Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA My Only Sunshine - TAMAT

Bimabet
Nah, Kak Tama sama Kak Dims berantem gak?? Ato malah tuker pasangan :hore:
 
Wah Tama sama Dimas mau Swinger
Kasihan Puti Cindy
:(
gak gitu astaga......


=======
by the way, segelas spoiler.
"Semua gaakan sama lagi. Tolong. Jangan pernah nunggu aku." Ia menyeka airmatanya. Tubuhnya sedikit bergetar. Lengannya ia gunakan untuk menyeka airmatanya. Aku terdiam mematung.
 
Part 8 – This Is What It Feels Like

“Sekelas kamu?”
Jinan hanya mengangguk.

“Namanya?”

“Dimas.
Kakak kenal?”

Aku berfikir sejenak, memutar semua nama yang ada di otakku untuk mencari sosok Dimas Dimas ini.

“Em, kontaknya aja kamu japri ya. Line aku ada di grup kepanitiaan kok.” Aku menengok Jinan sembari berjalan masuk kedalam ruangan dosen. Jinan mengangguk lalu mengeluarkan gawainya dan berjalan meninggalkanku.


Setelah berdiskusi singkat, akhirnya urusanku dengan skripsi sudah selesai.
“Kamu itu mahasiswa berprestasi sebenarnya, cuman sayang banget kamu gak ikut organisasi disini.” Ujar Pak Irham yang berjalan di sebelahku.

“Kan organisasi sifatnya opsional pak, jadi saya gak terlalu ambil pusing hehehe.”
Setelah berpamitan, Pak Irham masuk kedalam kantin pegawai, sementara aku berjalan ke ruang Tata Usaha untuk mendaftar sidang dan segala macam. Melelahkan memang, tapi aku bersyukur mendapat dosen pembimbing yang tidak neko-neko dan tegas. Mungkin beberapa orang akan menganggap itu suatu musibah, namun mereka lupa bahwa selalu ada yang bisa diambil dari sifat seseorang, selama kita selalu membuka perspektif lain.


“Mas.” Panggil seorang karyawan TU saat aku hendak berlalu.
“Eh, kenapa pak?”
“Skripsinya mau atas nama yang mana?”
“Haha, nama yang itu aja pak. Dokumen saya atas nama itu semua soalnya. Lagian, yang tau nama asli saya cuman beberapa orang doang kok.” Aku tertawa dari balik meja TU, begitupun sang karyawan.
Setelah urusan administrasi selesai, saatnya untuk mengurus administrasi di tempat lain.

---

“Jadi gitu pak, alasan saya.” Aku duduk di hadapan seorang laki-laki yang lebih tua dariku ini. Dia hanya menggelengkan kepala pelan begitu mendengar penjelasanku barusan.

“Baiklah kalo begitu, saya gak akan menghalang-halangi niat kamu untuk apapun itu. Karena saya yakin kamu pasti sudah memikirkan hal itu jauh-jauh hari sebelum hari ini.” Lelaki tersebut menghela nafas berat setelah nada bicaranya sedikit sedih.

“Kamu karyawan terbaik yang pernah saya kenal, bahkan meski anak dari pemilik mall ini, kamu tetap bekerja sesuai dengan shift, tak jarang bahkan kamu mengambil lembur demi uang jajan kamu. Saya salut dengan perjuangan kamu. Semoga rencanamu itu berjalan lancar untuk kedepannya.” Lelaki itu, Bos ku, berdiri lalu menyodorkan tangannya. Aku mengikutinya lalu menjabat tangan itu.

“Terimakasih, pak. Semoga apapun yang terjadi kedepannya, bapak bisa lebih baik dari sekarang. Saya senang bekerja bersama bapak.” Aku tersenyum lebar lalu berjalan keluar. Beberapa rekan menyapaku untuk sekedar mengucapkan kata-kata perpisahan.


Aku kembali memacu motorku kembali ke apartemenku untuk menuntaskan materi presentasi sidang ku yang akan digelar hanya satu minggu semenjak hari ini. Setelah sampai, masih belum terlihat tanda-tanda adanya sosok seorang Pucchi disini. Aku duduk di meja komputerku, bersamaan dengan dering pemberitahuan dari gawaiku.

15.33
Jinan Safa Safira sent you a contact.


“Dimas Putra? Yang dulu ngisi di cafe punya kakaknya Chaeyoung bukan ya.”
Aku menekan kontak tersebut. Header nya seorang gadis yang pernah aku lihat juga di kampus, sepertinya adik tingkatku.

“Bener ternyata.”

15.40
Dims.
Ini gue, Tama. Dulu yang ngelola Pong Cafe.
Bisa ketemu buat ngobrol gak?


Aku meletakan gawai dengan logo apel tergigit yang iconic itu diatas meja. Getaran meja itu membuat komputerku menyala, menampilkan wallpaper seorang gadis yang tengah tertawa riang. Rambut pendeknya itu diterpa angin, tangannya menggenggam sebuah kamera polaroid.

Aku tersenyum simpul melihat gadis itu.

Drrt drrt

15.42
Wah, halo halo mas Tam.
Boleh nih, udah lama juga gak ketemu. Mau kapan?


Sempat heran, mengapa dia seperti tidak punya rasa bersalah ketika aku ajak bertemu. Aku kemudian menekan profileku.
“Ohiya, display picture nya siluet doang, headernya cuman bangunan. Gimana mau punya rasa bersalah ya.”

---

“Gimana, Mas Tam? Ada apa nih tiba-tiba ngajak ketemu?” Dimas duduk di hadapanku yang sedang menyeruput minumanku. Ia menojoskan sedotan kedalam gelas minumannya.

“Gini, Dim. Denger-denger dari Jinan, katanya ngisi acara bazaar budaya ya?” Aku mengeluarkan handphoneku. Ia mengangguk.

“Kemarin diundang sama PR acaranya sih.”
“Ohiya? PR nya siapa emang?”
“Angkatan 2016. Puti namanya.”

Got you, bastard.

Aku masih terdiam mendengarkan ceritanya.

“Niatnya meeting, eh malah curhat kalo dia ditinggal pacarnya skripsian katanya.”

Itu gue, bangsat.

“Terus, akhirnya gimana?” Aku masih menunjukan raut wajah penasaran mendengarkan ceritanya.
“Ya gitu, nananina akhirnya hahahaha.” Ia tertawa lepas. Wajahnya tanpa dosa. Aku tersenyum sedikit.

Gawaiku kubalikan, membuat layarnya berada di bawah. Clear case yang aku gunakan mengapit sebuah polaroid. Didalam polaroid itu ada aku dan Pucchi. Aku memajukan handphone tersebut kearahnya sedikit. Dimas yang semula tertawa mendadak terkejut. Ia menatap foto itu, kemudian menatapku perlahan. Matanya menunjukan ketakutan yang amat.

“Speak, bastard.”
Nada itu lagi. Nada yang membuat siapapun yang mendengarnya keluar dari mulutku akan bergidik ngeri.

“M-mas, de-dengrin du-lu mas.” Dimas terbata. Tatapan mataku tidak lepas dari matanya, membuat dia berusaha menghindari tatapan mataku.
“Di-dia tiba tiba ngajak ke apartnya mas Tam. T-terus bilangnya mau bantuin ambil barang katanya. Ma-malah akhirnya ditodong buat muasin dia.”

Wait.

“Muasin lu bilang?” Tanganku menarik kerah kaos yang ia kenakan, membuat tubuhnya sedikit maju menabrak gelas minumannya.

“Di-dia bilang, m-as Tam sibuk terus, gak pernah luangin waktu buat dia. Di-dia bilang dia kesepian. Cuman one night stand mas, saya berani sumpah.” Ia menutup matanya. Tanganku terlepas dari kerahnya. Ia kembali duduk. Keringat dingin sedikit mengucur dari keningnya.

“Lu masih sama Cindy Cindy itu kan?” nadaku berubah. Sedikit lebih tenang. Ia mengangguk cepat.

“Gue gatau kalo Pucchi itu pacar lu mas. Kalo dari awal gue tau, gue udah nolak itu dari awal. Gue juga lagi ada masalah sama Cindy, mas.” Ia menyusut keringatnya dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari sakunya.

“Kenape lu sama Cindy?”
“Gue ketauan maen sama cewe lain, termasuk Pucchi itu.”

Aku menghela nafas, lalu menyandarkan tubuhku kebelakang.

“Lu sayang dia?”
Dimas menangguk. Ia sedikit lebih tenang dibandingkan dengan tadi.

“Gue paham. Gue juga bukan cowok baik-baik yang setia sama satu orang. Gue lihat dari dulu juga, Cindy sayang banget sama lu, wajar aja dia kecewa kalo tau lu kayak gini.”
Dimas masih mendengarkanku. Aku mengambil tisu yang ada diatas meja, lalu menggulungnya asal.

“Sama kayak tisu ini, sesuatu itu bisa menjadi kusut karena kita yang mulai.” Ia mempehatikan tanganku yang menggulung tisu itu. Setelah sedikit tidak berbentuk, aku perlahan membukanya kembali.

“Tapi inget, tisu ini masih bisa balik ke bentuk asalnya. Meski perlahan, selama kita berusaha, dia bakal utuh lagi. Meski gak sempurna, pasti bisa. Inget, selama kita berusaha.” Tisu yang semula kugulung itu kembali ke bentuk asalnya yang berbentuk persegi panjang.

“Sama kayak hubungan lu.” Aku menunjuknya. Dimas menoleh kearahku.

“Sana. Urus Cindy. Semoga bisa kembali kayak dulu.”

Aku berdiri, merogoh dompetku dan melempar selembar uang 100 ribu keatas meja.
“Buat bayarin lu. Sorry gue kasar tadi. Tapi bisa gue pastikan, kayaknya kita gaakan ketemu lagi kedepannya. Sukses buat lu.” Aku menepuk pundaknya, lalu berjalan menjauh.

Apa yang gue mulai, harus bisa gue selesaikan juga, bukan?

---

“Kak..” suara seseorang membangunkanku dari tidurku. Aku mengucek mata sebentar, lalu melihat pemilik suara itu.

“Put?”

Pucchi yang membangunkanku hanya diam. Kepalanya tertunduk, jemarinya saling mengapit satu sama lain.

“Ada apa?” aku bangkit dari tempat tidur lalu duduk di pinggirannya.
“Kayaknya...” Pucchi tertahan.

Please, don’t say that....

“Kita harus sendiri-sendiri dulu buat sekarang.”

Fuck.

Pucchi tertunduk. Ia menggendong sebuah tas berwarna merah muda.
“Kamu udah pikirin ini baik-baik?” Tanganku memegang dagunya, membuat wajahnya melihat kearahku.

Satu tetes airmata jatuh. Ia mengangguk perlahan.

“Kamu paham kan, kalo sesuatu dipaksakan semua gaakan baik-baik aja kedepannya?”
Ia kembali mengangguk. Aku mengecup pipi kanannya sebentar.
Pucchi menangis, lalu menggeleng.

“Semua gaakan sama lagi. Tolong. Jangan pernah nunggu aku.” Ia menyeka air matanya. Tubuhnya sedikit bergetar. Lengannya ia gunakan untuk menyeka airmatanya. Aku terdiam mematung.

“Put..”
Pucchi berjalan keluar. Aku hanya bisa terdiam mematung di tempatku berdiri.


“I’m sorry. I love you. See u soon, Tama.”


Pucchi menghilang. Bersama dengan seluruh kenangan antara aku dan dia. Aku hanya bisa diam disini. Tidak bergerak barang satu milimeter pun. Airmataku menetes.

I’m fucked up.

----

Ting!

Aku menekan bel didepan sebuah rumah. Tanganku gemetar karena tubuhku basah oleh hujan. Sesekali petir menyambar diluar.
Pintu terbuka. Sosok seorang gadis yang memakai piyama berwarna pink itu terkejut melihatku.

“Boleh masuk?”
Gadis itu hanya mengangguk cepat, lalu menarik tanganku kedalam. Aku dibawa ke dekat sebuah ruang cuci di bagian belakang rumahnya.

“Aku ambilin handuk sama baju kamu yang kamu tinggal disini dulu. Kamu keringin dulu aja badan, kaos sama celananya buka aja.” Gadis itu berlalu pergi kedalam.

Aku sedikit menggoyang-goyangkan badanku agar semua airnya turun.
Kaos berwarna hitam yang aku kenakan aku lepas, menyisakan celana jeans pendek yang masih aku kenakan. Handphone dan dompetku sudah basah oleh air, beruntung handphoneku masih bisa menyala.

“Nih handuk sama baju kamu.” Gadis itu kembali. Ia menyerahkan sebuah handuk besar berwarna merah, sebuah boxer dengan motif polkadot, dan sebuah kaos dengan lambang sekolahku dulu.

Aku mengambil bahan sandang tersebut dari tangannya, lalu memakainya. Gadis itu berkutat di dapur, mungkin sedang membuat teh atau yang lainnya.

Aku yang sudah kering berjalan ke dapur. Gadis itu tengah mengaduk sesuatu di dalam gelas. Aku berjalan perlahan, lalu memeluk tubuhnya dari belakang.

“Chae..” bisikku lembut di telinganya. Chaeyoung membalikkan badannya.

“GAADA! Teh nya diminum dulu baru peluk peluk!” Chaeyoung mendorong tubuhku lalu menyerahkan gelas yang tadi ia aduk isinya.

Aku hanya tertawa kecil. Aku duduk di kursi minibar itu, sementara Chaeyoung sibuk mengaduk sesuatu di mangkok.

“Oatmeal favorit kamu dari jaman sekolah. Pake stroberi sama madu.” Ia meletakan mangkok berisi oatmeal dengan beberapa irisan stroberi dan madu itu didepanku. Mataku berbinar memandang makanan kesukaanku itu.

“Paling mengerti emang ibu satu ini.” Dengan segera aku menyendok oatmeal itu dan memakannya. Chaeyoung hanya tersenyum melihatku. Mangkok dan gelas tadi sudah kosong dalam sesaat.


“Oke. Cerita.” Nada Chaeyoung berubah menjadi sedikit galak. Aku menghela nafas, lalu mulai menceritakan semuanya.

“Terus sekarang rencana kamu kedepan gimana?” Dia akhirnya membuka mulutnya setelah daritadi hanya mendengarkanku.
“Mau ke Korea!” teriakku dengan nada riang yang langsung dibalas lemparan tatakan gelas kearahku.
“MATAMU!”
“Sakit!” Aku mengusap-ngusap pelipisku yang terkena lemparannya tadi.

Chaeyoung mendadak mendekat, mengecup pelipis itu.

“Dah, pasti udah gak sakit.” Ia tersenyum lalu mengelus kecil pelipisku. Aku hanya terdiam.

“Kamu..” aku berhenti sesaat.
“..kemana aja selama ini?”

Chaeyoung terkejut mendengar pertanyaanku. Pandanganku tertuju kepada kedua kakiku yang menggantung. Tidak ada jawaban darinya, namun mendadak tangannya meraih daguku lalu mengarahkan kepalaku kearahnya.

Cupp..

Ia menciumku. Semakin lama, tangannya melingkar di leherku, sementara tanganku berusaha menahan kepalanya agar tidak menjauh barang satu senti dariku. Lidahnya berusaha masuk kedalam rongga mulutku, mencari-cari dimana lidahku berada. Sesekali, ia mengarahkan lidahnya untuk menjilati gigiku.

“Hmmhh..” desahannya tertahan ciuman kami.
Tak lama, ia melepaskan bibirnya dari lumatanku. Matanya terbuka, sayu sekali.









“bogosipeo..”
 
Terakhir diubah:
Ini Notif kok tumben gak muncul, untung lg buka trit ini

Saatnya membaca, Confirmed nih 1 universe?!
 
Levelnya dah sama artis korea..dah gak level sama idol lokalan wkwkwk
 
Waaaa Update >< Baca dulu ya suhu
selamat membaca kak~

Ini Notif kok tumben gak muncul, untung lg buka trit ini

Saatnya membaca, Confirmed nih 1 universe?!
Iya, setelah maintenis kemarin mungkin masih ada bug di notifikasinya.
hemm gimana yaa~~

Levelnya dah sama artis korea..dah gak level sama idol lokalan wkwkwk
nggak juga kok kak ehehe :p

Itu lebih cocok begosia daripada bogosipeo
receh pisang aing kieu hungkul seuri :(

mantul juga teori tissue nya kak

fix putus ehe? wkwk
bisa digunakan itu kak wkwkw
ah...
itu...
:sendirian::sendirian:
 
Quote tama keras euyyy, jadinya nih tama sama chae? Bagus lhh dari pada puci celap celu sana sini :v


Gw masih penasaran sama anin nih tam wkwkwk.
 
kyaknya harus reply ulang lagi deh di tiap thread biar ada notif lagi
 
Quote tama keras euyyy, jadinya nih tama sama chae? Bagus lhh dari pada puci celap celu sana sini :v


Gw masih penasaran sama anin nih tam wkwkwk.
kebeneran kepikiran aja itu waktu nulis wkwkwk.
gatau ya, enak balikan apa sama chae aja ya~~
nanti, jawabannya ada di part terakhir kak huehehe~

kyaknya harus reply ulang lagi deh di tiap thread biar ada notif lagi
kayaknya sih gitu, tapi gatau deh belum dicobain
 
secangkir spoiler dikala menunggu calon yang sedang nyalon.

"Eh, nama Korea kamu bagus padahal." Kepalanya berputar, kembali menghadap sebuah nisan kecil diantara makam kedua orangtua kandungku. Nisan daftar nama yang ditinggalkan, dan hanya ada satu nama disana.

Park Jungeun (Kenan Artama) - Son
 
Part 9 – Ever After.

9.1 – The best thing I ever did

“KATAKAN!”
“O..oo..”
“PADA MAMA!”
“CINTA BUKAN HANYA HARTA DAN TAHTA!”


Kami menyanyikan sebuah lagu dari satu band legendaris, Dewa 19. Aku yang sedang asik mengeringkan badanku dengan handuk bersahut-sahutan dengan Chaeyoung yang masih membilas tubuhnya di kamar mandi. Permainan kami beberapa ronde di dapur tadi rupanya cukup melelahkan. Namun aku tidak paham, bagaimana Chaeyoung yang terus-menerus ku genjot itu masih memiliki tenaga untuk berteriak dan bernyanyi dari dalam kamar mandi.

Chaeyoung selesai. Tubuh mungilnya itu sudah kering. Tangannya disilangkan di depan dadanya. Wajahnya terlihat jahil.
“WAKANDA FOREVER!” ia berteriak dengan cukup kencang. Kakinya menghentak ke lantai. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya.
“Anak buah kamu kalo tau bos nya kayak gini, gimana ya.”
Tepat setelah ucapanku itu, sebuah wadah pasta gigi bekas mendarat di jidatku.
“BANGKE EMANG LU HEH!”

---

9.2 – One More Time

“Atas nama kak Tama!” teriak seorang barista dari ujung meja. Aku menoleh, lalu berjalan kearahnya. Barista itu tersenyum.
“Terimakasih kak!” ucap barista itu dengan riang. Aku hanya tersenyum, lalu membawa dua gelas itu ke mejaku di sudut cafe ini.
“Nih pesenan kamu.” Aku meletakkan satu minuman di depan seorang gadis yang tiba-tiba mengajakku bertemu disini. Gadis itu tersenyum sedikit.
“Jadi, ada apa?”
Gadis itu menghela nafas.
“Anin mau minta maaf, kak.” Anin menunduk. Matanya bahkan tidak melihat satu titik dengan pasti.
“Buat?”
“B-buat kemarin, waktu cowoknya Anin nendang motor kakak.” Ia masih menunduk.
“Gak masalah. Buat pelajaran dia aja.”
“T-tapi.. Anin... gaenak sama kakak.” Kepalanya sedikit mendongak kearahku yang masih menatapnya dengan tatapan cuek.
“Gausah, gapapa.” Aku sedikit tersenyum kearah Anin. Anin ikut tersenyum sedikit.
“Semoga bahagia kamu sama dia.”
“Kakak juga sama Pucchi ya.” senyumnya bertambah lebar.
Aku hanya tersenyum kecut.
“We’re done, Nin.” Sontak tangan kanan Anin menutupi mulutnya yang ternganga itu.
“Ah, sorry, Anin gatau.”
“Gapapa kok.” Aku tersenyum sedikit, membuat keadaan tidak terlalu canggung. Senyuman Anin kembali.
Kami sama-sama diam, menikmati minuman pesanan kami dalam keheningan dan fikiran masing-masing.
“Kalo aja...” Anin membuka mulutnya.
“...aku saat itu gapunya pacar ya kak.”

“Hei.” Tanganku mengangkat dagunya.
“Ini emang udah jalannya kita. Kita gapernah tau apa yang Tuhan siapkan buat kita. Jangan disesali, karena menyesal hanya akan menyakiti diri sendiri.”
Air mata Anin mengalir dari ujung matanya. Tanganku menyekanya.

“Tetap jadi kak Tama yang Anin kenal ya.”
“Aku selalu menjadi diriku sendiri dari dulu, Anin.”

Seorang pria menghampiri kami. Aku menyalami pria itu. Anin segera bangkit dan berpamitan denganku, begitupun pria itu. Mereka segera berlalu keluar dari cafe ini sembari bergandengan erat.


***

9.3 – Cheer Up

“Mah..” aku membuka mulutku. Mama menoleh. Aku melempar beberapa lembar kertas diatas meja.
Mama kaget melihat kertas itu, begitupun Zee yang langsung bangkit dari tidurnya di pahaku. Mereka membacanya dengan sangat teliti.
“SERIUS ABANG?! AAAA!!” Zee menghambur kerahku, lalu memelukku dengan erat. Aku mengusap-ngusap punggungnya.
“Kamu.. udah yakin?”
“Aku gak pernah seyakin ini dalam hidupku, Ma.” Aku tersenyum melihat Mama. Mama yang semula terlihat sedikit ragu, langsung tersenyum, lalu ikut memelukku bersama Zee.
“Jangan lupa minta restu ya!”
Aku tersenyum antusias. Tanganku bergerak membereskan kertas-kertas itu.
“Zee bakal kangen bangeett sama abang. Sering-sering kesini nanti ya!” Zee menangis dalam pelukanku. Tubuhnya yang cukup besar itu terasa berat.
“Iya iyaa uuu adik abang yang paling manja uu.” Aku menurunkan Zee, lalu mencolok-colok pipinya gemas. Mama hanya tertawa melihatku.


****

9.4 – One in a Million

“Tama Arnes Andhika, S.Kom. Lulusan terbaik program Sarjana Strata-1.”

Inilah saatnya. Aku melangkah dengan sedikit gemetaran keatas panggung. Langkahku terhenti di depan rektor kampusku. Kepalaku menunduk. Jantungku berdegup kencang. Sang rektor maju, menggeser tali togaku, lalu menyerahkan sebuah map tebal bersama dengan mengalungkan sebuah medali kehormatan. Aku tesenyum puas, lalu menjabat tangan rektorku itu.

“FOTO DULU BANGSAT!!” Seorang temanku menarik tanganku begitu aku keluar dari ruang upacara menuju sebuah taman.
“Iya iya, ayo foto ayo!” aku yang baru saja melepas togaku itu ikut berdiri dan bergaya bersama teman-temanku.

Jepret!

Kami berhambur melihat hasilnya. Didalam foto itu, aku tersenyum sangat lebar sekali, bersama dengan teman-temanku dan gaya mereka yang gokil. Latar fotonya adalah sebauh danau dan sebuah gedung yang menjulang tinggi, yang sekaligus menjadi maskot kampusku ini.

“Nanti kirim ya, Chae!” seorang temanku berteriak kepada sang juru foto, yang langsung dibalas anggukan mantap.
“Lewat Tama ya!” Chaeyoung menunjuk wajahku yang masih tesenyum puas itu. Mereka mengangguk mantap.

Aku dan Chaeyoung berjalan kearah mobil kami.
“Selamat lulus, sayang.” Chaeyoung mencium pipi kiriku dengan lembut begitu kami sampai di dalam mobil. Aku segera menarik dagunya, lalu menciumnya. Lembut.
“Terimakasih, sayang.” Ucapku setelah ciuman kami terlepas. Aku memacu mobil kembali ke apartemenku. Chaeyoung masih asik melihat-lihat hasil jepretannya.
“Ih! Kamu beda sendiri!” Chaeyoung sedikit berteriak, membuatku kaget.
“Lah, emang kan yang gelombang ini cuman aku!”
“Bukan itu, bego!” ia menjitak kepalaku.
“Aw!”

Chaeyoung mengarahkan kameranya kepadaku. Telunjuknya mengarah ke fotoku. Ia lalu tersenyum lebar, kemudian meninju lenganku.

9.5 – Stay By My Side

Langit Bandung sore ini sedang tidak bersahabat. Gerimis menemani sejak perjalanan kami dari Jakarta. Aku segera turun dari mobil bersama dengan Chaeyoung yang sudah mengenakan jas hujan, sementara aku hanya memakai hoodie berwarna navy favoritku. Tangan kananku menggenggam seikat bunga, sementara tangan kiriku memegang kunci mobil. Kami tiba di sebuah petak, yang langsung disambut dengan sebuah kalimat.

“Rest In Peace
Hyun Jieun.
1964 - 1994”

Semua ditulis dengan huruf Hangul, begitupun daftar keluarga yang ditinggalkan.
Chaeyoung langsung berlutut didepan makam ibuku. Aku meletakan bunga itu disamping nisannya, lalu kembali berdiri.

Eomma..” Jemari Chaeyoung mengusap nisan itu.
“Aku baru tau nama asli Kenan.
Dia suka ganti-ganti nama tau, sebel aku ma.
Dia gapernah ngaku punya nama Korea coba, kesel kan aku.” Chaeyoung melirikku dengan tatapan sinisnya. Aku hanya tertawa kecil.

“Dulu, waktu di baptis, dia juga ikut ganti nama coba. Kan Chae kesel ya!
Tapi, itu keinginan appanya, jadi ya Chae gak masalah.
Cuman, nama Indo nya udah keren, eh harus ganti lagi coba.”

Aku hanya diam memperhatikan Chaeyoung yang jika kutinggal sendiri terlihat seperti orang gila.

Eomma..
Aku mau minta izin buat jagain Kenan terus ya.” Tangan Chae meraih jemariku, membuatku ikut berjongkok didepan makam itu.
“Hari ini, besok, dan selamanya.
Chae mohon, ijinin ya.
Chae janji bakal ngerawat Kenan dengan baik.”
Air mata menetes dari pelupuk mata Chaeyoung. Hujan sedikit bertambah deras.

“Iya, mama ijinin katanya.” Aku berbisik kepada Chaeyoung yang masih menangis. Ia menatapku, lalu tersenyum.
“Bentar, satu lagi belum.” Chaeyoung sedikit berdiri, lalu menggeser posisinya.
Nisan lain berada di sebelah makam ibuku.

“Rest in Peace
Park Junghoon (Christ Mirza Pradipa)
1955 – 1995”

Appa!” Chaeyoung sedikit berteriak. Aku hanya menggeleng melihat tingkahnya.
“Pasti tadi udah denger yang Chae bilang kan?” Chaeyoung mengusap nisan itu sembari mengeluarkan bahasa Koreanya. Nada bicaranya sungguh gemas.
“Ya, intinya gitu ya Appa! Hehe.” Ia lalu bangkit berdiri. Aku menatapnya heran.
“UDAH?”
Ia mengangguk kecil.
“Eh, nama Korea kamu bagus padahal.” Kepalanya berputar, kembali menghadap sebuah nisan kecil diantara makam orangtua kandungku. Nisan daftar nama yang ditinggalkan, dan hanya ada satu nama disana.

Park Jungeun (Kenan Artama) – Son

“Udah, udah, ayo pulang. Hujannya takut makin deres.” Aku mendorong tubuh Chaeyoung menuju mobil yang diparkir sedikit diluar.
Aku memacu mobil keluar dari komplek pemakaman itu, berbelok kearah kiri lalu melewati daerah macet menuju pintu tol Pasteur.

***

9.6 – Dance the Night Away

“Hmmhh... Kennn...” Chaeyoung menahan desahannya. Posisi WOT seperti ini membuat tubuh mungil Chaeyoung harus bekerja keras. Genjotannya semakin liar. Pinggulnya bergerak dengan penuh semangat.
Tangannya meraih jemariku, lalu mengulumnya dengan penuh nafsu. Kedua buah dadanya tampak seirama naik turun mengikuti gerakannya. Beberapa sisi tubuhnya berbekas merah, bekas ciumanku. Rambutnya lepek, tubuhnya mengkilat oleh keringatnya. Tak jarang, beberapa tetes keringatnya jatuh ke perutku.
Gerakan pinggulnya semakin cepat. Jemariku yang masih ada didalam mulutnya sudah basah oleh liurnya.
“KEENN!! AAHHH!!”
Chaeyoung orgasme untuk yang kesekian kalinya hari ini. Tubuhnya langsung ambruk keatas tubuhku. Vaginanya berkedut, memijit penisku. Nafasnya tersenggal tidak teratur.
“Chae..” bisikku pelan.
“Hng?”
“Aku belum keluar...” aku menggaruk ujung hidungku. Chaeyoung menatapku dengan tatapan ingin membunuh.
“Kamu keluar sekali doang, aku berkali-kali.” Ia bangkit dari tubuhku, lalu memutar posisi badannya, sehingga sekarang aku bisa melihat vaginanya dengan jelas.
“E-Eh?!”
Penisku yang masih basah oleh cairan orgasme Chaeyoung langsung ia lahap. Gerakan kepalanya cepat. Aku yang semula memiliki niat mengerjai Chaeyoung, sekarang malah kewalahan menikmati oralnya.
“Ahh.. Kencengin...”
Aku membantunya dengan sedikit mengangkat pinggulku. Kurasakan aliran spermaku hampir mencapai ujung penisku. Kedua kakiku reflek menjepit kepala Chaeyoung.
“Chae.... aargghhh....!!”
Crot
Crot
Crot

Chae yang semula meronta agar mulutnya bisa terlepas dari penisku itu, akhirnya pasrah dan tetap mengulum penisku. Ia lalu bangkit. Aku bisa melihat punggungnya yang putih mulus itu. ia memutar tubuhnya, lalu menelan semua sperma yang ada di mulutnya.
“Ehehehe, gomawo.”
---
Chaeyoung keluar dari kamar mandi. Tubuh mungilnya itu sudah ditutupi kaos dan sebuah celana pendek. Handuk yang ia gunakan masih melingkar di lehernya. Sementara aku yang sudah lebih dahulu selesai sedang mengatur beberapa dokumen di atas kasur. Chaeyoung melompat keatas kasur.
“Banyak banget yang harus diurus?” Chae menidurkan kepalanya di pahaku. Aku yang sedang memasukan beberapa dokumen itu mengangguk.
“Ribet banget S2 aja ke Korea coba.”
“Kan aku pernah bilang. Dodol sih!” aku memukul kening Chaeyoung dengan pasportku. Ia hanya meringis lalu tersenyum.

“Nanti aku kalo kesana gaakan bilang bilang ah, biar surprise.”
“Lah ini bilang.”
“Ohiya yak.”

***

9.7 – Yes or Yes

Athronika F2WL, Bandung.
Semalam.


“Makin deres ih!” Chae berteriak dari balik kupluk jas hujannya, menoleh kearahku. Aku hanya mengangguk kedinginan karena celanaku sudah basah kuyup, begitupun dengan sepatuku.
“Ini kalo gak gara-gara kamu besok berangkat, aku gamau temenin dan minta pulang pasti.” Chae kembali mengeluh dari balik jas hujan plastik berwarna bening itu. Beberapa helai rambutnya jatuh ke depan wajahnya. Aku hanya mendiamkannya dengan menggenggam tangannya.

Sebuah event besar dari salah satu sekolah di Bandung menjadi tujuan terakhirku sebelum aku harus terbang menuju Korea untuk melanjutkan studiku. Tadi siang begitu kami sampai sebenarnya langit mendung, namun di sore hari berlanjut cerah, sehingga kami optimis tidak akan turun hujan, namun ternyata langit Bandung tidak dapat ditebak. Hujan mengguyur tiba-tiba begitu selesai perform dari The Changcuters. Kami masih bertahan disini karena Chae sangat ingin melihat Kahitna dan RAN perform, sementara aku sudah cukup lelah sejak tadi berdiri dan kini bahkan tidak dapat duduk.

MC acara ini, The Dandees, keluar dari backstage setelah tadi sempat kembali ke backstage karena keadaan yang tidak memungkinkan.
“Langsung saja ini dia, Kahitna!”
Semua penonton bersorak, tak terkecuali Chae. Cerita Cinta menjadi lagu pembuka dari group asal Bandung ini. Setelah selesai lagu pertama dan kedua, mereka mengajak seorang penonton yang beruntung untuk naik keatas panggung, menemani mereka bernyanyi lagu Tak Sebebas Merpati. Perform mereka ditutup oleh lagu Cantik.

Cantik.
“APAAAAA!!” Chae, dan beberapa penonton wanita lain berteriak lantang. Aku hanya menutup telingaku, dan mengikuti mereka bernyanyi.

Event ini ditutup oleh penampilan dari RAN, yang secara menakjubkan membuat penonton tidak bergeming sama sekali dari panggung meski hujan deras mengguyur. Lagu Sepeda membuka penampilan mereka, dilanjutkan beberapa lagu hingga tiba di akhir dengan lagu Pandangan Pertama.

“Terimakasih sudah nemenin.” Aku berbisik ke telinga Chae begitu kami tiba didalam mobil setelah keluar dari event tersebut. Jam tanganku menunjukan tengah malam lewat 30 menit.
Chae menoleh kearahku, lalu tersenyum. Terlihat ia sangat lelah setelah berjingkrak-jingkrak menikmati event ini sejak siang. Poni rambutnya yang basah terlihat kontras dengan sebagian besar rambutnya yang masih kering karena tertutup oleh jas hujan. Aku memacu mobil kembali ke Jakarta.

Mobil yang kami kendarai berhenti tepat saat lampu berubah merah. Aku menengok kearah Chae yang sedang tertidur dengan damai.
Memoriku kembali. Pertemuan pertama kami, mendaftar disekolah yang sama, ujian masuk kampus, hingga saat ini.
Mataku memandang jarinya. Jari manis di tangan kanannya memakai sebuah cincin. Cincin perak dengan ornamen sebuah berlian kecil diatasnya. Lucu sekali tangannya yang mungil itu memakai cincin itu.
Lampu berubah hijau, aku kembali memacu mobilku. Sebuah lagu dari The Overtunes berjudul I Still Love You mengalun dari radio mobilku. Tol yang sepi menemani perjalananku yang menahan kantuk. Tangan kiriku memegang kemudi, sementara tangan kananku aku sandarkan di kaca.

Perjalananku selesai.
---
 
Bimabet
Part 10 – My Only Sunshine

Aku mencuci mukaku setelah selesai menyikat gigi, lalu turun kebawah dan masuk kedalam mobil. Langit Bandung sore ini sangat cerah. Langit senja berwarna merah muda menemani perjalananku. Seorang anak laki-laki menemani perjalananku. Ia terlihat riang sekali. Wajahnya sedikit oriental. Rambutnya berwarna pirang, dengan mata biru yang lucu.
Kami tiba di sebuah tempat. Anak itu membawa seikat bunga, sementara aku membawa dua ikat di tangan kiriku.
Kami berhenti di satu petak. Makam kedua orangtuaku.
“Nenek! Kakek!” anak itu berlari kearah makam itu. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya yang lucu.
“Alka habi mam ama yam oeng ma appa!”
Arka habis makan sama ayam goreng sama appa!, begitulah kurang lebih yang ia ucapkan. Bocah 3 Tahun yang aktif memang.
Masing-masing ikatan itu aku letakan diatas makam mereka.
Bocah itu berlari ke salah satu makam lain disebelah makam mereka.
“Mama!”
Arka memeluk sebuah nisan. Didalam nisan tersebut, tertulis
Rest In Peace
Son Chaeyoung
1994-20xx

Bunga yang ia pegang tadi ia letakan diatas makam tersebut. Sebuah koran yang diberi figura yang ada disisinya ia ambil lalu bersihkan dengan tangannya.

Major car accident killed CEO of Pt. Son Group Indonesia in Bandung.

Aku memandangi makam Chaeyoung.
“Hei, ma! Arka seneng banget habis makan ayam goreng sama aku nih!” Aku berjongkok di depan makam itu, disusul Arka yang meloncat kedalam pangkuanku.
“Yuk kita berdoa buat mereka.” Aku mengaitkan kedua tangan Arka, begitupun dengan tanganku. Kami sama-sama memejamkan mata. Berdoa dengan tulus untuk sosok yang sudah mewarnai hari-hariku dulu.
“Amin!” Arka selesai terlebih dahulu. Aku membuka mata, melihat anak semata wayangku itu.
“Yuk, kita pulang.” Arka mengangguk dengan semangat.
Ia segera menaikan kedua kakinya ke pundakku. Aku memegangnya, lalu berbalik sebentar menghadap sebuah nisan kecil di samping makam Chae.

Keluarga yang ditinggalkan
Tama Arnes Andhika – Husband
Arka Pratama – Son

Kami berjalan menuju mobil. Sepanjang ia berada di gendonganku tadi, kami bernyanyi sebuah lagu. Lagu untuk mengenang ibu dari Arka–dan Istriku.

You are my sunshine,
My only sunshine.
You make me happy,
When skies are grey.
You’ll never know, dear, how much I love you.
Plese, dont take my sunshine away.


========

Diakhir, saya sadar, bahwa mencintai bukan hanya sekedar tentang seberapa lama kamu; mengenalnya, menghabiskan waktu bersamanya, menemani dia kala dia bersedih.
Tapi, mencintai adalah tentang menghargai. Menghargai kehadiran pasanganmu, menghargai setiap detik yang ia habiskan bersamamu, menghargai setiap sentuhannya untukmu.

Tidak ada yang tahu bagaimana, dan berapa lama seseorang menjalani hidup. Maka, manfaatkan ketidaktahuan itu untuk saling menghargai.

Untuk kalian yang sedang berusaha mencari cinta : semangat! Ingat, belum bertemu bukan berarti tidak laku. Kamu hanya butuh sedikit usaha lagi untuk menggapainya.


Part ini merupakan tribute untuk sahabat saya.














-My only sunshine – tamat.-
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd