“Bangun-bangun, udah sampe. Ayo, dikit lagi udah mo sunrise!” Edo teriak….
“Ihhh… jahat, teriak di telingaku!” Refleks aku langsung siaga.
Cowok itu masih sibuk membangunkan rombongan kami yang masih tidur enak di mobil. Tadi subuh kami berangkat dari Manado, dan tiba di tempat ini masih gelap. Tujuannya adalah untuk melihat sunrise dari atas gunung, yang katanya bagus sekali.
‘Duh, tega amat cowok itu. Pake goyang-goyang tubuh orang, memaksa mereka bangun. Edo malah menggunakan air aqua di cimpratkan di wajah. Kasian sekali, tauh orang lagi enak-enak tidur, tapi yah… udah jalan subuh-subuh, jauh-jauh untuk lihat sunrise, kan rugi kalo ketiduran.’ Aku membatin.
Titien akhirnya bangun juga, dan langsung membangunkan Naya lalu Brian. Dickhead harus ditabok dulu baru bangun, sedangkan Romeo malah masih mimpi… eh gak tauh sih, lagi mimpi atau pura-pura. Masak pas disuruh bangun langsung peluk dan cium pacarnya… alasan banget sih. Seperti biasa Titien hanya bengong aja, walau sempat malu. Ia langsung ambil jaket dan menyuruh kita semua pake jaket.
“
Oh… I’m good. Gak perlu pake jaket!” Dickhead memang suka pamer. Tetapi begitu buka pintu ia langsung teriak kedinginan.
“Auhhh…. Dingin, burrrrr!” Eh ternyata gak tahan. Astaga, mungkin ia lupa bawa jaket, padahal udah diwanti-wanti semalam.
“Dickhead, kamu lupa jaket ato modus mau peluk-peluk Naya?” Tanyaku, dan dijawabnya dengan memeluk cewek itu. Naya berontak dan mencubitnya. Kami tertawa melihat kelakuannya.
Dari tempat parkir, kami naik tangga mendaki puncak Rurukan. Suasana masih sunyi, baru dua atau tiga orang yang ada dilokasi. Titien mengajak kami jalan cepat, dan tidak sampe 10 menit sudah tiba di tempat yang dituju. Pas banget waktunya.
“Wah… indah banget!” Pantesan Titien menyuruh kami pagi-pagi kemari. Didepan terhampar pemandangan bukit dan lembah yang sangat indah… kebun-kebun sayuran yang ditata rapi membaris mulai kelihatan. Dan di sana diufuk timur, kelihatan matahari mulai mengintip malu-malu diantara gunung-gunung muncul dengan megahnya. Sinar pertama akhirnya menyentuh tanah, dengan offset tiga gunung megah berjajar ketimur membentuk satu baris.
Baru sekarang kami melihat keindahan alam yang luar biasa seperti ini. Shaun langsung kelabakan karena lupa bawa kamera, tapi hanya diejek Titien yang ternyata sudah menitip kamera Shaun ke Edo. Kami mengambil gambar di puncak yang indah itu, dengan latar belakang sunrise, gunung dan lembah. Kesegaran udara pagi begitu terasa membuat kami melupakan dinginnya tempratur di tempat itu.
Untuk 30 menit lamanya kami masih duduk terpaku tanpa bicara. Yang terdengar hanya bunyi kamera Shaun yang menjepret ke kiri dan kanan. Titien mulai bercerita tentang kehidupan masyarakat petani di tempat ini yang disebut ‘Negeri di awan.’ Mereka bercocok tanam sayur-sayuran dan bumbu yang dijual ke Manado setelah dipanen.
Kemudian suatu bau yang harum mulai menggoda indera pernafasan kami, keharuman makanan khas Manado, yaitu Tinutuan atau Bubur Manado. Wah… dingin-dingin begini langsung lapar… Eh, ternyata Titien sudah pesan duluan. Kepulan uap dari bubur itu kelihatan ketika mereka menyajikan makanan tersebut dihadapan kami.
“Nyam-nyam” makanan sederhana bisa seenak ini, wah! Bahan-bahannya hanyalah bubur, sayuran hijau ditambah singkong rebus dan jagung muda. Dimakan bersama-sama dengan saos ikan roa… Tambah lagi suatu jenis makanan yang harus kupelajari.
Selesai makan kami segera jalan ke mobil. Kali ini udara cepat sekali menjadi agak mendingan. Brian malah sudah membuka kancing-kancing jaketnya. Mobil mengantar kami sekitar 3 km mendaki, melewati bedeng-bedeng sayuran yang rapi berbaris. Pukul 7.30 kami tiba di parkiran tempat wisata gunung Mahawu.
Dari parkiran mobil medan mulai berat. Kami mendaki tangga beton yang cukup curam. Untunglah disediakan tempat pegangan agar pendakian kami lebih enteng. Dengan pelan-pelan kami jalan keatas, menaiki ratusan anak tangga dalam pendakian sekitar 700 meter itu. Aku mengingat kembali Bukit Kasih… untunglah aku tidak lagi mengenakan sandal tinggi.
Sepanjang pendakian aku ngobrol banyak dengan Titien. Gadis itu sangat friendly dan dengan senang hati cerita soal dirinya dan keinginan-keinginannya. Aku merasa senang dianggap menjadi temannya, gadis itu sungguh baik. Ia kini tidak malu-malu bercanda dengan ku sambil memelukku. Eh satu lagi, cubitannya kuat amat. Jadi hati-hati kalo meledeknya soal Brian.
Kami tertawa melihat Naya yang sudah kecapean ditarik terus oleh Dickhead. Gadis nakal itu kok pagi-pagi sudah kecapean… pasti sempat mesum tadi malam.
“Nay, minta di dukung aja sekalian… ingat kayak lalu di bukit doa.” Titien meledek mereka.
“Ih… ogah ah! Nanti Shaun kencing lagi!” Jawab gadis itu.
Titien meceritakan kisah yang lucu itu, sempat membuat aku terpingkal-pingkal. Ih… memang Dickhead banget!
Setelah mendaki kepayahan, terbayar sudah kepenatan kami dengan pemandangan yang sangat indah. Kawah gunung Mahawu yang masih aktif kelihatan mengepul di sini dan sana. Dan dari puncak gunung kami dapat menandang keliling melihat lingkaran beberapa gunung berapi yang masih aktif dalam 10 tahun terakhir.
Hilang semua kecapean, kembali kami disuguhkan oleh pemandangan alam yang indah. Dari kejauhan, gunung lokon, salah satu gunung berapi yang aktif, terlihat megah dan gagah. Indah sekali, mudah-mudahan kita punya waktu untuk mendaki, yang menurut Titien berbahaya, karena sering meletus.
Kembali Titien bercerita mengenai super volcano yang besar pernah meletus di Minahasa di abad 15. Letusan yang maha dashat itu mengubah peta pulau Sulawesi dan beberapa pulau satelit. Gunung itu, kini tidak ada lagi, dan tersisa danau yang besar dan memanjang seperti gitar.
Tidak heran, gunung-gunung ini semuanya berapi, yang merupakan anak gunung Tondano, yang berjejer mengelilingi danau indah tersebut. Tak heran banyak terdapat sumber air panas dan uap panas di tempat ini.
Sayang bau belerang seperti di Bukit kasih terus memenuhi udara, terasa sangat menyengat membuat kami tidak lama di puncak ingin segera kembali ke bawah. Setelah puas mengabadikan beberapa gambar kamipun kembali ke tempat parkir.
Aku baru perhatikan, ternyata Edo tidak ikut mendaki. Menurut Titien itu karena ia sibuk disuruh menyiapkan sepeda yang akan kami pakai bertualang hari itu.
-----
“Hey, Naya… Titien… hati-hati!” Ihhh dua gadis begal itu cepat sekali bawa sepedanya. Mana turun gunung lagi… bisa-bisa mereka masuk parit.
Eh ternyata Titien dan Naya sengaja duluan pergi karena mereka ingin berpose di kebun sayur. Eh… bagus sekali spot yang mereka pilih.
“Nay… Tien… aku juga mau dong!” Kami bertiga berpose berpelukan dan difoto Shaun. Setelah itu kami juga sempat berpose dengan pasangan kami… Titien dengan Brian, Aku dengan Edo dan Naya dengan Shaun, eh pasangan yang terakhir ini yang bikin heboh. Mereka bercanda terus sampe sempat jatuh terguling di tanaman. Untung banget si Dickhead sempat nyenggol-nyenggol perkakas Naya. Pasti lucu difoto.
“Hehehe…” lucu juga melihat Dickhead di cubit cewek imut itu sampe kesakitan. Gak apalah, yang penting mereka sudah akur. Beberapa hari yang lalu sempat marahan waktu ada Della dan Landa. Kadang aku tertawa sendiri melihat tingkah mereka yang banyak berantem seperti Tom dan Jerry.
Dari gunung Mahawu, kami menuju ke bukit Doa Tomohon, kota yang identik dengan bunga-bunga indah. Medan yang kami tempuh agak enteng karena kebanyakan menurun atau rata. Perjalanan di tempuh dalam waktu 30 menit saja, tapi penuh dengan canda.
Berdasarkan pengalaman tadi, Naya dan Titien dipaksa untuk berada di barisan belakang. Jadi aku jadi pemimpin rombongan, diikuti Brian, Shaun, kemudian Naya baru Titien. Naya sangat urakan bawa sepeda, sehingga harus dikontrol. Edo berada dibelakang menjadi tameng kami, dengan mobil yang berisi barang-barang kami.
Di tengah perjalanan menurun, aku rem mendadak karena ada ayam memotong jalan tanpa permisi. Sempat kaget juga melihat unggas berkeliaran bebas. Untung Brian dan Shaun sempat mengerem juga. Tetapi, tepat setelah Shaun berhenti dan menginjak tanah, tiba-tiba terjadilah tabrakan kecil itu….
“Ahhhhh…” Shaun berteriak sakit, ketika sepedanya ditabrak Naya dari belakang.
“Eh, sorry.. sorry, kamu sih berhenti mendadak, gak bilang-bilang!” Naya gak mau disalahkan.
“Eh… matamu taruh di mana, lihat semua sudah berhenti kamu maju terus sampe nabrak-nabrak!” Shaun balas jengkel sambil meringis kesakitan. Mungkin sempat luka karena ditabrak.
“Shaun… aku kan sudah minta maaf, duh kayak cewek aja menangis!” Naya kembali mengelit, tapi kali ini Shaun hanya memegang pangkal selangkangannya yang kena disodok sadelnya.
“Eh… Shaun, mana yang sakit… mari sini aku mo lihat! Shaun nanti ku urut sampe sembuh” Naya kini tampak bersalah tapi kayaknya tidak lihat tangan Shaun di organ vitalnya.
“Bener, janji mau urut yah!” Shaun menuntut, Brian dan aku mulai tertawa karena melihat Shaun memegang selangkangannya.
“Iya… emangnya apa yang sakit?”
“Ini, biji ku!” Shaun menunjuk ke arah biji zakarnya yang tadi kena sodok.
“Ih… mesum. Mari sini ku remas sampe hancur!” Naya terkejut dan tertawa meledek.
“Nay, cek dulu isinya, jangan-jangan patah lagi!” Ejek ku.
“Wah.. kalo patah lebih bagus… aman cewek2 Manado” Jawab cewek centil itu.
“Ih… sayang, kalo rusak kamu kan yang rugi!” Shaun meledek balik.
“Ih….Shaun mesum!” Naya hanya tertawa-tawa menyadari kebodohannya. Aku hanya senyum-senyum mendengar kelakuan mereka, persis kayak Tom dan Jerry. “Eh … urutnya gak jadi yah!”
“Okay dengan satu syarat!”
“Apaan?”
“Kamu harus temani terus aku, gak boleh lari-lari!” Naya hanya tertawa menyanggupi.
“Eh… adikku sudah gak cem lagi! Apa karena tadi malam yah?” Titien meledek Naya. OMG, apa lagi yang terjadi tadi malam.
“Eh.. Kakak Titien diam aja, kalo tidak aku cerita soal kentut tadi malam!” Balas Naya.
Titien langsung diam, kayaknya takut sama gertakan Naya. Aku jadi penasaran apa maksud Naya, yah? Kayaknya ada yang terjadi lagi. Dua orang ini selalu buat cerita, pasti ada aja yang lucu.
“Shaun, emangnya kamu ngapain tadi malam?” Shaun terkejut waktu ku tanya, ia gak berani ngomong. Padahal aku hanya tebak aja, jangan-jangan ia mesum dengan Naya. Kan pagi ini kelihatan banget Naya sudah kembali lincah.
“Eh… Shaun tadi malam hanya main ular tangga kok sama Landa dan Della” Kata Edo. Ternyata ia sudah turun dari mobil mengecek keadaan kami.
“Astaga, main ular tangga? Hahahaha….” Titien dan Naya sampe tertawa terbahak-bahak, dan Shaun juga ikutan. Ih… aku sampe penasaran.
“Eh tunggu mana Brian?”
Cowok itu sementara melihat-lihat di pinggir jalan, tepat di arah ayam tadi pergi.
“Eh, Romeo… kamu lihat apa?”
Ia diam aja… dan akhirnya aku melihatnya.
Ia sementara mengamat-amati beberapa ekor ayam. lengkap dengan anak-anaknya sementara mencari makan. Aku juga ikut terpesona…
“Eh, kalian kayak gak pernah lihat ayam aja?” Tanya Naya…
Aku dan Brian diam aja. Jujur, selama ini kami hanya melihat ayam di supermarket ato restoran, tidak pernah seperti ini.
-----
Pemandangan kapel (gereja) kecil di taman bukit doa sungguh sangat indah. Sekali lagi aku memanjakan mataku dengan taman bunga dan rumput yang ditata rapih. Tak henti-hentinya kami mengagumi design landscape tempat itu. Memang cocok namanya bukit doa, karena tempat itu memiliki banyak spot tempat meditasi. Kembali pemandangan tempat ini dilahap habis oleh kamera Shaun.
Kami mengagumi artistic kapel sederhana yang ada di bukit doa itu. Pemandangan yang sangat indah teraji di dalam, dengan latar layar kaca bening. Ini pasti jadi tempat bagus buat acara perkawinan.
Tak butuh waktu lama, kami sudah duduk bersandar di atas hamparan rumput pendek yang menghijau. Kembali kami duduk berpasang-pasangan dan saling bersandar. Seperti biasa, sementara Edo dan Aku, serta Titien dan Brian bercakap-cakap pelan, Naya dan Dickhead sangat heboh saling meledek namun kadang pamer kemesraan. Kayaknya Brian dan Titien lagi berbicara serius… dua orang ini selalu mencari kesempatan berbicara berdua…
-----
POV Brian
“Aku sudah bilang, aku ingin kamu terbuka kepada ku, gak ada yg ditutup-tutup” Aku meminta Titien menceritakan kisah cintanya sebelum jadi pacarku.
“Eh… tadi malam kan aku sudah terbuka… kurang apa lagi!” Kata Titien sambil tertawa. Ih… cewek ini udah berani mesum yah! Eh… ia yang ngomong, ia sendiri yang jadi merah karena malu. Lucu banget…
“Ihhhhh….!” Kembali jarinya mencubit perutku… dan ku balas dengan menaruh tanganku di perutnya.
“Eh…. Sayang… geli dong!” Titien meronta ketika tanganku menyisip di balik kaosnya, dan meraba-raba perutnya.
“Siapa suruh kamu pancing aku ingat yang tadi malam!” Aku meledek.
“Ih…. tolong, ada bule mesum! Tolong aku mau diperkosa!... tolong, batangnya besar, serem…..!” Titien pura-pura teriak sambil tertawa-tawa. Dengan segera teriakannya langsung diam dibungkam ciumanku yang melumat bibirnya. Aku gak tahan lagi… siapa suruh terlalu menggoda. Titien menyambut ciumanku dengan mesra, tapi gak lama.
“Sayang, aku serius. Aku mau tahu semua tentang kamu!”
“Kamu duluan ngomong, yah?” Pinter juga ia menembak balik.
Aku menarik nafas, dan Titien menatapku serius. Aku merasa berat untuk cerita, tapi mungkin sekarang sudah waktunya.
“Aku dulu pemuda brengsek, dan baru mengenal cinta ketika bertemu seorang gadis Indonesia bernama Deyana. Kami bertemu secara tidak sengaja, dan aku membantunya ketika ia hendak diperkosa. Setelah itu aku terus mengunjunginya dan kami pacaran. Aku sangat mencintai Deyana, ia juga suka musik seperti aku. Ia mendorong aku supaya terus kuliah dan menjadi cowok yang baik. Sayang, satu setengah tahun lalu ia meninggal karena sakit. Ia sebelumnya pulang ke Indonesia tidak bisa melanjutkan studi karena sakit, dan tidak pernah lagi ketemu, kecuali lewat telpon dan surat. Sejak itu aku masih berduka dan belum bisa jatuh cinta lagi, sampai ketemu kamu…!”
Dengan kata-kata itu aku menceritakan kisah cinta ku yang terakhir sebelum Titien… tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Kata-kata tadi aku ungkapkan dengan penuh perasaan, membuat suatu aura sedih bagi kami berdua. Air mata sempat menetes di pipi ku itu. Titien memelukku erat, merasakan betapa hampanya ia ditinggal mati.
“Sayang, jangan sedih lagi, yah! Kan kamu sudah punya aku…” Titien menatapku, sejumput airmata juga mengalir dari matanya turut merasakan penderitaanku.
“Aku juga pacaran dengan Nando, kakak dari Naya, kami pacaran selama 3 tahun sejak aku SMA. Nando itu cinta pertama ku dan aku sangat mencintainya dan bahkan mau memberikan apa saja untuknya. Namun dua tahun lalu ia meninggal karena sakit kanker prostat…. Sejak itu aku gak pernah jatuh cinta lagi, eh sampai ketemu kamu di airport.” Titen mencoba menahan isak tangis, dan kini tangan ku membelai kepala dan rambutnya, dan kemudian menyembunyikan wajah cantik itu pada dadaku, mau memberikan perlindungan.
Titien menceritakan segalanya, seluruh kisahnya dengan cowok itu, dan ditutup dengan kesedihannya. Ia sampai menangis…
Aku jadi terharu… ternyata cerita kita sama. Kenapa sih cewek secantik ini harus menderita karena ditinggal mati…
Kami berdua bertatapan sambil berpelukan, merenungi nasib malang yang pernah kami lewati. Kini aku menggenggam tangan Titien kuat-kuat dan mengatakan cintaku dan keinginanku untuk bersatu dengannya. Gadis itu hanya mengangguk mengungkap penerimaannya akan cinta yang sebesar itu. Aku mengusap air matanya dan mengajaknya melupakan masa lalu, dan menatap masa depan.
Ia menatapku dalam… aku balas menatapnya.
“Eh… sayang, aku penasaran… sejak kapan kamu mencintaiku?” Tanya ku ingin memastikan sesuatu.
Titien menatapku malu-malu, tapi ia berbisik,
“Sayang, aku jatuh cinta padamu sejak pertama kamu jatuh cinta padaku.” Pinter juga gadis ini memberikan jawaban yang ambigius. Ia pasti mau aku yang duluan terbuka.
“Tapi aku jatuh cinta sejak pertama bertemu dan memandangmu di airport!” Kataku.
Titien malu-malu menjawab. Ia hanya mengangguk membenarkan. Ini namanya cinta pada pandangan pertama.
“Pantesan!”
“Pantesan apa?” Desak Titien…
“Pantesan waktu di mobil itu kamu cari pegang kontolku…!” Aku berkata sambil tertawa meledeknya, lalu langsung berdiri melarikan diri…
“Heh? Ihhh... awas kamu yah, kalo ku dapat lagi, akan kupatahkan kontolmu.” Titien mengejarku…
-----
POV Titien
Tak kusangka Brian juga mengalami nasib yang sama denganku, ditinggal mati oleh pacar tercinta. Ia tahu apa yang kurasakan dan mampu melewatinya. Cowok ini luar biasa, sukar dicari lho yang seperti ini… eh seperti aku, sih!
Perjalanan singkat dari Bukit Doa menuju ke Wihara Tomohon kami lalui dengan banyak merenung. Karena sepi melalui lorong-lorong kecil, Brian bersepeda disampingku, ia masih tersenyum. Kayaknya cowok ini adalah orang yang tepat menggantikan Nando.
Naya dan Shaun masih tertawa-tawa di belakang kami, entah apa yang mereka bicarakan.
Eh… ternyata setelah diselidik, Naya dan Edo juga belum pernah ke Wihara Tomohon. Mereka tuh rekreasinya selalu cari bioskop atau tempat gaul lainnya. Padahal menurutku, wihara ini adalah tempat wisata yang unik dan sangat indah. Ada banyak patung binatang-binatang legenda Budha dan patung biksu dengan berbagai ekspresi dan gaya yang melambangkan kegiatan mereka sehari-hari. Wihara ini adalah taman yang indah untuk bermeditasi. Ditambah lagi pemandangan gunung Lokon, puncak tertinggi Tomohon yang begitu megah dan indah membuat suasana yang mistis.
“Eh… kalian, kalo masuk tempat ini tidak boleh tertawa atau bercanda. Juga tidak boleh berpikir mesum, lho!” Aku mulai menceritakan legenda, orang-orang yang main-main ke tempat keramat dan pulang menjadi impoten. Eh… kayaknya mereka percaya lho, karena semua jadi diam dan tenang. Shaun dan Naya yang suka bercanda jadi serius dan takut-takut bicara.
Untunglah aku sempat bilang begitu, kalau tidak pasti ekspresi lucu dari beberapa patung biksu pasti jadi bahan candaan. Kan malu sama umat Budha. Kami mengambil foto di depan pagoda 7 tingkat, dan patung naga yang besar. Ketiga tamu kami terheran-heran melihat karya seni yang begitu halus dan tampak seakan nyata.
Beberapa keterangan mengenai tata cara kebaktian dan mitos dibalik patung aku berikan secara gamblang. Tidak detail sih, hanya yang menarik bagi mereka. Tatapan Naya dan Shaun yang serius mendengarku terasa lucu… kayaknya mereka benar-benar menjaga larangan tadi, padahal kan itu hanya mitos.
Tawa dan canda mereka nanti muncul lagi ketika kami berada di tempat parkir, di mana sepeda-sepeda kami berada. Itu pun setelah aku mencubit Naya…
“Hush… jangan terlalu serius gitu dong. Kangen juga ketawa Naya!” Ujarku yang langsung dibalas dengan candaan. Suasana kembali rame seperti semula.
“Eh… tunggu! Tadi Kak Titien bilang tidak boleh tertawa itu bohong kan?” Naya memandang ku. Ia bisa melihat ekspresi wajahku yang menahan tawa.
“Ih… gak benar banget! Kok bisa yah kita ditipu mentah-mentah!” Naya tertawa sambil mencubit perutku. “Kak Titien, cukup Brian aja yang ditipu tadi malam, jangan kita lagi!”
“Huh? Aku ditipu?” Brian tersentak, ia tampak bertanya-tanya dan memandang seperti orang kebingungan.
Tapi Naya sudah memeluk ku yang tertawa-tawa. Aku berbisik pelan di telinganya, “Hush… kamu ini jangan keceplos dong, jaga tu mulut!”
“Hehehe… iya kak, aku diam … seperti tadi malam! Hehehe” Naya berbisik kembali. Aku mencubit perutnya lagi dan kami berdua tertawa-tawa membuat Brian penasaran.
-----
POV Shaun
Wah.. pagi ini benar-benar perfect banget, sudah lihat pemandangan yang indah dari tempat-tempat yang menakjubkan. Rasanya aku mau tinggal di sini saja. Apalagi ada Naya, eh… sekedar pemberitahuan, gadis ini kayaknya udah kembali seperti semula. Ia sekarang sudah akrab kembali dengan ku… rasanya senang sekali lho.
Menurut Titien kami akan mengunjungi pasar terkejam di dunia. Aku masih bingung apa maksudnya, tapi pasti menarik. Sejauh ini tempat-tempat yang dipilihnya sangat berkesan. Pantesan si Romeo desak kami supaya ke Manado.
Gak sampe 10 menit kami sudah tiba di pasar, dan menitipkan sepeda di pinggir jalan. Kami melewati banyak jajanan baru tiba di bagian yang menjual daging segar. Pemandangan didepan kami membuat aku terkesiap. Astaga! Aku tidak pernah melihat yang seperti ini. Brenda sendiri sampe memalingkan wajah…
Daging yang dijajakan di tempat sangat ektrim, bukan hanya daging babi ataupun ternak lainnya. Di sini ada kelelawar, ular piton, tikus ekor putih, juga monyet khas di tempat ini. Selain itu ada juga hewan peliharaan seperti anjing dan kucing. Ukurannya bervariasi… kebanyakan masih utuh dan sudah di blower tanpa bulu lagi. Ada banyak lagi binatang yang lain, tapi kami gak lama, karena Brenda sudah rasa mual. Baru kali ini saya melihat pasar yang jual daging kayak ini… Gak heran disebut pasar terkejam di dunia.
Aku gak bisa bayangkan, kok Anjing dimakan. Itukan sahabat manusia. Pasti teman-temanku pencinta binatang akan protes keras.
“Dengar baik-baik Dickhead, kamu sudah lihat sendiri kan binatang-binatang ini. Itu sebabnya kamu harus hati-hati, jangan macam-macam sama cewek Manado. Tarsius aja disate!” Naya menebar ancaman, tapi kami semua tertawa mendengarnya
“Eh… apa itu Tarsius?” Aku bertanya bingung.
“Itu, monyet kecil segini binatang langka, hanya ada di Manado”
“Astaga, maksudmu Tarsius Tarsier, monyet terkecil di dunia?” Aku sampe teriak!
Naya mengiyakan, dan menambahkan bagaimana spesies yang hanya ada di pulau Sulawesi itu termasuk salah satu daya tarik wisatawan.
“
Oh my goodness! Tarsius is here and I don’t know about it yet?” Aku hanya mengeleng-geleng kepala. Barusan bulan lalu di fakultas ku diadakan simposium mengenai jenis-jenis monyet, dan salah satu pembahasan utama mengenai Tarsius. Banyak teman dan dosen tertarik soal binatang itu, eh termasuk aku sih. Aku sempat bertekad untuk melihat Tarsius pada habitatnya menjadi salah satu bucket list ku.
Tidak tahan kegirangan, aku segera membuka Google Chrome di hape dan menulis email singkat ke dosen pembimbingku. Pasti ia akan lompat kegirangan kalo aku bisa membuat video mengenai binatang ini di habitat alaminya. Pasti keren… apa itu bisa jadi topic penelitianku yah? Sekalian supaya lama-lama dengan Naya… hehehe.
This is me… this is my passion!
Dan aku tidak sadar sudah membuat kesalahan besar yang nantinya meminta korban jiwa.
-----
POV Brenda
Wah apa yang terjadi, Shaun agaknya lagi bersemangat, apalagi waktu bicara soal binatang Tarsius. Kayaknya Naya juga tahu banyak mengenai binatang ini, dan dapat menujukkan tempat-tempat persembunyiannya. Wah, Shaun langsung ketemu banding nya, siapa sangka gadis cantik mungil dan imut itu ternyata pencinta binatang juga… eh binatangnya sih mungil dan imut juga, hehehe.
Kembali kami melanjutkan perjalanan dengan sepeda melewati kota Tomohon. Pemandangan bunga yang mekar di kiri dan kanan serta aromanya membuat kami jadi lebih semangat mendayuh sepeda. Tujuan berikutnya adalah sebuah danau kecil yang suka berubah warna tergantung aktifitas volcanic di bawahnya. Wah…. Harusnya ku bawa beberapa temanku dari jurusan geologi.
Akhirnya kami tiba di Danau Linow yang indah ini. Kali ini warna airnya hijau kekuningan, tapi sangat menarik waktu difoto. Apalagi lokasi yang sejuk dipenuhi pepohonan yang luas.
Kami makan siang di danau ini, duduk di teras restoran sambil menikmati pemandangan. Dari tadi mata kami dimanjakan dengan keindahan alami kota Tomohon yang penuh bunga di jalanan. Aku jadi ingin datang pas Festifal bunga Tomohon yang ternyata sudah mendunia… Wah, harus nabung banyak lagi. Eh, yang pasti kan aku sudah kenal Naya dan Titien. Eh, ada Edo juga. Ia pasti mau aja antar aku jalan-jalan gratis, nanti di bayar di tempat tidur, hehehe…. Ih… siang-siang sudah mesum.
Seusai makan, aku menanyakan di mana WC ke Titien, eh malah disuruh tunggu sebentar. Ia mengambil tissue kecil dari sakunya, dan memberikan kepada ku.
“Eh… gak usah kok, tunjuk aja di mana WC-nya!” Aku menampik tawarannya.
Titien sepertinya ingin mengucapkan sesuatu, tapi gak bisa karena ada makanan di mulutnya. Aku cuek aja sambil mengikuti arah jarinya. Ternyata itu WC-nya, dan saya kini mampu membedakan yang mana untuk pria dan wanita. Sempat tersungging senyum tipis mengingat kejadian bertemu dengan bencong waktu lalu.
‘Yah… cape deh, yang ada hanya WC jongkok.’ Terpaksa aku membuka celana dan CD supaya mudah jongkok. Kaosku juga ku lipat keatas. Setelah buang air kecil, aku menyadari sesuatu. Gak ada tissue WC, yang ada hanya genangan air di bak yang kelihatannya sudah penuh dengan jentik-jentik. Apalagi baknya hanya dari beton yang terkesan kotor. Aku gak tega milikku yang berharga dicemari air seperti itu…
Astaga masak pake celana gak cebok dulu. Eh.. pantesan Titien menawarkan tissue tadi. Kenapa ia gak bilang? Plak! (tepok jidat) Ia gak bisa karena mulutnya penuh makanan. Aku sih yang gak sabar tunggu ia mengunyah dulu.
“Titien, minta dong tissue nya!” Untung aku tidak kehilangan akal dan meneleponnya. Menurutnya sudah dititip tadi ke Edo. Pasti cowok itu sudah di muka pintu WC.
“Edo, mana dong tissue-nya?” Aku berteriak.
“Ada padaku!” Edo sudah menunggu. Ku coba menjangkau pintu untuk membuka Grendel. Susah juga terpaksa aku harus berdiri. Ah.. akhirnya berhasil juga. “Kreeek”
“Astaga!” Ternyata pintunya terayun membuka keluar bukan ke dalam. Dan tiupan angin membuat pintu itu terbuka lebar memamerkan seorang gadis yang lagi telanjang. Astaga… memek kebanggaan ku terekspose kepada beberapa cowok yang lagi nongkrong di luar. Aku sempat begong beberapa detik, pasti cowok-cowok itu sudah lihat semua.
“Eh… Aduh… ih… Ahhhhh!” Aku mencoba kebingungan mau buat apa, celana dan CD ku tergantung di pintu dan ikut terbuka keluar. Cowok-cowok yang di luar sudah tertawa-tawa memandangku kebingungan. Wah, untung besar mereka, dapat pameran memek gratis.
“Edo! Tutup dong!” Aku teriak kepada cowok itu, masakan ceweknya lagi dipamerin dianya hanya bengong. Setelah teriak lagi, akhirnya Edo menutup kembali pintu itu. Cowok-cowok sampe tepuk tangan karena girang… ih… malu sekali.
“Ehhh… tunggu, Edo…! Mana tissue nya?”
-----
POV Titien
“Eh… ada apa?” Aku bingung, Brenda datang tiba-tiba langsung memelukku erat. Aku balas memeluknya, muka cewek itu merah. Wah ternyata orang bule pake malu juga.
“Kenapa Brenda?” Aku bingung, ia memelukku erat.
“Aku malu sekali, tadi waktu Edo kasih tissue pintunya terbuka lebar.” Ia mulai cerita.
“Astaga! Terus ada orang lihat gak?”
“Itulah ada banyak cowok yang lihat… mereka sampe tepuk tangan kepada ku…”
“Hahahaha… yah rugi dong!” Aku sampe merinding. Pasti cewek ini malu sekali.
“Terus Edo gak tutup?”
“Yah itulah, cowok itu diam saja bengong… mau aja ceweknya di kasih pamer vagina gitu. Aku kan malu…”
“Astaga kamu pamer apa tadi?” Ternyata Brian mendengar percakapan tadi. Brenda tambah malu dan memelukku kuat.
“Edo! Ayo cepat, kita berangkat sekarang!” Kataku memberitahu semuanya. Aku juga berbisik kepada Brenda, “Sudah, gak apa-apa! Anggaplah mereka beruntung, kan gak ada yang kenal. Palingan mereka stress sendiri bisa lihat tapi gak bisa pegang, hehehe…”
“Hehehe… iya juga sih!” Brenda mulai tertawa.
“Wah… pasti kontol mereka tegang tiga hari gak turun-turun, bisa lihat memek gadis cantik!” Aku meledeknya lagi.
“Hehehe… rasain, deh! Hehehehe” Brenda juga tertawa-tawa meninggalkan restoran di pinggir danau tersebut.
“Eh… mana si Romeo?” Aku mencarinya. Barusan tadi ngomong dengan aku, udah kesamber ibu-ibu muda yang minta foto bareng.
Lucu juga mo lihat ekspresinya Brian diapit kerumuman ibu-ibu yang ingin berfoto bersamanya. Tadi satu ibu ajak, eh semua juga mau berpose. Pastilah mereka mau, mau cari di mana bule seganteng dia. Semuanya berlomba berada di samping cowok itu, yang dengan malu ditanya-tanya nama dan asal dari mana. Malah ada yang tanya kalo sudah kawin ato belum! Hihihi dasar…
“Eh… maaf ibu-ibu, suami saya sudah mau dibawa. Kami sudah terburu-buru. Maaf banget yah!” Kataku pake bahasa Indonesia sambil berkedip kepada Naya…
“Yah… sudah kawin ternyata, telat yah kita…” Sambut ibu-ibu dengan kecewanya. Hahaha… Cowok itu hanya senyum-senyum sendiri.
Ketika Brian mendekat kepada rombongan kami, ia menyeletuk menggunakan bahasa Indonesia yang fasih…
“Sekarang mau ke mana, istriku?”
Astaga! Aku malu sekali… ternyata cowok itu lancar bahasa Indonesia.
“Hahahaha…” aku hanya bisa tertawa, dan mencubit cowok itu. “Sayang, kamu tahukan orang Indonesia banyak jadi escort turis-turis bule. Nanti kalo mereka tanya-tanya susah lagi jelaskan… supaya kamu cepat lolos dari ibu-ibu, aku bilang aja kamu suamiku”
“Hahaha… gak apa-apa istriku. Nanti sebentar malam kamu tidur di kamar saya, yah!” Kata Brian.
“Ih, maunya cari kesempatan.” Aku meledeknya
“Eh, kamu sudah mengakui aku suamimu, jadi harus tanggung jawab!” Tuntut Brian.
“Sayang, aku kan bilang itu supaya ibu-ibu itu menghargaiku! Kok pake macam-macam. Kan malu sama Naya dan Edo, kirain kita berdua sudah gituan.” Aku tertawa, cowok ini pasti ada maunya, kayaknya harus ditegasin dikit. “Kamu harus hargai aku dong!”
“Eh… dengar baik-baik, nona Titien! Kalo aku tidak hargai kamu, mana mungkin tadi malam aku biarkan kau keluar dari kamar masih virgin! Udah pake baju transparan dan berbagi tempat tidur denganku…!” Brian sampai berteriak
Eh oops! Astaga, semua teman-temanku melihat ke arah kami. Ih malu sekali… cowok ini gak pake lihat-lihat orang sudah ngomong gitu.
Tanganku segera mengejar badannya dengan pukulan gemas dan cubitan. Rasain… pake jual-jual orang di depan umum.
“
Shall we proceed, Virgin?” Kata Shaun sambil tertawa.
“Wah… ternyata masih segel, yah! Ayo dong Virgin!” Edo juga meledekku. Sekilas waktu ku lirik, Brenda dan Naya masih tertawa-tawa.
Sejak saat itu cowok-cowok itu terus memanggilku Virgin. Ih….
-----
Perjalanan pulang kami memutar melewati desa Woloan, dan mengikuti jalan kecil berliku menuju Tanahwangko. Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang, untunglah cuaca gak panas, karena tadi sempat hujan di Woloan.
Desa yang identik dengan penjualan rumah panggung itu kami lewati sambil memandang kiri-kanan rumah baru yang siap dijual. Rumah tinggi dengan sistem knock-down itu dengan mudah dapat diangkut dan dibangun lagi di tempat lain. Tak heran beberapa pembeli dari manca negara mencari rumah tersebut. Ketiga tamu kami sampai terheran-heran melihat desain rumah kayu yang unik dengan warna-warna yang menarik.
Seperti biasa, Shaun jadi juru foto...ia tidak hanya mengabadikan perjalanan kami, tapi semua yang dilihat menarik.
Perjalanan ke Tanahwangko melewati jalan kecil yang berliku-liku, diapit oleh jurang dan bukit. Kami harus berhati-hati ketika tiba di bagian jalan yang berkelok-kelok. Kali ini Edo berada di depan, menjadi tameng supaya kendaraan dari depan berhati-hati. Seperti biasa, pengendara mobil dan motor kadang tidak memperhatikan pengendara sepeda. Untunglah kebanyakan medan menuruti bukit sehingga tidak terlalu melelahkan.
Eh.. ada mobil cepat dari depan… kami berhenti di pinggir jalan. Brenda tidak memperhatikan tempat ia berdiri dekat dengan lubang yang ada genangan air. Dan ketika mobil lewat di lubang tersebut, airnya terpencar ke tubuh Brenda hingga basah kuyup… Astaga…
Sekujur tubuhnya basah… kami hanya terdiam dan tidak berani tertawa takut ia tersinggung. Brenda sendiri hanya menatap kami bengong.
“Ahhh… ! Aduhh….” Brenda meringis. Pasti ia merasa gak enak…
Untung jalannya dekat dengan sungai, dan kami berhenti sejenak ketika Brenda pergi ke sungai membasuh diri.
“Eh, kalian kesana dong aku mau ganti baju”
Mujur juga ternyata ia bawa baju ganti. Kami menunggunya di jalan, tempat sepeda dan mobil di parkir. Brenda ganti cukup lama, tapi kami menunggunya dengan setia.
Naya mendekatiku sementara menunggu Brenda. Kami berdua duduk di batang pohon agak jauh dari rombongan.
“Kak… lanjut dong ceritanya sama Nando!”
“Eh tunggu… sekarang giliran kamu, kamu dulu yang cerita gimana sampe bisa mesum sama Edo!”
“Ihhh malu dong Kak, orangnya ada disini, lho!”
“Eh… harus gantian dong, kan aku juga sudah cerita. Masak malu sama kakak sendiri?” Aku coba memancing Naya. “Kapan emangnya pertama kali Edo mesumin Naya?”
“Sudah lama, Kak… Kak Titien baru jadian… pas pulang ada Kak Edo di rumah lagi nunggu Kak Nando. Terus Naya temani dia nonton, waktu itu Naya baru ganti baju rumahan, hanya pake tanktop. Edonya lihat-lihat ke toket… apalagi Naya malas pake bra… jadi dia beruntung lho….”
“Terus…” Aku mulai tegang…
“Jadi itu…Edo bilang kalo ternyata Naya sudah besar…. Udah bisa saingin Kak Titien toketnya.. Eh Naya penasaran… ia rayu Naya, katanya mau lihat dadaku kalo benar sudah besar.”
“Terus Naya kasih….?” Tanya ku penasaran.
“Itulah Kak… Naya waktu masih polos, baru lulus SMP. Yah… setelah dirayu-rayu Naya kasih dong!”
Wah beruntung sekali cowok mesum itu, dapat toket Naya sejak ia masih kecil. Naya kemudian digendong ke kamar, dan baju atasnya dibuka. Toketnya sudah dipuji-puji, kemudian digrepe-grepe dan dilumat cowok itu. Untung waktu itu Edo juga masih polos, dan baru pertama pegang toket. Sehingga Edo tidak mau lanjut dengan vagina. Naya juga cerita bagaimana sejak itu Edo mau menggengam toketnya tiap bertemu.
“Sejak kapan kamu gak ijinkan ia pegang lagi?” Tanyaku.
“Sejak Kak Titien nasihati aku supaya gak boleh kasih ke sembarang cowok, harus jaga perawan. Sejak itu aku langsung berhenti kok.” Kata Naya.
Kini aku merasa bahagia ia mendengarkanku… tapi aku juga menyadari betapa berartinya diriku bagi Naya dan keluarganya, bukan hanya bagi Nando.
Naya yang tinggal dengan orang tua yang sibuk dengan bisnis membutuhkan seorang kakak perempuan, yang bisa mengatakan apa yang boleh dan apa yang tidak. Sayang kakaknya itu sekarang sudah mulai ajarin dia mesum dengan Brian, hehehe.
“Hey, Brenda… dari mana dapat durian?” Teriakan Edo mengagetkan kami. Segera kami mendekati rombongan.
“Eh kok bisa dapat durian?” Tanya Brian.
“Eh… rahasia dong!” Jawabnya… tapi ia segera datang padaku dan memelukku. Pasti ada apa-apanya. Aku biarkan saja, sejak akhir-akhir ini kami semakin akrab. Ternyata cewek ini walaupun suka mesum dan ekshibisionis, tapi orangnya ternyata ramah dan baik.
Brenda memegang tanganku ketika kami mulai jalan ke sepeda. Ia berbisik, “tadi aku mandi, ada dua orang cowok lagi cari durian, yah mujur mereka lihat aku telanjang.”
“Astaga! Terus…?” Aku penasaran
“Eh, kubiarkan mereka melihatku, asal dapat durian…!” Brenda malu…. Bahaya juga cewek ini, ekshibisionis ternyata…
“Tapi kok dapat tiga?” Tanyaku masih penasaran.
“Iya, dua durian untuk dua payudara, dan satu untuk vagina… hehehehe” Katanya sambil mencubit ku…
“Wah.. udah dipatok harga yah! Hehehe” Kataku
“Hush… jangan bilang orang yah… aku malu sekali!” Brenda main mata.
Ih, mujur benar mereka…hehehehe…” Jawab ku…
“Seperti kamu bilang tadi, palingan tiga hari kontolnya tegang terus…hehehehe!” Kami berdua tertawa-tawa. Wah, kayaknya cewek ini setelah dekat denganku… ternyata sangat menyenangkan…. Eh… tapi sangat mesum juga lho.
Kami pun beristirahat sejenak sambil makan durian hasil pencarian Brenda.
-----
Dalam perjalanan tak henti-hentinya kami bercanda… apalagi jalan ini sangat sepi, mungkin hanya dua mobil yang kami lihat dari tadi. Tak terasa kami sudah dekat dengan Tanahwangko, pit stop terakhir sebelum ke Manado. Kota kecil ini terletak 15 km di utara kota Manado, dan berada di pinggir pantai. Jadi udara makin panas, untunglah sudah jam 4 lewat, tidak panas lagi. Walaupun cape, tapi perjalanan sangat menyenangkan karena bisa melihat pemandangan yang indah dan canda ceria.
Naya dan Brenda bersepeda disampingku, sedangkan Brian dan Shaun lagi asik dengan cerita mereka di depan. Mungkin Shaun lagi membagi passionnya sebagai mahasiswa biologis… apalagi tadi sempat lihat monyet liar di pepohonan.
Brenda dan Naya tanya padaku soal keseriusanku dengan Brian. Mereka berdua terus mendukung kami untuk pacaran… apalagi setelah Brenda tahu aku ditinggal mati oleh pacarku… Aku masih bingung soal ikut dengannya ke Amerika. Apa gak terlalu cepat?
“Kak Titien harus tentukan sikap lho, percaya dong sama cinta!” Kata Naya bersemangat.
“Brian itu cowok yang baik, ia sangat bertanggung jawab dan setia pada janjinya. Walau baru selesai kuliah, ia sudah mapan lho berkarir” Brenda menambah-nambah.
“Hayo, kurang apa lagi kak, sudah ganteng, setia, tajir, apa lagi, hayo?” Kata Naya…
“Eh, satu lagi yang utama…” Kata Brenda menggantung.
“Apa itu?” Tanyaku
“Kontolnya besar….” Brenda tertawa cekikikan… “Pasti kau puas lho… hehehehe” Cewek ini sudah mulai bercanda mesum lagi dan disambut Naya dengan gembira.
“Bukan cuma itu kak, Brian itu jago puasin cewek lho, teknik oralnya mantap!” Naya tambah meledekku, tapi ia gak sadar ledekannya bisa berbalik.
“Heh… kau tau dari mana?” Brenda bertanya… Naya langsung kaget dan merah, baru sadar sudah keceplos tadi. “Aku curiga lho ada apa-apanya dengan kalian berdua!” tambahnya sambil tersenyum.
“Hahahahaha… ada aja” Kami berdua hanya tertawa misterius.
“Makanya Kak Titien… jangan mempermainkan cowok terus, Kak Titien buat hatinya Brian menggantung lho!” Jawab Naya mengalihkan cerita.
“Iya Tien, kalo permainkan kontolnya sih boleh… tapi jangan hatinya!” Astaga, dari tadi aku diledek terus dari dua cewek nakal ini. Tapi hatiku berbunga-bunga lho…
“Kak Titien sih! Pake-pake game segala, itu tuh, tadi malam sampe ikat Brian dan tutup matanya di kamar…!” Kata Naya mencoba melempar kesalahan, sambil meledek ku.
“Hush…” Aku jadi malu… mukaku pasti sudah merah. Mereka berdua tertawa keras meledekku.
“Hey, cewek-cewek … lagi ngomong apa, kok ribut sekali!” Tanya Brian dari depan. Mereka sedang menunggu kami yang tertinggal jauh di belakang.
“Itulah… Naya lagi cerita apa yang Virgin buat sama kamu tadi malam… cie cie… yang pake diikat dan tutup mata segala!” Ledek Brenda sambil menebak-nebak.
“Eh…itukan buktinya pacarku romantis, gak cuma datang langsung oral gitu…!” Brian membela diri….
“Wah Brian jadi dapat oral yah semalam?” Tanya Shaun
“Astaga… jadi beneran? hahahaha…” Kata Brenda lagi.
Aku langsung memeluk Naya karena sudah malu sekali. Gadis itu hanya tertawa-tawa, karena sebenarnya ia tahu apa yang terjadi.
“Hey… ayo, nanti keburu sunset!” Untunglah Edo menyuruh kami segera lanjut.
“Edo, kamu tahu gak soal game tadi malam?” Tanya Brenda gak mau berhenti walaupun kami sudah mulai jalan lagi…
“Tentu saja aku tauh, ular tangga kan?” Kami semua bingung.
Tiba-tiba Shaun tertawa keras-keras.
Astaga… ada apa lagi ini…
——
Bersambung