babymaker
Semprot Kecil
- Daftar
- 3 Aug 2017
- Post
- 74
- Like diterima
- 250
Halo suhu-suhu semua, berikut ini cerita hasil asli buatan saya sendiri, ini adalah season 1, Terima kasih, selamat membaca.
Link season 2 : https://v1.semprot.com/threads/a-diary-of-dick-season-2-multiple-strikes.1241347/
Namaku Armand, umur 25 tahun dan sekarang aku bekerja untuk sebuah perusahaan konstruksi. Aku punya seorang istri dan anak yang tinggal long distance denganku. Istriku tinggal di rumah kami di Garut, Jawa Barat, sementara aku kos di Bekasi. Setiap 1 atau 2 minggu aku pulang untuk menemui mereka. Kehidupanku sempurna dan berkecukupan, termasuk soal seks. Aku juga bukan pria nakal, walaupun kadang suka ada fantasi liar dalam benakku, namun kupilih untuk memendam dan hidup secara normal.
Kisah ini bermula saat anakku lahir, aku dan istriku termasuk pasangan yang tokcer karena sekitar setahun kami menikah kami sudah punya bayi. Sesuai prosedur, bukan karena insiden. Istriku, Vany, sudah lama ingin punya bayi bahkan semenjak kami masih pacaran. Ia memang sudah ngebet karena melihat teman teman 1 geng-nya sudah menikah dan sudah beranak pinak. Kini, dari sekitar 8 orang geng teman arisan kuliahnya, tinggal 1 orang yang belum punya keturunan, yakni Lisma. Lisma adalah teman yang paling dekat dengan istriku dibanding yang lain. Mereka berdua kerap curhat berbagai hal, bahkan berkhayal berdua tentang kelak saat sudah sama-sama menjadi ibu. Lisma menikah 5 tahun lebih dulu dari kami, mereka menikah muda waktu itu, namun masih belum hamil sampai sekarang. Dari gosip yang kudengar sih suaminya, Reza, ia didiagnosis mengalami hipotroid sehingga kualitas spermanya rendah. Reza sendiri adalah teman sekelas Vany semasa SMA, istriku pula-lah yang jadi mak comblang hubungan Reza dan Lisma sampai mereka menikah. Istriku juga pernah cerita, kalau semasa SMA dulu Reza termasuk bad boy yang sering mabuk-mabukan bahkan nyabu, mungkin itulah kenapa dia sulit punya keturunan, ditambah postur badan Reza juga besar alias gendut. Reza dan Lisma pun juga pasangan suami istri long distance seperti kami, Reza bekerja sebegai staf administrasi sebuah rumah sakit di Jakarta, sementara Lisma bekerja sebagai guru honorer seperti istriku di Garut. Rumah mereka di Garut tidak jauh dari rumah kami, hanya beda kelurahan. Ketika mereka datang melongok istriku yang baru lahiran, aku bisa melihat ada kesedihan yang Lisma tutupi di depan istriku, Reza sendiri yang melongok ke dalam sebentar, basa basi tak sampai 1 menit lalu ngobrol denganku diluar kamar.
“Selamat ya bro”, ujarnya sambil menepuk bahuku.
Aku tersenyum kecil, Reza tertunduk sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Cepat nyusul”, kataku.
Reza cuma tersenyum kecut. “Udah 5 tahun man”
“Belum lama lah, banyak yang sampe 10 tahun, 15 tahun bahkan puluhan tahun akhirnya dikasi juga, yang penting usaha, sama doa bro”, aku berusaha menghibur.
“Ya kalo dikasi, tapi gimana kalo gue ama Lisma termasuk yang 10, atau 15 atau bahkan gak dikasi? Lu enak, setaun udah jadi, lah gue?”
“Jangan pesimis gitu dong bro”, ujarku.
“Man, lu gak tau gimana stressnya gue ngadepin Lisma yang ngerengek mulu pengen bayi, belom mertua gue, bahkan orang tua gue juga suka nyindir gue. Lu tau si Gina adeknya Lisma kan ? Bocah cabe-cabean itu malah bunting duluan kagak tau jurusannya. Gue udah abis puluhan juta bro buat punya anak, terapi sana sini, mana hasilnya ?”
“Kalo adopsi bro ?”, tanyaku.
“Ah kagak ah, ngapain ngurusin anak orang, gue masih yakin bisa bikin Lisma hamil”, tegas Reza.
“Iya gue ngerti bro, oke kita bahas yang lain ya, ngomong-ngomong kemaren yang mau jual velg mana bro?”
Dan percakapan pun beralih, tidak lama kemudian Lisma datang dan ngajak Reza pulang, mereka pamit padaku dan istriku.
Dua bulan kemudian, setelah lebaran, aku mendengar cerita dari istriku via WA, karena aku lagi di Bekasi. Ia bilang kalau Lisma dan Reza lagi bertengkar hebat. Akar masalahnya dari masalah anak.
“Kayaknya Lisma beneran udah pengen banget punya anak deh yah, sampe stress gitu”, kata Vany.
“Iya sih, ya si Reza juga udah pengen banget, tapi ya namanya belom dikasi mau gimana, kameren waktu jenguk kita juga ayah udah semangetin si Reza bun”, kataku.
“Yang parah sih dari orang tua Lisma ama sodara-sodaranya, kemaren pas lebaran tuh diledekin melulu, mungkin sih niatnya bercanda, tapi ya namanya perempuan apalagi kondisi kayak Lisma kan pasti sensi banget, bunda juga ngerasain gitu dulu, ujar Vany.
“Yaudah lah biarin, kamu jangan ikut-ikutan, itu urusan keluarga orang loh, biarpun Lisma temen deket kamu”, aku memperingatkan istriku.
Keesokan harinya istriku memberi kabar lewat WA, kalau Lisma semalam menginap di rumahku. Katanya sedang ribut dengan suaminya, tapi pagi pagi sudah pulang lagi.
Tak lama HP-ku berbunyi sebelum aku berangkat kerja, nomor tak dikenal.
“Halo ? Siapa ya ?”, tanyaku.
“Halo ini Armand ya ? Ini aku Lisma, temen Vany”, jawab diujung telpon.
“Oh iya, kenapa Ma ? semalam katanya main ke rumah ya ?”
“Iya Man, aku Cuma mau minta maaf gak sempat izin sama kamu, soalnya semalam emang udah malam banget, lagian HP kamu gak aktif”, ujar Lisma.
“Ah gak apa-apa, lagian aku seneng kok Vany ada yang nemenin di rumah, santai aja Ma”.
“Iya makasih man, ngomong-ngomong aku boleh gak nginep sama Vany lagi ?”
“Oh ya gapapa, silahkan aja, bagus malah”, ujarku.
“Oke makasih ya Man, maaf ganggu, hati-hati di proyeknya”, Lisma lalu menutup telpon.
Di tempat kerja, aku chatting dengan istriku, dia cerita kalo alasan Lisma kabur semalam karena ribut dengan Reza, apalagi kalo bukan masalah anak pemicunya. Lalu Lisma juga ingin menginap di rumahku untuk menenangkan diri, dia stress kalau sendiri di rumah soalnya Reza sudah berangkat kerja lagi di Jakarta. Mau pulang ke rumaha orang tuanya tapi jaraknya jauh. Makanya dia mau menginap di rumahku, sekalian ada teman curhat dengan Vany. Lisma juga tidak cerita pada Reza atau keluarganya kalo ia minggat ke rumahku.
Jumat malam, aku pulang ke Garut. Sehabis maghrib meluncur mulus tanpa ada macet. Sampailah aku sekitar jam 20.30 WIB. Di rumah aku disambut istriku dan juga Lisma, sehabis main sebentar dengan anakku, aku pun nonton TV di ruang tengah. Vany dan Lisma menemaniku nonton TV sampai malam sambil mengobrol ngalor ngidul. Keduanya memakai piyama tidur yang, jujur saja, menaikkan nafsuku.
“Seru juga kalo threesome nih”, ujarku dalam hati. Tapi ya cuma sebatas angan, gak mungkin terjadi dan aku juga tidak berusaha mencari celah biar terjadi. Memang dasarnya aku gak bisa jadi pria nakal.
“Si Reza titit-nya kecil ya ma ?”, ujar istriku. Vany emang koplak juga kalo ngomong, apalagi sama sahabat dekatnya.
“Iya sih kayaknya Van, lah kalo si aa yang 1 itu ?”, Lisma melirik ke arahku. Lisma juga koplak sebenernya.
“Wah kalo kang mas yang 1 ini sih besar dan bertenaga hahahahahaha”, Vany menimpali. Kita bertiga pun ketawa. “Tuh udah ada hasilnya si cantik yang lagi tidur”, ujar Vany.
Lisma cuma nyengir. Tidak lama kami pun tidur. Lisma tidur di kamar atas. Sementara aku seperti biasa tidur dengan istri dan anakku di kamar bawah.
Di kamar, aku yang sudah nafsu langsung memeluk tubuh istriku dari belakang, meremas payudaranya. “Idih nafsu nih yee”, ledek Vany. “Iya, wajar lah udah nahan 2 minggu”, kataku.
Istriku, Vany, seumuran denganku, memiliki tubuh yang lumayan berisi. Dulu sewaktu kami menikah malah cenderung kurus, tapi setelah anak kami lahir badannya jadi jauh lebih berisi, 55 kg dengan tinggi 160 cm. Payudaranya pun padat 36 B, dengan puting yang mengacung hitam. Pantatnya yang montok membulat. Semua ini tertutup hijab bila sedang menghadapi orang selain aku. Ah, body ibu-ibu anak 1 memang luar biasa. Dengan wajah manis khas Sunda, rambut pendek ala polwan dan kulit kuning langsat, istriku ini memang spektakuler menurutku, walaupun yang membuatku jatuh cinta jelas bukan semata fisiknya, tapi sikapnya yang keibuan, tapi bisa juga diajak seru-seruan. Seperti halnya dalam masalah seks, ia tidak kaku, justru liar di ranjang. Padahal aku berani jamin, waktu kunikahi, dia masih perawan ting-ting, namun skill-nya luar biasa, mungkin faktor internet, yah dia belajar banyak tentang seks lewat teori tanpa praktek. Ilustrasi ? yah mungkin bayangkan saja aktris dan balerina Karina Salim, tapi versi rambut pendek.
Vany lalu menggeser posisi tidur anakku ke ujung ranjang dekat tembok, biar kami bisa leluasa main.
Tanpa basa basi kami langsung telanjang, diatas tubuh Vany kucumbu liar lehernya sambil kuremas toketnya yang makin besar gara-gara menyusui. Sementara tangan Vany mengocok penisku yang sudah tegang.
“Ooohhhh, aaaahhhhh”, lenguh Vany.
Kami berguling guling d kasur sambil bercumbu, kadang-kadang terhenti untuk melihat anak kami bangun atau tidak.
Kumasukkan jariku ke liang memek Vany, basah sekali, padahal foreplay baru sebentar. Istriku ini memang sudah gak tahan juga rupanya. Sesekali tangan kananku memainkan puting hitamnya yang mengacung, “Aaaaaaaaaaaarrrrrrrrgggggggggggghhhhhhhhhhh”, Vany mendesah ketika kukocok memeknya dengan jariku.
Lalu, sambil posisiku masih diatas, Vany memintaku menggeser tubuhku ke atas. Aku tahu, dia mau nyepong. Kumasukkan kontol besarku ke mulutnya yang dia hisap keras-keras.
“Sluuurrrrrrrrpppppp, sslluuuuuuuurrrrrrrpppppp, aaaaaarrrrrgggghhhhhhhhh”, kontolku basah oleh liur Vany. Tanpa segan ia mengulum batang penis bahkan biji kontolku.
Aku dan Vany sudah sangat terangsang, maka lalu aku kangkangkan kakinya, dan kusodok liang memeknya yang berjembut tipis itu dengan posisi missionary.
“Oooooouuuuuuuuggggghhhhhhhhh”, lenguh kami berdua. Liangnya sudah becek sekali. Langsung kupompa pelan pelan sembari kucumbu leher dan kugerayangi toketnya yang besar itu.
Makin lama, makin kupercepat kocokanku. “Plok... plok... plok... ploookkk”, bunyi kelamin kami beradu. Vany menahan rintihannya supaya anak kami tidak terbangun, aku pun Cuma terengah engah sambil memandangi wajahku istriku yang dahinya berkeringat, sesekali kami berciuman panas sambil beradu lidah.
5 menit non-stop kontol 15 cm-ku menggempur memek istriku dengan kecepatan tinggi, sampai kemudian aku merasa mau klimaks. “Wah bahaya nih”, ujarku dalam hati. Kukurangi kecepatan sodokanku sampai akhirnya berhenti.
“Bentar narik napas dulu”, ujarku. “Iya aku juga pegel yah”, istriku menimpali. Padahal akal-akalanku aja ngeles biar tidak ejakulasi, maklum aku main alami, tanpa obat. Paling pantang aku pakai begituan. Main dengan istri berbeda dengan main dengan jablay, harus pakai perasaan.
Kemudian lanjut lagi, kali ini aku membelakangi Vany, badan kami berdua tidur dalam posisi miring. Kuremas toketnya dari belakang sambil kuciumi lehernya.
“Aaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrggggggggggggggghhhhhhhhhhh”, Vany mulai naik lagi.
Kuangkat sebelah kaki istriku, lalu kumasukkan kontolku ke dalam memeknya . “Sleeepppppp”.
Kuatur ritme kocokan dari pelan perlahan cepat. “Aaaaahhhhh, niiiiiiiiiiiiiiikkkkkkkmmmmaaaaaaaaaattttttt sayaaaaangggggggg”, ujar Vany. “Memek bunda milik ayah, ooooooohhhhhhh nikmatnya memek kamu sayang, pelampiasan nafsu kontol ayah”, ujarku sambil membisiki Vany.
Tak lama kemudian tangan Vany mencengkeram pahaku, ah ini tandanya dia mau klimaks. “Yah jangan dulu yah, yah... ya.....aaaaaahhhhhhh”, Vany mengisyaratkan belum ingin klimaks, tapi kupercepat kocokanku dan “Ayah, yaaahhhh.... ah.... a....Armaaaaaaaaaaaaannnnnndd”, Vany pun klimaks, kosodok kontolku dalam dalam sambil kucumbu lehernya.
“Ih dibilang jangan dulu, jadi aja aku keluar duluan, ayah maaahhhh”, sahut Vany manja. Aku Cuma nyengir. “Wuuuuu gak rame ah keluar duluan”, ujarku meledek Vany.
“Ayah belom keluar nih”.
“Bodo ah”, kata istriku yang kubalas kucubit pantatnya.
“Bentar dong yah narik nafas dulu”, ujar istriku manja.
“Iya yaudah, ayah ambil minum sebentar keluar”, aku pun beranjak. Kupakai celana dalam ku saja lalu keluar kamar.
Diluar kamar, aku tiba-tiba iseng ingin melihat ke kamar atas. Ingin tahu apa Lisma sudah tidur. Kunaiki anak tangga, dari koridor aku bisa lihat kamar tamu tempat Lisma tidur ternyata pintunya terbuka sedikit dan lampu di dalam ruangan masih menyala.
“Wah belom tidur, apa jangan-jangan dia nguping tadi ya ?”, tanyaku dalam hati. Ah tapi tadi kan kamarku ditutup, desahanku dan Vany juga tidak keras-keras banget. “Bodo ah”, ujarku. Tiba-tiba kulihat bayangan Lisma mau keluar kamar. Buru-buru aku turun, ambil minum sedikit di dispenser ruang tengah. Saat sedang mengisi air, aku mendengar langkah sendal menuju tangga mau turun.
“Lisma mau kesini”, ujarku dalam hati.
Rumahku tidak besar, berada di sebuah komplek perumahan bersubsidi pemerintah dengan luas bangunan 36 m2. Namun aku cukup beruntung punya rezeki untuk merenovasinya menjadi 2 lantai dengan 2 kamar di atas. Aku cuma punya 1 dispenser minum di lantai bawah dekat dapur, jadi kalau kehausan diatas ya mau tidak mau turun kebawah untuk mengambil air.
Aku segera masuk kamar, kulihat istriku sedang tiduran miring membelakangi pintu sambil mengelus-elus bayi kami . Sengaja pintu tidak kututup rapat, kusisakan celah sedikit. Ada sensasi tersendiri senadainya Lisma mengintipku sedang ngentot dengan istriku, tapi istriku tidak menyadarinya.
Kugerayangi toket istriku dari belakang sambil kugesek-gesek kontolku ke pantatnya. “Lama banget minum doang, keburu males nih”, ujar istriku dengan nada sewot. “Jangan gitu dong sayang, ayo yuk”, aku memelas. “Eeemmhhhhhhhhhh... tapi jangan lama-lama ya, udah capek, udah malem juga nih”. Istriku memang begitu, kalau sudah klimaks duluan jadi turun libidonya.
Kumasukkan jariku ke lubang memeknya sambil kucumbu leher dan telinga belakang istriku, nafsunya pun naik lagi. “Ayo nungging”, ujarku. Istriku menurut, dia menungging sambil kuarahkan posisinya supaya membelakangi pintu. Kuremas pantatnya sambil masih kumainkan memeknya dengan jariku.
“Aaaaaaaaahhhhhhhhhhhhh ayah ayooooooo”, pinta istriku.
Aku menengok ke belakang ke arah pintu, benar saja, aku menangkap sosok Lisma mengintip kami !
Lisma langsung sembunyi menghilang, tapi aku tahu dia masih di belakang pintu. Langsung kusodok memek istriku. “Uuuuuhhhhhh... aaaahhhhhhhhh”, aku mendesah. Sengaja agak kukeraskan desahanku biar terdengar Lisma. “Ayah jangan keras-keras, ntar anak kita bangun”, hardik istriku.
Tapi aku tak peduli, kugenjot memek istriku dengan langsung kecepatan tinggi. “Aaaarrrgggghhhhh.... uurrrrrgggggghhhhhhhh... me.. memek mantaaaaappppppppppp”, ujarku.
“Ay...aaaayy...ayaaaaaahhhh oh nikmatnya kontol gede kamu sayaaaaaaanggggg”, Vany mulai meracau.
Sesekali kulihat ke arah pintu, Lisma kupergoki mengintip lalu dia ngumpet lagi. “Ahay”, ujarku dalam hati. Suara desahan dan raungan kami memang agak tertahan, namun cukup jelas untuk terdengar sampai ke pintu. Untungnya anak kami tidak terbangun, tidur pulas dia setelah seharian bermain.
Istriku lalu minta posisi woman on top, kuturuti dia sambil kuarahkan biar tetap membelakangi pintu. Kalau istriku tahu pintunya tidak tertutup rapat pasti minta ditutup. Aku ingin show off sampai klimaks ke Lisma. Sengaja kukocok kontolku sebentar sebelum istriku memasukkan ke lubangnya, biar Lisma lihat besarnya barangku. Lalu... bleeesssssssssss... kontolku masuk.
“Ah nikmat oohhh kontooooooooooollllllllll”, racau Vany. Istriku itu bergerak naik turun, kuremas toket indahnya yang naik turun itu. Gerakan Vany begitu liar, mungkin sengaja biar aku cepat keluar.
Pelan pelan aku bangkit dari posisi tiduranku menjadi posisi duduk sementara Vany masih menggenjot diatas, kupeluk tubuhnya sambil kuhisapi puting susunya. Vany membalas memelukku erat sambil menciumi telingaku. Aku mencoba mencari celah untuk melihat ke arah pintu, Lisma tidak terlihat di celah pintu, tapi aku melihat bayangan kaki di sela antara bawah pintu dengan lantai.
Aku tidak tahan lagi, Vany begitu liar bergoyang dan mencumbuiku. “Bentar lagi nih sayang”, ujarku berbisik di telinganya.
“Iyaaa... yaudah keluarin di dalem, uu...uudah KB kok”, sahut istriku. Aku pun bersemangat, kubantu memompa kontolku dengan menaik turunkan tubuh mungil padat berisinya.
“Aaaaaaahhhh...... uuuuhhhhhhh....... aaaaaaahhhhhhhhhhhh”, suara desahan kami bergantian. Ketika aku mau klimaks, kucumbu bibir istriku dan ... AAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRGGGGGHHHHHHHHHHHHHHH.... aku pun berejakulasi dalam posisi duduk.
Sekitar 6-7 kali semprotan spermaku di dalam memek Vany. Maklum, 2 minggu gak keluar.
Kulihat Lisma jelas-jelas ada di celah pintu, matanya terbelalak sambil sebelah tangganya menutup mulutnya yang agak menganga melihatku dan istriku. Ia sempat menatapku, kemudian langsung pergi.
Malam itu, aku pun tidur dengan nyenyak.
Link season 2 : https://v1.semprot.com/threads/a-diary-of-dick-season-2-multiple-strikes.1241347/
Namaku Armand, umur 25 tahun dan sekarang aku bekerja untuk sebuah perusahaan konstruksi. Aku punya seorang istri dan anak yang tinggal long distance denganku. Istriku tinggal di rumah kami di Garut, Jawa Barat, sementara aku kos di Bekasi. Setiap 1 atau 2 minggu aku pulang untuk menemui mereka. Kehidupanku sempurna dan berkecukupan, termasuk soal seks. Aku juga bukan pria nakal, walaupun kadang suka ada fantasi liar dalam benakku, namun kupilih untuk memendam dan hidup secara normal.
Kisah ini bermula saat anakku lahir, aku dan istriku termasuk pasangan yang tokcer karena sekitar setahun kami menikah kami sudah punya bayi. Sesuai prosedur, bukan karena insiden. Istriku, Vany, sudah lama ingin punya bayi bahkan semenjak kami masih pacaran. Ia memang sudah ngebet karena melihat teman teman 1 geng-nya sudah menikah dan sudah beranak pinak. Kini, dari sekitar 8 orang geng teman arisan kuliahnya, tinggal 1 orang yang belum punya keturunan, yakni Lisma. Lisma adalah teman yang paling dekat dengan istriku dibanding yang lain. Mereka berdua kerap curhat berbagai hal, bahkan berkhayal berdua tentang kelak saat sudah sama-sama menjadi ibu. Lisma menikah 5 tahun lebih dulu dari kami, mereka menikah muda waktu itu, namun masih belum hamil sampai sekarang. Dari gosip yang kudengar sih suaminya, Reza, ia didiagnosis mengalami hipotroid sehingga kualitas spermanya rendah. Reza sendiri adalah teman sekelas Vany semasa SMA, istriku pula-lah yang jadi mak comblang hubungan Reza dan Lisma sampai mereka menikah. Istriku juga pernah cerita, kalau semasa SMA dulu Reza termasuk bad boy yang sering mabuk-mabukan bahkan nyabu, mungkin itulah kenapa dia sulit punya keturunan, ditambah postur badan Reza juga besar alias gendut. Reza dan Lisma pun juga pasangan suami istri long distance seperti kami, Reza bekerja sebegai staf administrasi sebuah rumah sakit di Jakarta, sementara Lisma bekerja sebagai guru honorer seperti istriku di Garut. Rumah mereka di Garut tidak jauh dari rumah kami, hanya beda kelurahan. Ketika mereka datang melongok istriku yang baru lahiran, aku bisa melihat ada kesedihan yang Lisma tutupi di depan istriku, Reza sendiri yang melongok ke dalam sebentar, basa basi tak sampai 1 menit lalu ngobrol denganku diluar kamar.
“Selamat ya bro”, ujarnya sambil menepuk bahuku.
Aku tersenyum kecil, Reza tertunduk sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Cepat nyusul”, kataku.
Reza cuma tersenyum kecut. “Udah 5 tahun man”
“Belum lama lah, banyak yang sampe 10 tahun, 15 tahun bahkan puluhan tahun akhirnya dikasi juga, yang penting usaha, sama doa bro”, aku berusaha menghibur.
“Ya kalo dikasi, tapi gimana kalo gue ama Lisma termasuk yang 10, atau 15 atau bahkan gak dikasi? Lu enak, setaun udah jadi, lah gue?”
“Jangan pesimis gitu dong bro”, ujarku.
“Man, lu gak tau gimana stressnya gue ngadepin Lisma yang ngerengek mulu pengen bayi, belom mertua gue, bahkan orang tua gue juga suka nyindir gue. Lu tau si Gina adeknya Lisma kan ? Bocah cabe-cabean itu malah bunting duluan kagak tau jurusannya. Gue udah abis puluhan juta bro buat punya anak, terapi sana sini, mana hasilnya ?”
“Kalo adopsi bro ?”, tanyaku.
“Ah kagak ah, ngapain ngurusin anak orang, gue masih yakin bisa bikin Lisma hamil”, tegas Reza.
“Iya gue ngerti bro, oke kita bahas yang lain ya, ngomong-ngomong kemaren yang mau jual velg mana bro?”
Dan percakapan pun beralih, tidak lama kemudian Lisma datang dan ngajak Reza pulang, mereka pamit padaku dan istriku.
Dua bulan kemudian, setelah lebaran, aku mendengar cerita dari istriku via WA, karena aku lagi di Bekasi. Ia bilang kalau Lisma dan Reza lagi bertengkar hebat. Akar masalahnya dari masalah anak.
“Kayaknya Lisma beneran udah pengen banget punya anak deh yah, sampe stress gitu”, kata Vany.
“Iya sih, ya si Reza juga udah pengen banget, tapi ya namanya belom dikasi mau gimana, kameren waktu jenguk kita juga ayah udah semangetin si Reza bun”, kataku.
“Yang parah sih dari orang tua Lisma ama sodara-sodaranya, kemaren pas lebaran tuh diledekin melulu, mungkin sih niatnya bercanda, tapi ya namanya perempuan apalagi kondisi kayak Lisma kan pasti sensi banget, bunda juga ngerasain gitu dulu, ujar Vany.
“Yaudah lah biarin, kamu jangan ikut-ikutan, itu urusan keluarga orang loh, biarpun Lisma temen deket kamu”, aku memperingatkan istriku.
Keesokan harinya istriku memberi kabar lewat WA, kalau Lisma semalam menginap di rumahku. Katanya sedang ribut dengan suaminya, tapi pagi pagi sudah pulang lagi.
Tak lama HP-ku berbunyi sebelum aku berangkat kerja, nomor tak dikenal.
“Halo ? Siapa ya ?”, tanyaku.
“Halo ini Armand ya ? Ini aku Lisma, temen Vany”, jawab diujung telpon.
“Oh iya, kenapa Ma ? semalam katanya main ke rumah ya ?”
“Iya Man, aku Cuma mau minta maaf gak sempat izin sama kamu, soalnya semalam emang udah malam banget, lagian HP kamu gak aktif”, ujar Lisma.
“Ah gak apa-apa, lagian aku seneng kok Vany ada yang nemenin di rumah, santai aja Ma”.
“Iya makasih man, ngomong-ngomong aku boleh gak nginep sama Vany lagi ?”
“Oh ya gapapa, silahkan aja, bagus malah”, ujarku.
“Oke makasih ya Man, maaf ganggu, hati-hati di proyeknya”, Lisma lalu menutup telpon.
Di tempat kerja, aku chatting dengan istriku, dia cerita kalo alasan Lisma kabur semalam karena ribut dengan Reza, apalagi kalo bukan masalah anak pemicunya. Lalu Lisma juga ingin menginap di rumahku untuk menenangkan diri, dia stress kalau sendiri di rumah soalnya Reza sudah berangkat kerja lagi di Jakarta. Mau pulang ke rumaha orang tuanya tapi jaraknya jauh. Makanya dia mau menginap di rumahku, sekalian ada teman curhat dengan Vany. Lisma juga tidak cerita pada Reza atau keluarganya kalo ia minggat ke rumahku.
Jumat malam, aku pulang ke Garut. Sehabis maghrib meluncur mulus tanpa ada macet. Sampailah aku sekitar jam 20.30 WIB. Di rumah aku disambut istriku dan juga Lisma, sehabis main sebentar dengan anakku, aku pun nonton TV di ruang tengah. Vany dan Lisma menemaniku nonton TV sampai malam sambil mengobrol ngalor ngidul. Keduanya memakai piyama tidur yang, jujur saja, menaikkan nafsuku.
“Seru juga kalo threesome nih”, ujarku dalam hati. Tapi ya cuma sebatas angan, gak mungkin terjadi dan aku juga tidak berusaha mencari celah biar terjadi. Memang dasarnya aku gak bisa jadi pria nakal.
“Si Reza titit-nya kecil ya ma ?”, ujar istriku. Vany emang koplak juga kalo ngomong, apalagi sama sahabat dekatnya.
“Iya sih kayaknya Van, lah kalo si aa yang 1 itu ?”, Lisma melirik ke arahku. Lisma juga koplak sebenernya.
“Wah kalo kang mas yang 1 ini sih besar dan bertenaga hahahahahaha”, Vany menimpali. Kita bertiga pun ketawa. “Tuh udah ada hasilnya si cantik yang lagi tidur”, ujar Vany.
Lisma cuma nyengir. Tidak lama kami pun tidur. Lisma tidur di kamar atas. Sementara aku seperti biasa tidur dengan istri dan anakku di kamar bawah.
Di kamar, aku yang sudah nafsu langsung memeluk tubuh istriku dari belakang, meremas payudaranya. “Idih nafsu nih yee”, ledek Vany. “Iya, wajar lah udah nahan 2 minggu”, kataku.
Istriku, Vany, seumuran denganku, memiliki tubuh yang lumayan berisi. Dulu sewaktu kami menikah malah cenderung kurus, tapi setelah anak kami lahir badannya jadi jauh lebih berisi, 55 kg dengan tinggi 160 cm. Payudaranya pun padat 36 B, dengan puting yang mengacung hitam. Pantatnya yang montok membulat. Semua ini tertutup hijab bila sedang menghadapi orang selain aku. Ah, body ibu-ibu anak 1 memang luar biasa. Dengan wajah manis khas Sunda, rambut pendek ala polwan dan kulit kuning langsat, istriku ini memang spektakuler menurutku, walaupun yang membuatku jatuh cinta jelas bukan semata fisiknya, tapi sikapnya yang keibuan, tapi bisa juga diajak seru-seruan. Seperti halnya dalam masalah seks, ia tidak kaku, justru liar di ranjang. Padahal aku berani jamin, waktu kunikahi, dia masih perawan ting-ting, namun skill-nya luar biasa, mungkin faktor internet, yah dia belajar banyak tentang seks lewat teori tanpa praktek. Ilustrasi ? yah mungkin bayangkan saja aktris dan balerina Karina Salim, tapi versi rambut pendek.
Vany lalu menggeser posisi tidur anakku ke ujung ranjang dekat tembok, biar kami bisa leluasa main.
Tanpa basa basi kami langsung telanjang, diatas tubuh Vany kucumbu liar lehernya sambil kuremas toketnya yang makin besar gara-gara menyusui. Sementara tangan Vany mengocok penisku yang sudah tegang.
“Ooohhhh, aaaahhhhh”, lenguh Vany.
Kami berguling guling d kasur sambil bercumbu, kadang-kadang terhenti untuk melihat anak kami bangun atau tidak.
Kumasukkan jariku ke liang memek Vany, basah sekali, padahal foreplay baru sebentar. Istriku ini memang sudah gak tahan juga rupanya. Sesekali tangan kananku memainkan puting hitamnya yang mengacung, “Aaaaaaaaaaaarrrrrrrrgggggggggggghhhhhhhhhhh”, Vany mendesah ketika kukocok memeknya dengan jariku.
Lalu, sambil posisiku masih diatas, Vany memintaku menggeser tubuhku ke atas. Aku tahu, dia mau nyepong. Kumasukkan kontol besarku ke mulutnya yang dia hisap keras-keras.
“Sluuurrrrrrrrpppppp, sslluuuuuuuurrrrrrrpppppp, aaaaaarrrrrgggghhhhhhhhh”, kontolku basah oleh liur Vany. Tanpa segan ia mengulum batang penis bahkan biji kontolku.
Aku dan Vany sudah sangat terangsang, maka lalu aku kangkangkan kakinya, dan kusodok liang memeknya yang berjembut tipis itu dengan posisi missionary.
“Oooooouuuuuuuuggggghhhhhhhhh”, lenguh kami berdua. Liangnya sudah becek sekali. Langsung kupompa pelan pelan sembari kucumbu leher dan kugerayangi toketnya yang besar itu.
Makin lama, makin kupercepat kocokanku. “Plok... plok... plok... ploookkk”, bunyi kelamin kami beradu. Vany menahan rintihannya supaya anak kami tidak terbangun, aku pun Cuma terengah engah sambil memandangi wajahku istriku yang dahinya berkeringat, sesekali kami berciuman panas sambil beradu lidah.
5 menit non-stop kontol 15 cm-ku menggempur memek istriku dengan kecepatan tinggi, sampai kemudian aku merasa mau klimaks. “Wah bahaya nih”, ujarku dalam hati. Kukurangi kecepatan sodokanku sampai akhirnya berhenti.
“Bentar narik napas dulu”, ujarku. “Iya aku juga pegel yah”, istriku menimpali. Padahal akal-akalanku aja ngeles biar tidak ejakulasi, maklum aku main alami, tanpa obat. Paling pantang aku pakai begituan. Main dengan istri berbeda dengan main dengan jablay, harus pakai perasaan.
Kemudian lanjut lagi, kali ini aku membelakangi Vany, badan kami berdua tidur dalam posisi miring. Kuremas toketnya dari belakang sambil kuciumi lehernya.
“Aaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrggggggggggggggghhhhhhhhhhh”, Vany mulai naik lagi.
Kuangkat sebelah kaki istriku, lalu kumasukkan kontolku ke dalam memeknya . “Sleeepppppp”.
Kuatur ritme kocokan dari pelan perlahan cepat. “Aaaaahhhhh, niiiiiiiiiiiiiiikkkkkkkmmmmaaaaaaaaaattttttt sayaaaaangggggggg”, ujar Vany. “Memek bunda milik ayah, ooooooohhhhhhh nikmatnya memek kamu sayang, pelampiasan nafsu kontol ayah”, ujarku sambil membisiki Vany.
Tak lama kemudian tangan Vany mencengkeram pahaku, ah ini tandanya dia mau klimaks. “Yah jangan dulu yah, yah... ya.....aaaaaahhhhhhh”, Vany mengisyaratkan belum ingin klimaks, tapi kupercepat kocokanku dan “Ayah, yaaahhhh.... ah.... a....Armaaaaaaaaaaaaannnnnndd”, Vany pun klimaks, kosodok kontolku dalam dalam sambil kucumbu lehernya.
“Ih dibilang jangan dulu, jadi aja aku keluar duluan, ayah maaahhhh”, sahut Vany manja. Aku Cuma nyengir. “Wuuuuu gak rame ah keluar duluan”, ujarku meledek Vany.
“Ayah belom keluar nih”.
“Bodo ah”, kata istriku yang kubalas kucubit pantatnya.
“Bentar dong yah narik nafas dulu”, ujar istriku manja.
“Iya yaudah, ayah ambil minum sebentar keluar”, aku pun beranjak. Kupakai celana dalam ku saja lalu keluar kamar.
Diluar kamar, aku tiba-tiba iseng ingin melihat ke kamar atas. Ingin tahu apa Lisma sudah tidur. Kunaiki anak tangga, dari koridor aku bisa lihat kamar tamu tempat Lisma tidur ternyata pintunya terbuka sedikit dan lampu di dalam ruangan masih menyala.
“Wah belom tidur, apa jangan-jangan dia nguping tadi ya ?”, tanyaku dalam hati. Ah tapi tadi kan kamarku ditutup, desahanku dan Vany juga tidak keras-keras banget. “Bodo ah”, ujarku. Tiba-tiba kulihat bayangan Lisma mau keluar kamar. Buru-buru aku turun, ambil minum sedikit di dispenser ruang tengah. Saat sedang mengisi air, aku mendengar langkah sendal menuju tangga mau turun.
“Lisma mau kesini”, ujarku dalam hati.
Rumahku tidak besar, berada di sebuah komplek perumahan bersubsidi pemerintah dengan luas bangunan 36 m2. Namun aku cukup beruntung punya rezeki untuk merenovasinya menjadi 2 lantai dengan 2 kamar di atas. Aku cuma punya 1 dispenser minum di lantai bawah dekat dapur, jadi kalau kehausan diatas ya mau tidak mau turun kebawah untuk mengambil air.
Aku segera masuk kamar, kulihat istriku sedang tiduran miring membelakangi pintu sambil mengelus-elus bayi kami . Sengaja pintu tidak kututup rapat, kusisakan celah sedikit. Ada sensasi tersendiri senadainya Lisma mengintipku sedang ngentot dengan istriku, tapi istriku tidak menyadarinya.
Kugerayangi toket istriku dari belakang sambil kugesek-gesek kontolku ke pantatnya. “Lama banget minum doang, keburu males nih”, ujar istriku dengan nada sewot. “Jangan gitu dong sayang, ayo yuk”, aku memelas. “Eeemmhhhhhhhhhh... tapi jangan lama-lama ya, udah capek, udah malem juga nih”. Istriku memang begitu, kalau sudah klimaks duluan jadi turun libidonya.
Kumasukkan jariku ke lubang memeknya sambil kucumbu leher dan telinga belakang istriku, nafsunya pun naik lagi. “Ayo nungging”, ujarku. Istriku menurut, dia menungging sambil kuarahkan posisinya supaya membelakangi pintu. Kuremas pantatnya sambil masih kumainkan memeknya dengan jariku.
“Aaaaaaaaahhhhhhhhhhhhh ayah ayooooooo”, pinta istriku.
Aku menengok ke belakang ke arah pintu, benar saja, aku menangkap sosok Lisma mengintip kami !
Lisma langsung sembunyi menghilang, tapi aku tahu dia masih di belakang pintu. Langsung kusodok memek istriku. “Uuuuuhhhhhh... aaaahhhhhhhhh”, aku mendesah. Sengaja agak kukeraskan desahanku biar terdengar Lisma. “Ayah jangan keras-keras, ntar anak kita bangun”, hardik istriku.
Tapi aku tak peduli, kugenjot memek istriku dengan langsung kecepatan tinggi. “Aaaarrrgggghhhhh.... uurrrrrgggggghhhhhhhh... me.. memek mantaaaaappppppppppp”, ujarku.
“Ay...aaaayy...ayaaaaaahhhh oh nikmatnya kontol gede kamu sayaaaaaaanggggg”, Vany mulai meracau.
Sesekali kulihat ke arah pintu, Lisma kupergoki mengintip lalu dia ngumpet lagi. “Ahay”, ujarku dalam hati. Suara desahan dan raungan kami memang agak tertahan, namun cukup jelas untuk terdengar sampai ke pintu. Untungnya anak kami tidak terbangun, tidur pulas dia setelah seharian bermain.
Istriku lalu minta posisi woman on top, kuturuti dia sambil kuarahkan biar tetap membelakangi pintu. Kalau istriku tahu pintunya tidak tertutup rapat pasti minta ditutup. Aku ingin show off sampai klimaks ke Lisma. Sengaja kukocok kontolku sebentar sebelum istriku memasukkan ke lubangnya, biar Lisma lihat besarnya barangku. Lalu... bleeesssssssssss... kontolku masuk.
“Ah nikmat oohhh kontooooooooooollllllllll”, racau Vany. Istriku itu bergerak naik turun, kuremas toket indahnya yang naik turun itu. Gerakan Vany begitu liar, mungkin sengaja biar aku cepat keluar.
Pelan pelan aku bangkit dari posisi tiduranku menjadi posisi duduk sementara Vany masih menggenjot diatas, kupeluk tubuhnya sambil kuhisapi puting susunya. Vany membalas memelukku erat sambil menciumi telingaku. Aku mencoba mencari celah untuk melihat ke arah pintu, Lisma tidak terlihat di celah pintu, tapi aku melihat bayangan kaki di sela antara bawah pintu dengan lantai.
Aku tidak tahan lagi, Vany begitu liar bergoyang dan mencumbuiku. “Bentar lagi nih sayang”, ujarku berbisik di telinganya.
“Iyaaa... yaudah keluarin di dalem, uu...uudah KB kok”, sahut istriku. Aku pun bersemangat, kubantu memompa kontolku dengan menaik turunkan tubuh mungil padat berisinya.
“Aaaaaaahhhh...... uuuuhhhhhhh....... aaaaaaahhhhhhhhhhhh”, suara desahan kami bergantian. Ketika aku mau klimaks, kucumbu bibir istriku dan ... AAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRGGGGGHHHHHHHHHHHHHHH.... aku pun berejakulasi dalam posisi duduk.
Sekitar 6-7 kali semprotan spermaku di dalam memek Vany. Maklum, 2 minggu gak keluar.
Kulihat Lisma jelas-jelas ada di celah pintu, matanya terbelalak sambil sebelah tangganya menutup mulutnya yang agak menganga melihatku dan istriku. Ia sempat menatapku, kemudian langsung pergi.
Malam itu, aku pun tidur dengan nyenyak.
Terakhir diubah: