Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (COPAS) Sexy Wife Sovi

Ok gas..ok gasss...bocil krbitan ikut gass...🔥🔥🔥
Ok gas..ok gasss...bocil krbitan ikut gass...🔥🔥🔥
 
Part 3

Beberapa hari Setelah menemukan foto PSK di HP suaminya, Sovi memutuskan untuk mencoba ganti penampilan jadi lebih seksi supaya suaminya, Bram, tak lagi perlu jajan. Setelah percobaan pertama, Sovi mulai rutin mengubah penampilannya demi Bram, tapi dia masih belum terbiasa.

Suatu hari, ketika Bram pulang diantarkan rekan-rekan kerjanya Sovi bertengkar dengan suaminya, Bram, setelah menemukan foto PSK di HP Bram. Atas saran Citra kakak iparnya, Sovi mencoba mengubah penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram… menjadi lebih seksi dan binal. Rupanya cara itu berhasil. Sepertinya kehidupan Sovi dan Bram akan berubah…

Tapi kalau segalanya berjalan lancar-lancar saja, kurang seru ‘kan?

*****

Sudah dua minggu berlalu sejak Sovi pertama kali mencoba berdandan sensual untuk suaminya. Sudah beberapa kali juga mereka coba mengulang role-playing. Awalnya Bram memang suka. Tapi setelah yang ketiga-empat kali, Bram menyadari bahwa Sovi masih takut-takut menjalani perannya. Tidak heran. Mustahil mengubah sifat ‘anak baik’ Sovi yang sudah berakar sejak kecil.

Sovi tidak punya pengalaman berperilaku genit dan nakal seperti pelacur-pelacur langganan Bram. Itu bikin Bram agak kecewa. Selain itu, setelah pengalaman pertamanya di-anal oleh Bram, Sovi kapok. Sakit, katanya; dia merasa nyeri selama sehari sesudahnya. Padahal Bram ingin melakukannya lagi. Itu bikin Bram tambah kecewa.

Tapi Sovi belum tahu tentang kekecewaan Bram. Dia sendiri mengira Bram sudah puas, karena dia merasakan sendiri bahwa Bram makin bergairah. Sovi pun jadi jauh lebih sering terpuaskan. Buat Sovi, rumahtangga mereka berdua terasa semakin mesra. Sovi tidak keberatan biarpun harus tambah repot demi Bram.

*****
Suatu malam…

Menjelang tengah malam di rumah Bram dan Sovi. Bram belum pulang; tapi sore sebelumnya dia sudah mengontak Sovi, meminta Sovi ‘bersiap-siap’. Sovi tahu apa artinya itu, jadi sebelumnya Sovi mampir ke salon milik Citra dulu. Citra yang sebelumnya sudah janji mau terus membantu Sovi dengan senang hati merias Sovi. Persis seperti pertama kali. Sovi kembali menunggu Bram dengan sabar di rumah.

Malam itu Sovi memilih mengenakan gaun tidur sutra tipis pendek berwarna hijau, tanpa bra. Sovi mendengar bunyi mobil masuk garasi. Lalu suara langkah orang mendekati pintu. Suaminya tersayang sudah datang…Pintu terbuka.

“Puuunten.”

Ternyata bukan cuma Bram yang datang. Sovi tertegun melihat empat orang yang ada di depan pintunya. Bram ada, tapi dalam keadaan tak sadar dan dipapah dua orang. Sedangkan yang memberi salam dalam bahasa daerah tadi adalah seorang laki-laki tua botak berperut buncit.

“Mang Enjup?” tanya Sovi.

“Euleuh-euleuh, Neng Sovi… Apa kabar? Ini, tadi kita habis ketemu klien, si Aden Bram kebanyakan minum, sampai mabuk berat terusnya ketiduran,” jawab si laki-laki tua.

Laki-laki tua itu nyengir memperlihatkan sebaris gigi menguning. Namanya Jupri, tapi Sovi mengenalnya sebagai “Mang Enjup”, orang sekampung orangtuanya yang sudah bekerja untuk orangtuanya sejak awal mereka memulai usaha.

Mang Enjup awalnya pesuruh, tapi lama-lama bapak Sovi mendapati bahwa bawahannya itu pintar membujuk dan meyakinkan orang, sehingga karier Mang Enjup pun lancar sebagai juru runding perusahaan. Di perusahaan keluarga mereka, Mang Enjup kini menempati jabatan manajer; Bram ditempatkan sebagai bawahannya, dengan harapan bisa menyerap ilmu Mang Enjup untuk kariernya kelak di posisi lebih tinggi. Maka itu Bram sering mendampingi Mang Enjup, menemui rekan bisnis dan ikut bernegosiasi.

“Baik, Mang. Aduh, maaf kalo Bram ngerepotin Mang. Ayo, masuk dulu.”

Mang Enjup kenal baik dengan keluarga Sovi dan Bram sejak lama, sejak keduanya masih kecil. Waktu kecil, Sovi senang bermain-main dengan Mang Enjup yang lucu dan suka menggendong-gendongnya. Tapi setelah Sovi agak besar, orangtuanya sempat melarang dia bermain dengan Mang Enjup.

Waktu itu Sovi sedih, tapi tak lama kemudian dia lupa karena sudah akrab dengan teman-teman sekolahnya. Mang Enjup sendiri tak pernah jauh dari Sovi karena dia terus bekerja sebagai bawahan orangtua Sovi. Bram yang ketiduran dipapah oleh dua orang bawahan Mang Enjup: asistennya, Bonang, dan supir merangkap pengawalnya, Bondan.

Bonang bertubuh sedang, berkulit gelap dengan muka jerawatan. Biarpun pekerjaannya kantoran, tapi Bonang lebih sering berpenampilan urakan. Rambutnya yang agak gondrong dicat kemerahan, walaupun dia tidak jadi tambah keren karenanya.

Dia keponakan Mang Enjup yang sebelumnya nganggur dan disuruh ikut pamannya supaya belajar kerja, tapi sebenarnya dia tidak punya keahlian selain menghabiskan duit. Sementara Bondan mantan prajurit yang dipecat karena indisipliner, dan selanjutnya bekerja sebagai bodyguard plus supir Mang Enjup.

Penampilannya masih khas tentara dengan rambut cepak dan badan berotot—ditambah bekas luka sabetan pisau di pipi kirinya, peninggalan perkelahian dengan sesama prajurit yang membuat dia dipecat.

Bondan dan Bonang membawa Bram ke dekat sofa, lalu pelan-pelan menaruh Bram di sofa. Sovi mencoba membangunkan Bram, tapi suaminya itu malah ngorok keras, menyemburkan hawa beralkohol dari mulutnya.

“Mas Bram, kubilang juga apa, Mas tuh nggak kuat minum…” kata Sovi kepada Bram yang tentu saja tidak menjawab. Sovi menyadari Bram bakal tertidur sampai besok pagi, jadi dia beralih ke tamu-tamunya.

Tanpa dipersilakan, Mang Enjup sudah duduk di salah satu kursi tamu. Dia menghela nafas lega ketika bisa mendesakkan pantatnya yang besar di sofa.

“Mau minum dulu, Mang?” sapa Sovi, berbasa-basi.

“Jangan repot-repot, Neng. Mamang juga sebentar lagi pulang. Udah malam.”

“Nggak apa-apa, Mang, sebentar aja Sovi bikinin. Kopi?”

“Boleh, boleh.”

Sovi tersenyum, lalu meninggalkan ruang tamu. Mang Enjup memperhatikan Sovi dengan penuh minat. Salah satu penyebab orangtua Sovi dulu sempat melarang Sovi terlalu dekat dengan pegawai mereka itu, adalah karena mereka tahu sifat Mang Enjup yang ‘cunihin’.

Mereka takut Sovi jadi mangsa kebiasaan buruk Mang Enjup yang suka bergenit-genit dengan perempuan.

Di satu sisi, gaya bergaul Mang Enjup yang supel dan cepat akrab sangat memudahkan dia malang-melintang di ajang bisnis. Di sisi lain, sifat itu juga membuat Mang Enjup bereputasi agak jelek di perusahaan. Sudah agak lama Mang Enjup tidak bertemu Sovi, walaupun Bram sudah jadi bawahannya cukup lama.

Mang Enjup juga biasanya mengenal Sovi yang berpenampilan sederhana, polos, dan baik-baik. Jadi, ketika yang membuka pintu rumah Bram tadi adalah perempuan bermake-up tebal dengan baju seksi, Mang Enjup sempat heran sebelum menyadari bahwa itu Sovi.

Rasa penasarannya berlanjut. Selain itu…Sovi kembali dari dapur membawa tiga cangkir kopi di atas nampan untuk tamu-tamunya. Mang Enjup memperhatikan anak bosnya itu. Hampir tumpah liurnya melihat bentuk tubuh Sovi yang samar-samar terlihat di balik gaun malam sutra yang dipakai Sovi.

Matanya tak melewatkan kesempatan mengintip belahan dada Sovi ketika Sovi membungkuk untuk menaruh cangkir kopi di depannya. Sovi lalu duduk menemani Mang Enjup, mengobrol ringan mengenai Bram dan perusahaan. Mang Enjup tidak henti-hentinya memuji-muji orangtua Sovi dan Bram yang berhasil mengembangkan bisnis bersama menjadi cukup maju.

“Omong-omong,” celetuk Mang Enjup sambil tersenyum lebar, memandangi wajah Sovi,

“meni geulis pisan Neng Sovi ini malam. Apa baru pulang dari kondangan?”

“Ah, si Mang bisa aja,” Sovi tersipu,

“Enggak ada apa-apa, Mang, ini sih… buat suami aja.” Mukanya memerah.

“Euleuh-euleuh…. Buat si Aden? Baguuusss… Itu baru namanyah istri yang baik, mau dandan secantik-cantiknya buat suami. Jangan kayak si Kokom sama si Lilis, boro-boro mau dandan buat Mang, kerjanya di rumah cuma molor sama ngomel.” Kokom dan Lilis adalah istri tua dan istri muda Mang Enjup, keduanya tinggal di kota asalnya, di rumah yang berbeda.

Mang Enjup sendiri tidak memperhatikan istri-istrinya karena dia sendiri punya banyak selingkuhan: karyawati bawahannya, klien, rekanan, dan lain-lain. Tapi begitu dia melihat Sovi, anak bosnya yang sudah dia kenal sejak kecil, yang sedang berpenampilan seksi ‘demi suami’, semua perempuan itu tersingkir dari kepala Mang Enjup.

Bukan tanpa alasan dulu dia berakrab-akrab dengan Sovi kecil. Sovi sudah diincarnya sejak lama. Tapi lalu Sovi menikah dengan Bram. Biar begitu, Mang Enjup orang yang tidak suka melewatkan kesempatan. Bram sedang teler. Sovi ada di depannya…

“Ah, tapi si Aden ketiduran gitu, Neng? Kasihan, sudah dandan cantik-cantik, eeh malah ditinggal tidur. Kumaha atuh, Neng?” sindir Mang Enjup, sambil terus memperhatikan wajah Sovi.
Sovi melengos.

“Yah… ya udah, nggak pa-pa, tinggal cuci muka terus tidur.”

Mang Enjup bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah Sovi. Sovi tidak beranjak. Dia merasa tidak perlu bereaksi. Mang Enjup duduk di sofa, di samping Sovi; lengannya merangkul pundak Sovi.

“Sayang atuh. Gimana kalau sama Mang saja?” Sovi tidak mampu menolak kata-kata Mang Enjup.
Selain keluwesannya dalam bergaul, yang membuat Mang Enjup sangat hebat dalam mempengaruhi orang juga adalah semacam aji-ajian ilmu gendam yang dikuasainya.

Ilmu itu mirip dengan hipnotis tingkat tinggi. Kalau sudah bisa menguasai pandangan dan perhaSovin sasarannya, Mang Enjup bisa membuat pertahanan mental sasarannya runtuh dengan menghilangkan rasa curiga dan tak percaya.

Selanjutnya, sasaran ilmunya akan menurut saja kepada semua kata Mang Enjup. Biasanya Mang Enjup baru akan menggunakan gendam kalau cara biasa sudah buntu, dan hanya untuk kasus-kasus yang “harus menang”.

Itu untuk pekerjaan utamanya sebagai negosiator, dan dia jarang sekali harus perlu melakukannya; Mang Enjup cukup jago bersilat lidah dan melobi, sehingga dengan mengajak klien atau rekanan pelesir ke tempat hiburan, dan membayari ongkos makan + minum + cewek, urusan bisa beres.

Tapi untuk urusan pribadi, Mang Enjup tidak segan-segan menggunakan ilmu gendamnya. Apalagi untuk yang satu ini. Ketika perempuan yang dia incar bertahun-tahun sudah di depan mata. Sejak Sovi membawakan kopi, Mang Enjup sudah melancarkan serangan.

Sambil ngobrol, dia terus memandangi mata Sovi, menguasai perhaSovin dan mengendorkan konsentrasi Sovi. Ketika tadi dia bangun dan pindah duduk ke sebelah Sovi, Sovi sudah jatuh ke tangannya, makanya Sovi tidak bergerak.

Kesadaran Sovi sudah digenggam Mang Enjup. Sekarang Sovi ada dalam rangkulan Mang Enjup, tatapannya kosong. Mang Enjup tersenyum penuh kemenangan. Kedua bawahannya, Bonang dan Bondan, duduk diam sambil menyeruput kopi masing-masing, tidak berani berbuat apapun.

“Heheheheheh,” Mang Enjup terkekeh. Tangannya mulai beraksi mengelus-elus leher Sovi, bahu Sovi, terus ke pinggang dan paha.

Mang Enjup tersenyum lebar ketika menyadari Sovi tidak pakai celana dalam. Sebelumnya, dia sudah melihat bahwa Sovi tidak memakai beha ketika mengintip belahan dada Sovi yang tampak waktu Sovi menyuguhkan kopi tadi.

Sungguh senang dia melihat Sovi kecil yang dulu digendong-gendong dan dipangku-pangkunya (dengan niat tersembunyi, tentunya) sekarang tumbuh jadi perempuan cantik yang bertubuh lumayan bagus, dan entah kenapa, gaya berdandannya di rumah mirip kupu-kupu malam.

“Sovi. Bisa jawab pertanyaan Mamang?” kata Mang Enjup sambil mengelus-elus paha Sovi.

“Bisa,” suara Sovi datar, tanpa ekspresi.

“Sedang apa kamu tadi, Sovi?”

“Aku nunggu Mas Bram pulang.”

“Kamu pakai apa sekarang, Sovi?”

“Sekarang aku cuma pakai gaun malam pendek, yang dulu dibelikan Mas Bram.”

“Terus apa lagi?”

“Nggak pakai apa-apa lagi.”

“Kamu pakai beha? Celana dalam?”

“Nggak. Aku nggak pakai beha, nggak pakai celana dalam…”

“Begitu. Terus. Ada apa dengan mukamu?”

“Tadi aku ke salon Kak Citra. Minta didandani seperti kemarin-kemarin.”

“Didandani… seperti gimana, Sovi?”

“Yang lengkap… tebal, menor, seperti dandanan Kak Citra.”

Mang Enjup juga ingat Citra. Dia tersenyum sendiri mengingat-ingat masa lalu. Kemudian dia melanjutkan interogasi. Sekarang satu tangannya mulai menjamah ke balik gaun tipis Sovi. Ditemukannya kemaluan Sovi, dan mulailah dia mengelus-elus bagian luarnya.

“Coba lihat mukamu Sovi… bedak tebal, lipstik merah… bajumu juga seperti itu. Kenapa kamu dandan seperti ini, Sovi?”

“Buat Mas Bram…”

“Kenapa?” Mang Enjup menemukan klitoris Sovi dan mulai menjepit-jepitnya di sela jari. Sovi mendesah tertahan.

“Hahh… karena… saran Kak Citra. Aku mesti jadi seperti yang Bram suka, katanya.”

“Bram suka yang seperti ini? Apa dia minta?”

“Tidak… tapi aku lihat foto-foto di HP-nya… foto wanita panggilan… dandanan mereka seperti itu… ehh… ah…” Mang Enjup menjolokkan satu jarinya ke celah kewanitaan Sovi. Sementara itu, Mang Enjup juga menjilati tengkuk Sovi, sehingga Sovi mulai terangsang.

“Terus gimana Sovi… Bram suka?”

“Bram suka…”

“Kamu sendiri?”
Sovi terdiam, tidak menjawab. Mang Enjup sekarang sudah memasukkan dua jarinya, dan mulai mengobel vagina Sovi, sambil mencubit-cubit klitoris Sovi. Daerah yang dijelajahi jari Mang Enjup mulai terasa basah.

“Ayo jawab Sovi… Jawab yang jujur.”

“Aku… ah!” Sovi mengerang sedikit setelah Mang Enjup mencubit itilnya agak keras, lalu melanjutkan,

“…malu…”

“Kenapa malu, Sovi?”

“Malu… soalnya harus berpakaian dan berdandan seperti ini… Seperti pelacur yang jual diri… nggak biasa… rasanya bukan seperti aku… aku bukan perempuan murahan…”

Mang Enjup terus menggerayangi tubuh Sovi, meremas payudara Sovi, menjilati tengkuk Sovi. Sovi tersandar tak berdaya pada badan Mang Enjup, matanya kosong, bibirnya terus mengeluarkan erangan dan desahan kenikmatan. Dari pengakuan Sovi, Mang Enjup tahu apa alasan dia bergaya seperti pelacur. Muncul satu ide di kepala Mang Enjup.

“Kenapa harus malu, Sovi?”

“Soalnya…”

“Dengar kata-kata Mang sesudah ini, Sovi. Dengar dan ikuti untuk seterusnya. Ngerti?”

“Mengerti…”

“Kamu tahu seperti apa penampilanmu sekarang, Sovi?”

“Tahu…”

“Seperti apa?”

“Seperti pelacur… seperti perempuan murahan…”

“Tapi kamu nggak suka, kan?”

“Iya… aku nggak suka… tapi demi Bram.”

“Salah, Sovi.”

“Salah…?”

“Kamu salah, Sovi. Kamu sebenarnya diam-diam suka berpenampilan seperti itu. Kamu sebenarnya suka berdandan secantik-cantiknya, seseksi-seksinya. Iya kan, Sovi?”

“Iya…”

Mang Enjup nyengir. Lebar sekali. Lalu dia melanjutkan membisikkan sugestinya ke telinga Sovi.

“Kamu harus sadar, Sovi. Kamu harus sadar kamu itu seksi, dan diam-diam kamu mau dikagumi. Iya kan, Sovi?”

“Iya…”

“Mulai sekarang, kamu suka berdandan seksi. Ulangi.”

“Mulai sekarang, aku suka berdandan seksi.”

“Mulai sekarang, kamu ingin menggoda semua laki-laki. Ulangi.”

“Mulai sekarang, aku ingin menggoda semua laki-laki.”

“Bagus, Sovi. Jangan pernah lupa yang kamu bilang tadi. Ngerti?”

“Mengerti.”

Mang Enjup menengok ke arah Bram yang masih ngorok di atas sofa, dan tidak tahu kehidupan istrinya sedang diubah untuk seterusnya. Sambil terus menjamah seluruh tubuh Sovi, Mang Enjup membisikkan berbagai sugesti ke telinga Sovi. Sementara itu, sentuhan demi sentuhan Mang Enjup membuat tubuh Sovi makin tak mampu menahan gelora nafsu.

“Ahh… ah… ah! Ahnggg!!”

Terdengar erangan panjang Sovi, mengiringi orgasme pertamanya malam itu di tangan Mang Enjup.
“Bagaimana rasanya yang tadi Sovi?”

“Hahh… enak sekali Mang…”

“Sekarang giliran kamu bikin enak Mang. Ayo sini Sovi, Mang pangku.”

Sovi menurut, berdiri, lalu duduk di pangkuan Mang Enjup. Bokongnya bersandar di perut gendut Mang Enjup. Burung Mang Enjup yang mengeras di balik celana tergencet belahan pantat Sovi. Mang Enjup menyibak rambut panjang Sovi ke depan, sehingga lidahnya tak terhalang ketika menjelajahi punggung Sovi.

Kedua tangannya memegang pinggang Sovi dan menggerak-gerakkan tubuh Sovi maju-mundur, sehingga bokong Sovi jadi mengelus-elus ereksinya. Lalu Mang Enjup menggeser Sovi ke depan supaya dia bisa membuka resleting celana, membebaskan kejantanannya.

Penis Mang Enjup tak terlalu besar dan nyaris tenggelam di bawah perutnya yang gendut, tapi sekarang tegak dan keras setelah menikmati sentuhan bokong Sovi.

Mang Enjup merogoh ke arah kemaluan Sovi, merangsang vagina Sovi lagi. Sovi mulai keenakan, dan menyandarkan diri ke perut dan dada Mang Enjup; Mang Enjup terus menjilati dan menggigiti telinga, tengkuk, dan pundak Sovi.

Mang Enjup tersenyum jahat. Sovi, anak bosnya, yang sudah diincarnya sejak kecil, sekarang sudah ada di tangannya. Dulu, ketika memangku Sovi yang masih anak-anak, dia sudah membayangkan memerawani Sovi, merebut kehormatan gadis kecil yang dipangkunya, membuat Sovi jadi wanita dewasa.

Tentu saja, Sovi kecil belum tahu bahwa Mang Enjup yang ramah dan lucu itu selalu konak bila memangku atau menggendongnya. Sekarang, Sovi yang sudah besar, sudah bahenol, kembali ada di pangkuannya. Setelah bertahun-tahun menunggu dan berencana. Sayang Bram sudah menduluinya membobol keperawanan Sovi. Tapi yang penting sekarang Sovi sudah di tangannya…

“Nah, Neng Sovi, sekarang Mang mau masuk…”

Setelah merentangkan kedua paha Sovi, Mang Enjup mendorong kepala burungnya masuk ke vagina Sovi. Sovi meringis sedikit; Mang Enjup sendiri langsung kelabakan, tidak siap menghadapi ketatnya himpitan dinding dalam vagina Sovi.

“Addeuhhh… Neng! Sempit amat inih!”

Mang Enjup amat puas, bisa melakukan sesuatu yang sudah diimpikannya bertahun-tahun. Dia tak buang-buang waktu dengan segera menggenjot Sovi. Tapi sayang, fisiknya yang sudah tua tak mendukung…

“Uuuh… !! Anjing siah!“


*BERSAMBUNG.......
 
Ini cerita lama sih wkwk
Gpp sih tpi kalau bisa di revisi hu
Yg lama terlalu over, kalau bisa dibikin arah
Kalau bisa jgn dibikin jadi wanita murahan karakter utamanya kek yg lama
Kalau bisq ada romance dan seperti pilihan antara bertahan setia atau memilih org lain yya diantaranya mang enjup hehe
 
Ok gas..ok gasss...bocil krbitan ikut gass...🔥🔥🔥
Ok gas..ok gasss...bocil krbitan ikut gass...🔥🔥🔥
 
Part 4

Mang Enjup memaki-maki karena burungnya terlalu cepat ejakulasi. Impiannya bertahun-tahun untuk menyetubuhi Sovi terwujud… dan berakhir setelah beberapa menit saja dengan tumpahnya cairan putih di dalam vagina Sovi. Tak lama kemudian penisnya melembek dan menciut.

Tapi Sovi malah belum berhenti bergerak, pinggulnya terus geal-geol seperti penari jaipong di pangkuan Mang Enjup.

Meski Sovi masih di pangkuannya, burung Mang Enjup belum bangun lagi. Maklumlah, dia sudah tua, dan belum lama ini ahli pengobatan tradisional spesialis kejantanan langganan Mang Enjup meninggal dunia sehingga andalan Mang Enjup itu tidak lagi selalu siap bertempur. Ingin ronde dua pun Mang Enjup harus menunggu lama. Sementara Sovi di pangkuannya belum puas.

“Aahmm… mau lagi dong…”

“Hehehe…” Mang Enjup terkekeh mendengar permintaan manja Sovi tadi. Sovi masih dalam pengaruh hipnotisnya… dan masih akan mendengar kata-katanya. Dia memutuskan untuk menjerumuskan Sovi lebih lanjut.

“Mau apa, Sovi?”

“Mau… dientot lagi…”
Mang Enjup menoleh ke arah Bonang dan Bondan. Kedua anak buahnya itu terlihat melongo setelah menonton adegan saru langsung di depan mereka.

“Bonang!” seru Mang Enjup. Yang dipanggil tersentak dari keadaan mupeng.

“HP kamu bisa rekam video kan? Ayo keluarin.”

Bonang nyengir dan langsung ngerti apa maksud atasan merangkap pamannya itu. Segera dia keluarkan ponsel miliknya dengan fungsi perekam video yang sudah beberapa kali memberi kontribusi 3gp kepada ajang video saru amatir di internet. Mang Enjup mendorong pelan Sovi dari pangkuannya, lalu membuat Sovi berlutut di lantai.

Kemudian dia berdiri, mengambil HP Bonang, dan menyuruh Bonang serta Bondan mendekat. Bonang dan Bondan berdiri di depan Sovi yang bersimpuh, menghadapkan jendulan di balik celana mereka ke arah muka Sovi. Sementara Mang Enjup sendiri duduk di kursi tamu, di belakang Bonang dan Bondan, matanya tak lepas menatap mata Sovi.

Dia menyalakan fungsi kamera video HP Bonang. Bonang yang sudah horny berat sudah mau membuka celana dan menerkam Sovi, tapi Mang Enjup lebih dulu memperingatkannya.

“Tahan dulu. Tunggu komando.” Kemudian Mang Enjup memulai menyorot Sovi. Wajah Sovi yang tertutup tata rias tampak bengong; mulutnya yang setengah terbuka dan matanya yang setengah tertutup memberi kesan

“Sovi,” perintahnya,

“Coba kamu bilang, siapa kamu.”
Sovi, tak berdaya di bawah pengaruh tatapan penjerumus Mang Enjup, menjawab. Suaranya kembali datar tanpa ekspresi.

“Saya Sovi… “

“Bagus Sovi. Sedang jadi apa kamu sekarang?”

“Saya sedang jadi…” Sovi berhenti; bawah sadarnya masih belum bisa mengungkapkan dengan jelas.

“Hee… Apa kamu tidak tahu Sovi? Sekarang kamu sedang jadi pelacur. Sedang jadi apa, Sovi?”

“Saya sedang jadi pelacur…”

“Benar Sovi. Kamu sedang jadi lonte. Kamu dandan menor, pake baju seksi. Buat siapa?”

“Buat Mas Bram…”

“Bukan.”

“Bukan?”

“Lihat siapa yang ada di sini, Sovi. Kamu tahu? Sebenarnya kamu dandan bukan buat Bram saja. Kamu pengen dilihat semua orang. Dianggap cantik dan seksi oleh orang. Karena kamu sebenarnya lonte yang suka nggoda laki-laki.”

“Iya…” Mang Enjup melihat sedikit perubahan ekspresi, seolah Sovi agak enggan. Mungkin bawah sadar Sovi sedang berusaha menolak sugestinya.

“Jangan dilawan, Sovi. Akui saja.”

“…”

“Lihat Sovi. Lihat gara-gara kamu, dua orang ini jadi konak nggak ketulungan. Kasihan kan.”

“Konak…”

“Sebagai lonte, kamu jangan diam aja melihat orang konak. Hayo bantu mereka. Isap kontol mereka.”

Mang Enjup mengangguk ke arah Bonang dan Bondan. Keduanya dengan senang hati membuka resleting celana dan menodongkan ‘senjata’ mereka ke muka Sovi. Bonang sedikit iri melihat punya Bondan yang lebih besar daripada punya dirinya sendiri.

Kedua tangan Sovi masing-masing menggenggam penis yang diacungkan ke arahnya, lalu mulai mengocok. Lalu seperti lonte berpengalaman Sovi mulai menggilir kedua penis itu dengan bibirnya.

Bonang terkekeh merasakan bibir empuk merah Sovi melumat batangnya. Dielusnya rambut panjang Sovi. Kemudian ganti giliran Bondan, Sovi memiringkan kepala lalu menggigit lembut pangkal batang Bondan sebelum menjilatnya dari bawah ke atas.

Mang Enjup memfilmkan itu sambil terbahak-bahak dalam hati. Salah satu kenikmatan hidup yang paling dia sukai adalah perempuan, namun sayang penyakit ejakulasi dini-nya sangat mengganggu dia merasakan kenikmatan itu.

Kadang dia frustrasi ketika hanya bisa bertahan beberapa menit menggarap gadis-gadis yang sudah menyerahkan diri kepadanya. Frustrasinya itu akhirnya dia salurkan dengan cara merusak kepribadian para sasarannya dengan ilmu hipnotis; perempuan yang jatuh ke tangannya dia ubah menjadi lebih binal.

Selanjutnya dia akan puas apabila perempuan-perempuan itu terjerumus akibat perubahan yang dia tanamkan. Pernah Mang Enjup membuat seorang perempuan mantan rekanannya yang sudah menikah menjadi membenci suaminya, sehingga akhirnya bercerai.

Kali lain, Mang Enjup mengacau pemikiran seorang gadis yang diwawancaranya untuk lamaran kerja, sehingga gadis yang awalnya alim itu kini melacurkan diri di suatu kawasan hiburan malam terkenal (karena tidak diterima kerja sebagai karyawatinya). Dan sekarang, dia pun sedang mengubah Sovi.

Sovi berganti-ganti menyepong Bonang dan Bondan; lipstik merahnya mulai celemotan setelah bibirnya naik-turun dua batang kejantanan. Kedua anak buah Mang Enjup mulai tak tahan, dan Bonang yang duluan ejakulasi, ketika posisi anunya sedang di dalam rongga mulut Sovi.

Ketika itu juga Bonang langsung refleks mencengkeram dan menekan kepala Sovi ke selangkangannya, sehingga seluruh semburannya tidak ada yang tumpah di luar.

“Uehh… gile enak banget!” teriak Bonang. Sovi mundur setelah kepalanya dilepaskan Bonang, sambil menutup bibirnya dengan tangan, seolah menahan agar dia tidak memuntahkan mani Bonang. Mang Enjup maju dan menyorot muka Sovi dengan kamera video HP Bonang.

“Gimana, Sovi? Enak kan? Jangan ditelan dulu. Buka mulutnya.”

Sovi membuka mulutnya, memperlihatkan sisa sperma Bonang yang belum sempat tertelan. Dimain-mainkannya cairan lengket itu dengan lidahnya, sebelum akhirnya ditelan juga.

“Enak, Sovi?”

“Enak…”

“Enak kan ngisap kontol?”

“Iya… kontol enak…”

Semua itu terekam oleh kamera HP Bonang. Mang Enjup sengaja merekam semuanya dalam video, untuk jaga-jaga. Barangkali kelak ada yang tidak beres, dia bisa menyelamatkan diri dengan memeras Sovi. Tapi kata-kata Sovi yang terakhir itu sungguh tidak terduga. Bisa aja si Neng ngomong begitu…

“Nah, ingat itu Sovi. Kamu suka ngisap kontol. Coba ulangi.”

“Aku suka ngisap kontol.”

Sementara Bonang memulihkan diri, amunisi Bondan masih penuh. Bondan tidak banyak bicara, tapi dari wajahnya terlihat dia tidak puas karena Sovi berhenti.

“Bagus,” kata Mang Enjup kepada Sovi,

“nah, Sovi, karena kamu sekarang sudah jadi lonte, kamu harus ingat baik-baik. Lonte itu nggak cuma ngentot sama suaminya. Lonte itu mau ngentot sama semua orang. Gak peduli sejelek apapun orangnya, se-ancur apapun orangnya, lonte harus mau. Mulai sekarang, kamu nggak akan menolak ngentot sama siapapun. Biarpun kamu nggak suka, kamu nggak akan nolak. Ngerti, Sovi?”

“Mengerti.”

“Nah, sekarang kamu ngentotlah sama dia.”
Bondan menghampiri Sovi yang duduk di lantai, membuat Sovi dalam posisi seperti mau merangkak. Gaun pendek Sovi disibaknya sehingga terlihatlah pantat Sovi yang mulus dan sekal.

Tidak cuma Bondan, Mang Enjup yang jadi juru kamera pun tergiur melihat bokong bulat-montok Sovi yang tadi sempat mengulek kejantanannya. Mang Enjup memang paling suka pantat bahenol khas perempuan kampung halamannya.

Dengan antusias ditontonnya dari balik kamera bagaimana kejantanan Bondan yang besar dan menakutkan itu melesak masuk ke kewanitaan Sovi, sementara Sovi meringis keenakan selagi tubuh Bondan menindihnya.

Sebelumnya, baru Bram yang pernah mencicipi tubuh Sovi. Tapi malam itu Sovi tadi telah dijamah Mang Enjup (biar hanya sebentar), lalu Bonang (baru di mulut), dan sekarang Bondan—barangnya-lah yang paling besar di antara semua yang pernah mempenetrasi Sovi.

Si nyonya muda itu merintih dan mengerang, kelopak matanya yang dipercantik eyeshadow senada warna bajunya terpejam ketika dia merasakan ukuran luarbiasa onderdil Bondan memaksa liang kenikmatannya merentang lebih lebar daripada biasa.

Bondan menggenjot dengan buas dalam posisi doggy style, tanpa basa-basi atau pelan-pelan dulu, dan ketika Sovi menjerit, makin kencanglah aksinya. Entah Sovi menjerit kesakitan atau keenakan, Bondan tidak peduli.

“AA!! AH! Ah! Ah!” Sovi menggigit bibir, berteriak, menganga, menyentakkan kepala. Sovip tusukan Bondan membuatnya tersentak ke depan, kedua payudaranya berguncang, gairahnya membara.

Tak lama kemudian Sovi mengalami orgasme kedua malam itu, di tengah gempuran gencar Bondan. Mang Enjup merekam lolongan panjang yang muncul ketika Sovi tersungkur, mencium lantai, rambutnya tergerai di sekeliling kepala, ditaklukkan klimaks.

Tapi Bondan benar-benar tahan lama. Walaupun disiksa jepitan vagina Sovi, dia masih tetap dapat mempertahankan kekerasan anunya. Didengarnya Mang Enjup berkata sesuatu.

“Ja! Cabut, terus kamu bawa dia ke kursi, hajar pantatnya.”

Agak susah Bondan melepaskan burungnya dari sempitnya memek Sovi. Supir mantan tentara itu lantas mencekal pinggang Sovi, lalu duduk dan menarik Sovi ke pangkuannya.

Sovi yang baru saja orgasme tidak mampu melawan ketika ditarik Bondan. Ketika Sovi sudah berada di pangkuan Bondan, Mang Enjup kembali mengajak bicara Sovi.

“Dasar nakal, Sovi. Sudah ngentot sama sembarang orang, keenakan pula. Dasar lonte.”
Sovi cuma terengah-engah menerima penghinaan dari Mang Enjup.

“Hei Sovi. Sudah pernah main belakang? Lubang pantatmu sudah pernah ada yang nyodok belum? Ayo dijawab.”

“Sudah…”
Ternyata si Bram doyan pantat juga, pikir Mang Enjup.

“Kamu suka dibegitukan, Sovi?”

“Enggak…”

“Kenapa nggak suka?”

“Sakit… jijik… malu…”

“Oh… gitu. Tapi mulai sekarang kamu nggak keberatan lagi dientot di pantat. Ngerti?”

“Mengerti…”

“Bagus. Sekarang buka tuh lubang biar kontol bisa masuk.”
Sovi mengangkang di atas pangkuan Bondan. Tangannya menjulur ke arah selangkangan, meregangkan bagian sekitar lubang duburnya. Kemaluan jumbo Bondan yang basah dengan cairan vagina Sovi bersiap masuk.

“Eughhh…” Wajah Sovi berubah meringis ketika kepala penis Bondan berusaha menerobos saluran sempit yang baru satu kali ditembus dari luar itu.

“Ah! Haah! Haduhh!!” Ketika beberapa malam lalu Bram memerawani anusnya, Sovi juga menjerit-jerit, tapi senjata Bram tidak sebesar punya Bondan. Bisa dibayangkan perbandingan kekuatan desakannya dan rasa sakit yang ditimbulkannya.

Sampai-sampai air mata Sovi mengalir selintas. Susah payah Bondan mendorong, memaksa dinding dalam dubur Sovi agar mau menerima benda tumpul keras berukuran ekstra. Hampir pingsan Sovi ketika seluruh penis Bondan berhasil dimasukkan sampai pangkal.

Sovi merasakan refleks normal bagian tubuhnya yang itu untuk mendorong keluar benda-benda yang ada di dalamnya membuat jepitannya terhadap batang Bondan makin kencang.

Dia mengeluh lemah, merasakan sensasi ‘terisi penuh’ yang tak wajar. Tubuh atasnya ambruk ke dada Bondan; Bondan langsung menyambut dengan ciuman-ciuman ke tengkuk dan bahu serta gerayangan ke dada dan perut, sementara pinggulnya mulai memompa.

Kemarin-kemarin Sovi sudah memutuskan tidak mau disodomi lagi setelah pengalaman pertamanya dengan Bram. Tapi keputusannya itu sudah dibatalkan pengaruh hipnotis Mang Enjup.

Nyeri yang Sovi rasakan ketika Bondan memasukkan penisnya sedikit mereda, dan Sovi merasakan bahwa di antara rasa sakit itu terselip kenikmatan. Sovi merintih lembut ketika Bondan menarik anunya sampai hampir keluar.

Sejenak dia merasa kosong, ingin diisi kembali; keinginan itu segera terpenuhi dengan kembalinya batang Bondan ke dalam anusnya. Bondan awalnya tidak bisa bergerak cepat, karena begitu sempitnya jalan belakang Sovi yang jarang dipakai itu, tapi lama-lama gerakan maju-mundurnya makin cepat. Dengan Sovip tusukan, Sovi merasakan tubuhnya mulai menuju klimaks.

Sovi mulai menikmati setial gesekan batang Bondan di dinding saluran duburnya, seSovip desakan kepala kontol Bondan dalam lubangnya. Nafas Bondan mulai memburu, jepitan lubang anus Sovi benar-benar menguji ketahanannya.

Mang Enjup sangat puas melihat wajah Sovi yang kelihatan sangat mesum, terengah-engah keenakan selagi anusnya disodok kontol besar seorang laki-laki yang bukan suaminya. Anak bosnya itu benar-benar kelihatan seperti lonte murahan. Dan Mang Enjup juga tahu, PSK betulan saja banyak yang tidak mau melayani seks anal; artinya dia sudah berhasil merubah Sovi menjadi lebih parah.

Tak perlulah semua bagian video yang direkamnya dipertahankan, pikir Mang Enjup. Cukup bagian si Sovi dibool saja.

“Woi, Ndan! Ikutan!” Bonang memutuskan untuk tidak bengong saja. Kemaluannya sudah bertenaga lagi.

“Memeknya buat gua, ya!?”

Posisi Sovi yang mengangkang di pangkuan Bondan dengan pantat tertembus senjata tumpul Bondan jelas sangat mengundang. Dengan terburu-buru Bonang mendekati Sovi dari depan, dan tanpa basa-basi menempatkan kepala penisnya di bibir vagina perempuan yang bukan haknya itu.

Sekali dorong, dan kehormatan Sovi sebagai seorang istri kembali tercemar oleh bagian tubuh orang lain.
Sovi mendesah, mengerang, merasakan sensasi baru ketika dua orang memasuki tubuhnya sekaligus—double penetration yang baru pertama kali dialaminya sendiri.

Memeknya langsung membanjir karena diterpa rangsangan demi rangsangan. Bondan dan Bonang mengeroyok kedua lubang Sovi dari depan dan belakang, kadang berbarengan, kadang berganSovin. Sovi sendiri balas menggoyang pinggulnya, kadang melawan tusukan Bonang dari depan, kadang menggilas coblosan Bondan dari bawah.

Yang keluar dari mulut Sovi hanya aneka jerit kenikmatan yang tak jelas artinya. Lalu sekujur tubuh Sovi serasa meledak ketika dia orgasme untuk ketiga kalinya, lebih hebat dibanding yang sebelumnya. Bondan melenguh keras ketika akhirnya kehilangan kendali, dicengkeramnya pinggul Sovi keras-keras ketika penis besarnya memuncratkan mani ke dalam ujung saluran pencernaan Sovi.

Lama sekali dia mengosongkan muatannya di dalam pantat Sovi. Ketika semburannya selesai dan Bondan menarik keluar penisnya, dubur Sovi menganga dengan tak senonohnya dan cairan putih keruh mengalir keluar—sekali-sekali alirannya berubah jadi muncratan akibat refleks normal bagian tubuh itu. Mang Enjup tak lupa mengabadikannya dalam sorotan close-up. Melihat Bondan mesti istirahat, Bonang tidak berhenti.

Bondan menggeser tubuh Sovi sehingga bisa menyingkir dari bawah Sovi. Sekarang Bonang ada di atas Sovi yang terduduk tanpa daya di sofa. Sambil menggerayangi payudara Sovi dan mencupangi leher Sovi, dia terus merangsek lubang sanggama Sovi. Terus begitu sampai akhirnya Bonang pun ejakulasi, di dalam rahim Sovi.

Sovi yang akalnya sedang kacau tak mampu menolak benih asing tertumpah dalam dirinya. Mang Enjup mulai kesal akan keadaan dirinya yang sudah tak muda lagi ketika setelah cukup lama pun kejantanannya belum mampu bertempur lagi. Sementara itu kedua asistennya yang masih muda hanya perlu waktu tak seberapa lama sebelum mereka kembali siap menyetubuhi lonte mereka malam itu, Sovi. Sejam kemudian, Bondan dan Bonang akhirnya tak kuat lagi.

Mereka berdua menggeletak kecapekan di kiri-kanan Sovi yang juga terkapar. Sungguh mengenaskan keadaan Sovi; wajahnya ternoda cipratan mani yang tadi sempat ditumpahkan di sana, sementara liang vagina dan duburnya yang babak belur dipenuhi sperma Bondan dan Bonang yang sedikit-sedikit mengalir keluar.

Dada dan pundaknya penuh bekas cupangan dan gigitan. Benar-benar seperti seorang wanita tuna susila yang habis dibayar untuk pesta seks semalaman. Setelah memotret Sovi dalam keadaan seperti itu beberapa kali, Mang Enjup menggoyangkan tubuh Sovi untuk meminta perhaSovinnya. Mang Enjup hendak menyelesaikan tindakannya terhadap Sovi malam itu.

“Sovi, bangun. Tatap mata Mang dan dengarkan semua kata Mang. Mengerti?”

“Mengerti…” suara Sovi terdengar lemah.

“Sehabis ini, kamu akan lupa semua yang terjadi malam ini. Kamu tidak akan ingat pernah diberitahu segala macam oleh Mang, tapi semua itu tetap akan kamu patuhi dan ikuti. Tidak akan kamu kaitkan perubahan perilakumu dengan kata-kata Mang. Sesudah Mang menjentikkan jari, kamu akan tidur selama satu jam, lalu bangun dan tidak ingat apa-apa. Kalau di badanmu ada bekas-bekas bersetubuh, itu karena kamu habis bersetubuh dengan Bram. Ngerti, geulis?”

“Ya…”

CTAK.

Sovi memejamkan mata untuk tidur selama satu jam ke depan sesuai perintah Mang Enjup. Mang Enjup tersenyum puas. Biarpun tidak bisa maksimal menikmati tubuh Sovi, dia puas bisa mengubah Sovi untuk seterusnya. Pikirannya sudah membayangkan berbagai hal yang bakal dialami Sovi kelak.

“Bonang! Bondan! Hayoh jangan pada molor di sini. Kita pergi!”

Dua orang yang dipanggil itu bangun dengan susah payah. Bonang merasa pinggangnya sakit dan dengkulnya tak bertenaga setelah entah beberapa ronde tadi merasakan semua lubang yang bisa dientot di tubuh Sovi.

Bondan berdiri, menutup celananya, dan terus berjalan seperti tidak terjadi apa-apa. Mang Enjup dan rombongannya kemudian meninggalkan Sovi yang terkapar dan ternoda di ruang tamu, ditemani Bram yang masih terbaring tak sadar di sofa.

Ketika Mang Enjup dan kedua bawahannya keluar pagar rumah Bram dan Sovi untuk menuju mobil mereka yang diparkir di luar, satu suara menyapa mereka.

“Baru pulang, Mang?”

Mang Enjup menoleh, melihat api rokok menyala di arah suara tadi datang. Rokok dengan filter terjepit bibir merah seorang perempuan yang wajah cantiknya kurang jelas terlihat di bawah lampu luar rumah yang kurang terang.

“Euleuh-euleuh, Neng Citra, masih bangun? Ikutan ngeronda, atau sekarang salonnya buka dua puluh empat jam?”

Citra yang sedang duduk-duduk sambil merokok di luar salonnya itu menghampiri Mang Enjup.
“Ah si Mang bisa aja. Tumben mampir ke sebelah. Ada urusan sama Bram atau Sovi?” kata Citra sambil melirik genit. Mang Enjup tidak bisa tidak memperhatikan itu.

“Mang cuma ngobrol-ngobrol sebentar sama Neng Sovi. Kan sudah lama tidak ketemu. Neng Sovi sekarang berubah, ya? Jadi pangling. Tambah cantik dia.”
Citra terkikik. Berbeda dengan Sovi, Citra sudah lama tahu kebiasaan buruk laki-laki tua pegawai orangtua adik iparnya itu.

“Nah, sekarang Mang mau pulang dulu. Sudah malam, dan kepala Mang agak pusing. Biasa, kerjaan. Perlu konsentrasi. Capek.”

“Nggak mampir dulu, Mang?” goda Citra.

“Citra pijatin deh Mang biar gak pusing.”
Kenapa tidak, pikir Mang Enjup. Dia mengangguk dan kemudian mengikuti Citra masuk ke salon. Kedua anak buahnya membuntuti.

Bram membuka mata dengan berat. Dia merasa kepalanya sakit, dan dia mengingat-ingat apa yang baru terjadi. Jelas tadi dia terlalu banyak menenggak minuman keras ketika menemani Mang Enjup menjamu tamu di satu pub. Setelah tamu itu pergi, dia terus minum-minum dengan Mang Enjup, dan dia tidak ingat lagi apa saja yang dia obrolkan dengan atasannya itu. Mungkin dia menyebut-nyebut Sovi.

Berikutnya dia ambruk karena mabuk, lalu sepertinya dia ketiduran dan diantar pulang oleh Mang Enjup, karena dia sekarang terbaring di sofa di ruang tamunya sendiri.

Dan tadi dia bermimpi aneh sekali, dia bermimpi Sovi yang menunggunya malah dipangku oleh Mang Enjup, lalu Sovi menuruti kata-kata Mang Enjup, dan Sovi menyerahkan dirinya untuk disetubuhi dua orang yang tidak bisa dia ingat siapa…

Di mana Sovi? Bram bangkit pelan-pelan, mengangkat kepalanya yang puyeng, dan dilihatnya Sovi meringkuk di sofa, dengan baju dan dandanan acak-acakan. Dilihatnya bekas mani yang mulai mengering di pipi Sovi.

Siapa yang…
Bram berguling sehingga turun dari sofa, lalu beringsut mendekati Sovi. Digenggamnya bahu Sovi lalu diguncang-guncangnya perlahan agar istrinya bangun.

“Sovi? Sayang, bangun yang…”

“Uuhhh… Mas… Bram?”

“Duh… sakit banget ni kepala. Kayaknya aku tadi kebanyakan minum… auw… apa… tadi aku diantar pulang?”

Sovi terdiam, bingung karena ingatan jangka pendeknya sudah dikacaukan. Sovi tidak ingat bagaimana Bram pulang, siapa yang mengantar Bram pulang, apa yang terjadi barusan. Yang dirasakannya cuma letih, pegal di sekujur tubuh, dan nyeri di sekitar selangkangan. Bram mengelus pipi istrinya yang tergeletak lemah di sofa. Tanpa sengaja dia menyentuh peju kering yang tertempel di sana.

“Sovi… apa tadi kita…” Tatapan Sovi lemah, tapi kali ini dia menjawab.

“Iya, Mas…”

Sovi tersenyum lemah. Bram masih tidak percaya. Apa tadi dia bercinta dengan istrinya? Dia tidak ingat sama sekali. Dilihatnya sekali lagi wajah istrinya yang begitu dekat. Pastilah Sovi tadi berdandan habis-habisan seperti biasa; sisa-sisanya masih terlihat, walaupun sebagian sudah terhapus akibat apapun yang tadi terjadi.

Aroma tubuh Sovi bercampur bau asing yang tak Bram kenal. Ribuan pertanyaan mengganggu pikiran Bram. Tapi dia terlalu pusing akibat hangover untuk menanyakannya. Dia ambruk lagi, tertidur di samping wajah istrinya. Entah bagaimana perasaan Bram kalau saja dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sovi telah terjerumus.


*BERSAMBUNG......
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd