Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Cinta tapi beda

marsena

Adik Semprot
Daftar
14 Jan 2018
Post
112
Like diterima
106
Bimabet
Setelah sekian lama menjadi silent reader izinkan nubie membuat sebuah cerita cinta sederhana. Mohon maaf kalau masih banyak salah penulisan....silahkan coret coret dibawah ya

1. First love (pov Surya)
Angin sejuk pagi hari berhembus membelai rambutku yang sedikit panjang untuk ukuran seorang siswa SMA. Mentari pagi mulai menunjukkan sinarnya menerangi jalan kecil yang biasa kulalui ketika pergi dan pulang sekolah. Namaku Surya. Aku adalah seorang siswa kelas 2 di sebuah SMA Negeri ternama di kota ini. Tapi bukan berarti aku siswa yang pintar. Aku diterima di sekolah ini karena prestasi basket dan futsalku saat SMP. Sebuah gerbang yang dilengkapi pagar besar bertuliskan SMAN 2 Purwakarta menyambutku ketika sampai di sekolah. Beberapa siswa tampak berlalu-lalang menuju ke kelas masing-masing. Beberapa juga ada yang mampir dulu ke kantin untuk sarapan.
“Selamat pagi, Surya,” sapa beberapa siswi manis yang berpapasan denganku. Aku hanya membalas dengan senyuman. Aku memang cukup populer di sekolah. Mempunyai wajah campuran cina-sunda, potongan rambut ala boyband korea, penampilan yang rapih, dan menjadi kapten tim basket dan futsal sekolah membuatku mudah terkenal di kalangan siswa perempuan. Walaupun sudah banyak siswi yang tertarik padaku, namun belum ada yang bisa mengalihkan pandanganku dari pemilik tas ransel berwarna biru yang baru saja berjalan mendahuluiku. Ia berjalan cepat mendahuluiku dengan wajah tertunduk setiap berpapasan dengan laki-laki. Jilbab panjang yang berwarna serasi dengan warna baju hem panjangnya menambah aura kecantikannya. Seragamnya yang terlihat tertutup dan kebesaran seolah menjaganya dari pandangan nakal laki-laki. Ia bernama Rahayu Siti Rahmayanti, seorang siswi anggota Rohis di sekolahku. Aku sangat hapal dengan jam kedatangannya di sekolah. Oleh karena itu, aku berusaha menyesuaikan jam berangkatku ke sekolah agar bisa melihat dan berpapasan dengan siswi pengguna ransel biru itu. Aku dan dia berada di kelas yang berbeda. Ia di kelas IPA yang berada di lantai bawah. Sementara aku berada di kelas IPS yang berada di lantai 2. Aku sangat hapal dengan aktivitasnya saat istirahat. Ketika siswi lain pergi ke kantin, ia lebih memilih pergi ke mushala atau membaca buku dan bersenda gurau dengan temannya di bangku koridor depan kelasnya. Setiap hari aku menatapnya dari lantai 2 walaupun hanya 2 sampai 3 menit tanpa ia sadari. Terkadang aku berpura-pura bermain handphone untuk memotretnya diam-diam dari jauh. Ia sangat berbeda dengan siswi lain yang mudah akrab dengan laki-laki. Ia cenderung menjaga jarak dengan lawan jenisnya. Sangat berbeda ketika ia bergaul dengan teman perempuannya. Sifatnya itu membuatku sulit untuk mendekatinya. Bahkan untuk sekedar berbicara padanya sangat sulit. Ketika hati telah memilih, maka tidak ada seorangpun yang bisa mencegahnya. Karena ketika hati sudah berbicara, ia bisa membuat otak sulit berpikir. Aku jatuh cinta pada Rahayu. Sebuah perasaan yang tidak mungkin bisa kuungkapkan dan hanya bisa kusimpan dalam hati. Sebuah batas kehidupan membuatku hanya bisa melihatnya dari jauh.

Setiap pulang sekolah aku bermain basket atau futsal bersama teman-temanku di lapangan olahraga. Hari ini teman-temanku mengajakku bermain basket setelah pulang sekolah. Biasanya selalu ada beberapa siswi yang menonton kami saat bermain futsal atau basket. Entah apa yang membuat mereka rela berpanas-panasan di pinggir lapangan untuk melihat kami bermain. Tetapi mereka selalu menyoraki namaku ketika aku mendribble bola atau memasukkan bola. Hari ini beberapa siswi yang terkenal dengan kecantikan dan keseksiannya di sekolah datang melihat kami bermain dari pinggir lapangan. Saat aku mengintari pandanganku, mataku terfokus pada siswi yang sedang duduk di bawah pohon akasia di dekat lapangan sekolah. Tampaknya ia tengah sibuk menulis atau menggambar sesuatu di kertas A4 yang dipangkunya. Sesekali ia mengedarkan pandangannya kearah lapangan.
“Rahayu? Belakangan ini kok dia sering disana, ya? Biasanya dia langsung pulang,” ujarku penasaran. Beberapa menit aku memandanginya dari kejauhan. Mengagumi salah satu ciptaan tuhan yang paling indah.
“Sur, ayo lanjut main,” gumam temanku sambil melakukan passing bola kearahku. Aku segera tersadar dan kembali melanjutkan permainan.

Aku meneguk air mineral dingin dari botol yang kubeli sebelum bermain basket. Mataku kembali mengintari pohon akasia yang menjadi tempat Rahayu untuk berteduh tadi. Aku sedikit kecewa karena dia sudah tidak ada disana.
“Bro, 2 minggu lagi ‘kan sekolah kita ada Pensi(Pentas Seni). Nah, tiap kelas wajib mengirimkan perwakilan untuk acara nanti. Rencananya kelas kita mau ngeband, tapi kita masih kurang vokalis. Kamu mau ikut?” tanya Dhani, Ketua murid sekaligus teman dekatku di kelas. Aku memang sering bernyanyi di kelas bersama teman-teman saat jam kosong. Kebetulan beberapa temanku memuji suaraku yang terbilang lumayan.
“Boleh, deh,” jawabku tersenyum.
“Ok. Besok kita latihan sekalian memilih lagu buat tampil nanti, ya” gumam Dhani sambil berjalan meninggalkanku dan kembali bermain basket. Aku melihat sepasang kekasih yang tengah kasmaran berjalan bergandengan tangan sambil bersenda gurau menuju gerbang sekolah.
“Mungkin aku bisa menyampaikan perasaanku padanya saat malam Pensi nanti,” gumamku dalam hati.
Bersambung....
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
2. Ketika rasa ini datang (pov Rahayu)
Suara adzan shubuh membangunkanku dari mimpi singkatku. Aku bergegas bangkit dari sajadah. Lagi-lagi aku tertidur saat membaca mushaf setelah solat tahajud. Aku bergegas mengambil air wudhu dan solat shubuh di kamar. Suara gemericik air sisa hujan semalam dan suara jangkrik yang masih terdengar membantuku khusyuk dalam mengerjakan solat. Setelah solat aku merasa hatiku menjadi sedikit tentram. Setidaknya gejolak tidak jelas yang belakangan ini sering datang di dalam hati sudah mereda. Setelah solat aku kembali melanjutkan membaca mushaf dan menyiapkan diri berangkat sekolah. Jarum jam menunjukkan pukul 06:45 saat aku tiba di sekolah.
“Assalamualaikum, Rahayu. Selamat pagi,” sapa Selva, teman sekelasku.
“Waalaikumsalam, Selva,” senyumku.
“Rahayu sudah mengerjakan PR Biologi hari ini? Aku kesulitan mengerjakannya. Ada beberapa bagian yang tidak kumengerti.”
“Sudah kok. Memang bagian mana yang Selva tidak mengerti? Nanti akan kubantu cara mudah memahaminya.”
“Wah ... serius? Ok nanti akan kuperlihatkan soalnya saat di kelas. Aku mau ke kantin dulu ya. Aku belum sarapan. Sampai jumpa di kelas ya, cantik,” gumam Selva sambil melangkah pergi menuju kantin. Aku sebenarnya bukan murid yang pintar. Tetapi temanku bilang kalau aku adalah murid yang rajin. Nilaiku hanya menonjol di mata pelajaran agama dan Biologi. Sementara pelajaran lainnya masih standar walaupun nilainya diatas rata-rata. Aku masih harus berjuang jika masih ingin masuk fakultas kedokteran. Aku mengintari pandanganku melihat ramainya siswa yang baru sampai di sekolah. Tiba-tiba mataku terfokus pada siswa beransel hitam yang berjalan tepat di depanku. Dialah yang membuat hatiku tidak karuan belakangan ini. Jantungku berdegub cepat saat berada disekitarnya. Dia adalah Surya, siswa paling populer di sekolah ini. Ketampanan dan keramahannya membuat banyak siswi yang mengaguminya. Jantungku kembali berdegub cepat dan mungkin wajahku bersemu merah. Aku mempercepat langkahku dengan wajah tertunduk tanpa melihat wajahnya. Aku tidak berani menatap wajahnya. Aku harus segera menjauh darinya agar jantungku bisa berdetak normal kembali.
“Rahayu, kebetulan kamu sudah datang. Aku ingin berbicara denganmu,” ujar Naomi, sang ketua kelas saat aku baru masuk kelas.
“Ada apa?” tanyaku penasaran.
“Begini, 2 minggu lagi ‘kan sekolah kita ada acara pentas seni. Nah, aku sudah berdiskusi dengan wali kelas merekomendasikanmu sebagai wakil kelas kita nanti,” ujar Naomi.
“Hah?! Aku? Aku harus menampilkan apa? Aku tidak bisa bernyanyi apalagi menari. Sebaiknya yang lain saja yang ikut,”
“Aku ingin kamu tampil membaca beberapa ayat Al-Quran nanti. Aku tahu kamu sangat pintar membaca Al-Quran. Bahkan dari kudengar temanku di Rohis, suaramu sangat bagus saat membaca Al-Quran. Jadi tolong wakili kelas ini, ya.” Aku berpikir sejenak mendengar tawaran Naomi. Teman-teman di kelasku tidak ada yang bisa bernyanyi dan bermain musik. Satu-satunya harapan mereka hanya aku. Aku terdiam berpikir sejenak.
“Baiklah. Aku setuju,” senyumku.
“Wah ... terima kasih ya. Nanti kamu sendiri saja yang menentukan ayatnya,” gumam Naomi tersenyum sambil melangkah pergi meninggalkanku. Jarum jam menunjukkan pukul 10:00 saat jam istirahat berbunyi. Saat murid lain pergi ke kantin atau bersantai dan bermain di lapangan, aku memilih membaca buku di bangku depan koridor kelasku. Entah kenapa setiap aku membaca buku disini, aku selalu melihat Surya di koridor lantai 2. Terkadang dia mengobrol dengan temannya, bermain handphone atau menatap taman sekolah yang berada tepat di depan kelasku. Hari ini kulihat ia mengedarkan pandangannya ke lantai 1. Entah apa yang dicarinya. Aku berusaha mengacuhkannya dan memfokuskan pikiranku pada buku yang tengah kubaca. Aku berusaha menjaga pandanganku agar tidak bertemu dengan matanya. Aku memang belum mengenal betul bagaimana sifatnya dan mulai kapan rasa ini mulai tumbuh. Rasa yang membuatku selalu teringat tentangnya dan hatiku selalu berdesir saat mengingatnya. Ya ... Allah, tolong bantu hambamu ini untuk mengatasi perasaan aneh ini.

Jarum jam menunjukkan pukul 14:00 saat bel pulang berbunyi. Seperti biasa aku selalu mampir ke mushola sekolah untuk membaca dan mengingat hapalan Al-Quran. Suasana sepi di sekitar mushola membuatku bisa membaca Al-Quran dengan tenang. Jujur saja sebenarnya aku sangat malu ketika membaca Al-Quran dengan suara lantang di depan umum. Oleh karena itu aku sempat ragu untuk menerima tawaran Naomi. Tidak terasa sudah satu jam aku berada di mushola. Aku bergegas memasukkan mushafku dan bersiap untuk pulang. Saat aku melintasi lapangan sekolah, kulihat Surya sedang bermain basket di lapangan bersama temannya. Beberapa gadis cantik yang populer di sekolah tampak berjejer di pinggir lapangan. Mereka pasti ingin melihat Surya bermain basket. Surya memang pantas menjadi siswa idola sekolah. Aku baru ingat kebetulan hari ini aku membawa pensil dan selembar kertas A4 kosong. Entah mengapa tiba-tiba aku sangat ingin menggambar. Selain membaca, aku juga mempunyai hobby mengambar. Aku duduk menyandarkan tubuhku di bawah pohon akasia dekat lapangan. Tanganku mulai bergerak menggoreskan pensil di atas kertas. Sebenarnya aku ingin menggambar suasana di lapangan. Tetapi entah mengapa mataku selalu tertuju padanya. Pemilik mata berwarna coklat itu terlihat bersemangat siang itu. Tanpa aku sadari ternyata tanganku malah bergerak untuk menggambar dirinya. Memang harus akui aku menyukainya dan mungkin mencintainya. Aku jadi teringat perkataan temanku, “Cinta adalah sebuah kesalahan pada sirkuit saraf manusia.” Mungkin ini yang menyebabkan keanehan pada diriku. Sudah setengah jam aku duduk dibawah pohon menggambar dan memandanginya dari kejauhan. Aku teringat perintah ibuku agar pulang cepat dan membantu ibuku mengajar ngaji anak tetangga. Aku bergegas memasukkan alat tulis dan melipat hasil gambarku untuk disisipkan kedalam mushaf.

“Kak Ayu, tolong ajari aku menulis tulisan arab dong,” pinta gadis kecil imut yang duduk di dekatku.
“Oh ... Kakak contohkan dulu, ya. Kamu perhatikan caranya,” senyumku sambil mengambil buku dan pensil yang diberikan anak itu.
“Wah ... bagus sekali tulisan Kakak. Aku sudah mengerti caranya. Aku akan berusaha membuat tulisan arab sebagus Kakak,” ujarnya saat ia melihat tulisan arabku. Aku tersenyum gemas melihat ekspresi gadis kecil manis berkerudung merah ini. Ibuku membuka kursus mengaji untuk anak tetangga di sekitar rumahku. Kami mulai mengajar dari bada ashar sampai menjelang maghrib. Kami tidak hanya mengajar cara membaca Al-Quran yang benar, tetapi juga hapalan surat, menulis surat Al-Quran, dan beberapa pelajaran agama islam lainnya.
“Cie ... Rani ternyata suka, ya sama Putra. Cie ...” aku mendengar suara ribut-ribut di barisan belakang saat aku tengah mengajar ngaji. Aku menghentikan aktivitasku dan berjalan mendekati barisan belakang.
“Eh ... ada apa ini? Kok malah ribut? ‘Kan Kakak sudah menyuruh kalian menghapal surat Al Insyiroh. Kok kalian malah ribut?” tanyaku.
“Ini, Kak. Hafidz mengejekku saat aku sedang menghapal,” ujar gadis tembem berkerudung putih yang bernama Rani.
“Ih ... bohong dia, Kak. Memang benar, kok. Rani suka sama Putra, anak pak RT. Kalau kakak tidak percaya coba baca surat ini,” gumam Hafidz sambil memberikan sebuah kertas lusuh kepadaku. Aku hampir tertawa saat membacanya. Ternyata ini adalah surat cinta yang ditulis Rani untuk Putra. Tulisan Rani yang acak-acakan dan sangat polos membuatku tersenyum saat membacanya. Rani hanya tertunduk malu saat aku membaca suratnya.
“Cie ... Rani suka Putra. Rani suka Putra,” ejek Hafidz yang disambut gelak tawa teman-temannya. Beruntung Putra tidak masuk hari ini karena sakit. Kalau tidak, mungkin keadaan ruangan ini akan semakin gaduh.
“Sudah ... sudah. Hafidz, kamu mencuri surat ini dari Rani, ya?” tanyaku. Hafidz hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.
“Hafidz, mengambil barang milik orang lain tanpa izin itu dosa, loh. Nanti kamu akan dimasukkan kedalam neraka dan tanganmu dipotong pakai gergaji,” ujarku. Hafidz hanya tertunduk mendengarkan nasihatku.
“Maaf, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi,” aku tersenyum mendengar penyesalan Hafidz.
“Rani, Kakak tidak melarang kamu menyukai lawan jenismu. Itu adalah sesuatu yang normal. Tapi yang harus kamu ingat dalam islam pacaran itu dilarang. Berpacaran sama saja dengan berzinah. Jika kamu jatuh cinta pada Putra, cintai dia dengan cara yang benar, ya. Jangan sampai kalian berdua berdosa karena perasaan ini,” ujarku. Rani tersenyum menatapku. Ia menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
“Nah, sekarang Kakak ingin kalian berdua berbaikan, ya. Jangan sampai ada yang memberitahukan ini kepada Putra, ya. Biarkan Rani menyukai Putra dengan caranya sendiri,” senyumku sambil kembali melanjutkan aktivitas mengajarku. Terkadang aku iri kepada muridku yang berpikiran polos dan jujur. Mereka sangat jujur dengan perasaan diri sendiri. Aku ingin seperti mereka. Mengungkapkan perasaan yang selama ini bergejolak dihatiku tanpa memikirkan resikonya.
“Ya Allah. Jika dia memang jodohku, maka tolong dekatkanlah. Jika dia bukan jodohku, maka tolong bantu hambamu ini mengatasi gejolak perasaan di hati ini. Semoga yang kualami saat ini hanya sesaat dan menghilang seiring waktu. Karena kami memang sangat sulit untuk disatukan,” gumamku dalam hati.
Bersambung.....
 
Terakhir diubah:
Pertamax..... monggo dilanjut hu bagus kayanya ceritsnya, penulisan jg udah enak kok
 
3. Malam Pensi dan sebuah realita
Pov Surya
Matahari tampak sudah berada di ufuk barat. Sinarnya yang beberapa jam yang lalu berwarna kuning cerah sudah berubah menjadi kemerahan. Sinarnya menambah keindahan panggung yang akan dipakai malam ini untuk Pensi. Beberapa anggota OSIS yang menjadi panitia acara tampak sibuk menata dekorasi panggung. Lapangan yang biasanya kupakai untuk bermain futsal dan basket sudah tertutup panggung dan dekorasinya.
“Surya, kudengar kamu bakal nyanyi ya malam ini?” tanya Nadea, ketua ekskul cheersleader yang terkenal dengan kecantikannya.
“Ya. Anak-anak kelas menyuruhku menjadi vokalis nanti,” jawabku.
“Semangat, ya. Aku akan berada di barisan paling depan saat kamu tampil nanti. Aku tidak sabar melihat orang yang kukagumi tampil,” ujar Nadea. Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Nadea sudah menyukaiku sejak kelas 1. Bahkan ia sudah pernah mengajakku berpacaran. Tetapi aku tidak bisa berpacaran dengan orang lain selama hati dan pandangan ini masih tertuju padanya, sang gadis beransel biru.
“Bro, ayo bantu aku mempersiapkan alat musik untuk tampil nanti,” titah Dhani yang berteriak dari kejauhan.
“Ok siap!” ujarku.
“Aku bersiap dulu, ya. Sampai nanti,” gumamku pada Nadea.
“Tunggu,” Nadea memegang tangan kananku saat aku ingin beranjak.
“Ada apa?”
“Tentang pertanyaan yang pernah aku ajukan saat kita masih kelas 1. Jika kamu berubah pikiran, aku selalu ada disini menunggumu untuk menjawab “Ya”,” ujar Nadea tertunduk. Aku terkejut mendengar perkataan Nadea. Ternyata ia masih menyimpan perasaan yang pernah aku acuhkan. Nadea memang lebih cantik dibanding Rahayu. Ia juga selalu menduduki peringkat 10 besar di kelas IPA. Kepribadiannya juga sangat baik. Namun ketika hati ini sudah memilih, tidak mudah untuk merubahnya. Sekalipun pilihan yang diambil adalah pillihan yang salah.
“Ya, sampai saat itu tiba tetaplah menjadi teman baikku, ya,” senyumku. Nadea mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Ia mengeluarkan sebuah kalung perak berhias salib dan langsung diberikan kepadaku.
“Semoga dengan memakai ini tuhan Yesus akan selalu melindungimu,” ujar Nadea. Aku tersenyum dan mengambil kalung salib itu dari tangan Nadea.
“Terima kasih, ya. Semoga tuhan memberkatimu,”
“Semoga tuhan memberkati penampilanmu malam nanti,” ujar Nadea sambil melangkah pergi meninggalkanku.

***
Pov Rahayu
Jarum jam sudah bergerak pukul 18:30 saat aku tiba di sekolah. Di saat siswi lain memakai gaun atau berpakaian terbuka, aku hanya mengenakan kerudung satin coklat dan baju muslim terusan yang juga berwarna coklat. Mungkin orang-orang yang melihatku akan menduga jika aku akan datang ke acara pengajian bukan pentas seni sekolah. Malam itu aku hanya membawa tas selempang kecil dan sebuah mushaf yang menjadi teman berlatihku sebelum tampil. Aku juga sudah menentukan ayat yang akan kubaca nanti. Meskipun hanya satu ayat, isi ayat tersebut bisa menjawab semua kegundahan hatiku selama ini.
“Eh ... Rahayu. Ukhti katanya nanti tampil sebagai perwakilan kelas 11 IPA 1, ya?” tanya Yunita, teman satu departemenku di ROHIS. Aku hanya tersenyum mengangguk menjawab pertanyaannya.
“Mohon doanya, ya. Semoga semuanya lancar,” ujarku. Gadis berjilbab ungu dan berkacamata itu tersenyum manis kearahku.
“Jangan khawatir. Insyaallah aku doakan acara malam ini lancar. Aku yakin kamu bisa. Kamu ‘kan anggota ROHIS yang bacaan Al Qurannya paling tartil,” gumam Yunita.
“Ah ... bisa saja kamu. Aku juga masih belajar ‘kok. Sama seperti kalian,” ujarku. Aku melihat tampak seorang siswa tampan naik keatas panggung sambil memegang microfone.
“Selamat malam untuk seluruh siswa SMAN 2 Purwakarta yang hadir di malam yang indah ini. Perhatian untuk seluruh peserta Pensi dari masing-masing kelas untuk segera bersiap karena acara akan dimulai 15 menit lagi,” ujarnya.
“Semangat, ya,” ujar Yunita sambil melangkah pergi. Beberapa menit kemudian acara pentas seni dibuka. Dimulai dari sambutan panitia, komite sekolah dan kepala sekoah. Jantungku berdegub kencang menanti giliranku tampil. Ini adalah pertama kalinya aku membaca Al Quran di depan banyak orang.
“Baik, penampilan pertama ada pembacaan ayat suci Al Quran dari perwakilan kelas 1 IPA 1. Saudari Rahayu Siti Rahmayanti dipersilahkan naik keatas panggung,” ujar MC acara. Aku terkejut mendengarnya. Ternyata aku tampil pertama. Aku lupa perkataan Naomi yang menyuruhku bersiap lebih awal karena aku tampil pertama. Perlahan aku menaiki panggung dengan kaki gemetar. Aku langsung mengintari pandangan saat berdiri di atas panggung. Seluruh murid di kelasku meneriakkan namaku di barisan depan dan tengah. Mereka menyorakiku agar tampil bagus. Namun teriakan mereka justru membuatku semakin grogi. Tiba-tiba mataku terfokus pada laki-laki berbaju merah melihatku dari barisan belakang. Ia tersenyum kearahku seolah berkata “kamu pasti bisa” padaku. Sungguh senyum manisnya membuatku sedikit tenang.
“Bismillahirohmanirrohim,” gumamku pelan. Perlahan aku duduk di tempat yang sudah disediakan panitia. Disana juga sudah tersedia meja dan sebuah Al Quran besar. Seluruh penonton terdiam menungguku membaca ayat suci Al Quran. Aku menarik nafas dalam-dalam dan mulai membaca ta’awudz.

وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلاَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ {221}
Artinya:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah : 221).
“Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatu” ujarku mengakhiri penampilanku. Seluruh penonton terdiam sesaat setelah aku mengakhiri pembacaan Al Quran. Namun mataku terfokus pada lelaki berbaju merah yang menatapku dengan mata berkaca-kaca. Entah apa yang membuatnya menangis. Tetapi aku puas sudah mengeluarkan isi hatiku kepada Surya, laki-laki berbaju merah. Apakah perasaanku sudah sampai kepadanya sehingga ia menangis? Sungguh aku berharap semoga itu yang membuatnya menangis. Kuharap ia tahu perasaanku walaupun rasa ini tidak boleh berkembang lebih besar lagi.
“Ya Allah, tolong hambamu yang lemah ini. Tolong bantu hambamu ini untuk membunuh perasaan ini. Sebenarnya aku ingin membiarkannya terus tumbuh menambah keindahan cinta dalam diam ini. Tetapi hamba sangat takut dengan laranganmu. Tolong bantu hambamu yang lemah ini, Ya Allah,” gumamku dalam hati. Tanpa kusadari ternyata air mataku mulai membasahi pipi kananku. Riuh tepuk tangan penonton menyadarkanku dari lamunanku. Aku bergegas turun dari panggung sambil mengelap air mataku. Suara retakan di dalam hati semakin jelas kudengar. Apakah dia merasakan hal yang sama denganku?
Bersambung....
 
Terakhir diubah:
4. Ternyata Rahayu ... (pov Surya)
Jam tangan digital handphoneku sudah menunjukkan pukul 18:45 saat MC membuka acara Pensi malam ini. Jantungku berdegub kencang. Bukan karena sebentar lagi band-ku akan tampil, tetapi aku menunggu penampilan Rahayu. Aku dengar ia mewakili kelasnya untuk mengisi acara Pensi malam ini. Ia juga peserta Pensi yang pertama tampil malam ini. Aku penasaran apa yang akan ia tampilkan malam ini. Apakah ia akan menyanyi? Atau bahkan menari? Ah ... rasanya tidak mungkin gadis pemalu seperti dia menyanyi dan menari di atas panggung. Tidak lama kemudian seorang gadis cantik berkerudung cokelat naik keatas panggung setelah MC menyebut namanya. Langkahnya sungguh sangan anggun. Penampilannya yang terlihat sederhana dan sangat tertutup membuatnya sangat mencolok dibandingkan siswi lainnya. Make up tipis yang ia pakai membuatnya semakin mempesona.
“Cantik banget,” gumamku pelan. Tiba-tiba ia mengedarkan pandangannya kearahku. Sesaat tatapan kami saling beradu. Bola mata cokelatnya menatap mata sipitku seolah ingin menyampaikan sesuatu. Sungguh moment itu nyaris membuat jantungku berhenti berdetak. Tidak ingin rasanya aku berkedip agar bisa menikmati moment langka ini selama mungkin. Suara riuh teman sekelas Rahayu membuat kami tersadar. Rahayu bergegas membuang muka dan bersiap untuk tampil.
“Hah ...” desahku setelah membuang nafas dalam-dalam. Aku hampir saja pingsan karena bertatapan dengan Rahayu. Sungguh jatuh cinta bisa membuatku menjadi sekonyol ini. Aku berusaha tenang dan menikmati penampilan Rahayu. Ternyata ia tampil membawakan tilawah Al Quran dan terjemahannya. Lantunan suara Rahayu saat membaca Al Quran menggetarkan hatiku. Sebuah lantunan yang sangat indah dibandingkan lagu pop yang terkenal di negeri ini. Sungguh irama dan suaranya sangat indah. Meskipun aku tidak mengetahui tentang kitab yang sedang ia baca, aku sangat menikmati penampilannya. Setelah ia membaca ayat Al Quran, ia membaca arti ayat yang baru saja ia lantunkan
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran,.”. ujarnya.
“Jleb ...” sebuah pukulan tak kasat mata mengarah ke arah jantungku setelah mendengar arti ayat yang ia bacakan.
“Apa artinya ini? apakah dia tahu jika aku menyukainya diam-diam? Apa tujuannya membacakan ayat ini saat Pensi?” tanyaku dalam hati. Hatiku masih bertanya-tanya maksud Rahayu membacakan surat itu. Tetapi aku sangat berharap surat ini menggambarkan perasaan hatinya saat ini. Saling menyukai dalam diam karena tidak mampu melanggar batas takdir kehidupan. Tidak terasa air mataku jatuh membasahi pipi kananku saat Rahayu menyelesaikan penampilannya. Ah ... ada apa ini? apakah aku mulai menyesali karena mencintai orang yang salah? Atau terlalu bahagia karena ia mungkin merasakan hal yang sama? Jika saja aku mempunyai kekuatan dan keberanian untuk menghancurkan batas ini.
“Bro, mau kemana? 15 menit lagi kita tampil, loh,” ujar Dhani saat melihatku beranjak pergi meninggalkan area Pensi.
“Mau ke toilet sebentar,” jawabku. Aku ingin membasuh wajah menghapus sisa air mata yang tidak sengaja keluar. Tidak mungkin aku tampil dengan mata yang sembab karena menangis. Aku bergegas menuju kamar mandi. Kulihat jam digital di handphoneku sudah menunjukkan pukul 19:00. Artinya 10 menit lagi aku akan tampil. Setelah aku keluar dari toilet, handphoneku bergetar pertanda pesan masuk. Saat aku ingin membuka handphone, seorang siswi tanpa sengaja menabrakku. Kami berdua terjatuh dan handphoneku terlempar jatuh ke lantai. Tampak sebuah buku kecil milik siswi itu juga tergeletak di lantai.
“Maaf, aku tidak sengaja,” gumam siswi tersebut. Aku terkejut mendengar suara siswi yang menabrakku. Sebuah suara yang tidak asing bagi telingaku. Suara yang selalu ingin kudengar setiap aku datang ke sekolah. Setelah aku memfokuskan pandanganku, ternyata siswi tersebut adalah Rahayu.
“Iya, tidak apa-apa. Kamu sendiri?” tanyaku Kulihat wajah Rahayu tiba-tiba memerah. Matanya menatap tajam layar handphoneku yang terjatuh dan masih menyala. Aku baru ingat jika aku membuat fotonya yang kuambil diam-diam sebagai wallpaper.
“Gawat ... aku harus bagaimana ini? Apa aku harus menyatakan perasaanku padanya sekarang? Tapi bagaimana caranya? Aku bahkan belum pernah berkenalan dengannya,” gumamku dalam hati. Beberapa saat kami terdiam mematung. Tatapan kami saling beradu seolah ingin melihat isi hati masing-masing.
“M ... maaf. Aku buru-buru. Permisi,” ujar Rahayu sambil bergegas mengambil buku kecilnya dan melangkah meninggalkanku.
“Tunggu!!” titahku sambil menggenggam lengan kurusnya yang tertutup gamis. Rahayu terlihat terkejut ketika aku memegang lengannya. Wajah merahnya kembali menatapku. Sungguh aku tidak sadar dengan apa yang sedang kulakukan. Mungkin ini karena perasaanku yang tidak sanggup kutahan lagi membuatku spontan menarik lengannya. Jantungku berdegub kencang karena pertama kalinya aku mengganggam tangan seorang gadis meski tidak bersentuhan dengan kulitnya. Lagi-lagi kita berdua terdiam tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa detik Rahayu membiarkan tanganku yang gemetar memegang lengannya.
“M ... maaf. A ... ada apa lagi?” ujar Rahayu tergagap sambil menarik lengannya. Ada apa ini? mengapa dia terlihat begitu grogi? Apa dia juga merasakan hal yang sama denganku? Atau ia selalu begitu saat berbicara dengan lawan jenisnya? Aku menarik nafas dalam-dalam berusaha menenangkan pikiranku yang kalut sedari tadi.
“Maaf, kalau boleh tahu, siapa namamu?” tanyaku sambil mengulurkan tangan kananku. Kulihat ia tersenyum manis kearahku. Sungguh wajahnya yang merona dan senyumnya yang manis membuatku gemas. Ia menarik kedua tangannya dan menangkupkannya dihadapanku.
“Aku Rahayu dari kelas 11 IPA 1. Salam kenal,” senyumnya. Ah ... sungguh aku dibuat terpesona olehnya malam ini.
“Maaf, nama kamu siapa?” suara lembutnya menyadarkanku dari lamunanku. Aku bergegas menarik tangan kananku dan meniru gaya bersalaman Rahayu.
“Aku Surya dari kelas 11 IPS 2. Senang berkenalan denganmu,” gumamku.
“Maaf, aku mau sholat Isya dulu. Aku duluan, ya. Semoga penampilanmu nanti lancar,” ujar Rahayu sambil tersenyum meninggalkanku. Aku masih berdiri mematung memperhatikannya menghilang di belokan menuju mushola. Akhirnya aku bisa berbicara dengannya. Moment ini tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Tiba-tiba aku teringat sebentar lagi aku akan tampil. Aku segera mengambil hanphoneku yang terjatuh. Tetapi sebuah kertas putih terlipat di dekat kakiku menarik perhatianku. Mungkin ini adalah kertas milik Rahayu yang terjatuh saat tabrakan tadi. Perlahan kulihat isi kertas itu.
“I ... ini gambarku saat bermain basket waktu itu,” gumamku kaget. Ternyata isi gambar itu adalah seorang laki-laki yang sangat mirip denganku tengah mendribble bola basket. Tiba-tiba aku teringat kejadian 2 minggu yang lalu saat Rahayu duduk menulis sesuatu dibawah pohon akasia saat aku bermain basket. Aku sangat yakin karena baju yang kupakai saat itu persis seperti yang ada pada gambar.
“Jadi selama ini Rahayu juga ...” gumamku dalam hati. Aku membalik kertas dan menemukan sebuah catatan disana
“Dan aku mencintaimu. Sungguh-sungguh tanpa kau tahu. Tersimpan di dalam hatiku. Selamanya ini jadi rahasia cintaku.
#andaitidakadabatasdiantarakita,”
“Deg ...” jantungku seakan berhenti berdetak saat membacanya. Akhirnya aku mengetahui fakta sebenarnya. Perasaanku telah sampai kepadanya. Ternyata kita mempunyai perasaan yang sama dan melakukan hal yang sama untuk menjaga cinta ini. Sekarang aku tahu alasan dia membacakan ayat itu saat Pensi. Ia berusaha menjaga cinta ini tumbuh sewajarnya. Tetap memelihara rasa ini tanpa melewati batas diantara kita berdua. Tidak terasa air mataku mengalir membasahi kedua pipiku. Sekarang aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Hatiku sangat gundah dan bimbang. Haruskah aku memperjuangkan cinta ini sampai batas itu hancur? Atau membiarkan cinta ini tumbuh dan mati diantara batas yang memisahkan kita?
“Aku tahu ini adalah resiko jika aku memilih jatuh cinta padanya. Aku sudah siap terluka karena memilih jalan ini. Namun kenapa malam ini hatiku terasa sakit dan menyesakkan?” gumamku dalam hati.
 
5. Ternyata perasaan kita .... (pov Rahayu)
Ah ... akhirnya aku berhasil menjalankan tugasku hari ini dengan lancar. Beberapa siswi perempuan dari kelasku menyalamiku setelah aku turun panggung. Beberapa diantara mereka bertanya padaku mengapa memilih surat yang tidak memiliki sangkut paut apapun dengan acara ini.
“Cuma iseng aja kok. Kebetulan lagi pengen banget baca ayat ini,” jawabku tersenyum. Aku melirik arloji sudah menunjukkan pukul 19:00.
“Sudah masuk waktu isya rupanya” gumamku dalam hati.
“Hei guys ... ada yang mau ikut shalat isya? Sudah masuk waktunya, nih” tanyaku.
“Hembh ... kamu duluan aja, Yu. Acaranya lagi ramai, nih. Nanti aku menyusul,” gumam Naomi yang disambut anggukkan beberapa teman sekelasnya. Akhirnya aku sendirian berjalan menuju mushala sekolah. Sepanjang jalan aku terus teringat raut wajah Surya. Aku tidak mengerti mengapa ia menangis. Pikiranku serasa buntu karena tidak menemukan alasan yang logis. Satu-satunya alasan yang masuk akal bagiku adalah kita mungkin merasakan hal yang sama.
“Tapi bagaimana jika dia juga menyukaiku? Aku harus bagaimana? Ah ... tidak-tidak. Itu tidak mungkin. Aku bahkan belum pernah berbicara padanya. Jadi mana mungkin ia jatuh cinta padaku. Rahayu ... kamu harus ingat tujuanmu membaca ayat ini adalah untuk menyadarkan hatimu. Kamu tidak boleh membiarkan rasa ini tumbuh lebih dalam lagi,” gumamku dalam hati. Ah ... mengapa pikiranku jadi kacau begini setelah melihat ekspresi Surya? Mungkin saja matanya kelilipan ,kan? Iya, dia pasti kelilipan sehingga matanya berkaca-kaca. Pikiranku yang sedang kalut membuatku tidak membuatku kurang fokus saat berjalan. Tiba-tiba ...
“Bruk ...” tanpa sengaja aku menabrak seseorang yang baru saja keluar dari toilet laki-laki. Aku terjatuh dan mushaf kecilku terlempar ke arah orang yang kutabrak.
“Maaf, aku tidak sengaja,” ujarku. Mataku tiba-tiba terfokus pada cahaya yang menerangi lorong yang sedikit gelap. Mungkin itu adalah handphone miliknya yang terlempar saat aku menabraknya. Tanganku bergegas mendekati benda itu berusaha mengembalikan benda itu sebagai permintaan maafku. Namun tiba-tiba napasku seolah berhenti saat melihat gambar wallpaper handphone itu.
“Bukankah itu fotoku ketika aku membaca buku di bangku koridor depan kelas?,” gumamku dalam hati.
“Iya, tidak apa-apa. Kamu sendiri?” tanya siswa itu. Aku semakin terkejut saat mendengar suara khas yang selama ini terngiang di kepalaku. Suara yang selama ini membuat jantungku berdebar kencang saat mendengarnya. Lelaki berbaju merah yang berkaca-kaca saat penampilanku tadi kini tepat berada di depan mataku. Artinya handphone ini adalah miliknya. “Ah ... apa artinya ini? mengapa ia memotretku diam-diam? Apakah ... apakah ... jangan-jangan ...” terkaku dalam hati. Biasanya aku selalu menundukkan pandanganku saat bertemu dengannya untuk menyembunyikan rasa maluku. Tetapi kali ini aku tidak bisa menyembunyikannya. Mungkin saat ini pipiku tengah merona menahan rasa maluku. Terlebih saat aku tahu ternyata ia memotretku diam-diam dan menjadikan fotoku sebagai wallpaper handphonenya. Gawat ... saat ini matanya menatap tajam kearahku. Jantungku berdegub cepat saat kulihat sorot matanya. Sepertinya ia terkejut saat melihatku. Wajahnya yang putih pun berubah cepat menjadi merah.
“Ada apa ini? Apakah dia juga merasakan apa yang kurasa? Ah ... aku tidak kuat lagi. Aku harus segera pergi dari sini,” gumamku dalam hati.
“M ... maaf. Aku buru-buru. Permisi,” ujarku sambil berdiri dan mengambil mushaf kecilku.
“Tunggu!!” gumamnya sambil menarik lengan kiriku. Aku terkejut pertama kalinya seorang laki-laki menarik tanganku selain ayahku. Ia menatapku lekat-lekat seolah berusaha masuk kedalam hatiku melalui mataku. Beberapa saat pandangan kami bertemu sebelum akhirnya aku tersadar jika tanganku dipegang lawan jenisku. Segera aku menarik tanganku dari genggamannya.
“M ... maaf. A ... ada apa lagi?” tanyaku tergagap. Ah ... mengapa aku jadi grogi begini? Apa dia tahu selama ini aku menyukainya? Apa yang ia inginkan dariku?
“Maaf, kalau boleh tahu, siapa namamu?” tanya dia sambil menjulurkan tangan kanannya. Aku tersenyum malu mendengar pertanyaannya. Ternyata bayanganku terlalu jauh.
“Aku Rahayu dari kelas 11 IPA 1. Salam kenal,” senyumku sambil menangkupkan kedua tanganku di depannya. Entah mengapa ia tiba-tiba terdiam saat melihat senyumku. Aku menjadi semakin canggung saat ia menatapku seperti ini.
“Maaf, nama kamu siapa?” tanyaku.
“Aku Surya dari kelas 11 IPS 2. Senang berkenalan denganmu,” senyumnya sambil menirukan gaya bersalamanku. Ah ... sungguh senyumnya membuatku luluh. Aku tidak bisa berlama-lama disini. Bisa-bisa aku jadi Salting.
“Maaf, aku mau sholat Isya dulu. Aku duluan, ya. Semoga penampilanmu nanti lancar,” ujarku sambil bergegas meninggalkannya. Ah ... sungguh sebuah momen yang tidak akan pernah aku lupakan. Ternyata cinta dalam diam mempunyai sensasi tersendiri jika kita menikmatinya. Dinginnya air wudhu malam itu membasahi wajahku seakan menenagkan hati dan pikiranku yang tidak karuan sedari tadi. Aku bergegas memakai mukena yang selalu kubawa dan segera menunaikan shalat isya. Sepinya suasana di sekitar mushala dan suara hiruk pikuk keramaian Pensi membantuku khusyuk dalam menjalankan ibadah kali ini. Saat aku membuka mushaf untuk mengingat kembali hapalanku, aku terkejut melihat sebuah benda berharga yang kuselipkan di mushaf hilang. Sebuah kertas HVS berisi gambar Surya dan kutipan sebuah lagu yang kulipat rapih di dalam mushaf telah hilang.
“Gawat ... jangan-jangan terjatuh saat aku bertabrakan dengan Surya tadi,” gumamku dalam hati. aku bergegas menanggalkan mukenaku dan setengah berlari menuju tempatku terjatuh tadi.
“Jangan sampai ia menemukannya. Jangan sampai ... gawat ini,” ujarku. Ketika aku sampai disana, aku tidak menemukan kertas itu. Aku berusaha mencari di sekitar tempat itu, tetapi aku tidak melihatnya.
“Ah ... mungkin saja tertinggal di kamar,” gumamku berusaha meyakinkan diriku agar tidak panik.
“Sekarang kita sambut penampilan band dari kelas 11 IPS 2,” suara sayup-sayup MC terdengar olehku.
“11 IPS 2 ‘kan kelasnya Surya. Ah ... aku penasaran dengan penampilannya,” ujarku sambil bergegas menuju panggung. Setibanya disana kulihat Surya dan teman-temannya sudah bersiap diatas panggung. Ternyata ia menjadi vokalinya. Aku semakin tidak sabar menanti penampilannya. Tampak hampir semua siswi cantik dan populer di sekolah memenuhi barisan di depan panggung sambil meneriaki Surya. Ia memang sangat populer di kalangan siswi di sekolahku. Kulihat Surya mengedarkan pandangannya di sekitar penonton seperti mencari sesuatu. Tiba-tiba ia menatap sambil tersenyum ke arahku.
“Ada apa ini? Mengapa ia tersenyum padaku?” tanyaku dalam hati. Beberapa saat kemudian suara melodi lagu mulai mengalun membuat penonton bersorak sambil bertepuk tangan.
Entah mengapa sepanjang penampilannya, Surya tidak mengalihkan pandangannya ke arahku. Ia menatapku sangat dalam sambil menyanyikan lagu yang dipopulerkan oleh Afgan itu. Sepertinya ia ingin menyampaikan sesuatu padaku melalui suara merdunya. Setelah ia selesai menyanyikan lagu pertama, ia berkata kepada semua penonton,”Guys ... penahkah kalian jatuh cinta sama orang yang kagumin dan susah buat di deketin? Seakan-akan kalian hanya bisa mengagumi dan memandang dia dari jauh dan berharap suatu hari ia sadar kamu tengah mencintainya dalam diam. Lagu terakhir yang akan kami bawakan khusus buat kalian yang sedang mengalami masa itu.
Kembali Surya tersenyum menatapku saat ia mengakhiri penampilannya. Aku hanya diam tertunduk tidak berani membalas tatapan matanya. Sekarang aku tahu semuanya. Akhirnya aku mengetahui kita mempunyai perasaan yang sama. Aku tidak tahu harus gembira atau sedih tentang perasaan ini. Aku semakin bingung dengan rasa ini.
“Ah ... kamu membuatku semakin bingung, Ya,” gumamku lirih.
 
Terakhir diubah:
6. Sebuah Inspirasi (pov Surya)
Jarum jam menunjukkan pukul 22:30 saat MC menutup acara Pensi malam ini. Walaupun kelasku tidak menang, tetapi aku sangat senang malam ini. Akhirnya aku berhasil mengungkap rahasia besar yang menggelayuti pikiranku selama ini. Aku yakin dia pasti tahu alasanku membawakan lagu itu. Saat aku tampil ia hanya menundukkan kepalanya tanpa membalas tatapanku.
“Apakah batas ini membuatnya sungkan untuk menatapku?” tanyaku dalam hati. Aku tahu perlahan dia pasti akan menjauhiku. Dia berusaha menghilangkan rasa yang tidak seharusnya tumbuh diantara kita. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku ingin selalu berada di dekatnya, menjaganya, walaupun tidak bisa memilikinya.
“Bagaimana caranya agar aku bisa berada di dekatnya? Aku tidak tahan menjadi secret admirer terus menerus,” gumamku lirih. Beberapa menit aku berpikir caraku mendekatinya tanpa melawati batas.
“Hei ... Bro. Ngelamun aja nih. Noh, lihat. Nadea ngeliatin kamu terus dari tadi,” gumam Dhani yang tiba-tiba datang mengejutkanku.
“Eh ... kamu, Dhan. Apaan, sih. Orang dia ngeliatin kamu ‘kok” godaku.
“Memangnya aku tidak tahu apa yang terjadi dengan kalian berdua? Nadea suka ‘kan sama kamu,” tebak Dhani.
“Kamu tahu dari mana, Dhan? Memangnya Nadea cerita?” tanyaku kaget.
“Haha ... mana mungkin Nadea cerita padaku, Bro. Aku ‘kan bukan siapa-siapanya dia. Dari cara dia mandang kamu saja sudah terlihat jelas ‘kok,” jawab Dhani.
“Bro, Nadea kurang apa ‘sih? Sudah cantik, pintar, bohay lagi. Aduh ... idaman banget deh. Cuma cowok bodoh yang nggak mau sama dia,” ujar Dhani.
“Ya ... mungkin aku termasuk cowok bodoh itu, Bro,” gumamku sambil tersenyum
“Hahaha ... baru sadar dia kalau dirinya oon. Lagian setiap ulangan Ekonomi kamu pasti remedial terus ‘kan. Haha ...” ejek Dhani. Aku menjitak kepalanya sambil tertawa.
“Eh ... Bro. Kamu pernah tidak suka sama cewek tapi kamu tidak bisa berhubungan lebih dari sekedar teman?” tanyaku.
“Kali ini kamu ngomongin siapa? Apa Rahayu dari kelas IPA 1 itu?” senyum Dhani. Aku terkejut mendengar tebakan Dhani yang selalu tepat. Rasa maluku meningkat pesat saat Dhani ternyata mengetahui rahasiaku selama ini.
“Haha ... mukanya biasa aja dong. Jangan seperti kepiting rebus gitu,” tawa Dhani.
“Kok kamu bisa tahu, Dhan?”
“Haha ... Surya, Surya. Kita itu sudah berteman sejak masuk SMP. Tentu saja aku hapal gerak-gerikmu, cara kamu memperhatikan seseorang, aku sudah tahu semua tentang kamu. Aku juga pernah melihatmu mengambil foto Rahayu diam-diam.” Ah ... ternyata selama ini sahabatku sudah tahu semuanya. Aku memang tidak bisa berbohong atau menyembunyikan sesuatu dari sahabatku ini.
“Sahabat ternyata mengerikan, ya. Stalkingnya lebih ahli dibanding mantan atau gebetan,” senyumku. Dhani hanya tertawa mendengar ucapanku. Beberapa saat kemudian ia menghentikan tawanya dan mengeluarkan sebuah foto dari dalam dompetnya. Tampak sepasang anak kecil tertawa bahagia berpose di depan kamera.
“Itu fotoku dengan anak teman ibuku. Dia adalah temen cewekku yang pertama. Setiap dia datang berkunjung ke rumahku, aku pasti jadi panik sendiri. Saat itu aku belum terbiasa bermain dengan lawan jenisku. Bahkan aku pernah ngompol karena terlalu malu saat bermain dengannya,” gumam Dhani. Aku tersenyum geli mendengar cerita Dhani. Ternyata ia mempunyai pengalaman konyol saat berinteraksi dengan perempuan.
“Ini serius loh, Bro. Walaupun terdengar konyol, tapi ini kisah nyata,” ujar Dhani setelah melihatku menahan tawa.
“Haha ... gak nyangka ternyata ketua kelas kita pernah ngompol gara-gara cewek. Haha ...” aku tidak sanggup menahan tawa mendengar cerita Dhani.
“Ini rahasia, ya. Kalau sampai menyebar harga diriku bisa hancur,”
“Haha ... iya, iya. Aku janji bakal merahasiakan ini. lanjut Bro ceritanya,” titahku.
“Dia adalah gadis yang cantik, pintar, tetapi cengeng dan cerewet. Dia sangat perhatian padaku. Setiap dia menangis, aku selalu berusaha menghiburnya. Bahkan aku pernah mengotori wajahku dengan lumpur agar dia tertawa melupakan rasa sakitnya saat ia terjatuh di sawah,” kisah Dhani.
“Tanpa kusadari timbul rasa sayangku kepadanya. Aku cemburu saat melihatnya dekat dengan laki-laki lain. Mungkin aku jatuh cinta padanya,” sambung Dhani.
“Wah ... jadi kamu berpacaran dengannya?” tanyaku penasaran.
“Bro, apakah sebuah hubungan itu perlu status?” Aku berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan Dhani.
“Ya ... perlu, Bro. Dengan status hubungan kalian ‘kan jadi lebih jelas. Kamu jadi bisa memilikinya seutuhnya,” jawabku. Dhani hanya tersenyum mendengar jawabanku.
“Saat kelas 3 SMP, aku berkata padanya bahwa aku sayang dia. Aku ingin berpacaran dengannya. Apakah kamu tahu apa jawabannya?”
“Apa, Bro?” gumamku penasaran.
“Dia hanya tersenyum dan berkata dia juga sayang padaku,” jawab Dhani.
“Berarti kalian pacaran?” Dhani menggelengkan kepalanya.
“Ia menerima perasaanku, tetapi tidak dengan statusnya. Ia tidak ingin melihat kami terluka karena status. Ia tidak ingin persahabatan yang kita jalin sedari kecil hancur karena status. Dia ingin status kita tidak berubah. Berpacaran hanya membuatmu merasa terkekang. Lagipula berpacaran dilarang di agamaku,” ujar Dhani.
“Lah ... bukannya kamu ingin menjaganya agar tidak menangis lagi? Bukankah itu lebih mudah dilakukan jika kalian berdua berpacaran? Bagaimana jika ia bertemu laki-laki lain yang bisa membuatnya jatuh cinta?”
“Bro, aku tidak ingin membatasinya berinteraksi dengan lawan jenis. Selama aku bisa menjaganya dan melihatnya tersenyum aku sudah bahagia ‘kok. Masalah jodoh sudah tuhan yang mengatur. Lebih baik kita sekarang saling memperbaiki diri sampai tuhan menyatukan kita dengan cara yang halal. Aku yakin cerita cinta kita jauh lebih indah dibandingkan pasangan yang selalu mengumbar kemesraan di depan umum,” ujar Dhani. Aku tersenyum mendengar cerita sahabatku ini. Sungguh sebuah cerita cinta dan persahabatan yang sangat indah. Aku tidak menyangka ia mempunyai kisah cinta yang begitu dalam. Sebuah kisah yang bukan sembarang orang yang mampu melakukannya.
“Gila ... aku tidak menyangka kamu mempunyai kisah cinta inspiratif seperti ini, Bro. Kalau boleh tahu siapa nama sahabatmu itu? Dia sekolah dimana?” tanyaku penasaran.
“Namanya Dea. Dia bersekolah di sebuah SMA Negeri terkenal di Tokyo. Entah apa nama sekolahnya. Aku lupa hehe ...” ujar Dhani terkekeh. Aku terkejut mendengar pengakuan Dhani.
“D ... dia sekolah di luar negeri?” ujarku kaget.
“Iya. Dia dapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah sampai lulus SMA di Jepang ketika lulus SMP. Dia memang pintar dan layak mendapatkannya,”
“Berarti kalian LDR? Bukannya berat, ya? Apalagi beda negara.”
“Berat atau tidaknya tergantung pribadi masing-masing, Bro. Selama kita berdua bisa menjaga komitmen insyaallah aku rela ‘kok. Lagipula kami tidak berpacaran. Aku tidak berhak menghalangi masa depan orang yang kusayang.”
“Memangnya kamu nggak kangen?”
“Bro, jaman sekarang sudah canggih. Kita bisa BBM-an dan chat Line sepanjang waktu. Bahkan setiap weekend kami selalu Skype-an untuk melepas rindu.” Tiba- tiba handphone Dhani bergetar. Ia bergegas mengambil dan melihat layar handphone.
“Nah ... baru saja diomongin, langsung video call dia,” senyumnya. Ia menerima panggilan video dan mengenalkanku pada Dea, sosok Gadis cantik berjilbab yang diceritakan Dhani. Dea memang cantik. Tidak kalah cantiknya dengan Rahayu. Bicaranya juga pelan dan sopan. Pantas saja Dhani begitu menyayanginya. Tidak lama kemudian Dhani sibuk video call dengan Dea. Ia langsung mengacuhkanku yang masih duduk terdiam di sebelahnya. Aku mengedarkan pandangan kearah lorong yang sudah mulai sepi ditinggalkan murid yang pulang ke rumah. Mataku menangkap bayangan perempuan berjilbab cantik tengah berjalan terburu-buru menuju gerbang sekolah. Ternyata itu adalah Rahayu. Sepertinya ia keasyikan berdiam diri di mushola sampai terlambat pulang. Tiba-tiba terbesit sebuah ide di pikiranku. Sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan agar aku bisa lebih dekat dengan Rahayu tanpa melewati batas diantara kita.
 
7. Pengakuan (pov Rahayu)
Perasaanku semakin tidak menentu setelah Surya tampil. Tatapan mendalam yang ia tunjukkan padaku seakan memberikan pesan padaku. Sebuah pesan yang memintaku untuk menjawab perasaannya.
“Ya Allah ... berikanlah petunjuk kepada hambamu ini,” gumamku dalam hati. Setelah Surya turun panggung, aku bergegas kembali ke mushola. Mungkin hanya disana tempat yang bisa membuat hatiku lebih tenang. Aku berusaha kembali memfokuskan pikiranku untuk menghapal juz 3 yang harus kusetorkan kepada ibuku lusa nanti. Aku memiliki cara yang unik untuk menghapal Al Quran. Aku memilih mulai menghapal dari belakang atau dari juz 30 karena lebih mudah dihapal. Sama seperti caraku menyelesaikan soal atau masalah. Aku pasti akan menyelesaikan yang paling mudah terlebih dahulu. Jika aku memulai dari yang lebih susah, mungkin aku akan stress dan malas untuk melanjutkannya. Berbeda jika aku memulai dari yang paling mudah. Bisa menyelesaikan soal yang mudah akan menambah motivasiku untuk bisa menyelesaikan soal yang yang lebih sulit. Jika setoranku berjalan lancar, aku tinggal menghapal 2 juz lagi agar bisa membuat orang tuaku bangga. Tidak ada hal yang bisa membuatku lebih bahagia saat melihat orang tuaku tersenyum bangga atas keberhasilan anak yang diasuhnya. Saat ini aku harus fokus menyelesaikan hapalanku daripada memikirkan perasaan tidak jelas yang selalu membuatku gundah. Setelah menghapal beberapa lembar, mataku mulai mengantuk. Kulihat jam dinding yang tergantung di dinding mushola.
“Astagfirullah ... sudah jam setengah dua belas?! Aku haru pulang sekarang!” gumamku panik. Aku terlalu asyik menghapal sampai lupa waktu. Ayahku pasti menungguku dengan cemas di rumah. Aku bergegas memasukkan mukena kedalam tas selempang dan membawa mushaf kecilku keluar mushola. Aku tidak mendengar suara sayup-sayup kemeriahan Pensi saat aku melintasi koridor. Suasana koridor yang gelap dan sepi membuatku sedikit takut. Aku mempercepat langkah agar bisa sampai ke gerbang lebih cepat. Saat aku melintasi lapanngan tempat Pensi, aku melihat Surya tengah duduk mengobrol dengan temannya. Ia menatapku seolah ingin berbicara denganku. Aku mengacuhkannya dan mempercepat langkahku menuju gerbang.
“Aduh ... jam segini pasti sudah tidak ada angkot. Jadi aku harus pulang jalan kaki dong, gerutuku saat tiba di gerbang sekolah. Aku melihat siswi lain pulang dijemput oleh orang tuanya atau berboncengan motor dengan temannya.
“Apa aku mencari ojek saja?” tanyaku dalam hati. Tiba-tiba sorot lampu dan klakson motor berbunyi di belakangku. Aku berusaha memperjelas pandanganku kepada pengemudi motor matic itu. Ia berhenti tepat disampingku dan membuka helm full facenya. Aku terkejut saat melihat wajah pengemudi motor itu. Sebuah wajah yang belakangan ini selalu hadir di dalam mimpiku.
“Yu, kamu mau pulang?” tanya Surya. Ia menatapku persis saat seperti saat ia tampil tadi. Aku terdiam beradu pandang dengannya. Aku bisa melihat jelas bola mata hitam yang tersembunyi dibalik matanya yang sipit.
“Yu, rumah kamu dimana?” tanya Surya lagi. Aku mulai tersadar dan berusaha memfokuskan pikiranku.
“I ... iya. Aku mau pulang. Rumahku di Perum Hegar Asih,” jawabku.
“Wah ... kebetulan kita searah. Rumahku di Perum Dian Anyar. Tepat di sebelah perumahanmu. Mau bareng?” tawar Surya sambil menyerahkan helm cadangannya padaku. Aku memang sangat membutuhkan tumpangan malam ini. Tetapi jika aku berada di dekatnya lebih lama lagi akan membuat perasaan aneh ini muncul kembali.
“Maaf, aku jalan kaki atau naik ojek saja,” tolakku.
“Yu, ini sudah larut. Kamu tidak akan mudah menemukan tukang ojek di sekitar sini. Sangat rawan jika seorang gadis berjalan sendirian saat larut malam seperti ini. Aku khawatir dengan keselamatanmu,” ujar Surya. Ah ... ternyata Surya mencemaskanku. Aku sangat senang mendengarnya. Rasa maluku meningkat tajam. Mungkin wajahku sudah memerah sekarang. Perkataannya membuatku salah tingkah. Surya masih terus menatapku yang masih terdiam malu.
“Ah ... baiklah. Jika kamu tidak ingin berboncengan denganku, aku akan menuntun motorku dan berjalan denganmu sampai rumah,” ujar Surya sambil mematikan motornya dan turun dari tempat duduk. Aku terkejut mendengarnya. Tangan kananku dengan refleks memegang lengan kirinya.
“Tunggu ... baiklah, aku mau,” gumamku tersenyum.
“Nah ... gitu, dong. Jangan menolak pertolongan dari orang yang ingin membantumu,” senyum Surya. Jantungku berdegub kencang saat melihat senyum manisnya. Entah apa yang membuatnya bisa bertingkah seperti ini. Padahal saat kami berkenalan tadi, ia sama gugupnya denganku. Ia melepaskan jaket kulitnya saat aku memakai helm.
“Malam ini udaranya sangat dingin. Apalagi angin pasti akan bertiup kencang saat di jalan nanti. Aku ingin kamu memakainya agar tidak masuk angin,” ujar Surya sambil menyerahkan jaket kulitnya padaku.
“Ya ampun. Mengapa ia sangat perhatian padaku? Tidak henti-hentinya ia membuatku salah tingkah,” gumamku dalam hati.
“Nanti malah kamu yang masuk angin,” ujarku.
“Tenang saja. aku sudah terbiasa berkendara di malam hari. Saat ini kamu lebih membutuhkannya,” ujar Surya sambil menyampirkan jaketnya ke belakang pundakku. Aku tidak bisa menolak permintaannya kali ini. Sungguh malam ini aku dibuat tak berkutik di depannya. Tiba-tiba mataku melihat seorang gadis yang tengah menatap tajam ke arah kami. Ternyata itu adalah Nadea, ketua ekskul cherrleader di sekolahku. Ia menatap seakan ingin geram kepada kami.
“Yu, ayo naik. Nanti kita kemalaman,” titah Surya sambil menyalakan motor maticnya. Aku segera memakai jaket dan duduk menyamping di belakang Surya. Ransel hitam yang selalu ia gunakan membatasi tempat duduk kami. Sepanjang perjalanan kami lebih banyak terdiam. Sesekali aku berbicara untuk menunjukkan jalan menuju ke rumahku. Jaket pemberian Surya membantu menjaga suhu tubuhku tetap hangat. Aroma khas Surya yang terpancar dari jaketnya membuatku semakin nyaman memakainya. 20 menit kemudian kami telah sampai di depan rumahku.
“Ini rumahmu, Yu?” tanya Surya. Aku bergegas turun dari motor dan menganggukkan kepalaku.
“Terima kasih banyak, ya,” senyumku. Beberapa detik kami terdiam hanya saling beradu pandang. Suara Mozza, kucing kesayanganku yang menyambutku pulang membuatku tersadar.
“Emh ... maaf. Aku masuk dulu, ya,” ujarku.
“Tunggu, Yu. Aku mau bilang sesuatu kepadamu.” Surya menatapku lekat-lekat membuatku malu.
“Ada apa, Ya?” tanyaku penasaran.
“Embh ... aku ... aku ... aku suka sama kamu, Yu. Aku sudah lama mengagumimu. Mataku tidak bisa berpaling darimu. Bahkan aku sering memotretmu diam-diam. Aku sayang padamu, Yu,” aku Surya. Aku terkejut mendengar pengakuan Surya. Aku tidak menyangka dia akan menyatakan cintanya padaku. Hatiku sangat bimbang. Perasaan senang, sedih, dan bingung bercampur aduk di dalam hatiku.
“Apa yang harus kukatakan? Bagaimana ini?” gumamku dalam hati. Sejenak kami berdiri mematung di depan rumahku.
“Tapi, Ya ...” gumamku.
“Aku tahu dengan keadaan yang sekarang kita tidak mungkin bersatu. Tetapi izinkan aku menjadi sahabatmu. Teman yang selalu berada di dekatmu dalam keadaan apapun. Teman yang siap merangkulmu saat bersedih dan tertawa bersama saat senang. Izinkan aku melampiaskan rasa sayangku padamu sebagai sahabat. Izinkan aku menjagamu semampuku,” pinta Surya. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. pikiranku terasa buntu. Aku bisa menangkap kesungguhan hatinya dari tatapan matanya.
“Yu, aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama ‘kan. Tidak mungkin kamu bisa menggambar dan menulis ini jika kamu tidak merasakan hal yang sama denganku,” gumam Surya sambil mengeluarkan sebuah kertas putih terlipat dari dalam saku bajunya dan memberikannya padaku. Aku sangat terkejut saat membukanya. Ternyata Surya yang menemukan kertas yang kucari.
“Itu adalah milikmu ‘kan. Aku menemukannya di tempat kita terjatuh. Gambar dan kalimat yang ada di kertas itu kamu sendiri yang membuatnya ‘kan,” ujar Surya. Jantungku berdetak semakin cepat, napasku menjadi sesak dan pikiranku buntu.
“T ...tapi, Ya,” gumamku gugup.
“Saat ini aku tidak ingin melanggar batas diantara kita. Aku hanya ingin melindungimu dan membuatmu tersenyum. Aku ingin menjadi sahabatmu, Yu. Aku lebih suka membuatmu tersenyum daripada memaksamu melewati batas diantara kita,” jelas Surya. Perlahan aku mulai mengerti jalan pikiran Surya. Dia ingin cinta kita terus tumbuh tanpa melewati batas. Percintaan beresiko kandas jika muncul perbedaan. Tetapi persahabatan akan bertambah kuat dengan adanya perbedaan. Akhirnya ia Aku tersenyum menatapnya. Surya, aku semakin menyukaimu.
“Ya, aku mau. Aku ingin menjadi sahabatmu,” ujarku tersenyum. Surya terlihat sangat bahagia. Ia terlihat sangat lega setelah mengungkapkan rasa yang selama ini ia pendam.
“Yu, boleh aku minta nomor handphonemu?” aku mengangguk dan memberikan nomor teleponku. Surya meletakkan jari tengah dan telunjuk kanannya ke bibirnya dan menempelkannya di keningku. Aku sangat kaget melihat tingkahnya ini.
“Terima kasih, ya. Malam ini kamu cantik sekali. Aku pamit pulang dulu, ya,” ujar Surya sambil menyalakan motornya dan pergi meninggalkanku yang masih berdiri mematung di depan rumah. Tiba-tiba rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhku. Ternyata aku lupa mengembalikan jaket Surya. Ah ... memang benar kata orang. Jika kita berada di dekat orang yang kita sayang, kita bisa melupakan segalanya. Aku tersenyum menatap bayangan Surya yang menghilang dibalik tikungan dekat rumahku. Aku berjanji tidak akan pernah melupakan kejadian malam ini. Hari dimana aku berkata jujur tentang perasaanku padanya.

Tamat ......
 
Sebenarnya, kalau dibuat cerbung, lbih greget gan, banyak intrik dan lika liku didalamnya minimal hingga akhir SMA.
 
Sebenarnya, kalau dibuat cerbung, lbih greget gan, banyak intrik dan lika liku didalamnya minimal hingga akhir SMA.
Sebenernya ane lagi garap season 2 nya hu ... tapi berhubung rl dan laptop masih ngambek terpaksa ane tunda dulu wkwkwk paling nanti kalo udah kelar ane post dimari
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd