Aku tidak yakin Papa tidak tahu hubunganku dengan Mama sampai mendarah daging begitu karena Mama sering tidur di kamarku.
Suatu hari tidak sengaja aku melihat perut Mama kelihatan berbeda dari yang biasa sehari-hari yang kulihat, agak sedikit membesar.
Tapi segera aku melupakan karena Mama mau pergi ikut Papa antar Lina test masuk perguruan tinggi di luar kota sekalian mereka liburan. Papa mendapat cuti kerja beberapa hari.
Berhubung Mama tau aku ini orangnya jorok, kamar tidur tidak bisa dibersihkan sendiri harus dibersihkan Mama, adikku juga belum bisa ngurus rumah, Mama minta tolong adiknya, Tante Winda.
Tante Winda bersedia membantu di rumahku meskipun anaknya 3 orang masih kecil-kecil, yang terakhir baru berumur 1 tahun.
Anak ceweknya ini lucu sekali, kalau Tante Winda datang ke rumah suka dibawa. Aku suka ngledekin dan ia tertawa terpingkal-pingkal.
Maka itu aku sering mengambil kesempatan itu untuk mencium pipinya kalau ia lagi menetek.
Sebenarnya tujuanku bukan ke situ, melainkan ke tetek Tante Winda.
Tetek Tante Winda tidak besar. BH-nya paling-paling nomor 34B. Namun bukan terletak pada besar kecilnya payudara Tante Winda, melainkan tingkah lakunya kalau menetek anaknya sering memancing syahwatku, apalagi tidak ada Mama di rumah untuk kulampiaskan.
Ngocok aku sudah malas melakukannya karena lubang Mama sudah tersedia untukku setiap hari. Jadi untuk apa aku ngocok lagi, air maniku menjadi 'sampah' di got, lebih baik aku pakai untuk menyuburkan rahim Mama.
Tante Wina kalau mau menetek anaknya, payudaranya suka ia putar-putar dulu dengan telapak tangan, seperti bola diletakkan di telapak tangan lalu diputar-putar, setelah itu putingnya baru ia sodorkan ke mulut anaknya, atau ia pencet-pencet putingnya sampai keluar susu.
Setelah 2 hari Tante Winda di rumahku, saat Tante Winda duduk menetek anaknya lagi, kulihat anaknya sudah tidur tapi mulutnya masih ngenyot-ngenyot puting tetek Tante Winda, aku datang mendekati tempat duduk Tante Winda di ruang tamu, lalu menunduk mencium, tetapi yang kucium kali ini bukan pipi anaknya, melainkan tetek Tante Winda.
"Wii...iih... kayak sudah bisa aja..." kata Tante Winda.
"Memang belum, masih perjaka... apa Tante gak mau dengan yang masih perjaka...?" jawabku.
"Nanti Tante ngomong sama Mamamu...!" ancam Tante Winda.
"Ngomong..." jawabku. "Mama aja sering aku ajak nonton film porno... pernah aku nyuruh Mama ngocok..."
"Main nggak...?" tanya Tante Winda mulai tertarik.
"Waktu itu Mama lagi haid, Mama gak mau..."
"Tapi kalian anak muda, apa enaknya sih main sama ibu-ibu... sudah jelek... sudah longgar tau nggak, apalagi kayak Tante yang sudah punya 3 anak..."
"Itulah seni namanya..." jawabku.
"Gila ya kalian... di dekat rumah Tante juga ada satu anak muda tuh... sukanya juga sama ibu-ibuu...uuu... aja..."
"Jadi, mau ya Tante..."
"Takut...!!"
"Takut apa, aku jamin rahasianya..." ujarku, lalu aku memberanikan diri memegang kaos yang dipakai Tante Winda untuk melepaskannya.
"Hi... hi... jangan ditelanjangin semua ah... malu...! Sudah jelek...!" kata Tante Winda, tapi dibiarkannya aku melepaskan kaosnya juga.
Sampai di sini, apa yang aku inginkan dari Tante Winda, setidak-tidaknya sudah aku dapatkan separuh, apalagi kemudian Tante Winda membawa anaknya yang sudah tidur ke kamar Lina, aku pergi ke kamarku menunggunya.