Part 9
Dengan langkah kecil, aku keluar kamar. Ketukan pintu yang aku nantikan itu akhirnya terdengar. Suara perempuan yang terdengar setelahnya membuatku terdiam sesaat. Aku menelan ludah.
“Kak Dimas...”
“Suara ini...”
Aku mematung. Tanganku menggenggam erat.
Tok
Tok
Tok
“Kak Dimas?”
Tok
Tok
Tok
Sisa beberapa langkah ke depan pintu itu kini sudah aku habiskan. Kunci berwarna putih metalik itu aku putar sebelum pintu bewarna coklat itu aku buka.
Entah kenapa aku membisu. Kata-kata yang ingin kuucap serasa tertahan di tenggorokan. Maaf, aku tidak bisa mendiskripsikan perasaanku saat aku melihatnya sekarang ini. Entah senang, takut, marah...
Rambut panjangnya basah. Tidak, tidak hanya rambutnya. Sekujur tubuhnya basah kuyub. Dia menyilangkan tangannya didepan dada sambil menggigil kedinginan. Rahang bawahnya bergetar.
“M-maaf kak... tadi ak-“
“Masuk dulu...”
***
Canggung.
Tak ada percakapan diantara kami. Dia duduk di sisi kanan sofa, mengangkat dua kakinya dan dirapatkan didepan dada, selimut hangatku membungkus tubuhnya yang kini sudah tidak menggigil. Segelas minuman jahe yang masih mengepul itu ia genggam erat. Sementara aku ada di ujung kiri sofa. Aku hanya membuka dan mengunci
smartphoneku.
“Darimana?”
Aku membuka pembicaraan.
“Gimana kak?”
Dia menoleh kearahku. Aku menahan nafas sejenak. Aku belum pernah melihat rambutnya dengan gaya
ponytail seperti itu. Dia... menawan...
“T-tadi darimana?”
“Oh, gini kak... tadi aku ke ATM ambil uang pakai motor temen kosanku. Eh, tapi pas sampai di deket sini tadi, bannya tiba-tiba bocor. Kayaknya kena paku deh... Aku bingung, enggak ada tempat tambal ban atau bengkel deket sini. Nah, aku dorong kan motornya, tiba-tiba hujan.... Kebetulan pas udah deket sama kontrakan kak Dimas ini. ”
“ATM? Kamu enggak ke Sakura Fest tadi?”
“Acara Jepang itu? Enggak kak.”
“Oohh...”
“Lalu siapa yang aku lihat tadi?”
“Kenapa kak?”
“Enggak, lupain.”
Lagi, kami berdua saling diam. Tak ada kata yang terucap. Ruangan itu hanya dipenuhi suara bising air hujan yang menghantam deras diluar sana.
“Kak Dimas... masih marah ya...?”
Aku menghentikan jariku yang sejak tadi melakukan hal tidak penting di layar
smartphone. Dia tidak menghadapku saat aku menoleh kearahnya.
“Marah?”
Dia menghela nafas. Lalu menatapku dalam.
“Tolong dengerin ya kak... Andhika Dewa itu, bukan pacar aku...”
Aku terdiam.
“Tapi, kami pernah pacaran...”
***
Sekitar satu tahun yang lalu, sebuah SMA di Purwokerto.
“Kak Cindyyy!”
Aku menoleh ke belakang, seorang perempuan berambut panjang terlihat melangkah cepat mendekatiku, wajahnya manis, saat dia tersenyum, kau bisa melihat lesung pipinya yang memikat.
“Eh, Amel. Gimana?”
Namanya Riska Amelia Putri, adik kelasku. Kami berteman dekat semenjak tergabung di salah satu ekstrakurikuler yang berfokus di pelajaran bahasa Inggris,
English Club. Kebetulan sekarang dia yang menggantikanku di posisi sekretaris setelah kepengurusanku lengser.
“Hehe, enggak apa-apa kak. Nyapa aja.”
“Dih.”
“Ahaha! Canda kak, aku mau ke kantin.”
“Yaudah yuk bareng.”
Kami berdua berjalan beriringan menuju kantin. Kebetulan sahabatku, Aya, tidak masuk hari ini karena sakit. Sepertinya aku akan menjenguknya nanti sepulang sekolah. Jika Aya tidak masuk seperti sekarang ini, aku akan banyak kesana-kemari sendirian. Untung aku bertemu Amel sekarang... Walau sudah ikut ekstrakurikuler pun, aku masih saja kesulitan bergaul dengan orang lain.
“Gimana kak seleksi yang di Jogja itu?”
“Tinggal nunggu pengumuman sih, Mel. Doain aja ya.”
Hampir semua teman sekelasku sudah diterima di universitas negeri pilihan mereka lewat jalur undangan. Aya salah satunya, dia sudah diterima di suatu universitas di kota Semarang, setidaknya dia bisa tenang karena tidak ada beban lagi selepas Ujian Nasional nanti. Yah, semua orang punya keburuntungannya masing-masing kan? Sekarang aku mencoba peruntunganku dengan mengikuti ujian masuk universitas swasta di Jogja karena aku tidak lolos seleksi undangan itu. Ya itung-itung sebagai cadangan lah sebelum ikut seleksi masuk universitas negeri yang akan diselenggarakan beberapa bulan lagi.
“Kamu gimana, Mel? Udah kepikiran kuliah dimana?”
Tenggorokanku terasa segar kembali setelah es teh itu mengalir. Dahaga yang aku tahan sejak kelas tadi pagi akhirnya bisa reda.
“Aku rencananya mau nyusul kakak aku di Jakarta.”
“Wah, ambil Ilmu Komunikasi juga?”
“Iya kak, hehe.”
“Semangat ya!”
Bangku di pojok kanan kantin ini yang kami pilih. Satu-satunya yang masih kosong. Hiruk pikuk siswa-siswi yang bercengkrama seusai kelas menemani kami. Terlihat paling sedikit tiga sampai empat orang yang duduk bersama dalam satu meja. Para perempuan, para laki-laki, ada juga laki-laki dan perempuan dalam satu meja, menunggu pesanan mereka datang sambil bersenda gurau atau sekadar berbincang ringan. Melepas penat seusai kelas.
“Halo.”
Suara seorang laki-laki membuat kami menoleh kebelakang dimana ia berdiri. Aku menelan ludah.
“Cindy, nih.”
Dia memberiku secarik kertas yang dilipat. Tangan kananku menerimanya.
“I-ini apa?”
“Baca aja nanti. Dah,”
Laki-laki berambut gondrong itu tersenyum dan berlalu begitu saja.
“Cieee, kok aku baru tau kak Cindy pacaran sama kak Andi?”
“Hush! Ngawur! Enggak ya!”
“Ih ih ih, mukanya merah, ciee.” Amel yang duduk dihadapanku menunjuk wajahku. Dia nyengir.
Sial!
Kenapa aku salah tingkah gini?!
“Baca dong itu suratnyaa,”
“Ssst... diem!”
Aku membuka kertas putih yang dilipat itu. Tertulis sebuah pesan disana. Ini tulisan tangan Andi.
“Ketemu yuk habis pulang sekolah.
Aku tunggu di gerbang depan sekolah ya.
-Andhika Dewa”
Andhika Dewa. Seorang gitaris dan vokalis yang sudah sangat terkenal di SMA ku. Dia bersama bandnya selalu tampil mempesona, baik di pensi sekolah kami maupun di panggung lain. Selain musikalitasnya, banyak perempuan yang mengidolakannya karena parasnya yang tampan. Pesona laki-laki itu memang membuat luluh. Apakah aku salah satu dari para perempuan itu?
Emm...
Mungkin?
Hehe...
“Apa kak tulisannya?”
“Kepo.” Aku langsung memasukkan kertas itu kedalam saku saat tangan Amel mencoba meraihnya.
“Wah wah, surat cinta nih.
Yes! Nasi goreng sama es tehku dibayarin kak Cindy! Pajak jadian, ehehe.”
“Woee, enggakk!”
Seusai pelajaran, gerbang depan sekolah.
Andi sudah menungguku diatas sepeda motornya. Senyuman itu begitu hangat.
Ya ampun... Jantungku berdebar cepat lagi. Wajahku memerah, tersipu malu.
“Yuk, naik.”
“Eh, k-kita mau kemana?”
“Makan.”
“Eh, eng... Enggak usah Di, aku enggak laper...”
Krucuk
“Eh gimana? Enggak laper?” Dia menahan tawa sementara aku harus menahan malu.
Perut sialan!
Ah tapi... aku memang lapar... pelajaran siang ini begitu berat hingga menguras tenaga dan pikiranku.
“Emm...”
“Udah ayo, aku traktir.”
Setelah beberapa saat, aku berjalan malu-malu ke motor Andi, lalu duduk di belakang. Memastikanku sudah duduk nyaman, dia mulai menarik gas motor tua ini.
Sebuah café di dekat alun-alun Purwokerto adalah tempat yang dia pilih. Ada sebuah panggung kecil di sudut kanan café bernuansa
retro ini. Katanya sih rutin diadakan
live music setiap Rabu dan Sabtu. Meja yang terletak di sebelah kanan pintu ini menjadi pilihan kami, angin sepoi-sepoi bisa dengan bebas menerpa kami disini karena dekat dengan jendela.
Aku menyusur pandang ke menu-menu yang ditawarkan di buku ini. Pilihanku jatuh pada nasi goreng sosis dan segelas es coklat.
“Kamu pesen apa?”
Aku menulis pesananku.
“Roti bakar deh.”
“Loh? Enggak makan nasi?”
“Masih kenyang kok, hehe.”
“Iihh... jangan gitu, aku jadi enggak enak.”
“Serius, aku masih kenyang. Udah, aku tau kamu laper kok. Santai aja.”
“Bener nih?”
“Iyaa.”
“Minum?”
“Jus stroberi.”
Roti bakar dan jus stroberi. Dua pesanan itu telah tertulis di kertas yang kini aku serahkan pada pelayan café ini. Pemuda dengan seragam hitam putih itu pun meninggalkan kami, dan, laki-laki yang duduk didepanku ini malah sibuk dengan
smartphonenya sendiri. Aku menghela nafas.
“Cindy, bentar ya,” Dia berdiri sesaat setelah alat komunikasi itu ia letakkan di meja.
“Kemana?”
“Toilet.” Jawabnya singkat, lalu berlalu menuju bagian dalam café.
Aku kembali menghela nafas.
Smartphone yang ada didalam tas kuambil. Mungkin dia tidak akan lama, tapi aku juga butuh suatu hal yang aku kerjakan untuk membunuh waktu menunggu ini. Satu pesan
Whatsapp dari Aya menjadi perhatianku yang pertama setelah aku membuka sandi. Dia menanyakan PR yang diberikan tadi. Sakit aja masih mikir tugas, dasar. Hehe.
“Enggak ada kok, tadi cuma materi biasa. Nanti aku kerumah ya ngasih tau.” Ketikku disana, membalas pesan yang masuk beberapa menit yang lalu itu. Tak butuh waktu lama untuk
icon centang dua itu berubah warna menjadi biru. Aya membalas pesanku, begitupun aku yang gantian membalas pesannya lagi.
5 menit
10 menit
Kenapa Andi lama sekali?
Aku menoleh kearah Andi pergi tadi.
Hei, tunggu. Kenapa dia ada di atas panggung itu? Sejak kapan dia ada disana?
“Cek cek. Yak, hei, maaf nunggu lama. Hehe.”
Dia tersenyum kearahku dari atas panggung itu. Ia berdiri disana dengan sebuah gitar.
Aku mematung.
“Cindy Hapsari Maharani, ini lagu buat kamu,”
DEG...
Ia memainkan
intro dengan petikan gitar, mengantar lirik-lirik lagu yang ia nyanyikan dengan suara merdunya.
“Kau satu terkasih
Kulihat di sinar matamu
Tersimpan kekayaan batinmu
Di dalam senyummu
Kudengar bahasa kalbu
Mengalun bening menggetarkan
Kini dirimu yang selalu
Bertahta di benakku
Dan aku kan mengiringi
Bersama di setiap langkahmu
Percayalah
Hanya diriku yang paling mengerti
Kegelisahan jiwamu kasih
Dan arti kata kecewamu
Kasih yakinlah
Hanya aku yang paling memahami
Besar arti kejujuran diri
Indah sanubarimu kasih
Percayalah~”
Bahasa Kalbu... sebuah lagu dari Titi DJ... Dia menyanyikan lagu ini untukku? Kenapa?
“Cindy, mau enggak jadi pacar aku?”
Mataku membulat. Detak jantungku pun serasa berhenti. Aku tidak menyangka dia menyatakan perasaannya sekarang. Aku menelan ludah. Jujur, hatiku berbunga-bunga sekarang ini. Wajahku memerah. Aku menutup mulutku dengan dua tanganku dan menundukkan kepala.
“Berdiri lalu mengangguklah kalau kau terima.”
Entah kenapa air mataku mengalir keluar.
“Aku tunggu.”
Dan kau tau apa jawabanku? Ya. aku berdiri dari bangku itu, lalu mengangguk mantap. Seisi café itu kompak ber-‘ciee’ ria, ada juga yang bertepuk tangan dan bersorak. Andi tersenyum lebar lalu turun dari panggung itu setelah meletakkan gitar yang dibawanya tadi, menghampiriku yang masih terharu di bangku.
Semenjak saat itu, kami berdua resmi pacaran. Kami melalui berbagai macam cerita. Pahit, manis, semuanya. Dia memberiku semangat saat beberapa kali aku gagal dalam seleksi universitas, hingga akhrnya aku mendapatkan satu bangku di suatu universitas swasta di Jakarta. Hampir setiap malam, kami belajar bersama untuk persiapan Ujian Nasional, tak lupa ditemani juga selingan permainan gitar dan suaranya yang merdu. Dia membuatku merasa menjadi seorang gadis yang beruntung di dunia, laki-laki idaman yang selalu mengerti aku.
Namun, itu tidak selamanya...
“Aku tidak salah lihat kan...?”
Aku bergetar.
“Andi... itu Andi kan...? kenapa dia ciuman dengan perempuan itu...?”
Pada suatu hari, aku tidak sengaja mendapati Andi sedang berciuman dengan seorang perempuan di sebuah taman. Ciuman itu sangat mesra, bahkan aku tidak melihat keraguan dari Andi sedikitpun. Air mataku jatuh. Pengkhianatan ini sungguh menyakitkan. Pada awalnya, ia berikan sebuah harapan, namun kini, apa yang aku dapat? Sebuah kenyataan pahit! Semenjak saat itu, aku dan Andi tidak lagi berpacaran.
***
“Terus kemarin, dia ngehubungin aku lagi... dia minta balikan. Tapi hati aku udah tertutup rapat buat laki-laki kurang ajar seperti dia, kak...”
Aku membisu. Dadaku terasa sesak saat mendengar cerita Cindy tadi.
“Dia sok sokan pakai foto profil itu biar aku inget sama dia... tapi ya... percuma...” Dia meletakkan segelas jahe itu di meja. “Jujur kak... aku... sayang sama kak Dimas... kakak udah jadi sosok laki-laki yang bisa aku percayain jadi tempat buat naruh hati ini. Kakak tau gimana caranya memperlakukan seorang perempuan. Kakak baik, perhatian, sabar...”
Aku membulatkan mata. Menahan nafas.
“Selama ini kamu cuma anggep aku jadi tempat pelampiasan nafsu kamu kan?”
“Atau aku cuma jadi pelarian sesaat gara-gara bosen sama pacar kamu?”
“A-aku enggak punya pac-“
“Bacot. Siapa itu Andhika Dewa? Hah?!”
“K-kak, d-dia b-“
“Dasar, cewek rendahan.”
“Cukup kak!”
“Aku... kecewa sama kakak...”
Bodoh! Apa yang sudah aku lakukan?!
“Maaf aku enggak jelasin semua ini pas kemarin kakak bentak aku... jujur aku kemarin kaget banget... aku enggak bisa ngomong apa-apa...” Dia mulai terisak. “Jujur kak,
I am so lucky... ketemu laki-laki baik kayak kak Dimas...”
Jujur, melihatnya berlinang air mata seperti ini membuatku sangat tidak nyaman. Apalagi aku tahu, akulah penyebab air mata itu jatuh. Kini aku memaki diriku sendiri. Dengan kata-kata busuk itu, aku telah menyakiti hatinya. Andai waktu bisa diputar... mungkin aku akan lebih mengendalikan emosiku saat itu.
“Cindy...”
Aku merengkuh tubuhnya yang bergetar itu.
“Aku yang harusnya minta maaf... Emosi aku waktu itu memang enggak bisa aku tahan... Maaf... sekali lagi maaf...”
Dia memelukku erat, bahuku mulai basah oleh air matanya.
“Aku janji... kalau kamu masih ngasih aku kesempatan... aku enggak bakal ngecewain kamu lagi.”
Aku bisa merasakan ia mengangguk di bahuku. Baru kemudian ia melepas pelukannya dan kami saling pandang. Aku menyeka air mata itu dengan jari kananku.
“Janji?”
“Janji.”
Kedua kelingking kami saling mengait. Senyuman manisnya itu akhirnya kembali kulihat. Aku merasa lega bisa melihat senyuman itu lagi.
“Kak.”
“Iy-“
PLAK
“Ish?! Kok ditampar?”
“Hehehe, hukuman buat kakak soalnya udah bentak aku.”
“Kan aku udah minta maaf...”
“Ih, lagian sih, kakak ya, enggak ada otak apa ya? masak nama kontak pacar cuma nama biasa? Hahaha.” Dia menutup mulutnya saat tertawa.
“Ya, namanya juga emosi, hahaha. Kan aku cemburu gitu...”
“Bisa aja, ahahaha!”
Kami tertawa bersama. Aku lega akhirnya rasa canggung yang sempat kami alami tadi kini sudah hilang.
“Aku sayang kamu, Cindy.”
“Hehe, sayang kakak juga...”
Pelukan hangat itu kembali terjalin diantara kami. Ah, ya... sepertinya, kami resmi pacaran. Iya kan? Hehe. Cindy sudah memberiku satu kesempatan. Tidak akan aku sia-siakan. Aku akan berusaha, menjadi seorang yang bisa ia andalkan... Sampai nanti kami jadi tua, bahkan sampai jadi debu...
“Oh iya Cindy.”
“Kenapa kak?”
“Kamu inget lagu yang pernah kakak mainin pas di taman itu?”
“Oh, lagu yang kakak tulis sendiri itu ya? inget inget, kenapa?”
“Aku udah punya judul yang pas.”
“Apa tuh?”
“
As Elegant As Aurora.”
To be Continued...