Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Cerita Hutan, Kijang dan Bayang-Bayang

Sebelumnya di Bagian 1

Bagian 2

Konon Pak Joko adalah lulusan termuda pada angkatannya. Begitu mendapatkan gelar sarjana, dia langsung dikirim ke Prancis untuk memperdalam ilmu. Dengar-dengar selama di sana, prestasinya pun mentereng. Begitu kembali ke tanah air, karirnya moncer sebagai dosen yang dikagumi sekaligus ditakuti.

Pria itu gemuk, perawakannya pendek. Lehernya lebar dengan dagu berlipat. Pak Joko sering menggerutu ketika sedang baik, gampang meledak marah bila perasaannya tidak enak. Biasanya dia menerangkan dengan program presentasi yang runtut dan kompleks, seringkali disertai referensi Prancis.

Senin pagi, aku, Banu dan Ivan sudah bersiap dengan proyektor menyala. Mahasiswa di kelas sudah duduk manis bersiap paling lambat sepuluh menit sebelum kelas mulai, sesuai aturan main yang digariskan Pak Joko. Beliau sendiri sudah ada di ruangan lima belas menit sebelum presentasi.

Pukul sembilan tepat, presentasi dimulai. Yang membuka adalah Ivan, lanjut ke aku dan terakhir adalah Banu. Kami berusaha menjelaskan sejelas yang kami bisa. Tidak lupa referensi terbaru yang kami punya. Selama presentasi, kami senantiasa mencuri pandang ke Pak Joko. Kami berusaha mencari tahu reaksi Pak Joko terhadap tugas ini.

Nihil.

Pria itu hanya memandang kami datar sembari sesekali membolak-balik lembar absensi. Tidak ada kerut pertanyaan atau raut tidak setuju darinya. Pak Joko diam, tidak seperti biasa.

Itulah ngerinya. Kami jadi tidak tahu dia bakal meledak marah atau asal kasih nilai merah. Bakal runyam kalau tiba-tiba kami harus mengulang mata kuliah Pak Joko tanpa tahu salah kami apa.

Saat Banu menutup presentasi, Pak Joko hanya mengangguk. Jangankan marah atau melontarkan pertanyaan, sekadar berkomentar pun tidak. Beliau malah langsung menyuruh kelompok berikutnya untuk maju. Kami bertiga pun turun dari podium dengan bingung namun bersyukur.

Ivan dan Banu mengajak duduk di barisan tengah, urutan keempat dari depan. Aku setuju dan ikut duduk bersama mereka berdua. Di kanan kiri kami sudah ada Nadia, Endah, Novita dan Kenneth yang dari awal duduk di sini.

"Lancar banget," Nadia berkomentar.

Kami bertiga hanya tertawa sopan. Tidak berani berkata macam-macam karena masih ada Pak Joko di depan. Kalau dia tersinggung, bisa kacau semua.

Kalau saja tahu hari ini akan berjalan lancar, tentu aku tidak akan setertekan kemarin. Aku bisa menemui kakek dengan perasaan berbeda. Aku seharusnya bercakap sedikit lebih banyak dan mencoba mencarikan jalan tengah antara masalah kakek dan ayah.

Dan...

Aku ingat apa yang terjadi semalam. Bu Safira, sekretaris kakekku yang baik, telah merelakan dirinya untuk memuaskan nafsu. Aku masih bisa merasakan kehangatan wanita itu di kulitku. Hentakan tubuhnya yang memberi nikmat. Juga wanginya...

Bu Safira masih terbaring lunglai ketika aku menuntaskan persetubuhan. Aku bangkit, menarik diri darinya. Aku ingat ada bunyi 'plup' pelan yang muncul ketika kucabut burungku dari liang kewanitaan. Air maniku tumpah banyak di vagina yang telah melahirkan tiga orang anak, tetesan merembes keluar bersama bibir kemaluan yang membuka mengatup bersama liang yang mengejan.

Kuperhatikan tubuh molek itu. Wajah Bu Safira yang bersih berkeringat, kedua matanya terpejam. Lengan Bu Safira telentang ke samping, membiarkan dada bulat membusung, naik turun bersama nafas terengah. Sepasang paha putih mengangkang lebar, tanda usainya persetubuhan kami...

Kini bisa kulihat dengan seksama bentuk badan Bu Safira. Wanita ini memang mirip jam pasir, bagian dada dan panggul lebih lebar dari perut. Ketika berbaring begini, kusadari Bu Safira tidak sepenuhnya atletis. Ada timbunan lemak di sana sini. Paling ketara di lengan, paha dan perutnya.

Kuraih ponselku, tanpa ragu kubuka kamera. Bu Safira yang tengah telanjang tak sadar kufoto beberapa kali. Aku tidak berpikir macam-macam saat itu, hanya ingin menyimpan kenang-kenangan. Toh, kemungkinan ini adalah persetubuhan pertama dan terakhir kami.

Kupunguti pakaian kami yang berceceran. Kupisahkan mana yang punyaku dan mana yang milik Bu Safira. Aku berganti ke pakaian rumah sehari-hari, sementar jubah, jilbab dan pakaian dalam Bu Safira kusampirkan di kursi.

Kubuka monitor laptopku. Layarnya berpendar dan kembali memutar program video porno yang tadi sempat kusaksikan. Aku tersenyum pahit... Selepas menyetubuhi Bu Safira, video macam ini terasa hambar.

"Mas Dodik?"

Aku menoleh ke belakang. Bu Safira terbaring miring, pahanya merapat, kemudian mencoba duduk. Wanita itu mengusap wajahnya beberapa kali, tiap usapan membuat raut mukanya kian letih dari sebelumnya.

Aku memandang wanita itu ragu. Terus terang aku tidak tahu harus berbuat apa. Rasa takut menggelayut muncul, bagaimana jika Bu Safira melaporkanku ke polisi dengan tuduhan pemerkosaan?

"Saya mau mandi dulu." Bu Safira berkata pendek. Wanita itu masih duduk di tepi ranjang. Pandangannya menunduk di bawah, "Mas Dodik ada handuk?"

Aku segera membongkar isi lemari yang berantakan. Kutarik asal sebuah handuk putih baru tebal. Lekas kuberikan ke Bu Safira. Wanita itu menerima sambil berterimakasih, sebelum melangkah keluar kamar.

Aku kembali menghadap laptopku. Video yang tadi menyala lekas kututup, berganti ke program presentasi. Kubaca sebentar sambil sesekali membuka buku catatan yang sudah kusiapkan. Saat itu, yang ada dipikiranku hanya ketakutan: takut dilaporkan polisi dan takut besok maju presentasi.

"Kelompok kedua juga baik-baik saja."

Aku tersadar dari lamunanku. Nadia berbisik kepada kami, lirih memang, namun, karena posisiku tepat di sebelahnya, aku pun agak gelagapan. Tahu-tahu saja presentasi kedua sudah selesai. Pak Joko sudah bekemas-kemas hendak pergi.

"Ada apa dengan Pak Joko?"

"Moodnya lagi baik?"

"Atau malah lagi depresi?"

"Sakit mungkin?"

"Beliau bukan lagi keki ke kita 'kan?"

Beberapa bisikan berseliweran. Pak Joko, antara tidak mendengar atau tidak peduli, memilih berlalu begitu saja meninggalkan kelas. Begitu pria itu pergi, seisi kelas langsung tenggelam dalam celoteh spekulasi.

Aku tidak terlalu peduli dengan hiruk pikuk ini. Aku hanya ingin segera pulang dan istirahat. Tadi malam tidurku sudah sangat kurang. Ditambah rasa takut dan bersalah membuat badanku bertambah pegal.

"Kau mau kemana, Dodik?" Ivan bertanya melihat aku bangkit berdiri.

Aku membuat isyarat tidur dengan kedua tangan di sisi pipi. Banu dan Ivan tertawa bersama-sama. Mereka mafhum rasa capek yang kurasakan.

"Makan dulu yuk di kantin." ajak Kenneth.

Aku menggeleng sambil mencangklong ransel. Kalau ditunda, ngantukku bisa hilang. Nanti malam aku bisa-bisa tidak belajar gara-gara pening kurang tidur.

Novita menengahi, "Mending kita pulang saja sih. Jarang kuliah Pak Joko baik-baik saja. Ingat, besok kita yang memiliki jadwal presentasi dengan Pak Joko. Jangan sampai besok kita yang kena bantai."

Novita, Kenneth dan Endah satu kelompok. Setahuku mereka juga sudah memulai penyusunan tugas seminggu yang lalu. Kuharap mereka akan lancar-lancar saja. Novita sih mahasiswi yang pandai, namun Kenneth dan Endah rata-rata .

"Lancar lah!" Kenneth berkata menggampangkan.

Endah langsung menyikut dari samping, "Lancar gimana? Kau tuh yang kerjanya pacaran terus. Dasar playboy!"

Kenneth pura-pura kesakitan, "Putus nyambung itu biasa. Aku kan pacaran dengan sehat! Tidak pernah merusak cewek."

Aku memandang lurus ke arah mereka berdua. Kuhela napas berat lalu berjalan pergi. Ucapan Kenneth mengingatkan pada kata-kata Bu Safira semalam.

"Jangan merusak anak orang ya, Mas."

Bu Safira mengatakan itu sembari berpakaian. Wanita itu memunggungiku yang sedang belajar. Aku yang saat itu berusaha mengalihkan perhatian darinya, otomatis berbalik. Kulihat Bu Safira sudah mengenakan kembali jubahnya yang lebar, kini sedang menata jilbab.

"Saya minta maaf, Bu. Saya khilaf."

Bu Safira tidak mengacuhkan perkataanku. Wanita itu malah menghadap kaca untuk mengenakan jilbab. Tangannya yang putih terampil melipat di beberapa sisi diselingi memasang jarum atau peniti.

"Kapan-kapan, Mas Dodik cek kesehatan ya." ujarnya ditengah berdandan, "Tolong jangan diulangi kenakalan yang dulu."

Lidahku terasa kelu. Aku tidak punya daya untuk bicara.

Bu Safira menghadapku. Kulihat dia tersenyum, senyum hangat keibuan, "Kalau ada apa-apa, kabari saya saja. Jangan membuat bapak repot."

Wanita itu lantas berjalan pergi. Kulihat langkahnya seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa. Aku, didera bersalah, bangkit menyusul. Sebelum Bu Safira meninggalkan rumah, buru-buru kutahan.

"Bu!"

Bu Safira menoleh ke arahku. Dia menggeleng, "Sudah terlalu malam, Mas. Suami saya bisa bingung kalau saya terlambat pulang."

"Yang tadi itu..."

"Iya. Saya mengerti. Yang tadi itu akan menjadi rahasia kita asalkan Mas Dodik berjanji tidak akan memanggil PSK lagi."

Aku mengangguk lemah. Badanku seakan diguyur air sedingin es. Bu Safira itu baik... Terlalu baik malah.

Aku menghela napas. Berat.

"Kenapa, Dodik?" tanya Endah, "Kok malah kelihatan tambah stres sekarang?"

Aku memaksakan diri tersenyum. Ya mana mungkin aku cerita kalau baru saja meniduri sekretaris kakekku semalam, "Tidak ada apa-apa. Hanya merasa capek saja. Aku pulang dulu ya."

Tidak kutunggu jawaban mereka. Aku segera berlalu, setengah berlari setengah jalan cepat menuju parkiran. Begitu sampai tempat parkir, kunaiki motor dan kupacu langsung ke rumah.

Jalanan tidak ramai tapi juga tidak sepi. Waktunya tanggung, belum masuk waktu pekerja makan siang. Masih satu jam lagi sebelum jam istirahat, jadi aku bisa sampai rumah dengan tepat.

Begitu sampai, kuparkir motor di depan pagar. Kurogoh celana mencari kunci gembok. Setelah ketemu, tanganku menyelip di sela besi menyisipkan kunci. Gembok membuka bersama suara derit metal.

Motor kudorong masuk, lalu standar samping kupasang. Saat pintu pagar hendak kututup, sebuah motor berhenti di depan. Bunyinya khas, cara berkendaranya kukenal. Aku sangat hapal siapa yang datang.

Bu Safira...

Wanita itu memakai baju jubah berjenis kaftan dengan warna krem. Jilbabnya berwarna putih cerah polos. Kulihat ekspresi tidak nyaman di raut muka Bu Safira saat memandangku.

"Bu..." Ucapanku terhenti. Aku tidak berani.

Bu Safira memejamkan mata sejenak. Kulihat semburat emosi di wajah cantiknya. Tangannya lalu bergetar melepas helm. Bu Safira mengatur napas sejenak kemudian memaksakan diri tersenyum.

Kurasakan sembilu menusuk dadaku, tembus ke belakang. Ada nyeri dan takut menyebar.

"Bu..."

Bu Safira menggigit bibir. Emosi seperti membuncah di hatinya. Aku yakin wanita itu pasti membenciku. Aku percaya, jika bisa, dia pasti ingin menyerangku.

"Bapak," Bu Safira menarik napas dalam. Kedua tangan menangkup di depan mulut. Rona merah menyebar di wajah putihnya.

Aku diam. Aku menyiapkan diri bila kakek tahu dan hendak menghukumku.

"Bapak," Bu Safira melepas tangan dari mulutnya. Bibirnya bergetar, "mengajak Mas Dodik untuk makan malam nanti."

Baik. Aku akan bersiap kena damprat.

Bu Safira mengulurkan sebungkus plastik putih transparan padaku. Kulihat isinya adalah sebuah kardus yang umumnya untuk makanan. Kuterima bungkusan itu dengan ragu.

Aku malah kebingungan...

"Bapak meminta saya mengantarkan makan siang buat Mas Dodik."

"Terima kasih." Aku mengerutkan kening sejenak. Kupandang Bu Safira sebentar, sebelum menundukkan kepala.

"Bapak tidak memanggil Mas Dodik untuk dihukum."

Aku terbelalak.
Kaget.

Mata Bu Safira memerah. Kulihat butir air mata berkumpul di pelupuk, "Saya tidak akan cerita ke bapak, Mas. Saya menghormati bapak sebagaimana orang tua sendiri. Mas Dodik tidak perlu khawatir. Nanti malam, tolonglah datang ke rumah bapak ya. Tolong temani bapak. Ajak bicara. Dengarkan saja cerita-cerita bapak."

"Asalkan Mas Dodik tetap baik dengan bapak, kejadian tadi malam akan menjadi rahasia di antara kita berdua saja."

Bersambung ke Bagian 3
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd