Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

LKTCP 2013 " LUST " by Cath

cath

Semprot Lover
Daftar
28 May 2012
Post
293
Like diterima
3
Bimabet


Lust




Dia begitu indah. Cantik, mempesona, sungguh menggelapkan mata. Kepribadiannya, sempurna, apa adanya.
Aku cinta kau. Aku hanya jasad tak bernyawa, melangkah tak tahu akan kemana. Hingga, kau datang membawa dunia, membuatku jatuh cinta. Cinta yang agung, cinta yang memberiku sebuah nyawa. Cinta yang membuatku buta bahwa aku ini siapa, dan apakah kodratku sebagai wanita. Cinta yang membuatku gelap mata karena gairah fana.

Aku tersiksa.



=====:rose:=====​



“Kemana sih Sovi? Tega banget sih dia ninggalin aku lama kayak gini? ” kali ini aku sangat sebal dengan sahabat karibku, Poppy Sovia. Gimana engga? Dia bilang padaku, katanya mau beli Es Cincau di seberang jalan dan sekarang sudah hampir setengah jam dia tak kunjung menampakkan batang hidungnya.





Poppy Sovia



“Hai cinta… I’m back honey,” teriak seorang wanita berambut pendek, mirip sekali dengan seorang laki-laki daripada seorang wanita. Namun, jari lentik yang membawa 2 gelas plastik tak bisa mengelabui siapapun. Tubuh langsing ditunjang dengan tinggi tubuh yang semampai, menambah kesan macho tapi cantik terpancar dari wanita yang kini menghampiriku.

"Lu beli Es Cincau di Amrik yah, Sov?" kumanyunkan mulutku sambil menerima Es Cincau dingin yang buru-buru ku minum untuk menhancurkan neraka dahaga ini.

"Wkakakaka... ngga usah ditekuk gitu wajahnya! Mulut lu tu dah manyun-manyun gimana gitu, mending manyunin aja tu jidat biar tambah jenong," kelakarnya sambil berlalu meninggalkanku beberapa langkah.

Aku terdiam, benar-benar tak suka bila ia mulai memperolok fisikku. Oh iya, belum kenalan yah dari tadi? Aku Catherine Margaretha, mahasiswi dari sebuah Universitas Negeri di Kota Depok dan satu fakultas dengan Sovi. Kalian pasti berpikir kalau aku seorang wanita yang tidak terlalu cantik, suka marah-marah tak jelas dan jadi bahan bully-an teman-temanku.

Kalian salah! Aku cantik luar biasa. Kulitku kuning langsat, bibir merah muda selalu menghiasi wajah cantikku tanpa pernah aku menambahkan perona bibir maupun lipgloss. Hanya saja kalau aku sedang cemberut bibirku manyun seperti bibir Donald Bebek, lengkap dengan kecerewetannya. Dan ada satu lagi kelebihanku, jidatku jenong banget. Padahal kan jidat jenongkan identik dengan orang pintar.

Okey, kembali ke cerita. Jangan sampai cerita ini jadi ajang narsisku. Hahaha...
Aku terdiam, mematung. Aku tak suka dengan semua ejekannya, aku marah.
Langkah sovi terhenti, kuharap dia menyadari kesalahannya. Ia tolehkan wajahnya kepadaku, tersenyum polos. "Hehehe... maaf yah cantik," ia berbalik sepenuhnya, mendekatiku dan merangkulkan tangan kananya ke pundak kananku. "I'm so sorry... tadi kan cuma bercanda. Elu tau ndiri kan pegina gue?"

"Anjrit! Malah ngobrol meki! Item, bau terasi!!!" selalu saja dia bikin aku emosi.

"Wkakakakaka... tapi elu suka kan?" tawa Sovi menggelegar, orang-orang di sekitarnya melirik dengan tatapan curiga. Curiga dengan status sovi, cowok kah? Cewek kah?

"Elu itu yah, musti bikin banyolan mulu!!!" bibir indahku semakin mirip Donald Bebek.

"Hehehe... iyah... maaf...," bibirnya mendarat di keningku. Cukup meyakinkanku bahwa ia sungguh-sungguh meminta maaf.

"Jangan diulangi lagi! Awas kalo sampai gini lagi," kali ini kuakhiri senyuman manis.

"Udah ah... katanya mau mampir ke apartement-ku?" senyum penuh misteri terkembang di bibir tipisnya.



=====:rose:=====​



"Uuuuhhhh... terus Sov... jaa...ngaann berrheenntiii...," nikmat yang menjalar di vaginaku membuat bibir ini tak dapat berhenti mendesah.

"Mmmhhh... slluurrrppphh... cruuppp...," kepala Sovi bermain-main di selakanganku. Lidahnya menari di antara labia mayora, membuat gairahku terus bergelora.

"Ouuuchhh... yeeessss... di situ... bener di situ... ouchhh...," kali ini lenguhan ku semakin kencang ketika secara tiba-tiba lidah Sovi menyentil titik nikmat yang ada di atas liang vaginaku. Lidahnya menari indah, mempermainkan hasratku, mempermainkan birahiku untuk menenggak nikmatnya surgawi. "Ouuucccchhh... terusss Sov... ssssshhh...."

"Slllluuurrrpppss... mmmmhhhh..."

Mata ku terbeliak, ku rasakan sebuah benda perlahan memasuki liang vaginaku. Menggesek dinding vaginaku, menimbulkan rasa geli sekaligus nikmat di waktu yang bersamaan. "Sssshhhh... iyah... terus... garuk terus honey...," jari manis dan jari tengahnya mengaduk-aduk dinding dalam vaginaku. Jari-jarinya menggaruk titik kenikmatanku, memijat-mijat perlahan sebuah benjolan daging.

Aku benar-benar tak mampu bergerak, hanya terlentang dan menikmati semua ini. Sovi memang benar-benar gila, dia yang selalu membangkitkan gairahku di segala situasi. Seperti halnya kali ini, sesampainya di apartment, Sovi langsung menggoda dengan meremas payudaraku kemudian kabur ke kamar mandi. Tak kuperdulikan tingkah lakunya, kami biasa melakukannya karena kami adalah TTM, Teman Tapi Mesum. Ku rebahkan tubuhku di tempat tidur, melambungkan angan, kapankah aku bertemu cinta sejatiku.

Jangan kaget, memang benar kami sesama wanita, dan memang benar kami ini kaum lesbian. Kami hanya mencari kenikmatan dan kenyaman dalam hidup ini, kehidupan yang sangat menyedihkan. Banyak sekali orang mencibir kaum LGBT, Lesbian Gay Bisexual and Transgender, mereka memandang kami sebagai manusia-manusia tak normal. Memang benar kami ini tak normal secara orientasi seksual, tapi dalam hal keterbukaan kami lebih normal. Masih banyak di antara kami yang menghormati kehidupan kaum Straight, tapi tak bisa dipungkiri banyak pula kaum kami yang mencoreng mukanya sendiri dengan tindakan yang tak pantas.

Kaum LGBT juga manusia biasa mereka juga hanya ingin menikmati kehidupan, menikmati cinta, persahabatan maupun bersosialisasi dalam kehidupan secara luas. Kami tak ingin dikucilkan, kami hanya ingin menikmati hidup. Seperti halnya yang aku lakukan dengan Sovi kali ini.

Sovi paling mengerti bagaimana tubuh ini agar cepat tersulut gairah. Hanya dengan berbalut handuk, ia menyuruhku telungkup dan memijat tubuhku. Pijatan-pijatan lembutnya di sekitar ketiak memicu gairahku, melucuti semua penutup yang melekat di tubuh ini dan membimbingnya menikmati gairah surgawi. Melupakan semua norma yang ada.

Kini, aku hanya pasrah menikmati tarian jemari lentik di liang vaginaku. Geli, gatal, dan nikmat membuatku hanya bisa pasrah. Jemari itu terus menari, sementara lidah Sovi terus mempermainkan clitoris dan labia mayoraku secara bergantian.

Tiba-tiba Sovi berdiri, meninggalkanku terlentang di tempat tidur. Berjalan menuju almarinya, ku lihat pantatnya yang kencang dari belakang, punggungnya dan pinggang yang sempurna meyakinkanku kalau ia juga wanita yang sangat-sangat indah.

Aku yang telah tersulut birahi, tak dapat menGuasai diriku. Ku permainkan sendiri vaginaku, "oooouucchhh... sssshhhh...."

"Ngga sabaran banget sih non," Sovi tersenyum, matanya memandangku nanar. Tangan kanannya memegang sebuah benda berwarna biru, panjang dengan kedua ujungnya berbentuk kepala penis. Sedangkan tangan kirinya memegang dua buah vibrator kecil sebesar ibu jari, benda yang selalu kami gunakan.

"Haaahhh... tu dildo gede bener, Sov. Mana kepalanya dua," mataku terbeliak, kaget. Belum pernah kulihat benda seperti itu. Ku bangkitkan tubuhku, duduk bersila dan penasaran dengan 'mainan' baru yang dibawa Sovi.

Sovi mendekat, naik ke tempat tidur, mengecupku perlahan. "Are you ready, honey?" Sovi tersenyum ketika melihatku menganggukkan kepala. Dibukanya kedua kakiku, perlahan digesekkan vibrator mungil itu di clitorisku yang telah tegang.

"Sssshhhh... uuuummmhhhhh...," rasa geli bercampur nikmat mulai menjalar keseluruh tubuh. Kuraih vibrator mungil yang lain, hal yang sama kulakukan kepada Sovi. Sebuah kecupan di bibir ini kubalas dengan lumatan, lidahku kuselusupkan ke dalam mulutnya, mencari lidahnya. "Mmmmhh... cuupp... cuuppp..."

Sovi melepaskan kecupan dan permainan vibratornya, menggerakkan vibratornya turun ke bawah. Bermain sebentar di liangku, menggerakkan kembali vibrator itu turun ke bawah menuju lubang dubur. Rasa geli menjalar, sebuah sensasi yang lain. Perlahan ditekannya vibrator mungil itu masuk ke dalam, sakit dan geli kurasakan. Cairan lendir kenikmatan yang dikeluarkan vaginaku mengalir membasahi duburku, mempermudah vibrator itu memasuki lubang duburku yang sempit.

"Enak kan, Cathy?" Sovi tersenyum, tatapan matanya nanar.

"He em... sssshhh... argh.. sssakittt..."

"Tenang honey. Entar juga enak kok. Masukin tu vibra ke bool gue juga yah, hon?"

"Iyah...," kubasahi vibrator dengan lendir dari vagina Sovi. Perlahan, kulakukan hal yang sama ke dubur Sovi. Matanya memejam, dahinya mengrenyit. "Sakit Sov?" aku khawatir.

Matanya terpejam, kepalanya mengangguk. "Nggak pa-pa... lanjutin aja, hon..."

Perlahan mata Sovi kembali terbuka. Matanya sayu, terlihat sangat penuh nafsu. Kukecup bibirnya, ia menyambut. Kecupan ringan yang semakin lama menjadi lumatan penuh nafsu. Tangannya meremas payudaraku, begitu lembut dan penuh dengan nafsu. Getaran vibrator di kedua lubang dubur kami berdua seakan menembus dinding pembatas antara dubur dan vagina, memberikan pijatan lembut di titik kenikmatan di tiap vagina kami.

Sovi melepas pagutannya, seakan memberikan aku waktu untuk mengambil nafas. Ia tersenyum binal, dan menunjukan dildo biru, "ready?"

Aku mengangguk sambil tersipu malu, "he em..."

Ia gesekkan kepala dildo itu di liang vaginaku, menyentil-nyentil clitorisku. Aku terpejam, menggigit bibir bawahku untuk menahan nafsu yang mendera. Perlahan pasti, ditekannya ujung dildo itu masuk ke dalam liang vaginaku. Gesekan antara dinding vaginaku dengan dildo, memberikan sensasi yang nikmat. Dan sensasi itu terasa semakin nikmat karena adanya ganjalan yang bergetar di lubang duburku. Sungguh benar-benar nikmat.

"Sssshhhhh... udah mentok, Sov. Nikmat banget...," dildo itu melesak, menabrak dinding vaginaku terdalam.

Sovi tersenyum, ia ambil ujung satunya dari dildo dan menggesek-gesekan ke clitorisnya sendiri. Gerakan itu membuat ujung dildo yang tertancap di liangku ikut bergerak, menimbulkan rasa nikmat, menekan vibrator yang mengganjal di lubangku satunya.

"Uuuuhhhh... sssshhhhh...," Sovi mendesis. Matanya merem-melek menikmati sensasi gesekan dildo dengan dinding vaginanya yang perlahan melesak ke dalam. Vagina terlihat penuh, ia menekan pinggulnya agar dildo itu semakin melesak.

"Ouuuccchhh...," mataku terbeliak. dildo itu semakin menohok lubangku karena gerekan pinggul yang dilakukan Sovi. Kulihat dildo itu telah masuk, dan sepertinya sudah mentok.

Aku merebah menyamping, bertumpu pada siku kananku. Sedangkan Sovi merebah menyamping dengan bertumpu pada siku kirinya, paha kirinya dia letakkan di atas paha kananku. Posisi paha dalam dan selakangan kami saling menggunting.

"Uuuuhhh...," kenikmatan menjalar ketika Sovi mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur. Kupandang wajah Sovi, seolah dia memintaku melakukan hal yang sama.

"Mmmmmhhhh... terus hon... iyah begitu...," Sovi mendesah ketika aku mulai menggerakkan pinggulku seirama gerakan pinggul Sovi.

Nafsu kami terbakar gerakan pinggul yang semula perlahan kini bergerak semakin cepat namun berirama, kami berlomba-lomba untuk menggapai kenikmatan kami sendiri. Ganjalan dan getaran di lubang duburku menambah kenikmatan, meningkatkan produksi cairan pelumas pada vaginaku. Dan sepertinya hal yang sama terjadi pada Sovi, lendir kenikmatan itu mengalir keluar dan jatuh ke sprei setelah sebelumnya mengalir melewati lubang duburnya.

"Akkkhhh...," Sovi tiba-tiba melepas dildo yang menancap di vaginanya. Ia arahkan dildo itu ke lubang dubur tanpa melepaskan dildo yang menancap di vaginaku dan tanpa mengeluarkan vibrator yang bersarang di lubang duburnya. Dahinya menampakkan kerutan ketika perlahan-lahan dildo itu melesak masuk ke dalam lubang duburnya, nampaknya cairan vagina yang sempat mengalir di dubur mempermudah proses penetrasi itu. "Arrrggghhh... sssshhhh... nikmat," desahnya.
Aku terdiam, terpana melihat proses itu. Ku pandang wajah Sovi, bukan sebuah wajah kesakitan tapi sebuah wajah penuh dengan nafsu untuk meraih kenikmatan. Sovi tersenyum, menggigit bibir bawahnya. Sungguh binal.

"Sssshhh... ayo goyang lagi, honey," Sovi mulai menggoyang pinggulnya. Jari tengah dan jari manisnya telah bersarang di liang vagina, menggantikan tugas dildo yang sekarang bersarang di lubang duburnya.

Pyuuuukkk... pyuuuukk... paaakkk... paaaakkk... paaakkkk

Gerakan pingguli kami semakin brutal namun tetap seirama. Jemari tangan kiriku mempermainkan klitorisku, sedangkan jemari tangan kanan Sovi sibuk keluar-masuk di liangnya, menimbulkan suara kecipak-kecipuk seperti saat kita memukul air.

"Arrrrgggghhhh... Aku keluuuaarrrr Sov...," tubuhku bergetar, mataku terpejam. Kurasakan tubuhku serasa melayang.

Sovi tak memerdulikannya, ia terus menggoyangkan pinggulnya. Ia berusaha menggapai nikmatnya sendiri. Hentakan pinggulnya ikut menggerakkan dildo yang masih menancap di liang vaginaku, menyebabkan rasa ngilu dan geli yang tak tertahan. Tubuhku bergetar semakin kuat.

"Uuuhhh... uuuuhhh uhhh uuuuuuuhhhhh... aku keluaaaarrrrrrr, hhhhooooonnnneeeeyyy," tubuh Sovi bergetar hebat, dari vaginanya menyembur cairan kenikmatan. Sangat kencang, sangat banyak, membasahi sprei dan sebagian cairan itu membasahi tembok.

Pemandangan yang menggairahkan, gerakan dildo akibat kejangnya Sovi ketika mendapat orgasme-nya, dan getaran vibrator yang masih bersarang di lubang duburku, menciptakan suatu sensasi yang tersendiri. Tanpa terasa aku ikut menggerakkan pinggulku sendiri, dan kurasakan sebuah gelombang kenikmatan yang lebih besar kembali menerpaku.

"Arrrrggghhhhh... aaakkkuuuu kkkeeeluuurrr laaggiiii...," tubuhku kejang, bergetar sangat kuat. Hingga dildo yang menancap di liang vaginaku terlepas. Aku merasakan rasa ingin pipis yang tak tertahan.

Aku tak peduli, aku lepaskan keinginanku untuk pipis. Rasanya sungguh nikmat, ngilu. Semakin membuatku lemas namun badan ini terus bergetar.
Ku rasakan tubuhku sangat lemas, seluruh tulang di tubuhku lenyap. Pandangku terasa mengabur. Gelap dan semakin gelap.



=====:rose:=====​



"Uuuuuhhhh... hooooaaammm...," aku menggeliat dan menguap. Mengamati ruangan yang ku tempati, "eh... ini kan bukan kamarku..."

Aku coba mengingat kembali kejadian sebelumnya, kejadian-kejadian yang membuat aku hingga tak sadarkan diri. "oh iyah... tadi gue kan lagi ngentot sama Sovi."

Ku kumpulkan nyawa yang tersisa, ku gerakkan tubuhku bangun. Namun, rasanya lemas sekali, rasanya tulangku menghilang. Aku duduk di pinggir tempat tidur, melihat suasana kamar ini. Bau cairan kewanitaan yang tadi kami lakukan masih menyengat. Dildo biru dan vibrator yang telah memuaskan birahi kami tergeletak di meja kecil samping tempat tidur, tepat di samping lampu tidur. Aku kembali tersenyum mengingat kejadian gila yang aku lakukan.

"Sov... Sovi... Lu dimana?" ku panggil sohib kentalku.

Persahabatan yang didasari cinta pasti tak akan bertahan lama. Karena dalam cinta pasti akan ada rasa cemburu, dan itu akan merusak semuanya.
Pakaianku berserakan, di tempat tidur dan di lantai. Dengan malas ku punguti semua pakaianku dan kembali ku kenakan untuk menutupi tubuh telanjang ini. Kemudian segera ku raih tasku, terletak di meja rias yang berdempetan dengan sebuah almari pakaian yang terletak di sudut ruangan.

Segera ku rogoh tasku untuk menemukan sebuah benda yang selalu ku gunakan untuk menghubungkanku dengan orang-orang yang kukenal.


Me:

"Hei setan, lu kemana? Habis bikin gw mati lemas malah kabur!! Gw laporin polisi juga lu!"


Ku gerakkan jemariku menekan tombol-tombol di Blackberry (BB) kesayanganku, mengirimkan sebuah pesan melalui Blackberry Messenger (BBM) ke BB milik Sovi.

Me:

"eh Sov. Sejak kapan lu suka ditusbol kayak gitu? Rasanya gimana? Sakit yah? Tp lu kok bisa sampai pipis2 gitu?"



Arrrggghhh... kenapa ngga dibalas-balas sih? Kemana sih Si Sovi ini?
Pikirku melayang, menerka-nerka kemanakah sahabatku pergi.

Kriuuuukkkk...
Wah ni perut udah mulai protes, ada makanan kagak yah?

Ku langkahkan kakiku keluar kamar, melewati sebuah ruangan kecil yang terisi sofa, perangkat home-theatre, sebuah meja kaca dan almari kaca tempat Sovi meletakkan berbagai piala kesuksesannya. Tak pedulikan semua itu, segera ku menuju ke dapur kecil yang menyatu dengan ruangan ini, hanya tersekat sebuah tembok tanpa pintu.

Sebuah dapur kecil yang hanya berisi rak piring yang menyatu dengan rak gelas, sebuah tempat untuk menyuci piring, kompor gas terletak di sampingnya. Ku arahkan langkahku mendekati sebuah kulkas yang berseberangan dengan sebuah pintu yang menuju ke kamar mandi.

"Yah... kosong. Si Sovi ini, artis kok kere amat! Kulkas cuma isi air doang!" aku benar-benar tak habis pikir dengannya, kenapa dia selalu malas untuk mengisi kulkas ini.

Drrrrrtttt....
BB-ku bergetar, kulihat ke layarnya. Terdapat pemberitahuan bahwa ada pesan masuk.


Sovi so Lucky:

hehehe...
Sorry yah honey... Gw lg latian nembak ni! Sekalian syuting buat acara tv di Bogor...
Elu sih tidur udah kayak kebo, puas bgt yah?
Sakit sih kalo ditusbol, tp cm masuknya
Kalo udah masuk...Hmmmm enak bgt tau...



Dasar Sovi selalu saja bikin aku penasaran, aku tersenyum dan mulai menggerakkan jemariku menekan tombol huruf di BB-ku, merangkainya menjadi kata dan kalimat.


Me:

elu tuh yee... kagak asli, kagak peran! Jadi cowok mulu...
Hihihi jadi penasaran deh rasanya ditusbol ma yg gede...
Buruan pulang
Sekalian bawa makan
Gw laper setan!!


Sovi so Lucky:

Hihihi gw rela jadi apapun demi lu
Santai hon, ni gw udah slesai.
Habis ini gw buruan pulang, gw bikin lu pingsan lg
Yaaahhh belum dapet honor nih elu beli aja ketoprak di depan
Maaf ya hihihi


Me:

Dasar artis kkkkeeeeerrreeeee
Ati2 di jalan


Sovi so Lucky:

Hihihi...
Iyah, makasih yah
Mmmuuuaaaahhhh


Aku tersenyum, ku masukan BB-ku ke kantong celanaku dan bergegas membeli makanan. Selain karena pesanan Sovi, cacing di perutku sudah mulai menjurus ke demo anarkis. Perutku terasa melilit, perih dan panas. Mungkin cacing-cacing ini sudah mulai membakar ban.



=====:rose:=====​



"Bang! Ketoprak 2. Satu pedes, yang satu ngga pedes," pesanku ke penjual ketoprak depan apartment Sovi.

"Okey neng...," abang ketoprak itu tersenyum ramah.

"Maaf mbak, ini bener Senopati Residence?"





Cameria Happy Pramitha



"Eh... i...yah...," jawabku terkaget. Kuamati sosok di hadapanku, seorang wanita dengan dandanan tomboy. Tindik di bagian bawah bibir dan di hidungnya menambah kesan ia adalah seorang tomboy, di pundak kanannya tersangkut sebuah tas hitam dengan ukuran cukup besar. Dan wajahnya sangat-sangat ku kenal, "KaKak Mitha The Virgin yah?" teriakku histeris.

"Sssssttt... jangan keras-keras... Gua lagi ngga pengen dikerubungi lalet!" bibirnya mengerucut dengan jari telunjuk menempel di depannya.

"Hihihi...," aku terkekeh perlahan dan menutup mulutku dengan dua tangan. Kulirik abang ketoprak hanya tersenyum dan menggeleng. "Apa maksudnya lalet, Kak?"

"Para fan mbak, mereka selalu aja ngerubungin. Padahal gua kan juga butuh privasi."

"Owh, jadi aku termasuk lalet yah?" kulirik dia tajam, dan tak lupa jurus andalan kukeluarkan, bibir Donald Bebek.

"Hahaha...," dia terkekeh, "kalo lu kayak gitu ya Gua anggap lalet. Udah ah... nggak usah kayak Donald Bebek gitu!"

"Dasar... Terimakasih, aku udah kenyang di bilang Donald Bebek!"

"Ini neng ketopraknya, yang pedes di sobek pinggirnya. Sepuluh ribu neng," sela abang ketoprak di tengah pembicaraan kami.

"Eh... iyah bang," kurogoh saku celanaku. Kiri-kanan, depan belakang tak kutemukan dompet maupun uang selembar pun. Darahku serasa mengalir cepat ke wajahku, terasa hangat.

"Napa neng?" tanya abang ketoprak.

"Maaf, bang! Dompet ketinggalan di kamar. Saya ambil dulu yah?" perasaan malu bercampur takut, berkecamuk di dalam hati ini.

"Ini bang. Ambil aja kembaliannya," Kak Mitha menyodorkan selembar uang berwarna biru ke abang penjual ketoprak.

"Makasih ya neng...," abang ketoprak tersenyum lebar menerima rejeki nomplok itu.

"Makasih yah, entar yah? Aku ambil uang dulu ke atas buat gantiin uang kamu," ucapku malu-malu.

"Wah nggak usah! Gue ikhlas kok, ikhlas buat cewek cantik kayak elo. Gue Mitha, elo?" Kak Mitha mengulurkan tangan.

Aku sambut uluran tangan itu dengan tersipu, "Aku Catherine, panggil aja Cathy. By the way, mau ke mana Kak Mith?"

"Jangan panggil Kakak dong. Panggil aja gue Mitha, dan ngga usah pake aku-kamu. Keliatannya lo ngga nyaman banget," Kak Mitha tersenyum manis banget. "Owh iya, gue mau ke apartment... 8... 876. Lo tau?"

"Ohhh... 876 yah Kak? Deket apartment temanku, 874. Bareng aja yuk, sekalian ganti ketoprak tadi. hehehe"

"Masih aja panggil Kakak...," ia menghela nafas pasrah. "Ya udahlah yuk..."

Kami melangkah memasuki gedung tinggi ini bersama.



=====:rose:=====​



"Nah ini punya temenku, punya temen Kakak di situ," jari telunjukku menunjuk sebuah pintu dengan sebuah nomor tertera, 876.

"Makasih lho yah... minta pin BB lo, boleh?" Kak Mitha mengeluarkan Handphone-nya.

"27B45E1," sahutku cepat.

"Cepet banget," ia menggaruk-garuk kepalanya.

"27B... 45... E1... udah?"

"Udah. Pin gua 36B77C2."

"36B?" aku melirik mesum ke payudaranya, "keliatannya ngga segede itu deh!'

"Wkakakaka...," ia tergelak, "dasar mesum lo! Udah ah... buruan masuk trus makan gih. Gua mau nemuin temen gue, entar boleh dong gue mampir?"

"Hehehe...," aku terkekeh. "Boleh kok Kak."

Ia melangkah meninggalkanku, dan aku segera masuk ke dalam apartment Sovi. Langsung menuju dapur dan mengambil piring, kembali ke ruang tamu. Kududukkan pantatku di sofa, segera ku buka ketoprak yang ku beli.

Ini yang sobek yah? Berarti ini kesukaan Sovi.
Segera kubuka bungkus ketoprak, menaruhnya di piring. Harus segera diredam demo para cacing di perut, sebelum bertindak semakin anarkis. Ku lahap potongan lontong, tahu, kentang dengan bumbu kacang ini cepat-cepat.

Tok tok tok...

Pasti ini Si Sovi, gangguin orang makan aja lu Sov
"Iya, masuk aja! Kagak gue kunci tu... gue lagi makan nih!" teriakku tak sabar karena konsentrasiku tercurah pada potongan lontong dan tahu.

Srrrreeeetttt...

Suara pintu terbuka, aku tetap tak peduli. Karena yang ada dipikiranku hanyalah bagaimana meredam demo cacing-cacing di perut yang semakin tak terkendali.

"Eheemmm... laper banget yah?"

Aku tersentak kaget, itu bukan suara Sovi. "Ka...k Kak Mi..tha!" segera kutelan ketoprak yang ada di mulutku. Namun ini tindakan yang salah, aku malah tersedak. "Huuuufff...," segera kututup mulutku dengan dua tangan agar ketoprak sialan ini tak menyembur keluar. Aku segera berlari ke dapur dan memuntahkan ketoprak yang tlah hancur itu ke tempat cucian piring kotor, sekalian mencuci tangan. Kuambil botol minum di kulkas, menuangkan di gelas dan menghabiskannya. Berharap menghentikan rasa kaget dan maluku.

Aku kembali menemui Kak Mitha di ruang tamu, setelah menenangkan diri tentunya. Kak Mitha tersenyum, tangannya masih membawa tas yang sama pada waktu bertemu denganku di bawah tadi.

"Ada apa Kak?"

"Mau mampir sekalian ngadem. Temen gua nggak ada, katanya baru dateng entar malem. Boleh nunggu di mari kan?"

"Bo... boleh Kak" aku tersipu, masih malu dengan kejadian tadi. "Silakan duduk, aku ambilin minum bentar yah?" aku meninggalkannya lagi, tapi kali ini untuk mengambil minum.



=====:rose:=====​



"Ini Kak," aku meletakkan segelas air ke meja. "Maaf cuma air putih."

"Ngga pa-pa." Ia meminum air putih yang kuberikan. "Uuhhh... seger. Makasih yah?"

"Iyah, sama-sama Kak."

Kami mulai mengobrol, membicarakan semuanya. Dari hal-hal kecil semacam hobi, makanan favorit hingga hal-hal yang menurut aku privasi. Sekarang aku tahu kalau Kak Mitha adalah seorang lesbian sepertiku, tapi dia lebih cenderung ke Buchi. Buchi adalah lesbian yang cenderung berperan sebagai seorang pria dalam hubungan sesama wanita. Sedangkan aku adalah No Label, karena aku suka segala jenis lesbian. Entah itu Fem ataupun Buchi asal buatku nyaman, aku akan bersedia menerimanya sebagai kekasihku. Aku benar-benar terpesona dengan cara dia bicara, tertawa maupun bersikap. Aku benar-benar nyaman dengannya.

"Eh Cath, gua pinjem kamar lo bentar boleh? Pengen ganti baju nih, gerah."

"Emang bawa baju ganti Kak? Tu kamarnya...," jawabku sambil menunjuk dimana letak kamar itu.

"Nih...," tangannya mengangkat tas hitam bawaannya. "Gua ganti dulu yah?"

"Iyah Kakaaak," jawabku dengan nada manja.

Kulihat ia menghilang di balik pintu kamar, ku hidupkan TV untuk mengisi waktu menunggu Kak Mitha yang sedang ganti baju. Pikirku tiba-tiba melayang, aku teringat Sovi. Ia sangat sayang padaku, hanya karena egoku yang tak ingin merusak persahabatanku dengannya, aku menolak cintanya. Aku sadar cintanya sangat besar kepadaku, apa yang terjadi seandainya dia tahu aku memasukkan wanita lain di kamar ini? Pasti dia akan sangat sakit hati, betapa kejamnya diriku. Tapi, aku dan Kak Mitha kan tidak ada hubungan serius. Pasti Sovi akan mengerti hal ini. Aku teringat kejadian siang tadi dengan Sovi, ia selalu membuatku bergairah. Selalu ada sesuatu yang baru dalam pergumulan dengannya, dan pergumulan tadi. Vibrator, anal, dildo...

What the f*ck... dildonya... belum kusimpan...
Aku berlari menuju pintu, tanpa pikir panjang langsung kuputar daun pintu dan mendorongnya.

Pintu terbuka.

"Kak Mit...tha...," nafasku tercekat. Pemandangan yang tak seharusnya kulihat kini ada di depanku.

Kak Mitha telanjang, badannya yang langsing tapi kencang berkeringat. Payudaranya menggantung indah dengan ujung puting kecil berwarna coklat itu menegang. Tangan kanannya memegang dildo dan mengarahkan ke mulutnya, lidahnya menjilat kepala dildo bekas pergumulanku dengan Sovi. Sedangkan tangan kirinya membelai vaginanya, merah merekah dengan bulu-bulu yang tercukur rapi. Aku terpana, darahku berdesir.

Kak mitha mendekatiku, dapat ku rasakan nafasnya yang berat ketika ia berbisik ditelingaku, "dildo-nya manis, pasti karna abis dipakai cewek manis yah?"
Bulu kudukku berdiri, hembusan nafasnya ke telinga dan leherku begitu berat, hembusan wanita dirundung birahi. Aku hanya terpatung. Perasaan kaget, malu, dan terangsang bercampur jadi satu. Kaget karena Kak Mitha dapat berbuat sejauh ini, malu karena aku tak menyimpan semuanya dengan rapi, dan terangsang karena perlakuannya terhadapku.
Darahku berdesir makin cepat, jantungku berpacu dengan nafsu. "Nikmatin aja Cath sayang...," dildo di tangannya membelai vaginaku dari luar celana.

Dengan cepat namun lembut, Kak Mitha melepaskan celana yang ku kenakan. Dildo biru kembali membelai vaginaku, cairan vaginaku semakin merembes membasahi celana dalam yang ku kenakan. Bibir Kak Mitha tak hanya diam, menjelajah leher dan tengkukku, aku hanya menggeliat, mendesah dan menikmati semua perlakuannya.

"Bebasin diri kamu, sayang! Luapin semua birahi kamu, jangan pendam...," bisikan disertai nafas birahi semakin membakarku. Bibir itu melumat telingaku, menciptakan sensasi yang luar biasa.

"Sssssshhhh... ini salah Kaa...aakk," aku berusaha mengembalikan kesadaranku. "Ouuuchhh... mmmpphhh... cuuupp... cupcupcup...," kesadaranku kembali hilang ketika sebuah tangan meremas payudaraku yang masih terbungkus bra dan kaos, mulutku dibungkam dengan sebuah bibir yang sedikit berasa logam.

Ku nikmati jemari itu menjamah payudaraku, ku nikmati karet kenyal yang membelai vaginaku, yang entah sejak kapan telah terlucuti. Ku rasakan lelehan dari selakanganku mengalir melewati paha dalam hingga lutut, semakin menambah sensasi yang aneh. Semua rangsangan bertubi-tubi dan terus menerus membuatku semakin lupa diri, membuatku jadi sosok penuh birahi tak pernah terpuaskan. Aku semakin gila, semakin tak sadar.

"ouuuuhhhh... geli Kak... enak Kak... mainin pakai lidah...," aku melenguh, kepalaku terdongak yang membuatku limbung. Tangan kiri Kak Mitha menahanku, menelusupkan telapak tangan di antara ketiak dan meremas payudara kiriku yang entah sejak kapan telah terbuka sempurna, "remes yang kenceng toketku Kak...,"

Kini tubuhku tak tertutup sehelai benang pun, ku nikmati semua rangsangan yang menderaku. Vaginaku semakin basah karena belaian dildo, puting payudaraku semakin menegang karena permainan lidah dan remasan jemarinya. Bulu kudukku semakin merinding, darahku mengalir semakin cepat. Tubuhku serasa melayang, sungguh nikmat. Sekilas terkelebat bayang Sovi, namun kemudian lenyap tersapu oleh birahi memburu. Tubuhku semakin terpacu menggapai langit ketujuh.

"Gua akan buat lo semakin gila, Manis...," Kak Mitha melepaskan peluknya, menyenderkan tubuhku ke tembok. Bibir bertindiknya menjelajah tubuhku kembali, dari leher turun ke payudara sebelum mengangkat satu kakiku dan ia berjongkok, "indah banget..."

"Ouuuccchhh...," spontan tanganku menjambak rambut Kak Mitha ketika ku rasakan sesuatu yang basah, bergerijal dan hangat menyapu vaginaku, dari liang vagina naik ke clitoris-ku secara perlahan.

Aku benar-benar lupa diri, aku benar-benar lupa di mana aku berada dan dengan siapa aku bercinta. Lidah itu terus menari, mengajak clitoris dan labia mayora-ku mengikuti. Darahku mengalir cepat ke vaginaku, menciptakan rasa geli dan gatal teramat sangat. Aku hanya dapat menjambak rambut Kak Mitha dan membenamkan wajahnya ke vaginaku dengan bantuan kakiku yang ada di pundak Kak Mitha.

"Sssshhhh... ouuucchh...," tubuhku semakin menegang saat ku rasakan sebuah gelombang besar mulai melanda. Rasa gatal, geli bercampur nikmat membuatku tak mampu menahanku meraih orgasme yang datang melanda.

Tubuhku melengkung, bergetar seirama gelombang-gelombang nikmat melanda. Ku benamkan wajah Kak Mitha ke vaginaku, pinggulku bergoyang liar menggesekan vaginaku ke lidah Kak Mitha. Namun, Kak Mitha menahan pinggulku. Tubuhku semakin menegang merasakan ngilu tak tertahan saat Kak Mitha menyedot clitoris-ku dengan kuat dan memainkan lidahnya menyentil-nyentil clitoris-ku yang semakin menonjol.

Aku benar-benar hilang kesadaran, aku benar-benar menginginkan kenikmatan. Aku lemas, jatuh terduduk. Kak Mitha menatapku nanar, tubuh telanjangnya membuatku kembali bergairah. "Puasin aku, Kak... buat aku mati lemas."

"Hehehe...," ia terkekeh. Senyum sinis muncul dari bibir tipisnya, "elo lesbian, kan? Pecinta wanita, kan? Elo kagak butuh barang macam ini buat dapet kepuasan, elo punya meki. Bagian tubuh terindah, ternikmat dan pemuas terhebat yang kita punya!"

Kak Mitha memapahku dengan lembut, mendudukkanku di tempat tidur. Ku tatap wajahnya, tampan dan cantik di saat bersamaan. Dibimbingnya tubuh ini ke posisi paha saling menggunting, vagina kami bertemu.

"Fuuccckk... nikmat banget, meki lo licin banget, Cath," cairan vagina bercampur air liur Kak Mitha menjadi pelumas ritual ini. "Ooouuucchhh..."

Gairahku kembali tersulut semakin pecat, rasa gatal mendera vaginaku. Geli, ngilu dan gatal bercampur aduk di vaginaku. Ku gerakkan pinggulku seirama gerakan pinggul Kak Mitha, ingin segera ku obati rasa gatal yang mendera vaginaku. Namun, semakin lama rasanya semakin gatal.

Pyuuuukkk... puuk... puk... puk... sreeettt...

"Huuh huhh huu... –
...huh huuh huhhh..."

Nafas berat kami berpacu dengan nafsu birahi yang menghampiri. Kenikmatan bercinta yang tak terlintas untuk diakhiri. Wajah Kak Mitha semakin merah merona menahan gairah, begitu pula denganku yang dapat ku lihat dari pantulan meja rias. Tubuh kami bermandi peluh, panas suhu ruangan seakan membakar birahi kami.

"Hoooneyyy... where are... "



=====:rose:=====​



"Hoooneyyy... where are... "

Aku tersentak, ku gerakkan kepalaku ke arah suara itu. Sovi mematung di depan pintu, matanya merah berkaca-kaca menatapku dan Kak Mitha yang menyatu tanpa sehelai benang pun. Raut mukanya tak bisa kutebak, muram, marah, kesal, entah apa lagi. Perbuatanku dan Kak Mitha di ranjang yang sebelumnya kami lakukan di atasnya, kini menjadi ajang pergumulanku dengan Kak Mitha. Aku sempat melihat airmata menetes membasahi wajah cantik itu sebelum dia berbalik dan berjalan menjauh dari pintu kamar.

Aku tersadar telah melakukan kesalahan, kuhempaskan tangan Kak Mitha yang berusaha menahanku untuk mengejar Sovi, "Sov... lu mau kemana? Biar gue jelasin semuanya."

Sovi membungkuk, tangannya di dalam tas hitam. Tangannya bergerak mencari sesuatu, aku mendekat mengiba kepadanya, "Sovi... please, ini bisa dibicarain..."

"Diam lu! Emang lu tau apa yang gue rasain, hah?!" Sovi berteriak histeris. Nafasnya memburu, amarahnya bergolak. Namun hatinya tercabik, mata Sovi mengatakan semuanya.

Aku hanya menangis, menyadari ada satu hati yang terbunuh kali ini, hati Sovi. "Sorry Soovv... tenangin diri lu," aku terduduk mengiba dengan tubuh telanjang di kaki Sovi.

"Minggir Cath!" dengan satu tangan dia menghempaskanku. "Gue urus dia dulu, baru kita bicarain semuanya!"

Sepintas aku melihat benda hitam digenggaman tangan kanan Sovi, "Sov... elu jangan gila! Elu mau apa dengan pistol itu? Please Sov, jangan gini..."

Sovi menghempaskanku lagi, di saat yang sama Kak Mitha keluar dengan baju yang telah lengkap. Ia bergidik melihat wajah Sovi yang penuh amarah dengan sebuah pistol digenggamnya, "santai bro... bisa gua jelasin kok!"

"Jelasin apa hah?!"

Doooooooorrrrr...
Pyyyyaaaaarrrrr...


Keseimbangan Sovi hilang, ia terhuyung karena aku menarik kakinya. Tembakan yang ia arahkan ke Kak Mitha meleset dan memecahkan almari kaca tempat Sovi menyimpan semua pialanya.

"Hwaaaa...," Kak Mitha kaget berlari kembali masuk kamar, menutup kembali pintu kamar.

"Anjing! Lu bakalan mati setan!" luapan emosi Sovi semakin tak terkendali. "Jangankan lu ngumpet di kamar, ke ujung dunia pun bakalan gua kejar lu!"

Aku benar-benar shock, namun segera ku kuasai diriku. Jangan sampai Sovi bertindak lebih dari ini.

Aku berusaha keras merebut senjata Sovi, namun Sovi tetap mempertahankannya. "Sov... udah sov... ayo kita bicarain baik-baik..."

"Udah gue bilang entar! Lepasinnn!" Sovi berusaha mempertahankan senjatanya.

Kami saling berkeras, saling rebut. Ku genggam kedua telapak tangan Sovi yang memegang pistol itu dengan dua tangan.

Doooooorrrrr....

Pistol meletus untuk kedua kalinya, timah panas menyasar ke home-theatre. Menimbulkan lubang di layarnya. Tapi seolah kami tak peduli, kami tetap saling merebut.

Dooooooooorrrrrr...



=====:rose:=====​



"Huuuufffttt...," ku hela panjang nafasku.

Kenangan 9 tahun lalu sangatlah pedih, hidupku telah pergi. Tinggal aku di sini sendiri meratapi. Menangis tanpa henti, walau kutahu ini bukan solusi. Hukuman dari Negeri ini tak mampu menghapus rasa sesal di hati.

9 tahun terpenjara di dalam ruang lembab, gelap, dan sepi. Ingin rasanya ku akhiri hidup ini, tapi aku tahu itu bukan inginmu. Egoku telah membunuhmu. Egoku menguburmu dalam hidupku.

"Hai... apa kabar, honey?" airmataku menetes, aku tak kuasa menahan semua beban. "Aku manusia jahat yah? Aku tak mampu bersabar demi kamu..."

Hatiku tercabik. Ku sisihkan daun-daun kering dan ku cabuti rumput-rumput liar dari nisan gadis yang amat ku cintai. Sebuah nisan keramik dengan terukir nama " Catherine Margaretha ".





T A M A T


Ketika saya menulis ini, terbayangkan bagaimana tanggapan dari pembaca sekalian, pro dan kontra, karena tulisan saya ini mengangkat tema percintaan sesama jenis, pada umumnya, terutama kaum Lesbian, pada khususnya. Saya mengangkat tema ini dengan tujuan membuka mata khalayak yang memandang kaum minoritas, kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisex and Transgender), dengan sebelah mata, walaupun di dalam tulisan saya ini menonjolkan sisi negatif berupa nafsu, baik amarah mau pun birahi dan sebuah keegoisan, tapi saya berusaha mengangkat kisah cinta yang agung, cinta yang tak memandang perbedaan, dan sebuah penyesalan. Namun saya sadar bahwa tak semua manusia itu baik. Sebagian kaum Straight yang merendahkan kaum LGBT, atau pun sebagian kaum LGBT yang merendahkan kaumnya sendiri dengan tindakan-tindakan provokatif. Dari tulisan ini saya berharap, bahwa kita dapat belajar saling menghormati dan menghargai semua cinta agung yang kita peroleh serta adanya kesetaraan terhadap kaum LGBT dan juga rasa saling menghormati mau pun menghargai.

Saya berterimakasih atas dukungan dan doa yang telah saya terima dari semuanya dalam menyelesaikan tulisan ini. Terima kasih kepada para pembaca yang dengan rela membaca dan berusaha memahami makna dari tulisan saya ini. Terima kasih kepada juri-juri, om Showa, om Jaya Suporno dan om Sanoo, yang dengan sukarela, tanpa imbalan sepeser pun, meluangkan waktu untuk membaca dan menilai semua tulisan dari para penulis di Forum kita tercinta ini. Terima kasih kepada om Little_hulk (selaku d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain)), Moderator reditya, Super Moderator satpam (juga selaku d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain), Super Moderator Broetals, dan Forum semprot.com yang memberikan kami, para penulis, kesempatan dan wadah untuk berkreasi. Tak lupa saya ucapkan terima kasih dan juga permintaan maaf kepada Mitha The Virgins dan Poppy Sovia atas pencatutan nama mereka sebagai tokoh dalam tulisan.

Mohon maaf bila tulisan saya ini tidak berkenan dan menyingung banyak pihak, tulisan ini hanyalah fiktif belaka. Atas pencatutan nama pesohor tersebut, hanyalah sebagai pemanis belaka. Tak ada niatan untuk menyudutkan pihak-pihak tertentu dalam tulisan ini, saya harap semua dapat menyingkapi dengan bijak.

Saya berharap, bila berkenan, dukungan berupa vote yang membantu saya mengetahui tingkatan tulisan saya ini.

Akhir kata, terima kasih atas semuanya.


Best Regards,

:rose:

cath​
 
Terakhir diubah:
iyaa ilang smua :((
smoga peserta yg lain pd punya backUp na..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd