. Ia lantunkan bait-bait meratap akan kasih yang tak tergapai dalam jangkauannya. Merengek kepada takdir kejam yang merampas garis hidup mereka tuk bersama. Kini aku tahu rasanya seorang yang menderita karena perasaan ini. Ya, sekarang aku tahu bagaimana perasaan ini.
Silap aku juga, kerna jatuh cinta..
Insan sepertimu seanggun bidadari..
Chorus menghempaskan setiap titik harapan. Seperti seorang yang mengutuk benang merah takdir karena mempertemukan mereka untuk sebuah kebersamaan yang tak mungkin akan terwujud. Perbedaan kasta, derajat, moralitas, etika bermasyarakat menjadi tabir yang membentang, dan akhirnya menenggelamkannya dalam lautan kesedihan tak berdasar. Aku terlena, kesunyian ini menghanyutkanku hingga tidak sadar beberapa anak kelas lain mulai satu persatu mendatangi kelas ini. Untuk melihat Ikky bernyanyi. Untuk melihat orang yang sepertinya sedang sakit cinta.
Tunggu, apa jangan-jangan dia benar-benar..
Semestinya aku, cerminkan diriku..
Sebelum tirai kamar aku buka..
Untuk mengintaimu..
Cinta, ya? Derita tiada ujung. Perasaan dalam yang belum kuketahui adanya begitu hangat menyelimuti sukmaku. Hangat, namun juga dingin disaat yang bersamaan. Karenanya orang bahagia dilahirkan ke dunia. Karenanya pula orang ingin menghancurkan dunia. Seberapa besar lagi kau meremehkan perasaan ini, Nara Purnama? Seberapa banyak lagi penghinaanmu terhadapnya? Tak sadarkah kalau yang kau lakukan hanya menyiksanya sedemikian sakit?
Dinginnya angin..
malam ini, menyapa tubuhku..
Kulihat dari ujung mataku Riana berdiri diantara keriuhan siswa yang bertepuk tangan kala lagu ini selesai dinyanyikan. Disaat bersamaan dengan tawa ikky yang mulai kebingungan saat mulai membuka matanya. Kulihat Ikky berkata sesuatu saat aku ikut-ikutan memuji penampilannya.
“Jangan pura-pura. Lu cuma belum nunjukkin aja.” Ucapnya sambil nyengir. Aku hanya menghindari saja percakapan ini. Karena aku masih belum berniat untuk menunjukkan hal luar biasa sepertinya. Belum mampu. Banyak hal yang sulit untuk dilakukan seseorang meski secara umum sangat mudah. Kusadari getaran ponselku menandakan ada sms masuk.
From: Riana Diandra
Received: 10.00 Pm
Nara, eumm..kamu mau nggak ke kebun raya ya minggu nanti? Aku ingin refreshing sebelum pembekalan UN dimulai.
Riana? Eh? bukannya ini ajakan kencan? Apa lebih baik aku memberikan jawaban disana ya? kemelut pertanyaan mulai bergelayut dalam otakku. kutatap Riana di seberang sana yang hanya memandangku teduh. Kuputuskan untuk membalasnya.
To: Riana Diandra
Boleh. Gua free kok minggu nanti.
beberapa saat balasan cepat langsung kudapatkan.
From: Riana Diandra
Received: 10.02
Oke, deh. Minggu jam 10. Aku tunggu disana ya?
~OreKaImo~
Bogor, 27 Februari 2016
14.00 WIB
“Aku pulaannnggg..” ku geser gerbang dan mulai memarkirkan motorku di garasi. Huah, lelah sekali.
Minum cola siang-siang gini enak kali ya? Rasanya kerongkonganku kering sekali. Padahal sebelum pulang sudah sempat minum es. Aku termangu mendapati ada sebuah motor yang terparkir di garasi selain motorku.
“Heh, kok ada motor? Motor siapa nih?” kalau dilihat dari motornya sih, kayaknya motor perempuan. ada motif-motif lucu gitu. Apa Shiro bawa temannya ke rumah ya? Jarang banget. Dan nggak mungkin laki-laki sih kayaknya. Aku hafal banget Shiro, kok. Ada beberapa hal yang mendasari pemikiranku mengenai itu. Pertama, dia adalah tipe orang yang nggak mau ribet untuk berteman sama ‘makhluk’ yang bernama cowok.
Rese’ katanya. Kedua, dia juga jarang berinteraksi dengan lelaki sebaya karena sekolahnya khusus perempuan. Dan ketiga, ia masih trauma akan suatu hal yang membuatnya menghindari laki-laki.
Fairuz Junaedy. Tardakwa terkait kasus pedofilia tujuh tahun lalu, yang akhirnya mendekam di balik sel. Naas baginya, karena target terakhirnya justru menjadi petaka yang membuatnya menjadi tahanan. Entah, dia sudah bebas atau belum. Aku lupa masa tahanannya. Yang jelas saat itu Ia hampir membahayakan nyawa kami berdua. Dan membahayakan kegadisannya di usia sepuluh tahun. Itu memberi trauma hebat untuk Shiro hingga menjauh dan memilih menjaga jarak dari lelaki di luar sana. Itulah sebabnya, aku tak pernah membawa Ikky ke rumah meski dia adalah sahabat baikku. Aku tak ingin ambil resiko, itu saja. Aku menatap datar kunci motor yang masih tergantung disana.
Ceroboh banget, pikirku.
“Tadaimaaaa! Shirooo? Doko ni iru no?”
(“Aku pulaaang! Shirooo? Kamu dimana?”) Teriakku. Tak ada jawaban. Kemana dia?
“Ne? Kiiteru?”
(“Hei? Kamu denger?”) teriakku lagi.
Tch, Sial. kalau begini sih gimana mau menghindar. Pasti aku bertemu dengannya setelah ini. Aku membuka kulkas, menuangkan cola dalam gelas dan mulai meminumnya.
Ah, segarnya.
“Klik!” aku melihat pintu toilet terbuka. Oh ya, aku lupa bilang bahwa ada toilet lain di dekat dapur. Untuk memudahkan saja sih, jika ada yang ingin buang air kecil di lantai bawah. Kulihat seorang gadis berbalut handuk melangkah keluar dengan kakinya. Aku ternganga menatap gadis berambut sebahu itu berlenggak lenggok di depanku.
Ia belum nyadar, Nar! Saatnya kabur! Itulah yang kupikirkan. Tapi yang gunanya? Karena yang kulakukan adalah mematung seperti orang bodoh. Ia memakai handuk
keroro milik Shiro. Tubuhnya yang ramping terlihat erotis saat lekuk tubuhnya tercetak jelas dibalik helaian handuk yang tipis. Rambutnya basah, bulir-bulir air mengalir diantara kulit jenjang nya.
Eroi! (Menggairahkan!)
“Eh?” Aku baru tersadar kala melihat wajah gadis itu. Pandangan kami bertemu. Sepertinya karena
shock ia tak berteriak ataupun mengeluarkan ekspresi terkejut. Dia hanya diam, sepertiku. Menatapku.
“Omae wa..”
(“Kamu kan..”) aku bahkan tak sadar aku masih membawa percakapan jepangku.
Dia...siapa ya namanya? Eh, kok malah mikirin nama!
“W-WOGH! YAPPARI, KYOU WA ATSUI NAAAA! HAHAHAHA..”
(“W-WOGH! UDAH AKU DUGA. HARI INI PANAS YAAAA! HAHAHAHA..”) Aku gelagapan dan langsung berbalik membelakanginya. Aku mulai tertawa tidak jelas sambil menggaruk kepalaku.
Astaga, kacau sekali hari ini. Kenapa dia mandi disini?
“Hihihi,
senpai lucu banget deh mukanya.”
Heh? Dia nggak marah? Terus kok manggil senpai?
“
S-senpai? A-apa-apaan tuh panggilan? Emang saya orang jepang? T-terus kok kamu bisa ada disini? Shiro mana?” aku mencoba menghilangkan kegugupanku, dan mulai menjaga sikap sopanku. Tapi percuma, pikiran tentang berduaan dengan seorang gadis setengah telanjang yang hanya berbalut handuk membuatku panas dingin. Ini seperti sewaktu dikamar Riana waktu itu!
“Oh? Emang salah ya kalo aku manggil
senpai? Kan
senpai itu kakaknya Shiro. Dan Shiro itu orang jepang. Jadi sudah sepantasnya kalo aku manggil
senpai dengan sebutan jepang juga.” Jelasnya. Aku masih tak berani menengok ke belakang. Entah apa yang ia lakukan. Tapi kurasakan ia mulai mendekat.
“Shiro mana?” aku mencoba tenang dan mengulang pertanyaanku.
“Jangan ngomongin Shiro dulu
Senpai. Dia lagi belanja sesuatu di warung. Hei,
Senpai. Mau tau sesuatu? Aku udah tertarik sama
senpai dari pertama kita ketemu.”
Heh?
“Maksud kamu?” aku meneguk ludahku.
“Jangan sok nggak ngerti gitu deh. Hihi, udah aku duga
Senpai tuh polos banget ya. Lagian..” Ia memberikan jeda pada kalimatnya. Ia tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku merasakan sebuah benda padat, sekal, dan kenyal yang menempel di punggungku. Seakan sengaja, ia semakin menghimpit badannya hingga asetnya itu benar-benar menekan punggungku sekarang.
“Bukannya pakai kata
Senpai itu lebih asik?” bisiknya lembut.
What the heck! Inikah kepribadian gadis-gadis yang jarang bertemu lawan jenis di sekolahnya?
“T-Tolong berhenti. Saya nggak mau kalo Shiro sampai salah paham.” Ucapku jujur. Namun tetap saja dengan kondisi keringat.
“Salah paham? Emangnya apa yang harus di salah pahami
senpai? Hihihi, Atau jangan-jangan dugaanku benar lagi.”
“Dugaan?” aku tak mengerti ucapannya. Ia tiba-tiba beralih ke sampingku, tapi memeluk lenganku erat. Sekarang aku bisa melihat lenganku terhimpit di sela payudaranya. Ukurannya lebih besar dari Shiro, meski aku belum pernah melihat keduanya secara utuh.
Shit, mikir apa gua!
“Ya, dugaanku benar kalo selama ini ada hubungan yang nggak wajar antara kalian berdua...Maksudku,
Senpai dan Shiro.” Ia tersenyum simpul sambil menggigit bibir bawahnya.
“Ng-ngaco kamu! Nggak ada!” sergahku tajam. Terlepas dari kejadian malam itu, hubungan kami masih tetap kakak beradik yang normal. Tapi aku takjub dengan kemampuan analisanya. Dapat kutebak dia mungkin lebih pintar dari Shiro.
“Beneran? Hmm, seorang pemuda dan adik tirinya yang mulai beranjak dewasa. Nggak memiliki hubungan darah, tapi harus tinggal berdua di rumah tanpa pengawasan orang tua?
What’s the world? Meski kalian memiliki hubungan sehat tapi aku nggak yakin kalian nggak punya perasaan khusus. Terlebih Shiro.”
“Shiro? Kenapa dengan Shiro?” aku terjebak, senyumnya tambah melebar di wajah manisnya itu.
“Cieee, kepo. Hahaha”
Kampret, aku dikerjai anak ini, rutukku dalam hati. Ia mengambil tangaku dan membuka telapakku lebar-lebar/
“Yaaah, yang aku liat kayaknya Shiro bener-bener nggak mau kehilangan
Senpai. Entah itu berita bagus atau buruk. Yang jelas...dibanding melakukan hubungan
incest. Bukannya akan lebih baik jika
Senpai melakukannya dengan hal lain?” ia menaruh tanganku di tepian handuk basah yang meliliti dadanya. Jantungku berdegup kencang. Aku tak bisa berpikir jernih kala ia menuntun tanganku untuk menarik lepas handuk yang membalut tubuhnya.
Astaga, anak ini!
“Ahahahahaha! Liat wajah
Senpai barusan! Lucu banget! Hahahaha” aku tak tahu rautku sekarang, yang jelas wajahku tiba-tiba kaku karena ditipu habis-habisan seperti ini.
“CKLEK!” seketika wajahku pucat melihat ke suatu titik. Tepatnya ke pintu depan yang tampak terbuka.
Gawat, Shiro! Kalo dia lihat kita lagi kayak gini bisa mati aku! Kupandang gadis yang baru kuingat bernama Sarah ini tengah memperbaiki lilitan handuknya dengan santai.
Kuso gakiii! (Bocah sialaaan!)
“Tadaimaaaa!! Are?”
(“Aku pulaaanngg!! Eh?”) barang belanjaan Shiro terjatuh begitu saja melihatku dan tanganku yang hendak
menjamah gadis
polos yang merupakan temannya itu. Irisnya bergantian menatap Sarah dan posisi
kampret-ku.
“N-N-Nani shite iru noo, Antatachi wa?”
(“A-A-Apa yang lagi kalian berdua lakukan?”) jarinya mengepal dengan sorot tajam menatap kami. Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus.
“N-Nggak! Bukan gitu! Ilangin dulu pikiran negatif kamu! Aku tadi pulang, terus dia mandi, terus aku...” aku mulai kalut menjelaskan hal-hal sialan yang terjadi tadi. Namun sikapku sepertinya malah menunjukkan aku pelaku yang patut disalahkan.
“Oh, Shiro. Aku baru selesai mandi, tapi kakak kamu tiba-tiba ada disini. Itu aja.” Jelasnya. Aku melongo karena dia tidak menambahkan hal-hal aneh yang lebih menyudutkanku. Ternyata dia orang baik.
“Oh, sou.”
(“Oh,gitu.”) Kulihat Shiro sedikit lebih tenang, syukurlah. Sarah tak mau berlama-lama dan langsung beranjak menaiki tangga untuk menuju kamar Shiro. Tapi tiba-tiba ia berbalik dan berkata sesuatu.
“Oh iya. Kakak kamu itu...agak nakal ya. Handuk aku hampir ditarik jatuh tadi.” Ia menunduk menatap lantai dengan wajah yang memerah.
Kuso gaki. (Bocah sialan.)
Aku sudah bersiap menyambut kemarahan shiro beserta pukulannya. Tapi ternyata dia hanya terdiam dan membereskan belanjaannya.
Heh? Dia nggak marah? Kemudian ia melengos begitu saja melewatiku dan Sarah lalu masuk ke kamarnya.
“Ups. Kayaknya ada masalah besar.” Ucap Sarah membuat bulatan kecil di mulutnya.
つづく
BERSAMBUNG