Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Scene 12
Hati-Hati


Iliana Desy Prameswari


“Lho... lho Des!” ucapku mencegah Desy yang mengambil tas yang berada di leher Varitem. Kami sudah berada di depan kosnya saat ini.

Aneh. Dia memang aneh. Sampai di kos, tidak terlihat santai sama sekali. Tiba-tiba saja melompat dan langsung berlari masuk ke dalam kosnya. Aku hanya bersedekap memandang tingkah anehnya. Berdiam sejenak di atas Varitem, sambil menikmati sebatang Dunhill.

“Ah, seakan sudah sangat lama dari waktu terakhir aku menyulut batang dunhill,” bathinku.

Aroma asap putih mengingatkanku pada saat perjalanan tadi. Ya, ketika aku dan gadis penyihir itu berkendara menuju kosnya. Dia memelukku erat, seakan dia tidak lagi curiga denganku. Bukan curiga tentang kejadian tadi, tapi stempel yang dia cap-kan ke aku. Apa cap ‘mesum’ yang pernah dia sematkan kepadaku sudah hilang? Aku yakin belum, kalaupun sudah kenapa tadi pas ada kecoa di punggungnya dia masih mengatakan aku mesum?

Hufth, aneh sekali hari ini. Setelah kasus pembunuhan, sekarang misteri tentang penyihir. Entah kenapa tadi begitu erat dia memelukku. Dia tidak risih ketika melakukan itu. Tidak, tidak seharusnya dia melakukan itu. Dia adalah gadis dewasa di antara yang lainnya. Seharusnya dia sadar akan posisinya, dia sudah memiliki seorang kekasih. Tapi, ketika kedua tangannya melingkar di tubuhku. Tidak, jika dia sadar akan posisinya dan hanya mencari tempat berpegangan dia tidak perlu melingkarkan tangannya keseluruh tubuhku. Cukup memegang pinggulku, dan tidak perlu memeluk.

“Hash! Masa bodoh!” kesalku dengan otak yang selalu beranalisa.

Kulempar dunhill ke bawah dan menginjaknya. Aku segera bangkit dari motor, melangkah masuk ke dalam kos gadis penyihir. Sesampainya di kamar kos, pintu tertutup. Jadi kuputuskan untuk duduk dan kembali menyulut Dunhill di depan kamar kosnya. Ndak rugi rasanya aku ndak langsung masuk tadi. Pemandangan itu, perempuan-perempuan dengan baju pendeknya menghiasi mataku. Seperti di surga, benar-benar membuatku...

Klek...

Suara pintu kamar Desy terbuka tapi aku tidak menghiraukannya. Pemandangan di depanku lebih asyik untuk...

Bugh!

“Argh...” aku langsung menegakkan tubuhku. menoleh ke arah pintu, ternyata Desy sudah berdiri dengan wajah masamnya.

“A-ada apa to Des?” tanyaku dengan menahan sakit.

“Matanya dijaga!” hardiknya.

“Lha sudah aku jaga, lha kalau yang tersaji seperti itu, masa aku menyalahkan mataku?” balasku tak mau kalah.

“Kamu ini dikasih tahu malah melawan, gak ilang-ilang ya me...” ucapnya terhenti.

“Mesum? Hayah... dari kemarin itu terus yang dibahas, kalau aku memang mesum, napa coba kamu mau temenan sama anak mesum seperti aku?” balasku bertanya dan juga memotong kata-katanya. Mataku kembali melihat ke arah depan.

“Eh, kenapa tak ada balasan?” bathinku.

Aku menoleh ke arah Desy.

“Iya... iya maaf, kamu gak mesum Ar,” ucapnya, yang kemudian lewat didepanku menuju dapur.

“Gitu aja marah,” gerutunya.

“Heh? Ini beneran Desy atau bukan sebenarnya? Kenapa tiba-tiba berubah drastis seperti sekarang ini? Biasanya dia kalem, tidak semenjengkelkan ini,” bahtinku, sembari memandang dari belakang ketika hendak ke dapur.

“Gede banget pantatnya,” lirihku.

Tiba-tiba dia menoleh, menatapku tajam. Kubuang muka ke arah depan, melihat kembali pemandangan yang tadi, sembari sedikit melirik ke arahnya. Kukira dia akan berbalik dan menghajarku. Rupanya aku salah, dia kembali melanjutkan langkahnya. Aku masih menanti di bangku depan kamar kos desy ditemani batang dunhillku yang ke dua. Selang beberapa saat dia pun terlihat, membawa nampan besar menuju ke arahku.

“Ar, itu meja kecil yang di depan kamar sebelah diambil, taruh depan sini,” perintahnya dengan gerakan kepala.

Aku mengambil meja dan menaruhnya di depan bangku. Nampan berisi dua gelas minuman dan gorengan diletakkan di atasnya. Terakhir, dia duduk tepat disebelahku.

“Wuih, enak tuh gorengannya” ujarku, ketika melihat santapan lezat.

“Dimakan Ar, itu tadi pesananku. Aku biasa pesan sama adik kos,” ucapnya. Tanpa berbasa-basi lagi aku langsung mengambilnya.

“Oia, Ar...” selanya.

“iymmm dapammm desmmm,” jawabku sembari mengunyah makanan.

“Tadi ituuuu yang gede apa?” tanyanya, dengan satu tangan menyangga kepalanya yang mengahadap ke araku.

“Hukkk uhuk uhk uhk..” aku langsung menyambar gelas dan meminumnya

“Aaaaah... i-itu anu... kos kamu Des, be-beneran kos kamu,” jawabku.

“Bukan pantat?” tanyanya tanpa basa-basi.

Aku langsung terdiam...

“Hmmm...” gumamnya

“Iya iya aku mesum...” jawabku, tanpa mengacuhkannya aku mengambil kembali gorengan. Maklum, lapar.

Tak ada percakapan selanjutnya. Aku fokus pada makanan yang di depanku. Sesekali aku meliriknya, dia tersenyum sembari menikmati segelas minuman. Pandangannya lurus kedepan, memandang teman-temannya yang sedang sibuk dengan kamar mereka masing-masing. Ada juga yang sibuk dengan pacarnya.

“Kamu pulang nanti, setelah ditelpon,” ucapnya lirih, sedikit menoleh ke arahku.

“Memangnya kenapa? adakah sesuatu yang ingin kamu ketahui?” balasku bertanya.

“Tidak, hanya ingin... ya pokoknya kamu pulang setelah ditelepon,” jawabnya.

“Iya, iya... asal kamu jaga rahasia,” balasku.

“he’em...” jawabnya pandangannya kembali lurus kedepan.

“Oia Des, kenapa tadi sematponku bisa ada di kamu? Terus itu, kok kamu bisa tahu aku ada di dalam gudang? Dan itu juga, kamu kok boleh masuk ke dalam gedung lab? Padahal kan dijaga ketat,” tanyaku memberondong.

“Hi hi kamu itu kalau tanya satu-satu Ar. hmmm....” dia meletakan gelasnya kembali di meja. Duduknya merapat, kepalanya bersandar di pundakku.

“Tadi kamu lupa bawa sematpon kamu di kantin pas dengar teriakan. Aku mau kasihkan ke kamu, tapi takut. Kelihatannya ada sesuatu yang menakutkan yang sedang kamu datangi. Makanya aku simpan. Selang beberapa saat, polisi menggiring mahasiswa ke dalam ruang kuliah. Sebenarnya aku tadi juga aku sudah berada dalam ruang kuliah, terus minta ijin keluar. Di luar aku bilang ke polisi yang jaga, untuk mengantar sematpon kamu kalau ada panggilan dari keluarga kamu. sebenarnya bohong kalau ada panggilan, cuma penasaran saja... kamu lama balik,” jelasnya.

“Lha itu ruang gudang?” tanyaku.

“Tadi pas naik ke lantai dua, liat kamu masuk. Lagipula beruntung kan ada aku? Coba kalau gak ada aku, bakalan ketahuan kamu tadi, pintunya gak kamu tutup,” jelasnya.

Aku cuma tertawa terkekeh. Memang benar apa yang dikatakan Desy, kalau saja tadi dia tidak datang, pasti sewaktu orang itu masuk aku akan ketahuan karena tidak menyadari kehadiran orang itu. Tapi... aku seakan tidak asing dengan suara itu, di mana ya bertemu dengan orang itu, aku lupa.

Kemudian dia bercerita kepadaku tentang Winda, yang seakan khawatir denganku yang tiba-tiba saja lari menuju ke gedung laboratorium. Dia sempat menenangkan si manja, dan dia juga sangat heran dengan si manja. Karena baru kali ini dia melihat Winda, sangat khawatir dengan seorang laki-laki. Mantan pacarnya saja yang dulu tidak begitu dikhawatirkan walaupun si mantan pergi ke naik gunung, touring atau apalah. Sesekali dia bertanya kepadaku, apa yang sebenarnya aku perbuat terhadap Winda?

Santai aku menimpali setiap keheranannya dengan jawaban yang sama dengan ceritaku kemarin. Aku ceritakan kepada dia, bahwa tak ada yang aku perbuat kecuali yang aku ceritakan kemarin. Sedikitpun aku tidak mengubah isi ceritaku. Desy memang awalnya menaruh curiga tapi kemudian tersenyum dan mengatakan padaku.

“Mungkin ada sesuatu dalam diri kamu yang membuat dia hidup kembali,” lirihnya.

“He he... bukan aku saja. Kalian semua. Aku sudah ceritakan bukan? Setiap orang memiliki arti untuk orang lain Des, begitu halnya kamu untuk teman-temanmu, termasuk aku. Jadi jangan berpikir yang tidak-tidak mengenai aku dan Winda. Aku sendiri juga tidak begitu mengerti sikap Winda yang berubah seperti saat ini,” balasku.

“iya, aku tahu... nanti malam aku, Dini dan Dina bakal nginap di kos Winda. Tapi mungkin dia masih tidak akan cerita kenapa dia jadi manja ke kamu, palingan dia akan menceritakan yang sama dengan yang kamu ceritakan. Karena ya itu, kemarin juga sempat cerita ke Dini dan Dina, dan cerita sama persis dengan kamu cumaaaa...” kata-katanya terhenti dengan nada yang mmebuatku penasaran.

“Cuma apa Des?” tanyaku.

“Cuma dia gak cerita sama Dini dan Dina, di bagian kamu ‘meremas’..” ujarnya.

“Eh... he he he... lha kamu kan yang minta aku cerita detail he he,” jawabku.

“Huh, dasar culun hi hi hi,” candanya tanpa cubitan atau kekerasan yang lain. Tangannya menutupi bibirnya ketika tersenyum.

Aaah, ini ya ini, Desy yang sebenarnya. Beda dengan yang tadi itu. Dari sisi ini aku melihat keanggunan seorang perempuan. Tawanya tertahan oleh telapak tangannya. Rambutnya, walaupun di ikat dibelakang, masih ada beberapa helai yang terurai jatuh ke wajahnya. Aku tersenyum memandangnya.

“Hei, Ar, kok bengong?” tanyanya menyadarkan aku.

“Eh, endak kok Des, endak... he he he,” jawabku sambil menggaruk kepalaku.

“Huh Dasar kamu itu,” pukulan pelan di bahuku, tak lagi sekeras pukulan-pukulan sebenarnya.

“Oh iya, tas kamu di dalam. Ngrokok dulu aja gak papa, terus istirahat di dalem. Aku mau tiduran bentar dan....” dia kemudian berdri merenggangkan kedua tangannya

“Pulang setelah di telepon,” ucapnya sambil menjulurkan lidahnya. Dia kemudian melewati depan wajahku, menuju ke kamar kosnya. Tepat saat dia akan membuka pintu kamar...

“Des! Tikus des! Tikus!!” candaku dengan teriakan yang serius

“Aaaaaaaaaaa...”

Dia langsung jongkok, dengan kedua tangan disamping kepala. Kedua tangannya gemetar.

“Buang Ar... buaaang buaaaang...” suaranya memelas dan memohon.

“Ha ha ha ha ha... lucu lucu lucu ha ha ha...” tawa kerasku dengan satu tangan memgang perut dan satu lagi menunjuknya.

“Hayoo indak oyeh anyis ndak oyeh cedih ha ha ha,” candaku.

“Eh...”

Dia tiba-tiba berhenti dari ketakutannya. Memandangku, kemudian perlahan bangkit. Sebuah respon yang tidak sesuai dengan apa yang terlintas dalam pikiranku. Aku mengira dia akan marah, tapi yang aku lihat sekarang membuatku menghentikan tawaku. Kami masih saling berpandangan. Kumiringkan kepala sebagai bentuk keheranan. Tapi tatapan matanya sama dengan kemarin ketika aku ke kosnya.

“Des?” tanyaku lirih

“Eh...”

“Arta! Jangan nakut-nakutin lagi! Huh!” bentaknya.

Dia langsung masuk ke dalam kamar kos. Entah apa yang terjadi dengannya, aku tidak tahu. Kenapa responnya berbeda, aku juga tidak tahu. Kalau saja itu tadi Dini, bisa jadi seribu pukulan meluluh lantakan wajahku. Mataku terus memandang hingga pintu kos tertutup. Masih dengan ribuan pertanyaan, aku mengalihkan pandanganku ke pemandangan sebelumnya. Pemandangan surgawi yang berada di dunia dengan teman “tak abadiku”, Dunhill.

Aku masuk ke dalam kamar kos, setelah sebatang dunhill aku habiskan. Kulihat dia sudah tertidur, tanpa selimut menutupi tubuhnya. Padahal pendingin ruangan menyala dan udara terasa sangat dingin. Ku ambil selimut dan ku selimutkan ke tubuhnya. Aku kemudian tiduran di karpet, memandang langit-langit kamar Desy. kuletakan sematponku di sampingku. Berjaga-jaga kalau mas Jiwa tiba-tiba menelepon. Lelah dan terlelap.

.
.
.

Tulit tulit jreng tulit tulit jreng.

“Eh, suara ini sepertinya aku pernah mendengar,” bathinku.

Mataku masih terpejam tapi seakan-akan nyata sekali suara ini. Alarm? Atau apa sebenarnya? Tapi kenapa semuanya tampak gelap. Sebenarnya aku ini tidur atau apa?

“Ar... Ar... banguuunn,” suara itu terdengar lembut sekali. Kurasakan tubuhku bergoyang pelan.

“Eh... ughh...”

“Desy? Kok...” tanyaku heran, melihat Desy ada di sampingku.

“Aku dimana?” tanyaku.

“Hmmm... dikamar kosku Arta, jangan sok hilang ingatan.”

“Itu sematpon kamu bunyi,” ucapnya, samar aku melihatnya menunjuk ke arah sematponku.

Ah, kenapa aku baru sadar kalau aku berada di kamar kos Desy. Satu tanganku mengucek mataku dan satunya lagi meraba-raba mencari sematponku. Pandanganku masih sedikit rabun, tapi aku bisa melihat layar sematponku. Mas Jiwa. Aku segera mengangkat teleponnya, kutempelkan di telinga kiriku.

“Halo Mas... hoaaammmhhh...”

“Capek Ar?” terdengar suara mas Jiwa disertai suara mengunyah makanan.

“Iya mas, ini tadi habis tidur.”

Desy langsung mendekat, telinganya di tempelkan di sematponku. Posisinya duduk dengan memeluk kedua kakinya. Kaos yang dikenakannya memang tidak begitu ketat, longgar, menutup hingga bagian leher. Cuma ya itu, itu, aduh kenapa mataku malah fokusnya ke bagian yang terhimpit. Sial, kelihatannya lebih besar dari pada punya Ainun dan Winda.

“Oh... minum dulu, cuci muka, buat teh dan nyalakan rokok Ar. karena ini bakal lama.”

Kata-kata mas Jiwa dari dalam telepon membuatku tersadar.

“Ya mas”

Mas Jiwa kemudian menutup teleponnya. Kuletakan sematpon di depanku. Desy menarik kepalanya, kami saling berpandangan. Aku julurkan lidahku ke arahnya. sikunya kemudian menyenggol lenganku.

“Aku pinjam kamar mandi,” ucapku sembari bangkit.

“Iya, kalau nanti mau minum teh sambil ngrokok, telponnya di luar,” ucapnya. Aku mengangguk. Lalu berjalan ke arah kamar mandinya.

“Ar...” aku berhenti dan setengah menengok kebelakang.

“Matanya dijaga.”


Aku terkejut dan langsung menundukan wajah, melanjutkan langkahku ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi aku merasa sangat malu. Memang benar-benar pikiranku itu pikiran mesum, bisa jadi. Lha, tak kira itu tadi pas tidak sengaja lihat, si Desy tidak tahu. Ternyata matanya awas sekali. Tapi yang membuatku heran itu kenapa dia masih betah dengan teman yang matanya tidak bisa dijaga seperti aku ini, ya? ah masa bodohlah...

Sekeluarnya dari kamar mandi. Teh hangat dan juga camilan sudah tersedia di atas karpet putih dengan alas nampan. Ruangan yang biasanya tertutup rapat, kini jendela terbuka semua, kecuali pintu kamar kos. Di dekat jendela sudah ada kursi dan meja kecil.

“Dah di dalam saja, kelihatannya penting, kalau di luar bisa berbahaya kalau ada yang tahu,” ucapnya sembari mengambil nampan.

“Eh, lha nanti kalau aku ngrokok?” tanyaku.

“Endak papa to to to to... asal sebatang saja!” ejeknya diakhiri sebuah penegasan.

“I-iya iya...” jawabku.

Aku melangkah duduk di kusen jendela. Dia mendekatiku, duduk disampingku kemudian setengah berbisik kepadaku agar volumenya diperbesar. Hah, daripada diancam, aku lebih baik mengiyakannya. Aku kemudian mengirimkan pesan ke mas Jiwa, dan selang beberap saat dia menelepon.

Di awal percakapan, Mas Jiwa masih berbasa-basi, baru selang beberapa menit kemudian percakapan menjadi serius. Si Desy juga serius sekali menempelkan telinganya. Sial, itunya bikin gagal fokus. Gara-gara mataku, hidungku dibetet sebentar olehnya.

“Ar, ada yang ingin kamu tanyakan mengenai perihal kejadian tadi pagi.”

“Eh, iya mas ada... mengenai profesor.”

“Ada apa dengan profesor? Dia sudah mati.”

“Eh, tidak, aku punya firasat dia masih hidup.”

“Ha ha ha sudah kuduga, aku tidak pandai menyembunyikannya.”

“Eh, maksud mas?”

“Ya. Dia masih hidup.”

Desy langsung memberikan sebuah respon keterkejutannya. Sejenak kami berpandangan, mataku lagi-lagi, ah! Tapi kemudian dia kembali menempelkan telinganya di sematponku, lalu membetet hidungku sebentar. Tanda dia tahu yang aku lihat.

“Syukurlah, ta-tapi kenapa mas tadi mengatakan kepada mereka semua kalau profesor sudah meninggal?”

“Demi keselamtannya, di dalam kampusmu sudah ada orang yang mengintai. Universitasmu, tepatnya fakultasmu adalah tempat dimana orang-orang yang memiliki pengaruh. Ingat, apa yang dikatakan adikku? ada yang ingin kembali menentang keluarga kita, dan kampusmu dulu adalah tempat orang-orang yang mendukung kakekku.”

“Ja-jadi..”

“Iya, mereka ingin menyingkirkan orang-orang itu. Sebenarnya banyak yang ada di sana, para pendukung keluarga kita.”

“Ta-tapi kenapa profesor? Bukan yang lainnya?”

“Hei. Jika kamu membunuh harimau, tapi yang kau tebas ekornya, dia masih bisa mengaum dan menerkam.”

“Ja-jadi, mereka mengincar para petinggi-petinggi yang mendukung ‘keluarga’? sehingga orang-orang yang di bawahnya akan kehilangan nahkoda? tapi mas, kalau mas menyembunyikan kematian profesor padahal profesor masih hidup, itu sama menghilangkan seorang nahkoda kapal?”

“Ha ha ha... kamu memang pintar Ar, tapi tak semudah itu mereka mengetahui siapa awak kapalnya. Mereka bermain teratur, kita pun sama.”

“Ta-tapi mas, tadi...”

“Apa?”

Aku kemudian menceritakan ketika aku bersembunyi. Setelah semua analisa selesai, seorang lelaki masuk ke dalam ruang gudang. Menelepon seseorang yang dia panggil sebagai “Bos”. Secara detail aku menceritakan percakapan sepihak yang aku dengar. Juga mengenai hasutannya.

“Ar...”

“Ya mas.”

“Aku hanya bisa berpesan kepadamu untuk berhati-hati. Aku sudah tahu jika ada orang yang berada di dalam kampusmu. Dan kejadian tadi pagi setelah aku mengintrogasi pelaku, dia mengatakan ada orang yang mengirimkan foto-foto profesor dan istrinya. Tapi dia tidak tahu siapa orang tersebut. Hanya nomor pesan instan yang sekarang tidak bisa dihubungi. Jika dari keteranganmu orang itu sama dengan orang yang kamu ceritakan. Berhati-hatilah...”

“Ya mas, karena orang itu sudah mencurigaiku.”

“Maka dari itu, berhati-hatilah... oia satu lagi...”

“Apa mas?”

“Dapat salam dari profesor. Dia sudah siuman.”

“Iya mas, salam balik. Semoga saja semua cepat selesai.”

“Ha ha ha, aku juga berharap hal yang sama tapi mungkin akan lama. Oia, aku juga menceritakan kejadian tadi pagi, dan tahu apa yang dia katakan kepadaku”

“Eh, apa mas?”

“Kamu mirip dengan orang yang dia kenal.”

“Mirip? maksudnya?”

“Aku ingin mengatakan kepadamu. Jujur kamu mirip dengan seseorang menurutku. Tapi Profesor mengatakan hal lain. Kamu mirip dengan dua orang yang dia kenal.”

“Eh... maksudnya mas?”

“Ha ha ha.... Berhati-hatilah, dan besok ketika masuk kuliah bersikap seperti biasa, Sudah, kapan-kapan kita sambung lagi.”

“Mas... jangan ditutup dulu, itu tadi mirip siapa?”

“Ha ha ha... aku juga tidak tahu, sudah bye.”

Ah, sial dia tiba-tiba menutup teleponku. Ya sudahlah. Kalaupun aku meneleponnya balik, dia tidak akan membukannya. Aku kemudian termenung tentang apa yang baru saja dia bicarakan. Seakan-akan semuanya menjadi semakin runyam, mungkin kalau di desa aku tidak akan seperti ini. percakapan yang panjang dan lebar, tapi malah membuatku penasaran. Dan ditambah lagi untuk menyulut dunhill saja aku tidak sempat.

Aku terdiam terpaku melihat lantai dari tempatku duduk di kusen jendela. pikiranku melayang entah kemana. Apa yang sebenarnya akan terjadi padaku di kota ini? aku menjadi sangat gugup. Ditam...

“Sudaaaah... jangan kamu pikirkan terus, jalani,” ucapan lembut keluar dari bibir perempuan di sampingku. Tangannya yang lembut menggenggam tanganku.

“Eh, Des...” aku tersadar, memandangnya yang tersenyum manis ke arahku.

“Mbaknya pegang-pegang tanganku, bayar mbak,” candaku.

“Eh, siapa lagi yang doyan pegang tangan kamu. Tadi itu ada serangganya tahu,” balasnya sambil berbalik membelakangiku.

“Iya ada serangga. Sepertinya di tubuhku juga banyak serangganya. Weeeeek...” candaku membuatnya teringat kejadian di gudang dimana dia setengah tertidur memelukku

“Arta! Kalau kamu ungkit lagi, aku marah!” bentaknya.

Aku bangkit dan berlari sembari meraih minuman yang dibuatnya menuju pintu kamar kosnya. Ada sedikit minuman yang tumpah, tapi tak aku hiraukan. Setelah berada di luar, aku langsung menutup pintu dan memegangi ganggang pintunya. Terdengar teriakan amarahnya yang keras, membuatku semakin tertawa terbahak-bahak. Akhirnya aku membukanya, dan ‘plak’ sebuah pukulan ringan mendarat di lenganku.

Aku kemudian duduk di lantai, menghadap ke arah kursi dimana dia duduk. Jaraknya tidak ada sekitar setengah meter. Jelaslah, ngisi paru-paru dekat dengan perempuan sama saja menyulut api diatas bensin. Pelan kemudian, aku memeluk kedua kakiku. Meletakan pipiku, bukan maksud membuang muka, hanya pikiran-pikiran di dalam kepalaku seakan tidak mau berhenti untuk berlari.

“Kenapa?” tanyanya.

“Ndak papa Des,” jawabku.

“Gak mungkin, pasti ada yang kamu pikirkan Ar,” balasnya.

“Aku ingin pulang. Ke kampung. Semenjak aku menginjakkan kakiku di kota ini, semuanya menjadi semrawut, carut marut. Mungkin jika aku di desa aku...” keluhku yang terhenti ketika kuraskan satu tangannya menggoyang tubuhku.

“Hei...” ucapnya memotong ucapanku. Aku tetap berada di posisiku.

“Jangan pulang. Keberadaanmu di sini membuat semuanya menjadi aman. Ingatkah kamu kejadian di perkemahan? Jika tidak ada kamu, apa yang akan terjadi dengan Andrew. Ada atau tidaknya kamu, pasti kami tetap akan kesana. Aku, juga yang lainnya, beruntung ada kamu,” jelasnya panjang lebar.

“Tapi ini semakin arghh...” aku menegakan kepalaku, memandangnya. Dia duduk dengan kedua kakinya rapat kedepan, siku tangannya menopang tubuhnya, dia sedikit menunduk.

“Teruslah menari... hingga kamu lelah untuk menari,” ucapnya.

“Eh..” aku terkejut. Kata-kata dan senyumanya, sama dengan malaikat itu. apakah dia malaikat yang menyamar menjadi penyihir. Kata-kata itu seperti menyihirku, membuatku terdiam menatap matanya.

“Ada apa?” tanyanya lirih.

“Ti-tidak,” jawabku, aku membuang muka dan kembali ke posisiku.

“Beneran gak ada apa-apa?” ucapnya sembari menggoyang tubuhku beberapa kali.

“Iya Des, ndak ada apa-ap...” ucapku terhenti ketika aku membalikan wajahku, pandanganku...

“Dasar...” ucapnya dengan menyentuhkan ujung jari telunjuknya ke keningku. Mendorongnya pelan. Bibirnya tersenyum.

“Ma-maaf, ti-tidak sengaja Des...” aku membuang muka.

“Hi hi hi iya, aku juga yang salah terlalu membungkuk. Dah, pokoknya kamu jangan berpikir untuk pulang. kalau sampai kamu berpikir untuk pulang, aku akan marah sama kamu selamanya,” ucapnya sembari berdiri, membenarkan pakaiannya. Ketika dia menariknya, aku melihat, seperti gundukan pepaya. Tapi kelihatannya dia tidak sadar, jadi lebih baik aku membuang mukaku.

Dia mengatakan kepadaku untuk bersiap-siap pulang, karena dia akan berkumpul dengan teman-temannya. Aku segera bangkit, mematikan dunhill. Aku ikut masuk ke dalam kamar kosnya, mengambil tas, kemudian menungguk di bangku depan kamarnya. Sesaat kemudian dia keluar, dan kami berjalan bersama ke tempat parkir.

Desy, kemudian menungguiku di samping motorku. Menunggu hingga aku siap untuk berkendara pulang.

“Ar, hati-hati,” ucapnya, dan aku mengangguk. Lalu aku memundurkan motorku.

“Dan satu lagi Ar,” lanjutnya, aku menoleh.

“Jaga matanya,” kata-katanya membuatku malu sekali. Aku Cuma megangguk dan mengangguk saja. benar-benar malu.

“Daaaaaah...” kata-kata terakhir yang aku dengar ketika aku menarik gas motorku. Aku mengangkat satu tanganku sebagai tanda perpisahan. Hanya perpisahan sementara.

Kukendarai motorku, tapi bukan ke arah kontrakanku. Ke rumah kakak perempuanku. Paling tidak aku berada di sana, ada yang bisa memarahiku. Karena ada satu janji yang belum aku tepati, omen. He he...

Tulit tulit jreng tulit tulit jreng.

Aku berhenti sejenak. Mas Jiwa meneleponku lagi. Apakah ada yang ingin dibicarakan?

“Ya mas, Halo?”

“Ar, Lagi di jalan?”

“Iya ini mas, lagi mau jalan-jalan.”

“Jaga perempuan yang baru saja bersamamu.”

Aku terkejut ketika mendengar kata-kata mas Jiwa.

“He he maksud mas apa? perempuan siapa?”

“Ar, kamu tidak perlu bersandiwara. Aku tahu di mana kamu berada sekarang.”

“Ja-jadi mas memata-mataiku?”

“Hmmm... bukan memata-matai, hanya memastikan kamu selamat. Karena aku tidak ingin sesuatu terjadi denganmu, juga gadis itu.”

“Eh... I-iya mas, ma-maaf, aku memang bersam...”

“Jaga gadis itu baik-baik, jangan libatkan terlalu dalam. Sekalipun dia tahu tentang apa yang kamu lakukan, aku yakin dia akan selalu menjaga rahasiamu. Tapi ingat... jaga dia baik-baik. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Jaga Desy.”

“Eh, mas, tapi kenapa mas tahu tentang Desy?”

“Ayahnya.”

“Ayahnya?”

“Ayahnya, semasa beliau masih hidup adalah sahabat dari Ayahku dan juga. Yang membetuk ‘Keluarga’ kita. Dia keluarga kita juga, tapi dia tidak pernah tahu tentang keluarga ini. Berjanjilah, jaga dia baik-baik.”

“I-iya mas.”

“Jika terjadi sesuatu padanya, aku tidak akan memaafkanmu.”

“Eh, i-iya mas i-iya.. segitunya mas sama aku.”

“Ya sudah, kapan-kapan kita sambung lagi.”

Telepon ditutup. Aku masih memandang layar sematpon, semakin lama semakin redup dan menjadi gelap. Desy, dia ada kaitannya dengan ‘Keluarga’ tapi dia sendiri tidak tahu mengenai keluarga. Ayahnya, adakah sesuatu yang terjadi dengan ayahnya? hingga mas Jiwa benar-benar mewanti-wanti aku.

“Desy... tidak perlu kamu katakan itu aku juga pasti akan menjaganya mas. Karena aku tidak ingin kehilangan seorang sahabat, seorang penyihir. Penyihir yang menyerupai malaikat,” bathinku.

Kulihat bintang di atas tempatku berada. Terang sinarnya. Ada juga rembulan di sana. Ingatanku kembali ketika bersama seseorang yang selalu mengatakan kepadaku ‘mesum’. Dasar, penyihir. Sudah tahu aku mesum masih saja dekat.

Aku kembali melajukan motorku. Menuju ke rumah kakak perempuanku. Kulajukan motorku dengan sangat cepat karena waktu sudah hampir malam. Kulupakan semua apa yang terjadi hari ini. Kini pikiranku fokus pada jalan yang kulalui.

Sesampainya di rumah Mbak Arlena. Dia membukakan pintu gerbang. Wajahnya datar, seperti seseorang yang ingin marah. Aku masuk bersama motorku. Begitu turun dari motor, aku langsung mengikutinya. Tak ada percakapan. Hening. Sesampainya di dalam rumah, aku duduk di sofa putih. Kurebahkan tubuhku pada sandaran sofa.

“Nih...” ucap kakakku sembari memberika piring, dan aku langsung menerimanya dengan posisi tubuhku rebah.

“Ini sambalnya,” Belum sempat aku bangkit dengan piring pertama masih diatasku, kembali dia memberikan kepadaku mangkuk kecil.

Aku bangkit, dan ketika aku melihat piring serta mangkok. Dahiku mengrenyit.

“Mbak, lha ini apa?” tanyaku.

“Obeng,” jawabnya ketus sambil duduk di sampingku.

“Yaelah mbak, segitunya sama adik. Maksudku ini sate apa?” tanyaku.

“Kelinci,” ucapnya santai. Kakinya menyilang dengan satu tanganya menyangga pipinya.

DEG...

“Kelinci?”

“Ja-ja-jangan ini....” Pandanganku langsung kuarahkan ke mbak Arlena.

“Lho kok gak dimakan? Mbak suapin ya?” ucapnya.

Nadanya sih lembut, raut wajahnya juga tapi auranya itu. Duduknya mendekat, aku Cuma bisa diam. Lha gimana ndak diam? Lha cara nyuapinnya saja sudah ketahuan kalau mbak Arlena marah. Nyuapin, yang satu belum selesai dikunyah, langsung masukin aja sate yang lain. Hadeeeh...

“Mbaaaaak...” rengekku.

“Lho kenapa gak enak? Tambah sambal satenya?” tanyanya.

“Mbaaaak... ini omen mbak?” tanyaku.

“Sudah dimakan dulu, dihabiskan,” paksanya.

“Mbak tega banget sama adik,” rengekku.

“Aaaaaaaaaaaaaaaargghhhh..... sakit mbak sakit mbak sakit mbaaaaaaaaaaaaaaak...” teriakku ketika cubitan kecil pada lenganku.

Wajahnya langsung berubah menjadi sangat marah. Beberapa kali aku mencoba melepaskan cubitannya tapi malah kena cubit lagi.

“Makanyaaaa.. kalau sudah janji jangan datang telat!” pelan, penuh penekanan. Kelihatannya mbak Arlena sangat geram terhadapku.

“I-iya mbak, i-iya mbak, ma-maaf, lepasin mbak, sakit... sakit sakit...” rengekku.

“Huh! Itu Omen kasih makan!” Bentaknya ketika melepaskan cubitannya.

“Eh, jadi ini bukan omen?” tanyaku.

“Bukan, tadi mbak sengaja beli sate kelinci. Dah cepetan! Kasih makan, potongi bulunya, sisir sampai bersih! Kandangnya juga bersihkan, sekalian dinina bobokkan!” bentaknya.

Tanpa protes dan berpikir panjang aku langsung meletakan piring dan berdiri. Berlari ke arah kandang omen. Seperti seorang mandor kerja paksa, mbak Arlena berdiri di belakangku. Bentakan demi bentakan aku dengar. Padahal yang aku lakukan juga sudah sesuai dengan SOP yang dia katakan. Yang aneh Cuma satu, bagaimana coba nina bobokan omen?

Haaaaaaaaaah.... tolooooooooooooooong.....
 
Klek...

Jeglek...


“Hufth....”

Lelaki itu sudah pergi. Tapi percakapan tadi yang aku dengar masih terus berputar-putar di kepalaku. Keluarga... aku pernah mendengar istilah itu, istilah itu sudah tidak asing lagi bagiku. Keluarga, apa sebenarnya keluarga yang dimaksud oleh Arta dan kepala polisi tadi? Mengatakan kata ‘keluarga’ tapi dalam konteks percakapan yang aneh. Penempatan katanya memang benar-benar tidak sesuai dengan yang sedang dibicarakan.

“Sebenarnya siapa kamu Ar?” bathinku.

Crrttt... brrrrmmmm...

Brrrrmmmm....


Pikiranku masih terus berkutat pada percakapan Arta tadi. Dalam perjalanan menuju kos Winda pun masih terus terngiang. Aku pernah mendengar istilah itu ketika aku masih kecil, tapi di mana aku lupa. Yang jelas, saat itu aku masih di Sekolah Dasar. Saat itu aku juga bingung ketika mendengar kata ‘Keluarga’, karena tidak sesuai itu tadi. dan sekarang aku mendengarnya lagi.

Kalau saat itu aku pernah mendengar, berarti Arta sudah ada di kota ini sejak dulu. Tapi, tidak mungkin, tidak mungkin Arta berada di kota ini sejak kecil. Dari logat bicaranya sudah berbeda dengan orang-orang kota. Terlalu Ndeso menurutku. Kalau dia sudah berada disini, secara otomatis logat bicaranya akan menyesuaikan sekalipun dalam keluarganya masih kental dengan istilah Ndeso. Lagi pula, dia selalu bercerita tentang Desa kelahirannya, dan juga Ibunya. kalau dipikir lagi tidak mungkin dia bisa menceritakan hal-hal berbau Desa tapi dia tinggal di kota sejak kecil. Kalaupun dia pernah ke Desa tak mungkin ada kerinduan mendalam untuk pulang. Tak mungkin ada kecuali dia tinggal di sana sangat lama. Lebih lama daripada di kota. Tapi kenapa dia bisa tahu istilah keluarga?

Ciiiiiiiit....

“Eh...”

Aku teringat, teringat kata-kata Arta. Dua kali dia bercanda dengan kata-kata itu. Mungkinkah dia, ah, tapi tidak mungkin. Hanya kebetulan saja. Tapi, kelihatannya dia sangat sering mengucapkan kata-kata itu. Bisa jadi itu adalah kebiasaan dan bukan kebetulan. Hmm... ada sedikit bukti kalau dia tidak berasal dari Kota ini atau dengan kata lain dia tidak tinggal di kota ini sejak kecil. Dan jika dia tidak berasal dari kota ini sesuai pemikiranku, dan itu bukan sebuah kebetulan melainkan kebiasaanya... bisa jadi benar dia adalah...

Tiiiiiiiiiiiiin....

Aku tersadar dari pikiranku. Lamunanaku kembali buyar. Aku ternyata berhenti di tengah jalan. Langsung aku meminggirkan mobilku. Dua mobil melewatiku dengan makian yang terdengar pelan. Takut, jika mereka berhenti tapi ternyata tidak. Aku masih bisa bernafas lega. Kembali mobil aku jalankan menuju kos Winda.

Setelah perjalanan terasa sangat lama dengan pikiranku terus berkutat pada kata “Keluarga”. Akhirnya sampai juga aku di Kos Winda.

Klek...

“Umiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!” teriak Winda, dengan kaos lengan pendeknya dan celana ketat selutunya. Dia berlari ke arahku.

“Eh, ada apa sih Wind?” tanyaku, dia langsung bersembunyi di balik tubuhku.

“Itu tuh, Dini sama Dina, Hakim banget. Masa Winda diinterogasinya gitu banget. Mereka dah gak sayang ama Winda lagi mi,” rengeknya.

“Hi hi hi...” tawa mereka berdua dengan pakaian yang sama dengan Winda. Cuma warna yang berbeda.

“Salah sendiri ceritanya masih gak komplit weeeeeeeek,” ejek Dina.

“Tuh kan mi, Dina udah gak sayang ama Winda lagi. Ntar Winda bobonya dipeluk sama Umi saja daripada Dina. Dina mesum! Weeeeeeeeek,” ledek Winda.

“Jangan dibelain mi, ntar Winda suruh tidur di karpet aja, kita tidur di tempat tidurnya,” ancam Dini.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaa... umiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...”

“Sudah, sudah...” leraiku.

Dia berjalan di belakangku. Tokoh utama di malam hari ini. Takut kalau-kalau mereka berdua tiba-tiba melakukan tindak penganiyaan seperti masa SMA dulu. Aku ajak Winda duduk bersama. Suasana sudah tenang, namun Winda masih saja bersembunyi di belakangku. Setelah aku yakinkan dia baru mau duduk disampingku.

Aku kemudian bangkit dan berganti pakaian. Penat sekali rasanya, ingin mandi tapi tadi sudah mandi.

“AAA...”

“Diiiina!” teriakku kaget ketika tangan Dina meremas payudaraku.

“Seneng deh kalau lihat Umi pakai kaos ketat, hi hi hi,” candanya. Aku langsung melepaskan remasannya.

“Kamu ini, hmmm...”

“Yeee, salah Umi bikin iri hi hi hi,” candanya.

Kami kembali berkumpul. Empat gelas minuman hangat menemani reuni kecil kami. Tujuannya hanya satu, menguak tabir misteri Winda. Tapi dengan lembut, gak bisa dikasar kalau si Winda.

Akhirnya dia menceritakan kembali secara detail kejadian yang dia alami. Tidak ada adegan remasan dari si mesum itu yang diceritakan si Winda. Dari cerita Winda yang sama persis dengan Arta, membuatku semakin yakin dirinya bukan laki-laki yang kebetulan ada di sekitar kami. Sejak awal kedatangannya, pandanganku terhadap Arta memang berbeda dengan yang lain. Dia bukan pemuda biasa, dan keyakinanku ini semakin kuat semenjak kejadian malam tahun baru itu. Tapi satu hal yang membuatku masih penasaran. Manja Winda kepada Arta, hanya itu.

Alasan dia bersikap manja ke Arta hanya karena kejadian yang dia alami. Memang masuk akal juga. Tapi, aku sudah cukup lama mengenal Winda, tak semudah itu dia manja kepada seseorang. Kelihatannya ada sesuatu yang dia sembunyikan. Dini dan Dina pun merasa demikian. Melalui watsap mereka mengirimkan pesan tanpa sepengetahuan Winda, padahal masih dalam acara ngobrol bareng. Ada yang masih belum diceritakan, kelihatannya tidak hanya berkaitan dengan kejadian bunuh diri Winda.

Setelah mengobrol lama, kami menonton acara drama di komputer Winda. Kadang tertawa, kadang sedih ketika melihat adegan-adegan romansa di drama tersebut. Sampai semuanya tertidur, aku masih terjaga. Kuselimuti mereka. terlihat nyaman sekali tidurnya walau hanya di karpet bulu. Aku kemudian melangkah keluar. Duduk di bangku depan kamar kos Winda, dengan segelas minuman hangat untuk menikmati malam ini.

Selimut. Aku merasakannya kembali kemarin. Nyaman. Entah kenapa aku merindukan lelaki itu untuk menyelimutiku. Ah, sudahlah, kenapa aku memikirkan hal itu. Aku masih punya masalah yang harus aku selesaikan. Agar hidupku lebih tenang.

Klek...

“Mi..” aku menoleh ke arah pintu. Dina, dia kemudian menutup pintu pelan dan duduk di sebelahku.

“Kok bangun?” tanyaku.

“Lihat Umi keluar, jadinya pengen ikutan nongkrong.... kepikiran Winda mi? Aneh kan Mi? bisa secepat itu Winda manja sama Arta? Semanja-manjanya Winda... gak secepat itu, pasti ada sesuatu,” ucapnya sembari bersandar pada lenganku.

“Iya, tapi tidak apa-apa, Arta kelihatannya orang baik. Kelihatannya...” jawabku.

“Sama mi, kelihatannya. Tapi kalau dilihat kemarin-kemarin, dia gak jahat deh mi. baik, ya Cuma itu ramenya aja kadang ngeselin hoaaammmmhhh...” aku langsung memeluk Dina.

“Semoga saja...” jawabku singkat.

Kami kemudian mengobrol sejenak. Entah obrolan apapun itu, selalu saja kembali ke pemuda kampung yang baru saja datang. Setelah merasa lelah, kami kembali ke dalam. Pintu aku tutup, Dina masih berdiri menungguku.

“Oia Mi, kemarin Winda ngigau, waktu mobil umi di bawa sama teman umi. Itu kan winda balik ke kosku dulu sama Dini. Winda tidur dan Dini-nya pas lagi beli camilan,” dia berbisik.

“Ngigau?” tanyaku heran.

“Iya, ngigau nama si bunglon sama Air terjun,” ucapnya sambil berbalik, kemudian melangkah ke arah Dini dan Winda. Kata-katanya membuatku terkejut.

“Umi juga gak tahu itu, waktu tanya sama Arta. Arta juga ceritanya sama dengan yang diceritakan Winda,” jawabku.

“Gak tahu, juga. Ya udah mi, ayu bubu, peluk Dina ya Mi,” ucapnya, sedikit menoleh kebelakang. Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya.

Aku peluk tubuh gadis periang ini, dan mulai terlelap. Namun pikiranku masih berjalan. Tentang masalahku sendiri, mungkin aku harus segera menyelesaikannya. Mungkin besok, atau lusa. Mungkin juga setelah lusa, tapi harus secepatnya dan aku harus mengatur situasinya. Agar aku tetap bisa tersenyum.

“Hoaaamm....” ngantuk sekali.

Air terjun... Winda. Mungkin itu alasan Winda, tapi dia masih ragu untuk mengutarakannya. Sekalipun ragu, sikapmu tidak bisa menyembunyikannya sayang. Air terjun. Hmmm... Apa mungkin? Jika iya, berarti dia adalah... ah, ngantuk banget. Bobo aja...
 
akhirnya update juga.... tq dh... selama jd sr... post dh saja yg ditunggu...
best sungguh ceritanya...
oh.. slm utk semua dr saya di malaysia
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Horeeeeeee... Dapat kado tahun baru dari suhu dono... :ampun: makasih kadonya suhu... Comment duyu sebelum baca... Hehehehhehe....
 
Asikkk,.
Ada kado tutup taun,.,
Makasih suhu dono,.,
:ampun:

Met taun baru all,.,

:hore:
 
Bimabet
Pertamax


Baiklah, itu sedikit hiburan di antara getirnya kalian menunggu apdet. Bukan teaser sih, bukan pula bagian dari cerita disappear.

Ya, anggap saja seperti naruto episode mencari wajah kakashi. Just joke episode #2.

Oke. Sekali lagi
Lanjutan???
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd