oedipus
Guru Semprot
Chapter XXV : Enemy From the Past
"Paimaaan..."
Mayat yang ditutupi kain itu adalah Paiman. Orang yang telah menjadi sahabat dan informanku dalam dua tahun ini. Mayatnya tampak penuh dengan luka, bukan luka karena pertarungan, tampaknya luka karena siksaan. Entah karena apa dan siapa pelakunya.
Ada rasa sedih dan marah dalam hatiku. Tapi aku bisa menyembunyikannya, karena ini bukanlah hal pertama yang kualami. Sudah berkali-kali aku menyaksikan orang-orang dekatku terbujur kaku di depanku. "Mran, suruh petugas membawa mayatnya untuk di autopsi," kataku.
Setelah mayat itu dibawa, Aku, Imran dan Andika kembali melakukan olah TKP. Siapa tahu kami menemukan suatu petunjuk. Tapi hampir satu jam kami di tempat itu tidak menemukan apapun. Apakah yang melakukannya profesional, hingga tidak meninggalkan jejak sama sekali. Atau apakah ini ada hubungannya dengan Ardi ? karena dari Paimanlah aku bisa berketemu Ardi.
@@@@@
Kami kembali ke kantor dengan tangan hampa. Aku minta teman-teman mencari di mana keberadaan Ardi. Satu minggu berlalu tanpa ada kabar berita soal Ardi, hanya kini kota kembali marak dengan drugs. Dan kini harganya melambung tinggi, karena sedikitnya pasokan yang masuk ke kota.
Dengan adanya fenomena ini, pikiranku tentang Avi untuk sementara menghilang. Aku kini fokus untuk menyelidiki masalah ini. Beberapa orang yang berhasil di tangkap tidak tahu berasal dari mana datangnya barang-barang ini.
Siang itu aku kembali berdiskusi dengan Mas Jaka, soal obat-obatan yang kembali marak beredar. "Bagaimana menurut Mas, soal hal ini ?" tanyaku pada Mas Jaka.
"Lang, kalau menurut firasatku hal ini berhubungan dengan Ardi. Bisa saja Ardi sengaja memberi informasi tentang geng-geng itu supaya kita menghancurkannya, dan dia bisa menguasai kota ini sendirian. Jadi menurutku, kuncinya adalah kita harus mendapatkan Ardi terlebih dahulu," ujar Mas Jaka.
"Baiklah Mas, kita akan cari Ardi sambil mencari siapa orang-orang yang kali ini bermain dengan semua ..."
Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, tiba-tiba Andika datang, "Lang, Ardi sudah berhasil ditemukan," kata Andika.
"Dimana... ?"
"Sebuah gedung dekat Bandara."
Tanpa membuang waktu, kami segera meluncur ke tempat kejadian. "Dimana ?" tanyaku pada Imran begitu sampai ke tempat itu.
Imran tidak menjawab, hanya menunjuk arah belakang tubuhnya. Aku menuju arah yang di tunjuk Imran, sesosok tubuh terbungkus kain putih, dan begitu kulihat, Ardi. Dia telah menjadi mayat, tanpa siksaan seperti Paiman, tapi jelas merupakan suatu pembunuhan.
Dari ekspresi wajahnya dia menunjukan mimik terkejut. Tampaknya dia tidak menyangka akan terjadi hal ini padanya. "Sepertinya dia mengenali siapa pembunuhnya !" kata Mas Jaka.
"Ya, dan sepertinya Si pembunuh juga mengenali kita," kata Imran menimpali.
"Maksudnya ?" tanya Andika.
"Ini maksud Imran," kataku, sambil menyerahkan sehelai kertas yang bertuliskan 'Agenda selanjutnya adalah berburu BURUNG liar yang langka' kepada Andika.
"Maksud tulisan ini apa ? aku belum paham," kata Andika.
"Makanya, itu otak jangan buat berpikir tentang cewek saja. Coba untuk berpikir yang lebih serius," sindir Imran kepada Andika.
"Setelah Paiman dan Ardi, tampaknya dia mengincarmu Lang. Apa kira-kira kau bisa menduga, dia siapa ?" tanya Mas Jaka.
"Sulit, terlalu banyak penjahat yang dendam kepadaku."
Kami kemudian kembali melakukan pemeriksaan kepada tubuh Ardi. Beberapa benda yang kami temukan adalah dua tiket pesawat ke Selandia Baru, pasport, kartu kredit dan surat identitas lainnya.
Setelah kami rasa cukup, maka kuperintahkan Ambulance membawa mayatnya ke Rumah Sakit untuk otopsi.
Kami kembali ke markas untuk mendiskusikan hal ini, dan juga soal ancamannya itu. Mereka bertiga ingin salah satunya mengawalku. Tapi dengan segera kutolak ide itu. Aku masih bisa menjaga diri, alasanku menolak ide mereka.
@@@@@
Tiga hari berlalu, dan tiada perkembangan yang berarti. Baik soal kematian Paiman dan Ardi maupun peredaran drugs yang semakin menggila. Tampaknya orang yang berada dibalik semua ini adalah orang yang cerdas. Semuanya menggunakan sandi khusus, bahkan beberapa petugas yang turun juga berhasil mereka kelabuhi.
Kegagalam kami menyelesaikan persoalan ini benar-benar menjengkelkan hatiku dan tidak bisa membuatku tidur. Aku merasa dipermainkan penjahat itu dan aku tidak bisa berbuat apapun untuk menghentikannya. Mas Jaka menyuruhku berlibur satu atau dua hari, untuk mendinginkan pikiranku yang sedang panas.
Saran Mas Jaka kuterima. Maka setelah meminta izin kepada Bapak Kapolres, aku segera pergi ke rumah kakek. Sebenarnya masih satu kota. Tapi lebih kearah luar kota dan di sebuah desa yang tenang dan tentram. Tepat untuk menyegarkan pikiran. Rumah ini menimbulkan kenangan manis, dan juga rumah yang penuh kasih sayang.
Tapi orang-orang itu telah pergi satu tahun yang lalu. Karena itulah aku lalu memutuskan untuk tinggal di tempat kost. Rumah ini hanya kutempati bila aku mendapat waktu senggang.
Sore itu aku masih jalan-jalan di sekitar rumah. Muncul juga bayangan di pikiranku. Apakah Avi mau tinggal di tempat seperti ini, andai kata kelak kami bersama. Hal itu yang masih menganjal di hatiku dalam hubungan kami.
Tapi aku sedang tidak mau memikirkan hal itu saat ini. Aku kembali meneruskan langkahku hingga sampai ke ujung desa. Untuk beberapa lama aku berdiam di gubuk yang berada di tengah persawahan. Hingga karena semilirnya angin, aku menjadi tertidur.
Entah berapa lama aku tertidur. Saat aku terbangun, Matahari sudah berada di ufuk barat dan orang-orang mulai meninggalkan area persawahan. Aku kemudian bangkit dan sedikit menggerakkam badan melemaskan otot, sebelum beranjak pulang.
Aku berjalan pulang dengan beberapa kawan masa remaja yang bertemu di jalan. Kami berpisah di persimpangan jalan, rumah kakek memang agak jauh dari yang lain, sehingga terasa lebih tenang.
Desa ini merupakan tempat yang aman. Belum pernah ada peristiwa pencurian, perampokan dan kejahatan lainnya. Sehingga orang-orang dapat meninggalkan rumah tanpa dijaga atau dikunci. Tapi saat masuk ke dalam rumah, instingku merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Aku pikir itu hanyalah perasaanku, hingga aku pun berusaha mengabaikan firasatku itu.
Ternyata kelengahanku kali ini harus dibayar teramat mahal. Dan saat aku menyadarinya..., semuanya terlambat. Duaaakh, kurasakan sakit di leherku. Pandanganku menjadi gelap dan aku tersungkur ke depan. Setelah itu aku tidak tahu apa lagi yang terjadi.
@@@@@
Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Ketika sadar dan membuka mata, pandanganku masih kabur, leherku dan kepala terasa sakit. Saat hendak menggerakkan tangan terasa ada yang menahannya. Mataku kembali normal, dan aku menyadari bahwa kedua tanganku terborgol dibagian belakang tubuh dengan tiang yang ada di dalam kamarku.
Aku arahkan pandanganku berkeliling. Pertama ke arah tempat tidurku yang tepat berada di depanku. Di atas ranjang itu terdapat sesosok tubuh yang ditutup mulutnya, diikat kedua tangannya di atas kepala dan kaki yang juga diikat. Hingga membentuk huruf x. Yang membuatku terkejut wanita itu adalah Mbak Wulan, istri Mas Jaka. Aku berusaha mengalihkan pandanganku saat menyadari bahwa tubuh itu telanjang di bawah selimut.
Bergeser kesamping kulihat Mas Jaka dan Imran yang terikat di kursi dengan tubuh penuh luka. Aku berusaha mencari Andika, ternyata dia tidak ada di ruangan ini. Tapi yang membuatku lebih terkejut adalah suara yang menyapaku dari belakang, "Sudah sadar, Lang !!!" kata orang itu yang melangkah ke depanku. Aku memang belum melihat wajahnya secara jelas, tapi aku sudah menduga siapa dia.
Dan ternyata tepat dugaanku, saat orang itu menghadap ke arahku, "Ann..an..di, kauuuuu !!!" aku memang sudah menduga dia, tapi tetap saja aku terkejut melihatnya berdiri di hadapanku.
"Apa kabar kawan," tanyanya sambil menepuk-nepuk pipiku. Aku masih tidak percaya sepenuhnya, bahwa lelaki di hadapanku ini Andi. Andi, rekan kerjaku yang dinyatakan meninggal dua tahun yang lalu.
"Kau masih hidup, An, lalu apa semua ini ?"
"Haa... haa... haa..., Elang yang cerdas, masa tidak bisa menebak apa yang terjadi..., sebenarnya aku ingin bermain lebih lama lagi, tapi aku masih punya pekerjaan yang lebih besar, untuk itu terpaksa aku harus mengakhiri permainan denganmu."
"Jadi kau yang berada di balik semua ini ...!"
"Ya, untuk permainan kali ini aku yang mengendalikannya. Tapi untuk yang lebih besar, tentu ada orang lain yang lebih hebat dari aku. Kau tentu bisa menduganyakan."
"Tapi untuk apa kau melakukan semua ini An ?" tanyaku untuk mengulur waktu. Siapa tahu ada bantuan yang datang.
"Aku tahu maksudmu yang terus mengajakku bicara, Lang. Tapi kalau kau berharap bantuan akan datang, maka percuma saja. Andika dan kekasihnya sudah mati, jadi tidak ada lagi yang tahu bahwa kamu berada disini. Karena aku baik hati, maka aku akan menghilangkan rasa penasaran di hatimu. Kamu mau tahu kenapa aku membunuh Rudi ?' tanya Andi, dengan nada datar.
Aku hanya diam mendengar pertanyaannya. Dulu keluarga Andi sebenarnya masih saudara jauh dengan Rudi dan Mas Jaka, hal ini yang menimbulkan rasa penasaran di hatiku, kenapa Andi tega membunuh Rudi.
Andi berjalan mendekati ranjang, dan tiba-tiba menarik selimut yang menutupi tubuh Mbak Wulan. Dan benar seperti dugaanku, di balik selimut itu Mbak Wulan telanjang bulan. Aku melihatnya, sebelum sempat memalingkan muka. "Kenapa memalingkan muka, Lang ? Apa kamu bukan lelaki normal, tidak mau memandang tubuh mulus ini." Aku masih memalingkan muka, saat Andi melanjutkan bicaranya, "wanita inilah yang membuatku, membunuh Rudi." Kata-kata Andi membuatku menoleh kearahnya.
"Apa hubungannya dengan Mbak Wulan ?" tanyaku tidak mengerti.
"Tanyakan kepadanya secara langsung, atau kepada dia," ucap Andi sambil menuding ke arah Mas Jaka.
Aku bergantian memandang ke arah Mas Jaka dan Mbak Wulan. Tentu saja mereka tidak bisa menjawab, karena mulutnya tertutup kain.
Andi duduk di tepi ranjang menghadap ke arahku. Sesaat kemudian dia mulai bercerita. "Dulu, waktu kecil aku mempunyai teman bermain. Namanya Intan, ketika besar kami kembali bertemu. Saat itu aku mulai jatuh cinta kepadanya, tapi cintaku bertepuk sebelah tangan, tapi kami masih berteman. Suatu saat Intan bertemu dengan Jaka, dan cinta kepadanya. Beberapa bulan kemudian Intan bercerita padaku, bahwa dia hamil."
Andi berhenti sesaat, kemudian melanjutkan ceritanya. "Tapi saat itu Intan di tolak keluarga Jaka. Jaka tidak membelanya, karena saat itu dia sedang dekat dengan Wulan yang dikenalkan oleh Rudi. Aku yang merasa kasihan kepada Intan lalu menemui mereka bertiga. Tapi..., jawaban mereka bertiga sungguh membuatku muak dan ingin membunuh mereka rasanya."
Andi kembali diam, hingga suasana yang mulai beranjak malam bertambah sunyi. Hanya suara serangga dan burung malam yang terdengar. "Kau tahu ! apa jawaban mereka ? Jaka ternyata seorang lelaki pengecut yang tidak mau bertanggung jawab. Dia meminta Intan untuk menggugurkan kandungannya. Rudi sama saja seperti orang tuanya, dia menganggap Intan hanyalah wanita murahan yang mau masuk ke keluarganya. Dan wanita ini, dia berkata wanita baik-baik selalu menjaga kehormatannya, kenapa Intan mau menyerahkan begitu saja kehormatannya. Mereka semua menghukum Intan, seolah-olah dialah yang bersalah."
Andi menghela nafas panjang, kemudian dia kembali bercerita "Saat itu aku tidak berani menceritakan pertemuanku dengan mereka kepada Intan. Semalaman itu pula aku berpikir, dan pada saat itu aku menemukan jalan keluar yang menurutku baik bagi Intan. Tapi semuanya terlambat, karena saat keesokan harinya aku ke tempat Intan, dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Aku betul-betul terpukul saat itu. Ingin rasanya membunuh mereka semua dan kemudian membunuh diri mengikuti Intan. Tapi saat itu aku benar-benar pengecut, yang hanya berani di dalam hati. Mulai saat itu muncul dendamku kepada mereka yang telah menyebabkan Intan mati. Tapi akhirnya kesempatan itu datang juga, termasuk malam ini. Bagaimana Lang ? apa tindakanku salah ?" tanya Andi mengakhiri ceritanya dengan bertanya padaku.
Aku hanya diam sambil berpikir mendengar cerita dari Andi. Sungguh cerita yang sulit diterima akal sehat. Aku mengenal Rudi, Mas Jaka, Mbak Wulan sejak lama. Apakah mereka benar melakukan hal yang dikatakan Andi, tapi buat apa Andi berbohong dalam hal ini. Sambil berpikir aku juga berusaha melepaskan borgol yang membelengu kedua tanganku. Tapi itu nampaknya percuma saja.
Apakah hidupku akan berakhir disini. Tidak, selama masih bisa bernafas aku harus ber usaha, pikirku dalam hati. "An, apakah Pak Yudi masih hidup ?" aku bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.
Andi menatapku, "Benar apa yang dikatakan Yudi, kau memang cerdas dan berbahaya Lang. Dia bilang kau adalah orang paling berbahaya baginya. Sekarang aku percaya ucapannya. Benar dia memang masih hidup, tapi mungkin kau tidak sempat bertemu dengannya lagi, karena ini adalah malam terakhir kamu hidup."
"Apakah dulu, juga telah di rencanakan sebelumnya oleh Yudi ?"
"Yeah, dia sudah merencanakan semuanya. Bahkan kejadian ini sudah ada dalam rancangannya, begitu tahu kamu lolos dalam peristiwa itu."
Sungguh mengerikan jika benar apa yang dikatakan Andi jika semuanya benar. Pasti Yudi punya rencana yang sangat besar.
"Dimana Yudi sekarang, An ?"
"Pertanyaanmu seperti anak kecil, Lang. Tapi biarlah kujawab, dia ada di dekat sini, tapi kau mungkin tidak akan mengenalinya lagi, bahkan jika dia berada di depanmu."
"Bagaimana kalau kau lepaskan mereka semua, dan kau bisa membawaku ke tempat Yudi ?"
"Haa.. haa.. haa..., bukankah aku sudah mendapatkanmu, kenapa aku harus melepaskan mereka !!!"
Saat Andi hendak melanjutkan ucapannya, tiba-tiba pintu kamar di ketuk dari luar. "Ada apa ?" teriak Andi.
"Ada telepon dari markas, Bos." kata suara di balik pintu.
"Bawa kesini !" perintah Andi.
Seseorang masuk, kemudian menyerahkan telepon kepada kepada Andi. Walau berbicara kepada Andi, tapi matanya memandang ke arah tubuh telanjang Mbak Wulan yang berada di atas ranjang, dengan tatapan penuh nafsu. Andi hanya tersenyum melihat kelakuan anak buahnya.
Hanya sebentar Andi berbicara di telepon, setelah menyerahkan telepon itu, dia menyuruh anak buahnya untuk keluar lagi. Orang itu keluar tanpa berbicara, walau tampak kekecewaan di wajahnya.
Andi mendekat ke arahku. "Masih ada waktu dua jan, sebelum aku meninggalkan tempat ini. untuk itu marilah kita mulai mengakhiri semua ini secara perlahan."
Andi kemudian berbalik menuju kearah Mas Jaka dan Imran. Dia mendekati Imran dari arah belakang, "Maaf teman, salahmu sendiri berteman dengan mereka," Setelah berkata seperti itu tangan Andi bergerak dan 'kreeek' tangannya memuntir kepala Imran, tanpa mengeluarka suara kepala Imran terkulai, mati.
"Imraaan !!!" teriakku. Aku berusaha untuk meronta dan berharap bisa lepas dari borgol, tapi tetap sia-sia. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatiku, marah, sedih, kecewa bersatu.
"Untukmu terlalu enak bila mati begitu saja, kau harus merasakan dulu bagaimana wanita yang kau cintai di permainkan," kata Andi kepada Mas Jaka. Dia berbalik mendekati ranjang, Mbak Wulan berusaha meronta seakan sudah mengetahui apa yang akan terjadi padanya, namun ikatan tangan dan kakinya terlalu kuat baginya.
Dia melepas kain yang menutup mulut Mbak Wulan, "Aku ingin mendengar suaramu saat merintih, haa.. haa.. haa.."
"Jangan ! jangan ! jangan, An ! Tolong...!"
"Tolong ? Kenapa suamimu tidak mau menolong ? Karena suamimu pengecut, tahu !!! Minta tolong sama Elang, dia si pemberani !" seru Andi sambil menampar pipi Wulan sampai wanita itu memekik kesakitan.
Andi semakin beringas melihat tubuh Wulan yang montok telanjang bulat. Kedua paha wanita cantik itu terentang lebar mempertontonkan bibir kemaluannya.
"Diam sayang ! Aku mau malam ini kau merasakan rasa malu yang sama seperti yang dirasakan Intan. Kalau kau tidak mau diam, aku akan panggilkan seluruh anak buahku yang berada di luar untuk memperkosamu," ancam Andi.
Mbak Wulan diam seketika mendengar ancaman dari Andi. Dia hanya menjerit lirih saat Andi meremas buah dadanya dengan keras.
"Wajah dan tubuhmu memang menarik sampai sekarang, pantas Jaka berani melepaskan Intan demi dirimu," kata Andi sambil meraba seluruh tubuh Mbak Wulan. Mas Jaka tidak berani memandang ke arah ranjang. Sedang aku yang berada tepat di depan ranjang, berusaha untuk tidak melihat.
"Tii.. tidak An, jangan.. lakukan ini, aku mohon ..."
"Siapa suruh tawar-menawar denganku, huuuh... !!!" kata Andi dengan suara keras dan tangan menjabak rambut Mbak Wulan. "Mengapa kita tidak melakukannya dengan suka sama suka, seperti yang kau lakukan dengan Rudi. Sudah dua tahun Rudi mati, pasti kau kesepian selama ini, bukankah begitu ...?"
"Please An.., hentikan..." kata Mbak Wulan dengan panik.
"Kenapa ? malu ! tapi aku akan membuatmu lebih malu lagi, kau pikir aku tidak tahu hal itu. Bukankah setelah kecelakaan itu Jaka menjadi cacat ! Haa.. haa.., yang tidak tahu itu Jaka. Bukankah di belakangnya kau bermain-main dengan Rudi. Sungguh kasihan Jaka, haa.. haa..."
Aku hanya diam mendengar semua apa yang di katakan Andi. Ternyata ada banyak liku-liku dalam kehidupan ini. Kehidupan Mas Jaka yang kukira bahagia, ternyata menyimpan sekam di dalamnya. Kulihat Mas Jaka, wajahnya benar-benar kosong. Dari wajahnya yang tidak terkejut, tampaknya dia tahu apa yang dilakukan Mbak Wulan di belakangnya. Aku merasa sedih dan kasihan dengan keadaannya, aku dapat merasakan, bagaimana rasanya melihat wanita yang kita cintai, istri kita, bercinta dengan orang lain. Dan orang lain itu adalah adik kandungnya sendiri.
Aku tidak bisa menyalahkan Rudi begitu saja. Biar sudah memasuki usia 30 tahun Mbak Wulan masih menarik. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun Mbak Wulan memiliki tubuh yang montok dan padat, buah dadanya membusung kencang dengan puting mencuat kemerahan, ditunjang dengan kulitnya yang kuning langsat mulus dan rambut sebahu, wajahnya yang cantik manis membuat rekan kerja Mas Jaka dan Mbak Wulan, juga pemuda sekitar tempat tinggal mereka terpaku dan menelan ludah saat Mbak Wulan lewat dengan goyangan pinggulnya. Pantatnya yang montok selalu menonjol di balik rok seragam kerjanya, biarpun tidak terlalu pendek, tapi ketatnya memperlihatkan garis celana dalam wanita ini. Jujur sebagai lelaki normal aku juga kadang-kadang menelan ludah saat datang ketempat Mas Jaka, dan Mbak Wulan hanya memakai tanktop dan bercelana pendek di rumah. Apalagi bagi Rudi yang satu atap dengan mereka, siapa yang kuat menahan godaan dari Mbak Wulan.
"Ma...ma..afkan..aa..khuuu.., aa..kuu memang egois waktu ituuu."
"Untuk apa minta maaf, setelah sekian lama Intan tiada, baru minta maaf. Sudahlah, jangan menambahku muak. Simpan maafmu, dan katakan saat bertemu Intan nanti di akhirat. Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Jangan salahkan aku, sama seperti yang kau katakan waktu itu, Inilah jalan hidup. Jadi nikmatilah hidupmu...!!!"
"Kauuu lepaskan dia dan bunuhlah akhuuu..."
"Melepaskannya ! Jangan mimpi ! Aku akan melepaskannya setelah bersenang-senang dengannya. Haa.. haa.."
Tanpa basa-basi lagi Andi segera membuka pakaiannya sendiri, lalu melompat ke atas ranjang. Mbak Wulan dengan sia-sia meronta dan menjerit saat Andi menindih tubuhnya yang telanjang bulat tanpa sehelai benang pun. Mbak Wulan bahkan tidak bisa untuk sekedar merapatkan pahanya yang terkangkang lebar.
Pekikan Mbak Wulan tertahan mulut Andi, saat tangan Andi meremas buah dadanya dengan keras. Rontaan dan pekikan wanita cantik itu sama sekali tidak digubris. Andi kemudian menempatkan kejantanannya tepat di depan bibir kemaluan Mbak Wulan.
"Diam Sayang ! Jangan takut, aku akan melakukannya lebih baik dari Rudi, hingga kau akan merasa keenakan! Nanti pasti kamu ketagihan. Sekarang biar aku mencicipi kemaluanmu..." sambil berkata begitu Andi menghujamkan kejantanannya memasuki hangatnya vagina Mbak Wulan.
Awalnya Andi kesulitan memasukan penisnya ke dalam vagina Mbak Wulan, karena rontaan dari Mbak Wulan terasa sedikit menghalangi. Namun bukan tandingan bagi kekuatan Andi yang bertubuh jauh lebih besar, perlahan kejantanan Andi menerobos masuk.
"Haaanggkkk...! Aahhhkkk...!" Napas Mbak Wulan terputus-putus dan matanya yang bulat indah terbeliak lebar saat dia merasakan penis Andi tiba-tiba memasuki selangkangannya.
Tubuh montok wanita itu tergeliat-geliat merangsang dengan napas tersengal-sengal sambil terpekik tertahan-tahan ketika Andi dengan cepatnya menggenjotkan kejantanannya menikmati hangatnya kemaluan Mbak Wulan yang tampaknya masih sempit, karena belum pernah melahirkan.
"Aahh... enak sekali vaginamu... Wulaaanh, masih terasa menggigith... punyaku juga enak kan Wulan..? Tidak kalah dengan yang lain kan..?" Andi mendesah kenikmatan.
Mbak Wulan sambil merintih tidak jelas menggelengkan kepala dan meronta berusaha menolak, namun semua usahanya sia-sia, dan wanita itu kembali terpekik dan tersentak karena Andi kini dengan kuat meremasi kedua payudaranya yang kencang menantang. Sepertinya benar kata orang, wanita seperti Mbak Wulan memang sangat memuaskan, wajahnya yang cantik, buah dadanya yang tegak menantang bergerak naik turun seirama napasnya yang tersengal-sengal, tubuhnya yang montok telanjang bersimbah keringat, kedua pahanya yang mulus bagai pualam tersentak terkangkang-kangkang, bibir kemaluannya tampak megap-megap dijejali kejantanan Andi yang besar.
Mbak Wulan dengan airmata berlinang merintih memohon ampun, namun
tusukan demi tusukan terus menghajar selangkangannya yang semakin memerah. Payudaranya yang besar kini diremas-remas tanpa ampun. Mungkin Mbak Wulan merasakan betapa malunya dia, diikat dan ditelanjangi di depan suaminya, lalu diperkosa tanpa mampu melawan sedikitpun.
"Hhh... ! Wulanh... ! Wulaann... ! Sekarang aku akan membikin kamu hamil, biar kau merasakan malu seumur hidup, sayangghh..! Aah... ambil nih ! Nih ! Nih ! Niih... !"
Tanpa dapat ditahan lagi Andi menyemburkan spermanya dalam hangatnya kemaluan Mbak Wulan sambil sekuat tenaga meremas kedua payudara wanita itu, membuat Mbak Wulan tergeliat-geliat dan terpekik-pekik tertahan sumpalan bibir Andi di mulutnya. Perlahan kepala Mbak Wulan terkulai dan matanya tertutup. Tampaknya Mbak Wulan jatuh pingsan.
Andi kemudian membetulkan celananya, dan tanpa mempedulikan Mbak Wulan kini dia menghampiri Mas Jaka. "Nikmat sekali tubuh istrimu Jak, kenapa tidak dari dulu aku melakukan ini ...! Bagaimana rasanya kini...? Saat melihat orang lain menyetubuhi istrimu...??? Dan kau hanya bisa melihat tanpa pernah merasakannya ! Ha..ha..ha.., tampaknya hukum karma mengenaimu, ha.. ha.. ha..," Andi tertawa gembira.
"Ka...kamu..pu..as..bi.sa mem..balas..???"
"Aku menunggu lama untuk membalas semua perbuatanmu yang meninggalkan Intan. Aku puas bisa membuatmu yang tidak berdaya, kini menyaksikan pembalasanku."
"Ka..ka..mu.. be..beg..gitu.. benci.. kepa..da.. kel..luu..aar.***a kaa miii..???
"Jangan becanda, setelah perbuatanmu selama ini, apa yang kamu harapkan..?? Pakai otak Jaka. Aku benci dan menganggap kau dan seluruh keluargamu tidak lebih daripada sampah. Aku tidak pernah peduli, walau kamu adalah saudaraku. Hubungan kekeluargaan kita putus setelah kau dan keluargamu menghina dan mempermalukan Intan. Bagiku kau adalah musuhku, aku tidak akan pernah merasa menyesal...??? Seperti kau yang tidak menyesal meninggalkan Intan."
Kulihat dari matanya Mas Jaka mengeluarkan air mata, tampaknya dia benar-benar tertekan akan keadaan ini. Mas jaka yang biasanya berwibawa, dewasa dan berpikiran matang, kini seperti anak kecil yang hanya bisa menangis. Sementara aku hanya bisa marah kepada diri sendiri, karena tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi semua ini.
"Kau benar-benar sampah tidak berguna, kalau kau laki-laki mari kita selesaikan secara laki-laki, jangan hanya bisa menangis saja. Aku beri satu kesempatan padamu. Jika kau bisa keluar dari kamar ini aku akan bebaskan kalian semua," kata Andi, sambil melepaskan ikatan pada tubuh Mas Jaka.
Perlahan Mas Jaka bangkit dari kursi, melihat ke arahku dan berkata, "Lang, tolong jaga Wulan." Dia menghampiri Andi, dan tanpa bicara langsung menyerang Andi. Sebelum Andi bersiap, pukulan Mas Jaka sudah mendarat telak di wajah Andi, Duaaakh...
Tapi ternyata pukulan itu tiada pengaruhnya apapun bagi Andi, dia masih berdiri tegak di tempat dengan bibir tersenyum sinis memandang Mas Jaka. "Ternyata, kau betul-betul sampah tidak berguna. Hanya memukul saja tidak becus. Ayo pukul lagi yang ker..." Duaaakh... Sebelum Andi menyelesaikan kata-katanya, pukulan Mas Jaka kembali mendarat di wajahnya.
Kembali hanya senyum yang muncul di mulut Andi, hal itu berulang sampai tiga kali. Saat Mas Jaka memukul yang keempat kalinya, Andi tidak membiarkan pukulan itu mengenainya lagi. Sambil menghindar dia berkata, "Sudah cukup Jak, sekarang giliranku yang akan mengajarimu cara memukul yang benar."
Andi kemudian menghajar Mas Jaka habis-habisan, tubuhnya yang sudah luka, tampaknya bertambah parah. "Andi... hentikan An.., kalau berani ayo lepaskan aku dan kita berdua bertarung sampai ada yang mati di sini," teriakku. Tapi tentu saja hal itu tidak di tanggapi oleh Andi. Pukulan Andi baru berhenti saat ada tangan lain yang memukuli dirinya. Ternyata Mbak Wulan, yang entah kapan dia sadar dari pingsannya, dan kini berusaha membantu suaminya yang di hajar Andi.
Dengan mudah Andi menangkap tangan Mbak Wulan, dan tanpa belas kasihan seperti tadi, Andi mendorong Mbak Wulan hingga menabrak Almari yang ada di kamar ini. Tanpa mengeluarkan jeritan, Mbak Wulan langsung jatuh ke lantai, entah pingsan atau mati karena kerasnya benturan. Tanpa mempedulikan Mak Wulan, Andi kembali menghajar Mas Jaka habis-habisan. Dia baru berhenti saat Mas Jaka sudah tidak bergerak lagi. Tampaknya kebencian Andi kepada Mas Jaka benar-benar mendalam.
Setelah mengebutkan bajunya, Andi berjalan menghampiriku, berjongkok di depanku, menjambak rambut dan menarik kepalku kebelakang. "Kita akan segera memasuki akhir dari segalanya kawan," kata Andi, sambil menatapku tajam.
Aku balas menatapnya tanpa berkedip, hingga membuat dia gusar. "Kurang ajaaar !!! Kau masih berani, haahhh... !" Plaaak.. plaaakh.. plaaakh.. plaaakh..., kata Andi, sambil menamparku berulang kali. Walau sakit tamparannya, tapi aku masih nekat tetap menatap matanya.
"Kau memang gila, And... !"
"Kurang ajaaar," Plak.. plaakh.. plaaakh.. plaaakhhh.., dia kembali menampar mukaku berulang kali hingga berhenti karena kelelahan. Kurasakan panas, perih, sakit dan pening pada kepalaku, juga terasa hidung dan bibirku mengalir darah.
"Kau memang hebat dan lain dari pada yang lain. Pantas Yudi begitu mewaspadaimu, tapi sekarang kehebatanmu tidak berguna. Mungkin kau bisa tahan akan siksaan, tapi jika peluruku menembus kepalamu, apa kau masih tidak takut," kata Andi sambil menodongkan pistol di keningku.
"Rasa takut tidak ada dalam kamusku, hanya penyesalan yang ada dalam hatiku, kenapa aku tidak dapat menyelesaikan tugasku," ucapku acuh.
"Kau memang orang yang langka, tapi sayang sekali orang sepertimu harus disingkirkan karena membahayakan kami. Untuk menghormati keberanianmu, aku berjanji akan memenuhi satu permintaanmu, katakan apa permintaan terakhirmu ?" tanya Andi.
"Dalam bukti rekaman dulu tidak ada hal apapun yang menyebut keterlibatan Yudi. Mengapa Yudi harus melakukan semua itu, termasuk juga membunuh Frans, Reni, dan Simon. Hal apakah sebenarnya yang ingin disembunyikan Yudi ?"
Andi terdiam mendengar pertanyaanku. Kutatap wajahnya, tampak parasnya berubah mendengar pertanyaanku. Tapi kemudian mukanya berangsur normal kembali. "Maaf, Lang untuk pertanyaanmu itu aku tidak bisa menjawabnya. Karena hanya Yudi yang tahu semuanya. Silahkan ajukan permintaan yang lain," kata Andi.
Sebelum sempat aku membuka mulut, pintu kamar kembali di ketuk dari luar. "Masuk...!" bentak Andi. Seseorang membuka pintu kemudian memberi kode kepada Andi. Melihat kde dari orang itu Andi segera keluar mengikuti orang itu.
Tidak lama kemudian terdengar suara Andi memberi perintah, "Jaga dan awasi dia baik-baik, kalau terjadi sesuatu segera hubungi aku." Tidak lama kemudian terdengar beberapa orang bergerak dan suara mobil menjauh. Tampaknya Andi dan beberapa anak buahnya meninggalkan rumah ini, setelah menerima pesan dari seseorang.
@@@@@
Aku menghela nafas panjang, bersyukur karena untuk saat ini nyawaku masih selamat. Aku tidak tahu beberapa lama Andi pergi, tapi aku pikir inilah saat yang tepat untuk mencoba meloloskan diri. Aku mencoba untuk berpikir tenang, sambil mencari-cari adakah benda atau alat apapun yang bisa membantuku lolos dari borgol yang membelenggu.
Hampir setengah jam aku mencari tapi hasilnya nihil, begitu juga harapanku agar ada anak buah Andi yang datang mendekat agar dapat kusergap, ternyata tidak ada yang berani mendekat, tampaknya Andi sudah menyuruh anak buahnya agar tidak mendekatiku.
Akhirnya aku mencoba untuk melupakan semuanya dengan berusaha untuk mengistirahatkan badan, walau wajah bekas tamparan Andi masih terasa sakit. Beberapa saat kemudian, lamat-lamat aku mendengar suara orang berbicara, orang berkelahi, barang-barang pecah, suara tembakan.
Tapi suara-suara itu tidak berlangsung lama. Kurang lebih lima menit sampai suara-suara itu menghilang dan kembali berganti kesunyian. Kemudian aku mendengar bunyi langkah yang tampaknya menuju kearah tempatku berada. Aku masih memejamkan mata, tapi seluruh tubuhku siap menghadapi segala sesuatunya.
Kudengar suara langkah itu perlahan makin dekat ke arahku. Dia sudah berada dalam jangkauan seranganku dan akupun sudah siap mengambil ancang-ancang untuk menyerangnya, saat suara itu membuatku mengurungkan niatku, "Lang, kau tidak apa-apa kan ?" tanya orang itu. Aku segera memandang orang yang berdiri di depanku dan aku menjadi senang sekaligus terkejut melihat orang itu.
"Om Gian...," sapaku. Dia adalah Om Gian, orang yang pertama kali membawaku ke rumah ini sepuluh tahun yang lalu. "Kenapa Om bisa tahu aku di sini ?" tanyaku.
"Sudah nanti ceritanya," kata Om Gian sambil membuka borgol di tanganku dengan alat yang di ambil dari saku celananya. Aku masih belum bisa berdiri, karena kakiku masih terasa kaku. Sementara Om Giam memeriksa Mas Jaka dan Mbak Wulan. Sesaat kemudian Om Gian menelepon seseorang.
Lima menit kemudian aku baru bisa berdiri, aku ikut memeriksa keadaan Mas Jaka dan Mbak Wulan. Mereka ternyata masih hidup, entah bagaimana kondisinya. Aku keluar kamar, di ruang tamu barang-barang hancur berantakan, ada beberapa tubuh yang tergeletak di ruang itu. Aku mencoba mencari Andika dan kekasihnya. Kutemukan tubuh mereka berdua di kamar belakang, Andika dengan bermacam luka di tubuhnya terbaring di dekat almari, sementara Tari, kekasihnya dengan tubuh telanjang tergeletak di atas ranjang.
Aku kembali terdiam, perasaan bersalah dan sedih menghinggapi hatiku. Andai saja mereka tidak menjadi temanku, mereka pasti tidak akan jadi korban Andi, dan nyawa mereka tidak akan melayang sia-sia karenaku.
Aku kembali ke ruang tamu, duduk di kursi. Om gian tampaknya mengerti apa yang kurasakan, hingga dia membiarkan aku sementara larut dalam pikiranku. Tidak lama kemudian terdengar beberapa bunyi sirene mobil, ternyata Om Gian memanggil polisi untuk meminta bantuan.
Entah beberapa lama aku tenggelam dalam pikiranku, aku sadar saat Om Gian mengajakku pergi ke Rumah Sakit. Ternyata Ambulance sudah siap membawa Mas Jaka, Mbak Wulan, Andika, Tari dan Imran. Sementara rumah sudah di pasang garis polisi. Aku hanya ikut saat Om Gian menggandengku masuk ke dalam mobil, sesaat kemudian aku tidak sadar apa yang terjadi setelah itu.
To Be Conticrooot...
"Paimaaan..."
Mayat yang ditutupi kain itu adalah Paiman. Orang yang telah menjadi sahabat dan informanku dalam dua tahun ini. Mayatnya tampak penuh dengan luka, bukan luka karena pertarungan, tampaknya luka karena siksaan. Entah karena apa dan siapa pelakunya.
Ada rasa sedih dan marah dalam hatiku. Tapi aku bisa menyembunyikannya, karena ini bukanlah hal pertama yang kualami. Sudah berkali-kali aku menyaksikan orang-orang dekatku terbujur kaku di depanku. "Mran, suruh petugas membawa mayatnya untuk di autopsi," kataku.
Setelah mayat itu dibawa, Aku, Imran dan Andika kembali melakukan olah TKP. Siapa tahu kami menemukan suatu petunjuk. Tapi hampir satu jam kami di tempat itu tidak menemukan apapun. Apakah yang melakukannya profesional, hingga tidak meninggalkan jejak sama sekali. Atau apakah ini ada hubungannya dengan Ardi ? karena dari Paimanlah aku bisa berketemu Ardi.
@@@@@
Kami kembali ke kantor dengan tangan hampa. Aku minta teman-teman mencari di mana keberadaan Ardi. Satu minggu berlalu tanpa ada kabar berita soal Ardi, hanya kini kota kembali marak dengan drugs. Dan kini harganya melambung tinggi, karena sedikitnya pasokan yang masuk ke kota.
Dengan adanya fenomena ini, pikiranku tentang Avi untuk sementara menghilang. Aku kini fokus untuk menyelidiki masalah ini. Beberapa orang yang berhasil di tangkap tidak tahu berasal dari mana datangnya barang-barang ini.
Siang itu aku kembali berdiskusi dengan Mas Jaka, soal obat-obatan yang kembali marak beredar. "Bagaimana menurut Mas, soal hal ini ?" tanyaku pada Mas Jaka.
"Lang, kalau menurut firasatku hal ini berhubungan dengan Ardi. Bisa saja Ardi sengaja memberi informasi tentang geng-geng itu supaya kita menghancurkannya, dan dia bisa menguasai kota ini sendirian. Jadi menurutku, kuncinya adalah kita harus mendapatkan Ardi terlebih dahulu," ujar Mas Jaka.
"Baiklah Mas, kita akan cari Ardi sambil mencari siapa orang-orang yang kali ini bermain dengan semua ..."
Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, tiba-tiba Andika datang, "Lang, Ardi sudah berhasil ditemukan," kata Andika.
"Dimana... ?"
"Sebuah gedung dekat Bandara."
Tanpa membuang waktu, kami segera meluncur ke tempat kejadian. "Dimana ?" tanyaku pada Imran begitu sampai ke tempat itu.
Imran tidak menjawab, hanya menunjuk arah belakang tubuhnya. Aku menuju arah yang di tunjuk Imran, sesosok tubuh terbungkus kain putih, dan begitu kulihat, Ardi. Dia telah menjadi mayat, tanpa siksaan seperti Paiman, tapi jelas merupakan suatu pembunuhan.
Dari ekspresi wajahnya dia menunjukan mimik terkejut. Tampaknya dia tidak menyangka akan terjadi hal ini padanya. "Sepertinya dia mengenali siapa pembunuhnya !" kata Mas Jaka.
"Ya, dan sepertinya Si pembunuh juga mengenali kita," kata Imran menimpali.
"Maksudnya ?" tanya Andika.
"Ini maksud Imran," kataku, sambil menyerahkan sehelai kertas yang bertuliskan 'Agenda selanjutnya adalah berburu BURUNG liar yang langka' kepada Andika.
"Maksud tulisan ini apa ? aku belum paham," kata Andika.
"Makanya, itu otak jangan buat berpikir tentang cewek saja. Coba untuk berpikir yang lebih serius," sindir Imran kepada Andika.
"Setelah Paiman dan Ardi, tampaknya dia mengincarmu Lang. Apa kira-kira kau bisa menduga, dia siapa ?" tanya Mas Jaka.
"Sulit, terlalu banyak penjahat yang dendam kepadaku."
Kami kemudian kembali melakukan pemeriksaan kepada tubuh Ardi. Beberapa benda yang kami temukan adalah dua tiket pesawat ke Selandia Baru, pasport, kartu kredit dan surat identitas lainnya.
Setelah kami rasa cukup, maka kuperintahkan Ambulance membawa mayatnya ke Rumah Sakit untuk otopsi.
Kami kembali ke markas untuk mendiskusikan hal ini, dan juga soal ancamannya itu. Mereka bertiga ingin salah satunya mengawalku. Tapi dengan segera kutolak ide itu. Aku masih bisa menjaga diri, alasanku menolak ide mereka.
@@@@@
Tiga hari berlalu, dan tiada perkembangan yang berarti. Baik soal kematian Paiman dan Ardi maupun peredaran drugs yang semakin menggila. Tampaknya orang yang berada dibalik semua ini adalah orang yang cerdas. Semuanya menggunakan sandi khusus, bahkan beberapa petugas yang turun juga berhasil mereka kelabuhi.
Kegagalam kami menyelesaikan persoalan ini benar-benar menjengkelkan hatiku dan tidak bisa membuatku tidur. Aku merasa dipermainkan penjahat itu dan aku tidak bisa berbuat apapun untuk menghentikannya. Mas Jaka menyuruhku berlibur satu atau dua hari, untuk mendinginkan pikiranku yang sedang panas.
Saran Mas Jaka kuterima. Maka setelah meminta izin kepada Bapak Kapolres, aku segera pergi ke rumah kakek. Sebenarnya masih satu kota. Tapi lebih kearah luar kota dan di sebuah desa yang tenang dan tentram. Tepat untuk menyegarkan pikiran. Rumah ini menimbulkan kenangan manis, dan juga rumah yang penuh kasih sayang.
Tapi orang-orang itu telah pergi satu tahun yang lalu. Karena itulah aku lalu memutuskan untuk tinggal di tempat kost. Rumah ini hanya kutempati bila aku mendapat waktu senggang.
Sore itu aku masih jalan-jalan di sekitar rumah. Muncul juga bayangan di pikiranku. Apakah Avi mau tinggal di tempat seperti ini, andai kata kelak kami bersama. Hal itu yang masih menganjal di hatiku dalam hubungan kami.
Tapi aku sedang tidak mau memikirkan hal itu saat ini. Aku kembali meneruskan langkahku hingga sampai ke ujung desa. Untuk beberapa lama aku berdiam di gubuk yang berada di tengah persawahan. Hingga karena semilirnya angin, aku menjadi tertidur.
Entah berapa lama aku tertidur. Saat aku terbangun, Matahari sudah berada di ufuk barat dan orang-orang mulai meninggalkan area persawahan. Aku kemudian bangkit dan sedikit menggerakkam badan melemaskan otot, sebelum beranjak pulang.
Aku berjalan pulang dengan beberapa kawan masa remaja yang bertemu di jalan. Kami berpisah di persimpangan jalan, rumah kakek memang agak jauh dari yang lain, sehingga terasa lebih tenang.
Desa ini merupakan tempat yang aman. Belum pernah ada peristiwa pencurian, perampokan dan kejahatan lainnya. Sehingga orang-orang dapat meninggalkan rumah tanpa dijaga atau dikunci. Tapi saat masuk ke dalam rumah, instingku merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Aku pikir itu hanyalah perasaanku, hingga aku pun berusaha mengabaikan firasatku itu.
Ternyata kelengahanku kali ini harus dibayar teramat mahal. Dan saat aku menyadarinya..., semuanya terlambat. Duaaakh, kurasakan sakit di leherku. Pandanganku menjadi gelap dan aku tersungkur ke depan. Setelah itu aku tidak tahu apa lagi yang terjadi.
@@@@@
Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Ketika sadar dan membuka mata, pandanganku masih kabur, leherku dan kepala terasa sakit. Saat hendak menggerakkan tangan terasa ada yang menahannya. Mataku kembali normal, dan aku menyadari bahwa kedua tanganku terborgol dibagian belakang tubuh dengan tiang yang ada di dalam kamarku.
Aku arahkan pandanganku berkeliling. Pertama ke arah tempat tidurku yang tepat berada di depanku. Di atas ranjang itu terdapat sesosok tubuh yang ditutup mulutnya, diikat kedua tangannya di atas kepala dan kaki yang juga diikat. Hingga membentuk huruf x. Yang membuatku terkejut wanita itu adalah Mbak Wulan, istri Mas Jaka. Aku berusaha mengalihkan pandanganku saat menyadari bahwa tubuh itu telanjang di bawah selimut.
Bergeser kesamping kulihat Mas Jaka dan Imran yang terikat di kursi dengan tubuh penuh luka. Aku berusaha mencari Andika, ternyata dia tidak ada di ruangan ini. Tapi yang membuatku lebih terkejut adalah suara yang menyapaku dari belakang, "Sudah sadar, Lang !!!" kata orang itu yang melangkah ke depanku. Aku memang belum melihat wajahnya secara jelas, tapi aku sudah menduga siapa dia.
Dan ternyata tepat dugaanku, saat orang itu menghadap ke arahku, "Ann..an..di, kauuuuu !!!" aku memang sudah menduga dia, tapi tetap saja aku terkejut melihatnya berdiri di hadapanku.
"Apa kabar kawan," tanyanya sambil menepuk-nepuk pipiku. Aku masih tidak percaya sepenuhnya, bahwa lelaki di hadapanku ini Andi. Andi, rekan kerjaku yang dinyatakan meninggal dua tahun yang lalu.
"Kau masih hidup, An, lalu apa semua ini ?"
"Haa... haa... haa..., Elang yang cerdas, masa tidak bisa menebak apa yang terjadi..., sebenarnya aku ingin bermain lebih lama lagi, tapi aku masih punya pekerjaan yang lebih besar, untuk itu terpaksa aku harus mengakhiri permainan denganmu."
"Jadi kau yang berada di balik semua ini ...!"
"Ya, untuk permainan kali ini aku yang mengendalikannya. Tapi untuk yang lebih besar, tentu ada orang lain yang lebih hebat dari aku. Kau tentu bisa menduganyakan."
"Tapi untuk apa kau melakukan semua ini An ?" tanyaku untuk mengulur waktu. Siapa tahu ada bantuan yang datang.
"Aku tahu maksudmu yang terus mengajakku bicara, Lang. Tapi kalau kau berharap bantuan akan datang, maka percuma saja. Andika dan kekasihnya sudah mati, jadi tidak ada lagi yang tahu bahwa kamu berada disini. Karena aku baik hati, maka aku akan menghilangkan rasa penasaran di hatimu. Kamu mau tahu kenapa aku membunuh Rudi ?' tanya Andi, dengan nada datar.
Aku hanya diam mendengar pertanyaannya. Dulu keluarga Andi sebenarnya masih saudara jauh dengan Rudi dan Mas Jaka, hal ini yang menimbulkan rasa penasaran di hatiku, kenapa Andi tega membunuh Rudi.
Andi berjalan mendekati ranjang, dan tiba-tiba menarik selimut yang menutupi tubuh Mbak Wulan. Dan benar seperti dugaanku, di balik selimut itu Mbak Wulan telanjang bulan. Aku melihatnya, sebelum sempat memalingkan muka. "Kenapa memalingkan muka, Lang ? Apa kamu bukan lelaki normal, tidak mau memandang tubuh mulus ini." Aku masih memalingkan muka, saat Andi melanjutkan bicaranya, "wanita inilah yang membuatku, membunuh Rudi." Kata-kata Andi membuatku menoleh kearahnya.
"Apa hubungannya dengan Mbak Wulan ?" tanyaku tidak mengerti.
"Tanyakan kepadanya secara langsung, atau kepada dia," ucap Andi sambil menuding ke arah Mas Jaka.
Aku bergantian memandang ke arah Mas Jaka dan Mbak Wulan. Tentu saja mereka tidak bisa menjawab, karena mulutnya tertutup kain.
Andi duduk di tepi ranjang menghadap ke arahku. Sesaat kemudian dia mulai bercerita. "Dulu, waktu kecil aku mempunyai teman bermain. Namanya Intan, ketika besar kami kembali bertemu. Saat itu aku mulai jatuh cinta kepadanya, tapi cintaku bertepuk sebelah tangan, tapi kami masih berteman. Suatu saat Intan bertemu dengan Jaka, dan cinta kepadanya. Beberapa bulan kemudian Intan bercerita padaku, bahwa dia hamil."
Andi berhenti sesaat, kemudian melanjutkan ceritanya. "Tapi saat itu Intan di tolak keluarga Jaka. Jaka tidak membelanya, karena saat itu dia sedang dekat dengan Wulan yang dikenalkan oleh Rudi. Aku yang merasa kasihan kepada Intan lalu menemui mereka bertiga. Tapi..., jawaban mereka bertiga sungguh membuatku muak dan ingin membunuh mereka rasanya."
Andi kembali diam, hingga suasana yang mulai beranjak malam bertambah sunyi. Hanya suara serangga dan burung malam yang terdengar. "Kau tahu ! apa jawaban mereka ? Jaka ternyata seorang lelaki pengecut yang tidak mau bertanggung jawab. Dia meminta Intan untuk menggugurkan kandungannya. Rudi sama saja seperti orang tuanya, dia menganggap Intan hanyalah wanita murahan yang mau masuk ke keluarganya. Dan wanita ini, dia berkata wanita baik-baik selalu menjaga kehormatannya, kenapa Intan mau menyerahkan begitu saja kehormatannya. Mereka semua menghukum Intan, seolah-olah dialah yang bersalah."
Andi menghela nafas panjang, kemudian dia kembali bercerita "Saat itu aku tidak berani menceritakan pertemuanku dengan mereka kepada Intan. Semalaman itu pula aku berpikir, dan pada saat itu aku menemukan jalan keluar yang menurutku baik bagi Intan. Tapi semuanya terlambat, karena saat keesokan harinya aku ke tempat Intan, dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Aku betul-betul terpukul saat itu. Ingin rasanya membunuh mereka semua dan kemudian membunuh diri mengikuti Intan. Tapi saat itu aku benar-benar pengecut, yang hanya berani di dalam hati. Mulai saat itu muncul dendamku kepada mereka yang telah menyebabkan Intan mati. Tapi akhirnya kesempatan itu datang juga, termasuk malam ini. Bagaimana Lang ? apa tindakanku salah ?" tanya Andi mengakhiri ceritanya dengan bertanya padaku.
Aku hanya diam sambil berpikir mendengar cerita dari Andi. Sungguh cerita yang sulit diterima akal sehat. Aku mengenal Rudi, Mas Jaka, Mbak Wulan sejak lama. Apakah mereka benar melakukan hal yang dikatakan Andi, tapi buat apa Andi berbohong dalam hal ini. Sambil berpikir aku juga berusaha melepaskan borgol yang membelengu kedua tanganku. Tapi itu nampaknya percuma saja.
Apakah hidupku akan berakhir disini. Tidak, selama masih bisa bernafas aku harus ber usaha, pikirku dalam hati. "An, apakah Pak Yudi masih hidup ?" aku bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.
Andi menatapku, "Benar apa yang dikatakan Yudi, kau memang cerdas dan berbahaya Lang. Dia bilang kau adalah orang paling berbahaya baginya. Sekarang aku percaya ucapannya. Benar dia memang masih hidup, tapi mungkin kau tidak sempat bertemu dengannya lagi, karena ini adalah malam terakhir kamu hidup."
"Apakah dulu, juga telah di rencanakan sebelumnya oleh Yudi ?"
"Yeah, dia sudah merencanakan semuanya. Bahkan kejadian ini sudah ada dalam rancangannya, begitu tahu kamu lolos dalam peristiwa itu."
Sungguh mengerikan jika benar apa yang dikatakan Andi jika semuanya benar. Pasti Yudi punya rencana yang sangat besar.
"Dimana Yudi sekarang, An ?"
"Pertanyaanmu seperti anak kecil, Lang. Tapi biarlah kujawab, dia ada di dekat sini, tapi kau mungkin tidak akan mengenalinya lagi, bahkan jika dia berada di depanmu."
"Bagaimana kalau kau lepaskan mereka semua, dan kau bisa membawaku ke tempat Yudi ?"
"Haa.. haa.. haa..., bukankah aku sudah mendapatkanmu, kenapa aku harus melepaskan mereka !!!"
Saat Andi hendak melanjutkan ucapannya, tiba-tiba pintu kamar di ketuk dari luar. "Ada apa ?" teriak Andi.
"Ada telepon dari markas, Bos." kata suara di balik pintu.
"Bawa kesini !" perintah Andi.
Seseorang masuk, kemudian menyerahkan telepon kepada kepada Andi. Walau berbicara kepada Andi, tapi matanya memandang ke arah tubuh telanjang Mbak Wulan yang berada di atas ranjang, dengan tatapan penuh nafsu. Andi hanya tersenyum melihat kelakuan anak buahnya.
Hanya sebentar Andi berbicara di telepon, setelah menyerahkan telepon itu, dia menyuruh anak buahnya untuk keluar lagi. Orang itu keluar tanpa berbicara, walau tampak kekecewaan di wajahnya.
Andi mendekat ke arahku. "Masih ada waktu dua jan, sebelum aku meninggalkan tempat ini. untuk itu marilah kita mulai mengakhiri semua ini secara perlahan."
Andi kemudian berbalik menuju kearah Mas Jaka dan Imran. Dia mendekati Imran dari arah belakang, "Maaf teman, salahmu sendiri berteman dengan mereka," Setelah berkata seperti itu tangan Andi bergerak dan 'kreeek' tangannya memuntir kepala Imran, tanpa mengeluarka suara kepala Imran terkulai, mati.
"Imraaan !!!" teriakku. Aku berusaha untuk meronta dan berharap bisa lepas dari borgol, tapi tetap sia-sia. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatiku, marah, sedih, kecewa bersatu.
"Untukmu terlalu enak bila mati begitu saja, kau harus merasakan dulu bagaimana wanita yang kau cintai di permainkan," kata Andi kepada Mas Jaka. Dia berbalik mendekati ranjang, Mbak Wulan berusaha meronta seakan sudah mengetahui apa yang akan terjadi padanya, namun ikatan tangan dan kakinya terlalu kuat baginya.
Dia melepas kain yang menutup mulut Mbak Wulan, "Aku ingin mendengar suaramu saat merintih, haa.. haa.. haa.."
"Jangan ! jangan ! jangan, An ! Tolong...!"
"Tolong ? Kenapa suamimu tidak mau menolong ? Karena suamimu pengecut, tahu !!! Minta tolong sama Elang, dia si pemberani !" seru Andi sambil menampar pipi Wulan sampai wanita itu memekik kesakitan.
Andi semakin beringas melihat tubuh Wulan yang montok telanjang bulat. Kedua paha wanita cantik itu terentang lebar mempertontonkan bibir kemaluannya.
"Diam sayang ! Aku mau malam ini kau merasakan rasa malu yang sama seperti yang dirasakan Intan. Kalau kau tidak mau diam, aku akan panggilkan seluruh anak buahku yang berada di luar untuk memperkosamu," ancam Andi.
Mbak Wulan diam seketika mendengar ancaman dari Andi. Dia hanya menjerit lirih saat Andi meremas buah dadanya dengan keras.
"Wajah dan tubuhmu memang menarik sampai sekarang, pantas Jaka berani melepaskan Intan demi dirimu," kata Andi sambil meraba seluruh tubuh Mbak Wulan. Mas Jaka tidak berani memandang ke arah ranjang. Sedang aku yang berada tepat di depan ranjang, berusaha untuk tidak melihat.
"Tii.. tidak An, jangan.. lakukan ini, aku mohon ..."
"Siapa suruh tawar-menawar denganku, huuuh... !!!" kata Andi dengan suara keras dan tangan menjabak rambut Mbak Wulan. "Mengapa kita tidak melakukannya dengan suka sama suka, seperti yang kau lakukan dengan Rudi. Sudah dua tahun Rudi mati, pasti kau kesepian selama ini, bukankah begitu ...?"
"Please An.., hentikan..." kata Mbak Wulan dengan panik.
"Kenapa ? malu ! tapi aku akan membuatmu lebih malu lagi, kau pikir aku tidak tahu hal itu. Bukankah setelah kecelakaan itu Jaka menjadi cacat ! Haa.. haa.., yang tidak tahu itu Jaka. Bukankah di belakangnya kau bermain-main dengan Rudi. Sungguh kasihan Jaka, haa.. haa..."
Aku hanya diam mendengar semua apa yang di katakan Andi. Ternyata ada banyak liku-liku dalam kehidupan ini. Kehidupan Mas Jaka yang kukira bahagia, ternyata menyimpan sekam di dalamnya. Kulihat Mas Jaka, wajahnya benar-benar kosong. Dari wajahnya yang tidak terkejut, tampaknya dia tahu apa yang dilakukan Mbak Wulan di belakangnya. Aku merasa sedih dan kasihan dengan keadaannya, aku dapat merasakan, bagaimana rasanya melihat wanita yang kita cintai, istri kita, bercinta dengan orang lain. Dan orang lain itu adalah adik kandungnya sendiri.
Aku tidak bisa menyalahkan Rudi begitu saja. Biar sudah memasuki usia 30 tahun Mbak Wulan masih menarik. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun Mbak Wulan memiliki tubuh yang montok dan padat, buah dadanya membusung kencang dengan puting mencuat kemerahan, ditunjang dengan kulitnya yang kuning langsat mulus dan rambut sebahu, wajahnya yang cantik manis membuat rekan kerja Mas Jaka dan Mbak Wulan, juga pemuda sekitar tempat tinggal mereka terpaku dan menelan ludah saat Mbak Wulan lewat dengan goyangan pinggulnya. Pantatnya yang montok selalu menonjol di balik rok seragam kerjanya, biarpun tidak terlalu pendek, tapi ketatnya memperlihatkan garis celana dalam wanita ini. Jujur sebagai lelaki normal aku juga kadang-kadang menelan ludah saat datang ketempat Mas Jaka, dan Mbak Wulan hanya memakai tanktop dan bercelana pendek di rumah. Apalagi bagi Rudi yang satu atap dengan mereka, siapa yang kuat menahan godaan dari Mbak Wulan.
"Ma...ma..afkan..aa..khuuu.., aa..kuu memang egois waktu ituuu."
"Untuk apa minta maaf, setelah sekian lama Intan tiada, baru minta maaf. Sudahlah, jangan menambahku muak. Simpan maafmu, dan katakan saat bertemu Intan nanti di akhirat. Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Jangan salahkan aku, sama seperti yang kau katakan waktu itu, Inilah jalan hidup. Jadi nikmatilah hidupmu...!!!"
"Kauuu lepaskan dia dan bunuhlah akhuuu..."
"Melepaskannya ! Jangan mimpi ! Aku akan melepaskannya setelah bersenang-senang dengannya. Haa.. haa.."
Tanpa basa-basi lagi Andi segera membuka pakaiannya sendiri, lalu melompat ke atas ranjang. Mbak Wulan dengan sia-sia meronta dan menjerit saat Andi menindih tubuhnya yang telanjang bulat tanpa sehelai benang pun. Mbak Wulan bahkan tidak bisa untuk sekedar merapatkan pahanya yang terkangkang lebar.
Pekikan Mbak Wulan tertahan mulut Andi, saat tangan Andi meremas buah dadanya dengan keras. Rontaan dan pekikan wanita cantik itu sama sekali tidak digubris. Andi kemudian menempatkan kejantanannya tepat di depan bibir kemaluan Mbak Wulan.
"Diam Sayang ! Jangan takut, aku akan melakukannya lebih baik dari Rudi, hingga kau akan merasa keenakan! Nanti pasti kamu ketagihan. Sekarang biar aku mencicipi kemaluanmu..." sambil berkata begitu Andi menghujamkan kejantanannya memasuki hangatnya vagina Mbak Wulan.
Awalnya Andi kesulitan memasukan penisnya ke dalam vagina Mbak Wulan, karena rontaan dari Mbak Wulan terasa sedikit menghalangi. Namun bukan tandingan bagi kekuatan Andi yang bertubuh jauh lebih besar, perlahan kejantanan Andi menerobos masuk.
"Haaanggkkk...! Aahhhkkk...!" Napas Mbak Wulan terputus-putus dan matanya yang bulat indah terbeliak lebar saat dia merasakan penis Andi tiba-tiba memasuki selangkangannya.
Tubuh montok wanita itu tergeliat-geliat merangsang dengan napas tersengal-sengal sambil terpekik tertahan-tahan ketika Andi dengan cepatnya menggenjotkan kejantanannya menikmati hangatnya kemaluan Mbak Wulan yang tampaknya masih sempit, karena belum pernah melahirkan.
"Aahh... enak sekali vaginamu... Wulaaanh, masih terasa menggigith... punyaku juga enak kan Wulan..? Tidak kalah dengan yang lain kan..?" Andi mendesah kenikmatan.
Mbak Wulan sambil merintih tidak jelas menggelengkan kepala dan meronta berusaha menolak, namun semua usahanya sia-sia, dan wanita itu kembali terpekik dan tersentak karena Andi kini dengan kuat meremasi kedua payudaranya yang kencang menantang. Sepertinya benar kata orang, wanita seperti Mbak Wulan memang sangat memuaskan, wajahnya yang cantik, buah dadanya yang tegak menantang bergerak naik turun seirama napasnya yang tersengal-sengal, tubuhnya yang montok telanjang bersimbah keringat, kedua pahanya yang mulus bagai pualam tersentak terkangkang-kangkang, bibir kemaluannya tampak megap-megap dijejali kejantanan Andi yang besar.
Mbak Wulan dengan airmata berlinang merintih memohon ampun, namun
tusukan demi tusukan terus menghajar selangkangannya yang semakin memerah. Payudaranya yang besar kini diremas-remas tanpa ampun. Mungkin Mbak Wulan merasakan betapa malunya dia, diikat dan ditelanjangi di depan suaminya, lalu diperkosa tanpa mampu melawan sedikitpun.
"Hhh... ! Wulanh... ! Wulaann... ! Sekarang aku akan membikin kamu hamil, biar kau merasakan malu seumur hidup, sayangghh..! Aah... ambil nih ! Nih ! Nih ! Niih... !"
Tanpa dapat ditahan lagi Andi menyemburkan spermanya dalam hangatnya kemaluan Mbak Wulan sambil sekuat tenaga meremas kedua payudara wanita itu, membuat Mbak Wulan tergeliat-geliat dan terpekik-pekik tertahan sumpalan bibir Andi di mulutnya. Perlahan kepala Mbak Wulan terkulai dan matanya tertutup. Tampaknya Mbak Wulan jatuh pingsan.
Andi kemudian membetulkan celananya, dan tanpa mempedulikan Mbak Wulan kini dia menghampiri Mas Jaka. "Nikmat sekali tubuh istrimu Jak, kenapa tidak dari dulu aku melakukan ini ...! Bagaimana rasanya kini...? Saat melihat orang lain menyetubuhi istrimu...??? Dan kau hanya bisa melihat tanpa pernah merasakannya ! Ha..ha..ha.., tampaknya hukum karma mengenaimu, ha.. ha.. ha..," Andi tertawa gembira.
"Ka...kamu..pu..as..bi.sa mem..balas..???"
"Aku menunggu lama untuk membalas semua perbuatanmu yang meninggalkan Intan. Aku puas bisa membuatmu yang tidak berdaya, kini menyaksikan pembalasanku."
"Ka..ka..mu.. be..beg..gitu.. benci.. kepa..da.. kel..luu..aar.***a kaa miii..???
"Jangan becanda, setelah perbuatanmu selama ini, apa yang kamu harapkan..?? Pakai otak Jaka. Aku benci dan menganggap kau dan seluruh keluargamu tidak lebih daripada sampah. Aku tidak pernah peduli, walau kamu adalah saudaraku. Hubungan kekeluargaan kita putus setelah kau dan keluargamu menghina dan mempermalukan Intan. Bagiku kau adalah musuhku, aku tidak akan pernah merasa menyesal...??? Seperti kau yang tidak menyesal meninggalkan Intan."
Kulihat dari matanya Mas Jaka mengeluarkan air mata, tampaknya dia benar-benar tertekan akan keadaan ini. Mas jaka yang biasanya berwibawa, dewasa dan berpikiran matang, kini seperti anak kecil yang hanya bisa menangis. Sementara aku hanya bisa marah kepada diri sendiri, karena tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi semua ini.
"Kau benar-benar sampah tidak berguna, kalau kau laki-laki mari kita selesaikan secara laki-laki, jangan hanya bisa menangis saja. Aku beri satu kesempatan padamu. Jika kau bisa keluar dari kamar ini aku akan bebaskan kalian semua," kata Andi, sambil melepaskan ikatan pada tubuh Mas Jaka.
Perlahan Mas Jaka bangkit dari kursi, melihat ke arahku dan berkata, "Lang, tolong jaga Wulan." Dia menghampiri Andi, dan tanpa bicara langsung menyerang Andi. Sebelum Andi bersiap, pukulan Mas Jaka sudah mendarat telak di wajah Andi, Duaaakh...
Tapi ternyata pukulan itu tiada pengaruhnya apapun bagi Andi, dia masih berdiri tegak di tempat dengan bibir tersenyum sinis memandang Mas Jaka. "Ternyata, kau betul-betul sampah tidak berguna. Hanya memukul saja tidak becus. Ayo pukul lagi yang ker..." Duaaakh... Sebelum Andi menyelesaikan kata-katanya, pukulan Mas Jaka kembali mendarat di wajahnya.
Kembali hanya senyum yang muncul di mulut Andi, hal itu berulang sampai tiga kali. Saat Mas Jaka memukul yang keempat kalinya, Andi tidak membiarkan pukulan itu mengenainya lagi. Sambil menghindar dia berkata, "Sudah cukup Jak, sekarang giliranku yang akan mengajarimu cara memukul yang benar."
Andi kemudian menghajar Mas Jaka habis-habisan, tubuhnya yang sudah luka, tampaknya bertambah parah. "Andi... hentikan An.., kalau berani ayo lepaskan aku dan kita berdua bertarung sampai ada yang mati di sini," teriakku. Tapi tentu saja hal itu tidak di tanggapi oleh Andi. Pukulan Andi baru berhenti saat ada tangan lain yang memukuli dirinya. Ternyata Mbak Wulan, yang entah kapan dia sadar dari pingsannya, dan kini berusaha membantu suaminya yang di hajar Andi.
Dengan mudah Andi menangkap tangan Mbak Wulan, dan tanpa belas kasihan seperti tadi, Andi mendorong Mbak Wulan hingga menabrak Almari yang ada di kamar ini. Tanpa mengeluarkan jeritan, Mbak Wulan langsung jatuh ke lantai, entah pingsan atau mati karena kerasnya benturan. Tanpa mempedulikan Mak Wulan, Andi kembali menghajar Mas Jaka habis-habisan. Dia baru berhenti saat Mas Jaka sudah tidak bergerak lagi. Tampaknya kebencian Andi kepada Mas Jaka benar-benar mendalam.
Setelah mengebutkan bajunya, Andi berjalan menghampiriku, berjongkok di depanku, menjambak rambut dan menarik kepalku kebelakang. "Kita akan segera memasuki akhir dari segalanya kawan," kata Andi, sambil menatapku tajam.
Aku balas menatapnya tanpa berkedip, hingga membuat dia gusar. "Kurang ajaaar !!! Kau masih berani, haahhh... !" Plaaak.. plaaakh.. plaaakh.. plaaakh..., kata Andi, sambil menamparku berulang kali. Walau sakit tamparannya, tapi aku masih nekat tetap menatap matanya.
"Kau memang gila, And... !"
"Kurang ajaaar," Plak.. plaakh.. plaaakh.. plaaakhhh.., dia kembali menampar mukaku berulang kali hingga berhenti karena kelelahan. Kurasakan panas, perih, sakit dan pening pada kepalaku, juga terasa hidung dan bibirku mengalir darah.
"Kau memang hebat dan lain dari pada yang lain. Pantas Yudi begitu mewaspadaimu, tapi sekarang kehebatanmu tidak berguna. Mungkin kau bisa tahan akan siksaan, tapi jika peluruku menembus kepalamu, apa kau masih tidak takut," kata Andi sambil menodongkan pistol di keningku.
"Rasa takut tidak ada dalam kamusku, hanya penyesalan yang ada dalam hatiku, kenapa aku tidak dapat menyelesaikan tugasku," ucapku acuh.
"Kau memang orang yang langka, tapi sayang sekali orang sepertimu harus disingkirkan karena membahayakan kami. Untuk menghormati keberanianmu, aku berjanji akan memenuhi satu permintaanmu, katakan apa permintaan terakhirmu ?" tanya Andi.
"Dalam bukti rekaman dulu tidak ada hal apapun yang menyebut keterlibatan Yudi. Mengapa Yudi harus melakukan semua itu, termasuk juga membunuh Frans, Reni, dan Simon. Hal apakah sebenarnya yang ingin disembunyikan Yudi ?"
Andi terdiam mendengar pertanyaanku. Kutatap wajahnya, tampak parasnya berubah mendengar pertanyaanku. Tapi kemudian mukanya berangsur normal kembali. "Maaf, Lang untuk pertanyaanmu itu aku tidak bisa menjawabnya. Karena hanya Yudi yang tahu semuanya. Silahkan ajukan permintaan yang lain," kata Andi.
Sebelum sempat aku membuka mulut, pintu kamar kembali di ketuk dari luar. "Masuk...!" bentak Andi. Seseorang membuka pintu kemudian memberi kode kepada Andi. Melihat kde dari orang itu Andi segera keluar mengikuti orang itu.
Tidak lama kemudian terdengar suara Andi memberi perintah, "Jaga dan awasi dia baik-baik, kalau terjadi sesuatu segera hubungi aku." Tidak lama kemudian terdengar beberapa orang bergerak dan suara mobil menjauh. Tampaknya Andi dan beberapa anak buahnya meninggalkan rumah ini, setelah menerima pesan dari seseorang.
@@@@@
Aku menghela nafas panjang, bersyukur karena untuk saat ini nyawaku masih selamat. Aku tidak tahu beberapa lama Andi pergi, tapi aku pikir inilah saat yang tepat untuk mencoba meloloskan diri. Aku mencoba untuk berpikir tenang, sambil mencari-cari adakah benda atau alat apapun yang bisa membantuku lolos dari borgol yang membelenggu.
Hampir setengah jam aku mencari tapi hasilnya nihil, begitu juga harapanku agar ada anak buah Andi yang datang mendekat agar dapat kusergap, ternyata tidak ada yang berani mendekat, tampaknya Andi sudah menyuruh anak buahnya agar tidak mendekatiku.
Akhirnya aku mencoba untuk melupakan semuanya dengan berusaha untuk mengistirahatkan badan, walau wajah bekas tamparan Andi masih terasa sakit. Beberapa saat kemudian, lamat-lamat aku mendengar suara orang berbicara, orang berkelahi, barang-barang pecah, suara tembakan.
Tapi suara-suara itu tidak berlangsung lama. Kurang lebih lima menit sampai suara-suara itu menghilang dan kembali berganti kesunyian. Kemudian aku mendengar bunyi langkah yang tampaknya menuju kearah tempatku berada. Aku masih memejamkan mata, tapi seluruh tubuhku siap menghadapi segala sesuatunya.
Kudengar suara langkah itu perlahan makin dekat ke arahku. Dia sudah berada dalam jangkauan seranganku dan akupun sudah siap mengambil ancang-ancang untuk menyerangnya, saat suara itu membuatku mengurungkan niatku, "Lang, kau tidak apa-apa kan ?" tanya orang itu. Aku segera memandang orang yang berdiri di depanku dan aku menjadi senang sekaligus terkejut melihat orang itu.
"Om Gian...," sapaku. Dia adalah Om Gian, orang yang pertama kali membawaku ke rumah ini sepuluh tahun yang lalu. "Kenapa Om bisa tahu aku di sini ?" tanyaku.
"Sudah nanti ceritanya," kata Om Gian sambil membuka borgol di tanganku dengan alat yang di ambil dari saku celananya. Aku masih belum bisa berdiri, karena kakiku masih terasa kaku. Sementara Om Giam memeriksa Mas Jaka dan Mbak Wulan. Sesaat kemudian Om Gian menelepon seseorang.
Lima menit kemudian aku baru bisa berdiri, aku ikut memeriksa keadaan Mas Jaka dan Mbak Wulan. Mereka ternyata masih hidup, entah bagaimana kondisinya. Aku keluar kamar, di ruang tamu barang-barang hancur berantakan, ada beberapa tubuh yang tergeletak di ruang itu. Aku mencoba mencari Andika dan kekasihnya. Kutemukan tubuh mereka berdua di kamar belakang, Andika dengan bermacam luka di tubuhnya terbaring di dekat almari, sementara Tari, kekasihnya dengan tubuh telanjang tergeletak di atas ranjang.
Aku kembali terdiam, perasaan bersalah dan sedih menghinggapi hatiku. Andai saja mereka tidak menjadi temanku, mereka pasti tidak akan jadi korban Andi, dan nyawa mereka tidak akan melayang sia-sia karenaku.
Aku kembali ke ruang tamu, duduk di kursi. Om gian tampaknya mengerti apa yang kurasakan, hingga dia membiarkan aku sementara larut dalam pikiranku. Tidak lama kemudian terdengar beberapa bunyi sirene mobil, ternyata Om Gian memanggil polisi untuk meminta bantuan.
Entah beberapa lama aku tenggelam dalam pikiranku, aku sadar saat Om Gian mengajakku pergi ke Rumah Sakit. Ternyata Ambulance sudah siap membawa Mas Jaka, Mbak Wulan, Andika, Tari dan Imran. Sementara rumah sudah di pasang garis polisi. Aku hanya ikut saat Om Gian menggandengku masuk ke dalam mobil, sesaat kemudian aku tidak sadar apa yang terjadi setelah itu.
To Be Conticrooot...