Chapter XXIV : Eraser
Pagi itu di kamar aku dirawat...
Setelah melakukan pemeriksaan pada seluruh tubuhku, Dokter memperbolehkan aku untuk pulang. Aku segera memberi tahu Ayah, Ibu, Elang, Mas Bram dan teman-teman yang lainnya. Sementara Mbak Tika mengurus administrasinya.
Saat kutelepon, Elang mengatakan akan segera ke Rumah Sakit. Aku sudah bersiap untuk pulang dan tinggal menunggu surat jalan yang sedang diurus Mbak Tika, saat Elang datang dengan seorang wanita.
Dia segera memperkenalkan wanita itu padaku. "Avi," ucap wanita itu memperkenalkan diri.
"Gavin," balasku.
Sebenarnya tanpa dia tidak menyebut nama, aku sudah tahu siapa dia. Avianai Malik, ya Elang sudah mengatakan di dalam ceritanya. Avi sempat bertanya bagaimana keadaanku dan juga minta maaf tidak sempat datang sebelumnya, dikarenakan sibuk. Kami lalu berbincang sambil menunggu Mbak Tika datang.
Tidak lama kemudian Mas Bram datang bersama Mbak Rara, dia adalah calon istrinya Mas Bram. Indhira Purnaningtyas lengkapnya, tapi biasa dipanggil Rara. Dia bekerja di Kemenlu. Yang aku ketahui saat ini dia ditempatkan di Kedutaan Besar Indonesia yang ada di India.
"Gimana kabarnya, Vin ?" tanya Mbak Rara.
"Baik Mbak, kapan pulang ?" tanyaku.
"Dua hari yang lalu. Kemarin masih sibuk mengurus kepindahan Mbak, jadi tidak sempat kesini."
"Mutasi lagi Mbak, kemana ?"
"Sudah cukup Mbak melalang buana, Mbak mau disini saja. Ini juga permintaan Mas mu, ya kan ?" kata Mbak Rara sambil menoleh ke arah Mas Bram. Mas Bram hanya tersenyum mendengar perkataan itu.
Kemudian Mbak Rara berkenalan dengan Elang dan Avi. Sementara Mas Bram tampaknya sudah lama kenal dengan Avi.
@@@@@
Setelah Mbak Tika selesai mengurus surat jalan. Aku dan lainnya segera meninggalkan Rumah Sakit yang kudiami hampir satu bulan. Aku dan Mbak Tika ikut naik mobil Toyota Harier Mas Bram, sementara Elang dan Avi Naik sepeda motor mengikuti kami di belakang.
Aku meminta Mas Bram mengarahkan mobilnya ke apartemen Om Anwar. Saat di suatu jalan yang agak lenggang Elang mendekati mobil dan mengetuk jendela seakan ingin berkata sesuatu. Mas Bram sedikit memperlambat laju mobilnya, aku segera membuka jendela. Tapi sebelum aku bertanya Elang lebih dulu berkata, "Bmw X5 di belakang mengikuti kita semenjak keluar dari Rumah Sakit," ujarnya.
Aku segera menengok ke belakang sesuai apa kata Elang. Benar saja, sebuah BMW X5 mengikuti kami dari belakang. Tapi kemudian aku ingat bahwa mobil itu adalah kendaraan yang biasa di pakai Om Dans, "Tidak apa-apa Lang, dia teman." ucapku memberi penjelasan.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan, hingga sampai tujuan dengan aman.
Kami terpaksa bergotong-royong membersihkan aparteman yang kotor karena lama tidak ditempati. Sore harinya Mas Bram pulang sekalian mengantar Mbak Rara. Elang juga keluar mengantar Avi pulang. Sore itu juga banyak teman-teman dan wanita-wanitaku yang datang, merayakan kesembuhanku. Hampir tengah malam, ketika satu-persatu pulang.
Sampai keesokan harinya. Pagi itu Mbak Tika sedang keluar dengan Mbak Rani. Sementara aku memang masih cuti. Elang juga berkata akan ada tugas nanti sore, sementara ini dia bisa bersantai. Kami kembali bercakap-cakap santai seperti saat di Rumah Sakit.
"Lang aku masih penasaran dengan kisahmu waktu itu. Terakhir kamu bercerita, kamu masih bingung dengan perasaanmu kepada Avi. Apakah kemudian saat itu kamu memutuskan untuk menerima cintanya dan menyusul dia ke Jakarta ?" tanyaku pada Elang.
Dia tersenyum kemudian berkata, "Aku bukan sepertimu Vin, mungkin kalau kamu akan bertindak seperti itu, tapi aku tidak, bukan aku tidak cinta pada Avi, tapi aku tidak akan melakukan sesuatu hanya karena Wanita." mendengar itu aku merasa tersindir juga, akupun hanya bisa tersenyum mendengarnya.
Elang kemudian melanjutkan ucapannya. "Baiklah aku akan menceritakan kenapa aku bisa sampai ke kota ini." Elang lalu menceritakan kelanjutan cerita hidupnya yang sempat terpotong ketika di Rumah Sakit.
@@@@@
Elang Side's story : Eraser
Sesampainya di kantor aku segera menuju ke ruangan Pak Kapolresta. Tapi saat itu sedang ada tamu di ruangan Pak Kapolresta. Tampaknya orang yang cukup penting, karena semua kasat ikut menemuinya. Terpaksa aku menunggu di depan ruangan itu sambil bercakap-cakap dengan teman kerja lainnya.
Tidak lama kemudian pintu ruangan itu terbuka, keluarlah Pak Kapolres mengiringi tamu. Aku langsung bangkit dan memberi hormat. "Bram, ini Elang yang kita bicarakan tadi," kata Pak Kapolres. Dia kemudian mengulurkan tangannya dan berkata "Bram," ucapnya memperkenalkan diri.
Aku pun kemudian menyambut uluran tangannya, "Elang," balasku. Orang itu memandang ke arahku, kemudian tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Usianya masih muda, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. Kami kemudian berbincang beberapa saat. Baru kuketahui pangkatnya sudah AKBP, tugasnya saat ini sedang di Polda Metro Jaya. Tapi tampaknya tidak lama lagi dia akan segera ditarik ke Mabes.
Setelah Pak Bram pulang aku segera menghadap Pak Kapolres dan menceritakan pertemuanku dengan Ardi. Dia termenung beberapa saat kemudian berkata, "Aku mau kita bertindak cepat dan rahasia dalam urusan ini. Aku tidak mau ada anggota kita yang bermain dalam urusan ini. Atau kejadian dua tahun lalu berulang kembali." Ujarnya.
Aku hanya terdiam mendengar Pak Kapolres menyinggung kejadian dua tahun yang lalu. Aku tentu ingat dengan jelas peristiwa itu. Karena aku terlibat di dalamnya. "Lang, aku ingin hanya kita berdua yang tahu masalah ini. Kita masing-masing buat satu tim rahasia. Tim yang kamu pimpin yang akan bergerak ke lapangan. Sementara tim ku akan mem back up dari belakang dan membantu dalam urusan ijin dan yang lainnya. Bagaimana menurutmu ?" tanya Pak Kapolres.
"Siap laksanakan semua perintah Pak, aku setuju dengan rencana Bapak."
"Baik, kamu siapkan orang yang kira-kira bisa masuk ke dalam tim. Kalau kamu kesulitan mendapatkan orang itu, kamu hubungi aku langsung ke nomer pribadiku. Aku harap kita sudah bisa mendapatkan orang-orang itu, saat kita bertemu nanti malam."
"Siap Pak !!!" kataku.
@@@@@
Setelah itu aku segera keluar dari ruangan dan menuju ke tempat orang-orang yang akan kumasukkan ke dalam tim. Aku harus kesana-kemari untuk menemui orang-orang yang kuperlukan. Malamnya kemudian aku mengajak beberapa orang yang menurutku layak untuk masuk ke dalam tim.
Aku memperkenalkan orang-orangku kepada Pak Kapolres. Orang pertama adalah Jaka Warsito, dia adalah kakak dari sahabatku yang telah tiada. Dia tahu undang-undang narkotika dan psikotropika dengan baik. Dia akan mempersiapkan tuntutan perkara untuk membantu kita mendapatkan keyakinan di pengadilan narkotika. Dia juga bukan orang baru dalam hal ini. Sudah beberapa kali aku meminta bantuannya.
Orang kedua Andika, dia orang baru dalam dunia ini. Tapi pengetahuannya tentang psikotropika mungkin berguna bagi tim.
Yang ketiga mungkin tidak layak. Tapi dia punya jaringan kuat dan pengetahuan mendalam tentang pemakai narkotika. Orangnya kasar, jujur dan apa adanya. Namanya Imran.
Setelah aku memperkenalkan anggota tim ku maka Pak Kapolres memulai rapat untuk merencanakan segala sesuatunya. "Teman-teman, pimpinan operasi ini adalah Elang. Kalian akan melaporkan segala sesuatunya kepada Elang. Aku hanya akan memberi dukungan dari belakang dan bila ada sesuatu yang terjadi aku yang akan bertanggung jawab, Elang silahkan kau mulai paparkan rencananya."
"Terima kasih Pak," kataku kemudian maju ke depan. "Kita akan menangani empat kelompok utama, tugas kita adalah memusnahkan empat geng ini. Kita mulai bergerak malam ini, kalau sudah pasti kita akan langsung bertindak. Kita namakan operasi ini 'Eraser'. Ada pertanyaan ?" tanyaku.
Melihat tidak ada yang bertanya, aku segera menjelaskan rencana-rencanaku dan tindakan apa yang akan kami lakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Setelah itu kami segera mempersiapkan diri, baik persenjataan maupun hal teknis lainnya yang di perlukan.
@@@@@
Begitu pagi menjelang, kami dua belas orang anggota tim segera berangkat dengan menggunakan tiga buah mobil. Pertama kami menuju tempat yang terdekat. Arah barat laut, Salatiga. Sesampai di kota Salatiga, kami kemudian segera membelok ke arah barat daya. Tidak lama kami sampai di Getasan.
Tanpa menunggu lama kami menuju sasaran. Karena semua penduduk sekitar tahu pabrik yang kami maksud, maka tanpa kesulitan kami menemukan pabrik farmasi yang di jadikan kedok untuk memproduksi Mandrax itu. Dari luar memang seperti pabrik biasa.
Setelah melihat situasi dan kondisi, kami segera bergerak. Empat orang penjaga tidak bisa bergerak saat senjata kami menodong mereka. Kami kemudian memaksa mereka untuk membuka pintu, dengan cepat kami melakukan penggeledahan dan pemeriksaan. Setelah yakin bahwa benar-benar tempat ini adalah pabrik untuk memproduksi Mandrax. Kami memaksa Martono sang pengelola untuk datang.
Dengan cepat dan mudah satu geng kami bekuk tanpa ada perlawanan. Kami menitipkan mereka dan barang buktinya di kantor polisi terdekat. Dengan pesan jangan ada berita yang keluar.
@@@@@
Setelah istirahat barang sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju Magelang. Dan terus menuju arah Mungkid. Siang itu kami menyusuri semua pangkalan truk, mencari dimana biasanya sopir pabrik Acetic Anhydride itu memindahkan barang yang dibawanya. Dari informasi yang didapat, mereka biasanya masuk ke pangkalan itu pada tengah malam.
Kami berpencar duduk di warung yang berada di sekitar tempat itu. Hampir jam satu malam, saat dua buah truk masuk pangkalan. Dua truk itu mengambil parkir salin berdekatan. Kami masih belum begerak, hanya memperhatikan gerak-gerik sang sopir.
Dari tempatku mereka memindahkan sesuatu dari drum-drum besar yang ada di dalam truk dan di pindah ke jirigen kecil. Setelah penuh mereka membawa jirigen kecil itu ke sebuah truk lain yang sudah menunggu. Saat kedua kalinya mereka akan memindah jirigen kecil itu, aku memberi kode kepada Imran yang duduk denganku. Aku bergerak cepat mendekati dua orang itu. Di ikuti yang lain mengepung dua orang itu.
Tanpa basa-basi aku langsung bertanya pada salah satu dari mereka. "Karman, aku tidak membutuhkanmu atau barang yang ada di tanganmu itu. Aku ingin Kuntoro, di mana dia ?"
"Siapa Kuntoro, Bos ?" jawabnya.
Aku menoleh kepada Imran dan memberikan kode kepadanya. Imran mengangguk, "Itu jawaban yang salah sobat !" kata Imran, sambil mengangkat pistolnya. Dan "Dooor..." dia menembak kaki karman. Karman langsung menjerit kesakitan sambil memegangi kakinya.
Saat pistol Imran kembali di angkat, Karman tanpa di minta dua kali langsung membuka mulutnya. "Pak, 13 kilometer ke timur dari sini ada desa kecil. Disana anda dapat menemukan Kuntoro."
Tanpa menunggu lama kami bergerak ke arah yang di tunjukan Karma. Cahaya matahari mulai menyinari bumi ketika kami memasuki areal persawahan di suatu desa kecil di Mungkid. Untuk memastikan kami bertanya kepada penduduk sekitar. Matahari benar-benar tampak saat kami mulai mengepung markas Kuntoro. Markas yang sangat strategis, karena terpencil dan tidak ada orang yang menyangka, bahwa rumah di tengah ladang sawah akan dijadikan gudang obat-obatan terlarang.
Kami mengepung tempat itu dari empat penjuru. Sambil melihat situasi dan kondisi aku perintahkan mereka untuk mempersiapkan diri. "Dueeers...," Detik-detik menegangkan dipecahkan bunyi tembakan yang mengarah ke arah kami. Aku segera menghindar, malang satu anggota tim tertembak. Aku memerintahkan untuk membalas serangan mereka.
Maka terjadilah Baku tembak di pagi hari itu. Bunyi tembakan dan rintihan kesakitan terdengar, saling susul menyusul. Kulempar beberapa botol bensin kecil yang kutemukan ke atas atap rumah yang dipakai gerombolan mereka untuk bersembunyi dan menyerang. Saat botol itu melayang di atas atap yang terbuat dari rumbia, kutembak botol itu. "Dooorss... Bummms..." api segera membakar atap dan dengan cepat merambat ke segala arah karena efek bensin dari botol itu.
Beberapa kali kulakukan hal itu, hingga seluruh rumah nyaris tertutup api. Maka anggota gerombolan itu berhamburan keluar dari dalam rumah. Dengan mudah mereka kami kuasai. Ada beberapa yang mencoba untuk kabur, dengan terpaksa kami lumpuhkan mereka. Termasuk Kuntoro berusaha untuk lari, dia yang paham daerah sekitar untuk beberapa lama dapat berlari jauh. Tapi aku terus mengejarnya, hingga dia akhirnya menyerah karena kehabisan tenaga.
@@@@@
Dua target berhasil kami habisi, walau memakan korban beberapa orang anggota tim. Kami terpaksa meninggalkan mereka di Magelang. Tanpa istirahat kami langsung melanjutkan perjalanan. Tengah hari kami memasuki kota Yogyakarta. Kami bagi dua kelompok, satu kelompok mencari informasi dan satu kelompok beristirahat untuk memulihkan stamina sambil menyusun rencana selanjutnya.
Setelah seluruh anggota tim merasa fit, kami mulai bergerak kembali. Menuju tempat yang menjadi target selanjutnya. Geng pimpinan Thomas berada di daerah dekat pantai Parangtritis. Markasnya berada di daerah yang terpencil jauh dari keramaian. Menjelang sore kami mengepung tempat itu.
Markasnya adalah rumah kuno peninggalan Belanda. Agar tidak sampai terjebak gelapnya malam, aku memberi perintah untuk bergerak. Perlahan kami semakin dekat dari rumah itu. Dari luar tampak sepi, seperti tiada kehidupan. Kami masuk dengan berpencar melewati berbagai jalan. Aku masuk ke dalam salah satu kamar yang jendelanya terbuka.
Dari ruangan itu aku dapat melihat suasana di dalam rumah. Kulihat ada beberapa orang berbicara, ada yang bersantai, ada yang menelepon, juga ada yang sedang menikmati obat-obatan. Serius mengintai, membuatku sedikit lengah. Hingga tidak sadar tiba-tiba di belakangku muncul seseorang.
Saat aku menengok ke belakang, seseorang menodongkan pistolnya ke arahku. Aku mencoba untuk tenang, kuangkat kedua tanganku ke atas. Tapi dengan cepat tanpa diduga orang di depanku. "Plaaak... !!! duaaak... !!! praaang... !!!" Tanganku bergerak menyilang menghantam pergelangan tangan orang itu. Begitu senjata lepas dari tangannya, kakiku bergerak naik menghantam dadanya. Orang itu terlempar dan menghantam lemari kaca di belakangnya.
Sebelum mereka sadar aku sudah menyerang mereka lebih dulu. Beberapa teman melempar bom asap ke dalam ruangan. Maka terjadilah baku tembak, di rumah besar peninggalan Belanda itu. Karena mereka tanpa persiapan, kami yang menyerang dengan senjata lebih lengkap dan terencana dapat mengusai mereka. Walau jumlah kami jauh lebih kecil.
@@@@@
Sebenarnya kami ingin langsung menyelesaikan geng yang terakhir. Tapi terpaksa kami tunda keinginan itu. Hal ini disebabkan surat ijin untuk membawa Darto dari penjara belum keluar. Kami di perintah untuk tidak perlu kembali ke Markas. Untuk menjaga tugas kami tetap rahasia, kami tidak menghubungi kepolisian setempat. Kami menginap di losmen kecil untuk tidak menarik perhatian.
Dalam masa tugas seperti ini biasanya pikiranku fokus untuk segera menyelesaikannya. Tapi semenjak pertemuanku dengan Avi, pikiranku kadang-kadang menjadi tidak fokus. Apa lagi malam ini aku sendirian di kamar, anggota tim yang lain aku bebaskan untuk bersantai dan bersenang-senang. Dalam kesendirian, bayangan wajah Avi bermain di dalam pikiranku.
Ada keinginan dalam hati untuk menghubunginya. Tapi perasaan itu kutekan kuat-kuat. Hal seperti ini baru kurasakan dua kali. Dulu aku juga pernah merasakan hal seperti ini. Chantal, ya nama itu pernah terpatri dalam hatiku. Perasaan yang sama pernah kurasakan pada Chantal. Tapi waktu itu aku paksakan juga untuk tidak menanggapi isi hatiku. Aku masih takut akan keselamatan orang di sekitarku.
Avi mungkin belum pernah mengalami bahaya seperti yang di alami Chantal. Tapi siapa tahu bahaya akan mengancamnya bila Avi dekat denganku. Bila dulu aku bisa menekan perasaanku pada Chantal, maka aku ingin mengulanginya lagi pada Avi. Tapi semakin aku berusaha untuk tidak memikirkannya, bayangannya selalu muncul dalam ingatanku.
Akhirnya sampai jauh malam aku tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku kemudian tidak terpaku pada Avi. Muncul bayangan Chantal, kemudian di ikuti orang-orang dari masa laluku. Munculnya bayangan Chantal, mengingatkan aku kepada Rudi, adik dari Mas Jaka. Dia adalah sahabatku semenjak sekolah. Tapi dia telah tiada karena peristiwa itu. Rudi meninggal karena di tembak Andi, rekan kerja kami berdua. Andi dinyatakan meninggal jatuh ke dalam jurang. Dan tentu saja Pak Yudi, mantan atasanku yang juga dinyatakan meninggal di dasar jurang.
Walau hal itu sudah dinyatakan secara resmi dari tim dokter dan keluarga mereka, tapi aku merasa masih ada yang janggal dengan kematian Pak Yudi dan Andi. Dari bayangan Pak Yudi dan Andi, pikiranku beralih kepada Kakek dan Nenek. Ya karena kata-kata rahasia dari kakek ketika aku menceritakan tentang peristiwa itu kepadanya. Ada satu hal yang kakek rahasiakan dariku. Tentang kematian anak kandungnya. Sementara aku hanya cucu angkat mereka. Dari dulu kakek tidak mau menceritakan penyebab kematian anak, menantu dan cucunya. Tapi saat aku menceritakan kematian Pak Yudi, dia tampak termenung dan tanpa sadar mengucapkan kata-kata "Tampaknya ini merupakan karma atas apa yang telah dilakukannya, termasuk yang telah dilakukannya pada putraku."
Saat aku bertanya, apa Pak Yudi yang bertanggung jawab akan kematian putranya, kakek kembali menutup mulutnya. Hingga saat meninggalnya aku tidak tahu apa yang telah terjadi sebenarnya. "Truntung...truntung...," Lamunanku di buyarkan oleh bunyi telepon yang masuk. Kulihat nama Avi muncul di layar. Muncul kebimbangan dalam hatiku, antara menerima panggilan itu atau menolaknya.
Untuk beberapa lama tanganku berada di atas tombol panggil. Tapi jari ini terasa berat untuk menekannya, hingga suara panggilan itu berhenti. Ada perasaan lega yang disertai rasa menyesal karena tidak menjawab panggilan Avi. Maka begitu suara telepon kembali berbunyi untuk kedua kalinya, segera kujawab panggilan itu, "Halo Avi, maaf tadi aku sedang di kamar man..."
"Hei Elang, saya bukan Avi. Saya Arman, dan saya masih cowok tulen, hahaha...." Ucapanku langsug terputus dan darah serasa mengalir deras ke seluruh wajah, karena malu. Begitu mendengar suara dari seberang. Karena suara itu bukan suara Avi, melainkan Pak Kapolres.
"Ma... ma...af pak. Bukan maksud saya. Saya kira tadi teman saya yang menelepon," kataku menjelaskan pada orang yang di seberang. "A...da apa pak?" Bapak Kapolres tertawa dan menerima permintaan maafku sebelum beliau menjelaskan maksud dan tujuan beliau menghubungiku.
Pak Kapolres mengatakan surat izin yang kita perlukan sudah keluar, dan akan di antar salah satu teman malam ini juga ke Yogya. jadi besok kami bisa bertindak. Sebelum menutup telepon Pak Kapolres sempat menggodaku dengan menanyakan, siapa yang aku panggil Avi ?
Mendengar berita tentang surat ijin yang telah keluar, membuat pikiranku tentang Avi menjadi berkurang. Niatku yang sebelumnya ingin menghubungi dia, menjadi batal. Aku lalu menghubungi salah satu teman yang berjaga dan berpesan padanya, jika teman yang membawa surat sudah datang aku segera dibangunkan.
Setelah pikiranku tenang kembali, maka aku berusaha kembali untuk dapat memejamkan mata barang sejenak, untuk sedikit memulihkan tenaga.
@@@@@
Pagi buta kami sudah meninggalkan penginapan. Mobil melaju menuju arah barat. Melawati Kutoarjo, Kebumen, Gombong, Kroya dan terus berlanjut ke Cilacap. Kami hanya beristirahat dalam perjalanan menyeberang ke Pulau Nusa Kambangan.
Tanpa kesulitan kami di izinkan untuk masuk ke dalam menemui Darto. Saat itu dia sedang santainya duduk dan bercakap-cakap dengan seorang sipir di ruangan yang nyaman. Dia sedang berkata pada sipir itu, "Kamu hanya membawa heroin itu ke Solo, nanti akan ada orangku yang akan menerimanya."
Tanpa permisi aku langsung masuk, Sipir yang sedang bersama Darto berusaha menghalangi. Tapi tanpa basa-basi aku dorong tubuh sipir itu ke samping dan kuraih kerah baju Darto hingga tubuhnya terangkat, "Siapa yang akan menerima heroin itu di Solo ?" tanyaku.
"Heroin apa Pak ?" kata Darto, pura-pura tidak mengerti.
"Aku punya surat izin untuk membawamu keluar dari sini. Jadi kamu tinggal pilih, mau mati tanpa kubur di luar, atau mengatakannya dan tetap hidup nyaman di sini ?" kataku dengan mengacungkan pistol ke arahnya.
Wajah Darto langsung berubah mendengar perkataan dan juga senjata di tanganku. "Aku akan menghitung sampai tiga atau aku akan ...?" kata-kataku belum selesai, saat Darto berkata, "Aku akan berkata dimana Tono dan Tino berada."
Setelah berhasil membuka mulut Darto, kami segera kembali ke kota Solo. Menjelang sore sampai di kota Solo. Aku beserta Jaka, Andika dan Imran segera menuju alamat yang di berikan Darto. Sementara anggota yang lain aku tugaskan untuk menjemput orang dan barang yang berhasil kita dapatkan.
Menjelang malam kami menemukan tempat yang kami cari. Saat kami masuk ke dalam, rumah itu kosong tidak ada orang. Tapi dari bekas-bekas yang terlihat, tempat itu ada penghuninya. Aku kemudian membagi tugas menjadi dua kelompok untuk mengawasi rumah ini secara bergantian.
Jaka dan Andika mendapat giliran pertama untuk berjaga dan mengawasi rumah itu. Dua hari kami mengawasi rumah itu, tapi tidak ada tanda-tanda munculnya Tono dan Tino. Tapi di hari ke tiga target kami muncul juga. Saat itu aku dan Imran yang berjaga. Untuk memanggil dan menunggu yang lain, aku khawatir mereka berdua kembali menghilang.
Setelah mereka masuk ke dalam, aku memberi kode kepada Imran Untuk bergerak. Aku dari depan dan Imran menghadang dari belakang. Aku masuk ke dalam dengan senjata di tangan. Saat itu terdengar suara dari arah belakang rumah, kulihat Imran sedang berkelahi dengan seseorang.
Saat aku akan membantunya, terdengar suara motor di depan rumah. "Treeeng... teng... teng...teng..." Aku segera sadar apa yang terjadi, aku berlari kembali ke depan rumah. Aku melakukan pengejaran. Tidak ingin dia menghilang di keramaian kota, aku mempercepat laju mobil dan ku senggol sepeda motornya. Sepeda motor itu oleng ke kiri, dan "Gubraaak !!!" menabrak warung di pinggir jalan.
Dengan mudah dia kutangkap, dan aku kembali ke rumah persembunyian mereka sambil membawa Tono. Imran pun tampaknya berhasil menyelesaikan tugasnya. Kulihat Tino menggelosor di tanah, dengan wajah bengkak di tubuhnya. Dengan tertangkapnya Tono dan Tino, maka selesai juga tugas kami kali ini.
@@@@@
Keesokan harinya, selesai melaporkan semua yang terjadi, kami diizinkan untuk beristirahat dua hari. Dengan catatan bisa dipanggil bila dibutuhkan. Saat sampai di tempat kost, teman sebelah menyampaikan berita padaku. Bahwa selama aku pergi aku dicari seorang wanita. Setelah mengucapkan terima kasih aku segera masuk ke kamar untuk beristirahat.
Aku sudah bisa menduga siapa yang mencariku. Mungkin karena ponselku jarang aktif, maka Avi datang ke sini. Di dalam kamar aku kembali diliputi perasaan gelisah, antara menghindar atau menemuinya. Di satu sisi aku mencoba menghindarinya karena takut perasaanku semakin dalam padanya. Di sisi lain aku ingin menemuinya dan mengungkapkan apa yang kurasakan.
Setelah berpikir lama akhirnya aku memutuskan untuk menemuinya. Aku segera membersihkan diri, kemudian aku mencoba menghubunginya. Tapi sebelum aku sempat memencet tombol, ternyata Avi lebih dulu menghubungiku. "Halo, Lang ada yang perlu kukatakan kepadamu."
"Ya, kamu di mana ?' tanyaku.
"Masih di hotel."
"Baik, aku ke sana sekarang ." ucapku. Setelah berganti pakaian, aku segera meluncur menuju hotel tempat Avi menginap. Kurang dari setengah jam sudah sampai di depan pintu kamarnya. Saat hendak mengetuk pintu kamarnya, terbayang peristiwa enam hari yang lalu. Aku mencoba menepis bayangan itu, kuketuk pintu kamar itu.
Pintu terbuka, di depanku berdiri wanita cantik yang beberapa hari ini menghantui pikiranku. Aviani Malik, dia memakai tank top warna merah muda dan bawahan memakai rok span hitam selutut. Dalam pandanganku, hanya dalam enam hari aku merasa dia semakin cantik dan menarik.
"Masuk Lang," kata Avi, membuyarkan lamunanku.
Aku masuk ke dalam kemudian duduk di sofa yang ada di kamar itu. Menghadapi penjahat tidak akan membuatku tunduk kepala. Tapi di hadapan Avi, kepalaku seperti berat untuk diangkat, tatapan matanya benar-benar membuatku tidak berdaya. Ucapan yang akan ku keluarkan, seperti tertelan kembali.
Kami diam untuk beberapa saat, kesunyian kamar dipecahkan oleh suara Avi, "Lang, aku akan pulang ke Jakarta nanti malam," Katanya.
Aku mengangkat wajahku dan memandang ke arahnya yang duduk di depanku. Pandangan mata dan ucapannya pernah kulihat dan kudengar. Aku seperti mengalami Dejavu. Apakah akhirnya akan sama seperti waktu itu ? pikirku. Tidak, aku tidak akan melakukan hal yang sama. Tapi, apakah aku siap dengan konsekuensinya ?
"Vi, aap.. apakah kita akan bertemu kembali ? tanyaku tanpa sadar.
"Itu bukan aku yang memutuskan, Lang. Semua itu tergantung pada dirimu. Kita sudah sama-sama dewasa, kamu pasti tahu akan perasaanku. Tapi aku tidak bisa menunggu lama Lang. Jadi semuanya terserah padamu."
Mendengar kata-katanya ada sedikit kelegaan di hatiku. Aku pindah duduk di sebelahnya, kini kami saling berdampingan. Mata kami saling berpandangan kemudian sama-sama tersenyum, tanpa perlu mengatakan apapun kami seolah sudah saling mengerti isi hati masing-masing. Aku dekati wajahnya, Avi memejamkan mata dengan bibir sedikit terbuka.
Kupandangi wajahnya yang cantik untuk beberapa saat, pikiranku berkecamuk. Apakah dia akan kuperlakukan sama dengan wanita lainnya. Merasa tidak ada tindakan lanjut dariku, Avi membuka matanya. "Ada apa, Lang ?"
"Tidak apa-apa, aku hanya sedang menikmati wajah cantikmu."
"Bisa juga kamu merayu, aku kira hanya mahir berkelahi dan mempergunakan senjaa.., Huuumps."
Sebelum dia menyelesaikan ucapannya bibirku sudah mengecup bibirnya. Untuk beberapa saat dia kaget. Mungkin tidak mengira akan ke agresifanku. Tidak lama kemudian diapun membalas kecupanku dengan ganas dan tangannya merangkul leherku. Cukup lama kami melakukan french kiss.
Kulepas ciumanku pada bibirnya, kini bibirku menciumi leher Avi. Desah nafas Avi semakin terdengar kuat. Tangan kanan Avi bergerak meremas rambutku, sementara tangan kirinya mengusap-usap punggungku. Sambil menciumi leher Avi, tanganku bergerak menuju payudaranya yang besar.
Tapi ketika tanganku hampir menyentuh payudaranya, tiba-tiba ... "Tok.. tok.. tok..," tiga ketukan di pintu membuat kami terperanjak. Semua gerakan kami terhenti seketika. "Mbak Avi.., ini Risma," terdengar suara dari luar kamar.
Mendengar suara itu Avi mendorong tubuhku menjauh. Sambil tersenyum dia berkata, "Maaf sayang..," Avi kemudian bangkit dan merapikan diri sejenak, sebelum kemudian membuka pintu.
"Masuk Ris," kata Avi pada seseorng.
Masuklah seorang wanita berumur sekitar 28 tahun. Dia sedikit terkejut melihatku ada di dalam kamar. "Ris, ini teman Mbak. Namanya Elang," kata Avi memperkenalkan aku pada temannya. Kami kemudian berkenalan, namanya Risma. Dia jurnalis dan bekerja di televisi yang sama dengan Avi. Tapi dia di tempatkan di Biro Surakarta.
"Lang, Risma mau mengantarku beli oleh-oleh untuk teman-teman di Jakarta. Kamu mau ikut ?" tanya Avi.
Sebenarnya aku lelah karena kurang istirahat satu minggu ini. Tapi aku takut mengecewakannya. Lagi pula ini terakhir kali kami bersama, entah kapan bisa bertemu dengannya lagi. "Baiklah aku antar," jawabku.
"Lang, aku tahu kamu lelah. Aku tidak mau kamu memaksakan diri," kata Avi, dengan penuh perhatian.
"Tidak apa-apa, Vi. Besok masih ada waktu untuk istirahat. Ayo berangkat," kataku sambil bangkit berdiri.
Seharian itu kami keliling pasar, membeli berbagai macam barang. Akhirnya sampai juga waktu perpisahan. Dia akan pulang menggunakan Kereta Api dari Stasiun Balapan. Kami masih di dalam mobil, menunggu jadwal kedatangan kereta. Masih ada waktu sekitar setengah jam, sebelum kereta itu datang.
"Lang apakah kamu akan datang ke Jakarta ?" tanya Avi.
"Ya, aku pasti ke Jakarta," jawabku.
"Kita sama saling mengerti isi hati kita masing--masing, walau kita tidak pernah mengetakannya. Tapi aku tidak mau hal itu membebanimu dan akhirnya kamu memaksakan diri. Aku tidak mau kamu ke Jakarta karena terpaksa memenuhi janjimu, tapi karena betul-betul keinginanmu."
Aku terdiam mendengar kata-katanya, Avi mungkin benar. Apakah aku akan ke Jakarta hanya untuk menemui dia. Atau haruskah aku meminta kepada atasan untuk memindahkanku ke Jakarta. Ya mungkin seperti itu. Tapi aku harus menyelesaikan semua tugas-tugasku di sini lebih dulu.
Kami masih sama-sama terdiam, hanya mata kami yang saling berpandangan. Dia memiringkan badannya ke arahku kemudian mengecup dahi, kedua pipi kemudian mengecup lembut bibirku. Setelah melepas kecupan pada bibirku dia berkata. "Bertemu lagi atau tidak, kamu selalu ada dalam hatiku." Dia kemudian membuka pintu mobil, karena suara kedatangan kereta sudah terdengar.
Aku ikut turun dan membawakan barang-barang miliknya. Aku ikut masuk ke dalam kereta dan keluar setelah ada pengumuman keberangkatan. Ada keinginan dalam hati untuk memeluknya terakhir kali sebelum berpisah. Tapi hanya lambaian tangan yang memisahkan kami berdua di malam itu.
@@@@@
Tiga hari kemudian...
Walau masih ada rasa lelah lahir maupun batin, akibat pekerjaan dan masalah hubunganku dengan Avi tapi aku paksakan diri untuk datang ke kantor. Beberapa malam yang lalu aku berketetapan untuk mencoba berbicara kepada Pak Kapolres untuk memindahkanku ke Jakarta. Tapi pikiran itu kembali goyah.
Aku kembali mencoba berpikir jernih kembali, sebelum mengambil keputusan. Untuk itu aku mecoba masuk ke kantor, mungkin dengan berkumpul dengan rekan-rekan pikiranku agak sedikit berkurang memikirkan tentang Avi.
Saat itu di ruangan ada Mas Jaka, aku memang sudah biasa memanggilnya Mas walau didalam pekerjaan. "Lang..., tampaknya Ardi menjadi informan yang bisa diandalkan" ucapnya.
"Benar Mas, aku juga sebenarnya terkejut dengan informasinya yang demikian mendetail."
"Sejak pertama kali kamu menyebut namanya aku sudah mencari namanya di bagian intel. Kemarin temanku memberi informasi tentangnya. Ardi tidak punya kenalan jaringan narkoba. Dia bekerja di suatu perusahaan software dan jaringan di kota Surabaya. Ardi biasanya ditugaskan di Kalimantan, Sumatera, Malaysia, Singapura dan sekitarnya. Anaknya mati di Vietnam, dan tidak diketahui penyebabnya."
"Dia berkata padaku, Anaknya mati karena disebabkan oleh narkoba. Karena itu dia benci dengan pengedar-pengedar narkoba."
"Bagaimana bisa orang luar mempunyai banyak informasi mendalam tentang orang-orang itu ?"
"Aku harap motifnya adalah untuk membalas dendam pribadi, bukan karena motif lainnya. Aku akan cari tahu tentang ini," kataku mengakhiri pembicaraan dengan Mas Jaka.
@@@@@
Setelah pembicaraan itu, aku keluar untuk bertemu Paiman. Kurang dari tiga puluh menit aku sampai ke tempat di mana dia biasa nongkrong. Tapi ternyata dia tidak berada di sana. Hampir satu jam dia belum muncul juga. Akhirnya kuputuskan untuk menuju tempat tinggalnya.
Ternyata dia juga tidak ada di rumahnya. Tetangga sekitar mengatakan sejak kemarin sore dia belum pulang. Aku meninggalkan tempat itu dengan perasaan penuh tanda tanya. Aku kemudian berkeliling ke tempat-tempat lain yang biasa di kunjunginya, tapi nihil juga.
Saat dalam perjalanan kembali ke kantor Imran meneleponku. Imran mengatakan, ditemukan sesosok mayat di sebuah gudang tua di timur kota. Penyebabnya mungkin pembunuhan. Aku segera membelokkan mobilku ke arah timur, dan menuju tempat yang di bilang Imran.
Imran dan Andika menyambutku saat aku tiba di tempat. Mereka membawaku ke tempat mayat itu ditemukan. Saat aku membuka kain yang menutupi mayat itu aku terkejut. "Diaaa..."
To Be Conticrooot...