Mama membawa 2 lembar BH dan 2 lembar celana dalam ke kamar pas.
Kamar pas terletak di sebuah lorong di belakang meja kasir. Jumlahnya kuhitung ada 7 ruangan.
Satu di bagian depan telah diisi, Mama memilih kamar pas nomor 5. Sreettt… Mama menarik kain berwarna hitam yang tergantung di depan kamar pas setelah Mama masuk ke dalam.
Aku tidak memperhatikan Mama lagi. Aku mengeluarkan hapeku dari saku celana jeansku duduk di bangku panjang yang disediakan untuk para pengunjung toko menunggu giliran masuk ke kamar pas jika pengunjung lagi ramai, tetapi sekarang aku duduk sendirian di bangku panjang itu bermain games.
Aku baru memandang ke kamar pas Mama sewaktu aku berpikir, lebih baik aku pergi ke toko buku saja, biar nanti Mama menyusul ke sana, tetapi... ohhh....
Kain hitam yang menutupi kamar pas Mama ternyata tidak tertutup rapat, masih tersisa sekitar 3 senti dan dari celah sekitar 3 senti itu aku bisa melihat ke dalam kamar pas. Dan dari cermin besar yang terdapat di kamar pas memantul bayangan tubuh Mama yang telanjang bugil!
Melihatnya, jantungku bukan berdebar-debar lagi, melainkan tubuhku lemasnya luar biasa. Dengkulku bergetar hebat tak bertenaga, bahkan tenggorokanku rasanya kering. Dudukku gelisah, karena takut tiba-tiba ada orang yang datang duduk di sampingku. Aku tidak berani memberitahukan pada Mama takut membuat Mama malu.
Akhirnya aku duduk menonton sambil waspada. Mama memakai celana dalam yang tadi dibawanya dari luar.
Kemudian Mama memakai BH, yaitu mengaitkannya dari depan dengan cup BH-nya berada di belakang. Setelah itu cup BH-nya diputar ke depan.
Mama lalu berputar menghadap ke belakang, ke samping kiri dan kanan di depan cermin memandang tubuhnya sexy tidak mengenakan BH dan celana dalam itu.
Tidak lama Mama berputar di depan cermin, mama melepaskan BH dan celana dalam yang dipakainya, Mama bertelanjang bugil lagi.
Kalau dipikir-pikir sebenarnya tubuh telanjang di depan cermin itu bersamaku setiap hari sudah 21 tahun, tetapi kenapa sekarang aku baru melihatnya dan baru menyadarinya bahwa sebenarnya tubuh Mama itu sexy juga, meskipun sudah berbentuk tubuh ibu-ibu?
Kedua payudaranya montok menggelantung dengan puting yang besar mencuat, masih lengkap dengan areolanya yang mengelilingi putingnya yang berwarna hitam.
Perutnya rata dengan bulu-bulu hitam di antara kedua pahanya yang putih mulus memantul dari cermin ke mataku itu membangkitkan gairah lelakiku. Aku tidak mau munafik.
Mama tidak terlihat seperti ibuku yang selalu bersamaku setiap hari itu, tubuhnya benar-benar menggairahkan.
Mana ada laki-laki memandang tubuh telanjang wanita tidak menimbulkan gairah birahinya kecuali ia sudah tidak mempunyai napsu dan impoten?
Aku tidak bisa duduk berdiam diri lebih lama lagi. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik itu, karena tidak mungkin akan terulang untuk yang kedua kalinya seperti ini.
Aku segera bangun dari dudukku mendekati kamar pas Mama seolah-olah aku baru datang dari luar. "Maa..aa..." panggilku dengan suara parau yang bergetar, karena jantungku berdebar-debar sangat kuat.
Mama menengok ke arah datangnya suara yang memanggilnya. "Ee... eee... ee.... jangan masuk dulu..." kata Mama kelabakan entah bagian mana yang mau ditutupinya duluan dengan tangan, atas atau bawah.
Aku melangkah masuk saja. "Ee... ee... e... apaan...?" kataku. "Sudah dari tadi...!"
"Ada orang gak yang duduk di luar?" tanya Mama.
"Untung nggak..." jawabku memeluk Mama dari belakang. Mama tidak mungkin menjerit.
Pelukan itu membuat aku semakin terangsang pada tubuh telanjang Mama. Akibatnya celana jeansku jadi terasa sesak karena kemaluanku yang berada di balik celana dalamku memuai menjadi panjang dan besar.
Kucium pundaknya yang telanjang, "Maa..aaa..." panggilku dengan suara yang mendesah penuh napsu sambil tanganku merayap ke bawah perutnya dan celana jeansku yang ketat menekan ke pantatnya.
"Jangan bermata gelap, Andro....!" tegur Mama. "Disini bukan tempatnya, kalau ketahuan, bisa bikin kita malu..."
Benar juga sih... teguran Mama, tetapi karena aku sudah sange berat sama Mama, maka aku nekat menahan kedua tangan Mama sehingga membuat Mama benar-benar tampil telanjang bulat di depan cermin.
Mama diselamatkan oleh suara berisik yang datang dari kamar pas di sebelah kamar pas Mama.
Tetapi setelah Mama keluar dari kamar pas Mama mengembalikan BH dan celana dalam yang sudah dicobanya tadi ke box obral, Mama tidak jadi membeli.
Aku tidak bertanya pada Mama kenapa tidak jadi membeli, sebab insiden di kamar pas tadi berbuntut panjang.
Kalau saja Mama keluar dari toko pakaian berjalan denganku seperti biasa, berjalan sendiri-sendiri, masalahnya selesai.
Tetapi Mama menggandeng tanganku sambil berjalan menuju ke toko mainan, namun tidak hanya itu saja, melainkan Mama juga merapatkan tubuhnya ke tubuhku, sehingga otomatis bongkahan payudaranya tersentuh lenganku.
Mama seolah-olah menyodorkan payudaranya untuk kusentuh. Maka itu bongkahan kenyal itu sengaja aku genjet-lepas-genjet-lepas sambil berjalan, sehingga di depan mataku Mama menjadi berbeda.
Mama pantas menjadi imajinasi seksualku.
Sesampai di toko mainan, Mama memilih mainan sendiri, sedangkan aku duduk memandang Mama, dari rambut, wajah, leher, buah dadanya, pinggul, pantat sampai kakinya.
Coba saja tubuh itu bisa kugumuli di tempat tidur, batinku.