Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Once Upon A Time In Someplace

Re Update, karena forum tercinta melakukan Time Travel ke masa lalu :ampun:

Moga-moga masih ada yang mau baca tulisan ane :bata:

Karena hilang 8 Chapter, ane akan post 3 hari sekali :papi:

Biar yang baca tidak jenuh dengan tulisan ane :ampun:

Silahkan nikmati karya ane, jika berkenan :bata:
 
Chapter XXIII : 3some Again

Gavin side's story : 3some Again

Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aku masih mondar-mandir di depan pintu kamar rawatku. Mbak Tika masih membeli makan sekalian mengantar Mbak Ina Dan Mbak Rani pulang. Sementara Mbak Lula pergi ikut rapat. Aku masih memikirkan apa yang tadi kami perbincangkan, terutama apa yang tadi diceritakan Mbak Rani.

Selain itu aku juga masih memikirkan Elang, kenapa dia belum kembali dan tiada kabar darinya. Aku sudah mencoba untuk menghubunginya berkali-kali, tapi tidak menyambung. Aku jadi khawatir, apa terjadi sesuatu padanya ?. Sampai Mbak Tika pulang membeli makanan, aku masih mondar-mandir. Sampai Mbak Tika bertanya padaku.

"Vin, kamu kenapa sih ? dari tadi mondar-mandir saja. Apa ada sesuatu yang kamu pikirkan."

"Tidak apa-apa Mbak. Aku hanya masih memikirkan hal yang tadi kita bicarakan. Selain itu aku masih menunggu Elang. Dia orang yang telah menolongku yang kini telah aku anggap sebagai saudara. Dia belum kembali dari tadi sore. Bahkan teleponku tidak diangkat. Aku takut terjadi sesuatu padanya."

"Sudah makan dulu, habis itu minum obatnya. Mbak yakin dia tidak apa-apa. Kamu harus banyak istirahat, agar kebugaranmu pulih sepenuhnya."

Akupun menuruti saran Mbak tika untuk makan dan minum obat. Sebenarnya aku merasa sudah sehat sepenuhnya. Tapi aku ingin benar-benar fit agar segera bertindak untuk kembali menyelidiki kematian Om Gian. Sambil makan kami mengobrol dan menonton tv.

Saat itu jam sembilan malam, salah satu tv sedang menayangkan berita. Saat itu aku merasa tidak asing dengan wajah pembaca berita di tv itu. "Mbak, apa mbak tidak merasa bahwa pembaca berita itu mirip Mbak Rani ?" tanyaku pada Mbak Tika.

"Lho..! Diakan memang Rani, Vin. Kamu baru tahu ya ? Tadi dari sini dia langsung berangkat ke Stasiun tv. Di jalan tadi dia bilang, kalau tidak ada kerjaan dia mau menemaniku di sini"

"Pantes.., tadi waktu dia di sini aku merasa pernah melihatnya. Tapi aslinya lebih cantik dari yang di tv ya. Di tv kelihatan jauh lebih tua dari aslinya. Jadi wajar aku tidak mengenalinya."

"Ya iyalah. Waktu bekerja dia dituntut untuk selalu kelihatan sopan, formal dan serius. Hingga terlihat lebih tua. Sedang di luar pekerjaan, ya bebas. Seperti tadi, penampilannya seperti masih remaja."

Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Mbak Tika. Mataku masih memandang ke layar tv yang masih menayangkan berita yang dibawakan Mbak Rani. Aku tidak menyangka bahwa pembaca berita itu Mbak Rani. Orang yang beberapa jam lalu bercanda denganku.

Setelah acara itu berakhir pikiranku kembali ke masalah Elang yang belum menghubungiku sampai saat ini. Jarum jam sudah menunjukan pukul sepuluh lebih. Bahkan Mbak Tika yang berusaha mengalihkan perhatianku dari masalah itu juga tidak berhasil. Dia sudah berganti pakaian tidur yang disaat suasana normal pasti akan menarik perhatianku.

Dia coba menggodaku, tapi aku diam saja yang membuat dia sedikit cemberut hingga tidak menggangguku lagi beberapa saat. Sampai ketika kekhawatiranku menjadi sirna saat Elang menghubungiku. "Maaf, Vin. Aku ada urusan penting, hingga tidak sempat menghubungimu. Kini urusannya sudah selesai. Tapi aku tidak bisa kembali ke rumah sakit malam ini. Apa semuanya baik-baik saja di sana." tanyanya.

"Ya, tidak apa-apa Lang. Disini tidak ada masalah. Kau tidak perlu khawatirkan aku. Disini ada saudara yang menemaniku."

"Ok, Selamat malam. Oh ya, satu dua hari kita mungkin bisa santai."

"Ya, Selamat malam juga. Maksudnya..." Aku belum sempat melanjutkan pertanyaanku, karena saat itu Elang sudah menutup teleponnya.

Aku menghampiri Mbak Tika yang masih melihat Tv. "Belum tidur Mbak ?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya.

"Memang kamu lihat Mbak sedang apa ?" jawabnya ketus.

"Wah...! Ngambek ya ?" godaku.

"Ngaaak !"

"Kok cemberut gitu. hati-hati lho Mbak !"

"Memang kenapa ?"

"Nanti cantiknya bisa hilang ."

"Biariiin... !"

"Benar ?"

"Yaaa..., buat apa cantik kalau tidak ada yang perhatian !"

"Siapa bilang tidak ada yang perhatian ? Ini buktinya saya memperhatikan Mbak. Saya minta maaf, kalau tadi saya tidak terlalu perhatian pada Mbak"

Mbak Tika diam membisu, seolah tidak mendengar permintaan maafku. Tampaknya dia benar-benar marah. Aku lalu memegangi kepalaku dan pura-pura mengaduh, "Aduuuh... ah.. ah.."

"Kenapa Viiin..?" tanya Mbak Tika dengan khawatir.

"Tidak apa-apa Mbak, aku merasa sakit kalau Mbak marah padaku." kataku menggoda.

"Huh.. dasar kamu ini, bikin Mbak sport jantung saja. Ya sudah, Mbak maafkan. Tapi.."

"Tapi apa Mbak ...!" jawabku cepat.

Mulutnya tersenyum kemudian berkata, "Sudah lama kita kan tidak bertemu, kamu pasti tahukan maksud Mbak ?"

"Ehh..., sekarang Mbak, disini ?"

"Iya, kenapa ? kamu pikir Mbak tidak tahu apa yang dilakukan Bu Dokter itu disini !"

Aku hanya bisa tersenyum malu. "Mbak kok bisa tahu, memangnya dia mengatakannya pada Mbak ?"

"Ya ngaklah Gavin sayaaang..! Ini hanya naluri wanita. Dan Mbak juga berani taruhan, Ina juga pasti sudah pernah merasakan senjatamu. Mbak rasa Ina dan Dokter Lula juga pasti sama tahu apa yang terjadi pada kita."

"Mbak tidak marah dengan semua ini ?"

"Kalau bisa sih Mbak mau marah, tapi apa Mbak punya hak untuk hal itu. Lagi pula orang sepertimu itu tidak bisa dilarang. Nanti biar kamu sendiri yang menghentikannya. satu lagi, wanita yang kamu kencani juga pasti orang sembarangan. Jadi kita semuanya aman."

"Iya Mbak, aku sadar bahwa aku ini orang yang belum bisa setia kepada satu wanita. Tapi aku yakin suatu saat aku pasti bisa melakukannya."

"Vin, bagaimana permainan Bu Dokter itu ?" tanya Mbak Tika tiba-tiba.

"Gimana ya, Mbak !"

"Sudah ceritakan saja, pakai malu-malu lagi. Mbak hanya ingin tahu."

"Bukan begitu Mbak, aku baru kali ini melakukannya dengan Mbak Lula. Lagi pula tadi buru-buru Mbak jadi aku belum tahu keistimewaannya."

"Pertama kali ya, pasti saat ini dia sedang gelisah ingin merasakannya lagi."

"Dari mana Mbak tahu ?"

"Pengalaman, Vin." jawab Mbak Tika tanpa menyebutkan maksudnya. Mbak Tika kemudian menggelendot manja di pelukanku. untuk beberapa saat kami sama-sama diam. Sesaat kemudian Mbak Tika berkata, "Vin, Mbak jadi horny. Karena membayangkan pertempuranmu dengan dokter itu Mbak jadi ingin melihat langsung. Kamu mau mengabulkan permintaan Mbak ?"

"Maksud Mbak ! Mbak ingin melihat kami bercinta di depan Mbak, atau kita bermain bertiga ?"

"Ya itu maksudnya ?"

Aku memandang Mbak Tika untuk memastikan keseriusannya. "Tapi apa dia mau Mbak ?" ujarku ragu.

"Mungkin pertama dia akan menolaknya, tapi nanti setelah terjadi dia akan menerimanya. Sudah telepon dia, bilang padanya kamu minta ditemanai. Dia pasti akan mau. Percayalah pada Mbak."

Akupun menuruti permintaan Mbak Tika. Tapi saat aku meneleponya ternyata tidak dijawab. Tiga kali juga tidak dijawab. Mungkin dia sudah pulang pikirku. Mbak Tika hanya mengangkat bahunya, saat aku utarakan pikiranku. Tapi sebelum aku meletakkan kembali ponsel itu, tiba-tiba ada panggilan masuk. Tertera nama Mbak Lula dilayar ponsel. Aku segera menjawab panggilan itu.

Mbak Lula minta maaf karena tadi masih di ruang rapat, kemudian bertanya ada apa aku menelepo. Kujawab sesuai dengan apa yang tadi kami rencanakan. Tanpa berpikir lama Mbak Lula menyetujui permintaaanku. Dia akan segera ketempatku begitu rapat selesai.

Begitu aku menutup telepon Mbak Tika berkata "Benarkan apa yang Mbak bilang. Ayo kita bersiap-siap" Setelah itu Mbak Tika mengatakan rencananya. Aku hanya tersenyum mndengar rencana jahil dari Mbak Tika.

@@@@@

Jam sebelas malam kurang lima menit saat kudengar suara pintu diketuk. Aku segera memberi kode Mbak Tika, ketika tahu bahwa yang datang adalah Mbak Lula. Setelah Mbak Tika berpura-pura tidur, aku segera membuka pintu.

Mbak Lula telah menganti pakaiannya. Sekarang dia memakai blouse ketat lengan panjang berwarna biru muda, dengan kancing dibagian depan. Tercium bau harum yang membangkitkan gairah saat dia melangkah masuk. Aku segera menutup pintu dan menguncinya. Sementara Mbak Lula berhenti melangkah saat melihat Mbak Tika berbaring di tempat tidur. Dia menoleh ke arahku dan berkata, "Mbak pikir kamu minta ditemani karena tidak ada orang, itu ada Mbak Tika," Ucapnya setengah berbisik.

"Tapi aku ingin ditemani Mbak juga." Sambil berkata seperti itu aku memeluknya dari belakang kemudian kucium pipi Mbak Lula. Mbak Lula mungkin mengira aku hanya akan mengecup pipinya saja, namun tanganku segera membalikkan badannya kearahku dan kembali memeluknya erat, menciumi bibirnya. Mbak Lula mencoba menghindar, tapi aku cuek saja, tanganku juga mulai meremas payudaranya.

"Vin..., apa-apaan sih kamu ...?"

"Mbak, Gavin mau lagi. Tadi belum puas karena terburu-buru."

"Iya... Mbak ngerti, Mbak juga belum merasa puas dan ingin lagi. Tapi ga enaklah, kan ada Mbak Tika mu..."

"Ahh... tidak apa-apa Mbak, Mbak Tika sudah tidur. Lagi pula kalau dia tahu juga tidak mengapa. Tidak ada yang perlu dirahasiakan, kita sudah sama-sama tahu semuanya."

Walau Mbak Lula sedikit menolak karena merasa sungkan ada Mbak Tika, aku tidak menyerah. Aku mulai menciumi lehernya, tanganku mulai menerobos bajunya dan meremas-remas payudaranya di balik Bra nya dengan gemas. Saat merasakan penolakan Mbak Lula mulai melemah, maka tanganku yang satu lagi mulai membuka kancing bajunya, kini tampaklah payudara besarnya yang terbungkus Bra warna merah muda.

Walau sudah pernah melihatnya, tapi pemandangan ini tetap mempesona diriku. Biar lebih leluasa, maka segera kubuka bajunya, kini dia hanya mengenakan Bra di bagian atas tubuhnya. Aku remas dan mainkan payudaranya dengan gemas, tanganku menyusup ke balik Bra nya, memilin dan mengelus putingnya. Putingnya kurasakan mulai membesar dan mengeras, pertanda Mbak Lula juga mulai terangsang.

Aku menjadi semakin bersemangat, kucari kaitan Bra nya, kulepas dan kini Mbak Lula sudah bertelanjang dada. Kudorong badan Mbak Lula agak menyandar ke sofa, segera payudara besar itu kulumat habis dengan mulutku dan lidahku. Kini tanganku mulai bergerilya di balik roknya, kurasakan dari balik celana dalamnya, vagina Mbak Lula mulai basah. Sedikit kuturunkan celana dalam itu sampai ke paha Mbak Lula. Kini jariku segera memainkan vagina Mbak Lula.

Cepat sekali kurasakan vagina Mbak Lula basah, rupanya Mbak Lula juga sudah horny. Dan dia menginginkan lagi permainan ini. Tampaknya apa yang dikatakan Mbak Tika adalah suatu kebenaran. Jariku mulai memainkan klitorisnya sesekali juga menusuk lobang vaginanya. Bibirku dengan rakus menciumi wajah, leher, dan payudara Mbak Lula, lalu lengan Mbak Lula agak aku angkat, aku ciumi ketiaknya. Mbak Lula yang tampaknya baru membersihkan diri menjadikan aroma parfum dan sabun bercampur, sehingga menimbulkan aroma tubuh yang enak sekali, menambah naik nafsuku.

Tangan Mbak Lula menurunkan celanaku. Kemudian mulai mengurut-urut penisku, jemari halusnya terasa nyaman saat memainkan penisku. Dengan jari jempolnya mengelus kepala penisku, dan empat jari lainnya mengocok batangku, nikmat sekali. Puas menggerayangi dan menciumi Mbak Lula, akupun segera melepaskan rok dan celana dalam Mbak Lula. Mbak Lula duduk di sofa, kakinya dilebarkan.

Aku segera berjongkok dan mengarahkan mulutku ke vaginanya, lidahku langsung membombardir vagina Mbak Lula, lubang vaginanya kujilat dan kusodok-sodok dengan ujung lidahku, klitorisnya menerima jilatanku yang penuh nafsu, Mbak Lula hanya bisa meremas-remas rambutku dan mendesah penuh kenikmatan. Aku terus saja memainkan klitoris Mbak Lula, belum lagi jariku dengan aktif menyodok-nyodok lubang vaginanya, makin kelojotan saja Mbak Lula dengan aksiku. Tak lama Mbak Lula mengejang, lalu orgasme.

Baru saja aku melepas lidahku dari klitorisnya, Mbak Lula segera menarikku, dan menyuruhku berbaring di sofa. Tanpa basa-basi lagi, dia langsung melumat penisku dengan mulutnya, tampak bernafsu sekali, habis penis dan bijiku, dijilat, dihisap dan dikulumnya, sepertinya Mbak Lula dahaga sekali dengan penisku ini.

Aku biarkan Mbak Lula memainkan penisku, sementara mataku menatap ke ranjang. Mbak Tika kulihat sedang duduk menyaksikan kami, dia nampak bermain dengan dirinya sendiri. Jari tangannya sibuk memainkan vagina dan klitorisnya, membuat nafsuku jadi ikut naik.
Sabar dulu Mbak Tika, aku tahu Mbak sudah lama menginginkan permainan ini, tapi sekarang jatah buat Mbak Lula dahulu.

Segera kuhentikan kegiatan Mbak Lula mengoral penisku, kubaringkan Mbak Lula di sofa. Kemudian aku segera menindihnya, Mbak Lula melebarkan kakinya, memberi kemudahan bagi penisku saat menerobos lubang vaginanya yang sudah sangat basah karena nafsu. Kupompa penisku dengan cepat, dan sedalam mungkin, mulutku tidak ada hentinya menciumi bibir, payudara dan puting Mbak Lula bergantian. Kami berdua bermain dengan panas memenuhi nafsu yang membuncah.

Mbak Lula mendesah dan mengerang dengan penuh kenikmatan, tangannya yang memeluk punggungku, kurasakan sangat kuat. Pompaan penisku terdengar sangat jelas di dalam lobang vagina Mbak Lula, semakin menambah sensasi dan kenikmatan kami. Mbak Lula mulai mengerang dan mengejang, cairan hangat menyembur dari vaginanya, tapi tak menghentikan gerakanku, justru semakin menambah gairahku.

Tiba-tiba kurasakan ada lidah yang bermain di biji dan lubang pantatku, nampaknya Mbak Tika juga sudah gerah melihat permainan kami, dan ikut bergabung. "Gila.... enak sekali rasanya," saat aku memompa vagina Mbak Lula, biji dan lubang pantatku dijilati dengan ganas dan bergairah oleh Mbak Tika, wow ... Nampaknya karena kenikmatan yang bertubi-tubi menghampiri, peniskupun mendekati klimaksnya, segera kukerahkan sodokan terakhirku sepenuh tenaga dan, "Crootttt..... croooott........" spermaku menyembur kuat dalam lobang vagina Mbak Lula. Aku terkulai lemas .....mencabut penisku, dengan badan masih menindih Mbak Lula.

"Kamu ganas sekali, Vin..."

"Iya, soalnya tadi sore aku belum puas menikmati vagina Mbak...."

"Iya, Mbak juga...."

Nampaknya kini Mbak Lula menyadari, Mbak Tika ada di dekatku dan sedang menjilati sisa sperma di penisku. Mbak Lula agak kaget, dan sepertinya merasa tidak nyaman. Mbak Lula kemudian berkata...

"Vin, Mbak Lula mandi dulu yah..."

"Jangan dong Mbak, Gavin masih belum puas..."

"Kan ada Mbak Tika, kamu kan bisa puasin sama dia. Kalau kamu kurang sama Mbak, kita bisa lanjut kapan-kapan."

"Nggak ah... Gavin mau Mbak Lula tetap di sini, juga Mbak Tika, kita bisa main bertiga ..."

"Kamu ini aneh-aneh saja ah, Vin. Mbak nggak mau..."

"Kenapa... Mbak ???"

"Malu, Vin ..."

"Malu ...??? Yang ada di sini cuma kita bertiga, malu sama siapa ...??? Mbak Tika... Mbak malu nggak ...???" tanyaku pada Mbak Tika.

"Nggak Vin, malah sebenarnya Mbak memang sudah lama berfantasi melakukan seks bertiga seperti ini. Cuma bingung mau main sama siapa, kalau sama kamu dan satu wanita yang kamu mau, Mbak mau dan nggak merasa risih ..."

"Tuh Mbak Lula dengar kan ..."

"Iya Vin, tapi Mbak ..."

"Sudah ah, Mbak Lula ikutin dan bikin santai saja. Nanti lama-lama Mbak juga bakalan menikmatinya."

Baru saja aku selesai bicara, kulihat Mbak Lula agak mendesah. Rupanya Mbak Tika, sedang menggarap klitoris Mbak Lula. Aku segera berdiri dan mengarahkan penisku yang sudah kembali mengeras ke mulut Mbak Lula, minta dikulum lagi. Mbak Lula nampaknya tidak bisa menolak lagi dengan situasi yang ada, mulutnya segera mengulum penisku yang berdiri di sampingnya. Sementara Mbak Tika menjilati klitoris Mbak Lula. Aku sangat terangsang melihat pemandangan ini, kurasakan penisku sangat keras dalam mulut Mbak Lula. Tanganku kini sibuk meremas-remas dan memainkan payudara besar Mbak Lula.

"Aghhh.... awwww... aduhhhhh... teruuush..."

"Oooohhh..... ughh... yesss... yesss...."

"Tikh... Tiikhaa... ennaaakkkk.... ughh... ssshhhh..."

Mbak Lula nampaknya sangat menikmati permainan lidah Mbak Tika pada klitorisnya, dan benar saja... tak lama kemudian Mbak Lulapun orgasme. Aku segera melepas penisku dari mulut Mbak Lula... dan memberi kode Mbak Tika supaya berdiri, Mbak Lula masih telentang di sofa, kakinya mengangkang dengan vagina yang sudah merah karena menerima hantaman kenikmatan, namun aku berniat menambahnya, toh Mbak Lula sudah lama menginginkan permainan ini.

Maka tanpa banyak komentar kembali kuhantamkan penisku ke vagina Mbak Lula, Mbak Lula mendesah nikmat. Sementara Mbak Tika berjalan ke ujung sofa, naik dan berdiri tepat di atas muka Mbak Lula, kemudian menungging, kini vaginanya di atas muka Mbak Lula, sementara wajahnya berhadapan denganku. Mungkin Mbak Lula masih bingung dengan apa yang harus dilakukan..., karena belum pernah melakukan permainan threesome.

"Mbak, jilat klitorisku juga dong..."

Mbak Tika segera merendahkan pinggulnya, mengarahkan vaginanya ke mulut Mbak Lula, kulihat Mbak Lula mulai menjilat vagina Mbak Tika dan memainkannya. Aku segera mencium bibir Mbak Tika, dengan tanganku meremas-remas payudara Mbak Tika. Kini gantian Mbak Tika yang juga mendesah keenakan, sementara Mbak Lula terus memainkan klitoris Mbak Tika.

Ciuman Mbak Tika semakin panas seiring dengan makin intensifnya jilatan Mbak Lula pada klitorisnya. Aku semakin semangat memompa penisku dalam vagina Mbak Lula. Tubuh kami bertiga sudah berkeringat, namun semangat dan gairah kami sudah terbakar dengan sempurna. Tak berapa lama Mbak Tika juga mengejang dan orgasme.

Aku segera mencabut penisku dari lobang vagina Mbak Lula, kemudian Mbak Lula dan Mbak Tika kusuruh duduk di sofa panjang berdampingan, pasrah dengan kaki mengangkang siap menerima sodokan penisku pada vagina mereka. Kali ini gilirannya Mbak Tika, segera kuhujamkan penisku ke lubang vaginanya. Mbak Tika menjerit nikmat. Segera aku beraksi memulai memompa, sementara tanganku bergantian meremas-remas payudara besar milik Mbak Lula dan Mbak Tika.

Mbak Tika juga memulai inisiatif mencium Mbak Lula, Ugh... panas sekali melihatnya saat Mbak Lula berciuman dengan Mbak Tika, saling memainkan bibir dan lidah. Kadang-kadang aku juga ikut mencium mereka bergantian. Mulutku juga sesekali menciumi payudara mereka berdua, sensasional sekali nikmatnya, pompaanku dalam vagina Mbak Tika semakin kuat, rupanya Mbak Tika tidak tahan lagi dan menyemburkan orgasmenya.

Kucabut penisku dan segera kuarahkan ke vagina Mbak Lula, kini gantian aku memompa Mbak Lula. Sementara tangan Mbak Tika kembali memainkan klitorisnya sendiri. Mbak Lula membantu dengan meremas-remas payudara Mbak Tika, rupanya Mbak Lula mulai pandai berthreesome. Aku mencium Mbak Lula sambil meneruskan memompa penisku, gairah kami bertiga saat itu benar-benar amat tinggi.

"Yesss... yess... ahhhhh...."

"Teruuusss... Vin...."

"Oooohhh...... ooohh.... auuwwww ..."

Mbak Lula ribut sekali, Tampaknya dia benar-benar kehausan selama ini. Membuat vaginanya sangat kangen saat bertemu dengan penisku, akupun tidak mau setengah-setengah memompakan penisku. Pinggul Mbak Lula ikut bergoyang mengimbangi dan menambah rasa enak. Tangannya terangkat ke atas meremas payudaranya sendiri, yang menambah rangsangan. Sodokanku makin kuat saja. Tidak lama Mbak Lula mulai menunjukkan gejala mau orgasme lagi, aku menjadi semakin bernafsu, dan akhirnya Mbak Lula orgasme diiringi desahan kuat. Sementara kulihat Mbak Tika masih sibuk bermain dengan klitorisnya.

"Sudah Vin, sana kamu ke Mbak Tika, Mbak Lula sudah capek, dari tadi kamu hajar habis-habisan, itu kasihan Mbak Tika, kamu selesaikan sama Mbak Tika ya... !!!"

Mbak Lula lalu hanya menyelonjor di sofa, aku segera menuju Mbak Tika. Kubuat posisinya menungging, dan aku sodok vaginanya dari belakang, kali ini aku bergerak dangan amat cepat, karena aku juga sudah mulai lelah, sambil menungging, kedua tangan Mbak Tika kutarik ke belakang, tapi tidak kuat, hanya sebagai pegangan. vaginanya sudah sangat basah, entah berapa banyak kenikmatan yang dia dapat, tapi tetap saja mau lagi dan lagi.

Penisku kini sudah mendekati batas maksimum, segera kulepas tangan Mbak Tika, kutinggikan tubuhnya sedikit, kini tanganku memeluk erat payudaranya, dan dengan desahan kuat aku lakukan sodokan terakhirku, keluarlah spermaku dengan kuat membasahi liang vaginanya. Kami terdiam sesaat. Lalu aku segera mencabut penisku. Puas, nikmat, dan lelah menjadi satu.

"Aghh... nikmat dan puas banget, Vin."

"Kamu hebat Vin, Mbak senag sekali."

"Mbak... bagaimana dengan Mbak Lula..."

"Kan kamu bisa lihat, Mbak sampai kehabisan tenaga..."

"Bagaimana, enak kan main bertiga... ?"

"Iya sih... tapi Mbak melakukan semuanya cuma demi kamu. Dan hanya sesekali saja ya... !"

"Jadi ceritanya Mbak Lula suka juga nih... ?"

"Ahhh, dasar nakal kamu, Vin..."

"Mbak juga sama Vin, cuma demi kamu. Tapi sebenarnya keuntungan juga buat kita-kita. Kita jadi mampu menahan seranganmu yang seperti tidak habis-habis. Ya, ngak Mbak," ucap Mbak Tika, sambil memandang ke arah Mbak Lula.

"Oke... Gavin senang karena bisa main bersama Mbak Lula dan Mbak Tika, dan juga memuaskan Mbak berdua. Mungkin kapan-kapan kita perlu ajak Mbak Ina dan Mbak Rani, biar tugas Mbak berdua lebih ringan lagi...," Ujarku, sambil tersenyum, mengoda mereka. Yang langsung disambut dengan senyum cemberut dari dua orang wanita di depanku.

To Be Conticrooot...
 
Chapter XXIV : Eraser

Pagi itu di kamar aku dirawat...

Setelah melakukan pemeriksaan pada seluruh tubuhku, Dokter memperbolehkan aku untuk pulang. Aku segera memberi tahu Ayah, Ibu, Elang, Mas Bram dan teman-teman yang lainnya. Sementara Mbak Tika mengurus administrasinya.

Saat kutelepon, Elang mengatakan akan segera ke Rumah Sakit. Aku sudah bersiap untuk pulang dan tinggal menunggu surat jalan yang sedang diurus Mbak Tika, saat Elang datang dengan seorang wanita.

Dia segera memperkenalkan wanita itu padaku. "Avi," ucap wanita itu memperkenalkan diri.

"Gavin," balasku.

Sebenarnya tanpa dia tidak menyebut nama, aku sudah tahu siapa dia. Avianai Malik, ya Elang sudah mengatakan di dalam ceritanya. Avi sempat bertanya bagaimana keadaanku dan juga minta maaf tidak sempat datang sebelumnya, dikarenakan sibuk. Kami lalu berbincang sambil menunggu Mbak Tika datang.

Tidak lama kemudian Mas Bram datang bersama Mbak Rara, dia adalah calon istrinya Mas Bram. Indhira Purnaningtyas lengkapnya, tapi biasa dipanggil Rara. Dia bekerja di Kemenlu. Yang aku ketahui saat ini dia ditempatkan di Kedutaan Besar Indonesia yang ada di India.

"Gimana kabarnya, Vin ?" tanya Mbak Rara.

"Baik Mbak, kapan pulang ?" tanyaku.

"Dua hari yang lalu. Kemarin masih sibuk mengurus kepindahan Mbak, jadi tidak sempat kesini."

"Mutasi lagi Mbak, kemana ?"

"Sudah cukup Mbak melalang buana, Mbak mau disini saja. Ini juga permintaan Mas mu, ya kan ?" kata Mbak Rara sambil menoleh ke arah Mas Bram. Mas Bram hanya tersenyum mendengar perkataan itu.

Kemudian Mbak Rara berkenalan dengan Elang dan Avi. Sementara Mas Bram tampaknya sudah lama kenal dengan Avi.

@@@@@

Setelah Mbak Tika selesai mengurus surat jalan. Aku dan lainnya segera meninggalkan Rumah Sakit yang kudiami hampir satu bulan. Aku dan Mbak Tika ikut naik mobil Toyota Harier Mas Bram, sementara Elang dan Avi Naik sepeda motor mengikuti kami di belakang.

Aku meminta Mas Bram mengarahkan mobilnya ke apartemen Om Anwar. Saat di suatu jalan yang agak lenggang Elang mendekati mobil dan mengetuk jendela seakan ingin berkata sesuatu. Mas Bram sedikit memperlambat laju mobilnya, aku segera membuka jendela. Tapi sebelum aku bertanya Elang lebih dulu berkata, "Bmw X5 di belakang mengikuti kita semenjak keluar dari Rumah Sakit," ujarnya.

Aku segera menengok ke belakang sesuai apa kata Elang. Benar saja, sebuah BMW X5 mengikuti kami dari belakang. Tapi kemudian aku ingat bahwa mobil itu adalah kendaraan yang biasa di pakai Om Dans, "Tidak apa-apa Lang, dia teman." ucapku memberi penjelasan.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan, hingga sampai tujuan dengan aman.

Kami terpaksa bergotong-royong membersihkan aparteman yang kotor karena lama tidak ditempati. Sore harinya Mas Bram pulang sekalian mengantar Mbak Rara. Elang juga keluar mengantar Avi pulang. Sore itu juga banyak teman-teman dan wanita-wanitaku yang datang, merayakan kesembuhanku. Hampir tengah malam, ketika satu-persatu pulang.

Sampai keesokan harinya. Pagi itu Mbak Tika sedang keluar dengan Mbak Rani. Sementara aku memang masih cuti. Elang juga berkata akan ada tugas nanti sore, sementara ini dia bisa bersantai. Kami kembali bercakap-cakap santai seperti saat di Rumah Sakit.

"Lang aku masih penasaran dengan kisahmu waktu itu. Terakhir kamu bercerita, kamu masih bingung dengan perasaanmu kepada Avi. Apakah kemudian saat itu kamu memutuskan untuk menerima cintanya dan menyusul dia ke Jakarta ?" tanyaku pada Elang.

Dia tersenyum kemudian berkata, "Aku bukan sepertimu Vin, mungkin kalau kamu akan bertindak seperti itu, tapi aku tidak, bukan aku tidak cinta pada Avi, tapi aku tidak akan melakukan sesuatu hanya karena Wanita." mendengar itu aku merasa tersindir juga, akupun hanya bisa tersenyum mendengarnya.

Elang kemudian melanjutkan ucapannya. "Baiklah aku akan menceritakan kenapa aku bisa sampai ke kota ini." Elang lalu menceritakan kelanjutan cerita hidupnya yang sempat terpotong ketika di Rumah Sakit.

@@@@@

Elang Side's story : Eraser

Sesampainya di kantor aku segera menuju ke ruangan Pak Kapolresta. Tapi saat itu sedang ada tamu di ruangan Pak Kapolresta. Tampaknya orang yang cukup penting, karena semua kasat ikut menemuinya. Terpaksa aku menunggu di depan ruangan itu sambil bercakap-cakap dengan teman kerja lainnya.

Tidak lama kemudian pintu ruangan itu terbuka, keluarlah Pak Kapolres mengiringi tamu. Aku langsung bangkit dan memberi hormat. "Bram, ini Elang yang kita bicarakan tadi," kata Pak Kapolres. Dia kemudian mengulurkan tangannya dan berkata "Bram," ucapnya memperkenalkan diri.

Aku pun kemudian menyambut uluran tangannya, "Elang," balasku. Orang itu memandang ke arahku, kemudian tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Usianya masih muda, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. Kami kemudian berbincang beberapa saat. Baru kuketahui pangkatnya sudah AKBP, tugasnya saat ini sedang di Polda Metro Jaya. Tapi tampaknya tidak lama lagi dia akan segera ditarik ke Mabes.

Setelah Pak Bram pulang aku segera menghadap Pak Kapolres dan menceritakan pertemuanku dengan Ardi. Dia termenung beberapa saat kemudian berkata, "Aku mau kita bertindak cepat dan rahasia dalam urusan ini. Aku tidak mau ada anggota kita yang bermain dalam urusan ini. Atau kejadian dua tahun lalu berulang kembali." Ujarnya.

Aku hanya terdiam mendengar Pak Kapolres menyinggung kejadian dua tahun yang lalu. Aku tentu ingat dengan jelas peristiwa itu. Karena aku terlibat di dalamnya. "Lang, aku ingin hanya kita berdua yang tahu masalah ini. Kita masing-masing buat satu tim rahasia. Tim yang kamu pimpin yang akan bergerak ke lapangan. Sementara tim ku akan mem back up dari belakang dan membantu dalam urusan ijin dan yang lainnya. Bagaimana menurutmu ?" tanya Pak Kapolres.

"Siap laksanakan semua perintah Pak, aku setuju dengan rencana Bapak."

"Baik, kamu siapkan orang yang kira-kira bisa masuk ke dalam tim. Kalau kamu kesulitan mendapatkan orang itu, kamu hubungi aku langsung ke nomer pribadiku. Aku harap kita sudah bisa mendapatkan orang-orang itu, saat kita bertemu nanti malam."

"Siap Pak !!!" kataku.

@@@@@

Setelah itu aku segera keluar dari ruangan dan menuju ke tempat orang-orang yang akan kumasukkan ke dalam tim. Aku harus kesana-kemari untuk menemui orang-orang yang kuperlukan. Malamnya kemudian aku mengajak beberapa orang yang menurutku layak untuk masuk ke dalam tim.

Aku memperkenalkan orang-orangku kepada Pak Kapolres. Orang pertama adalah Jaka Warsito, dia adalah kakak dari sahabatku yang telah tiada. Dia tahu undang-undang narkotika dan psikotropika dengan baik. Dia akan mempersiapkan tuntutan perkara untuk membantu kita mendapatkan keyakinan di pengadilan narkotika. Dia juga bukan orang baru dalam hal ini. Sudah beberapa kali aku meminta bantuannya.

Orang kedua Andika, dia orang baru dalam dunia ini. Tapi pengetahuannya tentang psikotropika mungkin berguna bagi tim.

Yang ketiga mungkin tidak layak. Tapi dia punya jaringan kuat dan pengetahuan mendalam tentang pemakai narkotika. Orangnya kasar, jujur dan apa adanya. Namanya Imran.

Setelah aku memperkenalkan anggota tim ku maka Pak Kapolres memulai rapat untuk merencanakan segala sesuatunya. "Teman-teman, pimpinan operasi ini adalah Elang. Kalian akan melaporkan segala sesuatunya kepada Elang. Aku hanya akan memberi dukungan dari belakang dan bila ada sesuatu yang terjadi aku yang akan bertanggung jawab, Elang silahkan kau mulai paparkan rencananya."

"Terima kasih Pak," kataku kemudian maju ke depan. "Kita akan menangani empat kelompok utama, tugas kita adalah memusnahkan empat geng ini. Kita mulai bergerak malam ini, kalau sudah pasti kita akan langsung bertindak. Kita namakan operasi ini 'Eraser'. Ada pertanyaan ?" tanyaku.

Melihat tidak ada yang bertanya, aku segera menjelaskan rencana-rencanaku dan tindakan apa yang akan kami lakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Setelah itu kami segera mempersiapkan diri, baik persenjataan maupun hal teknis lainnya yang di perlukan.

@@@@@

Begitu pagi menjelang, kami dua belas orang anggota tim segera berangkat dengan menggunakan tiga buah mobil. Pertama kami menuju tempat yang terdekat. Arah barat laut, Salatiga. Sesampai di kota Salatiga, kami kemudian segera membelok ke arah barat daya. Tidak lama kami sampai di Getasan.

Tanpa menunggu lama kami menuju sasaran. Karena semua penduduk sekitar tahu pabrik yang kami maksud, maka tanpa kesulitan kami menemukan pabrik farmasi yang di jadikan kedok untuk memproduksi Mandrax itu. Dari luar memang seperti pabrik biasa.

Setelah melihat situasi dan kondisi, kami segera bergerak. Empat orang penjaga tidak bisa bergerak saat senjata kami menodong mereka. Kami kemudian memaksa mereka untuk membuka pintu, dengan cepat kami melakukan penggeledahan dan pemeriksaan. Setelah yakin bahwa benar-benar tempat ini adalah pabrik untuk memproduksi Mandrax. Kami memaksa Martono sang pengelola untuk datang.

Dengan cepat dan mudah satu geng kami bekuk tanpa ada perlawanan. Kami menitipkan mereka dan barang buktinya di kantor polisi terdekat. Dengan pesan jangan ada berita yang keluar.

@@@@@

Setelah istirahat barang sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju Magelang. Dan terus menuju arah Mungkid. Siang itu kami menyusuri semua pangkalan truk, mencari dimana biasanya sopir pabrik Acetic Anhydride itu memindahkan barang yang dibawanya. Dari informasi yang didapat, mereka biasanya masuk ke pangkalan itu pada tengah malam.

Kami berpencar duduk di warung yang berada di sekitar tempat itu. Hampir jam satu malam, saat dua buah truk masuk pangkalan. Dua truk itu mengambil parkir salin berdekatan. Kami masih belum begerak, hanya memperhatikan gerak-gerik sang sopir.

Dari tempatku mereka memindahkan sesuatu dari drum-drum besar yang ada di dalam truk dan di pindah ke jirigen kecil. Setelah penuh mereka membawa jirigen kecil itu ke sebuah truk lain yang sudah menunggu. Saat kedua kalinya mereka akan memindah jirigen kecil itu, aku memberi kode kepada Imran yang duduk denganku. Aku bergerak cepat mendekati dua orang itu. Di ikuti yang lain mengepung dua orang itu.

Tanpa basa-basi aku langsung bertanya pada salah satu dari mereka. "Karman, aku tidak membutuhkanmu atau barang yang ada di tanganmu itu. Aku ingin Kuntoro, di mana dia ?"

"Siapa Kuntoro, Bos ?" jawabnya.

Aku menoleh kepada Imran dan memberikan kode kepadanya. Imran mengangguk, "Itu jawaban yang salah sobat !" kata Imran, sambil mengangkat pistolnya. Dan "Dooor..." dia menembak kaki karman. Karman langsung menjerit kesakitan sambil memegangi kakinya.

Saat pistol Imran kembali di angkat, Karman tanpa di minta dua kali langsung membuka mulutnya. "Pak, 13 kilometer ke timur dari sini ada desa kecil. Disana anda dapat menemukan Kuntoro."

Tanpa menunggu lama kami bergerak ke arah yang di tunjukan Karma. Cahaya matahari mulai menyinari bumi ketika kami memasuki areal persawahan di suatu desa kecil di Mungkid. Untuk memastikan kami bertanya kepada penduduk sekitar. Matahari benar-benar tampak saat kami mulai mengepung markas Kuntoro. Markas yang sangat strategis, karena terpencil dan tidak ada orang yang menyangka, bahwa rumah di tengah ladang sawah akan dijadikan gudang obat-obatan terlarang.

Kami mengepung tempat itu dari empat penjuru. Sambil melihat situasi dan kondisi aku perintahkan mereka untuk mempersiapkan diri. "Dueeers...," Detik-detik menegangkan dipecahkan bunyi tembakan yang mengarah ke arah kami. Aku segera menghindar, malang satu anggota tim tertembak. Aku memerintahkan untuk membalas serangan mereka.

Maka terjadilah Baku tembak di pagi hari itu. Bunyi tembakan dan rintihan kesakitan terdengar, saling susul menyusul. Kulempar beberapa botol bensin kecil yang kutemukan ke atas atap rumah yang dipakai gerombolan mereka untuk bersembunyi dan menyerang. Saat botol itu melayang di atas atap yang terbuat dari rumbia, kutembak botol itu. "Dooorss... Bummms..." api segera membakar atap dan dengan cepat merambat ke segala arah karena efek bensin dari botol itu.

Beberapa kali kulakukan hal itu, hingga seluruh rumah nyaris tertutup api. Maka anggota gerombolan itu berhamburan keluar dari dalam rumah. Dengan mudah mereka kami kuasai. Ada beberapa yang mencoba untuk kabur, dengan terpaksa kami lumpuhkan mereka. Termasuk Kuntoro berusaha untuk lari, dia yang paham daerah sekitar untuk beberapa lama dapat berlari jauh. Tapi aku terus mengejarnya, hingga dia akhirnya menyerah karena kehabisan tenaga.

@@@@@

Dua target berhasil kami habisi, walau memakan korban beberapa orang anggota tim. Kami terpaksa meninggalkan mereka di Magelang. Tanpa istirahat kami langsung melanjutkan perjalanan. Tengah hari kami memasuki kota Yogyakarta. Kami bagi dua kelompok, satu kelompok mencari informasi dan satu kelompok beristirahat untuk memulihkan stamina sambil menyusun rencana selanjutnya.

Setelah seluruh anggota tim merasa fit, kami mulai bergerak kembali. Menuju tempat yang menjadi target selanjutnya. Geng pimpinan Thomas berada di daerah dekat pantai Parangtritis. Markasnya berada di daerah yang terpencil jauh dari keramaian. Menjelang sore kami mengepung tempat itu.

Markasnya adalah rumah kuno peninggalan Belanda. Agar tidak sampai terjebak gelapnya malam, aku memberi perintah untuk bergerak. Perlahan kami semakin dekat dari rumah itu. Dari luar tampak sepi, seperti tiada kehidupan. Kami masuk dengan berpencar melewati berbagai jalan. Aku masuk ke dalam salah satu kamar yang jendelanya terbuka.

Dari ruangan itu aku dapat melihat suasana di dalam rumah. Kulihat ada beberapa orang berbicara, ada yang bersantai, ada yang menelepon, juga ada yang sedang menikmati obat-obatan. Serius mengintai, membuatku sedikit lengah. Hingga tidak sadar tiba-tiba di belakangku muncul seseorang.

Saat aku menengok ke belakang, seseorang menodongkan pistolnya ke arahku. Aku mencoba untuk tenang, kuangkat kedua tanganku ke atas. Tapi dengan cepat tanpa diduga orang di depanku. "Plaaak... !!! duaaak... !!! praaang... !!!" Tanganku bergerak menyilang menghantam pergelangan tangan orang itu. Begitu senjata lepas dari tangannya, kakiku bergerak naik menghantam dadanya. Orang itu terlempar dan menghantam lemari kaca di belakangnya.

Sebelum mereka sadar aku sudah menyerang mereka lebih dulu. Beberapa teman melempar bom asap ke dalam ruangan. Maka terjadilah baku tembak, di rumah besar peninggalan Belanda itu. Karena mereka tanpa persiapan, kami yang menyerang dengan senjata lebih lengkap dan terencana dapat mengusai mereka. Walau jumlah kami jauh lebih kecil.

@@@@@

Sebenarnya kami ingin langsung menyelesaikan geng yang terakhir. Tapi terpaksa kami tunda keinginan itu. Hal ini disebabkan surat ijin untuk membawa Darto dari penjara belum keluar. Kami di perintah untuk tidak perlu kembali ke Markas. Untuk menjaga tugas kami tetap rahasia, kami tidak menghubungi kepolisian setempat. Kami menginap di losmen kecil untuk tidak menarik perhatian.

Dalam masa tugas seperti ini biasanya pikiranku fokus untuk segera menyelesaikannya. Tapi semenjak pertemuanku dengan Avi, pikiranku kadang-kadang menjadi tidak fokus. Apa lagi malam ini aku sendirian di kamar, anggota tim yang lain aku bebaskan untuk bersantai dan bersenang-senang. Dalam kesendirian, bayangan wajah Avi bermain di dalam pikiranku.

Ada keinginan dalam hati untuk menghubunginya. Tapi perasaan itu kutekan kuat-kuat. Hal seperti ini baru kurasakan dua kali. Dulu aku juga pernah merasakan hal seperti ini. Chantal, ya nama itu pernah terpatri dalam hatiku. Perasaan yang sama pernah kurasakan pada Chantal. Tapi waktu itu aku paksakan juga untuk tidak menanggapi isi hatiku. Aku masih takut akan keselamatan orang di sekitarku.

Avi mungkin belum pernah mengalami bahaya seperti yang di alami Chantal. Tapi siapa tahu bahaya akan mengancamnya bila Avi dekat denganku. Bila dulu aku bisa menekan perasaanku pada Chantal, maka aku ingin mengulanginya lagi pada Avi. Tapi semakin aku berusaha untuk tidak memikirkannya, bayangannya selalu muncul dalam ingatanku.

Akhirnya sampai jauh malam aku tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku kemudian tidak terpaku pada Avi. Muncul bayangan Chantal, kemudian di ikuti orang-orang dari masa laluku. Munculnya bayangan Chantal, mengingatkan aku kepada Rudi, adik dari Mas Jaka. Dia adalah sahabatku semenjak sekolah. Tapi dia telah tiada karena peristiwa itu. Rudi meninggal karena di tembak Andi, rekan kerja kami berdua. Andi dinyatakan meninggal jatuh ke dalam jurang. Dan tentu saja Pak Yudi, mantan atasanku yang juga dinyatakan meninggal di dasar jurang.

Walau hal itu sudah dinyatakan secara resmi dari tim dokter dan keluarga mereka, tapi aku merasa masih ada yang janggal dengan kematian Pak Yudi dan Andi. Dari bayangan Pak Yudi dan Andi, pikiranku beralih kepada Kakek dan Nenek. Ya karena kata-kata rahasia dari kakek ketika aku menceritakan tentang peristiwa itu kepadanya. Ada satu hal yang kakek rahasiakan dariku. Tentang kematian anak kandungnya. Sementara aku hanya cucu angkat mereka. Dari dulu kakek tidak mau menceritakan penyebab kematian anak, menantu dan cucunya. Tapi saat aku menceritakan kematian Pak Yudi, dia tampak termenung dan tanpa sadar mengucapkan kata-kata "Tampaknya ini merupakan karma atas apa yang telah dilakukannya, termasuk yang telah dilakukannya pada putraku."

Saat aku bertanya, apa Pak Yudi yang bertanggung jawab akan kematian putranya, kakek kembali menutup mulutnya. Hingga saat meninggalnya aku tidak tahu apa yang telah terjadi sebenarnya. "Truntung...truntung...," Lamunanku di buyarkan oleh bunyi telepon yang masuk. Kulihat nama Avi muncul di layar. Muncul kebimbangan dalam hatiku, antara menerima panggilan itu atau menolaknya.

Untuk beberapa lama tanganku berada di atas tombol panggil. Tapi jari ini terasa berat untuk menekannya, hingga suara panggilan itu berhenti. Ada perasaan lega yang disertai rasa menyesal karena tidak menjawab panggilan Avi. Maka begitu suara telepon kembali berbunyi untuk kedua kalinya, segera kujawab panggilan itu, "Halo Avi, maaf tadi aku sedang di kamar man..."

"Hei Elang, saya bukan Avi. Saya Arman, dan saya masih cowok tulen, hahaha...." Ucapanku langsug terputus dan darah serasa mengalir deras ke seluruh wajah, karena malu. Begitu mendengar suara dari seberang. Karena suara itu bukan suara Avi, melainkan Pak Kapolres.
"Ma... ma...af pak. Bukan maksud saya. Saya kira tadi teman saya yang menelepon," kataku menjelaskan pada orang yang di seberang. "A...da apa pak?" Bapak Kapolres tertawa dan menerima permintaan maafku sebelum beliau menjelaskan maksud dan tujuan beliau menghubungiku.

Pak Kapolres mengatakan surat izin yang kita perlukan sudah keluar, dan akan di antar salah satu teman malam ini juga ke Yogya. jadi besok kami bisa bertindak. Sebelum menutup telepon Pak Kapolres sempat menggodaku dengan menanyakan, siapa yang aku panggil Avi ?

Mendengar berita tentang surat ijin yang telah keluar, membuat pikiranku tentang Avi menjadi berkurang. Niatku yang sebelumnya ingin menghubungi dia, menjadi batal. Aku lalu menghubungi salah satu teman yang berjaga dan berpesan padanya, jika teman yang membawa surat sudah datang aku segera dibangunkan.

Setelah pikiranku tenang kembali, maka aku berusaha kembali untuk dapat memejamkan mata barang sejenak, untuk sedikit memulihkan tenaga.

@@@@@

Pagi buta kami sudah meninggalkan penginapan. Mobil melaju menuju arah barat. Melawati Kutoarjo, Kebumen, Gombong, Kroya dan terus berlanjut ke Cilacap. Kami hanya beristirahat dalam perjalanan menyeberang ke Pulau Nusa Kambangan.

Tanpa kesulitan kami di izinkan untuk masuk ke dalam menemui Darto. Saat itu dia sedang santainya duduk dan bercakap-cakap dengan seorang sipir di ruangan yang nyaman. Dia sedang berkata pada sipir itu, "Kamu hanya membawa heroin itu ke Solo, nanti akan ada orangku yang akan menerimanya."

Tanpa permisi aku langsung masuk, Sipir yang sedang bersama Darto berusaha menghalangi. Tapi tanpa basa-basi aku dorong tubuh sipir itu ke samping dan kuraih kerah baju Darto hingga tubuhnya terangkat, "Siapa yang akan menerima heroin itu di Solo ?" tanyaku.

"Heroin apa Pak ?" kata Darto, pura-pura tidak mengerti.

"Aku punya surat izin untuk membawamu keluar dari sini. Jadi kamu tinggal pilih, mau mati tanpa kubur di luar, atau mengatakannya dan tetap hidup nyaman di sini ?" kataku dengan mengacungkan pistol ke arahnya.

Wajah Darto langsung berubah mendengar perkataan dan juga senjata di tanganku. "Aku akan menghitung sampai tiga atau aku akan ...?" kata-kataku belum selesai, saat Darto berkata, "Aku akan berkata dimana Tono dan Tino berada."

Setelah berhasil membuka mulut Darto, kami segera kembali ke kota Solo. Menjelang sore sampai di kota Solo. Aku beserta Jaka, Andika dan Imran segera menuju alamat yang di berikan Darto. Sementara anggota yang lain aku tugaskan untuk menjemput orang dan barang yang berhasil kita dapatkan.

Menjelang malam kami menemukan tempat yang kami cari. Saat kami masuk ke dalam, rumah itu kosong tidak ada orang. Tapi dari bekas-bekas yang terlihat, tempat itu ada penghuninya. Aku kemudian membagi tugas menjadi dua kelompok untuk mengawasi rumah ini secara bergantian.

Jaka dan Andika mendapat giliran pertama untuk berjaga dan mengawasi rumah itu. Dua hari kami mengawasi rumah itu, tapi tidak ada tanda-tanda munculnya Tono dan Tino. Tapi di hari ke tiga target kami muncul juga. Saat itu aku dan Imran yang berjaga. Untuk memanggil dan menunggu yang lain, aku khawatir mereka berdua kembali menghilang.

Setelah mereka masuk ke dalam, aku memberi kode kepada Imran Untuk bergerak. Aku dari depan dan Imran menghadang dari belakang. Aku masuk ke dalam dengan senjata di tangan. Saat itu terdengar suara dari arah belakang rumah, kulihat Imran sedang berkelahi dengan seseorang.

Saat aku akan membantunya, terdengar suara motor di depan rumah. "Treeeng... teng... teng...teng..." Aku segera sadar apa yang terjadi, aku berlari kembali ke depan rumah. Aku melakukan pengejaran. Tidak ingin dia menghilang di keramaian kota, aku mempercepat laju mobil dan ku senggol sepeda motornya. Sepeda motor itu oleng ke kiri, dan "Gubraaak !!!" menabrak warung di pinggir jalan.

Dengan mudah dia kutangkap, dan aku kembali ke rumah persembunyian mereka sambil membawa Tono. Imran pun tampaknya berhasil menyelesaikan tugasnya. Kulihat Tino menggelosor di tanah, dengan wajah bengkak di tubuhnya. Dengan tertangkapnya Tono dan Tino, maka selesai juga tugas kami kali ini.

@@@@@

Keesokan harinya, selesai melaporkan semua yang terjadi, kami diizinkan untuk beristirahat dua hari. Dengan catatan bisa dipanggil bila dibutuhkan. Saat sampai di tempat kost, teman sebelah menyampaikan berita padaku. Bahwa selama aku pergi aku dicari seorang wanita. Setelah mengucapkan terima kasih aku segera masuk ke kamar untuk beristirahat.

Aku sudah bisa menduga siapa yang mencariku. Mungkin karena ponselku jarang aktif, maka Avi datang ke sini. Di dalam kamar aku kembali diliputi perasaan gelisah, antara menghindar atau menemuinya. Di satu sisi aku mencoba menghindarinya karena takut perasaanku semakin dalam padanya. Di sisi lain aku ingin menemuinya dan mengungkapkan apa yang kurasakan.

Setelah berpikir lama akhirnya aku memutuskan untuk menemuinya. Aku segera membersihkan diri, kemudian aku mencoba menghubunginya. Tapi sebelum aku sempat memencet tombol, ternyata Avi lebih dulu menghubungiku. "Halo, Lang ada yang perlu kukatakan kepadamu."

"Ya, kamu di mana ?' tanyaku.

"Masih di hotel."

"Baik, aku ke sana sekarang ." ucapku. Setelah berganti pakaian, aku segera meluncur menuju hotel tempat Avi menginap. Kurang dari setengah jam sudah sampai di depan pintu kamarnya. Saat hendak mengetuk pintu kamarnya, terbayang peristiwa enam hari yang lalu. Aku mencoba menepis bayangan itu, kuketuk pintu kamar itu.

Pintu terbuka, di depanku berdiri wanita cantik yang beberapa hari ini menghantui pikiranku. Aviani Malik, dia memakai tank top warna merah muda dan bawahan memakai rok span hitam selutut. Dalam pandanganku, hanya dalam enam hari aku merasa dia semakin cantik dan menarik.

"Masuk Lang," kata Avi, membuyarkan lamunanku.

Aku masuk ke dalam kemudian duduk di sofa yang ada di kamar itu. Menghadapi penjahat tidak akan membuatku tunduk kepala. Tapi di hadapan Avi, kepalaku seperti berat untuk diangkat, tatapan matanya benar-benar membuatku tidak berdaya. Ucapan yang akan ku keluarkan, seperti tertelan kembali.

Kami diam untuk beberapa saat, kesunyian kamar dipecahkan oleh suara Avi, "Lang, aku akan pulang ke Jakarta nanti malam," Katanya.

Aku mengangkat wajahku dan memandang ke arahnya yang duduk di depanku. Pandangan mata dan ucapannya pernah kulihat dan kudengar. Aku seperti mengalami Dejavu. Apakah akhirnya akan sama seperti waktu itu ? pikirku. Tidak, aku tidak akan melakukan hal yang sama. Tapi, apakah aku siap dengan konsekuensinya ?

"Vi, aap.. apakah kita akan bertemu kembali ? tanyaku tanpa sadar.

"Itu bukan aku yang memutuskan, Lang. Semua itu tergantung pada dirimu. Kita sudah sama-sama dewasa, kamu pasti tahu akan perasaanku. Tapi aku tidak bisa menunggu lama Lang. Jadi semuanya terserah padamu."

Mendengar kata-katanya ada sedikit kelegaan di hatiku. Aku pindah duduk di sebelahnya, kini kami saling berdampingan. Mata kami saling berpandangan kemudian sama-sama tersenyum, tanpa perlu mengatakan apapun kami seolah sudah saling mengerti isi hati masing-masing. Aku dekati wajahnya, Avi memejamkan mata dengan bibir sedikit terbuka.

Kupandangi wajahnya yang cantik untuk beberapa saat, pikiranku berkecamuk. Apakah dia akan kuperlakukan sama dengan wanita lainnya. Merasa tidak ada tindakan lanjut dariku, Avi membuka matanya. "Ada apa, Lang ?"

"Tidak apa-apa, aku hanya sedang menikmati wajah cantikmu."

"Bisa juga kamu merayu, aku kira hanya mahir berkelahi dan mempergunakan senjaa.., Huuumps."

Sebelum dia menyelesaikan ucapannya bibirku sudah mengecup bibirnya. Untuk beberapa saat dia kaget. Mungkin tidak mengira akan ke agresifanku. Tidak lama kemudian diapun membalas kecupanku dengan ganas dan tangannya merangkul leherku. Cukup lama kami melakukan french kiss.

Kulepas ciumanku pada bibirnya, kini bibirku menciumi leher Avi. Desah nafas Avi semakin terdengar kuat. Tangan kanan Avi bergerak meremas rambutku, sementara tangan kirinya mengusap-usap punggungku. Sambil menciumi leher Avi, tanganku bergerak menuju payudaranya yang besar.

Tapi ketika tanganku hampir menyentuh payudaranya, tiba-tiba ... "Tok.. tok.. tok..," tiga ketukan di pintu membuat kami terperanjak. Semua gerakan kami terhenti seketika. "Mbak Avi.., ini Risma," terdengar suara dari luar kamar.

Mendengar suara itu Avi mendorong tubuhku menjauh. Sambil tersenyum dia berkata, "Maaf sayang..," Avi kemudian bangkit dan merapikan diri sejenak, sebelum kemudian membuka pintu.

"Masuk Ris," kata Avi pada seseorng.

Masuklah seorang wanita berumur sekitar 28 tahun. Dia sedikit terkejut melihatku ada di dalam kamar. "Ris, ini teman Mbak. Namanya Elang," kata Avi memperkenalkan aku pada temannya. Kami kemudian berkenalan, namanya Risma. Dia jurnalis dan bekerja di televisi yang sama dengan Avi. Tapi dia di tempatkan di Biro Surakarta.

"Lang, Risma mau mengantarku beli oleh-oleh untuk teman-teman di Jakarta. Kamu mau ikut ?" tanya Avi.

Sebenarnya aku lelah karena kurang istirahat satu minggu ini. Tapi aku takut mengecewakannya. Lagi pula ini terakhir kali kami bersama, entah kapan bisa bertemu dengannya lagi. "Baiklah aku antar," jawabku.

"Lang, aku tahu kamu lelah. Aku tidak mau kamu memaksakan diri," kata Avi, dengan penuh perhatian.

"Tidak apa-apa, Vi. Besok masih ada waktu untuk istirahat. Ayo berangkat," kataku sambil bangkit berdiri.

Seharian itu kami keliling pasar, membeli berbagai macam barang. Akhirnya sampai juga waktu perpisahan. Dia akan pulang menggunakan Kereta Api dari Stasiun Balapan. Kami masih di dalam mobil, menunggu jadwal kedatangan kereta. Masih ada waktu sekitar setengah jam, sebelum kereta itu datang.

"Lang apakah kamu akan datang ke Jakarta ?" tanya Avi.

"Ya, aku pasti ke Jakarta," jawabku.

"Kita sama saling mengerti isi hati kita masing--masing, walau kita tidak pernah mengetakannya. Tapi aku tidak mau hal itu membebanimu dan akhirnya kamu memaksakan diri. Aku tidak mau kamu ke Jakarta karena terpaksa memenuhi janjimu, tapi karena betul-betul keinginanmu."

Aku terdiam mendengar kata-katanya, Avi mungkin benar. Apakah aku akan ke Jakarta hanya untuk menemui dia. Atau haruskah aku meminta kepada atasan untuk memindahkanku ke Jakarta. Ya mungkin seperti itu. Tapi aku harus menyelesaikan semua tugas-tugasku di sini lebih dulu.

Kami masih sama-sama terdiam, hanya mata kami yang saling berpandangan. Dia memiringkan badannya ke arahku kemudian mengecup dahi, kedua pipi kemudian mengecup lembut bibirku. Setelah melepas kecupan pada bibirku dia berkata. "Bertemu lagi atau tidak, kamu selalu ada dalam hatiku." Dia kemudian membuka pintu mobil, karena suara kedatangan kereta sudah terdengar.

Aku ikut turun dan membawakan barang-barang miliknya. Aku ikut masuk ke dalam kereta dan keluar setelah ada pengumuman keberangkatan. Ada keinginan dalam hati untuk memeluknya terakhir kali sebelum berpisah. Tapi hanya lambaian tangan yang memisahkan kami berdua di malam itu.

@@@@@

Tiga hari kemudian...

Walau masih ada rasa lelah lahir maupun batin, akibat pekerjaan dan masalah hubunganku dengan Avi tapi aku paksakan diri untuk datang ke kantor. Beberapa malam yang lalu aku berketetapan untuk mencoba berbicara kepada Pak Kapolres untuk memindahkanku ke Jakarta. Tapi pikiran itu kembali goyah.

Aku kembali mencoba berpikir jernih kembali, sebelum mengambil keputusan. Untuk itu aku mecoba masuk ke kantor, mungkin dengan berkumpul dengan rekan-rekan pikiranku agak sedikit berkurang memikirkan tentang Avi.
Saat itu di ruangan ada Mas Jaka, aku memang sudah biasa memanggilnya Mas walau didalam pekerjaan. "Lang..., tampaknya Ardi menjadi informan yang bisa diandalkan" ucapnya.

"Benar Mas, aku juga sebenarnya terkejut dengan informasinya yang demikian mendetail."

"Sejak pertama kali kamu menyebut namanya aku sudah mencari namanya di bagian intel. Kemarin temanku memberi informasi tentangnya. Ardi tidak punya kenalan jaringan narkoba. Dia bekerja di suatu perusahaan software dan jaringan di kota Surabaya. Ardi biasanya ditugaskan di Kalimantan, Sumatera, Malaysia, Singapura dan sekitarnya. Anaknya mati di Vietnam, dan tidak diketahui penyebabnya."

"Dia berkata padaku, Anaknya mati karena disebabkan oleh narkoba. Karena itu dia benci dengan pengedar-pengedar narkoba."

"Bagaimana bisa orang luar mempunyai banyak informasi mendalam tentang orang-orang itu ?"

"Aku harap motifnya adalah untuk membalas dendam pribadi, bukan karena motif lainnya. Aku akan cari tahu tentang ini," kataku mengakhiri pembicaraan dengan Mas Jaka.

@@@@@

Setelah pembicaraan itu, aku keluar untuk bertemu Paiman. Kurang dari tiga puluh menit aku sampai ke tempat di mana dia biasa nongkrong. Tapi ternyata dia tidak berada di sana. Hampir satu jam dia belum muncul juga. Akhirnya kuputuskan untuk menuju tempat tinggalnya.

Ternyata dia juga tidak ada di rumahnya. Tetangga sekitar mengatakan sejak kemarin sore dia belum pulang. Aku meninggalkan tempat itu dengan perasaan penuh tanda tanya. Aku kemudian berkeliling ke tempat-tempat lain yang biasa di kunjunginya, tapi nihil juga.

Saat dalam perjalanan kembali ke kantor Imran meneleponku. Imran mengatakan, ditemukan sesosok mayat di sebuah gudang tua di timur kota. Penyebabnya mungkin pembunuhan. Aku segera membelokkan mobilku ke arah timur, dan menuju tempat yang di bilang Imran.

Imran dan Andika menyambutku saat aku tiba di tempat. Mereka membawaku ke tempat mayat itu ditemukan. Saat aku membuka kain yang menutupi mayat itu aku terkejut. "Diaaa..."

To Be Conticrooot...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd