Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.

Down hill

Senpai Semprot
Daftar
31 Mar 2015
Post
786
Like diterima
6.092
Bimabet
He he he... Suhu, Agan...
nubie numpang ngepost cerita ya,
cuma imajinasi, imajinasi yang ndak tahu sayanya dapat darimana,
asal ngetik saja hu, gan
kalau ada salah-salah kata, salah-salah pengetikan
mohon komen dan cak lontong suhu, agan

mohon dimaklumi kalau ceritanya gak enak dibaca
maklum masih nubie

:p

Ini cerita murni rekayasa, bener-bener rekayasa dan Fiksi
Tidak pernah terjadi dan tidak akan terjadi di dunia nyata,
This is just Wild Imagination
Semua tempat, daerah, dan lain sebagainya fiksi
Moga-moga bisa menghibur suhu, agan semua
wekekekekekekekekek

Oia Jangan lupa saran dan kritiknya hu, gan

:D

Oia hu, gan, sampe kelupaan ane

tanda-tanda :

oOo , tanda ini berarti lagi menceritakan masa lalu

--- , tanda ini berarti lagi ganti sudut pandang


hati-hati gan pas baca, diinget tanda-tandanya gan,
maafnya ya, mau baca cerita aja susahnya minta ampun
tapi mau bagaimana lagi,

he he he

SS
ntar juga ada sendiri,
walau tidak seperti yang diharapkan
mohon maaf sebelumnya

:D




List of Scene

Scene 1 : Early Day
Scene 2 : This is me
Scene 3 : Kitalah Sang Penguasa
Scene 4 : Kala Surya Tenggelam Di Awal Pagi Yang Cerah
Scene 5 : Mendung Tak Selalu Gelap
Scene 6 : Jaded
Scene 7 : Mungkinkah Dia?
Scene 8 : Jangan Over! (Note : Post kedua di hal. 79)
Scene 9 : It's Not What You Think!
Scene 10 : Sesuatu Yang Tak Terlihat
Scene 11 : Calcium Carbonate
Scene 12 : Hati-hati
Scene 13 : Sedikit Mendung
Scene 14 : Hujan tapi...
Scene 15 : Terima Kasih
Scene 16 : Senyum Malaikat
Scene 17 : Ada yang aneh tapi entah apa itu (Note : Post kedua di hal. 198)
Scene 18 : Cinta
Scene 19 : God Gave Rock 'n Roll to Everyone
Scene 20 : Kebekuan Sesaat
Scene 21 : Bodoh
Scene 22 : Awas Kalau Bilang...
Scene 23 : Cemburu
Scene 24 : Apa Dia Penyihir Juga?
Scene 25 : Mungkin
Scene 26 : Siapa Kamu Sebenarnya?
Scene 27 : Tak Terkendali
Scene 28 : Bunga Melati Merah
Scene 29 : Jangan Datang Malam ini
Scene 30 : Aku Harap
Scene 31 : Taman Bunga Dua Malaikat
Scene 32 : Tetaplah Tersenyum Peri Kecil
Scene 33 : Cahaya Rembulan Yang Terenggut Malam
Scene 34 : Ngambek
Scene 34 : Keyakinan Sang Peri
Scene 34 : Sayap Malaikat
 
Terakhir diubah:
Elektron,bagian dari sebuah atom yang merupakan sebuah bagian dari materi.
Sejak zaman Yunani Kuno, Leucippus dan Democritus, berpendapat
Jika sebuah materi dibagi akan menjadi bagian terkecil yang disebut Atom
Namun, pada zaman yang sama, Aristoteles dan Plato menolak
Mereka beranggapan, jika materi dibagi akan dapat dibagi secara terus menerus tanpa batas dan tak ada ruang hampa di alam semesta

Teori berkembang, pada awal abad XVII sampai permulaan abad XIX
Dalton, sepaham dengan Leucippus dan Democritus,
Kerangka yang disusun Dalton menjadi acuan para ilmuwan-ilmuwan untuk melakukan penelitian lanjutan
Hingga teori atom diperbaiki oleh Thompson, Rutherford dan juga Niels Bohr yang terakhir adalah Schrodinger. Disini pun belum sepenuhnya berakhir.

Rumit, tapi itulah ilmu pengetahuan yang merupakan bagian dari kehidupan
Kehidupan yang selalu saja berputar, mengikuti sebuah lintasan yang disebut takdir
Mirip, hampir mirip dengan elektron
Ya, Elektron yang mengelilingi inti atom pada sebuah lintasan disebut orbital

Selalu berputar mengelilingi inti atom
Selalu pada posisinya,
Tak akan tertarik ke dalam inti walau memiliki perbedaan muatan
Tak akan keluar ataupun menjauh dari inti,
Karena
Elektron memiliki energi
Energi yang dapat mempertahankan untuk tetap pada posisinya
Yang disebut sebagai
Energi tingkat dasar (Groundstate)

Kecuali,
Jika elektron itu mendapat energi dari luar, dan menyerapnya,
Maka elektron akan berpindah pada lintasan yang lebih jauh dari inti atom,
Walau hanya satu tingkat, ya terksitasi, menjauh
Tapi,
Jika elektron itu kehilangan energi, melepas energi
Maka elektron akan berpindah menuju lintasan yang lebih dekat dengan inti atom,
Walau hanya satu tingkat, ya tertarik, mendekat

Jika kehidupan Manusia layaknya sebuah sebuah elektron,
Yang juga memiliki keinginan untuk bertahan
Namun dihadapkan dengan dua buah pilihan, antara bertahan dan pergi
Entah,
Apakah seseorang tersebut akan selalu pada posisi yang saat ini dia berada?
Apakah seseorang tersebut akan menjauh dari tempat dia berada sekarang?
Entah,
Tak ada yang tahu,
Akankah ada sesuatu yang membuat dia bertahan?
Akankah ada sesuatu yang membuat dia harus pergi?
Tak ada yang tahu,

Tetap tinggal, dan kemudian Mendekat?
Atau
Menjauh, dan kemudian menghilang?
Disappear?
 
Scene 1
Early Day



Arlena Kayaningtyas


Ainun ... ...


“Jadi diri kamu ya sayang, Ibu akan selaaaaalu bersamamu”

“Dan ingat, jaga semua yang kamu sayangi dan cintai. Jangan pernah sakiti mereka, bahagiakan mereka semua, ya, sayang”

.
.
.

“uuughhh....”

“hoaaaammmmm....”

Aku terjaga. Bangkit dari mimpiku. Duduk termenung di atas tempat tidurku. Seakan tak percaya, Ibu kembali kedalam mimpiku. Entah kenapa kini aku bisa lebih sering mendengar suaranya. Walau hanya suara, tapi sudah cukup membuatku bahagia. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, suara Ibu yang hadir dalam mimpiku kali ini tidak membuatku terkejut.

Sejenak aku termenung, membangun kesadaranku kembali. Ku bentangkan kedua tangaku, mencoba merenggangkan otot-otot tubuhku. Pegal rasanya tubuh ini. Ditambah lagi udara dingin yang keluar dari AC kamar kakakku. Dengan sedikit rasa malas, kuputar tubuku kesamping. Kuraih sematponku di meja sebelah tempat tidur. Pukul 03.00. Beruntung aku masih bisa bangun pagi.

Kuputar tubuhku ke sisi lain. Kulihat mbak Arlena masih nyenyak dalam tidurnya. Wajahnya tersenyum, mirip dengan Ibu yang selalu tidur dengan wajah tenangnya. Ku goyang tubuhnya perlahan, membangunkan mbak Arlena. Dengan malas, dia bangun dan langsung bersandar pada lenganku.

“Ye, mbak, bangun cepetan” sembari menggoyang tubuhnya

“Ugh, Iya, masih ngantuk dik. Aaaahhh” kembali dia berbaring di tempat tidur.

Wajar, semalam aku dan mbak Arlena jalan-jalan sampai tengah malam. Kemarin adalah hari terakhir aku memutari kota. Mengetahui seluk beluk kota yang menjadi pusat dari negara ini. Negara dengan ribuan pulau dan ribuan manusia yang memiliki adat yang berbeda-beda.

Ku hela nafas panjangku, memandang langit kamar. Langit kamar yang memberikan keteduhan. Tak terasa aku akan kembali ke kontrakanku. Jelas, hari ini adalah hari terakhir aku berada di rumah kakak perempuanku. Setelah beberapa minggu, dimana teman-temanku ujian, aku hanya memutari kota dan mengenal setiap sudut kota. Saat teman-temanku libur, aku harus mengikuti ujian susulan. Parahnya saat libur itu pula aku kehilangan kontak dengan mereka.

Bersama kakak perempuanku, aku melihat sekeliling kota. Tempat-tempat indah untuk berduaan, tempat yang penuh dengan keramaian, pantai dan aku juga mengamati bagaimana gedung pencakar langit dibangun. Tak terlewatkan tempat-tempat “kehidupan malam” dengan lampu pelanginya. Sempat aku masuk ke dalam tempat-tempat itu, hanya untuk tahu.

Ku bisa mengetahui segalanya dengan cepat, berkat kakak perempuanku. Mbak Arlena memberitahu semuanya, mengenalkan seluruhnya dan menjelaskan semua yang tidak aku mengerti tentang ibu kota. Dia juga menceritakan kehidupannya, kehidupan yang dia lalui sebelum aku datang ke kota ini. Kehidupan penuh rayuan dunia yang tak berujung. Kupandangi sekali lagi wajah kakak perempuanku.

“Aku akan selalu menjagamu, mbak. Kamu satu-satunya yang menjadi peneduh dalam teriknya kehidupanku” bathinku

Aku bangkit, melangkah keluar dari kamar mbak Arlena dengan sematpon dalam genggamanku. Sematpon? Aku sudah mulai memilikinya, ini bekas kepunyaan mbak Arlena. Walau bekas, tetep bagus, masih bisa digunakan. Kata mbak Arlena, sebenarnya ini keluaran terbaru tapi dia bosan karena ingin ganti merk yang lainnya. Dasar, wanita selalu saja ingin tampil beda.

Kini aku berada didapur, membuat dua gelas teh hangat. Dua gelas? Karena aku yakin, sesaat lagi mbak Arlena pasti akan keluar dari kamar. Ah, Teh hangat, kalau dulu Ibu sering selang-seling menyediakan aku minuman di pagi buta. Kadang teh, kadang pula kopi. Tehnya pun bukan teh celup, teh “kepyur” kalau didesaku. Jadi ketika minum, ada sensasi tersendiri, ampasnya selalu mandek didepan bibir. Kalau kopi, Ibu selalu menyediakan kopi hitam dengan ampas yang sedikit menggaruk-garuk tenggorokan ketika diminum. Sekalipun membuatkan kopi instan, Ibu selalu memilih kopi instan yang ada ampasnya. Sekali lagi alasannya adalah alami. Bahkan kecantikan Ibu, juga Alami.

Kleek...

“Uuughh... hoaaaam... adik”

Alami seperti perempuan yang baru saja memanggilku adik. Aku tersenyum memandang kakak perempuanku. Dan sesuai dengan dugaanku, Mbak Arlena bangun. Bedanya mbak Arlena sama Ibu, walau memiliki wajah yang sama, pas bangun. Ibu kalau sudah bangun, wajahnya langsung semangat untuk memulai hari, jadi tidak kelihatan mengantuk. Kalau mbak Arlena, sudah bangun, wajahnya masih ngantuk. Lha, lha, lha, pindah ke sofa tidurnya. Namanya juga Ibu dan anak, pasti beda kan? Tapi hanya sedikit perbedaan itu, yang mungkin hanya sesekali aku melihatnya. Semuanya tetap sama, terutama galaknya dan manjanya.

Ibu? manja sama aku? Pernah sesekali...

Dengan dua buah gelas minuman hangat. Aku mendekati mbak Arlena yang tidur miring dengan memeluk bantal kecil, di sofa putihnya.

“Mbak, Teh mbak...” ucapku

“Egh” sedikit matanya terbuka, kepalanya sedikit terangkat

“Kopi saja tapi yang ada ampasnya” dengan matanya masih tertutup

“Iya..” jawabku, kembali membawa dua buah gelas minuman hangat tersebut kembali ke dapur.

Satu gelas aku habiskan, sayang kalau dibuang. Segera aku membuat segelas kopi instan, yang pasti, ada ampasnya. Benar kan? Aku benar lagi. Sama, walau kadang menjengkelkan. Kini aku kembali ke mbak Arlena, dengan dua buah gelas di tanganku. Satu kopi, satunya teh.

“Ini mbak kopinya. Mumpung masih anget” pelan suaraku. Dengan malas Mbak Arlena bangkit, sebelum meraih kopinya, dia menarikku untuk duduk disampingnya.

“Males megang, deketin bibir mbak, biar mbak, minum” manjanya

Nah... ini, dulu Ibu juga sering minta disuapin pas minum. Sekali lagi, semua tingkah mbak Arlena membuatku merasa bahwa kini aku bersama dengan Ibu. Bersamanya kembali, tapi yang kurasakan sekarang. Aku sedang bertiga. Semuanya, membuatku merasa terharu.

“Dik, omen dikasih makan. Airnya diisi, kotorannya dibersihkan. Terus, itu si omen disisir bulunya biar gak kusut. Sama, kalau ada kotoran yang nempel di bulu-bulunya di ambil atau di potong saja bulunya, biar tetep bersih si omen. Mbak mau tidur lagi, ntar kalau dah selesai, bangunkan mbak” ucapnya dan..

Brugh...

Kembali mbak Arlena berbaring di sofa. Memeluk bantal kecil dengan wajah ayunya. hah, benar-benar ini cewek sama saja. Ibu kalau kasih perintah ndak pernah satu-satu. Selalu saja berurutan dan memaksaku untuk selalu mengingatnya, nanti kalau ditanya tadi disuruh apa, pasti marah-marah. Untung aku sudah terbiasa, jadi tidak perlu bertanya lagi. Daripada dimarahi.

Selagi mbak Arlena tidur kembali, aku letakan kopinya dengan penutup di meja dapur. Dengan segelas teh di tangan, aku keluar ke arah kolam renang. Kandang Omen dengan kolam renang hanya di batasi pagar tembok, kira-kira setengah meter tingginya. Aku membersihkan kandang dengan bantuan cahaya lampu, maklum masih terlalu pagi.

Satu persatu aku sisir dan aku cek apakah ada kotoran yang menempel pada bulu mereka. kuulangi beberapa kali lagi, takut jika ada yang terlewatkan. Takut kena marah, walau sebenarnya selama satu minggu ini aku sudah kenyang. Marah tanda sayang kan? Itu menurutku.

Setelah selesai, aku duduk di pagar pembatas, memberi makan omen. Dengan kepulan asap dan juga segelas teh hangat. Aku memandang mereka, si omen-omen itu. Memang berbeda, Omen yang dulu tampak lebih besar dan gemuk, mungkin beda jenisnya. Apapun jenisnya, aku selalu memanggilnya, Omen.

Crek crek...

Sebatang dunhill telah mati.

Srekk..

“Itu yang betina, yang itu yang jantan. Kalau sudah ada anaknya, adik sering-sering ke sini. Kasih makan ya?” ucap mbak Arlena tiba-tiba. Aku menoleh, tidak terkejut, karena aku sudah menyadari kedatangannya sejak awal. Duduk disampingku dan memandang para omen sembari menunjuk-nunjuk ke arah omen. Aku jadi bingung, mana yang ditunjuk, lha wong warnanya hampir sama.

Sruupttt...

“Enak saja, masa adik terus, mbak to ya” protesku sembari menyeruput teh

Begh..

“Uhuk... uhuk...”

“mbak itu uhuk, lagi minum malah punggungnya dipukul... keselek ini” protesku

“Apa?! yang janji mau ngerawat omen siapa?! Ayo jawab!” ucap keras mbak Arlena, dengan mata yang mendelik

“Eh, i-itu... iyaaa... Iya... marah lagi, marah lagi...” gerutuku

“Napa?!” ucapnya keras

“Ndak napa-napa. Seneng aja mbak marah he he he tapi lebih seneng tuh kalau senyum, kelihatan manisnya, ayunya juga” jawabku

“Ooo... jadi kalau marah jelek gitu?” balasnya sekali lagi. Haduh, napa juga tadi aku membantah celotehannya

Aku pegang gelas teh hangat agar tetap menengadah. Aku baringkan tubuhku, kepalaku di paha mbak Arlena. Aku diam, tak mau membalasnya lagi. Bisa-bisa sampai pagi nanti ndak selesai-selesai.

Kletek...

“Iiih... manjanya keluar kalau sudah dimarahi” ucap mbak Arlena. Aku hanya tersenyum.

Melihat omen, bersama dengan mbak Arlena. Elusan lembut di kepalaku, nyaman, membuatku mengantuk. Tapi, aku tidak ingin tertidur. Aku ingin merasakannya hingga pagi nanti, merasakan elusan dari kakak perempuanku. Ah, Tapi, Mbak Arlena dengan lembut meraih gelasku dan meletakannya di tanah. Kembali dengan lembut mengelus kepalaku. Lembut sekali hingga aku tidak sadarkan diri. Terlelap dan tertidur.

.
.
.

“Okay, mbak, terima kasih sudah mengenalkan aku dengan ibu kota, he he he” ucapku berdiri di depan pintu rumah mbak Arlena

“Auuuch.... sakhiitt mbaakkkhh...” protesku ketika

“Makanyaaaa... Gak usah formal-formal banget jadi orang. sama mbaknya sendiri saja formal, memangnya mau nglamar kerja?” ucap mbak Arlena sembari mencubit pinggangku

“I-iya mbak... aduuuh” balasku sembari mengelus pinggangku

Mbak Arlena tersenyum, aku melet ke arahnya. Suka sekali mbak Arlena mencubit, sama persis dengan Ibu. Segera aku melangkah ke motorku, dan... Oh iya, ini motor baru beli kemarin. Motor bekas, tapi nyaman untuk dikendarai. Motornya matic dan belum injeksi. Sampai sekarang aku tidak pernah tahu beda injeksi dengan yang tidak. Asal pakai saja. Ini dia motor baruku, Varitem, Vario item.

“Ehem.. ehem... sapa tuh yang mau di boncengiiiiin?” aku menoleh ke arah mbak Arlena yang menyindirku

“Ndak ada mbak” jawabku

“Masa siiiih... yang manja, yang galak, yang periang apa yang dewasa? Atau malah empat-empatnya? Atau bisa jadi lebih dari empat?” ejek mbakku

“Tiga aja ndak cukup mbaaaak, mbak” jawabku

“Sudah ah mbak, Adik mau pulang dulu” lanjutku

“Iya, iya... hati-hati... jaga diri, dik?” ucap mbakku mendekatiku dan mengecup keningku

“Siapapun nanti yang bakal kamu boncengin, jangan dilupain mbaknya, terus saling mengingatkan ya?” ucap mbak Arlena

“Iya mbak” jawabku

“Tapi kalau mboncengin empat atau lebih, tuh pake mobil mbak. Kan kemarin sudah belajar nyetir” lanjutnya

“Ndak mbak, dimarahin lagi ntar weeeek” candaku

Plaaak!

“Makanya kalau nyetir liat jalan, bukan malah liat orang pacaran!” bentak mbak Arlena sembari memukul kepalaku

“Ach... i-iya mbak iya, namanya juga pengen punya pacar” jawabku

“Sudah pulang, dan ingat! KO-MU-NI-KA-SI! Awas kalau sampe gak hubungi mbak, mbak sita motor, hape kamu!” bentak mbak Arlena

“I-iya mbak... iya...” jawabku

Sedikit pelukan, kemudian aku menjalankan motorku.

“Hati-hati...” teriak mbak Arlena ketika aku keluar dari rumahnya

“Yo’a kakaku yang cantik dan termuah di hati” teriakku

Kulihat senyum mbakku menghilang dari pandanganku, seiring dengan laju Varitem. Kembali ke perjalanan pulang menuju kontrakan. Lama sekali aku tidak berada disana, ndak aneh juga. Tapi ya itu, bagaimana kabar Ainun ya? sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Masih cantikkah, masih manjakah, atau marah? Nah yang terakhir ini yang aku takutkan. Hadeeh. Bodohlah.

Laju dua roda menuju rumah ke duaku. Perjalanan lumayan dekat, tapi aku lebih memilih jalan memutar. Untuk mengingat dan juga untuk merefresh otakku. Beberapa kali aku menengar teriakan memanggil namaku, ya mereka keluarga Mas Raga. Beberapa masih ingat kepadaku. Dengan melambaikan tangan, aku menjawab panggilan mereka. Semakin dekat dengan rumah keduaku. Semakin banyak yang memanggilku, ah, mungkin beberapa dari mereka mengetahui kasusku kemarin.

Memasuki, gang.

“Eh...”

Seorang wanita dengan kerudung putihnya, kaos lengan panjang. Yang semulanya berjalan, langsung berhenti, berdiri dan bersedekap, memandangku tajam. Tak ada keteduhan dibola matanya, yang ada malah itu, jengkel. Perlahan kemudian melangkah. Tepat mendekatiku, dia membuang muka.

“N-nun...” ucapku

“Sapa ya? kenal?” tanyanya sinis, sembari menjauhkan tubuhnya. Seakan jijik kepadaku.

“Aduh, a-anu...” ucapku

“Ntar malam, maen, jam 8...” ucapnya tegas, singkat dan padat. Setelahnya dia berlalu pergi, tak berani menahannya. Karena suasana masih siang. Kalau aku tarik tangannya dan ada orang yang melihat, bahaya kan.

Kembali aku menjalankan motorku, menuju kontrakanku. Sesampainya disana tak ada mobil, kontrakan tampak sepi sekali. Aku parkir motorku didepan pintu gerbang kecil didepan kontrakan. Tampak kotor sekali. Pertanda Samo dan justi tidak pernah pulang ke rumah kedua ini.

Teklek... teklek... Kleeek...

SSShhhh.... aaaahhh....

Baunya masih tetap sama, hanya sedikit kotor. Segera aku meletakan tas di dalam kamarku. Dan mulai beraksi kembali, membersihkan rumah keduaku. Ruang tamu ku, kamar Samo, kamar justi, kamar ku sendiri, kamar mandi, serta dapur. Hampir seharian aku membersihkan rumah ini. setelahnya motor aku masukan ke dalam kontrakan. Dan tidur...

.
.
.

“Ah, sudah jam 7.50, saatnya ke rumah pak RT" bathinku

Aku melangkah keluar rumah.

“Eh... lho kok jam 8? Biasanya kan jam 10an, aneh. Kenapa aku baru sadar sekarang ya?” bathinku kembali

Dengan masa bodoh, aku berjalan menuju ke rumah pak RT. Sepi sekali. Hanya ada dua, tiga orang warga, yang sedang asyik mengobrol disalah satu rumah. Rumah yang berada didepan kontrakanku. Aku menyempatkan bercengkrama sebentar. Mereka banyak menanyakan keberadaan kami, aku, samo, justi. Aku menjelaskan kepada mereka ada beberapa kegiatan di kampus dan harus menginap disana. Untungnya mereka percaya-percaya saja. Tapi ya, ada sedikit bercandanya gitu. Ada yang bilang kesambet cewek, kesambet janda, kesambet kehidupan malam. Tapi aku menegaskan, tidak.

Setelah bertemu warga didepan kontrakanku, selebihnya sepi. Tak ada orang yang berada dideretan rumah pak RT.

Ah, rumah pak RT.

Krieet...

Trap... trap...

Tok.. tok... tok...


“Permisi...” seruku dari luar rumah, pintu rumah sudah terbuka dan aku mengetuknya.

“Masuk, duduk dulu” teriak seorang perempuan, Ainun.

“I-iya... nu... eh, bu...” jawabku, fyuh, hampir saja keceplosan

Aku masuk dan duduk. Menunggu sebentar, Ainun keluar dengan sebuah map. Tak ada wajah tersenyumnya. Sedikit cemberut. Dilemparnya map tersebut tepat di depanku. Kasar, ndak lembut sama sekali.

“Itu tagihan listrik dan tagihan air, cepet bayar!” ucapnya sedikit keras

Heh?! Kampret, ternyata tagihan air sama listrik. Aku kira...

“Eh, i-iya bu...” ucapku sembari meraih map dan membukannya.

Bener-bener nasib apes, aku kira pacaran. Eh, suruh bayar air dan listrik. Sempat terkejut dengan nominalnya, tapi apa mau dikata, harus bayar juga kan?

“ini bu” ucapku sembari memberikan uang sesuai dengan yang tertera di kertas dalam map

“Ya, bagus, jadi orang itu bayar tepat waktu. Kalau pergi lama itu kabar-kabar, biar orang di komplek tahu!” ucapnya sedikit keras. Aku hanya mengangguk.

“Ngerti!” bentaknya sekali lagi.

“I-iya..” aku sedikit gugup dengan bentakan Ainun

“Ngerti nggak!” bentaknya sekali lagi

“I-iya bu, nger-ngerti, ngerti...” aku menunduk sembari mengangguk-angguk

“Ya sudah, sana pulang!” bentaknya sekali lagi

“I-iya bu, i-iya...” jawabku sekali lagi,

Aku berdiri dan melangkah keluar.

“Mapnya dibawa sekalian! Emangnya sini tempat sampah apa!” bentaknya sekali lagi

“I-iya bu, iya” jawabku.

Aku berbalik dan kembali mengambil map tersebut, kemudian pamit tapi dia membuang muka. Beberapa kali aku mengucapkan kata pamit, tetap saja dia tidak melihatku sama sekali. Ku hela nafas panjangku, dan kemudian melangkah menuju pintu keluar rumah.

“Pak RT baru saja main, paling pulang besok” ucapnya. Aku menoleh ke arahnya. Bingung aku dibuatnya, bener-bener bingung.

“Oh, iya, kalau begitu aku pamit dulu bu” balasku kembali melangkah keluar

Ketika aku di ambang pintu keluar rumah. Tiba-tiba lampu ruang tamu dan lampu teras mati. Aku sedikit terkejut. Dan..

Brugh...

Sebuah bantal kecil melayang mengenai punggung dan kepalaku.

“Dasar! Manusia gak peka! Sebenarnya, manusia yang disebut laki-laki itu terbuat dari apa sih!” ucapnya sedikit keras. Aku berbalik dan mengambil bantal kecil itu.

“TUTUP!” ucapnya pelan tapi membentak

Aku menutup pintu. Lampu teras kemudian menyala. Aku mendekatinya dan menyerahkan bantal kecil. Direbutnya dengan kasar, dipukul-pukulkannya bantal kecil kearahku. Wajahku, tubuhku, semua kena. Aku cuma diam, menunduk saja. Percuma menjelaskan apapun kepada seorang wanita kalau suasana hatinya sedang tidak enak. Mending menerima perlakuannya saja. Toh, pukulan Ainun tidak keras.

“Auuuuuchhhh... sakit nun” rintihku ketika tanganku diraihnya dan digigit keras

Ku betet hidungnya.

“Iiih, sakit tahu!” ucapnya menampar tanganku

“Lha kamu gigit tanganku” protesku

“Lha, kamu gigit tanganku” ucapnya menirukan ucapanku dengan nada cempreng dan mengejek

“Huuuh” aku melengos

“Bodoh! Dasar selingkuhan gak pengertian” jengkelanya kepadaku

“Oh, ya sudah, aku pulang...” ucapku sembari membalikan badan

“Pulang sana, gak balik lagi sini. Dasar laki-laki gak peka! Pergi lama gak ada kabar, kesini cuma pas nangis doang. Pas sini nangis, gak ada kabar. Pas sini kesepian, gak ada kabar. Katanya gak mau disebut selingkuhan, kabar aja gak ada. Jadi bener kalau situ selingkuhan, kabarnya datangnya kadang-kadang! Cuma butuh pas senengnya doang! Kalau gak mau disebut selingkuhan ya kabari terus!” aku diam dan menunduk mendengarkan celotehan perempuan dibelakangku

“Dasar! Heran aku, manusia yang disebut laki-laki itu. Terbuat dari batu apa?! keras banget, katanya dari tanah! Tanah kan gak keras-keras banget, ada lembeknya walau dikit! Iiih... dasar cowok gak peka! Gak peka!”

Aku kemudian berbalik.

“I-iya... itu...” aku benar-benar bingung mau bilang apa. Dia bersedekap dan membuang muka.

“Dasar! Paling bentar lagi bilang ‘iya, maaf’! enak bener! Emang sini SAMSAT! Lupa bayar pajak motor, habis bayar, beres gitu! Dasar” aku melihatnya

“Eeee... aku buatkan teh mau? Atau aku buatkan nasi goreng? Belum makan kan? Nanti aku yang buatin didapur” ucapku

“Huh!” dia melangkah dan duduk di sudut kursi. Menyangga dagunya.

“Cepet!” ucapnya keras

Fyuh, aku langsung bergegas menuju dapur.

“Nasinya di rice cooker, pedesnya sedeng aja!” ucapnya sedikit ketus

Aku mengiyakannya dan langsung menuju ke dapur. Masih sama semua posisi perabotan rumah ini. tak ada yang bergeser, dan tentunya bersih. Aromanya wangi disetiap sudut rumah sangat terasa dihidungku. Aku melangkah dengan tersenyum. Sekilas teringat kejadian-kejadian bersamanya. Tepat ketika melewati kamarnya. Ah, benar-benar beruntung aku. Segera aku membuat nasi goreng, makanan yang mudah untuk dibuat.

Setelah bertempur habis-habisan dengan bumbu dapur, akhirnya sepiring nasi goreng sudah siap untuk dihidangkan. Dua gelas teh hangat dengan tutup gelas berwarna pink, juga sudah siap. Aku bawa dengan nampan menuju ruang tamu. Aku tersenyum, tapi dia masih dalam posisi yang sama.

“Lama!” ucapnya sinis

“Iya maaf” balasku, Sembari meletakan segelas teh hangat dan sepiring nasi goreng didepannya. Dia duduk dikursi yang menghadap ke arah pintu keluar rumah. Sedangkan aku berada di kursi sampingnya

Tepat ketika aku duduk dikursi, dia langsung membuang mukanya lagi. Memajukan duduknya dan mengambil teh hangat.

“Aduh, panas” ucapnya yang kemudian mengambil gelas

“Eh, pelan-pelan” balasku

“Tiupin” singkat, padat dan jelas

Hm, memang dasarnya wanita adalah manja dan ingin selalu dimanjakan. Mungkin hanya asumsi saja, tapi tidak tahu kenyataanya. Sekali lagi, dalam satu hari, aku meniupkan minuman hangat dan kemudian mendekatan ke bibirnya. Tangannya saja tak mau menyentuh gelas sama sekali. Berikutnya, meyuapinya ketika makan nasi goreng buatanku. Sama, singkat, padat dan jelas perintahnya.

Tak ada reaksi antara pandangan mata kami. Dia kelihatannya masih sedikit jengkel denganku. Setiap kali mau minum, makan, dan aku yang menyuapinya. Tak sedikitpun dia memandang ke arahku. Bola matanya selalu lari dariku. Ah sudahlah, yang penting sekarang amarahnya sedikit menurun.

“Besok kuliah?” tanyanya setelah gelas dan piring yang sudah tak berisi lagi

“Iya” jawabku

“Hm, pulang ke kontrakan dulu saja. kapan-kapan main lagi” ucapnya

“He’em” jawabku

“Berminggu-minggu gak ada kabar” ucapnya tanpa sedikitpun memandangku

“Boleh aku cerita?” tanyaku

“Ya” jawabnya

Aku kemudian menceritakan beberap kejadian setelah pertemuan dengannya dikontrakan. Bahkan adanya Desy dalam ceritaku aku ceritakan. Hingga kantor polisi dan menginap dirumah mbak Arlena. Dia tidak memandangku tapi aku yakin dia mendengarkan semua ceritaku.

Dia menoleh dengan lirikan tajamnya.

“Yang penting, kalau di komplek sini. Kamu sama aku” ucapnya tegas

“Iya, kenapa?” tanyaku

“Iiih, cemburulah, masa gak cemburu denger kamu berduaan di atap gedung sambil liat bintang” ucapnya. Aku sedikit tertegun ketika mendengar kata-katanya

“Pulang dulu, siapkan diri kamu untuk kuliah besok sayang” ucapnya, mendekatiku dan memberikan kecupan di pipiku

“Eh, i-iya...” jawabku

Sembari berdiri, pikiranku masih melayang dengan kata-katanya. Aku berbalik ketika tepat di belakang pintu keluar.

“Nun, benar kamu cemburu?” tanyaku, kepada Ainun yang berdiri dibelakangku

“Iya, memang kenapa? gak boleh?” tanyanya

“Boleh sih, ta-tapi itu kan, dulu kamu bilang...” aku benar-benar kebingungan. Kalau dia cemburu, berarti ada kemungkinan aku bisa bersamanya. Eh, tapi, dulu dia juga bilang cemburu waktu aku cerita tentang teman kuliahku, adikku dan mbakku.

“Didepan tidak ada yang tahu, kalau selagi masih bisa bersama. bersama ya” dia tersenyum memandangku

Cup...

Sebuah kecupan mendarat di pipiku kembali. Aku ingin maju dan menciumnya tapi dia, dengan jari telunjuknya, menunjuk bibir kemudian menggoyang-goyangkan tepat didepan bibirnya. Berarti memang tidak boleh menciumnya. Kami kemudian saling memandang dan tersenyum.

Aku kemudian keluar dari rumah pak RT dan menuju ke kontrakanku. Sesampainya di kontrakan, sambil merebahkan diri di kamar, melepas lelah. Ku raih sematponku. Aku membuka aplikasi watsap, kucoba mencari nomor Ainun. Ada.


Eh, ternyata
sudah pake sematpon sekarang

Iya dong, he he


Dikasih sama mbakku

Iya,
Sudah malam,
Bobo sayang



Iya, met bobo
Sayangku Ainun


Aku sendiri tidak mengerti. Sampai sekarang pun aku masih tidak mengerti. Semua terlihat berjalan begitu cepat. Samo dan Justi, aku hajar habis karena berhubungan dengan istri orang. Dan sekarang seakan semua berbalik ke arahku. Ah, aku tidak tahu, dan sangat sulit untuk tahu. Sembari menanti mentari menyapa, aku memejamkan mataku. Tak lupa aku mengirim pesan watsap ke mbak Arlena. Ana dan Ani juga, lucunya mereka ikut terkejut. Maklum, sebelumnya hape-ku jadul. Dengan membentuk grup, aku, Ana, dan Ani. Mengobrol sebentar, melepas kangen. Baru kemudian aku terlelap, larut dalam lelahnya malam.




---------------------​

“Ugh... hoaaam...”

Aku terbangun. Tadi, setelah kepulangan Adikku, aku kembali melanjutkan hariku dengan tidur siang. Ku raih sematpon di meja samping tempat tidurku. 17.00. Lama sekali aku tidur. Males banget rasanya, ufth, pengen tidur lagi tapi belum mandi. Ermmmh, ku renggangkan tanganku, melemaskan otot-otot tubuhku.

“Ugh capek, biasanya sore gini, adik dah buatin aku makanan. Sekarang, sendiri lagi. Dasar adik laki-laki bikin kangen terus, udah anaknya nurut, kalau dimarahi diem aja hi hi hi. Lucu” bathinku sembari tertawa-tertawa sendiri

“Hi hi hi hi...”

“Eh...” aku terkejut, terdengar suara wanita tertawa.

Pelan tapi terdengar keras di telingaku. Semakin lama tertawanya semakin sering. Seperti hantu, tapi kok baru sekarang muncul. Sebenernya takut, tapi penasaran. Pelan, aku bangkit dan keluar dari kamar. Tapi, rasa-rasanya aku pernah mendengar cara tertawa seperti ini.

Kleeeek...

“hi hi hi hi...”

“Suaranya semakin jelas, kok jadi mrinding aku. EGP. Paling kalau aku takut ya pingsan. Dah beres, gitu aja, yakin. Cari sumber suaranya” dalam hati aku berbicara sendiri

Aku melangkah keluar kamar. Suara tawa itu berasal dari halaman belakang rumah. Semakin aku mendekat, tawa itu semakin jelas.

“Eh...”

Di kandang omen, seorang wanita. Duduk di dengan satu tangan memangku dagunya. Tangan kananya mengelus omen yang berad di depannya. Dengan kemben menutupi sebagian tubuhnya, dan jarik yang menutupi kakinya. Aku mengenalnya, aku kenal dia.

Tiba-tiba, dia menoleh ke arahku. Tertawa.

“Hi hi hi hi...”

“I-Ibu...” ucapku lirih

Dia tersenyum manis. Seakan aku melihat cermin diriku sendiri. Hatiku gemetar ketika melihat wajah ayu itu, wajah ayu yang selalu aku puji setiap hari. setiap hari saat aku masih bersamanya.

“Adik kamu, pemberani, tapi hatinya lemah. Jaga dia ya. Dia akan selalu menjagamu”

Air mataku mengalir. Kepalaku mengangguk pelan. Tubuh Ibu, pelan menghilang dari hadapanku. Yang terakhir adalah wajah Ibu yang tersenyum. Aku segera berlari mendekati tapi sudah terlambat, Ibu sudah menghilang. Aku duduk bersimpuh dan menangis. Menangis karena aku dulu melupakan Ibu, tapi beliau tak pernah melupakan aku.

Ku usap air mataku, dan duduk ditempat dimana Ibu duduk. Satu persatu omen mendekatiku. Ku ambil satu dan ku peluk.

“Amu tangen ya ama adittu, besok dia celing tesini tok, amu cabal ya” ucapku, entah kenapa tiba-tiba aku berbicara layaknya aku masih kecil.

“cudah, cudah... talian halus cehat, ya, biyal cepet punya anak ya” lanjutku. Aku tersenyum dan tertawa sendiri dengan tingkahku.

“Ibu, terima kasih telah memberiku seorang adik yang pemberani. Terima kasih Ibu, maafkan aku, anakmu. Maafkan” bathinku

Aku menangis, memeluk omen. Kulihat beberapa omen mendekatiku lagi. Baru aku sadar kalau aku lupa memberi mereka makan. Segera aku mengambil kangkung dalam almari es, dan kembali memberi makan. Menghabiskan sisa siang dengan mereka, omen, yang penuh dengan kenangan.
 
Terakhir diubah:
nah, beginilah cara memulai cerita dan ngasih teaser yang tepat. kayanya banyak penulis yang perlu belajar pada suhu DH

semangat suhu,semoga cepat dilanjutpun
 
silahkan suhu-suhu sekalian,
scene pertama sudah nubie posting,
jika ada krtitk dan saran mohon pencerahannya...


selama ada waktu luang, nubie akan ketik cerita sampe selesai,
mohon dukungannya...


terima kasih...


:ngupil:

:ngacir:
 
"EAAAAK" Suhu DH rilis lagi...


Wah, wah, wah, :aduh: ,


Akhirnya keluar juga...
 
Asyik asyik suhu DH turun gunung

Ane kasih :beer: biar semangat suhu
 
mejeng di pejwan dagangan baru suhu dono :jempol:

btw, ini sequel nya? :huh:
 
:alamak: suhu DH bikin cerita baru. langsung update langsung panjang ceritannya
Mantap
:jempol:

Ditunggu update selanjutnya suhu
 
waduh suhu DH ini sekuel change kan ?

awal2 baca gk ngeh sama tokoh arlena, eh trus inget samo justi fix chara dr change, baca ulang ah....

ijin gelar tiker sambil selonjoran hu, thanks udah bikin sekuelnya yuhhhuuuuy
 
Akhirnya suhu dh bikin sequel change.

Ga usah terburu2 suhu buat updatenya pentingin rl aja dulu biar ga kerasa di kejar2 buat update.

Kangen ane ma Ainun udah terobati di scene 1 .
 
Bimabet
Mejeng ah :baca:
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd