Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Cerita Hutan, Kijang dan Bayang-Bayang

Sebelumnya di Bagian 2

Bagian 3

Rumah yang ditinggali kakek memiliki model bangunan belanda. Kabarnya sih buyutku membelinya dari seorang keturunan belanda yang angkat kaki dari Indonesia saat perang kemerdekaan. Keluargaku sih tidak ada darah belanda sama sekali. Kami hanya kebetulan bisa dapat rumah bagus dari era itu.

Malam ini aku datang sendirian. Berbeda dengan kemarin, aku tidak bersama Bu Safira. Waktu aku sampai di rumah kakek, sebuah mobil yang tidak kukenal sudah terparkir di halaman. Aku sempat memperhatikan mobil itu sejenak, sebelum menuntun motor ke tempat yang disediakan.

Seorang pembantu menyambutku lalu mengarahkan untuk masuk ke dalam. Seperti kemarin, aku masuk melalui garasi, melewati dua mobil dan sejumlah motor yang terparkir terus ke dapur. Aku menjumpai sopir kakek, seorang pegawai fakultas dan tukang bangunan yang tengah merokok di dekat kolam ikan. Kami terus berjalan ke arah ruang makan. Sayup-sayup kudengar suara dua orang bercakap-cakap.

Kedua suara itu kukenal.

Kakek duduk di ujung meja makan. Dia mengenakan baju koko putih polos dan sebuah sarung kotak-kotak hijau. Songkok hitam bertengger di kepalanya, menutupi rambut pendek penuh uban. Wajah kakek tampak ceria bercerita dengan Pak Joko yang duduk di sisi kanannya. Pak Joko, si dosen killer, tampak sumringah. Kulihat beberapa kali pria itu tertawa lepas hingga tampak gerahamnya.

"Mas Dodik sudah datang, Pak." Pembantu di depanku memberitahu.

Kakek dan Pak Joko menoleh bersamaan ke arahku. Kakek dengan gembira segera berdiri dan melambaikan tangan menyuruh segera duduk. Aku menurut dengan takut. Siapa yang tidak kacau bakal makan malam bersama dosen? Terkenal killer lagi!

"Ini cucu saya," kata kakek sambil menyebut nama lengkapku, kemudian mengarahkan jempol ke Pak Joko, "lalu ini Joko, murid saya yang paling teliti."

Aku memaksakan diri tersenyum. Aku yakin, jari kakiku yang dibalut kaos kaki tengah gemetaran.

"Ini anak almarhumah Ratih?" Pak Joko merinci.

Kakek mengangguk, "Anak satu-satunya Ratih."

Pak Joko menghela napas berat lalu melihatku tanpa berkedip. Badanku langsung serasa dingin. Pria itu seolah hendak mengulitiku hidup-hidup menggunakan tatapannya.

Kakek menepuk bahu Pak Joko dengan riang. Pandangan pria itu meredup, mengerjap lalu berubah menjadi sungkan, "Banyak miripnya dengan Ratih. Sekilas ada kesamaan juga dengan Bapak."

Kakek tertawa, "Ini cucu yang paling kusayang."

Kami bertiga tertawa. Pak Joko mengikuti tawa kakek, sedangkan aku hanya numpang saja demi kesopanan.

Dua pembantu masuk ke ruang makan dengan membawa kereta dorong. Piring dan mangkuk berisi aneka makanan dihidangkan ke atas meja. Ada ikan, udang, iga bakar, juga aneka sayuran. Tidak lupa gelas berisi air putih dan dua botol besar berisi jus buah.

"Harusnya istri dan putrimu kau ajak juga," kata kakek sembari mempersilahkan makan, "biar habis ini semua."

"Sungkan, Prof." Pak Joko berkata, "Istri saya bukan mahasiswa sini. Canggung karena tidak ada yang kenal."

"Putrimu kan bimbingan saya." Kakek lekas menukas, "Seharusnya kau bawa juga biar kami lebih dekat. Hubungan kita 'kan sudah baik, Jok. Jangan sampai putus di anak cucu."

Pak Joko mengerling ke arahku. Buru-buru kusendok potongan ikan ke mulut dan menunduk. Kakek bercandanya kejauhan! Kalau begini seperti kakek memaksa aku dan anaknya Pak Joko buat dijodohkan.

"Jadi begini," Kakek melanjutkan, "Dodik ini baru semester satu. Baru dua-tiga bulan kuliah. Butuh banyak bimbingan dan arahan. Ibunya sudah tidak ada, ayahnya juga tinggal jauh, sedangkan saya sudah tua, tidak selincah dulu."

Kakek menepuk bahu Pak Joko, "Saya mohon maaf kalau merepotkan, apakah boleh saya titipkan cucu saya untuk kau bimbing?"

Akh hampir tersedak. Kata-kata kakek bak petir di siang bolong. Tidak ada pendahuluan apa pun kepadaku, langsung menukik ke tujuan yang entah apa. Aku hanya bisa terkaget-kaget tidak tahu harus berbuat bagaimana.

Pak Joko melirik lagi ke arahku. Kurasakan dia hendak menimbang apa aku layak atau tidak.

"Dodik memang tidak sepandai Ratih," ujar kakek, "namun, karena itu pula, saya ingin ada yang mengarahkan dan membantu selama pendidikan. Kau adalah salah satu murid terbaik saya. Saya rasa kau yang paling tepat menjadi guru bagi Dodik."

Pak Joko mengerutkan kening, "Ini tanggung jawab besar."

Ya, pasti merepotkan sih. Sebagai dosen, pekerjaan Pak Joko pasti sudah amat banyak. Mengajar, penelitian maupun proyek pribadi lainnya. Ketambahan menangani mahasiswa bau kencur sepertiku sudah pasti tambahan tidak perlu.

"Saya percaya sama kau, Jok. Kau itu yang terbaik di antara yang paling baik. Dari dulu saya 'kan bilang, ada harapan besar di pundakmu. Tolong jaga harapan saya itu."

Pak Joko mengangguk ragu, "Saya orangnya sulit, Prof."

"Saya percaya Dodik bisa mengikuti."

Tidak, Kek. Saya ketakutan setengah mati dengan dosen ini. Mau mengikuti saja sudah sambil terseret-seret. Apa tidak ada orang lain, Kek?

Pak Joko menarik napas dalam lalu berdiri. Tangan kakek dipegang kemudian dicium hormat, "Saya terima tanggung jawab ini, Prof. Mohon doa restu."

Kakek menepuk-nepuk punggung Pak Joko yang membungkuk. Senyum puas tersungging di bibir. Dosenku itu lalu kembali ke kursi dan melanjutkan makan.

"Safira masih di sini?" tiba-tiba kakek nyeletuk bertanya.

Kudengar seorang pembantu berlari di belakang. Ada suara gaduh beberapa orang yang bercakap, disusul langkah-langkah sigap mendekat. Tidak butuh waktu lama bagi Bu Safira untuk siap sedia memenuhi perintah kakek.

Jujur, dengan melihat apa yang terjadi, aku mengagumi wanita itu. Kakek bukanlah pribadi yang mudah. Pekerjaan kakek juga bukan hal yang mudah. Mengurusi kakek dan tetek bengeknya pasti menguras darah serta air mata. Bu Safira bisa bertahan, entah berapa belas atau puluh tahun, sungguh suatu hal yang luar biasa. Aku bila berada di posisi Bu Safira pasti tidak akan mampu.

Malam ini Bu Safira mengenakan pakaian yang relatif sederhana. Hanya sebuah jilbab ringkas, kemeja biru lengan panjang dan celana senada. Kuduga, Bu Safira tidak berencana untuk terlibat pada percakapan kami.

"Pak Joko sudah berkenan membantu pendidikannya Dodik," ujar kakek membuka pembicaraan, "tolong kau atur ya detailnya bagaimana."

Kupandang Bu Safira dengan takut-takut. Aku ngeri membayangkan emosi wanita itu pecah ketika menyadari akan sering berurusan denganku.

Tidak.
Aku salah.

Bu Safira hanya memasang muka datar. Aku tidak mendapati perubahan ekspresi ganjil darinya. Bu Safira tanpa ragu menyanggupi perintah kakek. Detik itu juga dia meminta nomor telepon Pak Joko untuk memudahkan koordinasi. Setelah memastikan beberapa hal terkait rutinitas Pak Joko, Bu Safira pamit kembali ke belakang.

"Safira ini bukannya dulu kerja di percetakan dekat kampus?" Pak Joko berbisik kepada kakek.

Kakek mengangguk, "Dulu yang mengurusi hand out mahasiswa."

"Saya ingat, Prof. Waktu saya masih mahasiswa sering meminta tolong Safira terkait fotokopi makalah atau buku."

"Orangnya pandai dan terampil," Kakek menambahkan, "jadi saya ajak untuk kerja di sini."

Pak Joko melihat ke arahku, "Nah itu, Mas Dodik! Belajarlah sama Safira. Contohlah kerja keras dan kemauannya untuk belajar. Awalnya pegawai fotokopian sekarang menjadi orang kepercayaan guru besar."

Aku mengangguk sambil tersenyum kecut. Kurasakan rasa bersalah menggelayut di dadaku.

Kami menyelesaikan makan tanpa banyak bicara lagi. Sepertinya tujuan utama kakek mengajak kami makan bersama adalah menitipkanku ke Pak Joko. Begitu itu tercapai, tidak ada bahan pembicaraan lainnya.

Pak Joko memohon izin untuk pamit. Aku membeo dan ikut serta balik pulang. Kakek mengiyakan sambil minta maaf tidak bisa mengantarkan ke depan karena sedang tidak enak badan.

Sebelum berpisah, Pak Joko mencium tangan kakek dengan hormat. Aku pun mengikuti prosesi itu: menunduk dalam lalu mencium tangan kakek dan Pak Joko. Kurasakan tepukan lembut di punggungku dan ucapan pemberi semangat dari mereka berdua.

"Besok kita bertemu di kelas ya."

Terima kasih sudah mengingatkan, Pak. Artinya malam ini aku harus belajar mati-matian. Aku tidak boleh terlihat bloon saat kuliah. Bisa-bisa Pak Joko, kakek dan ayah merajangku sampai halus.

Aku mengantar Pak Joko hingga ke halaman parkir depan. Saat hendak membukakan pintu mobil, pria itu menolak halus. Aku pun minggir dan hanya menyaksikan saat kendaraan itu melaju pergi.

"Mas Dodik!"

Aku terkesiap. Bu Safira sudah menunggu di balik garasi. Sebuah catatan kecil dan pena di tangan.

"Ada apa ya, Bu?" tanyaku bergetar.

"Mas Dodik baru pertama kali ini bicara santai dengan Pak Joko?"

Aku hanya bisa mengiyakan lemah.

Bu Safira mengangguk-ngangguk. Keningnya berkerut lalu tanpa ragu pangkal pena digigit gemas.

"Saya punya saran, Mas." Bu Safira berkata masih dengan pena di mulut, "Nanti mahasiswa bimbingan Pak Joko saja yang bergantian memberi pelajaran. Pak Joko tidak perlu turun langsung, hanya perlu mengkoreksi sesekali."

"Boleh seperti itu?"

"Mas Dodik sendiri takut kalau berhadapan dengan Pak Joko."

Aku meringis membenarkan.

"Nanti saya berkomunikasi dulu terkait pelaksanaannya bagaimana. Saya perlu tahu mahasiswa mana saja yang dianggap mampu oleh Pak Joko, baru bisa membuat jadwal yang baik."

Aku berterima kasih.

Bu Safira memandangku lurus. Pena dilepas dari gigitan. Matanya yang bulat terpejam sebentar, lalu menatapku sendu. Senyum simpul sempat tersungging sebelum kembali dikulum.

"Terima kasih sudah mau datang." ujarnya singkat.

"Bukan..." aku meneruskan ragu, "saya yang seharusnya berterima kasih."

Bu Safira menggeleng hendak kembali masuk ke dalam. Cepat-cepat kuraih bahunya. Wanita itu membeku, tubuhnya kaku. Aku langsung sadar... Peganganku kulepas. Bu Safira menarik diri, satu lengan menyentuh pundak.

Setengah takut.
Setengah marah.

"Tolong jangan sentuh saya dulu, Mas..." ujarnya lirih.

Lidahku terasa kelu. Ada sesuatu yang panas di kerongkonganku. Rasa tidak nyaman... Wajahku terasa pedas. Ada gatal menyebar di kedua mata.

"Maaf, Bu..."

Bu Safira mengusap wajahnya. Sekali. Dua kali. Dua jari memijat hidung yang memerah. Beberapa kali dia menarik napas dalam.

"Nanti saya hubungi, Mas." Bu Safira berucap terbata.

Kukepalkan erat tanganku. Empat jariku menekuk dalam, terkunci dengan jempolan. Kukuatkan diriku agar tidak bergetar. Hati-hati aku bicara dengan suara lirih namun tegas.

"Bolehkan saya bertemu suami ibu? Saya ingin meminta maaf pada beliau."

Bersambung ke Bagian 4
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd