Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Once Upon A Time In Someplace

Bimabet
Chapter XXV : Enemy From the Past

"Paimaaan..."

Mayat yang ditutupi kain itu adalah Paiman. Orang yang telah menjadi sahabat dan informanku dalam dua tahun ini. Mayatnya tampak penuh dengan luka, bukan luka karena pertarungan, tampaknya luka karena siksaan. Entah karena apa dan siapa pelakunya.

Ada rasa sedih dan marah dalam hatiku. Tapi aku bisa menyembunyikannya, karena ini bukanlah hal pertama yang kualami. Sudah berkali-kali aku menyaksikan orang-orang dekatku terbujur kaku di depanku. "Mran, suruh petugas membawa mayatnya untuk di autopsi," kataku.

Setelah mayat itu dibawa, Aku, Imran dan Andika kembali melakukan olah TKP. Siapa tahu kami menemukan suatu petunjuk. Tapi hampir satu jam kami di tempat itu tidak menemukan apapun. Apakah yang melakukannya profesional, hingga tidak meninggalkan jejak sama sekali. Atau apakah ini ada hubungannya dengan Ardi ? karena dari Paimanlah aku bisa berketemu Ardi.

@@@@@

Kami kembali ke kantor dengan tangan hampa. Aku minta teman-teman mencari di mana keberadaan Ardi. Satu minggu berlalu tanpa ada kabar berita soal Ardi, hanya kini kota kembali marak dengan drugs. Dan kini harganya melambung tinggi, karena sedikitnya pasokan yang masuk ke kota.

Dengan adanya fenomena ini, pikiranku tentang Avi untuk sementara menghilang. Aku kini fokus untuk menyelidiki masalah ini. Beberapa orang yang berhasil di tangkap tidak tahu berasal dari mana datangnya barang-barang ini.

Siang itu aku kembali berdiskusi dengan Mas Jaka, soal obat-obatan yang kembali marak beredar. "Bagaimana menurut Mas, soal hal ini ?" tanyaku pada Mas Jaka.

"Lang, kalau menurut firasatku hal ini berhubungan dengan Ardi. Bisa saja Ardi sengaja memberi informasi tentang geng-geng itu supaya kita menghancurkannya, dan dia bisa menguasai kota ini sendirian. Jadi menurutku, kuncinya adalah kita harus mendapatkan Ardi terlebih dahulu," ujar Mas Jaka.

"Baiklah Mas, kita akan cari Ardi sambil mencari siapa orang-orang yang kali ini bermain dengan semua ..."

Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, tiba-tiba Andika datang, "Lang, Ardi sudah berhasil ditemukan," kata Andika.

"Dimana... ?"

"Sebuah gedung dekat Bandara."

Tanpa membuang waktu, kami segera meluncur ke tempat kejadian. "Dimana ?" tanyaku pada Imran begitu sampai ke tempat itu.

Imran tidak menjawab, hanya menunjuk arah belakang tubuhnya. Aku menuju arah yang di tunjuk Imran, sesosok tubuh terbungkus kain putih, dan begitu kulihat, Ardi. Dia telah menjadi mayat, tanpa siksaan seperti Paiman, tapi jelas merupakan suatu pembunuhan.

Dari ekspresi wajahnya dia menunjukan mimik terkejut. Tampaknya dia tidak menyangka akan terjadi hal ini padanya. "Sepertinya dia mengenali siapa pembunuhnya !" kata Mas Jaka.

"Ya, dan sepertinya Si pembunuh juga mengenali kita," kata Imran menimpali.

"Maksudnya ?" tanya Andika.

"Ini maksud Imran," kataku, sambil menyerahkan sehelai kertas yang bertuliskan 'Agenda selanjutnya adalah berburu BURUNG liar yang langka' kepada Andika.

"Maksud tulisan ini apa ? aku belum paham," kata Andika.

"Makanya, itu otak jangan buat berpikir tentang cewek saja. Coba untuk berpikir yang lebih serius," sindir Imran kepada Andika.

"Setelah Paiman dan Ardi, tampaknya dia mengincarmu Lang. Apa kira-kira kau bisa menduga, dia siapa ?" tanya Mas Jaka.

"Sulit, terlalu banyak penjahat yang dendam kepadaku."

Kami kemudian kembali melakukan pemeriksaan kepada tubuh Ardi. Beberapa benda yang kami temukan adalah dua tiket pesawat ke Selandia Baru, pasport, kartu kredit dan surat identitas lainnya.

Setelah kami rasa cukup, maka kuperintahkan Ambulance membawa mayatnya ke Rumah Sakit untuk otopsi.

Kami kembali ke markas untuk mendiskusikan hal ini, dan juga soal ancamannya itu. Mereka bertiga ingin salah satunya mengawalku. Tapi dengan segera kutolak ide itu. Aku masih bisa menjaga diri, alasanku menolak ide mereka.

@@@@@

Tiga hari berlalu, dan tiada perkembangan yang berarti. Baik soal kematian Paiman dan Ardi maupun peredaran drugs yang semakin menggila. Tampaknya orang yang berada dibalik semua ini adalah orang yang cerdas. Semuanya menggunakan sandi khusus, bahkan beberapa petugas yang turun juga berhasil mereka kelabuhi.

Kegagalam kami menyelesaikan persoalan ini benar-benar menjengkelkan hatiku dan tidak bisa membuatku tidur. Aku merasa dipermainkan penjahat itu dan aku tidak bisa berbuat apapun untuk menghentikannya. Mas Jaka menyuruhku berlibur satu atau dua hari, untuk mendinginkan pikiranku yang sedang panas.

Saran Mas Jaka kuterima. Maka setelah meminta izin kepada Bapak Kapolres, aku segera pergi ke rumah kakek. Sebenarnya masih satu kota. Tapi lebih kearah luar kota dan di sebuah desa yang tenang dan tentram. Tepat untuk menyegarkan pikiran. Rumah ini menimbulkan kenangan manis, dan juga rumah yang penuh kasih sayang.

Tapi orang-orang itu telah pergi satu tahun yang lalu. Karena itulah aku lalu memutuskan untuk tinggal di tempat kost. Rumah ini hanya kutempati bila aku mendapat waktu senggang.

Sore itu aku masih jalan-jalan di sekitar rumah. Muncul juga bayangan di pikiranku. Apakah Avi mau tinggal di tempat seperti ini, andai kata kelak kami bersama. Hal itu yang masih menganjal di hatiku dalam hubungan kami.

Tapi aku sedang tidak mau memikirkan hal itu saat ini. Aku kembali meneruskan langkahku hingga sampai ke ujung desa. Untuk beberapa lama aku berdiam di gubuk yang berada di tengah persawahan. Hingga karena semilirnya angin, aku menjadi tertidur.

Entah berapa lama aku tertidur. Saat aku terbangun, Matahari sudah berada di ufuk barat dan orang-orang mulai meninggalkan area persawahan. Aku kemudian bangkit dan sedikit menggerakkam badan melemaskan otot, sebelum beranjak pulang.

Aku berjalan pulang dengan beberapa kawan masa remaja yang bertemu di jalan. Kami berpisah di persimpangan jalan, rumah kakek memang agak jauh dari yang lain, sehingga terasa lebih tenang.

Desa ini merupakan tempat yang aman. Belum pernah ada peristiwa pencurian, perampokan dan kejahatan lainnya. Sehingga orang-orang dapat meninggalkan rumah tanpa dijaga atau dikunci. Tapi saat masuk ke dalam rumah, instingku merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Aku pikir itu hanyalah perasaanku, hingga aku pun berusaha mengabaikan firasatku itu.

Ternyata kelengahanku kali ini harus dibayar teramat mahal. Dan saat aku menyadarinya..., semuanya terlambat. Duaaakh, kurasakan sakit di leherku. Pandanganku menjadi gelap dan aku tersungkur ke depan. Setelah itu aku tidak tahu apa lagi yang terjadi.

@@@@@

Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Ketika sadar dan membuka mata, pandanganku masih kabur, leherku dan kepala terasa sakit. Saat hendak menggerakkan tangan terasa ada yang menahannya. Mataku kembali normal, dan aku menyadari bahwa kedua tanganku terborgol dibagian belakang tubuh dengan tiang yang ada di dalam kamarku.

Aku arahkan pandanganku berkeliling. Pertama ke arah tempat tidurku yang tepat berada di depanku. Di atas ranjang itu terdapat sesosok tubuh yang ditutup mulutnya, diikat kedua tangannya di atas kepala dan kaki yang juga diikat. Hingga membentuk huruf x. Yang membuatku terkejut wanita itu adalah Mbak Wulan, istri Mas Jaka. Aku berusaha mengalihkan pandanganku saat menyadari bahwa tubuh itu telanjang di bawah selimut.

Bergeser kesamping kulihat Mas Jaka dan Imran yang terikat di kursi dengan tubuh penuh luka. Aku berusaha mencari Andika, ternyata dia tidak ada di ruangan ini. Tapi yang membuatku lebih terkejut adalah suara yang menyapaku dari belakang, "Sudah sadar, Lang !!!" kata orang itu yang melangkah ke depanku. Aku memang belum melihat wajahnya secara jelas, tapi aku sudah menduga siapa dia.

Dan ternyata tepat dugaanku, saat orang itu menghadap ke arahku, "Ann..an..di, kauuuuu !!!" aku memang sudah menduga dia, tapi tetap saja aku terkejut melihatnya berdiri di hadapanku.

"Apa kabar kawan," tanyanya sambil menepuk-nepuk pipiku. Aku masih tidak percaya sepenuhnya, bahwa lelaki di hadapanku ini Andi. Andi, rekan kerjaku yang dinyatakan meninggal dua tahun yang lalu.

"Kau masih hidup, An, lalu apa semua ini ?"

"Haa... haa... haa..., Elang yang cerdas, masa tidak bisa menebak apa yang terjadi..., sebenarnya aku ingin bermain lebih lama lagi, tapi aku masih punya pekerjaan yang lebih besar, untuk itu terpaksa aku harus mengakhiri permainan denganmu."

"Jadi kau yang berada di balik semua ini ...!"

"Ya, untuk permainan kali ini aku yang mengendalikannya. Tapi untuk yang lebih besar, tentu ada orang lain yang lebih hebat dari aku. Kau tentu bisa menduganyakan."

"Tapi untuk apa kau melakukan semua ini An ?" tanyaku untuk mengulur waktu. Siapa tahu ada bantuan yang datang.

"Aku tahu maksudmu yang terus mengajakku bicara, Lang. Tapi kalau kau berharap bantuan akan datang, maka percuma saja. Andika dan kekasihnya sudah mati, jadi tidak ada lagi yang tahu bahwa kamu berada disini. Karena aku baik hati, maka aku akan menghilangkan rasa penasaran di hatimu. Kamu mau tahu kenapa aku membunuh Rudi ?' tanya Andi, dengan nada datar.

Aku hanya diam mendengar pertanyaannya. Dulu keluarga Andi sebenarnya masih saudara jauh dengan Rudi dan Mas Jaka, hal ini yang menimbulkan rasa penasaran di hatiku, kenapa Andi tega membunuh Rudi.

Andi berjalan mendekati ranjang, dan tiba-tiba menarik selimut yang menutupi tubuh Mbak Wulan. Dan benar seperti dugaanku, di balik selimut itu Mbak Wulan telanjang bulan. Aku melihatnya, sebelum sempat memalingkan muka. "Kenapa memalingkan muka, Lang ? Apa kamu bukan lelaki normal, tidak mau memandang tubuh mulus ini." Aku masih memalingkan muka, saat Andi melanjutkan bicaranya, "wanita inilah yang membuatku, membunuh Rudi." Kata-kata Andi membuatku menoleh kearahnya.

"Apa hubungannya dengan Mbak Wulan ?" tanyaku tidak mengerti.

"Tanyakan kepadanya secara langsung, atau kepada dia," ucap Andi sambil menuding ke arah Mas Jaka.

Aku bergantian memandang ke arah Mas Jaka dan Mbak Wulan. Tentu saja mereka tidak bisa menjawab, karena mulutnya tertutup kain.

Andi duduk di tepi ranjang menghadap ke arahku. Sesaat kemudian dia mulai bercerita. "Dulu, waktu kecil aku mempunyai teman bermain. Namanya Intan, ketika besar kami kembali bertemu. Saat itu aku mulai jatuh cinta kepadanya, tapi cintaku bertepuk sebelah tangan, tapi kami masih berteman. Suatu saat Intan bertemu dengan Jaka, dan cinta kepadanya. Beberapa bulan kemudian Intan bercerita padaku, bahwa dia hamil."

Andi berhenti sesaat, kemudian melanjutkan ceritanya. "Tapi saat itu Intan di tolak keluarga Jaka. Jaka tidak membelanya, karena saat itu dia sedang dekat dengan Wulan yang dikenalkan oleh Rudi. Aku yang merasa kasihan kepada Intan lalu menemui mereka bertiga. Tapi..., jawaban mereka bertiga sungguh membuatku muak dan ingin membunuh mereka rasanya."

Andi kembali diam, hingga suasana yang mulai beranjak malam bertambah sunyi. Hanya suara serangga dan burung malam yang terdengar. "Kau tahu ! apa jawaban mereka ? Jaka ternyata seorang lelaki pengecut yang tidak mau bertanggung jawab. Dia meminta Intan untuk menggugurkan kandungannya. Rudi sama saja seperti orang tuanya, dia menganggap Intan hanyalah wanita murahan yang mau masuk ke keluarganya. Dan wanita ini, dia berkata wanita baik-baik selalu menjaga kehormatannya, kenapa Intan mau menyerahkan begitu saja kehormatannya. Mereka semua menghukum Intan, seolah-olah dialah yang bersalah."

Andi menghela nafas panjang, kemudian dia kembali bercerita "Saat itu aku tidak berani menceritakan pertemuanku dengan mereka kepada Intan. Semalaman itu pula aku berpikir, dan pada saat itu aku menemukan jalan keluar yang menurutku baik bagi Intan. Tapi semuanya terlambat, karena saat keesokan harinya aku ke tempat Intan, dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Aku betul-betul terpukul saat itu. Ingin rasanya membunuh mereka semua dan kemudian membunuh diri mengikuti Intan. Tapi saat itu aku benar-benar pengecut, yang hanya berani di dalam hati. Mulai saat itu muncul dendamku kepada mereka yang telah menyebabkan Intan mati. Tapi akhirnya kesempatan itu datang juga, termasuk malam ini. Bagaimana Lang ? apa tindakanku salah ?" tanya Andi mengakhiri ceritanya dengan bertanya padaku.

Aku hanya diam sambil berpikir mendengar cerita dari Andi. Sungguh cerita yang sulit diterima akal sehat. Aku mengenal Rudi, Mas Jaka, Mbak Wulan sejak lama. Apakah mereka benar melakukan hal yang dikatakan Andi, tapi buat apa Andi berbohong dalam hal ini. Sambil berpikir aku juga berusaha melepaskan borgol yang membelengu kedua tanganku. Tapi itu nampaknya percuma saja.

Apakah hidupku akan berakhir disini. Tidak, selama masih bisa bernafas aku harus ber usaha, pikirku dalam hati. "An, apakah Pak Yudi masih hidup ?" aku bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.

Andi menatapku, "Benar apa yang dikatakan Yudi, kau memang cerdas dan berbahaya Lang. Dia bilang kau adalah orang paling berbahaya baginya. Sekarang aku percaya ucapannya. Benar dia memang masih hidup, tapi mungkin kau tidak sempat bertemu dengannya lagi, karena ini adalah malam terakhir kamu hidup."

"Apakah dulu, juga telah di rencanakan sebelumnya oleh Yudi ?"

"Yeah, dia sudah merencanakan semuanya. Bahkan kejadian ini sudah ada dalam rancangannya, begitu tahu kamu lolos dalam peristiwa itu."

Sungguh mengerikan jika benar apa yang dikatakan Andi jika semuanya benar. Pasti Yudi punya rencana yang sangat besar.

"Dimana Yudi sekarang, An ?"

"Pertanyaanmu seperti anak kecil, Lang. Tapi biarlah kujawab, dia ada di dekat sini, tapi kau mungkin tidak akan mengenalinya lagi, bahkan jika dia berada di depanmu."

"Bagaimana kalau kau lepaskan mereka semua, dan kau bisa membawaku ke tempat Yudi ?"

"Haa.. haa.. haa..., bukankah aku sudah mendapatkanmu, kenapa aku harus melepaskan mereka !!!"

Saat Andi hendak melanjutkan ucapannya, tiba-tiba pintu kamar di ketuk dari luar. "Ada apa ?" teriak Andi.

"Ada telepon dari markas, Bos." kata suara di balik pintu.

"Bawa kesini !" perintah Andi.

Seseorang masuk, kemudian menyerahkan telepon kepada kepada Andi. Walau berbicara kepada Andi, tapi matanya memandang ke arah tubuh telanjang Mbak Wulan yang berada di atas ranjang, dengan tatapan penuh nafsu. Andi hanya tersenyum melihat kelakuan anak buahnya.

Hanya sebentar Andi berbicara di telepon, setelah menyerahkan telepon itu, dia menyuruh anak buahnya untuk keluar lagi. Orang itu keluar tanpa berbicara, walau tampak kekecewaan di wajahnya.

Andi mendekat ke arahku. "Masih ada waktu dua jan, sebelum aku meninggalkan tempat ini. untuk itu marilah kita mulai mengakhiri semua ini secara perlahan."

Andi kemudian berbalik menuju kearah Mas Jaka dan Imran. Dia mendekati Imran dari arah belakang, "Maaf teman, salahmu sendiri berteman dengan mereka," Setelah berkata seperti itu tangan Andi bergerak dan 'kreeek' tangannya memuntir kepala Imran, tanpa mengeluarka suara kepala Imran terkulai, mati.

"Imraaan !!!" teriakku. Aku berusaha untuk meronta dan berharap bisa lepas dari borgol, tapi tetap sia-sia. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatiku, marah, sedih, kecewa bersatu.

"Untukmu terlalu enak bila mati begitu saja, kau harus merasakan dulu bagaimana wanita yang kau cintai di permainkan," kata Andi kepada Mas Jaka. Dia berbalik mendekati ranjang, Mbak Wulan berusaha meronta seakan sudah mengetahui apa yang akan terjadi padanya, namun ikatan tangan dan kakinya terlalu kuat baginya.

Dia melepas kain yang menutup mulut Mbak Wulan, "Aku ingin mendengar suaramu saat merintih, haa.. haa.. haa.."

"Jangan ! jangan ! jangan, An ! Tolong...!"

"Tolong ? Kenapa suamimu tidak mau menolong ? Karena suamimu pengecut, tahu !!! Minta tolong sama Elang, dia si pemberani !" seru Andi sambil menampar pipi Wulan sampai wanita itu memekik kesakitan.

Andi semakin beringas melihat tubuh Wulan yang montok telanjang bulat. Kedua paha wanita cantik itu terentang lebar mempertontonkan bibir kemaluannya.

"Diam sayang ! Aku mau malam ini kau merasakan rasa malu yang sama seperti yang dirasakan Intan. Kalau kau tidak mau diam, aku akan panggilkan seluruh anak buahku yang berada di luar untuk memperkosamu," ancam Andi.

Mbak Wulan diam seketika mendengar ancaman dari Andi. Dia hanya menjerit lirih saat Andi meremas buah dadanya dengan keras.

"Wajah dan tubuhmu memang menarik sampai sekarang, pantas Jaka berani melepaskan Intan demi dirimu," kata Andi sambil meraba seluruh tubuh Mbak Wulan. Mas Jaka tidak berani memandang ke arah ranjang. Sedang aku yang berada tepat di depan ranjang, berusaha untuk tidak melihat.

"Tii.. tidak An, jangan.. lakukan ini, aku mohon ..."

"Siapa suruh tawar-menawar denganku, huuuh... !!!" kata Andi dengan suara keras dan tangan menjabak rambut Mbak Wulan. "Mengapa kita tidak melakukannya dengan suka sama suka, seperti yang kau lakukan dengan Rudi. Sudah dua tahun Rudi mati, pasti kau kesepian selama ini, bukankah begitu ...?"

"Please An.., hentikan..." kata Mbak Wulan dengan panik.

"Kenapa ? malu ! tapi aku akan membuatmu lebih malu lagi, kau pikir aku tidak tahu hal itu. Bukankah setelah kecelakaan itu Jaka menjadi cacat ! Haa.. haa.., yang tidak tahu itu Jaka. Bukankah di belakangnya kau bermain-main dengan Rudi. Sungguh kasihan Jaka, haa.. haa..."

Aku hanya diam mendengar semua apa yang di katakan Andi. Ternyata ada banyak liku-liku dalam kehidupan ini. Kehidupan Mas Jaka yang kukira bahagia, ternyata menyimpan sekam di dalamnya. Kulihat Mas Jaka, wajahnya benar-benar kosong. Dari wajahnya yang tidak terkejut, tampaknya dia tahu apa yang dilakukan Mbak Wulan di belakangnya. Aku merasa sedih dan kasihan dengan keadaannya, aku dapat merasakan, bagaimana rasanya melihat wanita yang kita cintai, istri kita, bercinta dengan orang lain. Dan orang lain itu adalah adik kandungnya sendiri.

Aku tidak bisa menyalahkan Rudi begitu saja. Biar sudah memasuki usia 30 tahun Mbak Wulan masih menarik. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun Mbak Wulan memiliki tubuh yang montok dan padat, buah dadanya membusung kencang dengan puting mencuat kemerahan, ditunjang dengan kulitnya yang kuning langsat mulus dan rambut sebahu, wajahnya yang cantik manis membuat rekan kerja Mas Jaka dan Mbak Wulan, juga pemuda sekitar tempat tinggal mereka terpaku dan menelan ludah saat Mbak Wulan lewat dengan goyangan pinggulnya. Pantatnya yang montok selalu menonjol di balik rok seragam kerjanya, biarpun tidak terlalu pendek, tapi ketatnya memperlihatkan garis celana dalam wanita ini. Jujur sebagai lelaki normal aku juga kadang-kadang menelan ludah saat datang ketempat Mas Jaka, dan Mbak Wulan hanya memakai tanktop dan bercelana pendek di rumah. Apalagi bagi Rudi yang satu atap dengan mereka, siapa yang kuat menahan godaan dari Mbak Wulan.

"Ma...ma..afkan..aa..khuuu.., aa..kuu memang egois waktu ituuu."

"Untuk apa minta maaf, setelah sekian lama Intan tiada, baru minta maaf. Sudahlah, jangan menambahku muak. Simpan maafmu, dan katakan saat bertemu Intan nanti di akhirat. Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Jangan salahkan aku, sama seperti yang kau katakan waktu itu, Inilah jalan hidup. Jadi nikmatilah hidupmu...!!!"

"Kauuu lepaskan dia dan bunuhlah akhuuu..."

"Melepaskannya ! Jangan mimpi ! Aku akan melepaskannya setelah bersenang-senang dengannya. Haa.. haa.."

Tanpa basa-basi lagi Andi segera membuka pakaiannya sendiri, lalu melompat ke atas ranjang. Mbak Wulan dengan sia-sia meronta dan menjerit saat Andi menindih tubuhnya yang telanjang bulat tanpa sehelai benang pun. Mbak Wulan bahkan tidak bisa untuk sekedar merapatkan pahanya yang terkangkang lebar.

Pekikan Mbak Wulan tertahan mulut Andi, saat tangan Andi meremas buah dadanya dengan keras. Rontaan dan pekikan wanita cantik itu sama sekali tidak digubris. Andi kemudian menempatkan kejantanannya tepat di depan bibir kemaluan Mbak Wulan.

"Diam Sayang ! Jangan takut, aku akan melakukannya lebih baik dari Rudi, hingga kau akan merasa keenakan! Nanti pasti kamu ketagihan. Sekarang biar aku mencicipi kemaluanmu..." sambil berkata begitu Andi menghujamkan kejantanannya memasuki hangatnya vagina Mbak Wulan.

Awalnya Andi kesulitan memasukan penisnya ke dalam vagina Mbak Wulan, karena rontaan dari Mbak Wulan terasa sedikit menghalangi. Namun bukan tandingan bagi kekuatan Andi yang bertubuh jauh lebih besar, perlahan kejantanan Andi menerobos masuk.

"Haaanggkkk...! Aahhhkkk...!" Napas Mbak Wulan terputus-putus dan matanya yang bulat indah terbeliak lebar saat dia merasakan penis Andi tiba-tiba memasuki selangkangannya.

Tubuh montok wanita itu tergeliat-geliat merangsang dengan napas tersengal-sengal sambil terpekik tertahan-tahan ketika Andi dengan cepatnya menggenjotkan kejantanannya menikmati hangatnya kemaluan Mbak Wulan yang tampaknya masih sempit, karena belum pernah melahirkan.

"Aahh... enak sekali vaginamu... Wulaaanh, masih terasa menggigith... punyaku juga enak kan Wulan..? Tidak kalah dengan yang lain kan..?" Andi mendesah kenikmatan.

Mbak Wulan sambil merintih tidak jelas menggelengkan kepala dan meronta berusaha menolak, namun semua usahanya sia-sia, dan wanita itu kembali terpekik dan tersentak karena Andi kini dengan kuat meremasi kedua payudaranya yang kencang menantang. Sepertinya benar kata orang, wanita seperti Mbak Wulan memang sangat memuaskan, wajahnya yang cantik, buah dadanya yang tegak menantang bergerak naik turun seirama napasnya yang tersengal-sengal, tubuhnya yang montok telanjang bersimbah keringat, kedua pahanya yang mulus bagai pualam tersentak terkangkang-kangkang, bibir kemaluannya tampak megap-megap dijejali kejantanan Andi yang besar.

Mbak Wulan dengan airmata berlinang merintih memohon ampun, namun
tusukan demi tusukan terus menghajar selangkangannya yang semakin memerah. Payudaranya yang besar kini diremas-remas tanpa ampun. Mungkin Mbak Wulan merasakan betapa malunya dia, diikat dan ditelanjangi di depan suaminya, lalu diperkosa tanpa mampu melawan sedikitpun.

"Hhh... ! Wulanh... ! Wulaann... ! Sekarang aku akan membikin kamu hamil, biar kau merasakan malu seumur hidup, sayangghh..! Aah... ambil nih ! Nih ! Nih ! Niih... !"

Tanpa dapat ditahan lagi Andi menyemburkan spermanya dalam hangatnya kemaluan Mbak Wulan sambil sekuat tenaga meremas kedua payudara wanita itu, membuat Mbak Wulan tergeliat-geliat dan terpekik-pekik tertahan sumpalan bibir Andi di mulutnya. Perlahan kepala Mbak Wulan terkulai dan matanya tertutup. Tampaknya Mbak Wulan jatuh pingsan.

Andi kemudian membetulkan celananya, dan tanpa mempedulikan Mbak Wulan kini dia menghampiri Mas Jaka. "Nikmat sekali tubuh istrimu Jak, kenapa tidak dari dulu aku melakukan ini ...! Bagaimana rasanya kini...? Saat melihat orang lain menyetubuhi istrimu...??? Dan kau hanya bisa melihat tanpa pernah merasakannya ! Ha..ha..ha.., tampaknya hukum karma mengenaimu, ha.. ha.. ha..," Andi tertawa gembira.

"Ka...kamu..pu..as..bi.sa mem..balas..???"

"Aku menunggu lama untuk membalas semua perbuatanmu yang meninggalkan Intan. Aku puas bisa membuatmu yang tidak berdaya, kini menyaksikan pembalasanku."

"Ka..ka..mu.. be..beg..gitu.. benci.. kepa..da.. kel..luu..aar.***a kaa miii..???

"Jangan becanda, setelah perbuatanmu selama ini, apa yang kamu harapkan..?? Pakai otak Jaka. Aku benci dan menganggap kau dan seluruh keluargamu tidak lebih daripada sampah. Aku tidak pernah peduli, walau kamu adalah saudaraku. Hubungan kekeluargaan kita putus setelah kau dan keluargamu menghina dan mempermalukan Intan. Bagiku kau adalah musuhku, aku tidak akan pernah merasa menyesal...??? Seperti kau yang tidak menyesal meninggalkan Intan."

Kulihat dari matanya Mas Jaka mengeluarkan air mata, tampaknya dia benar-benar tertekan akan keadaan ini. Mas jaka yang biasanya berwibawa, dewasa dan berpikiran matang, kini seperti anak kecil yang hanya bisa menangis. Sementara aku hanya bisa marah kepada diri sendiri, karena tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi semua ini.

"Kau benar-benar sampah tidak berguna, kalau kau laki-laki mari kita selesaikan secara laki-laki, jangan hanya bisa menangis saja. Aku beri satu kesempatan padamu. Jika kau bisa keluar dari kamar ini aku akan bebaskan kalian semua," kata Andi, sambil melepaskan ikatan pada tubuh Mas Jaka.

Perlahan Mas Jaka bangkit dari kursi, melihat ke arahku dan berkata, "Lang, tolong jaga Wulan." Dia menghampiri Andi, dan tanpa bicara langsung menyerang Andi. Sebelum Andi bersiap, pukulan Mas Jaka sudah mendarat telak di wajah Andi, Duaaakh...

Tapi ternyata pukulan itu tiada pengaruhnya apapun bagi Andi, dia masih berdiri tegak di tempat dengan bibir tersenyum sinis memandang Mas Jaka. "Ternyata, kau betul-betul sampah tidak berguna. Hanya memukul saja tidak becus. Ayo pukul lagi yang ker..." Duaaakh... Sebelum Andi menyelesaikan kata-katanya, pukulan Mas Jaka kembali mendarat di wajahnya.

Kembali hanya senyum yang muncul di mulut Andi, hal itu berulang sampai tiga kali. Saat Mas Jaka memukul yang keempat kalinya, Andi tidak membiarkan pukulan itu mengenainya lagi. Sambil menghindar dia berkata, "Sudah cukup Jak, sekarang giliranku yang akan mengajarimu cara memukul yang benar."

Andi kemudian menghajar Mas Jaka habis-habisan, tubuhnya yang sudah luka, tampaknya bertambah parah. "Andi... hentikan An.., kalau berani ayo lepaskan aku dan kita berdua bertarung sampai ada yang mati di sini," teriakku. Tapi tentu saja hal itu tidak di tanggapi oleh Andi. Pukulan Andi baru berhenti saat ada tangan lain yang memukuli dirinya. Ternyata Mbak Wulan, yang entah kapan dia sadar dari pingsannya, dan kini berusaha membantu suaminya yang di hajar Andi.

Dengan mudah Andi menangkap tangan Mbak Wulan, dan tanpa belas kasihan seperti tadi, Andi mendorong Mbak Wulan hingga menabrak Almari yang ada di kamar ini. Tanpa mengeluarkan jeritan, Mbak Wulan langsung jatuh ke lantai, entah pingsan atau mati karena kerasnya benturan. Tanpa mempedulikan Mak Wulan, Andi kembali menghajar Mas Jaka habis-habisan. Dia baru berhenti saat Mas Jaka sudah tidak bergerak lagi. Tampaknya kebencian Andi kepada Mas Jaka benar-benar mendalam.

Setelah mengebutkan bajunya, Andi berjalan menghampiriku, berjongkok di depanku, menjambak rambut dan menarik kepalku kebelakang. "Kita akan segera memasuki akhir dari segalanya kawan," kata Andi, sambil menatapku tajam.

Aku balas menatapnya tanpa berkedip, hingga membuat dia gusar. "Kurang ajaaar !!! Kau masih berani, haahhh... !" Plaaak.. plaaakh.. plaaakh.. plaaakh..., kata Andi, sambil menamparku berulang kali. Walau sakit tamparannya, tapi aku masih nekat tetap menatap matanya.

"Kau memang gila, And... !"

"Kurang ajaaar," Plak.. plaakh.. plaaakh.. plaaakhhh.., dia kembali menampar mukaku berulang kali hingga berhenti karena kelelahan. Kurasakan panas, perih, sakit dan pening pada kepalaku, juga terasa hidung dan bibirku mengalir darah.

"Kau memang hebat dan lain dari pada yang lain. Pantas Yudi begitu mewaspadaimu, tapi sekarang kehebatanmu tidak berguna. Mungkin kau bisa tahan akan siksaan, tapi jika peluruku menembus kepalamu, apa kau masih tidak takut," kata Andi sambil menodongkan pistol di keningku.

"Rasa takut tidak ada dalam kamusku, hanya penyesalan yang ada dalam hatiku, kenapa aku tidak dapat menyelesaikan tugasku," ucapku acuh.

"Kau memang orang yang langka, tapi sayang sekali orang sepertimu harus disingkirkan karena membahayakan kami. Untuk menghormati keberanianmu, aku berjanji akan memenuhi satu permintaanmu, katakan apa permintaan terakhirmu ?" tanya Andi.

"Dalam bukti rekaman dulu tidak ada hal apapun yang menyebut keterlibatan Yudi. Mengapa Yudi harus melakukan semua itu, termasuk juga membunuh Frans, Reni, dan Simon. Hal apakah sebenarnya yang ingin disembunyikan Yudi ?"

Andi terdiam mendengar pertanyaanku. Kutatap wajahnya, tampak parasnya berubah mendengar pertanyaanku. Tapi kemudian mukanya berangsur normal kembali. "Maaf, Lang untuk pertanyaanmu itu aku tidak bisa menjawabnya. Karena hanya Yudi yang tahu semuanya. Silahkan ajukan permintaan yang lain," kata Andi.

Sebelum sempat aku membuka mulut, pintu kamar kembali di ketuk dari luar. "Masuk...!" bentak Andi. Seseorang membuka pintu kemudian memberi kode kepada Andi. Melihat kde dari orang itu Andi segera keluar mengikuti orang itu.

Tidak lama kemudian terdengar suara Andi memberi perintah, "Jaga dan awasi dia baik-baik, kalau terjadi sesuatu segera hubungi aku." Tidak lama kemudian terdengar beberapa orang bergerak dan suara mobil menjauh. Tampaknya Andi dan beberapa anak buahnya meninggalkan rumah ini, setelah menerima pesan dari seseorang.

@@@@@

Aku menghela nafas panjang, bersyukur karena untuk saat ini nyawaku masih selamat. Aku tidak tahu beberapa lama Andi pergi, tapi aku pikir inilah saat yang tepat untuk mencoba meloloskan diri. Aku mencoba untuk berpikir tenang, sambil mencari-cari adakah benda atau alat apapun yang bisa membantuku lolos dari borgol yang membelenggu.

Hampir setengah jam aku mencari tapi hasilnya nihil, begitu juga harapanku agar ada anak buah Andi yang datang mendekat agar dapat kusergap, ternyata tidak ada yang berani mendekat, tampaknya Andi sudah menyuruh anak buahnya agar tidak mendekatiku.

Akhirnya aku mencoba untuk melupakan semuanya dengan berusaha untuk mengistirahatkan badan, walau wajah bekas tamparan Andi masih terasa sakit. Beberapa saat kemudian, lamat-lamat aku mendengar suara orang berbicara, orang berkelahi, barang-barang pecah, suara tembakan.

Tapi suara-suara itu tidak berlangsung lama. Kurang lebih lima menit sampai suara-suara itu menghilang dan kembali berganti kesunyian. Kemudian aku mendengar bunyi langkah yang tampaknya menuju kearah tempatku berada. Aku masih memejamkan mata, tapi seluruh tubuhku siap menghadapi segala sesuatunya.

Kudengar suara langkah itu perlahan makin dekat ke arahku. Dia sudah berada dalam jangkauan seranganku dan akupun sudah siap mengambil ancang-ancang untuk menyerangnya, saat suara itu membuatku mengurungkan niatku, "Lang, kau tidak apa-apa kan ?" tanya orang itu. Aku segera memandang orang yang berdiri di depanku dan aku menjadi senang sekaligus terkejut melihat orang itu.

"Om Gian...," sapaku. Dia adalah Om Gian, orang yang pertama kali membawaku ke rumah ini sepuluh tahun yang lalu. "Kenapa Om bisa tahu aku di sini ?" tanyaku.

"Sudah nanti ceritanya," kata Om Gian sambil membuka borgol di tanganku dengan alat yang di ambil dari saku celananya. Aku masih belum bisa berdiri, karena kakiku masih terasa kaku. Sementara Om Giam memeriksa Mas Jaka dan Mbak Wulan. Sesaat kemudian Om Gian menelepon seseorang.

Lima menit kemudian aku baru bisa berdiri, aku ikut memeriksa keadaan Mas Jaka dan Mbak Wulan. Mereka ternyata masih hidup, entah bagaimana kondisinya. Aku keluar kamar, di ruang tamu barang-barang hancur berantakan, ada beberapa tubuh yang tergeletak di ruang itu. Aku mencoba mencari Andika dan kekasihnya. Kutemukan tubuh mereka berdua di kamar belakang, Andika dengan bermacam luka di tubuhnya terbaring di dekat almari, sementara Tari, kekasihnya dengan tubuh telanjang tergeletak di atas ranjang.

Aku kembali terdiam, perasaan bersalah dan sedih menghinggapi hatiku. Andai saja mereka tidak menjadi temanku, mereka pasti tidak akan jadi korban Andi, dan nyawa mereka tidak akan melayang sia-sia karenaku.

Aku kembali ke ruang tamu, duduk di kursi. Om gian tampaknya mengerti apa yang kurasakan, hingga dia membiarkan aku sementara larut dalam pikiranku. Tidak lama kemudian terdengar beberapa bunyi sirene mobil, ternyata Om Gian memanggil polisi untuk meminta bantuan.

Entah beberapa lama aku tenggelam dalam pikiranku, aku sadar saat Om Gian mengajakku pergi ke Rumah Sakit. Ternyata Ambulance sudah siap membawa Mas Jaka, Mbak Wulan, Andika, Tari dan Imran. Sementara rumah sudah di pasang garis polisi. Aku hanya ikut saat Om Gian menggandengku masuk ke dalam mobil, sesaat kemudian aku tidak sadar apa yang terjadi setelah itu.

To Be Conticrooot...
 
Jujur ane kurang suka kalo ada cerita elangnya om,tapi all over is good
 
Oo.oo.oo.. Gelar tikar. duduk diatasnya.. Lihattt kebawwahh. Wahaaee baskom berisi air.. Apakah cepter lanjutannya sudah kelihatan.. Hehe :jempol: salam kenal..
 
izin baca-baca :baca: gan, lumayan banyak juga Chapter-nya...semoga ga ketinggalan cerita, baca Chapter I dulu aaaah... ;):beer:
 
Chapter XXVI : Elang side's story : Come to The Jungle City

Aku tersadar pagi harinya, dan berada di Rumah Sakit. Tubuhku memang tidak ada luka yang parah, hanya luka luar yang akan sembuh dalam satu-dua hari. Tapi menurut Dokter, yang harus diistirahatkan dariku adalah jiwaku yang mungkin sedikit terguncang. Untuk itu Dokter meminta aku untuk cuti dari pekerjaan, untuk sementara waktu menenangkan pikiran dan jiwaku yang sedang kacau. Ditambah lagi aku mengetahui nasib Mas Jaka dan Mbak Wulan yang tidak tertolong menyusul Imran, Andika dan Tari. Aku menjadi seperti orang yang telah kehilangan gairah hidup.

Melihat kondisiku, Om Gian menyarankan hal yang sama dengan Dokter. Om Gian menceritakan alasannya kenapa dia bisa sampai ke rumah kakek. Dia baru pulang dari luar negeri untuk suatu urusan, lama tidak datang, Om gian bermaksud berkunjung ke makam kakek. Sore itu dia bermaksud menemuiku, tapi Pak Arman memberitahu kepada Om Gian, bahwa aku berada di rumah kakek, maka dia segera menuju ke rumah kakek dan menjumpai peristiwa penyanderaanku. Dan dengan kemampuannya, dia melumpuhkan orang-orang yang berjaga di rumah itu.

Sepertinya Om Gian ingin mengatakan sesuatu hal kepadaku. Tapi melihat keadaanku, Om Gian tidak mengatakan hal apa yang menjadi pikirannya. Om Gian hanya berusaha untuk mengembalikan semangatku, dia juga berpesan kepadaku untuk pindah ke Mabes, karena ilmu dan tenagaku akan lebih berguna bila di sana. Dia juga bercerita tentang keponakannya, dia berpesan kepadaku untuk menemui keponakannya yang bekerja di Kemenkeu. Siapa tahu kami bisa berteman karena usia kami sebaya. Dua hari kemudian Om Gian pulang ke kota Pekalongan, untuk menghadiri pesta pernikahan dari saudara jauhnya.

Aku terpuruk dalam kesedihan dan keputusasaan hingga satu minggu, tapi setelah aku merenung dan mengingat semua pesan dan petuah dari Kakek, Om Gian dan lain-lain, maka aku berusaha untuk bangkit dari keterpurukanku. Dua minggu setelah kejadian itu, aku kembali menjalankan tugas.

Surat keputusan mutasiku ke Mabes sudah keluar, dan aku harus secepatnya melaporkan diri ke Mabes. Tapi aku meminta dispensasi kepada Pak Arman, untuk sedikit memberi waktu agar dapat menyelesaikan tugasku yang belum selesai. Setelah menerima dispensasi itu, dalam beberapa hari aku menyusuri seluruh kawasan hitam yang ada di kota dan sekitarnya, untuk mencari keberadaan Andi ataupun anak buahnya.

Tapi Andi bagai hilang di telan bumi, atau mungkin dia sudah meninggalkan kota ini. Beberapa hari kemudian aku menemui titik terang, aku mulai bisa mengendus dari mana datangnya dan kemana perginya obat-obatan itu. Tapi anehnya tidak ada nama Andi yang di sebut dalam hal ini. Hanya ada nama 'Kui', yang sering di sebut oleh para pengedar itu.

Aku berusaha mencari tahu apa atau siapa yang di maksud dengan 'Kui'. Dari mantan anggota kelompok itu, akhirnya aku tahu siapa yang di maksud dengan 'Kui'. Dia bukan lain adalah Andi, selain nama 'Kui' muncul juga nama 'Mow' dan 'Xin' dalam daftar nama pimpinan gerombolan itu. Mereka bertiga juga bukan aktor utamanya, masih ada orang yang menjadi pimpinan dari tiga orang itu.

Tapi sayangnya informanku itu tidak tahu, siapa dan seperti apakah bos besar mereka. Jangankan bos mereka, yang namanya Xin dan Mow, dia juga belum pernah bertemu. Nama itu hanya pernah dia dengar dari Andi atau Kui. Aku sempat berpikir, apakah Bos besar mereka itu Yudi, atau salah satu dari Mow atau Xin yang merupakan nama lain dari Yudi.

Masih dari orang yang sama, aku mendapat sedikit informasi tentang apa yang sedang di lakukan oleh gerombolan itu. Mereka bekerja sama dengan jaringan Narkoba Internasional, Transaksi mereka tidak selalu melibatkan Narkoba dan uang, mereka bisa mengantinya dengan barang berharga atau senjata. Kui, saat ini berada di Jakarta karena akan mengurus suatu transaksi besar dengan suatu bandar Internasional.

Salah satu kemungkinannya mereka akan memanfaatkan Pameran Perhiasan Internasional, untuk mengelabuhi aparat. Karena dalam pameran itu akan beredar jumlah uang yang cukup besar, maka tidak akan mencurigakan bila mereka melakukan transaksi dalam jumlah besar. Pameran itu akan diadakan di Plaza Senayan Jakarta, dalam beberapa hari ke depan.

Setelah mengetahui keberadaan Kui atau Andi, aku memutuskan untuk segera mengejar ke Jakarta. Dalam tiga hari aku melimpahkan tugasku kepada teman dan juga mengadakan persiapan untuk pindah tugas ke Jakarta. Setelah semua urusan beres aku segera meluncur menuju kota Jakarta, menggunakan mobil Dipta yang masih berada di tanganku. Sebenarnya aku sudah berusaha mengembalikan mobil ini, tapi dia menolaknya.

@@@@@

Karena reputasiku dalam masalah Narkoba, aku ditugaskan di BNN. Saat itu BNN sedang membuat tim gabungan dari berbagai instansi terkait untuk melakukan pencegahan dan penyelidikan peredaran narkoba di kalangan pesohor negeri ini. Pada waktu pembentukan tim itu aku memang tidak hadir, tapi aku telah dimasukan dalam salah satu tim.
Sebenarnya ada satu nama dalam daftar anggota tim dua yang menarik perhatianku. Gavindra Aryasatya, nama itu seperti nama keponakan Om Gian yang dikatakan padaku waktu itu, Gavin juga berasal dari salah satu Kementerian Keuangan. Kemungkinan besar dia adalah keponakan Om Gian. Tapi aku belum punya waktu untuk menemui dia dan memastikan dugaanku.

Sampai beberapa hari ini aku juga belum menghubungi Avi, dan memberitahu kepadanya, bahwa aku sudah dimutasikan ke Jakarta. Aku masih sibuk dalam mencari info tentang Andi atau Kui. Di dalam file kepolisian, juga tidak ditemukan data tentangnya. Aku lalu mencoba untuk datang ke pameran perhiasan yang rencananya akan di buka besok oleh salah seorang menteri. Siapa tahu berita yang kudapatkan tetang transaksi itu benar.

Aku mencoba melihat stand-stand yang berdiri di tempat itu, tapi aku sama sekali belum punya dugaan, stand manakah yang merupakan milik kelompok Andi. Saat melihat berbagai perhiasan yang mahal itu aku jadi membayangkan, bagaimana seandainya aku membelikan perhiasan untuk Avi. Tapi pikiran itu segera aku buang jauh-jauh. Aku harus berpikir realistis, dari mana punya uang untuk membeli barang semahal itu.

Sampai di salah satu stand aku berhenti, saat seseorang menyebut kata Mow dan Tito. Aku segera menyingkir saat dua orang di dalam stand itu melihat ke arahku. Aku pergi jauh untuk beberapa lama, kemudian kembali mendekati stand itu. Aku tidak berhenti, hanya sekejap melihat nama stand dan wajah-wajah yang berada di dalamnya.

Setelah itu aku pergi dari tempat itu untuk mencari tahu tentang 'DB DIAMOND'. Sony Danubrata pemiliknya, seorang pengusaha dengan berbagai bidang, salah satu orang terkaya di negeri ini. Tidak ada catatan kejahatan atau hal buruk dalam perjalanan bisnisnya. Tapi mengapa ada nama Mow yang disebut olehnya, apakah dia orang yang akan bertransaksi dengan Andi.

@@@@@

Keesokan harinya aku segera meluncur kembali ke tempat pameran itu, dan segera menuju ke stand DB Diamond. Tapi yang membuatku terkejut aku melihat seseorang berada di depan stand itu berbincang dengan dua orang lelaki lain, sementara tidak jauh dari mereka ada dua orang wanita yang melihat-lihat di dalam stand itu. Bukankah dia Gavin, anggota tim dua dalam tim gabungan, untuk apa dia berada disini.

Beberapa kali orang yang berada di stand itu melihat ke arah Gavin bertiga, aku mencoba mendekat ingin mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan. Dari percakapan mereka aku sedikit dapat menyimpulkan, lelaki yang menghadap keluar adalah Sony Danubrata, Sang pemilik stand, yang paling tua ternyata adalah orang yang bernama Xin, yang kedua pemuda yang berwajah dingin adalah Mow dan yang terakhir ternyata bernama Tito.

Saat itu ada pengumuman bahwa acara pembukaan akan segera dimulai. Saat itu aku melihat orang yang bernama Mow berjalan menuju ke arah toilet, yang di ikuti oleh Gavin. Timbul keinginanku untuk menyusul mereka, saat aku hendak menyusul mereka tiba-tiba ada anak kecil yang menabrakku, anak perempuan itu terjatuh, untung dia tidak apa-apa. Aku mencoba membangunkan anak kecil itu, saat bersamaan ada juga seorang wanita yang menghampiri anak perempuan kecil itu, dan berkata, "Mazel, tidak apa-apa ? tanya wanita itu.

Hal mana suara wanita itu membuatku terkejut dan segera memandang ke arah wanita itu. Tapi ternyata aku tidak mengenalnya, hanya suaranya yang mirip seseorang. Aku mengangukkan kepala ke arahnya yang juga dibalas oleh dia.

"Maaf," kataku.

"Tidak apa-apa, saya yang harus minta maaf karena keponakan saya, akibatnya celana anda menjadi kotor," kata wanita itu.

"Oh, tidak masalah, biasa anak kecil," kataku, sambil melihat celanaku yang belepotan ice cream.

"Terima kasih atas pengertiannya, saya Marischka, anda ?" ucap dia sambil mengulurkan tangannya.

"Elang," jawabku.

"Elang...!"

"Ya, ada yang aneh dengan namaku ?"

"Oh, tidak apa-apa, hanya saja aku pernah mendengar nama itu tapi lupa dimana."

"Kalau begitu saya permisi dulu," kataku, beranjak meninggalkan wanita itu yang masih diam di tempat.

Aku segera kembali mencari Gavin dan Mow yang tadi kulihat berjalan ke arah toilet. Tapi tidak kulihat satu orangpun di tempat itu. Aku segera mencari ke tempat lain, di lantai atas juga tidak kutemukan mereka. Aku kembali ke lantai bawah tempat ruang pameran ternyata acara pembukaan sudah selesai.

Kulihat Xin dan Mow berjalan keluar di belakang Sony dan Tito, aku ikuti mereka menuju tempat parkir. Saat aku berlari ingin mengejar, mereka sudah masuk ke dalam mobil. Sialnya parkir mobilku jauh dari tempat ini. Aku kembali masuk ke tempat pameran. Aku masih mencoba untuk mencari Gavin. Dalam hati aku berpikir, apa hubungan Gavin dengan mereka ?

Aku kembali ke arah toilet, mereka jelas tadi ke tempat ini, kalau mereka kembali ke ruang pameran, tentu aku melihat mereka. Aku kembali masuk ke toilet, melihat segala sesuatu di tempat itu, tapi tidak kutemukan hal yang aneh. Saat aku ingin keluar dari tempat itu, segera kuhentikan langkahku, karena aku melihat Gavin keluar dari toilet wanita bersama seseorang yang tidak asing.

Kulihat keadaan Gavin seperti orang tidak sehat, jalannya agak kaku, seperti orang yang terluka, lengan bajunya tampak robek. Apa sebenarnya yang terjadi. Aku mengikuti mereka dari belakang. Dia berjalan menuju ruang pameran, melihat ke stand milik Sony, kemudian berkeliling sekitar tempat itu seperti mencari sesuatu.

Setelah itu mereka keluar menuju tempat parkir, kali ini aku beruntung karena tempat parkir mobilnya searah dengan aku memarkir mobil itu. Kulihat mereka memasuki mobil Mercedes Benz warna hitam metalik. Setelah yakin itu mobil mereka aku segera menuju mobilku.

Saat aku membuka pintu mobil, mobil di sebelah kananku terbuka dan seseorang yang keluar dari mobil itu menghentikan langkahku yang hendak masuk ke dalam mobil. "Lang...,!" suara panggilan itu terasa tidak asing bagiku.

Aku menengok ke belakang, ternyata orang itu adalah Marischka, wanita yang tadi bertemu di dalam. Sebelum aku menjawab sapaannya, aku kembali terpana saat seorang wanita keluar dari pintu kemudi dan memanggil namaku.

"Lang...," sapanya, sambil berjalan ke arahku.

"Chantal... !" desisku lirih tanpa sadar menyebut nama wanita yang kini berada di depanku.

Kami berdua terdiam untuk beberapa saat, tidak tahu apa yang harus kami katakan atau lakukan setelah dua tahun tidak bertemu, kekakuan itu bertambah karena adanya Marischka. Kebisuan kami di pecahkan oleh suara Marischka, "Hallo, kalian lupa ada aku di tempat ini," ucapnya menggoda.

Kami berdua menjadi salah tingkah, "Pru, ini Elang temanku," kata Chantal memperkenalkan aku untuk menutupi kegugupannya.

"Aku sudah kenal Chan. Bukankah tadi aku bercerita, Mazel mengotori celana seseorang, ya, dia ini orangnya," Kata Marischka.

"Marischka adikmu dan Mazel anakmu ?"

"Ya, benar. Bagaimana kabarmu, Lang ? Kapan datang ke Jakarta, sampai kapan di sini ?" tanya Chantal.

"Baik, baru beberapa hari ini aku di Jakarta, sampai kapan aku tidak tahu, karena saat ini aku di mutasikan ke Mabes," jawabku.

"Sudah beberapa hari ! Tapi tidak memberi kabar !" kata Chantal dengan nada menegur.

Sebelum aku sempat membalas perkataan Chantal, Marischka sudah berkata lebih dulu, "Jadi kamu Elang yang bulan lalu di Iterview sama Avi,"

"Aviani Malik," tanya Chantal.

"Ya, benar, beberapa minggu yang lalu aku pernah di minta untuk interview seseorang. Tapi saat itu posisiku diambil alih oleh Avi, karena saat itu aku tidak bisa. Kau ingatkan acara keluarga kita bulan lalu," jawab Marisckha.

Chantal memandang ke arahku, "Benar, Lang..?" tanya dia.

"Benar, beberapa minggu yang lalu ada wanita yang minta interview denganku," jawabku tanpa merinci kejadian maupun hubunganku dengan Avi.

"Lang, kamu punya waktu saat ini ? Kalau ada waktu, kita berbincang di tempat lain saja."

Aku berpikir sejenak, mau mengikuti Gavin sudah tidak mungkin, menolak permintaannya juga sepertinya juga tidak enak. Maka aku mengiyakan permintaan Chantal.

Chantal dan Mazel pindah ke dalam mobilku. Kami berpisah dengan Marisckha yang akan berangkat ke tempat kerja menggunakan mobil milik Chantal.

Kini kami melaju membelah kemacetan Ibu Kota yang panas. "Kemana kita ?" tanyaku memecah kebisuan di antara kami. Sementara Mazel sudah kembali terlelap dalam tidurnya.

Setelah Chantal mengatakan suatu tempat, kami kembali sama-sama diam untuk beberapa saat. "Ternyata sudah hampir dua tahun semenjak kejadian itu, tampaknya banyak terjadi perubahan pada dirimu," kata Chantal.

Melihatku diam saja, dia melanjutkan kata-katanya, "Kau terlihat lebih dewasa dengan penampilan seperti saat ini, apa kau telah menikah ?"

Aku tersenyum mendengar kata-kata Chantal. "Tidak ada yang berubah pada diriku, aku masih tetap Elang yang dulu," jawabku.

"Bagaimana perasaanmu padaku, apa masih seperti yang dulu ?" tanya Chantal. Sebuah pertanyaan yang tidak ingin kudengar. Aku jadi diam memikirkan pertanyaannya.

Melihatku hanya diam saja, dia kembali bertanya, "Apakah ada wanita lain yang telah mengisi tempat itu ?'

Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab. Ingin menjawab tidak, ada Avi yang selalu menghiasi mimpi-mimpiku saat ini. Menjawab ya, itu juga tidak benar 100%. Karena di hatiku yang paling dalam masih ada sedikit tempat untuk wanita di sebelahku ini. Apakah keraguan sikapku terhadap Avi, karena belum hilangnya perasaanku pada Chantal.

@@@@@

Kami berhenti di depan gerbang suatu sekolah yang elit. Chantal keluar kemudian masuk ke dalam sekolah itu, sementara aku berada di dalam mobil menjaga Mazel yang sedang tidur. Hampir sepuluh menit Chantal belum keluar juga, untuk mengusir rasa bosan aku keluar dari dalam mobil.

Tidak lama kemudian anak-anak kecil berumur antara delapan tahun mulai keluar dari gerbang seolah itu. Aku melihat mereka sambil bersandar di bagian depan mobil. Tampaknya benar-benar sekolah elit, dilihat dari mobil yang mejemput anak-anak itu. Kulihat juga tampak beberapa pesohor negeri ini menjemput anak-anak mereka.

Setelah suasana agak sepi, barulah kulihat Chantal keluar dari gerbang sekolah dengan anak lelaki berjalan di sampingnya. Sepertinya dia anak pertama Chantal yang bernama Nathan. Jalan ini cukup ramai, hingga mereka butuh waktu cukup lama untuk meyeberang. Ketika mereka akan menyeberang, bersamaan itu kudengar raungan sepeda motor yang melaju kencang dari arah Timur.

Chantal dan Nathan tampaknya tidak tahu ada sepeda motor yang melaju ke arah mereka, aku yang melihat itu segera berlari ke arah mereka berdua. Tanpa berpikir panjang aku langsung menubruk mereka berdua, sementara sepeda motor itu melesat kencang, nyaris mengenai belakang tubuhku. Aku segera bangun dan mencoba mengejar sepeda motor itu, tapi terlambat. Sepeda motor itu sudah menghilang di kejauhan sana.

Setelah membangunkan Chantal dan Nathan yang hanya luka lecet kecil aku segera menelepon temanku, untuk mencari tahu siapa pemilik sepeda motor tadi. Ada beberapa orang yang mendekati kami mencoba bertanya bagaimana keadaan mereka. Tapi Chantal berkata mereka tidak apa-apa dan segera menuju mobil, aku mengikutinya.

"Kalian tidak apa-apa, mau ke Rumah Sakit ?" tanyaku pada Chantal.

"Tidak perlu, antar kami pulang saja. nanti periksa di klinik dekat rumah saja," jawab Chantal.

Kurang dari setengah jam, kami sudah sampai di klinik yang di maksud Chantal. Chantal dan Nathan masuk sementara aku kembali menjaga Mazel yang masih tidur. Hanya sebentar, mereka sudah keluar. Kami segera meninggalkan tempat itu. Tidak sampai tiga ratus meter, kami sampai di depan rumahnya.

Setelah membantu menggendong Mazel ke dalam kamarnya aku duduk di ruang tamu. Tidak lama kemudian Chantal keluar dengan membawa minuman dan makanan. "Chan, aku rasa pengendara motor itu sengaja hendak mencelakai kalian, apa akhir-akhir ini kau punya urusan atau masalah yang menyebabkan orang lain tidak suka kepadamu ?" tanyaku, begitu dia duduk di sampingku.

"Benarkah ?" tanya Chantal.

"Ya, kalau dia tidak sengaja melakukan itu, dia tidak akan mempercepat laju kendaraannya saat melihat orang menyeberang jalan. Dengan kata lain, dari jauh dia berjalan pelan, dan saat melihat kalian akan menyeberang jalan dia baru mempercepat laju sepeda motornya."

Setelah dia sejenak, Chantal kemudian berkata, "Tapi aku rasa akhir-akhir ini aku tidak mempunyai masalah dengan orang lain."

"Bagaimana dengan Nathan."

"Apa hubungannya dengan Nathan ?"

"Mungkin saja dia melihat, mendengar atau melakukan sesuatu yang tidak disukai orang lain."

"Baiklah aku akan mencoba bertanya kepadanya," kata Chantal sambil beranjak bangun.

"Tidak perlu dipaksakan, biar dia mengatakannya sendiri, mungkin dia takut."

Saat Chantal sedang berbicara dengan Nathan, aku mencoba menghubungi kembali temanku, untuk menanyakan bagaimana hasil pencariannya tentang pemilik kendaraan itu. Tapi belum ada hasil, karena tampaknya nomer yang dipakai adalah nomer palsu.

Karena sampai sore Chantal belum berhasil membujuk Nathan. Aku diminta untuk tetap di rumahnya, Chantal mempersilahkan aku untuk mandi dan beristirahat, rupanya dia telah mepersiapkan kamar tamu untuk kutempati. Setelah mandi aku bermain dengan Mazel yang sudah bangun dan mandi, dia mengajakku bermain di halaman depan. Orang yang tidak tahu mungkin akan mengira bahwa kami dan anak bercanda dengan akrabnya.

Sebenarnya aku merasa tidak enak untuk tetap tinggal di rumah itu. Tapi aku juga punya rasa takut, seandainya orang yang tadi datang kembali untuk mencelakai keluarga ini. Maka aku singkirkan rasa sungkanku untuk sementara ini. Sehabis makan malam, aku berkata pada Chantal, "Biar aku yang mencoba berbicara dengannya."

Setelah berusaha lama akhirnya aku berhasil membujuk Nathan untuk mengatakan apa yang terjadi. Aku lalu mengatakan apa yang terjadi pada Chantal. Dia tampak cemas setelah mendengar ceritaku, tapi setelah aku berkata akan menjamin keselamatannya dia kembali tenang.

"Aku akan bertanya soal kejadian itu pada temanku, dan menceritakan apa yang di ketahui Nathan, semoga hal ini akan cepat terselesaikan." Setelah itu aku menelepon temanku.

"Aku tidak menyangka kau bisa mengajak bicara Nathan !"

"Memangnya kenapa ?"

"Tidak apa-apa, tapi dia itu anak yang pendiam dan jarang berbicara, apalagi denganmu yang baru dikenalnya. Tampaknya dia merasa nyaman dengan dirimu."

Kami kemudian sama-sama terdiam untuk beberapa lama. Sementara jam dinding sudah menunjukan pukul sembilan malam. Saat aku ingin pamit untuk meninggalkan tempat itu, Chantal berkata, "Lang, mengapa pertanyaan yang tadi siang tidak kau jawab ! Aku tahu siapa kau, kau bersikap ragu-ragu seperti itu pasti ada sesuatu. Bukankah benar, kau telah punya seseorang, dan karena tidak ingin menyakitiku, maka kau tidak menjawab pertanyaanku."

"Tidak ada yang perlu kusembunyikan, benar aku sedang dekat dengan seseorang. Tapi, aku juga belum berani mengungkapkan dan yakin dengan perasaanku. Aku malah merasa takut akan kedekatan kami, aku merasa orang yang dekat denganku selalu akan mengalami celaka, kau tahu beberapa minggu lalu aku baru saja kehilangan beberapa orang teman, dan benar atau tidak semua itu ada hubungannya denganku."

"Jadi kau juga menggantung hubunganmu dengannya ?"

"Benar, aku mungkin sebenarnya lelaki pengecut yang bersembunyi di balik topeng keberanian. Sementara biarlah seperti ini hubungan kami, sampai saatnya nanti, biar waktu yang akan memutuskan."

"Kalau boleh tahu, siapa dia ?"

"Kau mungkin kenal dengannya, kami baru kenal beberapa minggu yang lalu."

"Apa yang kau maksud itu Avi ?"

"Ya, tapi sepertinya, aku sendiri tidak yakin dalam hubungan ini."

"Aku sejak dulu tidak mengerti akan sikapmu yang tidak pernah yakin dalam suatu hubungan dengan wanita, sebenarnya apa yang membuatmu bersikap seperti itu, apa soal status. aku rasa tidak juga, kau masih muda dan punya prospek cerah di kepolisian, wajahmu tampan, tingkah laku dan sifat, tidak ada yang meragukan tindakan dan kebaikan hatimu ?"

"Aku sendiri tidak tahu apa masalahku."

Kami berdua terdiam untuk beberapa lama. "Sudah kita lupakan pembicaraan ini untuk sementara. Kamu beristirahatlah," kata Chantal, sambil beranjak bangkit.
"Chant," panggilku.

Chantal berbalik dan memandangku dengan tatapan penuh rasa kasih dan iba kepadaku, aku yang tadinya ingin mengucapkan sesuatu, mengurungkan niatku. "Tidak apa-apa Lang, semuanya akan baik-baik saja," katanya sambil meninggalkanku yang masih duduk diruang itu. Sementara aku sendiri tidak berdaya untuk menahannya agar tetap di sini.

@@@@@

Dentang jam di ruang tamu sudah berbunyi dua belas kali, tapi di dalam kamar aku masih belum bisa memejamkan mata. Walau kamar itu mempunyai pendingin udara, tapi hati dan pikiranku masih terasa panas.

Aku yang datang ke kota ini untuk mencoba menyelesaikan masalah, tidak menyangka akan terlibat lagi dengan masalah yang tidak kalah peliknya. Aku merasa sudah mengecewakan Chantal dengan pembicaraan tadi. Masih kulihat pancaran sinar matanya sama seperti terakhir dulu kami berpisah di hotel itu, sinar pengharapan.

Aku berpikir, kenapa aku bisa terlibat dalam pusaran perasaan ini. Tadi sebelum Chantal melangkah pergi, ingin aku mengatakan apa yang sebenarnya kurasakan. Tapi apa dia bisa menerima penjelasan dariku.

Setengah Jam kembali berlalu, aku beranjak ke kamar mandi, kemudian mengusur seluruh tubuhku dengan air dingin. Setelah merasa segar aku keluar dari kamar mandi, dan setelah memakai celana tanpa memakai baju, aku keluar dari kamar.

Aku menuju balkon, setelah mengambil minuman ringan di dalam lemari es. Aku melihat sekeliling tempat itu, kemudian memandang ke atas melihat bintang-bintang yang berkelip jauh di sana. Entah berapa lama aku termenung, hingga tidak sadar seseorang berdiri di sampingku.

Chantal, hanya dengan pakaian tidur yang tipis berdiri di sampingku. Untuk beberapa lama kami hanya diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Lang...," ucapnya lirih.

Aku menoleh ke arahnya tanpa menjawab, menunggu apa yang hendak di katakan selanjutnya.

"Kau masih ingat apa yang kita bicarakan waktu itu, saat kali kita betemu untuk terakhir kalinya. Awalnya aku berpikir, akhirnya kau mau merubah pikiranmu untuk pidah ke sini. Aku merasa mimpiku akan menjadi kenyataan, tapi aku serasa jatuh dari tempat yang tinggi, saat kau mengatakan yang sebenarnya. Tapi setelah aku kembali berpikir, akhirnya aku sadar, kau juga punya hak untuk menentukan pilihan. Aku hanya bisa mendukungmu, dan mengharap kau bahagia bersamanya."

Dia menghela nafas panjang, kemudian menatapku dengan mulut tersenyum. Tapi masih dapat kulihat di matanya, sinar kesedihan dan kekecewaan. Saat dia hendak masuk kembali ke dalam, kuhentikan langkahnya. Dia kembali berbalik menghadap ke arahku.

"Chan, apa kau juga ingat apa yang kukatakan tadi siang ? Aku masih Elang yang seperti dulu, tidak ada yang bisa merubah pikiranku, termasuk juga Avi. Bukan karena dia, maka aku pindah ke sini. Satu lagi, walau aku sudah beberapa hari di sini, tapi aku belum satu kalipun menghubunginya."

Chantal maju ke arahku, kemudian memelukku. "Entah apakah ada laki-laki lain yang sejujur kamu, Lang ? Entah kau akan memilih siapa di antara kami, aku akan tetap menganggapmu bagian dari hidupku. Andaikan aku harus berbagi kau dengan wanita yang lain, aku akan menerimanya, karena aku yakin kau adalah yang terbaik." Aku biarkan dia memeluk tubuhku, sementara tanpa sadar, tanganku mengelus kepalanya yang bersandar di dadaku.

@@@@@

Keesokan harinya, matahari pagi telah bersinar menembus masuk ke kamar, jendela kamar sudah terbuka, hingga udara segar menyelimuti kamar ini. Tidak lama kemudian pintu kamar di ketuk, Chantal masuk, tampak dia sudah mandi dan berpakaian rapi.

Harus diakui bahwa tubuh dan paras wanita ini sangat sempurna, layaknya bidadari yang menjelma jadi wanita yang cantik, anggun dan seksi. Seperti dalam salah satu iklan parfum yang di bintanginya. Jantungku berdecak kencang, kembali kebimbangan menyelimutiku. Avi atau Chantal yang sebenarnya kucintai, apa ini hanya efek sesaat, atau memang aku yang telah menjadi laki-laki plin-plan. Harus, aku harus memutuskan siapa yang menjadi pilihanku.

"Tadi ada telepon yang masuk ke ponselmu, aku tidak sempat mengangkatnya karena sudah terputus. Itu aku sengaja menaruh di sampingmu, siapa tahu ada telepon lagi untukmu," kata Chantal, membuyarkan lamunanku.

Kuambil dan kulihat ponselku, ada tiga panggilan tidak terjawab. Aku segera menghubungi balik nomer telepon itu, dari temanku yang memberi kabar tentang orang yang kemarin hampir mencelakai chantal dan Nathan. Dia mengatakan telah menangkap dua orang yang memakai sepeda motor seperti yang kujelaskan kemarin, dia tertangkap saat diadakan operasi dini hari tadi, dia ditangkap karena kedapatan membawa narkoba.

Setelah menutup telepon aku menceritakan hal itu pada Chantal, kujelaskan juga nanti aku akan menemui orang itu untuk megetahui secara pasti alasannya ingin mencelaki Nathan.

"Terima kasih, Lang," kata Chantal. "Aku sudah menyiapkan kopi di bawah, segeralah turun," ucapnya.

Saat aku turun, di ruang makan sudah ada Marischka. Dia tidak tampak terkejut melihatku bermalam di rumah kakaknya. Setelah menyapa Marischka, Mazel dan Nathan aku segera mengambil tempat duduk. Tidak banyak pembicaraan yang kami lakukan di meja makan itu. Setelah itu kami bergegas untuk melakukan aktifitas harian masing-masing.

Tapi saat aku hendak berangkat menuju Mapolda, Nathan dan Mazel merengek ingin di antar olehku. Setelah sampai mereka berdua turun, kini hanya aku dan Chantal yang ada di dalam mobil. Sesampainya di tempat dia bekerja, Chantal tidak segera turun. "Lang, ucapanku ini sudah terlalu sering kau dengar. Tapi demi anak, aku kembali akan mengatakannya padamu. Kalau kau mau dan kami berharap, kami ingin nanti sore atau setelah tugasmu selesai kau kembali ke rumah. Aku berkata bukan hanya untuk diriku, tapi juga anak-anakku yang tampaknya senang kau berada bersama kami. Ini bukan tuntutan, tapi hanya sekedar permohonan."

Sebelum aku sempat menjawab, Chantal sudah membuka pintu dan beranjak turun. Sebelum masuk ke dalam gedung, dia kembali melangkah kearahku, mencium pipiku dan kemudian melangkah cepat ke dalam, tidak memberikan kesempatan padaku untuk berbicara. Untunglah ada telepon yang masuk, yang membuatku kembali fokus ke pekerjaan. Setelah itu aku segera melaju ke arah Polda Metro.

@@@@@

Di Mapolda aku bertemu beberapa teman satu angkatan di Akpol, termasuk tentu saja Eka Frestya dan Dara Intan. Dengan ijin dari atasan, aku menemui orang itu dan menginterogasinya. Terungkap hal yang sebenarnya. Tiga hari berselang di satu jalan, dia menabrak seseorang dan orang itu meninggal. Saat itu Nathan dan dua orang temannya berada di tempat kejadian. Orang itu takut, kalau rahasianya di ketahui orang lain atau polisi. Untuk itu dia mencoba menakuti Nathan dan dua temannya.

Setelah urusan di Mapolda selesai, aku berrencana kembali ke tempat pameran untuk mencari Andi dan anak buahnya. Ketika sampai di tempat parkir, aku melihat Gavin sedang berbincang dengan Pak Bram di samping mobilnya. Ada keinginan untuk menemui mereka berdua, tapi aku merasa tidak ada alasan yang tepat untuk aku menemui mereka saat ini. Tidak lama kemudian dia meninggalkan tempat ini dengan iringan mobil jenazah di belakangnya.

Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, siapa yang berada di dalam mobil jenazah itu. Rasa penasaranku akhirnya terjawab, saat Pak Bram melihat dan memanggilku. Setelah saling menanyakan kabar dan berbicara soal tugas masing-masing, tiba-tiba Pak Bram berkata, "Aku benar-benar khawatir padanya !"

"Siapa Pak ?" tanyaku.

"Orang yang tadi berbicara denganku, yang tadi keluar dari sini dengan iringan mobil jenazah."

"Mengapa Pak Bram harus khawatir dengannya ?"

"Sebentar Lang, sebelum aku menjelaskan, aku punya satu permintaan padamu ! Jangan panggil aku Pak, bila tidak ada orang lain. Cukup panggil Mas, Ok !"

"Ta.. tapi Pak..."

"Tidak ada tapi-tapian, kalau kau tidak mau aku akan marah," kata Pak Bram dengan becanda.

"Baik Pak.., eh Mas," jawabku akhirnya.

"Kau tahu siapa yang tadi berbincang denganku ?"

"Mana saya tahu, Mas."

"Dia adikku. Benar, memang bukan adik kandung, tapi aku sudah menganggapnya demikian," ujarnya menjelaskan, setelah melihatku seakan tidak percaya ucapannya.

"Jadi yang di dalam mobil jenazah masih keluarga Mas Bram ?"

"Bukan, dia teman dari Om kami, tapi karena dia tidak punya keluarga, maka Adikku yang mengurusnya.

"Siapa namanya ?"

"Gavin !"

"Gavindra Aryasatya !" sebutku tanpa sadar.

"Benar, dari mana kau tahu itu namanya ?" tanya Mas Bram dengan heran.

"Aku pernah mendengar nama itu dari seseorang yang paling aku hormati setelah kakekku, Om Gian, namanya."

"Eh ! kau kenal Om Gian," kata Mas Bram makin heran.

"Ya, bukankah Gavin itu keponakan dari Om Gian, dan kalau Gavin adik Mas Bram, berarti Mas Bram juga keponakan Om Gian," kataku.

"Benar seperti itu, di mana kau bertemu Om Gian ?"

Aku lalu menjelaskan awal pertemuanku dengan Om Gian. Budi baik, dukungan, ajaran dan semua hal yang telah di lakukannya untukku, sampai terakhir kalinya pertemuanku dengannya kurang lebih satu-setengah bulan yang lalu.

"Satu-setengah bulan yang lalu, itu adalah waktu meninggalnya Om Gian."

"Apaaa...! Om Gian sudah meninggal !" teriakku, hingga membuat Mas Bram cukup kaget.

"Benar, dia sudah meninggal."

"Kapan, kenapa ?"

"Itu masih ada hubungannya dengan yang kukatakan tadi. Mari kita cari tempat yang nyaman buat ngobrol."

Kami lalu menuju kantin yang tidak jauh dari tempat itu. Sebelum bercerita dia memintaku untuk tidak menceritakan hal ini kepada rang lain. Setelah minum, Mas Bram diam sejenak, kemudian dia mulai bercerita. Mulai dari penemuan mayat di salah satu sudut kota Pekalongan, berlanjut dengan keinginan Gavin untuk mencari pelaku pembunuhan pamannya, kematian Om Anwar, sampai ke khawatiran Mas Bram kepada Gavin.

"Aku tahu Gavin cerdas dan sedikit banyak punya ilmu bela diri yang lumayan. Tapi dia masih muda, belum dewasa, kadang malah masih bersikap kekanakan. Dia masih suka bermain-main, hal itulah yang membuatku khawatir," ucap Mas Bram, mengakhiri ceritanya.

"Mengapa Mas Bram menceritakan hal ini padaku ?"

"Tampaknya kau sudah menduga kemana arah tujuan pembicaraan ini. Jadi aku juga akan langsung ke pokok masalahnya. Aku minta tolong kepadamu untuk mengawasi dan menjaga Gavin. Tentu bukan dalam arti seperti mejaga anak kecil. Mungkin kau merasa tidak ada gunanya melakukan hal ini, tapi bisa juga berguna untukmu, dengan informasi yang di milikinya. Dia punya banyak akses dan jaringan dari orang yang di kenalnya. juga bisa bekerja sama dengannya."

Aku diam mendengar semua penjelasan Mas Bram. Dalam hati aku berpikir, biasanya aku bertindak sendiri, kini harus ber partner dengan seseorang. Aku memang belum sempat bertemu dan berbicara dengan Gavin, tapi dari penuturan Mas Bram, sedikit banyak aku dapat menduga sifat dan kemampuan Gavin. Dan satu lagi yang membuatku harus mempertimbangkannya adalah Gavin keponakan Om Gian.

"Bagaimana, Lang ? tanya Mas Bram melihatku diam saja. "Kalau kau keberatan juga tidak apa-apa, katakan saja," lanjutnya.

"Bail, aku menyetujui usul Mas," jawabku , setelah berpikir kembali, apa salahnya aku mencoba.

"Terima kasih, Lang. Aku tahu kau bisa diandalkan," ucap Mas Bram.

Mas Bram lalu mengatakan akan secepatnya memngenalkan Gavin kepadaku. Setelah itu kami membicarakan hal-hal yang sedang terjadi saat ini dan masalah lainnya. Setelah selesai pembicaraan kami, aku segera meninggalkan tempat itu. Mas Bram sempat mengatakan di mana kantor, tempat tinggal, dan kemungkinan di mana saat ini Gavin berada.

@@@@@

Pada saat berhenti di sebuah persimpangan jalan, aku terkejut saat sebuah truk melaju dari arah utara menuju selatan, karena yang menjadi sopir truk itu adalah Andi. Tanpa membuang waktu, begitu lampu berwarna hijau, aku segera membelok ke kiri dan mengejarnya. Karena tertahan lampu merah, maka jarak antara mobilku dan mobil Andi terpisah jarak cukup jauh.

Mobil itu terus melaju ke arah luar kota, dan ternyata truk itu tidak hanya satu. Saat memasuki jalan yang menuju luar kota ada empat buah truk yang sama persis melaju di jalan itu. Melihat hal itu, aku jadi tidak tahu pasti, di truk yang mana, adanya Andi.

Di satu tempat mereka berbelok arah dan berhenti. Aku ikut berhenti, kemudian kudekati mereka. Tapi saat kulihat, ternyata tidak ada Andi diantara mereka. Aku berpikir, apa aku salah melihat. Saat aku sedang binggung ke empat buah truk itu bergerak kembali, aku jadi ragu, mengikuti mereka atau tidak. Aku bergegas masuk ke dalam mobil, saat melihat sebuah Land Cruiser melaju kearah yang sama dengan ke empat buah truk itu. Karena di dalam mobil itu kulihat wajah Xin dan Tito.

Baru saja aku melaju, tiba-tiba terdengar bunyi benturan yang keras dari arah depan. Duaaaks... tidak lama kembali terdengar Dueeers.....

Aku berusaha untuk merangsek kedepan, tapi hal itu sia-sia karena ada empat buah mobil besaryang menghalangi niatku, apalagi kemudian empat mobil itu seperti menggepung sebuah mobil Mercy berwarna metalik, dan berusaha menabrak mobil itu, dan 'astaga !!!' teriakku dalam hati, setelah aku ingat itu adalah miobil milik Gavin.

Dan aku terlambat saat mobil mercy itu berputar dan nyaris jatuh ke bawah karena berada di tepian jalan tol yang tinggi. Aku turun dari mobil berusaha lari untuk menolong Gavin yang masih berada di dalam mobil. Kukeluarkan senjataku dan berusaha untuk menghentikan mobil itu dengan menembakinya, tapi malah mobil lainnya yang berada di belakangku mengincarku, aku melompat menghindar, akibatnya mobil milikku hancur berantakan di terjang mobil itu.

Pada saat bersamaan mobil Gavin terlempar ke bawah, dari atas bibir jalan tol yang cukup dalam. Tanpa mempedulikan Andi yang ada di depan mataku, aku segera turun ke bawah dan berusaha menolong Gavin. Dia tidak bergerak, entah pingsan atau mati. aku segera menyeret tubuhnya menjauh dari mobilnya yang sudah terbakar. Dan benar dugaanku, tidak lama kemudian terdengar bunyi ledakan, hancur lebur mobil berharga milyaran itu.

Saat aku mencoba melihat ke atas, kulihat Andi memandang ke arahku dengan senyum Iblisnya. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk turun ke bawah. Aku sudah bersiap siaga menghadapi segala sesuatunya, saat terdengar bunyi suara sirene mendekat. Mendengar suara itu, Andi memerintahkan anak buah untuk membatalkan menyerang . Dalam sekejap, mereka sudah meninggalkan tempat itu. Sementara aku masih berusaha untuk menggendong Gavin, mencari jalan naik dari tempat itu.

Dengan susah payah, akhirnya aku bisa membawanya naik. Dan ambulance sudah siap di tempat itu. Gavin segera di periksa, dia masih masih hidup, tapi pingsan. Aku segera membawanya ke rumah sakit. Di dalam perjalanan, aku berpikir ada hubungan apakah, hingga Andi mau menghabisi Gavin. Disisi lain aku merasa punya tanggung jawab untuk menjaganya, karena janjiku kepada Om Gian.

To Be Conticrooot...
 
Chapter XXVII : Lets Do It

"Begitulah kisah hidupku, hingga aku sampai ke Jakarta dan bertemu denganmu," kata Elang, mengakhiri ceritanya dengan menghela nafas panjang.

"Sangat menarik dan penuh liku kehidupan, tampaknya hal itulah yang membentuk dirimu menjadi manusia yang kuat, keras, tegas dan dingin dalam menghadapi kerasnya hidup. walau kadang kau juga merasa rapuh dan lemah seperti ceritamu, tapi itu merupakan hal yang sangat manusiawi."

"Bagaimana dengan kau sendiri, Vin? Tentu hidupmu lebih mulus dari kehidupanku. Maukah kau sedikit bercerita tentang dirimu, walau sedikit banyak aku sudah tahu dari Ayah, Ibu dan Mas Bram. Tapi tentu ada cerita tentang dirimu yang tidak di ketahui oleh mereka."

"Baiklah aku akan menceritakan tentang diriku." Aku lalu bercerita tentang riwayat hidupku, mulai dari kecil, remaja, dewasa, bekerja sampai datangnya masalah tentang kematian Om Gian. Tentang penyelidikanku hingga aku sampai di celakai oleh mereka.

Setelah usai ceritaku, kami kemudian tenggelam dalam pikiran masing-masing untuk beberapa saat, "Vin, apa yang kau pikirkan sama seperti apa yang kupikirkan?" tanya Elang, memecahkan kediaman kami.

"Ya, aku pikir seperti itu, Lang. Kalau Andi atau Kui itu merupakan teman atau komplotan dari Xin dan Mow, maka kita mempunyai tujuan dan musuh yang sama. Yang jadi persoalan adalah, kalau menurutmu Kui itu anak buah Yudi, maka Xin dan Mow juga anak buah Yudi. Dan kalau benar dugaanku yang membunuh Om Gian adalah Xin dan Mow, maka mereka pasti di suruh oleh Yudi. Pertanyaannya adalah ada urusan dan hubungan apa antara Om Gian dengan Yudi."

"Itulah yang harus kita cari tahu, Vin. Kalau kita dapat menangkap Yudi, mungkin semuanya akan selesai. Tapi kemudian yang jadi persoalan, di mana adanya Yudi?"

"Apa kau punya foto Yudi? Mungkin aku pernah melihatnya atau mengenalnya!"

"Sayang sekali aku tidak membawanya, Vin. Nanti malam saat kembali dari kantor aku akan membawa berkas dan file tentang Yudi dan Andi."

"Baiklah, kalau begitu kita putuskan nanti malam kita akan bahas masalah ini sampai selesai. Aku juga akan mengambil laptopku yang berisi informasi yang telah berhasil aku kumpulkan dari berbagai sumber. Oh ya, Lang. Kamu tidak keberatankan seandainya kita membahas masalah ini bersama-sama orang lain, siapa tahu mereka masih punya informasi atau petunjuk yang belum kita ketahui?"

"Itu terserah kepadamu, Vin. Tapi kalau memang informasi mereka berguna untuk tugas kita, kenapa tidak!"

"Terima kasih, Lang. Aku akan segera menghubungi mereka. Kapan kau akan berangkat?"

"Sebentar lagi, ada apa?"

"Tidak apa-apa, siapa tahu kita bisa berangkat bersama. Tapi kalau kau mau berangkat sekarang tidak apa-apa, aku nanti menunggu Mbak Tika dan Mbak Rani."

Setelah pembicaraan selesai, Elang membersihkan diri, tidak lama kemudian diapun berangkat ke tempat tugasnya. Sementara sambil menunggu Mbak Tika dan Mbak Rani datang, aku mencatat apa yang baru saja selesai di ceritakan oleh Elang. Siapa tahu dalam ceritanya ada petunjuk yang bermanfaat.

@@@@@

Tidak lama kemudian Mbak Tika dan Mbak Rani datang, mereka datang dengan barang belanjaan cukup banyak. tampaknya mereka tahu bahwa akan di butuhkan banyak makanan untuk para tamu. Sementara mereka sibuk di dapur, aku pamit pada Mbak Tika dan Mbak Rani untuk keluar sebentar, karena ada yang perlu kulakukan. Mereka berpesan untuk hati-hati, karena aku baru saja sembuh. Senang sekali mengendarai mobil, setelah satu bulan lebih tidak melakukannya. Apa lagi ini juga untuk pertama kalinya mengendarai mobil milik Om Anwar, sebuah Super Cars, Porsche Carrera Gt.

Tanpa membuang waktu aku segera menuju apartemen milik Om Gian. Setelah mengambil semua yang kuperlukan aku segera meninggalkan tempat itu. Aku yang lama terkurung di Rumah Sakit, merasa ingin santai sejenak dengan jalan-jalan mengelilingi kota yang sudah lama tidak kunikmati. Saat berada di depan salah satu Resto dan Caffe, aku melihat Fariz masuk ke tempat itu. Yang membuatku terkejut dia masuk bersama seorang wanita, yang tidak sempat kulihat wajahnya. Selama ini dia selalu menyembunyikan pacarnya. Hal itulah yang membuatku penasaran ingin mengikuti dia.

Aku segera masuk ke dalam, yang aku ketahui Resto ini biasa di jadikan tempat kumpul kalangan jet set tanah air. Dan ternyata hal itu benar adanya, banyak orang terkemal yang jadi pengunjung di sore ini. Aku mencari tempat duduk sambil mataku mencoba melihat suasana sekitar, ternyata tidak ada bayangan Fariz di sekitar tempat itu. Mungkin dia berada di lantai atas Resto ini. Saat aku hendak melangkah ke atas, ada seseorang yang memanggil namaku. Aku menengok ke asal suara itu, seorang wanita di satu meja melambaikan tangannya, Mbak Venna. Kulihat di meja itu ada beberapa orang, yang ke semuanya adalah seleb wanita. Beberapa di antaranya sudah aku kenal, sebenarnya aku agak sungkan, tapi setelah kupikir apa salahnya sekedar say hello, aku dekati meja itu.

Selain Mbak Venna, ada Mbak Maudy, Mbak Sarah, Mbak Alya, Mbak Diah dan beberapa seleb wanita yang semuanya berusia di atas tiga puluh tahun. Setelah itu aku berkenalan dengan mereka semua, begitu juga sebaliknya. Mereka semua berkumpul karena sedang mengadakan arisan. Takut menggangu acara mereka, aku pun meninggalkan meja mereka walau mereka berkata tidak merasa terganggu dengan kehadiranku.

"Baiklah, nanti aku kembali ke meja ini kalau acara utama sudah selesai," kataku sambil meninggalkan meja mereka.

Aku naik ke lantai dua, tapi tetap saja tidak kutemukan Fariz. Apa aku salah melihat, pikirku dalam hati. Tidak enak hanya mondar-mandir naik turun, aku lalu duduk di salah satu meja dan memesan makanan. Mau turun ke tempat Mbak Venna dan lainnya juga sungkan. Saat sedang menunggu makanan ada seseorang yang menepuk pundakku sambil berkata, "Hallo ganteng, sombong nih, pura-pura tidak kenal !" Aku segera menengok ke asal suara itu. Seorang wanita berusia empat puluh tahunan, cantik, berkulit putih, tinggi dan berat badan sekitar 170 cm/ 58 kg. Berpenampilan anggun, menarik dan tampak berkelas. Aku ingat dia adalah teman dari Mbak Lula yang pernah kutemui waktu seminar di sebuah hotel. Tante Mala, istri pejabat tinggi salah satu perusahaan Plat merah.

"Tante Mala, apa kabar?"

"Baik, kirain lupa sama tante. Tadi melihat tante diam saja."

"Oh, maaf tante. Tadi saya tidak melihat tante."

"Tidak apa-apa, kamu sendiri bagaimana kabarnya? Tante dengar dari Lula kamu kecelakaan Vin? Maaf, tante tidak sempat nengok. Waktu di kabari Lula, Tante sudah di Belanda. Baru kembali tiga hari yang lalu."

"Tidak apa-apa, Tan. Ini juga sudah sehat. Tante sendirian atau bareng suami? Tidak enak kalau mengganggu acara keluarga." sambil mencoba melihat sekeliling.

"Tidak, tante sendirian. Lagi nunggu teman, biasa acara kumpul. Boleh Tante duduk di sini, dari pada duduk sendirian," kata Tante Mala.

"Dengan senang hati. Mana mungkin ada yang menolak di temanai bidadari," ujarku.

Pipi Tante Mala nampak merona merah mendengar ucapanku. "Bisa saja kamu, Vin," kata Tante Mala, sambil duduk. Setelah itu kami saling bercerita tentang masing-masing sambil makan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Tante Mala, mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil berkata lirih, "Vin, kamu ada janji bertemu dengan seseorang?"

"Tidak, memangnya kenapa, Tan?"

"Dari tadi tante lihat orang-orang yang duduk di meja no.6 itu terus melihat ke arahmu."

Mendengar hal itu, aku menjadi lebih waspada, setelah kejadian yang menimpaku. Di samping timbul rasa penasaran siapa orang yang di maksud Tante Mala. Tapi untuk menghindari kecurigaan mereka untuk sementara aku berpura-pura untuk tidak tahu. Dengan memanfaatkan ponsel, aku mencoba melihat siapa orang-orang yang di maksud Tante Mala. Akhirnya aku berhasil melihat siapa mereka. Lima orang, dua wanita dan tiga laki-laki. Aku berusaha mengingat siapa mereka, akhirnya aku dapat mengingatnya, baru satu orang yang pernah kutemui diantara mereka, yaitu wanita yang lebih tua dengan tampilan mewah. Dia tidak lain adalah wanita yang pernah kulihat di acara seminar waktu itu.

Kemudian dua orang lagi yang kukenali adalah dua orang yang lebih muda di antara mereka berlima. Dua orang itu memang belum pernah kutemui, tapi aku ingat, mereka adalah dua diantara lima orang yang pernah di tunjukan fotonya padaku oleh Om Dans, mereka anak buah Om Dans, yang di curigai terlibat dalam pembunuhan Om Gian dan Om Anwar. Mereka mempunyai Code Name ; Cobra dan Walet.
Sementara dua orang lagi, belum pernah kutemui maupun kulihat. Tapi di lihat dari wajahnya mereka tampaknya orang asing. Aku mencoba untuk bersikap normal seolah tidak tahu bahwa aku di perhatikan, "Tante mengenal wanita yang memakai baju biru itu?" tanyaku pada Tante Mala.

"Mengenal secara pribadi tidak, tapi Tante tahu dia salah satu istri pengusaha, yang punya pengaruh besar."

"Hanya itu yang Tante ketahui tentangnya?" tanyaku menyelidik.

"Eh, kenapa kau bertanya seperti itu, Vin? Tampaknya kau juga dengar kabar selentingan tentang dirinya ya? Atau ini ada hubungannya dengan pembicaraan kita waktu itu?" Tanpa menunggu jawaban dariku, Tante Mala melanjutkan ucapannya. "Yang tante dengar dari orang dekatnya dia punya bisnis barter barang apapun."

"Maksudnya barang apapun itu, apakah semua barang bisa ditukarkan kepadanya?"

"Ya, bukan hanya barang, jasa, bahkan nyawa juga bisa. Dia akan melakukan apapun asal harganya cocok."

"Hebat juga dia!"

"Tidak juga, masih ada beberapa orang yang lebih hebat di belakangnya. Dia hanya di jadikan pengalih perhatian, agar pihak berwajib tidak mencurigainya."

"Tante tahu, siapa yang berada di belakangnya?"

"Kau tahu atau pernah membaca sejarah jaman kekaisaran Tiongkok kuno? Dalam jaman itu Kaisar adalah orang paling berkuasa, kemudian ada Jenderal, Perdana Menteri, Panglima dan lain-lain. Nah, wanita itu kabarnya merupakan salah satu panglima dalam kelompok itu, dia biasa di panggil Xian di dalam kelompoknya. Sayangnya Tante hanya pernah mendengar nama-nama itu, tanpa tahu siapa orang-orang yang di maksud itu."

"Tapi tante lebih hebat karena bisa tahu tentang semua ini," ucapku.

"Inilah hasil rumpian dari ibu-ibu yang gak punya kerjaan," ujarnya dengan tersenyum.

Kami kemudian diam kembali sambil menikmati hidangan di depan kami. Dalam hati aku berpikir, tampaknya mereka mempunyai hubungan dengan Xin, Mow, Kui. Bukankah nama-nama itu juga penyebutan dalam bahasa Madarin untuk, Malaikat, Iblis dan Setan. Terus ada hubungan apa Agen ISF dengan kelompok Kaisar itu? Tampaknya kecurigaan Om Dans beralasan. Setelah temannya datang, aku meninggalkan tempat itu. Tante Mala berusaha mencegahku, tapi aku beralasan masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan dan dia mengijinkan aku meninggalkan tempat itu setelah berjanji akan menghubunginya nanti. Aku sempat melirik mereka saat berjalan keluar. Aku melupakan tujuanku ke tempat itu untuk mencari Fariz. Tiba di lantai bawah, aku di panggil oleh Mbak Venna. Setelah beberapa lama, aku kemudian pamit dengan alasan ada pekerjaan. Tapi sebelum pergi, mereka kompak mengundangku untuk datang ke suatu acara yang akan di adakan yang waktu dan tampatnya belum di tentukan. Agar cepat lepas dari situasi ini, aku langsung menyetujui permintaan mereka.

@@@@@

Cukup lama aku menunggu di dalam mobil, hingga kulihat mereka berlima keluar. Mereka meninggalkan tempat itu dengan menggunakan tiga mobil yang berbeda. Aku mengikuti mereka dari jarak cukup jauh. Hingga saat di persimpangan mereka saling memisahkan diri. Si Putri dengan Toyota Alphard bersama sopir dan pengawalnya membelok ke Barat. Dua orang agen ISF dengan Grand Vitara lurus ke Utara, dan dua orang asing lainnya dengan Civic ke arah Timur. Tanpa berpikir lama aku memutuskan untuk mengejar dua agen ISF.

Karena jalanan mulai padat, mereka tidak bisa melaju dengan cepat. Hingga aku dapat membayangi mereka dari jarak yang aman. Tapi ketika memasuki jalan yang lenggang mereka melaju dengan cepat. Aku terus membayangi mereka, semakin lama mereka melaju semakin cepat. Entah mereka tahu sedang di ikuti atau memang prosedur dari seorang agen ISF, perjalanan mereka berputar-putar, ada dua, tiga tempat yang di lalui lebih dari satu kali. Hingga tiba di suatu jalan tidak kuduga, ternyata mobil Alphard Si Putri telah berada di depan mereka, begitu juga mobil dua orang asing itu. Tidak lama ketiga mobil itu berjalan beriringan, hingga sampai di suatu rumah mewah dua lantai berpagar tinggi mereka masuk. Aku mencoba memutari rumah itu, sambil melihat keadaan sekeliling rumah itu. Hanya satu tempat yang memungkinkan untuk memasuki rumah itu selain dari depan. Di sebelah kiri rumah ada sebuah pohon besar, yang salah satu dahannya ada yang sedikit menjulur keluar.

Aku keluar dari mobil, kudekati bagian dinding yang ada dahan menjulur itu. Jalanan mulai sepi karena menjelang senja, saat aku hendak melompat ke atas, aku mendengar suara ribut di bagian dalam dinding. Seperti suara orang berkelahi, lalu terdengar suara tembakan. Saat itu tiba-tiba ada orang yang jatuh dari atas. Lalu terdengar teriakan "Kejaaar... kejaaar...!!!" Aku mencoba menangkap orang yang jatuh dari dinding itu. Akibatnya kami jatuh berdua, saat kurasakan empuk dan kenyal di bagian dadaku, barulah aku sadari dia wanita.

"Lari! pergi dari sini!" ucapnya cepat.

Aku sadar apa yang akan terjadi kalau kami tetap berada di sini. Aku cepat memapahnya menuju mobil, sementara kulihat ada beberapa mobil yang menuju ke arah kami. Begitu di dalam aku langsung tancap gas meninggalkan tempat itu, di ikuti beberapa buah mobil yang mengejar kami. Ketika mulai menjauh dari kejaran mereka, barulah kau berani melirik siapa wanita di sampingku, "Kau... Sonia!" teriakku saat tahu siapa dia. "Kau tidak apa-apa?" tanyaku, saat melihat dia memegangi lengannya.

"Tidak apa-apa, hanya luka kecil," jawabnya, dengan bahasa indonesia yang kaku.

"Kenapa kau bisa sampai berada di tempat itu?"

"Nanti saja ceritanya, lebih baik kau pikirkan orang-orang yang berada di belakang kita."

Benar juga, tampaknya mereka belum menyerah untuk mengejar dan serius ingin menangkap kami. Mereka semakin dekat, hanya dua buah mobil yang masih bisa membuntuti kami, sebuah Mitsubishi Lacer Evo merah dan Nissan GTR hitam. "Ooo.. shit," ucapku, sambil membanting kemudi ke arah kiri, saat menghindari mobil yang tiba-tiba muncul di depan. Kini aku harus menghindari mobil-mobil yang melaju baik yang searah maupun yang berlawanan. Lalu lintas Ibu Kota yang sedikit santai menjelang senja, tiba-tiba menjadi sedikit kacau dengan aksi kejar mengejar antara mobil kami. Salah seorang dari mereka mengeluarkan separuh badan dari mobilnya, tangannya menggengam Revolver. Dia mencoba membidik mobilku yang berwarna putih susu.

JDAR..JDER..JDAR..JDER..JDAR..JDER..!!!

Peluru meluncur keluar dari Hand Gun buatan Austria itu. Entah dari mana mendapatkannya, karena itu tidak di pakai di Indonesia. Aku yang tidak mau mobilku menjadi cacat, melakukan zig-zag untuk menghindari tembakan itu. "Sialan! Awas saja kalau sampai mereka merusak mobilku untuk kedua kalinya, aku akan meminta ganti berkali lipat."

Tampaknya aku harus membalas perbuatan mereka. Kucari waktu yang tepat, dan saat itu tiba dengan cepat kutarik tuas handbrake kemudian kubanting kemudi ke sebelah kiri. Membuat mobil terbanting ke kiri, berbelok tajam sembilan puluh derajat. Ban mobil menggesek aspal, dan berdecit akibat gesekan itu. Mereka kaget karena sebuah truk melaju dari arah depan, mencoba membanting kemudi tapi terlambat, truk sudah menghantam bagian belakang mobil mereka.

"Nice drift," kata wanita di sampingku.

"Keep calm, Senora," kupasang wajah tenang dan keren, "and look at behind us!"

Mobil yang mengejar tinggal satu, mereka kembali berakselerasi mengejar kami. Mereka kembali berusaha menembak kami. Dengan cepat aku meliuk menghindar, mobil kembali melaju di jalan yang semakin temaram, diiringi suara klakson dan bunyi ban yang mendecit dipaksa bekerja berkelok-kelok di atas aspal jalanan Ibu kota.

"Kau punya senjata untuk membalas serangan mereka," tanyaku.

"Tidak ada, senjataku tadi jatuh saat memanjat pohon," jawabnya.

"Bagus sekali, seorang agen rahasia hanya membawa satu senjata," ucapku.

"Sebetulnya ada satu lagi, tapi..."

"Tapi apa! Apa kau tidak bisa mengambilnya karena tanganmu luka, sini biar aku yang mengambilkan."

"Iya sebentar, tapi jangan melihat ke arah sini dulu!"

"Ken...a.." Aku jadi melonggo dan hampir saja celaka andai dia tidak berteriak memperingatkan.

"Lihat depan, Tuan yang nakal!!!"

Dan aku harus kembali membanting kemudi, mobil kembali berkelok kilat ke kiri, tubuh sintalnya terhuyung menubruk tubuhku di kursi kemudi. Aku dorong kembali tubuhnya yang wangi dan mengganggu konsentrasiku.

"Kau tidak apa-apa?" tanyaku.

"Yeah, terima kasih," ucapnya sambil membetulkan pakaiannya yang terbuka di bagian dada saat mengambil Derringers ( pistol kecil ) yang kini di genggamnya.

Dia melongokkan kepalanya, mencoba membidik mobil yang kini berjarak kira-kira tiga mobil di belakang kami. Mobil kami melaju ke kawasan perkantoran, lalu lintas kota semakin padat, karena aktifitas pulang kerja.

"Shit," Umpatku saat melihat antrian mobil di depan kami. Kuputar kemudi ke kiri, menuju jalan yang lebih lega, dan jalanan itu ternyata jalan satu arah. Dengan arah yang berlawanan dengan laju Porsche Carrera.

Mobil buatan jerman ini berayun lincah melawan arus lalu lintas, sementara GTR masih mengikuti sama lincahnya dari belakang. Sonia mencoba membidik pengejar kami, namun luka di lengannya, mengurangi akurasi tembakan yang di lepaskannya. Lalu lintas semakin kacau, sebagian pengemudi mobil memilih menepi lebih dulu. Ada juga yang memilih berlari kalang kabut dan meninggalkan mobilnya begitu saja.

"Tembak bannya," ucapku.

"Iya aku tahu, tapi sulit dalam jarak ini," jawabnya.

"Polisi, kita dapat bantuan," ucapku saat mendengar sirine polisi mendekat.

"Aku tidak mau berurusan dengan Polisi, hindari mereka."

"Hentikan mobil kalian," suara polisi menggunakan pengeras suara dari dalam mobil. Mendengar peringatannya di acuhkan, mobil polisi itu mengejar kami yang telah melanggar lalu lintas, juga telah membuat kekacauan dan membahayakan masyarakat.

"Tidak jauh lagi ada pertigaan, aku akan berhenti beberapa detik, kau harus memanfaatkan situasi itu."

Laju mobil tiba di pertigaan tepat di depan sekolah Setia Budi. Kubanting kemudi dan menarik tuas rem, membuat mobilku berayun dan berhenti di tengah pertigaan. Sonia segera membidik ban mobil BMW pengejar. Mobil mereka pun berayun tak terkendali setelah bannya terkena tembakan Sonia.

Aku yang tidak mau mobil mereka yang hilang kendali itu menghantam mobil kesayangaku segera menginjak pedal gas dan melepas tuas rem. Mobil kami melaju mulus, sementara sedan yang mengejar kami terayun dan menghantam pagar sekolah. Salah seorang dari mereka terlontar keluar dari jendela mobil. Kulihat Polisi sudah tidak melakukan pengejaran terhadap kami lagi. Setelah yakin aman, aku membawa mobilku menuju Aparteman Om Anwar yang tidak jauh dari tempat itu.

@@@@@

"Kau mau membawaku kemana?" tanya Sonia saat aku menghentikan mobil di basement apartemen.

"Ke tempatku."

"Kenapa membawaku ke tempat ini, apa yang akan kau perbuat?"

"Memangnya aku mau berbuat apa?"

"Awas kalau macam-macam!"

"Dasar wanita!"

"Apa kau bilang!"

"Tidak apa-apa. Aku hanya bermaksud menolongmu, tapi sikapmu kenapa seperti itu!"

"Aku ini wanita, jadi harus hati-hati kepada lelaki. Apa lagi lelaki semacammu!"

"Memangnya aku lelaki macam apa?" dan aku hanya terbengong, tidak mengerti.

To Be Conticroot...

* Untuk yang sedikit bingung dengan tokoh yang muncul di chapter ini, mungkin perlu membaca chapter 17 dan 18 :ampun:
 
Bimabet
Chapter XXVIII : Meeting and Foursome

"Apa perlu aku katakan ? Kau ini perayu wanita, sudah berapa wanita jatuh karena mulut manismu itu."

Aku terdiam mendengar perkataannya. Tapi karena tidak mau kalah aku pun berkata padanya, "Aku merasa tersanjung karenanya."

"Kenapa ?" tanya Sonia heran.

"Ya, tersanjung karena diperhatikan oleh wanita secantik kamu. Kalau kau tidak perhatian, buat apa kau mencari tahu tentang diriku. Sampai berapa wanita yang pernah kukencani, kau juga tahu."

"Dasar tidak tahu malu," ucapnya.

"Baiklah, kita lupakan masalah itu. Sepertinya kita mempunyai masalah dan tujuan yang sama. Mungkin kita belum bisa menjadi teman, tapi mungkin kita bisa bekerja sama dalam masalah ini," kataku.

"Baiklah, kita lihat dulu. Masalah bekerja sama bisa kita putuskan nanti."

Setelah itu kami segera naik, menuju lantai di mana apartemenku berada.

"Aku masih heran dengan dirimu!"

"Apa yang kau herankan?"

"Orang sepertimu di jadikan Agen Rahasia. Kadang-kadang aku berpikir, Om Dans mungkin sudah pikun. Jadi dia menjadikanmu Agen Rahasia."

"Apakah aku ini benar-benar tidak layak jadi Agen Rahasia?" tanyaku, mencoba ingin tahu argumen dari Sonia.

"Dari penampilan luar, kau sudah sangat layak. Bela diri juga lumayan, kalau soal menembak aku belum pernah melihat kemampuanmu. Tapi yang jadi persoalan adalah sifatmu, kau terlalu flamboyan. James Bond pun mungkin kalah flamboyan darimu. Tapi justru itulah yang jadi kelemahanmu. Kau seolah menganggap Agen rahasia itu suatu permainan."

"Jadi seperti itu menurutmu, ada lagi yang ingin kau katakan?"

"Ya, satu lagi. Sampai saat ini aku belum percaya bahwa kau adalah keponakan Om Gian."

"Kau pernah bertemu Om Gian!" kataku.

"Ya, beberapa kali, tapi sudah lama. Terakhir kali bertemu sekitar sepuluh tahun yang lalu. Walau sudah lama, tapi aku masih ingat wajah dan kepribadiannya. Dia tidak setampan kau, tapi menurutku dialah Agen Rahasia terbaik yang pernah kutemui. Dan hal itu berkebalikan denganmu."

"Sepuluh tahun yang lalu! Kau sudah tahu Om Gian seorang Agen Rahasia?"

"Bukan sejak itu, bahkan jauh sebelum aku bertemu dengannya aku sudah tahu." katanya berteka-teki.

Aku yang penasaran dengan apa yang di ucapkannya, berusaha untuk mendesaknya. Tapi hal itu tidak dapat kulakukan, karena kami sudah sampai di depan pintu Apartement.

@@@@@

"Siapa, Vin?" tanya Mbak Tika saat melihatku datang bersama Sonia.

Aku menjelaskan apa yang terjadi, kemudian minta tolong sama Mbak dan Mbak Rani untuk memeriksa tangannya. Sementara menunggu Elang dan yang lainnya yang belum datang, aku mandi. Kemudian menghubungi Mas Bram untuk menceritakan tentang hal yang baru saja terjadi, siapa tahu dia bisa mendapatkan info dari orang-orang tadi.

Setelah itu aku menghubungi Elang dan yang lainnya. Kemudian mengecek data apa saja yang kami perlukan sebentar lagi. Sementara kulihat Mbak Tika, Mbak Rani dan Sonia tampak berbincang dengan akrabnya, seolah mereka sudah kenal lama. Beberapa kali mereka tertawa bersama, entah apa yang mereka bicarakan.

Jam delapan malam, Mas Bram datang bersama Mbak Rara. Disusul Mbak Ina, kemudian Dion dan Fariz yang juga aku undang, dan terakhir Elang. Dia membawa beberapa dokumen yang mungkin berguna. Selesai makan malam bersama, kami berkumpul di ruang tamu. Sebenarnya ada beberapa orang yang kuharapkan hadir. Tapi mungkin mereka tidak bisa datang.

Setelah sedikit berbasa-basi sebagai pembukaan, aku langsung menjelaskan pokok pertemuan ini. "Pertama kita harus mengenali siapa-siapa orang yang menjadi target dari masalah ini. Mungkin ada yang kenal atau paling tidak tahu dengan orang-orang yang ada di dalam foto-foto ini," kataku sambil menyerahkan delapan set foto kepada masing-masing orang :

1. Foto 3 orang yang di berikan Om Anwar.
2. Foto Mow, Sony, Tito dan relasinya.
3. Foto yang berada di dalam Note Om Gian.
4. Foto 5 Agent ISF.
5. Foto-foto Nirwan dan teman-temannya.
6. Foto Kui atau Andi, Yudi dan relasinya.
7. Foto Xian dan relasinya.
8. Foto-foto yang di berikan oleh Sonia.

Untuk beberapa lama suasana sepi, karena mereka semua sedang melihat-lihat foto itu. "Ada yang sudah mengenali orang-orang dalam foto itu?" tanyaku kepada sembilan orang yang ada di depanku. "Kita mulai dari Mbak Rani, silahkan Mbak!" kataku kepada Mbak Rani yang kebetulan duduk tepat di sebelah kananku.

Mbak Rani lalu mulai menjelaskan hal-hal yang di ketahuinya dari foto-foto itu. Foto yang pertama, dia tidak tahu sama sekali. Foto kedua dia hanya kenal dengan Sony, sedang yang lain tidak tahu. Foto ketiga dan ke empat Mbak Rani sama sekali tidak tahu.

Foto ke lima dia tahu dengan detail, karena dia juga ikut foto saat itu. Mbak Rani lalu bercerita, itu foto 10 tahun yang lalu saat acara wisuda. Dia kenal dengan Nirwan sejak di smu, sementara kenal Sony dan Hendra ( suami Mbak Tika ) karena mereka teman Nirwan. Nirwan pemuda yang pemalu dan baik. Tapi entah kenapa bisa akrab dengan pemuda yang nakal seperti Sony. Kedekatan Mbak Rani dengannya bertambah karena saat itu Nirwan minta tolong di kenalkan dengan teman Mbak Rani. Usaha Mbak Rani berhasil, mereka menjadi sepasang kekasih. Tapi pada saat liburan pulang ke Indonesia, Nirwan menghilang dan sampai sekarang tidak diketahui di mana keberadaannya .

"Apa sekarang kekasih Nirwan masih hidup, siapa dan di mana dia sekarang?" tanyaku.

"Namanya Reni, dia sudah meninggal, dan mungkin jodoh, Reni meninggal di daerah di mana Nirwan menghilang," jawabnya.

"Kapan dan di mana kejadiannya, Mbak?" tanya Elang, yang tampaknya tertarik dengan cerita Mbak Rani.

"Dua tahun yang lalu, di sekitar Gunung Lawu, Nirwan juga mennghilang saat pendakian ke puncak Lawu!"

"Reni, Gunung Lawu, dua tahun lalu!!!" Elang menggumam lirih dan berulang sambil mencari sesuatu dari Map yang tadi dibawanya. "Apa dia ini yang namanya Reni?" tanya Elang sambil menyerahkan sebuah foto.

"Benar...!"

Kemudian Elang juga mengeluarkan foto laki-laki, "Bagaimana dengan ini Mbak?"

"Ini Frans, dia temanku dan Nirwan, dia orang yang paling dekat dengan Nirwan waktu SMU," terang Mbak Rani. Sementara Elang tampak membuat catatan pada buku yang ada di depannya.

"Ada lagi yang akan kau tanyakan, Lang? Kalau tidak ada silahkan Mbak Rani melanjutkan, jika masih ada yang ingin Mbak katakan!"

"Untuk sementara cukup, nanti kalau ada yang terlewati, Mbak akan beritahu!"

Setelah diam beberapa saat, aku lalu melanjutkan pembicaraan. "Sekarang giliran Mbak Tika, mungkin Mbak mengetahui sesuatu hal yang tidak kami ketahui atau sekedar menambahkan sesuatu info yang berguna?" tanyaku, memandang ke arah Mbak Tika yang duduk di sebelah Mbak Rani.

"Mbak mungkin sama sekali tidak tahu tentang semua ini, tapi Mbak ingin sedikit mengatakan sesuatu, entah berguna atau tidak. Mbak pernah bertemu sekali dengan Nirwan dan bertemu dua kali dengan Frans dan Reni!"

"Mbak pernah bertemu dengan mereka, kapan?"

"Pertama kali bertemu mereka sepuluh tahun yang lalu, saat itu mereka singgah di tempat Mbak, bersama Mas Pras. Mereka berencana naik ke puncak Lawu, sebenarnya Mas Pras mengajakku, tapi aku tidak bisa ikut. Yang kedua sekitar dua tahun yang lalu, Frans dan Reni mampir ke tempat kami. Tapi saat itu hanya singgah sebentar, karena Mas Pras buru-buru mau berangkat ke luar negeri, ada urusan bisnis."

Kami semua jadi terdiam karena masalah yang semakin berkembang dan berkaitan di luar dugaanku maupun Elang.
"Kita semua di sini sepertinya memang sudah di takdirkan untuk bertemu. Mau tidak mau ternyata kita semua ada saling keterkaitan. Sebelum kita lanjutkan, apa ada yang ingin di kau tanyakan, Lang?"

Setelah melihat Elang menggeleng, maka aku mempersilahkan kepada Mbak Ina untuk memberikan informasi yang di ketahuinya. Mbak Ina lalu bercerita, dia pernah bertemu beberapa kali dengan Xin, Yudi dan Hendra, sementara itu dia juga pernah bertemu sekali dengan dua orang India yang menurut Sonia bernama Rajs dan Singh.

"Mas Hendra dan Yudi datang bersama!" kataku sedikit kaget dengan hal ini. Kulihat Elang dan Mbak Tika juga tampak terkejut mendengarnya.

"Kalau Sony dan Hendra saling bertemu wajar, karena mereka satu Universitas. Tapi mengapa Yudi bisa berkumpul dengan mereka."

"Apa Hendra asli Solo, Mbak?" tanya Elang kepada Mbak Tika. Tanpa bersuara, Mbak Tika menganggukan kepalanya. "Kalau Sony, Mbak?" Elang mengalihkan pertanyaannya pada Mbak Ina.

"Dia asli dan besar di Jakarta. Tapi kalau tidak salah waktu SMU dia bersekolah di Solo."

"Fakta-fakta yang semakin menarik," kata Elang sambil kembali menuliskan sesuatu di catatannya.

Setelah Mbak Ina maka sekarng gilirannya Sonia, "Aku tidak tahu kau ada urusannya dengan ini atau tidak. Tapi siapa tahu kau mau membagi informasi yang kau punyai dan sebaliknya mungkin kami bisa memberikan bantuan kepadamu," ucapku kepada Sonia.

Dia memandangku sebentar, setelah diam sejenak dia berkata, "Baik, mungkin kita bisa saling berbagi informasi. Salah satu di antara dua orang ini biasa di panggil, Pangeran kecil," kata Sonia sambil menunjuk foto pertama.

"Siapa yang di panggil Pangeran kecil, yang di tengah apa yang di sebelah kiri?" tanyaku.

"Belum ada yang tahu, entah yang mana Pangeran kecil dan yang mana pengawalnya! mereka selalu muncul berdua. Dia yang membawahi wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan!"

"Bisa kau beri penjelasan siapa mereka ini?" tanyaku.

"Memangnya Om Dans belum mengatakan tentang mereka kepadamu?" ucapnya dengan ekspresi tidak percaya.

"Belum!"

"Bagus sekali!" katanya, sambil menghela nafas panjang.

Setelah diam sesaat, Sonia kemudian mulai bercerita. Di Dunia ini banyak kelompok penjahat. Salah satu yang terbesar adalah Kelompok Gerbang Naga, mereka berpusat di China. Dan di ketuai oleh seorang yang mengaku dirinya seorang Kaisar. Di setiap wilayah ada seorang yang di sebut Pangeran yang memimpin, dan di bawahnya lagi ada seorang Jenderal yang membawahi satu negara. Dia salah seorang di antara Pangeran, yang membawahi wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan. Seorang Pangeran membawahi beberapa Jenderal yang berada di setiap negara. Dan Rajh, yang pernah di temui Mbak Ina merupakan, seorang Jenderal yang menguasai wilayah India. Tujuan Sonia datang ke Indonesia juga sedang dalam tugas untuk mencari keberadaan Rajh, yang di kabarkan saat ini berada di Indonesia.

"Jadi, dia berada di rumah itu?"

"Belum pasti, karena itu aku mencoba masuk ke rumah itu. Yang aku ketahui, orang-orangnya sering keluar-masuk ke rumah itu."

"Ok, nanti kita bahas dan cari kesimpulan apa yang telah kita bicarakan. Sebaiknya kita rehat sejenak untuk merefresh pikiran," kataku.

@@@@@

Jam dua belas sudah lewat beberapa menit yang lalu. Kami berenam masih tetap berada di ruang tamu. Sementara Mbak Tika, Mbak Rani, Mbak Ina dan Mbak Rara sudah beristirahat di kamar, setelah menyediakan makanan dan minuman untuk kami. Sonia sudah kupersilahkan untuk ikut beristirahat, tapi dia menolaknya dan tetap ikut berdiskusi dengan Aku, Elang, Dion, Fariz dan Mas Bram.

Sebelum membuat kesimpulan. Kami mencoba untuk membuat runutan peristiwa mulai dari awal yang berhasil kami kumpulkan :
1. Oktober 2002 : Kematian Narendra Wijaya, Samuel Joseph.
2. November 2002 : Pembagian hadiah dari tugas Om Gian dan kawan-kawan.
3. 30 Desember 2002 : Nirwan, Hendra, Frans, Reni menuju ke Solo.
4. 1 Januari 2003 : Rahman ( Anak kandung dari Kakek Elang ) dan keluarganya liburan ke Tawangmangu.
5. 2 Januari 2003 : A. Nirwan dinyatakan hilang saat pendakian ke Puncak Lawu. B. Yang berada di rombongan Nirwan saat itu : Nirwan, Hendra, Sony, Frans, Simon, Tito, Reni, x, x, x. C. Petugas kepolisian yang memimpin pencarian adalah Akp Yudi.
6. 3 - 4 Januari 2003 : Melakukan Interogasi kepada anggota pendaki yang selamat. Pada hari yang sama, Rahman datang menemui Akp Yudi.
7. 12 Januari 2003 : Rahman beserta anak dan istrinya meninggal karena kecelakaan, akibat rem mobilnya mengalami gangguan.
8. 22 Januari 2003 : Pencarian terhadap Nirwan dihentikan dan dinyatakan meninggal.
9. 23 Maret 2011 : Frans dan Reni meninggal, Hendra dan Sony keluar Negeri.
10. 24 Maret 2011 : Simon tewas, Yudi dan Andi menghilang.

Dari semua data itu kami mengambil kesimpulan :
1. Nirwan dihabisi karena hartanya.
2. Yudi, Hendra, Sony, Tito adalah pelakunya.
3. Simon, Reni, Frans dan Rahman sekeluarga dihabisi karena sepertinya tahu masalah tersebut.
4. Om Gian dan Om Anwar sepertinya mencurigai mereka.
5. Yudi cs berkomplot dengan sindikat Internasional.
6. Pimpinan diantara mereka adalah Yudi atau Sony. Untuk dapat menyelesaikan masalah ini, hal yang harus kami lakukan adalah menemukan dan menangkap Yudi atau Sony.

Setelah merencanakan apa saja yang akan kami lakukan untuk menghadapi mereka maka aku menutup pertemuan kami. Waktu sudah pukul Tiga pagi saat kami bangkit dari tempat duduk. Dion dan Fariz memutuskan untuk pulang tidak lama setelah itu.

Sonia memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil menunggu pagi, dia masuk ke kamar yang di tempati Mbak Tika dan Mbak Rani. Sementara aku, Elang dan Mas Bram masih berbincang masalah lain. Tidak lama Mas Bram memutuskan untuk beristirahat juga, karena besok dia masuk kantor pagi-pagi.

@@@@@

Sebelum jam Enam, Mas Bram mengantar Mbak Rara pulang, sekalian berangkat kerja. Karena hari ini aku harus mengantar Mbak Tika, Mbak Ina, Mbak Rani dan juga Sonia, Maka aku meminta Mas Bram untuk memakai mobilku dan aku memakai mobilnya.

Jam Tujuh, aku jadi sopir bagi Sonia, Mbak Tika, Mbak Rani dan Mbak Ina. Saat sampai di hotel tempat dia menginap dan hendak turun dari mobil Sonia menatapku sejenak, mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi dia membatalkannya sesaat setelah melihat ke arah tempat duduk belakang.

"Terima kasih," ucapnya. Kemudian keluar dari mobil dan segera lenyap di dalam hotel.

"Vin, sepertinya Sonia ingin berbicara denganmu!" kata Mbak Tika dan Mbak Rani berbarengan.

"Mengapa dia tidak mengatakannya?" tanyaku, dengan santainya.

"Kau ini bodoh atau pura-pura bodoh!" kata Mbak Tika sambil menjewer telingaku.

"Sudah, kejar dia!" ujar Mbak Rani menimpali.

"Ada tiga wanita cantik dan sexy di sini, mengapa aku harus mengejar dia!" kataku tersenyum mesum.

"Bocah tengil ini memang pandai merayu, kalau di depan Sonia aku yakin dia pasti akan mengatakan sebaliknya!" kata Mbak Tika.

"Bukan begitu Mbak, hari ini Mbak mau pulang ke Pekalongan, entah kapan bisa bertemu lagi. Jadi hari ini aku akan menemani Mbak Tika sampai pulang nanti. Kalau dengan Sonia, aku bisa berbicara dengannya nanti."

"Benar kamu mau menemani Mbak seharian?"

"Kapan aku pernah membohongi Mbak!"

"Apa kalian mau ikut?" tanya Mbak Tika, melihat ke arah Mbak Rani dan Mbak Ina.

"Apa tidak akan mengganggu kalian?" tanya Mbak Ina dan Mbak Rani serentak.

"Tidak perlu sungkan atau malu-malu. Sebelumnya aku mau berkata, aku kenal Gavin sejak dia kecil hingga tahu semua tentangnya. Aku tahu dia suka bercinta, dengan banyak wanita. Tapi selama itu membuat dia bahagia, aku tidak akan melarangnya. Aku juga tidak akan cemburu, karena aku tahu pasti bahwa dia tidak akan mengecewakan siapapun. Intinya Gavin adalah milik kita bersama, dan kita cukup saling mengerti saja," ujar Mbak Tika panjang lebar, yang membuatku tersanjung sekaligus terharu atas rasa sayang Mbak Tika yang begitu besarnya.

"Mbak mungkin belum selama Tika mengenalmu, tapi Mbak setuju dengan pendapatnya," lanjut Mbak Ina.

"Baik aku ikut, kebetulan aku juga ada waktu luang hari ini," Mbak Rani ikut menyetujui.

"Kemana kita Mbak?" tanyaku, memandang Mbak Tika.

Mbak Tika tidak menjawab, dia turun dari mobil kemudian pindah duduk di depan di sebelahku. Dia tersenyum kemudian berbisik di telingaku. Aku melihat ke arahnya untuk memastikan. Tapi setelah melihat Mbak Tika meggangguk, aku segera menuju tempat yang di katakan Mbak Tika.

@@@@@

Mbak Tika memintaku membawa kami ke Apartement milik Om Gian. Setelah sampai di dalam apartement Mbak Tika langsung menarikku ke arah kamar dan mendorongku duduk di ranjang dan belum sempat sadar apa yang akan di lakukannya, tiba-tiba Mbak Tika sudah duduk di atas pangkuanku.

"Seperti perkataanmu tadi, nanti sore Mbak akan pulang dan tidak tahu kapan kita akan bertemu lagi. Jadi Mbak minta hadiah perpisahan darimu," kata Mbak Tika.

Aku sempat memutar otak dengan keadaan ini dan bertanya dalam hati, bagaimana tanggapan Mbak Rani dan Mbak Ina terhadap kelakuan Mbak Tika. Kulihat mereka tampak jengah dan mukanya memerah, tapi dengan mata tetap melihat ke arah kami. Tampaknya mereka belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya.

"Vin, buktikan omongan kamu tadi," pinta Mbak Tika sambil menempelkan dadanya ke wajahku. Aroma parfumnya yang begitu membangkitkan gairah, mengusik adik kecilku yang menghentak-hentak di dalam celana.

"Mbak..!" belum sempat aku selesaikan ucapanku, bibir Mbak Tika yang tipis segera melumat bibirku. Aku sedikit gugup menerima serangan yang mendadak ini. Tetapi aku berusaha mengontrol keadaan. Disaat bibir Mbak Tika sedang asyik menikmati bibirku, tanganku yang nakal mulai mengelus punggung wanita yang ada di pangkuanku.

Dengan kemahiran gigiku, aku melepas kancing blus belahan rendah yang ada pada dada Mbak Tika. Sampai akhirnya 4 kancing atas blus Mbak Tika terbuka, dan mulailah aku bisa menguasai keadaan. Dengan belaian yang halus dan penuh perasaan, jari-jemariku mulai membuka pengait kancing BH Mbak Tika.

Dengan sedikit sentuhan, 'tess' Bra Mbak Tika yang berwarna hitam terbuka. Dan muncullah 2 bukit yang masih kencang dan berwarna putih di depan mukaku lengkap dengan sepasang puntingnya yang memerah. Aku bisa membaca apa yang sedang terjadi pada diri Mbak Tika, dengan jilatan maut lidahku membuatnya merintih, "Ughhh, geli sayang!"

Jilatan lidahku yang mendarat di puting Mbak Tika, membuat wanita itu menggeliat tidak beraturan. Karena Mbak Tika menggunakan rok mini, hal itu memudahkan tanganku menjelajah pahanya yang putih mulus. Sesekali tubuhnya yang sintal bergoyang dipangkuanku dan sekitar 10 menit aku di posisi itu, semua inderaku bekerja sesuai fungsi masing-masing.

Tadi saat aku sedang melakukan foreplay, Mbak Rani dan Mbak Ina masih duduk dengan tenang di tempatnya. Akan tetapi sekarang mereka berdua nampak gelisah, sesekali mereka tampak menggigit bibir masing-masing. Kedua kaki Mbak Rani dibuka lebar sedangkan tangannya meremas buah dadanya sendiri. Sementara Mbak Ina saling merapatkan kedua kakinya seolah menahan sesuatu.

"Mmh..." sesekali Mbak Rani dan Mbak Ina merintih, mendesah melihat adegan antara Mbak Tika dan aku.

Setelah 15 menit, aku mencoba menyandarkan tubuh Mbak Tika ke dinding kamar. Posisi ini sangat menguntungkan aku untuk mulai menikmati setiap centi tubuh Mbak Tika. Aku lumat bibir Mbak Tika, kemudian turun ke lehernya dan berlanjut ke buah dadanya yang jumbo. Setelah itu aku menjongkokkan tubuhku untuk menjilati pusar Mbak Tika.

"Akhhh... Vin, teruskan sayang... Ughhh!" lidahku mulai nakal menjelajahi perut Mbak Tika. Sampai akhirnya aku mencium aroma bunga di lubang surga Mbak Tika. Tanpa melepas celana dalam yang dipakainya, aku segera memainkan lidahku di atas kemaluannya. Dan bersamaan dengan itu kepala Mbak Tika menggeleng kekanan-kekiri. Dengan sentuhan perlahan, kutarik celana dalam Mbak Tika, karena posisinya berdiri sangat mudah sekali melepas celana dalam warna hitam berenda yang dikenakannya.

Tanganku berusaha membuka kedua kaki Mbak Tika yang masih menggunakan sepatu hak tingginya. Sehingga memudahkan lidahku untuk bermain-main di lubang kewanitaannya.

"Srupp... Srupp, crek.. Crek!" lidahku mulai menghujam vagina Mbak Tika.

"Vin, kamu memang hebat.. Geli sekali.. Ooohhh...!" Mbak Tika merintih panjang saat lidahku mulai, mengulum, menjilat dan menghisap clitorisnya yang sudah mulai membesar dan berwarna merah.

Tidak lama kemudian aku mulai merasakan sesuatu akan meletup dalam diri Mbak Tika. Dengan segala pengetahuanku dalam ilmu bercinta, aku angkat satu kaki Mbak Tika ke atas pangkuan pundakku sehingga lidahku bisa lebih leluasa menikmati cairan yang mulai meleleh di lubang surgawinya.

Dengan posisi berdiri kaki satu, aku semakin mempercepat jilatan lidahku, sampai akhirnya Mbak Tika tidak kuasa membendung orgasmenya.
"Vin, Mbak keluar... Aakkhh...!" bersamaan dengan itu pula cairan kental muncrat ke wajahku.

Di saat aku masih menikmati cairan kewanitaan Mbak Tika, tiba-tiba dari belakang Mbak Rani mengangkatku sambil berkata, "Vin, sekarang giliran Mbak!"

Kulihat Mbak Rani tidak lagi menggunakan celana dalam yang tadi dikenakannya. Rupanya Mbak Rani dari awal sudah memainkan jarinya di atas clitorisnya sambil menonton adegan antara aku dengan Mbak Tika. Mbak Rani membungkukkan badannya ke bibir meja, sehingga belahan merah pada selangkangannya terlihat jelas dari belakang. Bagaikan musafir di padang pasir yang melihat air, lidahku langsung menari-nari di lubang kemaluan Mbak Rani.

"Vin, enakh sekali sayangh... Akhhh...!" Mbak Rani merintih.

Dengan posisiku duduk di lantai menghadap selangkangan Mbak Rani, yang membuka lebar pahanya. Memudahkan aku beroperasi secara maksimal untuk menekan lidahku lebih dalam, sedangkan tanganku meremas pantat Mbak Rani yang sexy.

Disaat aku sedang asyik menikmati lubang vagina Mbak Rani, tiba-tiba Mbak Tika sudah mempereteli celanaku. Sehingga adikku yang berukuran besar menyembul keluar setelah sekian menit terpenjara di celana dalam ketatku.

"Vin, benda ini benar-benar membuat Mbak ketagihan sayang... Mmmm...!" selanjutnya tidak ada suara lagi karena penisku sudah dilahap oleh mulut Mbak Tika yang rakus. Kurasakan betapa lihainya lidah Mbak Tika menari di batang kemaluanku. Sesekali aku melepas kulumanku di vagina Mbak Rani, karena merasakan kenikmatan permainan oral dari mulut Mbak Tika.

Mbak Rani sudah mulai bocor pertahanannya dan berkata sambil mendesah, "Vin... Mbak... mau... kelu... arrr... Aahhh...!" tangan Mbak Rani yang tadinya beroperasi di buah dadanya sekarang menekan kepalaku dalam-dalam pada selangkangannya, seolah memohon agar aku tidak melepas hisapan fantastis itu. Untuk yang kedua kalinya wajahku belepotan oleh cairan wanita sebaya yang keluar dari lubang surgawi mereka. Disaat aku sedang membasuh wajahku yang penuh cairan, tiba-tiba Mbak Tika menarik lenganku, hingga badanku berdiri.

"Vin, Mbak ingin style berdiri!" ajak Mbak Tika sambil menarik tanganku untuk mengikuti dia berdiri.

Sambil bersandar di dinding, aku langsung mengarahkan penisku dari bawah. Sehingga posisi berdiri tersebut sempurna sekali, dan itupun ditambah posisi Mbak Tika yang masih belum melepas sepatu hak tingginya. Karena dengan demikian posisi Mbak Tika lebih tinggi dari posisi aku berdiri.

'Bless' suara penisku menembus belahan kecil di selangkangan Mbak Tika, "Vin, enakkh bangett... punyamu!" erang Mbak Tika.

Gerakan maju mundurku semakin mentok di pangkal vagina Mbak Tika, hal itu disebabkan karena pantat Mbak Tika ditahan oleh dinding.

'Crekk... Crekk... Sslleepp...' suara penisku menghujam keluar masuk dalam lubang vagina Mbak Tika. Buatku, Mbak Tika termasuk orang yang bisa megimbangi permainan sex ku, dengan posisi sulit seperti itu, dia juga sedikit mendoyongkan tubuhnya ke dinding sehingga batang penisku benar-benar masuk semua.

Keadaan ini berlangsung sampai akhirnya di menit ke 15, Mbak Tika berteriak, "Vin... ampun... Mbak... mau... kelu... aarrr lagi... gila...!" rintih Mbak Tika.

Tubuh Mbak Tika mendekapku erat-erat seolah tidak mau lepas dari batang penisku yang masih menancap di lubang surgawinya. Dan sedetik kemudian tubuh Mbak Tika merosot ke bawah dengan lunglai.

Kulihat yang masih bertahan Mbak Ina, dia masih duduk di tempat dan pakaian masih lengkap, mungkin dia benar-benar merasa malu untuk melakukan hal seperti ini dan di lihat orang lain. Aku tidak mau mengusik Mbak Ina, nanti kalau dia mau biarlah dia melakukannya secara suka rela.

Aku berjalan menghampiri Mbak Rani yang sedang menyandarkan tangannya untuk melihat keluar jendela. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan, sambil memeluk dia dari belakang, penisku yang masih kencang menerobos liang vagina Mbak Rani sehingga membuat dia terpekik.

"Aao www... Vin, kamu nakal sayang, Mbak masih capek.. Uuughhh!" aku tidak mempedulikan erangannya.

Seraya meremas buah dadanya yang kencang dari belakang, pinggulku mulai bergerak maju mundur. Posisi seperti ini benar-benar membuat aku melayang, lubang Mbak Rani yang sedikit sempit dan seret dibanding punya Mbak Tika. Dan hal itu membuat aku lebih bernafsu untuk menyetubuhinya. Itu wajar karena Mbak Rani belum punya anak walaupun sudah menikah beberapa tahun.

Selang beberapa menit, "Vin.. Mbak tidak tahannn... gila banget punya kamu terasa masuk sampai ulu hatiku... Aaugghhh...!" rintih Mbak Rani panjang, sambil tetap menggoyang pinggulnya. Dengan posisi setengah menungging dengan berdiri, memudahkan aku untuk memasukan penisku secara maksimal.

"Ughh... Mbak..., nikmat banget punya Mbak!" desahku untuk memuji wanita di depanku.

"Vin..., ampunn... Mbak... Akkhhh...!" Mbak Rani merintih panjang.

Mbak Rani merapatkan pahanya sehingga penisku terasa tersedot ke dalam semua. Gila, terasa copot penisku dibuatnya. Karena hebatnya permainan itu hingga tak terasa dinginnya AC yang ada di dalam kamar. Aku coba mengambil segelas air es di kulkas, Mbak Tika yang tadi terkulai kembali menarik tanganku.

Tapi kali ini kami kembali memulainya dari awal. Sambil memulihkan tenaga yang tadi terkuras, aku memulai dengan ciuman-ciuman ringan yang romantis. Mata Mbak Tika terbelalak menerima ciuman penuh perasaan dariku, tapi kemudian Mbak Tika memejamkan mata, dan menikmati sentuhan lembut bibirku di bibirnya, dia kemudian merangkul leherku.

Aku melirik Mbak Ina yang masih terpaku terdiam, sementara Mbak Rani masih mengeletak kelelahan. Aku melambaikan tangan, mencoba mengajak Mbak Ina untuk bergabung. Awalnya mulanya Mbak Ina menggeleng, namun beberapa detik kemudian, dengan sedikit ragu-ragu Mbak Ina berdiri dari tempat duduknya. Melepas kacamatanya dan berjalan perlahan dia naik ke tempat tidur, merangkak menghampiriku yang tengah sibuk menjelajahi tubuh Mbak Tika. Ciumanku kini beralih ke bibir Mbak Ina. Sementara tangan Mbak Tika masih bergelayut di leherku, dia menciumi dada dan menghisap putingku.

Kini Mbak Tika berpindah posisi di kananku dan melepaskan pelukannya di leherku. Mungkin dia memberi kesempatan kepada Mba Ina yang baru bergabung untuk lebih aktif. Sementara aku mulai sibuk dengan Mbak Ina di samping kiriku. Kami berciuman, sambil tanganku berusaha membuka pakaian dan kerudung Mbak Ina. Sementara di bawah sana Mbak Tika mulai menggenggam erat kemaluanku, mulutnya bergerak mendekati kepala penisku yang seperti topi baja. Tidak lama kemudian kurasakan lidah Mbak Tika menari-nari di kepala penisku.

Helai demi helai pakaian Mbak Ina tanggal sudah, tinggal menyisakan celana dalam satin coklat menggoda. Kini aku berbaring, Kepalaku persis di bawah kemaluan Mbak Ina yang masih terbungkus celana dalam coklat, dengan noda basah di sekitar kemaluannya. Dengan jari, aku membuat jalan dengan menyingkapkan celana dalam Mbak Ina, membuat bibir kemaluan Mbak Ina terlihat. Merah, basah, dan segar kelihatannya.

"Ahh... Vin..., eehhmm... sst... ahhh...!" Mbak Ina mendesah, sambil meramas-remas bongkahan gunung kembarnya sendiri.

Sementara Mbak Tika masih sibuk menenggelamkan menaraku di dalam mulutnya, turun naik. Suara kecipak terdengar nyaring memberi tambahan rangsangan di jantung kami. Sesaat kemudian kain penutup itu lepas sudah dari selangkangan Mbak Ina. Mbak Ina ikut membungkukkan badannya mendekati Mbak Tika yang masih asyik dengan batangku. Mbak Ina turut bergabung dengan Mbak Tika, silih berganti menjilati batang kemaluanku. Terkadang merekapun saling menjilat lidah. Sementara aku masih tetap melakukan penetrasi dengan lidahku di lubang kemaluan Mbak Ina.

Himpitan paha Mbak Ina kurasakan semakin kuat dikepala, dan beberapa detik kemudian terdengar desahan berulang dengan irama yang semakin cepat dan nada yang meninggi, diakhiri teriakan namun tertahan, tanda puncak kepuasan telah diraih Mbak Ina. Mbak Ina terkulai dan menjatuhkan diri di ranjang. Butir-butir keringat di wajahnya menambah manis wajah Mbak Ina yang masih didera kenikmatan tiada tara.

Aku bangkit, kurebahkan tubuh Mbak Tika dan Mbak Rani berjejer dengan Mbak Ina. Kulepas pengait bra Mbak Ina, kubenamkan mukaku di antara dua gundukan daging milik Mbak Ina. Begitu kenyal dan kencang, putingnya yang sudah berdiri, kugigit perlahan, membuat Mbak Ina menggelinjang ke kiri dan ke kanan tak karuan.

"Vin..., ahhh... gigit lagi yang kuat Vinn...!" ratap Mbak Ina. Aku tidak membiarkan Mbak Tika dan Mbak Rani begitu saja. Sementara mulutku memainkan puting Mbak Ina, kedua tanganku yang masih bebas meremas buah dada Mbak Tika dan Mbak Rani yang berada di samping Mbak Ina.

Beberapa saat kemudian, setelah puas bermain dengan puting Mbak Ina, aku bangkit dan kini batang penisku bagai pedang terhunus siap menusuk kemaluan Mbak Ina. Perlahan kudekatkan batang penisku di kemaluan Mbak Ina. Sentuhan pertama membuat Mbak Ina tengadah. Sedikit demi sedikit disertai tekanan, batangku pun tenggelam dilumat kemaluan Mbak Ina. Mbak Ina semakin tengadah, sambil mendesah keenakan.

"Aah... ahh... ahh... Viiins..., aah... jangan siksa Mbakkkhhh...!" desahnya seirama dengan keluar masuknya batang penisku di kemaluannya. Aku berusaha tenang sambil mengatur tempo supaya bisa melayani tiga wanita di depanku. Walau tenang dan pelan tapi genjotan pantatku kubuat semantap mungkin, sesekali kuputar pinggangku. Kaki Mbak Ina pun melingkar di pinggangku, memberi tekanan lebih pada penetrasi batang penisku.

Beberapa saat kemudian, kami berpindah posisi. Kami saling berhadap-hadapan menyamping. Kaki Mbak Ina masih melingkar di pinggangku sementara satunya lurus. Pahaku menyilang sehingga berada di selangkangan Mbak Ina. Kami berdua saling neggerakkan pantat, goyangan pantat Mbak Ina semakin liar. Untuk sementara aku melupakan Mbak Tika dan Mbak Rani yang masih berbaring di samping sambil melihat permainanku dengan Mbak Ina.

"Vin..., aahh... akkhuu... akkhhuu... ngakhh khhuatt... ehmmm...!" dengan badan mengejang Mbak Ina meraih puncak kenikmatannya, disertai muka yang menyeringai.

Aku yang belum keluar, kemudian bergeser ke samping. Kuraih tubuh Mbak Rani dan kubalikan tubuhnya, sehingga pantat seksi Mbak Rani berada di atas. Sedikit kuangkat pantat Mbak Rani, kemudian kuarahkan batang penisku yang masih berdiri tegak itu ke kemaluan Mbak Rani.

'Bless...' batang penisku pun keluar masuk sangkarnya.
Mbak Rani menjadi menceracau tidak karuan, menerima hujaman penisku. Kondisi fisikku yang prima membuatku dapat mengendalikan permaian dan menahan laju sperma untuk dimuntahkan di liang kemaluan Mbak Rani lebih lama.

Tampaknya Mbak Tika belum merasa puas, saat aku masih mengenjot lubang kemaluan Mbak Rani, dia mendekat ke arah Mbak Rani. Mbak Tika mulai meremas buah dada Mbak Rani. Mbak Rani diam saja tidak protes, tangan Mbak Tika mulai memilin putingnya yang sudah mengacung, tidak lama mulutnya mulai menghisap puting Mbak Rani, menjilati dan menggoyang puting itu dengan lidahnya. Mbak Rani makin kelojotan, dan tampaknya dia juga tidak mau kalah, tangannya menarik lembut pantat Mbak Ina, mengarahkan vagina Mbak Ina ke mulutnya, awalnya Mbak Ina seperti sungkan, tapi tampaknya nafsu sudah menghilangkan akal sehat semua orang di ruangan ini.

Lidah Mbak Rani mulai menyapu vagina Mbak Ina, vagina Mbak Ina masih tampak kemerahan karena hasil sodokanku tadi, juga belahannya dalam posisi mekar. Lidahnya mulai menjilati klitoris Mbak Ina, awalnya tampak kaku dan canggung, tapi makin lama makin terbiasa, Mbak Ina pun mulai mendesah.

Sementara sambil memompa Vagina Mbak Rani, aku condongkan tubuhku, dan mulai menjilati vagina Mbak Tika. Buseeet.... benar-benar dahsyat permainan foursome kami, kataku dalam hati. Aku makin cepat saja menyodok vagina Mbak Rani, membuat Mbak Rani mengimbangi dengan ikut menggoyangkan pantatnya.
Sementara lidahnya makin asik saja menjilati klitoris Mbak Ina, bahkan jari tengahnya sudah mulai menyodok lubang vagina Mbak Ina.

Lidahnya menggoyangkan dan menghisap pelan klitoris Mbak Ina. Mbak Tika yang tadinya asik dengan buah dada Mbak Rani, kali ini ikut menyerbu Mbak Ina dengan menjilati puting Mbak Ina. Mendapat serangan dari dua sisi tampaknya membuat Mbak Ina mulai kewalahan. Pinggulnya bergoyang liar, tubuhnya mengejang dan orgasme, terkapar, berbaring, kecapekan.

Setelah Mbak Ina orgasme, Mbak rani menghentikan kegiatannya, Mbak Tika juga berhenti menjilati puting Mbak Ina dan kembali mengalihkan serangannya ke puting Mbak Rani. Mbak Rani yang masih konsentrasi pada sodokan penisku yang makin cepat langsung mendesah hebat saat Mbak Tika menghisap kuat putingnya, menikmati serbuan nikmat.

Aku yang terpesona melihat permainan mereka berdua, menjadi semakin terbakar dengan ganas sodokan penisku kupercepat, membuat Mbak Rani makin kewalahan.

"Aaahh... pelaaaaannn... dikiiitttt..., oooh... jangaaannn dipelaniiinnn..., Ughhhh... ampuuunnn... aawww...!"

Mbak Rani menggelepar penuh kenikmatan...ternyata keponakannya sungguh hebat. Saat Mbak Tika melepas ciumannya pada puting Mbak Rani, aku menggantikannya dengan menciumi bibir Mbak Rani dengan ganas dan panas, Mbak Rani tanpa sungkan meladeni, lidah kami saling beradu, dia menyedot lidahku, membuatku serasa melayang, nyaris lepas kendali, untung tak lama kemudian Mbak Rani melepas ciumannya.

Aku bertekad membalas, sodokanku kini sudah amat sangat cepat, membuat Mbak Rani kelojotan dan meminta ampun.
Saat sedang gencarnya menyerang Mbak Rani, tiba-tiba ada yang merenggangkan kakiku, ternyata Mbak Tika yang belum puas kembali berjongkok di bawah selangkanganku, yang sedang berdiri sambil menyodok Mbak Rani.

Mbak Tika mulai menghisap dan menyedot biji pelerku, tampaknya dia menyesuaikan dengan ritme gerakan pompaan dan sodokan penisku. 'Shiiithhh...' enaknya tidak terkira, sambil tetap asik menyodok, bijiku dikulum sama Mbak Tika, aku merasa menjadi manusia paling berbahagia di bumi saat ini. Tapi kenikmatan itu harus dibayar dengan runtuhnya ketahanan tubuhku. Seiring sodokanku yang makin kuat, kurasakan denyut nikmat mulai melanda penisku, kuhujamkan sedalam mungkin penisku. Mbak Rani juga nampaknya sadar aku akan segera orgasme. "Di dalam saja... di dalam saja, Vin...!" ucap Mbak Rani.

Mbak Rani bergetar kuat saat spermaku menyemprot berkali-kali di dalam rahimnya, selesai... dan melelahkan.... Mbak Tika masih asik menghisap biji pelerku, membuat lututku makin lemas seakan mau lepas. Setelah mendiamkan beberapa detik di dalam vagina Mbak Rani, aku mencabut penisku. Mbak Tika dengan rakus segera memburu penisku, menjilati sisa sperma yang menempel.

Setelah Mbak Tika menuntaskan jilatannya yang terakhir. Aku segera menghempaskan diri di atas kasur. Sangat lelah saat ini, hanya bisa berdiam diri. Mbak Tika juga bergabung tiduran di atas ranjang. 4 orang tanpa busana tergeletak lemas penuh kepuasan. Aku masih diam mengembalikan stamina, sambil mendengarkan mereka bertiga yang mulai bercakap-cakap.

@@@@@

Seharian itu kami melakukannya berkali-kali dan menyudahi permainan kami ketika waktu mendekati tengah hari. Setelah itu kami beristirahat dan membersihkan diri, kami keluar dari apartement satu jam sebelum kedatangan kereta yang akan membawa Mbak Tika pulang ke Pekalongan. Sebelum masuk kereta, aku sempat berkata pada Mbak Tika untuk mengawasi Mas Pras ( Hendra ) dan memberi kabar jika ada sesuatu hal.

Dari stasiun aku mengantar Mbak Ina pulang, hanya mampir sebentar di rumahnya karena harus segera mengantar Mbak Rani ke tempat kerja. 'Biiip... biiip...' sebuah pesan masuk di ponselku, saat aku hendak ke tempat Mas Bram. Kulihat pesan itu, hanya tiga kata : ' Datang ke Pagupon '. Setelah membaca pesan itu, aku langsung memutar arah dan membatalkan tujuanku ke tempat Mas Bram.

Setelah beberapa lama aku sampai di suatu jalan dan berhenti di depan sebuah pintu gerbang. Dengan menyebut Code Name dan Nomer, aku dapat masuk ke sebuah tempat yang tidak akan di duga orang bahwa tempat itu adalah masrkas dari ISF (Indonesia Super Force).

Baru pertama aku datang ke tempat ini, dan tempat ini membuatku kagum. Mungkin aku sering lewat di jalan depan tempat ini. Dan sebelumnya aku tidak menduga jika di dalamnya terdapat ruangan-ruangan yang hanya pernah kulihat di dalam film spionase.

Begitu aku keluar dari mobil Om Sora sudah menungguku. Tanpa banyak bicara dia membawaku ke suatu ruangan. Di dalam ruangan yang tampaknya tempat pertemuan itu sudah duduk 5 orang. Begitu aku masuk Om Dans langsung berdiri di ikuti 4 orang lainnya.

"Selamat datang di markas, Puma!" kata Om Dans. "Perkenalkan Naga, Leon dan Merak," Om dans memperkenalkan tiga orang yang ada di samping kanannya. Aku menyalami mereka sambil melihat bagaimana mereka.

Pertama : Naga, laki-laki, 35 tahun, tinggi tegap berkulit sawo matang, berwajah jantan, rambut pendek rapi, dengan sorot mata tajam.

Leon, laki-laki, 35 tahun, tinggi kekar berkulit agak kekuningan, cukup tampan, rambut panjang pirang, mata agak sipit tapi juga tatapannya tajam.

Merak, wanita, 34 tahun, tinggi langsing tapi juga sexy, berkulit putih, cantik, rambut hitam sepundak, mata bulat dan tatapannya bisa membuat laki-laki tidak akan berani menggodanya.

Di sebelah kiri Om Dans adalah Sonia, tapi dia tampak cuek terhadapku. "Kita tunggu dua orang lagi sebelum memulai pertemuan ini," kata Om Dans. Sesaat ruangan sepi, hingga pintu kembali terbuka dan masuklah Om Sora bersama seorang laki-laki yang tidak asing bagiku, Elang.

Aku terkejut melihat Elang berada di tempat ini. Saat aku bertanya padanya, dia juga belum tahu apa tujuannya di undang ke tempat ini. Saat aku ingin bertanya pada Om Dans, dia menyuruhku untuk menunggu penjelasannya nanti. Sambil menunggu orang terakhir, aku berbincang-bincang dengan Elang. Sonia tampaknya tidak mau berbicara denganku, entah apa masalahnya.

Tidak lama kemudian Om Sora kembali masuk bersama seorang laki-laki. Aku memandang orang itu, seorang laki-laki, usia sekitar 27 tahun, tinggi sekitar 182cm, berat ideal, tubuh tegap, berkulit kuning mendekati putih, tampan, rambut pendek rapi dengan sedikit jambul di bagian depannya, walau sorot matanya tajam bak mata seekor naga, tapi di baliknya juga terpancar kehangatan di dalamnya.

Om Dans bangkit berdiri, "Perkenalkan, dia adalah Taksaka!"

To Be Conticrooot...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd