Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA - INEFFABLE -

Status
Please reply by conversation.
hahaha ada apa d
*hiks hiks*

Damn you ninja cutting onion, why....why....can I wrote something this good.

Bagus bang ceritanya, cuman kalo bagian lirik lagunya dihapus, perfect ini cerita.

Lanjutkan perjuanganmu mengalahkan kezholiman JOT.

hahaha ada apa dengan liriknya gan? apa next time kalo ada lagu pendukung suasana ane taro video dari youtube aja?
 
Kok ane update di pc tulisannya kebanned, sedangkan pas komen di hp bisa-bisa aja. Ada yang tau hu? mau update ini padahal :(
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
PART 2 : Phospenes


Aku menyimpan cocard-nya, berharap bisa meminta maaf padanya suatu saat nanti.

Setelah makan siang, aku kembali ke lapangan dan melihat Anin di ujung taman sedang terduduk manis menyendiri di bawah pohon.

Kebetulan disitu ada penjual es krim, aku segera membeli dua buah es krim rasa coklat untukku dan vanilla untuknya. Aku menghampirinya bermaksud untuk meminta maaf.

"Anin?" sapaku padanya,

"Maaf, saudara siapa ya?" tanyanya,

"Waduh baik banget baru kenal udah dianggep saudara," candaku, ia terkekeh.

"Sorry sebelumnya atas kejadian tadi," aku membuka pembicaraan, duduk di sampingnya.

"Hah? kejadian apa?" tanyanya polos, nampaknya ia benar-benar tak mengenali wajahku.

"Itu tadi yang nendang tong sampah sampe salto, itu gue," aku menghadap ke arahnya, memasang muka tulus bersiap menghadapi apapun responnya, dimarahi kah, diteriaki kah, bahkan jikalau ia emosi dan ia menamparku aku sudah siap.

"Ohh iya, gakpapa," jawabnya, tak ada raut dendam sedikitpun terpancar dari wajah cantiknya.

Udah, segitu doang? Cih, gak asik, gumamku.

"Lain kali kalo ada masalah, jangan suka melampiaskan amarah kakak ke benda mati atau orang lain. Gak ada gunanya juga, kayak tadi kakak nendang tong sampah sampai terbalik emang masalah kakak selesai? Enggak kan?" ia menceramahiku, namun tak terdengar logat menghardik darinya, justru kata-katanya mirip seperti seorang ibu yang sedang mendidik anaknya.

Aku terdiam, menunduk ke bawah.

"Eh maaf, bukannya aku maksud ceramahin kakak tapi--" ia panik, begitu lucu ekspresinya saat itu.

"Iya gapapa, makasih ya," jawabku tersenyum kearahnya, ia nampak bingung merespon apa.

"Ini es krim buat lo," ucapku sembari memberikan es krim vanilla yang kubeli tadi.

"Eh?" Anin bingung,

"Anggep aja sebagai permintaan maaf gue," jawabku, sambil mengemut es krim coklatku.

"Ma...makasih," Anin bingung, lucu banget ekspresinya kalo lagi gini. Plonga-plongo polos tak berdosa.

"Gak usah pake kak, kita seumuran kali. Keliatan tua banget gue kayaknya ya," candaku,

"Yaa daripada dipanggil om kan? hahaha," Anin tertawa, ternyata dia asik juga orangnya walau kami baru kenal beberapa menit yang lalu.



Di tengah keheningan, ada seekor kelinci menghampiri kami.

“Lo ada wortel nggak?” tanya Anin tiba-tiba, lalu menggendong kelinci mungil tadi.

“Ha? Yakali pameran teknik gini gue sempet-sempetnya bawa wortel, kalo tu kelinci doyan kabel atau transistor gue ada banyak nih di tas,” jawabku sedikit melawak, namun tidak berjalan mulus.

Anin diam tak menjawab, terlihat raut wajahnya yang tak tertarik dengan leluconku barusan. Ya mungkin antara dia gak mudeng atau emang bego.

“Lo tunggu disini deh, gue mau cari makanan buat mereka,” Anin berdiri dan memberikan kelinci yang sedari tadi nyaman di pelukannya kepada ku.

“Lo nyuruh gue buat gendong mereka?” entah kenapa aku jadi ikut-ikutan Anin memanggil kelinci dengan sebutan ‘mereka’ seakan aku sedang berbicara dengan spesiesku sendiri.

“Ya iyalah masa suruh nete’in mereka,” Anin tertawa kecil lalu pergi meninggalkanku bersama kelinci-kelinci sial ini.

Dan disinilah aku, seorang mahasiswa Teknik Elektro tingkat dua magang jadi penjaga petshop, di kampus orang pula. Beruntung tak banyak orang berlalu-lalang di sekitar taman, hanya beberapa panitia yang sibuk bolak-balik mempersiapkan agenda acara berikutnya yang nampaknya tak terlalu peduli dengan keberadaanku yang sedang menggendong kelinci tak berdosa ini. Sekitar 15 menit aku menggendong pasrah kelinci mungil ini, Anin akhirnya kembali dengan makanan yang dijanjikannya tadi.

“Lo waras ngasih makan kelinci pake takoyaki?” tanyaku saat melihat dua bungkus takoyaki di tangan kanannya.

“Ih kata siapa ini buat mereka, ini takoyaki buat gue tauuu, dan ini sawi buat mereka,”lalu Anin menyuapi kelinci yang masih ada di pelukanku dengan sawi yang dibelinya tadi.

“Kok sawi? Katanya wortel..” ucapku menyindir pertanyaan konyolnya di awal pertemuan tadi.

“Gak ada wortel, ini aja sawi gue beli di tukang mie ayam. Mana abangnya galak pula,”

“Hahaha.. lagian aneh-aneh aja si lo nyari wortel di tempat beginian,”

“Ya kan mana tau ada yang punya,” Anin meringis dan kembali menyuapi kelinci mungil yang nampaknya makin betah di pelukanku. Tak disangka aku punya bakat terpendam menjadi pawang kelinci.

“Jangan lahap-lahap dong makannya, nanti kamu jadi gembul loh kayak--” Anin memotong perkataannya dan melirik ke arahku.

“Apa? Kayak apa?” jawabku setengah melotot ke arah Anin yang sedang tertawa kecil.

“Tuhkan udah gembul galak lagi,”

“Yee bagus ya, udah nyusahin ngeledek pula!” ucapku seraya menurunkan kelinci mungil ini ke tanah.

“Kok diturunin?” Anin menatapku dengan tatapan nanar terpancar dari kedua bola matanya.

“Pegel,” jawabku singkat sambil menggerak-gerakkan lengan kiriku.

“Yah.. ngambek dianya,”

Anin memberikan sebungkus takoyaki yang tadi ia beli kepadaku. Aku masih inget banget, takoyaki itu bermerek “Masteng Takoyaki” berlogo koki gendut yang sedang mengacungkan jempol tangan kanannya dan tangan kiri memegang spatula. Satu bungkus takoyaki berisi 5 buah takoyaki dengan berbagai macam isi, tapi yang Anin berikan berisi cumi-cumi. Entah ia tau darimana kalau aku penggemar berat makanan yang melibatkan cumi-cumi di dalamnya.

“Gak usah, makasih. Gue udah kenyang,”

“Lo beneran marah ya?”

Aku diam.

“Maaf deh.., gue gak maksud kok tadi. Serius..“

Aku masih diam, menunggu respon dia selanjutnya.

“Yaudah kalo nggak mau juga nggakpapa—“

Tatapannya berubah yang tadi ramah menjadi sayu, pupil matanya mengecil tanda penyesalan. Ia menunduk, mengalihkan pandangannya ke kelinci yang sedang bergeliat ria di kakinya.

Seriously, i can’t even look at her eyes when she do this.

“Iya iya gue makan,” aku mengambil takoyaki yang nampaknya sudah mulai dingin dari genggamannya. Ia terkejut lalu kembali menyunggingkan senyum manisnya.

“Yeay! gitu dong.. Makanan itu gak boleh dibuang-buang, kalo kata mama gue dulu kalo makanan itu dibuang, mereka diem-diem nangis di tong sampah,” candanya.

“Makanannya lagi nonton telenovela kali makanya baper,” aku mulai memakan satu per satu takoyaki yang ternyata, enak banget. Sungguh sebuah penyesalan untuk tidak memakannya selagi hangat.

“Yee apaan sih receh!!” Anin tertawa, bibir tipisnya terbuka menunjukkan barisan gigi rapi terawat menambah kecantikan dirinya. Suatu penyesalan tersendiri dalam diriku telah membuat wanita secantik ini bersedih.



Anin memberi waktu sampai aku selesai menyantap takoyaki, sedangkan ia masih sibuk ‘menjinakkan’ kelinci mungil tadi.

“Enak?” tanyanya membuyarkan lamunanku.

“Enak,” aku mengelap tanganku dengan tisu dan membuang bungkusnya ke tempat sampah.

“Makasih ya,”

“Sama-sama,”

“Sering-sering beliin gue ya,” Aku mencoba memunculkan gelak tawa dalam dirinya.

“Yee maunya!!” Anin cemberut, bibirnya manyun yang entah kenapa ekspresinya ini sangat lucu di mataku.

Lalu kami terdiam beberapa saat, aku membuka HP untuk mengecek barangkali ada notif pesan yang masuk namun nihil. Namanya jomblo, akan ada hasrat untuk slalu mengecek notif HP walau kita tau tak kan ada lagi notif “Kamu dimana?” dari dirinya.



“Namanya Jason—“ Anin membuka pembicaraan.

“Takoyaki punya nama?” entah kenapa aku gagal fokus pada saat itu.

“Bukan, kelinci ini namanya Jason.” Anin duduk bersimpuh dan memangku kelinci bernama Jason ini.

“Buset, namanya lebih bagus daripada nama gue.” Aku merespon sekenanya.

“Iya, ini dulu piaraan anak dari tukang kebun disini yang bernama Jason. Dulu mahasiswa-mahasiswi disini suka menyapa Jason, dia anak periang dan ramah. Dulu kemana-mana dia selalu bersama kelinci ini, seakan kelinci ini adalah bagian dari dirinya.”

“Terus, sekarang anak itu kemana?” Aku ikut duduk karena mulai tertarik dengan topik pembicaraan ini.

“Jason meninggal karena suatu penyakit setahun yang lalu, disini.” Suaranya berubah lirih, tatapannya kini kosong.

“Oh... sorry to hear that.” Tanpa sadar aku ikut mengelus lembut kelinci bernama Jason ini.

“Untuk mengenang Jason yang sudah tiada, mahasiswa-mahasiswi disini memberi nama kelinci ini Jason, dan bergantian memberinya wortel setiap harinya,” Anin mengelus lembut kelinci mungil ini, sial aku jadi iri.

“Terkadang.. apa yang kita lihat indah punya masa lalu yang kelam ya..” Anin melihat ke atas, matanya memandang lurus ke langit yang tiba-tiba mendung. Tatapan matanya masih kosong, bak orang yang sedang tenggelam dalam delusi.

“Ya-- begitulah takdir bekerja, bukan? Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dan tak ada guna menyesali suatu hal yang telah terjadi. Hidup ini layaknya sebuah film, Tuhan sang sutradara dan kita aktor di dalamnya. Alur film memang ditentukan oleh sang sutradara, tapi bagus tidaknya adegan dalam film ditentukan oleh seorang aktor.” Aku memegang lembut pundak Anin, berusaha untuk menenangkannya.

Anin menghadap ke arahku, matanya begitu indah hingga sulit untuk kugambarkan menjadi sebuah paragraf, jika ada mata yang bisa tersenyum, mata Anin lah jawabannya.

Aku pun bangun, berdiri seraya merapikan pakaianku yang kusut karena menggendong kelinci tadi. Mataku berkeliling ke arah sudut taman yang baru kusadari sangatlah cantik, bukan tanamannya maupun aromanya, melainkan sesosok wanita cantik dengan rambut panjang sehitam jelaga yang masih terduduk manis bersimpuh lutut di hadapanku.





“Ayo,” ucapku sambil mengulurkan tangan ke arahnya.

“Kemana?” lamunannya buyar seketika.

“K U A!”

“Ih apaan sih,”

“Ya balik ke lokasi lah, gimana sih panitia,”

“YA AMPUN JOB DESK GUE!!”

Anin segera berlari tanpa permisi ke lapangan tempat terselenggaranya pameran, meninggalkanku dengan seribu tanda tanya yang bergelimang di otakku.

Aku menyusulnya kembali ke lapangan, tempat teman-temanku berkumpul dan nampaknya mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang sedang merapikan barang-barang elektronika seperti Dioda, Transistor, Kabel, dan lain-lain.

Ada yang sibuk makan karena saat ini memang jam istirahat makan siang, Ada yang sibuk ranked ML,

dan ada yang baru datang dengan senyum tersungging puas dari wajahnya seperti baru bertemu bidadari yang nyasar dari kayangan dan tersesat di bumi.

Ya, itu aku.



“Kenapa lo senyam-senyum sendiri? Jackpot ?” goda Feri, salah satu rekan praktikumku yang kebetulan bertugas bersamaku untuk menjaga stand hari ini.

“Sembarangan, Enggak itu gue baru sadar taman di belakang sana bagus banget,” ucapku berusaha menutupi kesenanganku.

“Yaelah taman doang, kampus kita kan juga punya. Lebih luas pula,” Feri asal nyeletuk sambil tetap mengunyah tomyam ayam-nya.

“Ya.. tapi di taman kita nggak ada dia,” jawabku hampir kelepasan.

“Dia?”

“Kelinci,” ucapku gelagapan.

“Lo sakit ya?” Feri menempelkan tangannya di dahiku.

“Nggak panas—“

“Dah ah gue mau sebat dulu,” ucapku seraya menampikkan tangan Feri dan berjalan pelan ke parkiran.




Ett.. siapa namanya tadi?

Oh iya, Anin.



Semoga aku bisa bertemu denganmu suatu saat nanti.
 
Terakhir diubah:
Gan kok ga bsa read update ceritanya ya? Muncul spammer detect mulu
 
Gan kok ane ga bsa read update ceritanya ya? Muncul spammer detect mulu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd