8. Maafkan aku (pov Surya)
Pernahkah kalian merasakan indahnya jatuh cinta? Banyak orang yang bilang rasanya jatuh cinta itu sukar dijelaskan. Campur aduk rasa senang, gembira, galau, sedih, bahkan kecewa sering hinggap di hati orang yang sedang jatuh cinta. Mereka akan melakukan segala cara agar bisa melihat orang yang disukainya tersenyum. Bahkan akan muncul rasa ingin memilikinya seutuhnya. Tidak peduli dengan sifat baik dan buruk orang yang disukai. Namun ketika norma dan adat istiadat membatasimu, apakah kamu masih berpikir untuk jatuh cinta dengannya? Apakah kamu masih berpikir untuk memperjuangkan cintamu agar dapat tumbuh dengan sempurna? Sampai akhirnya kamu harus memilih antara cinta dan adat, pilihan mana yang akan kamu ambil?
Malam itu adalah malam yang tidak akan pernah terlupakan bagiku. Untuk pertama kalinya aku menyatakan cinta kepada seorang wanita. Aku tidak tahu apakah cinta ini adalah cinta monyet atau bukan. Tetapi aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri meski sudah kusimpan rapat-rapat. Malam itu setelah aku sampai di rumah, aku bergegas masuk ke dalam kamar dan lekas tidur. Tapi entah kenapa mata ini terasa sulit untuk dipejamkan. Bibir ini terasa tidak ingin berhenti tersenyum. Pikiranku masih tertinggal di pekarangan rumah Rahayu.
“Ah ... mengapa aku jadi terus memikirkannya?” gumamku dalam hati. Aku mengambil handphone yang tergeletak di atas meja dan mencari kontak Rahayu. Aku tekan tombol untuk mengirimkan pesan padanya.
“Tapi ini sudah jam 1 pagi. Apakah dia masih terjaga?” pikirku. Aku kembali mengembalikan handphoneku ke atas meja. Lagipula aku tidak tahu pesan pertama seperti apa yang akan kukirimkan padanya. Ah ... sungguh malam ini pikiranku terkunci olehnya. Aku kembali mengambil handphoneku dan membuka facebook untuk mengundang rasa kantukku yang hilang entah kemana. Aku lihat ada sebuah notifikasi muncul di jendela akunku.
“Rahayu menginvite facebook-ku?!” ujarku kaget saat memeriksa notifikasi. Jariku dengan segera menekan tombol konfirmasi atas permintaan pertemanannya. Sejenak aku melihat profil akun facebook Rahayu. Ia hanya mengupload 3 foto dirinya ke akun facebook. Itu pun bukan foto selfie, melainkan foto bersama teman-temannya. Sementara sisanya adalah foto quotes berbau islami. Beberapa statusnya pun seakan mengajak teman-temannya untuk senantiasa ingat kepada tuhan. Dia memang gadis yang istimewa. Di saat remaja lain sibuk mengupload foto selfie terbaik mereka di media sosial, ia malah tidak pernah mengupload foto dirinya sendiri seakan-akan ingin menyembunyikan identitas aslinya. Di saat remaja lain sibuk curhat dengan masalah pribadi yang menimpanya di facebook, Rahayu malah memotivasi teman-temannya dengan status dan quotes bermutu. Mungkin hanya ada satu diantara 100 gadis yang mempunyai sifat seperti Rahayu. Aku merasa seperti pemuda yang paling beruntung karena bisa membuat gadis seperti Rahayu jatuh cinta. Tiba-tiba handphoneku berbunyi tanda sebuah chat masuk. Ternyata Rahayu mengirimkan chat padaku. Ah ... mengapa aku jadi tegang begini? Apakah ini rasanya ketika orang yang kita suka mengirimkan pesan kepada kita? Jari jempolku membuka pesan yang dikirimkan Rahayu.
“Sudah malam ‘kok masih on? Jangan terlalu banyak begadang, Ya.” Bibirku tersenyum saat membaca chat darinya. Jariku mulai menari membalas chat darinya.
“Nggak tahu kenapa aku tidak bisa tidur, Yu. Mungkin masih kepikiran kejadian tadi kali hehe ...”
“Ih ... sudah. Jangan terlalu diingat. Aku malu tahu. Sudah tidur sana.”
“Iya ... iya. Biasanya adikku selalu membangunkanku ‘kok. Tenang saja. kamu sendiri kenapa belum tidur?”
beberapa menit ia tidak membalas atau membaca chat dariku. Aku kembali melihat-lihat isi profil akunnya. Aku menyimpan beberapa gambar quotes yang menurutku sangat menginspirasi. Jam digital di handphoneku sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Rahayu masih belum membaca pesan dariku. Mungkin dia sudah terlelap tidur. Perlahan rasa kantuk mulai menyerangku. Suasana malam yang sepi dan dingin membuat badanku rileks. Perlahan aku mulai memejamkan mataku. Alam bawah sadar mulai mengambil alih kesadaranku. Handphone yang masih kugenggam bergetar, tetapi mata ini sudah sulit untuk kembali terjaga.
Suara alarm di pagi hari membuat kesadaranku perlahan kembali. Mataku masih terasa berat untuk dibuka. Handphone di tanganku bergetar hebat. Sepertinya ada yang meneleponku di seberang sana. Dengan mata masih terpejam aku menekan layar handphone untuk menerima panggilan.
“Halo, siapa ini? mengapa meneleponku pagi-pagi sekali?” tanyaku lemas.
“Selamat pagi, Surya. Ayo bangun. Jangan lupa ibadah,” gumam suara perempuan yang terasa tidak asing di telingaku.
“Nadea?! Ini Nadea? Tumben kamu meneleponku pagi – pagi,” gumamku kaget sambil bangkit dari tempat tidurku. Ia terkikik pelan mendengar pertanyaanku.
“Iya, ini aku. Kamu baru bangun, ya. Ayo cepat mandi dan bersiap ke gereja. Sudah dulu, ya. Sampai ketemu di Gereja” gumamnya.
“Tut ... tut ... tut ...” suara telepon terputus terdengar di handphoneku. Ah ... ternyata ia sudah memutus teleponnya. Memang belakngan ini Nadea semakin gencar mendekatiku dan memberikan perhatiannya padaku. Bahkan beberapa kali ia memberikanku bekal buatannya saat jam istirahat. Aku melihat layar handphoneku menampilkan sebuah chat facebook yang masuk. Ternyata dari Rahayu. Ia baru membalas chatku pukul 4 pagi.
“Maaf, aku baru selesai ibadah malam. Sekarang aku mau lanjut menghapal sambil menunggu waktu shubuh. Aku sudah tidur di mushola tadi, jadi aku tidak merasa ngantuk,” ketiknya. Aku benar-benar dibuat kagum olehnya. Ia masih menjalankan kewajibannya ketika orang-orang beristirahat. Jika saja tidak ada batas diantara kita, mungkin aku akan langsung mempersiapkan proposal untuk melamarmu. Aku tidak ingin kehilangan gadis yang memiliki kecantikan luar dalam seperti dirimu. Aku bersumpah akan menjagamu sepenuh hatiku. Jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi saat aku bersiap menuju gereja. Stevani, adikku merasa heran melihat kakaknya yang sudah bersiap.
“Kakak tumben bangun pagi. Biasanya tidak akan bangun sebelum aku membangunkanmu. Biasanya juga jam 9 kamu baru berangkat ke gereja,” gumam Stevani. Aku hanya tersenyum mendengar celotehan adikku.
“Sudah, cepat bersiap. Mau bareng nggak berangkatnya?” tanyaku. Stevani menganggukkan kepalanya dan bergegas mengganti bajunya. Setibanya di gereja, aku bertemu dengan Nadea. Ia tampak anggun menggunakan kemeja batik dan rok panjang hitam dengan rambut hitam panjang tergerai.
“Selamat pagi, De,” sapaku. Ia hanya tersenyum dan menatap mataku sekilas. Ada apa dengannya? Biasanya ia membalas dan mengajakku bicara sebentar sebelum masuk ke dalam gereja. Padahal saat dia meneleponku tadi ia tampak ceria. Ah ... entahlah. Mungkin ia sedang terburu-buru. Aku menyusulnya masuk ke dalam gereja. Aku beribadah sampai pukul 11:00. Aku mengajak adikku pulang, tetapi ia menolak karena ingin bermain di rumah temannya. Aku membuka layar handphoneku dan mencari kontak Rahayu. Aku ingin sekali menelepon atau meng-SMSnya untuk sekedar mengetahui apa yang sedang ia kerjakan sekarang. Tapi aku tidak tahu apa yang harus kutulis di pesanku.
“Ah ... mengapa aku jadi bingung sendiri?” gumamku pelan.
“Surya, kamu belum pulang?” tanya seorang gadis yang datang menghampiriku.
“Eh ... Nadea. Iya ini baru mau pulang,” ujarku. Beberapa saat Nadea menatap mataku. Aku melihat tatapannya seolah penasaran padaku.
“Ada apa, De, “ tanyaku.
“Eh ... nggak. Aku tadi kesini bareng sama Mama. Tapi Mama malah mampir dulu buat arisan. Maukah kamu mengantarkanku pulang, Ya? Sekalian ada yang ingin aku tanyakan padamu,” ujar Nadea. Aku tersenyum sambil memberikan helm cadangan kepadanya. Nadea membalas senyumku dan memakai helm cadangan yang kuberikan.
“Makasih, ya” ujarnya.
“Woles aja kali, De. Kamu ‘kan sahabatku,” ujarku sambil menstarter motor matic-ku. Dalam hati aku penasaran apa yang ingin dia tanyakan. Apakah ini ada hubungannya dengan sikap cueknya padaku tadi pagi? Atau jangan-jangan dia melihatku membonceng Rahayu kemarin? Ah ... entahlah. Sekarang aku harus fokus menyetir dan mengantarkan Nadea dengan selamat.
Sebuah rumah tingkat 2 bergaya minimalis menyambut kedatanganku dan Nadea. Teriknya sinar matahari siang ini terhalang oleh pohon mangga yang ditanam di halaman rumah. Suasana semakin sejuk dan asri ketika aku melihat beberapa tanaman hias dan tanaman bunga di halaman rumahnya yang cukup luas.
“Ayo masuk dulu, Ya,” ujar Nadea setelah aku memarkirkan motorku. Meskipun aku dan Nadea sudah menjadi teman dekat sejak kelas 1, ini adalah pertama kalinya aku mengantarnya pulang. Biasanya ia pergi ke sekolah menggunakan mobilnya atau dijemput oleh sopirnya. Aku sedikit terkesan saat pertama kali melihat dekorasi ruang tamu rumah Nadea. Dekorasi campuran bergaya modern dan sunda membuatku kagum.
“Duduk dulu aja, Ya. Aku ganti baju dulu,” teriak Nadea dari lantai 2. Sejenak aku memandangi beberapa foto yang terpampang di ruang tamu. Ternyata Nadea adalah anak bungsu dari 2 bersaudara. Kakaknya sudah berkuliah di salah satu kampus terkenal di Indonesia. Sebuah foto Nadea dengan kakaknya yang berlatar sebuah kampus yang membuatku berpikiran demikian.
“Maaf menunggu lama, Ya,” ujar Nadea sambil membawa baki berisi jus jeruk dan stik kentang goreng. Nadea menyuruhku duduk di sofa dan menuangkan segelas jus jeruk.
“Ya, semalam aku melihatmu berboncengan dengan Rahayu loh sepulang pensi. Aku belum pernah melihatmu mengantar seorang gadis sebelumnya. Kalau aku boleh tahu, apa hubungan kalian berdua? Kamu suka sama Rahayu?” tanya Nadea sambil memberikan segelas jus jeruk padaku. Aku terkejut mendengar pertanyaan Nadea. Ternyata dugaanku benar. Sikap cueknya tadi pagi ternyata karena ia cemburu melihatku mengantar pulang Rahayu. Sejenak aku terdiam sambil memandang jus jeruk yang ada di depanku. Aku bingung bagaimana caraku menjelaskannya pada Nadea. Jika aku berkata jujur, ia mungkin akan marah padaku dan persahabatan kami menjadi renggang. Jika aku berbohong, aku takut membuatnya merasakan sakit lebih dari ini. Ah ... apa yang harus kukatakan padanya? Kulihat Nadea menatapku erat. Seakan ingin masuk kedalam otakku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Ya,” gumamnya lirih. Kuberanukan diriku menatap wajahnya yang tampak gelisah menunggu jawaban dariku.
“Iya, De. Aku suka sama Rahayu. Aku suka sama dia sejak kelas 1. Semalam aku mengantarkannya pulang ke rumah dan menyatakan perasaanku padanya. Tapi dia belum menjawab perasaanku ‘kok, De. Dia memilih untuk bersahabat denganku,” jawabku jujur. Aku mendengar Nadea menghela napas panjangnya. Sejenak kami berdua terdiam dalam kesunyian tenggalam di dalam pikiran masing-masing. Hanya suara burung perkutut di pekarangan rumah yang terdengar diantara kesunyian ini. Aku tahu saat ini Nadea pasti kecewa padaku. Sebuah jawaban yang tidak ingin ia dengar dan menghancurkan harapannya padaku.
“Kamu yakin kalau kamu jatuh cinta dengan Rahayu, Ya?” tanya Nadea lirih.
“Sepertinya begitu, De. Aku kagum sama sikapnya, sifatnya, aku benar-benar suka padanya,” jawabku.Nadea tersenyum menatapku. Aku terkejut melihatnya tidak marah padaku. Bahkan aku tidak melihat raut kesedihan di wajahnya.
“Kamu nggak marah, De?” tanyaku penasaran.
“Kenapa aku harus marah? Aku ‘kan cuma sahabatmu. Aku tidak punya hak untuk marah,” ujar Nadea tersenyum. Aku bingung melihat reaksi Nadea. Biasanya orang akan kecewa bila mengetahui orang yang disukainya menyukai orang lain. Apakah selama ini Nadea berbohong tentang perasaannya padaku?
“Tapi tolong dipikir lagi matang-matang ya, Ya. Aku takut bahagia yang kamu rasakan saat ini akan membuatmu sakit hati pada akhirnya. Kalau kamu nekat melanjutkan hubunganmu dengan Rahayu, kamu harus siap menanggung akibatnya,” ujar Nadea.
“Aku tahu ‘kok, De. Aku pasti bakal menghadapi permasalahan yang rumit kalau serius melanjutkannya. Tapi aku yakin kalau ada niat pasti ada jalan,” senyumku.
“Jangan ragu lagi buat cerita ke aku ya, Ya. Tentang masalah sekolah, keluarga, atau hubunganmu dengan Rahayu. Aku selalu siap menjadi pendengar baikmu. Apapun masalahmu pasti akan aku bantu sebisaku.”
“Tapi, De. Aku takut kamu malah sakit hati jika aku curhat tentang hubunganku dengan Rahayu.”
“Santai aja, Ya. Aku memang sayang sama kamu dan itu nggak bakal berubah. Aku tahu yang namanya perasaan ‘kan nggak bisa dipaksain. Selama aku bisa melihatmu tersenyum dan mengobatimu disaat terluka itu sudah cukup buat aku, Ya,” ujar Nadea. Aku tersenyum pada Nadea. Aku merangkul lengan kanannya dan mengelus pundaknya. Orang mungkin akan mengganggapku bodoh karena mensia-siakan perasaan yang tulus dari salah satu idola sekolah. Tapi perasaanku tidak bisa berbohong. Rasanya beruntung sekali aku memiliki sahabat yang sangat pengertian padaku.
“Terima kasih ya, De. Aku yakin kamu akan mendapat pasangan yang lebih baik dariku,” gumamku dalam hati.