Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Antologi Bahtera Pernikahan - Nesya

Prolog

Perkawinan adalah suatu hal yang sakral, tidak hanya melibatkan emosi namun juga kultural dan religi. tidak heran, perkawinan bagi kita kebanyakan orang dianggap sebagai manifestasi impian, khususnya bagi seorang perempuan. banyak muda mudi yang ketika berpacaran ingin segera bersanding dalam pelaminan, namun terkadang bukan hanya materi yang menjadi penghalang. akan tetapi juga restu orang tua. padahal, perkawinan tidak semudah apa yang dibayangkan. justru kehidupan sejati baru akan dimulai dari babak tersebut...

begitu juga dengan aku, yang dulu sangat ingin segera bersanding ke pelaminan dengan lelaki yang aku cinta melebihi diriku sendiri. namun apa daya, kedua orangtuaku tidak memberikan restu. banyak cara telah aku tempuh untuk meyakinkan mereka, hingga aku rela dihamili olehnya. namun hal itu hanya menjadi angan-angan, kehamilanku tidak membuat kedua orangtuaku luluh, namun justru membuat mereka semakin murka. kuliahku di kota Pahlawan yang sudah memasuki tahun keduapun harus kutinggalkan, papaku menjemputku dan memaksaku pulang. meninggalkan bangku perkuliahan bukan hal berat meskupun aku sangat menyukainya. namun meninggalkan kekasih hatiku, bagaikan kehilangan separuh jiwaku.

Abortus adalah solusi bagi kedua orang tuaku, bagaimanapun mereka adalah orang terhormat. karena papa adalah seorang Koordinator Penyelenggaraan Pemerintahan dalam lingkup wilayah yang bertanggungjawab langsung pada Kepala Daerah, dan mama memiliki garis keturunan yang bagus serta merupakan seorang Aparatur Sipil Negara yang berprofesi sama denganku kelak, sehingga kehamilan ini jelas akan mempermalukan mereka. sebenarnya ini adalah abortus keduaku, namun ternyata kehamilan ini membuat kedua orang tuaku tidak sabaran dan memulangkan aku kerumah, meninggalkan kota pahlawan dan juga orang yang aku cinta. di rumah aku sungguh depresi, rambut hitam dan panjangku yang dikenal keluarga besar sebagai rambut yang indah aku potong habis, sebagai bentuk penolakan dan protesku pada kedua orang tua. papa yang berwatak keras, tetap tidak peduli dengan apapun yang kulakukan. aku dikurung di dalam kamar agar tidak pergi dari rumah. namun mama ternyata sebaliknya, beliau sakit dan dan sempat koma karena memikirkan putrinya semata wayang. akhirnya, akupun mengalah…

seminggu kemudian, aku datang lagi ke kota Pahlawan. tiada tujuan lain yaitu aku akan menemuinya. aku ingin meminta maaf, telah membuatnya menungguku, menunggu restu kedua orang tuaku yang tak mungkin akan ia dapatkan. aku membuat janji dengannya di sebuah waralaba makanan cepat saji yang logonya sebuah huruf berwarna kuning hampir tengah malam. hanya disana yang saat itu membuka makanan cepat sajai hingga 24 jam. aku melihat lelaki tersebut duduk sendiri membelakangi pintu masuk. aku melihat lelaki yang seharusnya menjadi ayah bagi kedua janin yang pernah aku kandung.

dia tidaklah tampan, sangat jauh dari kata rupawan dan bukan pula dari keluarga terpandang ataupun berada. namun kesabarannya dapat meluluhkanku, dan aku dengan ikhlas menjadi labuhan hatinya. sebelum bertemu dengannya, aku belum pernah berpacaran semenjak mulai kuliah di kota Pahlawan, namun bukan berarti aku adalah gadis yang awam dan lugu, aku sadar banyak lelaki yang mendekatiku, baik yang seangkatan ataupun kakak tingkat, mereka seringkali menyapa, mengajak ngobrol ataupun mengajak jalan. akan tetapi belum ada satupun yang menarik hatiku untuk menjadi labuhan hati.

akhirnya, ada beberapa teman seangkatan dan kakak tingkat yang menjadi gebetan atau teman tapi mesra kalau remaja 2010 an mengatakan, tentu saja aku memilih yang cerdas dan rupawan. mengapa aku katakan demikian, sebab memang hatiku belum sepenuhnya jatuh hati kepada mereka. meskipun demikian, pada akhirnya tetap saja cara bergaul kami layaknya seseorang yang tengah berpacaran atau dimabuk asmara. bukan hanya sekedar menemani ngobrol, makan ataupun jalan dan juga lebih dari sekedar bergandengan tangan. cium kening dan pipipun sudah jamak kami lakukan, dan bahkan dalam beberapa kesempatan kami berciuman bibir seperti ketika tengah menonton bioskop, dan tentu saja diiringi tangannya menjamahi tubuhku, meremas-remas kedua payudaraku, menggerayangi pantatku dan meremasnya gemas. dan bahkan sampai kami melakukan petting di kos an mereka yang dikenal sebagai kos bebas. hanya saja ketika mereka hendak berbuat lebih jauh (bersetubuh), aku masih bisa menolaknya.

aku berbuat demikian memang bukan kali ini saja, ketika SMA memang demikianlah gaya berpacaranku dengan Farid, teman satu kelas saat kelas 3 SMA. Farid memang bukanlah penduduk asli sana, dia dari luar kota. hanya karena sekolah ini adalah sekolah favorit, maka banyak remaja dari luar daerah yang bersekolah di sana. dia dengan piawai merayuku hingga aku terbuai dalam pujiannya, hingga aku tak malu lagi membuka sendiri kancing-kancing kemeja putih-abu-abu saat berada dalam kamar kostnya. sejak seminggu berpacaran, payudaraku yang sekal sudah menjadi mainan favoritnya, dan penisnya pun juga selalu dia memintaku untuk memblowjob-nya.

Ya seperti itulah aku dulu… di rumah, warga sekitar dan keluarga besar mengenalku sebagai gadis yang santun, dikarenakan didikan norma keluarga. namun di kehidupan yang jauh dari orang tua sejak SMA membuatku sedikit merasakan kebebasan, seperti ketika seorang wanita melepaskan bra yang dia kenakan seharian.

Oia, aku belum memperkenalkan diri. namaku adalah Nesya Puspa Anindita. sejak kecil aku terbiasa dipanggil dengan Nezza oleh kedua orang tua dan keluarga besar. Aku seorang istri, ibu dari 3 orang anak dan tahun ini aku genap berusia 34 tahun. sehari-hari, aku adalah seorang aparatur sipil negara yang berprofesi sebagai Bidan di sebuah Puskesmas. Suamiku bernama Ammar, dia seorang aparatur sipil negara yang berdinas di lingkup pemerintah daerah dengan jabatan kepala bagian. Geia anak tertuaku berusia 9 tahun, adiknya bernama Sabrina berusia 2 tahun dan terakhir adalah Zabran baru berusia 6 bulan.

Postur tubuhku tidak terlalu tinggi namun juga tidak terlampau pendek untuk seorang wanita, dengan berat badan proposional. terakhir kali aku mengukur tinggi ketika ada BIAS di sebuah sekolah dasar, adalah 168 cm dengan berat badan yang stagnan diantara 60 kg hingga 65 kg. maklum, karena aku adalah seorang ibu yang sudah melahirkan 3 orang anak. keseharian ketika di tempat kerja atau keluar dari kompleks perumahan aku mengenakan hijab. namun jika hanya di sekitar rumah dalam artian di jalan depan rumah sekedar menemani anak jalan-jalan sore sambil menyuapi mereka makan, atau berbelanja sayur keliling yang masuk di perumahan aku tidak mengenakan hijab, hanya sebatas memakai homedress berlengan pendek atau kadang model tanpa lengan dengan panjang sedikit di atas lutut. terlalu ribet pikirku ketika apa-apa harus ganti baju sementara kita butuh mendadak.

Namun hal ini berawal ketika belum lama kepindahan kami ke perumahan ini di tahun 2016 (sebelumnya mengontrak), saat itu hubby sedang di luar kota untuk urusan dinas luar, di rumah hanya ada aku dan anak semata wayang, Geia. sore itu, Geia yang baru berusia 4 tahun tengah aku suapin di dalam rumah, tiba-tiba saja dia berlari keluar rumah dan mengabaikan panggilanku untuk kembali. Karena takut terjadi apa-apa sebab Geia berlari ke arah pembangunan mushola yang tengah dikerjakan oleh para tukang dibantu oleh bapak-bapak di kompleks perumahan, aku yang saat itu hanya mengenakan homedress pendek diatas lutut tanpa lengan buru-buru ikut keluar mengejar Geia.

Seingatku ada 12 pria di sana yang tengah bersiap dengan membersihkan alat yang digunakan karena sudah sore menjelang bedug Ashar sekitar pukul 15.45, 3 diantaranya adalah tukang yang dikerjakan oleh pemboromg dan 9 lainnya adalah bapak-bapak tetangga yang membantu mereka, karena dari rapat koordinasi warga kemarin inisiatif tersebut sebagai bagian dari bakti sosial yakni membuat mushola yang kebetulan berada di seberang rumah.

Mereka yang tengah bersiap untuk pulang cukup terkejut melihatku dengan pakaian yang seadanya ini, karena sebelumnya aku sangat menjaga pakaian yang aku kenakan apabila keluar rumah. namun sekarang, aku seolah pamer kemulusan kulit lengan pahaku yang kuning langsat serta rambut hitamku yang lurus sebahu. Aku hanya bisa menahan malu, rona pipiku memerah, dan yang lebih membuat aku malu lagi ketika Geia menolak untuk aku ajak masuk ke rumah, justru dia malah banyak bertanya pada para bapak-bapak tersebut. entah mereka sengaja atau tidak, namun pak Rahmani yang saat ini menjadi ketua RT di lingkungan ku justru mengatakan "jangan dipaksa mbak Nezza kalau putrinya tidak mau disuapin di rumah, nanti malah nangis dan mogok makan". akhirnya tiada pilihan lain, Geia aku suapi di sana sambil sesekali para bapak-bapak tersebut mengajak aku ngobrol. tidak mungkin aku kembali kerumah dan mengganti pakaian dengan yang lebih tertutup. namun yang lucu, mereka baru bubar ketika menjelang adzan Maghrib, Geia memang aku biasakan untuk masuk rumah ketika hari menjelang gelap. sejak saat itulah, aku mulai terbiasa kedepan rumah tidak mengenakan hijab, namun hal itu bukan tanpa ada penolakan dari suami. kadang saja ketika ada suami di rumah, aku mengenakan hijab dan pakaian tertutup, namun seringnya aku hanya mengenakan homedress karena suami baru pulang dari kantor ketika magrib.​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd