Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT METEOR AZKA

Aswasada

Suhu Semprot
Daftar
23 Jun 2022
Post
3.003
Like diterima
28.710
Bimabet
PRAKATA

Mohon izin pada mimin dan momod pengasuh forum ini. Newbie bermaksud meramaikan khasanah cerita bersambung di tempat ini. Bila newbie ada salah mohon diperingati terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan. Bagi para suhu penikmat cerita bersambung diharapkan kritik dan saran yang membangun. Cerita ini cuma khayalan tidak terjadi di dunia nyata. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian atau cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Cerita ini sebenarnya ide dari suhu @rajavalid, dalam hal ini penulis hanya bertugas menyambung kata-kata sehingga membentuk sebuah kalimat yang bercerita.​

-----ooo-----

INDEKS

CHAPTER 1

CHAPTER 2
Klik

CHAPTER 3 Klik

CHAPTER 4 Klik

CHAPTER 5 Klik

CHAPTER 6 Klik

CHAPTER 7 Klik

CHAPTER 8 Klik

CHAPTER 9 Klik

CHAPTER 10 Klik

CHAPTER 11 Klik

CHAPTER 12 Klik

CHAPTER 13 Klik

CHAPTER 14 Klik

CHAPTER 15 Klik

-----ooo-----




CHAPTER 1


Udara dingin pegunungan dibalut lembut air yang melahirkan kabut merupakan pemandangan yang biasa di Desa Pujon Kidul, Kabupaten Malang. Penduduk desa hidup dengan damai dan tentram. Hampir semua penduduk berprofesi sebagai petani sawah dan ladang. Ya, di sinilah aku dilahirkan dan dibesarkan. Di sinilah aku setiap hari dapat menghirup udara segar. Pemandangan yang indah, lingkungan yang asri dengan pepohonan, serta ilalang yang selalu menghiasi jalan. Meskipun kehidupan di desaku ini sangat sederhana dan minim hiburan, tetapi aku sangat menyukai dan kerasan tinggal di sini. Aku sangat menikmatinya dan kuanggap desaku ini adalah tempat ternyaman di dunia.

Kepulan asap rokok memenuhi ruang depan di rumahku. Indah warnanya putih. Kubiarkan bercampur dengan aroma kopi panas yang baru saja kuseduh. Aroma keduanya terasa begitu segar di hidungku. Sebuah tangan keriput mengambil gelas kopi dari atas meja. Pemilik tangan itu adalah kakekku yang sudah berusia 67 tahun. Semenjak kedua orangtuaku meninggal dunia, karena kecelakaan lalu lintas sembilan tahun yang lalu, aku praktis diasuh oleh kakekku. Ya, aku beruntung masih mempunyai kakek yang selalu ada untukku selama sembilan tahun lebih ini.

Nama kakek adalah Barda. Kakek telah ditinggalkan nenek menghadap Yang Maha Kuasa empat tahun yang lalu. Kakek cukup terpandang di desaku karena dia pernah menjadi kepala desa selama 10 tahun di desaku. Dia juga petani yang lumayan sukses. Kakek mempunyai lahan pertanian seluas dua hektar lebih, sehingga di hari tuanya kakek tak pernah menyusahkan anak-anaknya. Kakek mempunyai tiga orang anak laki-laki. Ayahku adalah anak tertua dari kakek. Jadi bisa ditebak, jika aku mempunyai dua paman. Mereka adalah adik dari ayahku.

Namaku Azka Anugrah yang sekarang berusia 24 tahun. Wajahku lumayan tampan karena banyak yang bilang seperti itu. Tinggi badan 168 cm dengan berat badan 58 kg bisa dibilang aku mempunyai tubuh yang ideal. Hanya saja sejak empat bulan kelulusan dari pendidikan S1, aku belum juga mendapat pekerjaan alias pengangguran. Aktivitasku sebatas membantu kakek di ladang dan di sawahnya, sekedar untuk mendapat uang rokok saja darinya.

Entah sudah berapa jam aku dan kakek ngobrol di ruang tamu ditemani suara jangkrik yang saling bersautan riang. Malam ini di desaku cuaca sangat dingin, walaupun langit malam ini sangat cerah. Namun, dinginnya udara malam tidak menjadi obrolanku dengan kakek dingin juga. Bahkan kami tertawa terbahak-bahak jika terjadi obrolan lucu. Malam semakin larut, obrolan kami pun semakin melebar kemana-mana hingga lupa bahwa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

“Aska ... Kakek mendengar kalau sekretaris desa kita akan pensiun. Tadi siang kakek bertemu kepala desa kalau dia membutuhkan sekretaris desa. Kakek pikir dengan pendidikanmu rasanya kamu pantas menjadi sekretaris desa.” Ujar kakek yang tiba-tiba sangat serius.

“Oh ... Benarkah kek? Aku mau banget jadi sekretaris desa. Setidaknya sejalan dengan pendidikanku di kuliahan. Jurusanku kan pemerintahan daerah. Ya, cocoklah kalau aku menjabat sebagai sekretaris desa.” Jawabku sangat bersemangat.

“Ya ... Tadi bilang kepala desa bisa membantumu, tapi dia bilang juga ada biaya yang tidak kecil yang harus kita keluarkan. Jaman sekarang sesuatu harus pakai duit.” Kata kakek lalu menghisap lagi rokok kreteknya.

“Kalau masalah itu, aku angkat tangan kek ... Dari mana aku mendapatkan duit. Duitnya pasti gede. Aku kan ingin bekerja karena butuh duit.” Tiba-tiba saja semangatku mengempis lagi. “Eh bisa aja sih kek, kalo kakek mau bantu dengan jual sawah kakek.” Kelakarku sambil cengengesan gak jelas.

“Jual gundulmu ... Kalau dijual darimana kakek dapat duit ... Tapi, kakek sudah memikirkannya. Kakek akan pinjam sama Pak Rusdi. Dua bulan lagi kakek panen, dari hasil panen itulah kakek bayar pinjaman itu.” Ujar kakek sembari membuang rokoknya ke asbak.

“Aku jadi gak enak sama kakek. Kakek terlalu baik padaku.” Kataku yang agak tidak enak hati. Kasih sayang kakek tak pernah bisa diukur dari berapa lama waktu yang aku habiskan bersamanya. Ya, kasih sayang kakek padaku tak mengenal batas maupun bentuk.

“Kamu gak usah mikirin apa-apa. Bagi kakek sekarang kamu harus kerja dan kawin. Umurmu sudah cukup untuk berkeluarga. Kakek gak ingin kamu jadi bujangan lapuk.” Ucap kakek dan kami pun tertawa bersama.

Kami terus melanjutkan obrolan seputar peminjaman uang kepada Pak Rusdi. Pak Rusdi bisa dibilang ‘bank keliling’. Dia menyediakan jasa peminjaman uang atau modal pada warga desa. Namun, Pak Rusdi tidak menetapkan bunga yang tinggi. Bunga pinjamannya lebih besar sedikit dari bunga bank sesungguhnya. Akhirnya aku dan kakek sepakat untuk meminta bantuan Pak Rusdi yang kami rencanakan akan datang besok siang ke tempat kediamannya.

Akhirnya kakek beranjak dari duduknya lalu melenggang ke kamar hendak beristirahat. Sementara aku malah keluar rumah untuk menghirup udara segar malam hari. Kurentangan tangan dan kupejamkan mataku seraya menghirup udara bersih untuk mengganti pasokan oksigen di paru-paruku yang kotor dengan oksigen bersih alam terbuka. Ketika mataku terbuka, tiba-tiba aku melihat sebuah benda pijar di angkasa yang bergerak sangat cepat. Benda pijar itu seakan mengarah padaku. Aku terhenyak tetapi tubuhku tidak bisa bergerak. Mataku terus mengikuti jatuhnya benda pijar tersebut. Dalam hitungan detik, akhirnya benda pijar itu jatuh menimpa bumi yang hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri.

BLLAAARRR ...

Suara dentuman keras terdengar di telingaku diikuti dengan debu pekat membumbung tinggi. Bumi bergoncang lumayan keras. Rumah bergoyang, kaca depan pecah, beruntung rumahku tidak roboh. Aku pun terlempar ke belakang hingga membentur tembok rumah saking kerasnya tenaga dorongan dari benturan benda pijar tersebut dengan tanah. Membuat kepalaku sakit dan berdengung. Mataku sakit kelilipan debu yang menerpa kencang ke tubuh. Ya, benturan itu sangat kuat sampai-sampai hamburan tanah membuat luka robekan kecil di tanganku yang tadi refleks menutup wajah.

“Azka ... Apa yang terjadi?” Tiba-tiba kakek datang keluar. Tak lama kakek terbatuk-batuk mungkin karena menghisap debu yang masih terlalu pekat.

“Ada meteor jatuh kek ...” Jawabku sambil meringis dan berdiri.

“Dimana?” Tanya kakek lagi yang kini tubuhnya sudah terlihat samar-samar.

“Di kebun kek ... Kebun sayur kakek ...” Jawabku sambil mengibas-ngibas debu di mukaku.

Tak pelak, kejadian ini mengundang banyak orang datang. Puluhan warga desa sekitar rumah berkumpul dan menyaksikan batu sebesar anak domba yang masih berpijar dan berasap. Benturan batu pijar itu membentuk kawah berdiameter sekitar tiga meter dengan kedalam kira-kira satu meter. Namun tidak ada orang yang berani mendekat. Mereka hanya menyaksikannya dari kejauhan sambil berbicara satu sama lain.

“Kita harus laporkan ini ke kepala desa.” Kataku.

“Iya ... Kakek akan nyuruh penduduk menjemput kepala desa.” Ujar kakek.

Malam itu rumahku sangat ramai oleh orang-orang hingga pagi menjelang. Orang-orang silih berganti untuk melihat benda dari luar angkasa yang jatuh di kebun sayur milik kakek. Wajar karena ini adalah sebuah kejadian langka yang mungkin hanya bisa dinikmati satu kali dalam seumur hidup. Namun pada siang harinya, petugas dari pemerintahan kabupaten datang lalu membawa bongkahan batu dari angkasa tersebut yang sudah mendingin ke kota kabupaten. Suasana di rumahku kembali sepi seperti sediakala.

Aku yang diperintah kakek untuk meratakan tanah mulai mencangkul dan meratakan kawah bekas meteor jatuh. Baru saja beberapa kali cangkulan, tiba-tiba ada sinar yang keluar dari dalam tanah berwarna terang emas. Sinar emas itu menyebar, wajahku pun terkena terpaan sinar tersebut yang cukup menyilaukan mata. Aku yang penasaran kembali mencangkul tanah tepat di sumber sinar. Hanya satu cangkulan yang kuayun, dan di atas cangkul aku menemukan batu yang bersinar. Secepatnya aku ambil dan menyimpannya di saku celana. Ternyata, saku celanaku pun tidak bisa menghalangi sinar emas yang dihasilkan batu. Sinarnya menembus kain celanaku.

Akhirnya aku memutuskan untuk menyimpan batu bercahaya ini di dalam kamar. Aku berjalan agak cepat agar tidak ada orang yang tahu kalau aku menemukan benda yang aku anggap sangat berharga ini. Bila ada yang tahu, bisa-bisa batu bersinar yang kutemukan diambil oleh pihak yang berwenang. Jujur, aku sangat ingin memiliki batu bercahaya ini, akan aku simpan untuk diriku sendiri. Sesampainya di dalam kamar, aku sembuyikan batu cahaya, begitulah aku menyebutnya, dalam lemari. Lagi-lagi, tumpukan baju dan papan lemari tidak bisa menyembunyikan cahayanya. Cahaya itu keluar dari sela-sela lemari.

Celoko ... Siang aja sinarnya seperti ini. Bagaimana malam?” Batinku heran sekaligus bingung.

Lantas aku berpikir, bagaimana cara menyembunyikan batu cahaya ini. Aku ambil lagi batu cahaya dari dalam lemari. Aku genggam agar cahayanya tidak terlalu menyebar. Saking terangnya, tanganku pun seolah tertembus oleh cahayanya. Aku bisa melihat kalau tanganku berwarna merah putih. Aku benar-benar kebingungan. Aku mencari-cari akal agar benda langit ini bisa kusembunyikan. Aku pun duduk di sisi ranjang sambil memutar otak untuk mencari cara menyimpannya. Entah berapa lama, yang jelas tidak terlalu lama, tiba-tiba tangan yang menggenggam batu cahaya terasa panas.

“Sial!” Aku memekik kaget sambil merasakan tanganku seperti terbakar.

Tanpa berpikir lagi, aku melempar batu cahaya itu ke dalam gelas minumku yang berada di meja kecil samping ranjang. Ajaibnya, batu yang kini terendam dalam air minum dalam gelas berhenti mengeluarkan cahaya. Aku sangat kegirangan, tanpa sengaja aku menemukan cara menyembunyikan batu cahayaku. Aku ambil gelas dari atas meja. Kupandangi si batu cahaya. Entah kenapa, dari lubuk hati yang terdalam, aku berkata kalau batu ini akan memberikan aku sesuatu yang diluar dugaan.

Menurut mitos, airnya harus diminum dan dipakai mandi supaya keinginanku terkabul.” Kataku dalam hati sembari cengar-cengir sendiri karena begitulah kebiasaan orang-orang di desaku jika mereka berobat ke paranormal.

Aku simpan kembali gelas berisi batu yang kini tidak bercahaya lagi ke atas meja kecil. Setelahnya, aku segera menyelesaikan tugas yang diberikan kakek untuk meratakan tanah di kebun. Sekitar satu jam lewat, aku pun selesai dengan tugasku lantas bergegas ke kamarku untuk mengambil gelas berisikan air dan batu cahaya. Aku teguk sedikit karena memang aku agak haus, kemudian aku bawa ke kamar mandi. Aku menyediakan satu ember air lalu kucicikan sedikit air dari gelas dan aku pun mandi membersihkan diri. Tentu saja, apa yang aku lakukan hanya insting belaka. Insting yang tidak bisa kutahan. Rasanya semua yang kulakukan seperti ada yang menggerakan. Tapi entahlah, walau ini tak masuk akal namun aku ingin melakukannya.

Selepas mandi dan berpakaian, aku menyimpan gelas berisi batu cahaya di tempat yang aman. Setelahnya, aku keluar kamar dan menunggu kakek di ruang depan. Baru saja duduk semenit, terdengar motor kakek masuk halaman. Aku langsung bangkit dan menghampiri kakek.

“Apakah kita jadi ke rumah Pak Rusdi, kek?” Tanyaku sebelum kakek turun dari motornya.

“Ah, kakek hampir lupa. Ayo, kita berangkat sekarang!” Ujar kakek sembari mundur duduknya memberikanku ruang untuk mengendarai motor.

Aku pun naik dan langsung melajukan motor ke tempat kediaman Pak Rusdi. Kakek bercerita kalau batu meteor telah dibawa oleh aparat provinsi untuk disimpan di museum. Tak ada yang aneh dari batu meteor itu, kakek bilang hanya batu angkasa biasa saja. Aku pun hanya tersenyum mendengar penjelasan kakek. Akan aku simpan rahasia dibalik jatuhnya batu meteor tersebut.

Sekitar 30 menitan, aku sampai di sebuah rumah besar. Rumah besar berpilar tiga itu terlihat sepi, Pak Rusdi memang benar-benar tergolong keluarga kalangan atas, terlihat jelas dari rumahnya yang terkesan mewah. Aku dan kakek berjalan ke teras rumah. Tak lama, kakek menekan bel rumah yang sederhana namun terlihat mewah dan kami pun menunggu beberapa saat.

Pintu besar dari jati itu terbuka lebar. Seorang wanita cantik berkerudung lebar menyambut kami dengan senyumnya. Dia mengenakan gamis polos berwarna merah muda dan jilbab lebar yang memiliki warna senada dengan bajunya, tetapi pakaian longgar itu masih tidak bisa menutupi lekuk tubuhnya yang ceroboh. Wajahnya cantik rupawan bagaikan bidadari. Putih wajahnya begitu mempesona, membuat hati kian terpana. Aku sampai menelan ludah berulang kali, wajahku langsung rasanya panas, tubuhku langsung gerah sendiri ketika melihatnya. Sungguh, dia sekarang terlihat begitu seksi dan menggairahkan. Ah, hanya dengan memikirkannya saja sudah membuatku menegang.

“Oh, Pak Barda ... Silahkan masuk ...!” Si wanita cantik itu mempersilahkan kami masuk walau hanya menyebut nama kakekku.

“Apakah suamimu ada di rumah?” Tanya kakek sembari melangkah masuk ke dalam rumah megah ini. Aku pun ikut memasuki rumah di belakang kakek.

“Ada Pak ... Silahkan duduk. Saya akan panggil suami saya di belakang.” Sahut si wanita cantik itu yang ternyata istri dari Pak Rusdi. Jujur, aku memang beberapa kali melihat Pak Rusdi tetapi baru kali ini aku melihat istrinya dari dekat.

Aku dan kakek duduk di sofa yang terasa sangat empuk dan nyaman. Aku mengedarkan pandangan di setiap sudut ruangan. Di dalam rumah besar ini aku melihat semua perabotan rumah tangga tertata rapi, mewah adalah kesan pertamaku. Walau sudah berulang kali memperhatikan rumah ini, aku tidak pernah bosan. Benar-benar rumah idaman. Aku menggelengkan kepala dan berpikir, ini apakah lebih pantas disebut istana?

“Maaf menunggu Pak Barda!” Seru seseorang yang baru saja masuk dari pintu tengah. Ya, dialah Pak Rusdi si pemilik rumah, dan yang aku tahu Pak Rusdi ini sudah berusia sekitar 50 tahunan.

“Baru beberapa menit saja, Pak Rusdi. Saya malah yang harus minta maaf karena telah mengganggu ketenangan bapak.” Jawab kakek sambil berdiri. Aku ikut berdiri dan tak lama kami pun berjabat tangan dengan tuan rumah.

“Oh ... Tidak ... Tidak ... Saya tidak sedang apa-apa. Tadi malah cuma bengong sambil memberi makan ikan hias di belakang. Oh, ini Nak Azka bukan?” Ucap Pak Rusdi yang kemudian bertanya sambil menatapku.

“Benar, pak ... Saya Azka ...” Jawabku sambil sedikit membungkukan badan.

“Wah ... Sudah besar sekarang ya ... Terakhir saya melihatmu waktu kamu masih digendong mendiang ayahmu.” Kata Pak Rusdi sambil tersenyum ramah. “Silahkan pak ...” Lanjut Pak Rusdi mempersilahkan kami duduk kembali.

“Langsung saja ya pak.” Kakek memulai pembicaraan serius. “Maksud kedatangan saya ke sini, tidak lain untuk meminta bantuan bapak. Cucu saya, Aska, ingin saya jadikan Sekretaris Desa. Ya, mungkin bapak tahu sendiri untuk menjadi Sekdes perlu biaya yang tidak sedikit. Bila bapak berkenan, saya ingin meminjam uang sekitar 60 jutaan. Pembayarannya akan dibagi dua kali per tiga bulan sesuai dengan waktu panen saya.” Ungkap kakek yang memang tak pernah ‘melipir’ kalau mengungkapkan sesuatu. Kakek selalu to thr poin pada inti permasalahan.

“He he he ... Saya sangat setuju kalau Nak Azka menjadi Sekdes. Jadi, saya akan membantu Pak Barda. Saya setuju dengan sistem pembayarannya, gak ada masalah.” Pak Rusdi langsung menyetujui permintaan kakek.

“Terima kasih sebelumnya.” Ujar kakek sumringah.

“Kalau begitu ... Tunggu sebentar ... Saya akan ambil uangnya.” Kata Pak Rusdi sembari berdiri dan berjalan ke arah pintu dimana ia tadi muncul.

Aku dan kakek saling tersenyum. Ternyata Pak Rusdi mau membantu kami. Tiba-tiba pintu tengah terbuka lagi. Kini mataku kembali membulat tatkala istri Pak Rusdi datang membawa baki berisi dua gelas kopi dan makanan ringan. Walaupun wanita itu sudah berumur, tetapi kecantikannya tetap terawat. Wajah tanpa kerutan serta tubuh ideal yang tetap terjaga. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa ada hal lain bergejolak di dalam diriku. Perasaanku seakan ingin meluap. Gejolak gairahku seakan meningkat bahkan debaran jantungku benar-benar diluar kendali. Aku mulai tidak tenang saat tubuhku merespon, kejantananku mengeras dengan cepat sehingga terasa sakit di dalam celana.

“Silahkan disambi ...” Suara Bu Rusdi begitu merdu menelusup lubang telingaku.

“Terima kasih ...” Ucap kakek. Sementara aku masih terus melihat wajahnya yang cantik dan anggun.

Sungguh dia sangat seksi. Andai saja aku bisa membugilinya dan bercinta dengannya.” Batinku berkata.

Tiba-tiba Bu Rusdi menatapku sambil duduk di sofa panjang tepat di depanku, “Nak Azka sekarang kerja di mana?”

Pertanyaan Bu Rusdi sontak membuatku tergagap karena lamunan mesumku buyar, “A..aannuu ... Saa..saya masih menganggur.” Melihat ekspresiku yang terkejut Bu Rusdi pun tersenyum manis.

“Azka mau saya jadikan sekretaris desa, bu ... Azka mempunyai ilmu yang cocok menjadi sekretaris desa. Dia ini sarjana ilmu pemerintahan daerah.” Untung kakek menengahi kegugupanku.

“Oh, bagus kalau begitu. Saya sangat mendukung kalau Nak Azka menjadi Sekdes.” Ujar Bu Rusdi masih dengan senyuman dan tatapan yang cukup tajam ke arahku.

“Sa..saya minta dukungannya saja.” Balasku yang sudah bisa mengontrol kegugupanku.

“Hi hi hi ...” Bu Rusdi terkekeh kecil sembari menundukan wajahnya.

Akhirnya Pak Rusdi keluar dari pintu tengah dan membawa amplop coklat besar yang tampak menebal. Rupa-rupanya isi amplop coklat itu adalah sejumlah uang yang diperlukan kakek. Selanjutnya, kakek dan Pak Rusdi berbicara tentang persyaratan utang-piutang dan cara pembayaran. Sementara aku tidak terlalu memperdulikan perbincangan antara kakek dan Pak Rusdi. Aku lebih tertarik dengan wanita cantik di depanku. Awalnya aku terus mencuri pandang pada Bu Rusdi, dan tak disangka Bu Rusdi pun membalas pandanganku sambil tersenyum malu.

Beberapa saat berselang, pegawai kakekku datang dengan tergopoh-gopoh. Pegawai kakekku mengatakan kalau saluran air di sawahnya jebol. Tak pelak kakek langsung berpamitan kepada tuan rumah dan terpaksa meninggalkanku karena motornya harus membawa si pegawai dan aku disuruhnya naik ojeg untuk pulang ke rumah. Ya, mau apa lagi karena keadaan yang darurat, aku pun akhirnya membiarkan kakek dan pegawainya pergi. Pada saat aku berpamitan pada tuan rumah, Pak Rusdi menahanku karena dia memerlukan bantuanku untuk memperbaiki kolam ikan hiasnya di halaman belakang rumah.

Aku dan sepasang suami istri pemilik rumah berjalan menuju halaman belakang. Aku yang berjalan di belakang suami istri itu dengan leluasa menelisik bokong Bu Rusdi yang seksi. Buah pantatnya begitu menggairahkan, padat berisi sampai-sampai ingin rasanya meremas dan menciuminya. Kejantananku yang malang dan terlantar mengeliat tak terkendali di dalam celana saat aku membayangkan segala hal fantastis yang ingin kulakukan padanya.

Pasti enak ngentot sama dia.” Pikiran gilaku mulai bicara. Aku pun berhayal menyetubuhi wanita cantik itu sampai dia meraung-raung kenikmatan. Tak hanya itu, aku menghayal juga jika Pak Rusdi membiarkan istrinya aku gagahi. Entah kenapa, hayalan itu begitu tinggi dan indah. Keterlenaanku sesaat membuatku tersenyum sendiri.

Sampai juga di kolam ikan hias. Aku bersama Pak Rusdi memindahkan dua batu hiasan yang lumayan besar. Menggeser keduanya agak ke tengah kolam. Setelah itu, menata ulang batu-batu hias yang ukurannya agak kecil. Tak lama, kami selesai dengan penataan batu hias, kemudian Pak Rusdi menyalakan air untuk mengisi kolamnya kembali dengan air. Sementara itu, aku duduk di sisi teras.

Sungguh, aku terkejut luar biasa saat dengan tiba-tiba Bu Rusdi duduk di sebelahku. Bahkan keterkejutanku berlipat-lipat ketika tangan kanan Bu Rusdi tanpa sungkan meraba sensual selangkanganku. Tentu saja aku langsung menghalau tangannya karena rasa takutku sangat mendominasi. Leherku akan digorok Pak Rusdi jika dia melihatnya. Belum habis keterkejutanku dengan tingkah Bu Rusdi, kini wanita itu malah membuatku semakin terkejut. Entah bagaimana ia melakukannya, tahu-tahu bibirnya menyumpal bibirku. Kedua tangannya berada di belakang kepalaku. Aku bisa saja mendorongnya kuat namun aku takut tubuhnya terjungkal. Aku dorong perlahan tetapi dekapannya terasa semakin mengerat. Aku kelabakan, aku ingin sekali melepas ciumannya, tetapi dengan resiko wanita ini akan terpental ke belakang. Saat aku sedang berpikir apa yang harus kulakukan tiba-tiba Pak Rusdi bersuara.

“Bu ... Tolong ambilkan ...” Terdengar Pak Rusdi menjeda suaranya, dan dari sudut mata kulihat pria itu menatap ke arah kami. Hanya sepersekian detik tanganku hendak mendorong kuat, tiba-tiba Pak Rusdi meneruskan ucapannya, “Oh, ibu lagi sibuk ya. Ya sudah bapak saja yang ambil makanan ikannya.” Suara Pak Rusdi tak terdengar marah. Karuan saja aku menghentikan niat mendorong wanita yang sedang memperkosa bibirku.

Aku sungguh tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Gila! Pak Rusdi hanya menoleh sebentar saja saat dia kembali. Pria itu tidak memperdulikan istrinya yang sedang berbuat tidak senonoh padaku. Pak Rusdi dengan santainya memberi makan ikan hiasnya tanpa merasa terganggu sedikit pun akan aktivitas mesum istrinya. Merasakan kondisi seperti ini, perlahan insting binatangku mulai bekerja. Kubiarkan saja Bu Rusdi menciumku, bahkan tak lama kubalas ciumannya. Bu Rusdi menggigit bibir bawahku kecil, membuatku mendesis dan secara refleks membuka mulutku. Seperti mendapat izin, lidah Bu Rusdi mulai masuk ke dalam mulutku. Mengabsen setiap gigiku bahkan mengajak lidahku berpartisipasi untuk bertarung bersamanya. Seperti terbawa suasana, aku malah mengimbangi ciuman Bu Rusdi yang semakin lama semakin panas. Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya agar ia tidak menjauh dariku. Kurasakan jika Bu Rusdi tersenyum disela-sela ciuman kami.

Karena kehabisan oksigen, kami menghentikan ciuman. Mata kami saling bersitatap penuh gairah. Bibir kami saling memberikan senyum. Tiba-tiba Bu Rusdi duduk mengangkang di pangkuanku kemudian kembali membawaku pada ciumannya. Aku hanya bisa menurut pada komando kecil Bu Rusdi tanpa melepaskan ciuman ini. Tanganku mulai bergerilia di pinggang dan punggungnya, tak jarang aku meremas bokongnya ketika dia menyedot bibir bawahku. Aku merasakan sesuatu mengeras di dalam celanaku. Ah, juniorku sudah sesak di bawah sana.

Di sela-sela ciumanku, aku melirik pada Pak Rusdi yang sedang memberi makanan pada ikan hiasnya. Pria itu sama sekali tak bereaksi. Istrinya yang cantik dan seksi kini berada di pangkuanku dan dalam penguasaanku. Namun, Pak Rusdi terlihat sangat santai, tidak menunjukkan gejala meriang apalagi murka. Entahlah, ini seperti sebuah keajaiban, atau mungkin malah sebuah keberuntungan untukku. Meskipun pikiran dipenuhi tanda tanya, tetapi kini hasratku yang lebih menggelora. Pikiran-pikiranku seakan terhalau oleh hasrat birahi yang muncul secara tidak normal ini. Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan permainan.

Tangan nakalku kini tidak bisa diam, dari pinggang aku beralih pada buah dadanya yang terbalut oleh gamis polos berwarna merah muda. Aku meremas buah dadanya dengan gemas sehingga ia harus menjauhkan bibirnya dari bibirku agar bisa mengeluarkan desahan. Aku pun tidak tinggal diam, ciumanku turun pada lehernya ketika tanganku menarik jilbabnya ke atas. Tak sampai di situ, aku melepas paksa gamisnya sehingga kini terpampang bra berwarna krem yang menutupi dadanya yang jujur saja, itu tidak kecil. Bu Rusdi mendesah ketika aku menurunkan ciuman pada dadanya dan melepas branya dengan paksa. Kini Bu Rusdi setengah telanjang dalam dekapanku dan di dekat suaminya. Ini gila!

“Ibu sangat seksi.” Gumamku takjub. Bu Rusdi tidak bisa menjawab karena aku mulai menciumi buah dadanya dengan sangat terburu-buru yang membuatnya merintih geli. Dengan satu tarikan aku membawanya dalam gendonganku dan Bu Rusdi memekik pelan. Aku bawa ke dalam rumah. Namun sebelumnya aku melirik ke arah Pak Rusdi. Pria itu malah tersenyum senang. Entahlah, apa yang ada dipikiran pria paruh baya itu.

Aku bawa Bu Rusdi ke ruang tengah. Aku letakkan tubuhnya di sofa panjang dengan sangat hati-hati dengan posisi terduduk, punggungnya bersandar di sandaran sofa. Tak kuduga, aku sangat tergila-gila pada payudaranya. Payudara itu begitu bulat sempurna dengan puting besar berwarna coklat kehitaman. Tanpa berlama-pama, aku melahap bulatan seksi di dadanya itu. Bu Rusdi mendesah keras ketika aku menarik putingnya dengan bibirku. Tangannya meremas apapun yang bisa ia jangkau, termasuk rambut hitam milikku.

Dengan tergesa-gesa, aku menurunkan celana dalamnya yang sudah basah tentu saja. Aku benar-benar terburu-buru. Ciumanku turun terus hingga mencapai bagian sensitifnya. Bu Rusdi mengerang kecil ketika lidahku membelai miliknya. Bu Rusdi seperti sudah kehilangan akal sehatnya sekarang. Hanya nafsu yang mengendalikan tubuhnya. Aku menggeram menyahut desahan nikmat darinya. Hanya butuh waktu yang singkat untuk membawa wanita cantik paruh baya ini pada pelepasan pertamanya akibat permainan lidahku. Sekitar sepuluh detik lamanya tubuh Bu Rusdi mengejang hebat sembari mengeluarkan cairan kenikmatan di dalam sana.

Aku mulai melepaskan satu persatu pakaian hingga tidak menyisakan apapun untuk menutupi tubuhku. Aku yang sudah tak tahan melihat tatapan sensualnya. Lantas aku memposisikan tubuhku diantara kedua kakinya. Kemudian aku mencium payudaranya lagi dengan penuh gairah, membuat wanita paruh baya ini semakin melenguh nikmat. Dengan posisi setengah berdiri kejantananku tepat berada di depan lubang senggamanya.

"Ahhhhh...."

Desah kami lantang secara bersamaan saat aku berhasil menerobos barikade kenikmatan surgawi miliknya. Kulihat Bu Rusdi memejamkan mata sambil mengernyitkan dahi karena kejantananku telah menyelam sempurna pada liang senggamanya. Aku mendiamkan sebentar milikku di dalam sana agar wanita cantik ini terbisa dengan ukuran 'si Boy' yang di atas rata-rata.

“Aaaahhh ...”

Aku mengerang nikmat merasakan dinding-dinding kewanitaannya yang rapat itu memeras dan mencengkram milikku dengan kuat. Liang kewanitaannya begitu ketat hingga aku merasa sedikit perih saat melakukan penetrasi tadi. Aku seakan sedang menembus vagina perawan. Bu Rusdi mendesis saat aku mulai menggerakan pinggulku perlahan. Batang kerasku mulai keluar masuk dari vaginanya. Terasa otot-otot vagina Bu Rusdi mengemut batangku.

"Eengghhh... Pelan-pelan yaa..." Pintanya dengan mendesah karena aku menaikan tempo genjotanku.

Entah sudah berapa lama aku menghujam-hujamkan kejantananku ke dalam vaginanya. Tubuhnya bergerak naik turun karena hentakan pinggulku semakin liar dan cepat. Suara penyatuan tubuh kami menggema di seluruh ruangan ini. Kami berdua mendesah, mengerang, berpacu dalam kenikmatan duniawi. Bu Rusdi hanya bisa terpejam nikmat dan terus mendesah-desah. Kedua kakinya erat mengalung di pinggulku yang tengah menguasi tubuhnya dalam kukungan gairah panas membara.

"Ibu menyukai ini? Ehm.." Aku beralih lagi untuk mencium wajah cantik Bu Rusdi yang merona dan kami saling menatap sayu satu sama lain. "Ibu menyukainya, bukan?" Gerakanku semakin cepat hingga guncangan kami kian keras mengakibatkan sofa panjang itu ikut bergerak-gerak.

"Aku menyukainya..." Tangan Bu Rusdi memeluk tengkukku dan ia menyandarkan kepalanya di celuk leherku, "Lebih cepat... Aaaahh..." Aku pun tersenyum senang.

Guncanganku kian bertambah cepat mengikuti keinginan wanita yang sedang kugagahi ini. Aku bergerak semakin cepat dan mengerang nikmat tiada tara. Pandangan sayuku menatap takjub pada tubuh sensual milik Bu Rusdi yang begitu indah. Menjadikanku semakin semangat bergerak menghentak hingga Bu Rusdi nyaris berteriak kesetanan. Penisku dengan gagah berhasil mengobrak-abrik liang vaginanya. Rasanya luar biasa.

“Aaaahh ... Aaaahh ... Aaaahh ...” Bu Rusdi terus mendesah-desah.

Aku mengocok vagina Bu Rusdi yang semakin basah, semakin deras cairan pelumasnya keluar. Aku terus mengocok vaginanya yang difokuskan pada satu titik tertentu yang sudah sangat aku ketahui. Bu Rusdi mendesah semakin keras, kakinya bergerak tak karuan, vaginanya terasa berdenyut-denyut, rasa nikmat semakin memuncak, nafasnya semakin memburu, jantungnya berderap semakin kencang, tubuhnya mulai menegang dan hingga akhirnya.

“Aaaaaaccchhhh ...!!!” Bu Rusdi berteriak mendesah kencang, punggungnya melengkung ke atas, vaginanya terasa berdenyut hebat dan kejang dibarengi dengan keluarnya cairan orgasmenya yang deras membasahi penisku yang tak berhenti mengocok vagina yang sudah kewalahan itu. Gelombang orgasmenya masih berlanjut. Aku melihat Bu Rusdi mengatur nafas dan tubuhnya sesekali mengejang, sementara aku membiarkan penisku masih di dalam vaginanya yang masih terasa berdenyut dan sedikit terasa menghisap penisku.

Gila...! Aku menghentikan tusukanku karena merasakan 'si Boy' sedang diremas kuat dan dibanjiri dengan lelehan cairan hangatnya di dalam sana. Kami mengatur nafas sebentar lalu tatapan sayu saling bertemu. Kusambar bibir ranumnya yang sedikit menganga dengan ciuman mesra sambil menghujam kewanitaannya lagi dengan kejantananku. Aku mengoyang vagina Bu Rusdi, gerakan keluar masuk di vaginanya aku lakukan dengan tempo yang sangat cepat dan berirama teratur.

Penisku terasa dihisap-hisap oleh vagina Bu Rusdi yang sudah pulih dari kondisi pasca orgasme. Vagina wanita di bawahku ini mulai mengencang lagi, cairan pelumasnya membuat permainan semakin memyenangkan dan nikmat. Aku tergoda dengan payudara Bu Rusdi yang terlihat berguncang-guncang menerima gerakan dan hentakkan penisku di vaginanya. Aku menunduk dan mulai mengulum putingnya yang berwarna kecoklatan dan menegang. Aku menghisapnya, menggigit dengan gemas, sesekali menariknya. Bu Rusdi tampak semakin kewalahan. Lagi-lagi aku merasakan tanda-tanda orgasmenya akan datang, vaginanya dengan cepat merespon goyanganku dan menyerah, gelombang kenikmatan hebat itu datang lagi padanya, denyutnya semakin cepat. Penisku pun merasakan ada sesuatu yang menyiram berupa cairan hangat. Dia mendorongku, lalu mendesah lantang saat mencapai pelepasan yang ketiga kalinya. Aku menghentikan gerakanku agar dia menikmati orgasme yang sedang melandanya.

“Wow ... Tiga kali ...” Ucapnya pelan dengan mata membulat dan ngos-ngosan.

“Masih kuat?” Tanyaku bercanda.

“Masih dong. Tapi istirahat sebentar ya ...” Jawabnya dengan senyuman sambil mengelus pipiku.

Tiba-tiba pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur terbuka. Kulihat Pak Rusdi masuk. Matanya mengarah pada kami yang masih bersatu tubuh. Pak Rusdi tersenyum dan tentu saja aku kembali keheranan. Pria terhormat itu terlihat sangat santai walau tahu istrinya sedang aku gagahi. Dengan jalan yang santai, Pak Rusdi memasuki ruang depan. Aku lantas menatap wajah Bu Rusdi dengan tatapan kebingungan.

“Bapak kok tidak marah?” Tanyaku hati-hati.

“Jangan dipikirkan ... Yuk, kita lanjut. Tapi aku ingin di atas.” Ajaknya dan kusambut dengan anggukan.

Kami mengatur nafas sejenak, kemudian aku memposisikan tubuhku berada di bawah, sedangkan Bu Rusdi duduk di atas pinggulku. Setelah berhasil menyatukan tubuh, Bu Rusdi mulai bergerak naik turun dengan sesekali menggoyangkan pinggulnya memutar. Ah, dia sangat liar saat memacu tubuhnya bergoyang sambil melumat 'si Boy' di dalam miliknya. Wanita itu bergerak tak beraturan bagaikan sedang menunggangi kuda liar di atas sana. Erangan dan desahanku berkali-kali lolos karena kenikmatan yang menjalar di seluruh tubuh.

Dua gundukan kenyal itu bergerak naik turun akibat hentakan pantatku. Kemudian tanganku meremas mereka berdua lembut sambil memilin ujungnya, membuat wanita ini mendongak ke atas sambil bibirnya merancau tak jelas. Aku semakin bersemangat memainkan buah dadanya yang aduhai, apalagi membayangkan dirinya bukan lagi wanita alim dan terhormat, melainkan wanita jalang. Benar-benar jalang.

“Aaaahh ... Sayaannghh ...”

Tak lama kemudian tubuh Bu Rusdi bergetar kembali dibarengi dengan mengerang, sepertinya dia akan sampai pada orgasmenya lagi. Aku pun ikut memacu tubuhku dari bawah dengan cepat membuatnya sedikit kewalahan. Bu Rusdi terus mendesah keras dengan bola mata memutih sambil menyemburkan cairannya pada kejantananku. Kuangkat tubuhnya dan merebahkannya, lalu aku turun ke bawah dan memposisikan wajahku tepat di hadapan kewanitaannya yang sedang berkedut. Kulumat dan kusesap miliknya yang banjir dengan cairan cinta membuat ia bergerak menggeliat seperti cacing kepanasan.

"Sssttttoooppp ... Aaaaghhh ...!!!" Pintanya dengan suara parau sambil mendorong kepalaku menjauhi kewanitaannya.

Aku bangkit dan melihat wajahnya yang memerah karena birahi serta pelipis yang dipenuhi keringat. Nafasnya ngos-ngosan seperti habis berlari maraton. Lalu aku menciumnya lagi dan memompa tubuhnya, ingin segera menyudahi permainan ini karena tak ingin membuatnya pingsan karena lemas. Dan tibalah gelombang orgasme dahsyat melanda kami. Erangan dan desahan kami terdengar lantang saat mencapai pelepasan bersama. Lega... puas... nikmat... Semua rasa itu bercampur memenuhi isi kepalaku.

Aku melepas penyatuan tubuh kami lalu merebahkan diri di sebelahnya. Dia juga sedang menghela nafasnya yang tersengal-sengal akibat percintaan panas ini. Udara dingin pegunungan pun tak mampu mendinginkan panasnya hawa percintaan kami. Kukecup keningnya lembut lalu memeluknya dan dia pun membalas pelukanku.

“Tadi itu luar biasa ...” Ucap Bu Rusdi pelan.

“Ya ... Enak sekali.” Balasku.

“Kamu bisa menginap di sini setiap hari.” Ucap Bu Rusdi terdengar seperti sebuah permintaan.

“Ah.. !!! Nanti bapak marah kalau setiap hari.” Kataku kaget.

“Tapi tadi dia gak apa-apa.” Ujarnya sembari mencium sekilas bibirku.

Aku tidak merespon perkataan Bu Rusdi, yang ada di otakku adalah keanehan. Aku tak percaya, bagaimana bisa Pak Rusdi membiarkan istri cantiknya aku gagahi. Akhirnya aku berpakaian begitu pula Bu Rusdi. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Setelah berpamitan kepada tuan rumah segera saja aku meninggalkan rumah megah itu dengan pikiran bingung. Kejadian barusan adalah hal ganjil yang terjadi di luar nalar yang sulit dipercaya. Aku seperti bermimpi tetapi dengan mata terbuka.

Aku pulang menggunakan ojeg pangkalan. Selama setengah jam di perjalanan, bayanganku tak pernah lepas dari persetubuhanku dengan Bu Rusdi di depan suaminya. Pada saat yang sama kebingunganku terus membayang. “Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Pertanyaan itu terus muncul dalam pikiranku hingga aku sampai di rumah pun aku belum mendapatkan jawabannya.

Rumah dalam keadaan kosong. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan mengambil air berisikan batu cahaya yang kusembunyikan di bawah lemari. Kupandangi batu yang terendam dalam air itu. Aku berkata dalam hati kecilku, “Apakah batu cahaya inilah yang melakukannya?” Memang sejak awal aku mempunyai firasat kalau batu ini akan memberikan aku sesuatu yang diluar dugaan. Sejak awal aku sudah menduga kalau batu cahaya ini memiliki keistimewaan sehingga aku ingin sekali memilikinya.

Bersambung

Chapter 2 di halaman 11 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
Gelar tiker dulu
Siap hu ... Jangan lupa ngopi ... Kalau gak ada tinggal minta sama suhu @Yhonoz ... Dia bandar kopi hu ...
Nderek ngopi ☕ + ngudud 🚬 disini nggih Om @Aswasada

#tetapsemangat
#sehatselalu
entek kang di borong suhu semproters🤣🤣🤣
Yo wes lah ayo ngopi bareng² ae ndek kene lek ngunu ☕☕
Wis tenang ... Ada boz kopi @Yhonoz pasti keadaan terkendali ...
Holaaaaaaaa Neng Comiiiing,,,,

:baris:
Hola neng ... Makasih sudah mampir ... Siap dengan teh manis nya?
Suhu yg 1 ini memang gacor banget....
Lanjutkan suhu..
Makasih suhu @rank Awak ... Saya belajar dari para senior di sini hu ...
Bagus nih
Dapetin bini orang terus hehe
He he he ... Nanti dapetin perawan hu ...
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd