Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Inferno!

Bimabet
makasih dah mampir @sayhellode... :hore:sepi yah... *ngemilin jangkrik*
 
Lama g mampir di mari, udah jauh aja ceritanya...
Intinya Recto verso... tergantung kita mempercayai Recto ato Verso.nya. g berbeda. :horey:

Dan dilalah Paradiso hanya karya penulis botak yg kerjaanya minum kopi bergelas2 ternyata :pandaketawa:
 
Lama g mampir di mari, udah jauh aja ceritanya...
Intinya Recto verso... tergantung kita mempercayai Recto ato Verso.nya. g berbeda. :horey:

Dan dilalah Paradiso hanya karya penulis botak yg kerjaanya minum kopi bergelas2 ternyata :pandaketawa:
nih gan ane kasih barbuk penampakan buat bacol

Sabar bang, mungkin yg laim lg sibuk teraweh ntar malem mungkin baru nyamperin
hehehe... iya juga kali yah...
 
Wkwkwkwkwkwkwkwkwk...akhirnya dpt sedikit pencerahan...

Thanks om jay...bagus...lanjuut om..
 
yak anda bener... tidak bisa hanya dibaca dari sisi yang ini.... ditunggu sahaja lanjutannya lek ul... satu persatu kita kupas ceritanya.....makasih banyak atas analisanya :ampun:


saya terharu :suhu:

Justru saya yang terharu, Suhu.
Sudah diperbolehkan cuap-cuap, dan menulis hal-hal yang tidak masuk di akal di cerita Suhu. :suhu:

Crossing fate, huh?

Writer's block. :ha: :lol:
Coba main-main ke warung sebelah, Suhu.
Mungkin saja dapat pencerahan sambil ngopi. Hehehe. :lol:
Well played, Suhu. Well played. :thumbup

Sudah mau ending ya?
Bagiku sih, this story end where it begin (Octavarium).

So, let's see what happen next.
:)
 
Terakhir diubah:
silent rider turun gunung , ini saia baru pertama kali baca yg bijigini , misterinya kerasa! keep posting suhu
 
hmmmm ada paradiso dlm inferno....
sayang skali ngga ada purgatorio...
sebagai penengah.. penghubung antara 2cerita....
yah sisi koin tak perlu dihubungkan bukan....

jd konsepnya sperti im yang/yin yang...
harus menyelami keduanya agar jd buah pemikiran yg utuh dari suhu jaya
 
Wkwkwkwkwkwkwkwkwk...akhirnya dpt sedikit pencerahan...

Thanks om jay...bagus...lanjuut om..
hehehe... beda dengan versi 2012... genre misteri emang sejatinya membiarkan sebagian plot ditangkep pembaca... sambil sebagian lagi tetap diselubungi.... makasih buat apresiasinya gan pooh udah ngikutin cerita ane yang ini...


buat yang belum baca... fufufu... :pandajahat:
 
hmmmm ada paradiso dlm inferno....
sayang skali ngga ada purgatorio...
sebagai penengah.. penghubung antara 2cerita....
yah sisi koin tak perlu dihubungkan bukan....

jd konsepnya sperti im yang/yin yang...
harus menyelami keduanya agar jd buah pemikiran yg utuh dari suhu jaya
benar sekali... harus dibaca keduanya biar paha...

purgatorio..? sooon *makanregal*
 
silent rider turun gunung , ini saia baru pertama kali baca yg bijigini , misterinya kerasa! keep posting suhu
makasih gaaan udah turun gunung demi ane... hehehe.... bentar lagi kita buka semua misterinyah.... kita saksikan bersama....
 
hmmmm... izin baca dulu ya om :baca:kayaknya tebakan/spekulasi di kepala ane rada2 salah nih :pandaketawa:dulu udah baca sih, tp kok rada2 lupa ya :pusing: mending ikuti lagi deh... :baca:
hehehe.. iyah kak emang aku ganti banyak plotnya... jadi lebih simpel dibanding versi 2012....
 
Justru saya yang terharu, Suhu.
Sudah diperbolehkan cuap-cuap, dan menulis hal-hal yang tidak masuk di akal di cerita Suhu. :suhu:

Crossing fate, huh?

Writer's block. :ha: :lol:
Coba main-main ke warung sebelah, Suhu.
Mungkin saja dapat pencerahan sambil ngopi. Hehehe. :lol:
Well played, Suhu. Well played. :thumbup

Sudah mau ending ya?
Bagiku sih, this story end where it begin (Octavarium).

So, let's see what happen next.
:)
makasiiiih... maturnuwun....

kita saksikan bersama2....
 
ACHTUNG!

Bagi teman-teman yang belum membaca Paradiso, setidaknya sampai Fragmen 69 atau 70. Berhenti membaca sekarang!. Silahkan Kembali lagi setelah membaca sisi koin yang satunya.

 
Fragmen 13
Rol Film Terakhir

Di dalam Kamar gelap, Sora mematikan lampu, hingga tersisa safelight yang berwarna merah redup. Dengan hati-hati, dimasukkannya rol film itu ke dalam cartridge, kemudian dicelupkannya ke dalam larutan developer, yang mengeraskan lapisan perak halida yang terpapar cahaya, mengupas, mengulas cerita tanpa kata-kata.

Yang kau jerat adalah riwayat
Tidak punah jadi sejarah,

Yang bicara adalah cahaya
dikonstruksi, dikomposisi

Padam semua lampu,
Semua lampu...

Membekukan yang cair...
Mencairkan yang beku...

Jangan kabur berjamur...
Jangan kabur berjamur...

Segala negatif menuju positif...

Kekal.


Tanah mulai bergetar ketika gambar perlahan terbentuk menjadi negatif film. Rak berisi cairan fixer nampak menggelegak, dan beriak-riak. Sora memejamkan mata, berharap getaran itu cuma mimpi, ia tidak boleh gagal, tidak dengan rol film ini.

Aku akan menyelesaikannya.

Perlahan mulai nampak imaji di atas klise yang dikeringkan Sora. Ada cukup banyak foto, kebanyakan panorama gedung-gedung tua, langit, awan mendung, rintik hujan, pemandangan kompleks perumahan peninggalan belanda, semuanya terbingkai indah dalam rangkaian foto yang seperti bercerita, memerangkap Sora ke dalam lorong-lorong masa lalu...
 
Fragmen ???
Purgatorio

~Hujan~

Pijaran lampu blitz berkilau sekilas. Membias ke atas wajah remaja manis dengan poni dan kacamata ber-frame tebal.

Apabila hidup diibaratkan sebuah sinema dalam teater imajiner Maha Raksasa, di mana kita dapat merunut sebuah titik dari rol film dan memutar ulang perjalanan panjang yang bernama hidup tentu ‘dia’ akan masih berada di sampingnya: Pemuda bereragam putih-abu, berambut ikal, dengan sepasang mata yang menatap teduh, seperti sekumpulan uap air yang bergumpal putih di biru langit.

“Cocok,” Awan berkata. Membidikkan lensa ke arah gadis kecil yang sedang asyik membuat sketsa di hadapannya.

“Cocok napa?”

“Cocok jadi model! Gantiin Kak Luna

“Ngejek, yah!”

“Eh, aku serius nih!” Awan mendekat, melepas kacamata Hujan. “Nah, gini kan cakep…” kata pemuda itu sambil memperhatikan wajah Hujan yang langsung merona.

Raina tersipu sambil memainkan rambutnya. “Awan, kamu serius aku cocok jadi model?”

“Dua rius! Kamu lebih natural dari Kak Luna!” Awan menekan tombol picu. Kilatan blitz memberkas ke dalam mata Hujan.

Remaja itu menunduk tersipu.

“Kenapa?”

“Kayaknya mimpinya ketinggian, deh.”

“Lho, apa salahnya punya mimpi?”

Awan lalu menjelaskan tentang visi hidupnya. Bahwa hidup manusia harus dipenuhi mimpi. Kita harus berani bermimpi, tapi jangan hidup dalam mimpi! Kita harus mewujudkan mimpi itu!

“Oke, sekali lagi ya kutanya: apa mimpimu?”

“Komikus!”

“Komikus? Hmm boleh juga… Nggak pengin jadi model?”

“Pengeen jugaa! Aku mau jadi model!”

“Kalau gitu aku yang jadi fotografer!”

“Terus?”

“Aku yang motret kamu buat Vogue!”

“Asyik!”

“Kita wujudin mimpi kita!”

“Serius?”

“Serius!”

“Janji?”

“Janji!”

Dan mereka mengaikan jari, saling mengikat janji.


= = = = = = = = = = = = = = = = =


~Langit~

Hujan. Selama ini Sora hanya mengenalnya dengan nama alias. Tiap malam anak itu selalu bercerita tentang ‘Hujan’, tentang matanya yang bulat lucu, tentang kegemarannya yang sama denganku, melukis. Namun ketika aku bertanya nama aslinya, Awan selalu mengelak. “Panggil saja ‘Hujan’. Aku Awan, dia Hujan, cocok kan?” Awan terkekeh-kekeh, “kami memang ditakdirkan bersama,” tambahnya dengan jumawa. 10 tahun yang lalu.

“Kalau begitu aku jadi ‘Langit’, sahabat-nya Awan untuk mendapatkan Hujan

“Kau? Bocah cengeng sepertimu? Apa yang bisa kau lakukan?”

“Tidak selamanya aku cengeng, tahu. Suatu saat aku akan mewujudkan mimpi-mimpiku sendiri menjadi pelukis paling hebat.”

Senyum lebar mengembang di bibir Awan. “Nanti malam aku kencan sama Hujan,” anak itu berkata di suatu malam, di tahun 2002. “Di kafe di Jalan Legian yang kamu kasih tahu itu,” ucapnya, sambil menjepret-jepret tidak jelas.

“Oh, well selamat, jadi kapan kamu ngenalin dia ke aku?”

“Di sini, bro. Di sini ada fotonya, jegeg pokoknya.” Ia menepuk-nepuk roll film itu dengan bangga. “Nanti akan kukenalkan kalau kami sudah jadian, aku takut kamu malah naksir dia, hahaha...”

“Hahaha, setiap hari selalu anak itu yang kamu ceritakan ke aku, dan nggak aneh kalau suatu saat aku naksir ‘Hujan’ cuma gara-gara mendengar ceritamu

“Bisa jadi. Makanya tak bakal pernah kukenalkan


Sora hanya tergelak mendengar sahabatnya terbakar cemburu. “Ngapain cemburu. Aku yakin kita bertiga akan menjadi sahabat baik. Langit, Awan, dan Hujan.”

Tawa lebar hadir sebagai jawaban. “Pasti,” ucap Awan mantap sebelum menekan tombol picu. Sora segera memicingkan mata menghindari pijaran lampu blitz yang berkilat menyilaukan. Tedengar suara rana yang membuka dan menutup, mengabadikan kenangan dan sepasang sahabat yang saling memeluk dalam dunia yang satunya.

Awan. Bocah tengil yang kutemui saat Sora pindah ke Nusa Dewata ketika ibukota sedang rusuh-rusuhnya, ketika penjarahan dan pembakaran merebak di mana-mana, ketika Tuan Presiden diturunkan secara paksa oleh unjuk rasa yang tak berkesudahan.

Awan. Bocah aneh di sebelah rumah yang selalu membela Sora saat anak itu diganggu hanya karena namanya terdengar berbeda dengan nama mereka yang diawali Wayan, Made, atau Ketut. Bocah optimis yang selalu berhasil membesarkan hatikU yang pesimistis.

Awan selalu berkata kepada Sora, kita nggak pernah minta sama Tuhan dilahirkan di mana, dengan agama apa, dengan nama apa. “Orang bilang itu takdir, Samsara. Bisa apa kita dengan itu semua?”


= = = = = = = = = = = = = = = = =​


Malam itu Awan berangkat menemui pujaan hatinya. Dari sebelah rumah Sora memperhatikan wajah sahabatnya berseri-seri sambil menstarter motor.

“Kalau berhasil, traktir-traktir,” ledek Sora.

“Pasti, lah. Kau juga punya saham karena merekomendasikan tempat kencan

“Jamin diterima

“Doakan saja

“Jangan lupa bawa uang lebih, harganya mahal!”

Awan hanya tergelak-gelak lalu memacu motornya tanpa banyak kata.

Seharusnya aku tidak menyuruhnya ke sana...


= = = = = = = = = = = =


~Hujan~

Seharusnya aku tidak menerima ajakan itu...

Malam itu Raina kehilangan kata-katanya, ia hanya bisa tersenyum-senyum sendiri saat dibonceng melewati jalanan Kuta yang macet dan dipenuhi wisatawan. Hujan melingkarkan lengannya di pinggang Awan, menikmati malam yang sepertinya diciptakan hanya untuk mereka berdua.

“Bilang ibumu, kita pulang agak malam ya,” Awan berkata, saat mereka sampai di sebuah kafe di Jl. Legian yang dipenuhi wisatawan.

“Siap, Bos!” Raina tersenyum jenaka, menikmati pemadangan dari tempat duduk mereka yang terletak di dekat jalan.



= = = = = = = = = = = =​


Alunan musik Bossanova merdu mengalun di kafe bergaya italia itu saat Fruit Parfait dihidangkan.

“Enak!” Mata Raina seketika berbinar melihat es krim yoghurt dengan buah-buahan dan astor di atasnya. Remaja itu mengunyah dengan pipi penuh. Lucu sekali. “Eh, tapi aku dibayarin, kan?” Hujan nyengir polos.

Awan mengangguk dan tersenyum mencurigakan.

“Jangan bilang kamu nggak bawa uang.” Raina mendelik, matanya menyelidik.

“B-bawa kok! S-siapa b-bilang, hehe..” Awan berkata, cepat-cepat menyuap sesendok es krim.


= = = = = = = = = = = =


~Langit~

Malam itu Awan hanya mengirimkan pesan singkat: “SOS. Duit kurang. Besok kuganti.”

Sebagai seorang sidekick sejati, lekas Sora menyusulnya, melewati jalanan Provinsi Nusa Dewata yang terkenal sebagai tujuan pariwisata dan dipenuhi oleh pelancong asing. Tak ada firasat, ataupun pikiran buruk yang melintas. Tidak sedikitpun.

Seharusnya aku tak pernah bisa melupakan saat itu.


= = = = = = = = = = = =


~Hujan~

Sepanjang malam itu, mereka berdua berbincang-bincang tentang berbagai hal, namun Hujan menyadari ada yang aneh dengan Awan malam itu, berkali kali pemuda itu menghela nafas panjang, entah kenapa.

“Hujan,” Awan tiba-tiba berkata.

“Hah

“Hujan, nama belakangmu artinya ‘Hujan’ kan?”

“I-ya.” Raina mengangguk cepat.

“Cocok ya, Awan dan Hujan.” Awan berkata, agak bergetar.

Oh my God... Oh my God... Sekarang nih... Awan mau nembak aku... aduuuh... aku jawab apa? Raina mengerjap-ngerjap panik, “I-ya...”

“Hujan...”

“A-apa?”

Malam itu, Raina tidak bisa melupakan senyum Awan, juga sepasang mata yang menatapnya teduh, seteduh kumpulan uap air di biru langit.

Awan menarik nafas panjang, “Hujan, boleh saya...”

Raina menahan nafas, sebelum terdengar letupan kecil di kejauhan. Mendadak keduanya saling mengernyit dan saling lirik ke sekeliling, ke arah bule-bule yang bersorak sorai mendengar suara letupan kembang api.

“Kembang apinya bagu-s...” Awan tidak menyelesaikan kalimatnya...

Raina tidak tahu apa yang terjadi, ia hanya mendengarkan sebuah ledakan besar, lalu mendadak sekelilingnya terang benderang oleh warna merah menyala.

Dirinya seperti dihempas oleh tekanan maha raksasa, dan Awan hanya bisa memeluknya, melindunginya dari serpihan benda-benda yang berterbangan...

Kemudian pandangannya berubah putih, dan kian meredup...


= = = = = = = = = = = =


~Langit~


Seharusnya aku tak pernah bisa melupakan saat itu....

Tragedi Bulan Oktober...


Sora hanya mendengar sebuah ledakan keras dan bumi yang diguncangkan bak hari akhir yang tiba sebelum waktunya. Sedetik kemudian langit yang mendadak berwarna merah seperti darah.

"Ada bom!" kata orang-orang yang berlarian ke arah Sora. "Di jalan Legian," kata seorang bapak dengan kepala berdarah.


Seharusnya aku tidak menyuruhnya ke sana...


Setengah mati Sora menembusi kemacetan, berlari melawan melawan arus manusia, menembusi kerumunan orang yang panik berlarian ke sana kemari, bahkan tak menghiraukan petugas yang mencoba menghalanginya.


Seharusnya Awan tak perlu ada di sana...


Seharusnya Sora tak bisa melupakan malam itu, di mana Neraka, telah dibawa ke dunia oleh pencari-pencari Surga. Teriakan minta tolong bergema di antara kaca-kaca toko yang pecah, dan kendaraan yang terjungkir balik. Jeritan kesakitan bersahutan di antara api berkobar-kobar, dan asap hitam yang berpusar ke udara. Inferno.



Will never awaken you
Not where the black coach of
Sorrow has taken you
Angels have no thought
Of ever returning you
Would they be angry
If I thought of joining you?
 
Fragmen 14
Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana

Saat ini...

Tanah yang dipijaknya bergetar, menimbulkan riak-riak pada kubangan di jalan berlubang tempat bangkai tikus diurai oleh jasad renik. Hujan yang reda masih menyisakan jejak-jejak air yang menuruni kaca jendela yang berderak seiring kerak bumi yang bergeser dari tempatnya.

Pemuda brewok itu hanya mampu memandangi dari balik kaca etalase, seroang gadis manis yang duduk tenang, menunggui hasil foto. Raina memang tidak bisa melihatnya, tapi ia merasakannya sejelas udara yang dihirupnya. Awan sedang memperhatikannya.

Raina tersenyum, menggeser tempat duduknya, seolah memberi tempat pada sosok tak kasat mata untuk menyongsong akhir kisah mereka.

“10 tahun ya...” bisik Raina getir.

“10 tahun...” Awan menyahuti dari sisi koin yang satunya.

“Saya nggak nyangka selama ini kamu nggak benar-benar mati.”

“Aku tidak bisa lantas pergi. Sora membutuhkanku

Raina tersenyum kecil. “Kau tak pernah memberitahuku tentang Sora.”

“Dulu aku pernah memberitahumu, kan? Dulu aku bilang, kau pasti akan naksir kalau bertemu Sora yang sama-sama gemar melukis

Mata Raina seketika membeliak. “Orang itu?”

“Yah....Langit.... dulu aku memanggilnya Langit,” Awan berucap pelan, “dulu dia bercita-cita menjadi pelukis, seperti kamu... tapi..

“Tapi... apa?”

“Tapi... Semenjak saat itu, Sora tertidur selamanya....” Awan menarik nafas panjang. “ semua gara-gara aku... gara-gara janji bodoh itu ... Sampai akhir, Sora nggak pernah melupakan janjinya...” desis Awan.

Raina tersenyum. “Saya kira, cuma saya yang dijebak rasa bersalah. Ternyata kamu, Sora, kita semua terjebak dalam dunia ini....”

“Kamu sudah tahu

Raina mengangguk. Sementara langit di kejauhan mulai terkelupas. Tanah. Ranting. Gedung-gedung mulai menyerpih menjadi partikel-partikel kecil yang melarut seperti cat minyak...

“Kita tak bisa bermimpi selamanya,” bisik Raina. “Kau yang memberi tahu, kita harus selalu berani bermimpi. Tapi jangan hanya hidup dalam mimpi. Kita harus bisa berani mewujudkan mimpi-mimpi itu.”

Tangis Awan seketika meledak mendengar penuturan Raina, bersamaan dengan tanah yang mulai berguncang. Dibebaskannya segala penyesalan, rasa sakit, dan rasa bersalah yang membelenggunya selamanya ini.

“Bukan salah kamu kalau mimpi-mimpi kita nggak terwujud...... “ bisik Raina lembut, “dengan atau tanpa kamu... aku dan Sora akan mewujudkan mimpi-mimpi kita... kami berdua yang akan melanjutkan janji kita... let it go... aku sedih kalau kau terperangkap seperti ini...”

Raina hanya merasa sosok tak kasat mata memeluk tubuhya erat-erat. Di antara deru tanah yang berguncang, ia mendengar suara Awan membisik di telinganya. 10 tahun ia harus menunggu hanya untuk mendengar,

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana...”

Tiba-tiba bumi seperti diguncangkan dengan guncangan yang keras, langit yang hitam membuka membentuk lubang hitam yang runtuh, meluruh. Langit mendung seperti cat warna yang lumer, jatuh dan menelan kota tua yang berwarna kelabu. Tanah berguncang kencang menghamburkan bebatuan seperti debu.
 
Terakhir diubah:
Sora terhenyak, mengerjap-ngerjap terjaga.

Pemuda itu berada dalam satu ruangan berwarna putih, dengan dinding yang ditempeli ribuan foto. Di tengah ruangan Oom Jay duduk tenang, mengenakan setelan jas, menghadapi sebuah mesin ketik tua, sibuk menulis.

“Selamat datang di kebenaran.”




Fragmen ???
Denial Twist

“Oom Jay, apa yang sebenarnya terjadi? Ini mimpi kan?”


“Mimpi? ini lebih dari sekedar mimpi

“Ini adalah Ruang Kerja saya.” Oom Jay menjawab, sambil terus mengetik. “Tempat mimpi diproduksi dan direplikasi.”

“S-saya.. nggak ngerti...”

“Dunia yang kamu kira kenyataan ini sebenarnya hanyalah mimpi, realitas yang diciptakan dalam alam bawah sadar Sang Pelukis Mimpi yang menyangkal kebenaran tentang kematian sahabatnya.”

Sora mengernyit. Apakah aku masih bermimpi?

“Dunia ini hanyalah Realitas buatan, agar Sang Penidur bisa tetap hidup bersama sahabatnya, namun sekaligus melupakan kematiannya.”

“Pelukis mimpi? Sahabat? Maksud Oom...? Saya nggak ngerti.”

“Awan.” Ruangan bergetar pelan. “Seharusnya anak itu sudah mati, namun Sang Pelukis Mimpi, atau... Kamu... tepatnya...” Om Jay berdehem, “...karena secara teknis kamu, Sang Penidur dan Sang Pelukis mimpi adalah orang yang sama.”

“Oom Jay jangan bicara yang aneh-aneh!” Sora cepat melotot, berjalan mendekat.

“Oh, jadi kamu masih mencoba menyangkal? Itulah, karena kamu menyangkal kebenaran, menyangkal kematian sahabatmu, akibatnya dunia terbagi dua, satu dimana Awan sudah mati, dan satu lagi realitas buatan di mana Awan tetap hidup, menjadi dewasa, dan menemanimu.... di alam bawah sadar.”

Sora menggebrak meja. “Omong kosong!”

Oom Jay terkekeh pelan. “Ini semua... cerita ini... hanyalah alam bawah sadar dari Sang Pelukis Mimpi... dan karena rol film itu sudah dicuci cetak... sekarang Sang Pelukis Mimpi sudah teringat semuanya... maka dunia ini, realitas di mana Awan masih hidup, perlahan kolaps.”

Sora menggeleng panik, melihat ruangan tanpa pintu keluar, dan ribuan foto yang memenuhi dinding. “Awan masih hidup! kami eksis, Oom. Kami hidup, nggak cuma di molekul pikiran!”

“Kita semua cuma homunculi. Homunculus-homunculus yang hidup di dalam Otak Sang Pelukis Mimpi. Saya sendiri adalah Sang Penulis Naskah, Homunculus yang mengatur informasi yang ditangkap sang Pelukis Mimpi, Consious. Sementara Awan adalah Sang Penangkap Citra, Subconsious yang menggerakkan Sang Pelukis Mimpi dengan cara Awan bergerak, berbicara, tanpa disadari,” Oom Jay berdehem, “dan kau Sora, kau adalah Sang Penidur, yang tertidur jauh di dalam limbo, di mana mimpi beranak mimpi, dalam dunia dengan hujan abadi, Unconcious

Oom Jay bangkit, berkeliling ke seantero ruangan.

“Sora, apa kamu tidak penasaran? Bagaimana Kedai Foto kecil saya ini bisa dibanjiri order?”

Udara seperti hilang, dan dada Sora sesak dihadapkan pada twist absurd ini. Pemuda itu hanya mematung, melihat hamparan foto yang ditempel di dinding.

Foto pemandangan Nusa Dewata, sawah yang bertingkat indah. Air terjun yang berkilauan indah. Bidadari cantik tanpa busana yang tersenyum di bawahnya.

Deja vu?

Kemudian ada foto Jalanan yang dipenuhi pelancong, Pub dengan biduanita berambut pendek, dan bertatoo yang memainkan gitar.

Oom Jay dan Sora berpandangan.

“Saya rasa kamu tahu jawabannya.”

“I-ini...”

“Rol film yang kamu cuci cetak, adalah pemandangan yang dilihat oleh Sang Pelukis Mimpi di dalam kenyataan,” Oom Jay berkata, sambil mengedarkan pandangan ke arah foto-foto lain: Pemandangan Bar Di tepi pantai, kemudian Landasan Pacu dengan pesawat yang lewat di atas langit. Foto kebun kopi, pemandangan pancuran tatkala hujan, dan pemandangan langit yang penuh bintang di atas VW safari...

Deja vu...

Semuanya serba deja vu...

Sora lemas, terduduk lemah di lantai.

“Sora, kamu sendiri adalah kepribadian asli Sang Pelukis Mimpi yang disimpan di dalam alam bawah sadar dan hidup bersama Awan, sahabatmu. Sehingga di Dunia Nyata, Sang Pelukis Mimpi bisa mengcopy kepribadian Awan yang optimistis dan bertahan dari kematian yang merenggut sahabatnya.”

“Bohong...” Sora menggeleng pelan, masih mencoba menyangkal.

“Raina, adalah Atraktor Asing. Sang Pelukis Mimpi bertemu Hujan di Dunia Nyata. Oom Jay berdehem, menepuk pundak Sora. “Ketika Sang Pelukis Mimpi berinteraksi dengan Hujan di Dunia Nyata, gelombang otak-nya yang awalnya berada dalam loop teratur, mulai bereaksi, beriak tidak beraturan, akibatnya? Chaos! Realitas buatan perlahan menuju kehancurannya! Gempa, bencana!”

Oom Jay menyalakan sebatang cerutu. “Segala kejadian di dunia ini adalah proyeksi dari kejadian di Dunia Nyata....”

“Indira...” Sora tercetus, berdesis tanpa sadar ketika padangannya jatuh pada wajah blasteran yang familiar.

“Ah, kamu mulai ingat rupanya. Manifestasi kehancuran dunia ini. Hujan yang turun tanpa henti adalah manifestasi penyesalan. Dan segala konflik dalam cerita ini hanyalah pergulatan batin Sang Pelukis Mimpi.

“Pencarian Tuhan....” Sora berucap lemas.

“Sepertinya kamu sudah ingat semua,” Oom Jay menepuk pundak Sora. “Kamu sudah terlalu lama bermimpi, saatnya terbangun.”
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Epilog
End of The Endless Dream

Sora tersentak terjaga di antara puing-puing dan langit yang memerah darah.

“Awan!” Sora bangkit terhuyung, menjerit panik mencari sahabatnya di antara reruntuhan.

Sora mencari-cari sahabatnya, melangkahkan kaki di antara pecahan kaca, dan darah yang berceceran.

“Sora?” suara itu mengerang lemah, Awan terduduk di sebelah meja yang terbalik, memeluk Raina.

“Awan!” Sora mendelik panik, melangkah melewati reruntuhan atap.

Tersengal, Awan menoleh ke arah sahabatnya, melambai lemah.

“Eh, kamu nggak...” Sora membelalak, pecahan besi menembus dadanya, mengucurkan darah segar yang tak berhenti mengalir di antara daging yang tercabik.

Sora memekik histeris, menutupi luka itu, namun darah tak henti mengalir, “Tolong!” Sora memekik, berteriak ke sana ke mari, namun tak ada pertolongan.

Sora mencoba membopong Awan, namun ia hanya menggeleng, “Tolong... Hujan dulu...”

Raina terkulai lemah di pangkuan Awan, di lengan kirinya menyeruak luka yang tak henti mengucurkan darah, hingga tulangnya nampak menyembul di antara luka yang menganga.

Sora tak kuasa menahan tangis, meraung-raung meratapi sahabatnya.

“Langit, kamu jangan sedih... terima kasih sudah datang sejauh ini demi aku... uhuk...” Awan terbatuk lemah. “Makasih... hehehe..” Awan sempat terkekeh. “Ternyata kamu benar-benar menembus Inferno demi aku... tapi...”

“Awan, kamu jangan ngomong dulu... ” Sora menangis tersedu, melihat darah yang tak henti mengucur.

“Tapi dari sekarang... hah... h... h... bukan bagian kita lagi... bukan cerita kita lagi.”

“Awan!”

“Banyak hal, yang ingin aku lakukan sama kalian... tapi...” Awan menatap kosong ke arah langit, “Langit... jaga Hujan buat aku...” ucapnya sebelum pandangannya meredup membuka, hampa.


The End


Malam itu aku mendapati diriku terbaring di atas pasir.

Kudengar debur ombak, kurasai deru angin yang mengembus di daun telinga..

Bagaimana perasaanmu ketika mengetahui bahwa seluruh hidupmu hanyalah mimpi belaka?

Mataku mengerjap, pandanganku masih samar, namun aku bisa melihat Langit penuh bintang, nyala api, dan wajah yang terbaring di sampingku...

Wajah itu yang paling pertama kulihat...

Wajah seorang bidadari dengan lengan kiri dipenuhi tato...

“Ava...” ucapnya pelan.

“Hujan?”
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd