Lanjutan
Aku menunggu kabar Wirdan, aku tidak mau bertanya pada Tamara, tentang apa yang mereka bicarakan. Aku mengirim pesan lewat ponsel, itupun aku perlu mendiam profil
Handphone agar tidak diketahui Tamara. Pesan dari Iwan malamnya, ia mengatakan siap-siap deh untuk kejutuan. Aku sedikit tersenyum, aku ingin makan sendiri. Karena Tamara sedang menyiapkan wisudanya, ia pun berencana akan melanjutkan kerja diperusahaan. Aku pergi makan, aku memesan taksi didaerah cukup jauh. Aku ingin mencoba makanan china disebuah restoran yang diberikan alamatnya rekan bisnisku kemarin. Begitu sampai, meski hanya restorant sederhana. Makanan cukup enak, setelah makan aku menyempatkan diri ke diskotik sebentar minum dan membeli berberapa minuman.
Aku pulang, waktu menunjukan pukul 10.00 malam. Aku ingin tidur sebentar, namun sepertinya tidak akan mulus. Tamara menungguku didepan pintu, “Pak, aku minta tolong?” ujar Tamara meminta bantuan. “Masuk dulu deh, gak enak kamu dilihat oranglain,” kataku sambil membuka pintu. Tamara masuk ke Flatku, sebetulnya dia bisa meneleponku. “Pak, bisa minta nomor telepon hotel klien dari Inggris dua bulan lalu?” ungkap Tamara, aku tersenyum. “Buat siapa Tam?” tanyaku, “Buat papa sama mama pak, kalo di Flat ini kayanya terlalu sempit. Aku coba minta kamar bisa disewa pada penuh,” ujar Tamara lebih menjelaskan persoalanya. “Ini nomornya, dan ini uangnya buat tiga hari.”kataku memberikan kartu hotel dan uang. “Gak perlu pak, aku bisa pakai uangku,” kata Tamara, ia hanya mengambil kartu.
“Udah pakai aja, kamu pikir aku gak tau kamu kemarin pinjam 800 ke Abdullah buat makan,” kataku memaksanya. Aku menanjakan ke Sekertaris Iwan waktu ia izin mengurus wisudanya, ia meminjam uang karena gaji habis untuk membayar admintrasi dan tiket orang tuannya. Aku menduga uang itu habis pula karena kebiasaan menyiapkan makananku tanpa meminta uang ke aku. “Kamu kalo ada masalah, jangan pernah segan tanya saya bisa bantu atau tidak,” kataku duduk di Sofa. Tamara tertunduk, “Pak maaf jika saya salah, jujur saya tulus menyiapkan semuanya,” ujar Tamara lalu ia ingin pergi. “Saya mau pulang ya pak,…” kata Tamara beranjak pergi.
Belum selesai ia berbicara, aku memotong pembicaraannya. “Kamu buat kopi aja, kepalaku pusing,” kataku. Ia pergi ke dapur, aku beruntung. Tamara memang hanya sekertarisku, namun dalam berberapa hal ia memiliki banyak perhatian. Tidak lama kopi tersedia, aku meminumnya. Baru ia pergi, satu menonton TV. Kemudian pergi untuk tidur, pagi harinya aku bangun. Aku mandi dan bersiap pergi ke Kantor. Pagi ini, makanan sudah tersedia hanya belum kopi. Tamara sedang membuatnya. Ia berjalan pelan, menuju dapur dan memeluknya. “Ah…Pak, maaf jika aku kagetin bapak, mmmmh ahh..” ungkap Tamara. Rupanya ia menduga aku memeluknya, aku mencium lehernya dan pipinya. Aku membalikkan badannya, bau parfumnya kembali tercium.
Aku mencium keningnya, “Pak makan dulu yuk?’ katanya. Aku menurutinya, kami makan. Kali ini ia memasak makanan Indonesia, Ayam Goreng, Nasi Putih dan Tumis Kangkung. Kami makan dengan lahap. “Pak, aku mau izin jam 2, Papa dan Mama mau datang,” ungkapnya. “Okay, nanti abis makan siang mau ada meeting di Malaysia sama bos kita.” kataku sambil menyeruput kopi bikinannya. Aku selesai makan, aku duduk di Sofa, sedang Tamara merapikan makanan, aku menonton TV sebentar.
Tamara menyelesaikan cuci piringnya, ia menyiapkan diri untuk berangkat bersamaku. Aku mematikan TV, aku berjalan ke mengampirinya. Aku menghentikan langkahnya, Tamara kuarahkan kesudut ruangan. Bibir tipis yang selalu menarik perhatianku itu ternyata
nikmat juga. Kemudian aku mulai mencium bibirnya lagi, kali ini lebih lama dan lebih dalam. 6 menit kemudian aku melepaskannya, Ia membenarkan kembali lipstiknya. Kami berangkat, dan sampai ke Kantor, kami berkerja seperti biasa. Menjelang makan siang, Iwan menghampiri aku dan Tamara yang ingin makan siang, akhirnya kami makan siang bersama. “Iwan, dua hari lagi Ninda wisuda, kamu kalo ada tanda tangan laporan divisi, ke Alex dulu baru email ke Tamara atau Aku.” ucapku dengan santai, “Lho kenapa dan?” tanyanya. “Ini, aku mau meeting, dia wisuda jadi Alex jaga 3 hari.” Balasku. Mendengar penjelasanku ia mengaguk setuju.
Kami akan pergi, Iwan menahan kami sejenak. Iwan mengeluarkan sesuatu berbentuk amplop. Ia memberikan pada aku, ternyata dalamnya adalah sebuah kertas cukup panjang. Wir, dan Tamara. Kira-kira kalian baru lowong sabtu tapi kerja seninkan?” tanya Iwan tiba-tiba, aku menjadi bingung. “Aku pernah ditawarin tiket Fine-Dining, satu tiket buat dua orang. Kalian yang pake ya, aku gak mungkin karena kalian tahu kenapa,” ucap Iwan aku dan Tamara tersenyum membayangkan bagimana mungkin Iwan beristri dua. “Nanti gimana kalo orangnya beda. Kamu tau sendirikan, biasa restoran itu suka ribet?”kata menanyakan kesulitan nanti, aku mengetahui bahwa restorant memililki kesulitannya sendiri.“Gak papa, untung gw pernah nanya. Kalo w bisa kasih tiket ke orang gak?”jawabnya bisa tapi harus konfirmasi dulu.”ucap dia, menanggapi pernyataan. “
“Okay kami setuju, gimana tiket.”kataku menyalami tangannya. Tamara pergi dengan wajah yang memerah, ia mungkin malu. Setelah cukup jauh, aku baru mendekati Iwan. “Gila loe, tiket dapet dari mana?” ucapku, aku yakin ini adalah usaha Iwan mendpatakan tiket seperti ini. “Rahasia bro. Nanti selesai makan malam itu. Paginya gw jelasin.”kata Iwan sambil meninggalkanku, “Makasih ya, ucapnya.” ucapku dengan sedikit berteriak. Ia melambaikan tangan. Aku tersenyum, kami kembali ke kantor, aku menyiapkan keperluan untuk berangkat ke Malaysia. Aku pulang ke Flat, untuk menyiapkan keperluan dua jam kemudian aku berangkat. Aku mesti menyelesaikan pekerjaanku, karena usahaku semakin menanjak. Ia pun tertarik untuk mengembangkan usaha lain dengan aku sebagai penanggung jawabnya.
Tiga hari berlalu, sebetulnya hanya dua hari berkerja Sabtu siang aku sudah pulang. Aku pulang, flat sedikit kotor. Aku menelpon petugas kebersihan. Aku menyelesaikan pekerjaaan dengan lebih cepat. Petugas kebersihan membersihkan flat, aku memberikan kunci dan pergi sebentar menunggu pekerjaan selesai. Aku pergi membawa pakaian kotor, dan pergi makan. Aku merasakan bagimana Tamara tidak ada, kupikir aku seorang yang cukup mandiri. Tidak sepenuhnya, kini aku sedikit bingung karena jika melakukan sendiri akan repot membeli peralatan dan lainnya. 4 jam kemudian aku kembali, pekerjaan selesai. Aku memberikan uang, dan aku mandi lalu tidur. Sore hari, aku ingin membeli makanan, aku membuka pintu.
Aku kaget “Tam, kok udah balik?”kataku melihat dia membawa panci sup, aku mempersilakannya masuk. Rupanya ayah ibu datang tadi dan akan pulang. “Ini pak, Papa dan Mama aku.” ujarnya memperkenalkan. Kami ngobrol sebentar dan mereka pulang. “Maaf pak, sampai orang tuaku mau kenalan bapak,”ujarnya dengan wajah memerah. “Gak papa, namanya orangtua,” kataku mengiburnya.
Singkat cerita kami makan, dan ia pulang ke Flatnya pada malam hari. Akupun tidur, pagi harinya aku pergi melakukan kebiasaanku. “Pak, nanti siang aku mau pergi ke Salon ya. Bapak bisa beli makanan sendiri kan?” tanya Tamara , rupanya ia ingin siap-siap untuk makan malam nanti. “Bisa kok, aku bisa pesan makanan,” kataku singkat. Siangnya aku tidur sedangkan Tamara pergi ke Salon. Aku sengaja tidak ingin memenganggunya, maka aku datang ketempatnya menjelang makan malam. Aku memakai pakaian terbaikku, wajar aku dan Tamara akan makan di Restaurant berbintang. Aku mengetuk pintu Flat Tamara, cukup lama ia membukanya. 5 menit kemudian, ia membuka pintu. Ia tampak cantic dengan gaun hitam dengan belahan dada terlihat.
“Kamu cantik sekali, Tam. Bisa kita berangkat sekarang,” ucapku mengajaknya pergi. ia tersenyum malu, “ Terima kasih pak. Sebentar pak, aku ambil dompet dan syalku dulu,” ucapnya masuk kedalam. 1 menit kemudian, ia kembali memakai syal hitam dan dompet cream. Tangannya merangkul bahu kiriku dan ia bersandar. Kami keluar dari Apartement menuju mobil, kami pergi menuju restaurant. Sesampainya di restaurant, cukup ramai. Aku menujukan tiket yang diberikan Iwan. Pelayan meminta waktu, ia memanggil kepala pelayan. tidak berapa lama, pelayan itu datang bersama seorang pria yang memakai stelan jas. Ia menyapa kami, serta memuji kecantikan Tamara. Kemudian ia mengajak kami masuk ke Resaturant untuk menujukan meja kami.
Ternyata meja kami mesti menaiki anak tangga, hanya berberapa meja diatas. Kepala pelayan mengatakan bahwa kursi ini Tamu VIP, ia mempersilakan kami duduk. Tamara dan Aku duduk, tempat cukup mewah. Aku tidak menyangka bahwa dekat flat Iwan tinggal ada Restaurant yang baik seperti ini. Kami dimanjakan hidangan yang enak dan minuman yang baik, sambil makan kami ngobrol. “Tam, sejak kapan kamu menyadari kamu menyukai saya. Kamu tahukan usia saya udah 35 Tahun dan kamu masih 22 tahun?”kataku dengan santai. “Sayangkan tidak mesti pakai alasan pak. Jujur dua bulan jadi sekertaris bapak, saya suka,” katanya sambil meminum wine yang disajikan ia mulai luwes ngobrol denganku.
“Kok sama saya kamu main rahasia, bagimana kalo aku suka perempuan lain,” ujarku mengodanya. “Jadi bapak udah punya calon, kira-kira siapa pak. Aku senang mendengarnya.” Mendengar ucapku mendadak wajahnya menjadi murung, aku merasa cintanya kepadaku begitu besar. “Gak tau ya, aku lagi suka sama seorang perempuan namun belum tau dia benar-benar mencintaiku,” ujarku mencoba mengendalikan pembicaraan. “Kenapa gak dicoba nembak pak,” menanggapi perkataanku, ia terlihat sedikit bertambah murung. Tamara sepertinya tidak menyadari bahwa aku mulai mencintainya. “Lah, Kamu bagimana? Kamu kan punya perasaan sama saya?” ucapku. “Gak papa, saya bisa memahami jika saya tidak bisa mendapatkan cinta bapak. Saya bisa menerimanya,” ucapnya makin sedih. Airmata mulai keluar, ia menyapunya.
“Tam,sebenarnya saya juga mulai merasakan rasa sayang kekamu. Mungkin bisa kita memulainya,” ucapku sambil meraih tangannya. Ia diam saya, kemudian “Bapak berbicara sungguh-sungguh atau hanya menyenangkan hati saya saja?” ucapnya dengan nada bicara yang sedih. Aku tidak tega menyakiti hatinya, “Aku bersungguh-sungguh, aku mulai merasakan mencintaimu dengan dalam.” ucapku. “Saya merasakan sama pak, terutama waktu kemarin Bapak cium saya, dan waktu kita hampir melakukannya. Meski awalnya bapak ingin menginginkan tubuh saya tapi gak papa,” katanya sambil mengenggam tanganku. Kami tersenyum dan melanjutkan makan kami, setelah selesai kami pulang. Segala perasaan berkecamuk, aku ingin menghabiskan malam ini bersamanya.
Kami keluar menuju parkiran, baru sebentar hujan datang. Aku melepaskan jasku dan memakaikan kebadannya. Kami menuju mobil, ternyata parkiran mobil melewati toko bunga. Aku meminta Tamara menuju mobil, aku memberikannya kunci mobil. “Tam, kamu pergi ke mobil dulu. Ini kunci mobilnya,” ujarku memberikan kunci kepadanya. Tamara mengambilnya dan berjalan cepat, ia tidak bisa berlari karena memakai sepatu berhak tinggi. Setelah cukup jauh, aku menuju toko bunga. Aku membeli satu bendel bunga mawar merah untuknya. Setelah bunga siap, aku berlari menuju parkiran. Aku membuka pintu,”Pak, cepatan nanti badannya bapak basah,” ucapnya dengan khawatir. Aku mengangguk, dan masuk kedalam mobil, lalu memberikan bunga itu padanya. “Pak, ini untuk saya?” tanyanya sambil menerima bunga yang kuberikan itu.
Ia tampak senang, aku menghadapkan wajahnya kedepanku. Aku mengecup keningnya, cepat. Ia tersenyum, kami saling bertatapan. Perlahan-lahan aku mendaratkan ciuman ke bibirnya. Tanganya menyentuh pipiku. Kami berciuman, didalam mobil. Aku mennyalankan mobil untuk menyalakan AC, untuk udara agar tidak pegap agar Tamara mau berciuman lebih lama. Aku memangut bibir atasnya, nafasnya tersendat-sendat sepertinya dia mengigil. Dia membalasnya dengan sempurna, ia memberikan pangutan pada bibir bawahku. Meski bibirnya tipisnya dan kecil namun ciuman sempurna, semakin lama lidah saya mencari lidah Nita dan kami pun berciuman dengan mesra, bahkan saling menjilat bibir masing-masing. 20 menit kami berciuman, setelah itu kami benar-benar pulang. mobil kau jalankan menuju Apartement.
Tamara tampak gusar, sesekali ia menatap wajahku dan memandang kesisi jalan. Entah apa yang dia khawatirkan. Aku memfokuskan untuk menyetir mobil, 40 menit kemudian mobil sudah sampai ke Apartement. Kami berjalan memasuki lobi, aku mengandeng tangan tamara langsung masuk lift. Berberapa penghuni yang sedang dilobi melihat kami, berjalan cepat sambil tersenyum. Kami membalasnya dengan senyuman pula, kami masuk lift dan menuju lantai tempat flat kami berada. Pintu lift terbuka, kami berjalan. Ia ingin mengucapkan selamat malam, “Selamat malam pak, semoga tidurnya nyeyak.” katanya dengan pelan, ia ingin membuka pintu. aku mengengam tangannya. “Bisa kita ngobrol, ditempat saya,” ujarku mencari alasan untuk lebih lama dengannya.
“Bisa pak,” katanya singkat, ia berbalik aku membuka pintu dan menyalakan lampu. Setelah dia masuk kedalam, ia meletakan syal,bunga dan dompetnya dimeja. pintu aku kunci rapat. “Lho pak, kok pintu dikunci. Kita mau ngobrol aja kan?” tanyanya kepadaku ketika berbalik melihatku. “Kemungkinan begitu, tapi ngobrolnya serius,” kataku mencari alasan. Aku mendekapnya dengan erat dan menciumnya, kami berciuman lagi untuk beberapa lama. Dia melepaskan ciuman, “Pak, saya kedinginan,” ucapnya badan dingin. Aku mencari gelas panjang dan mengambil es batu diember didalamnya
Sampanye. Aku membukanya dan memberikanya pada Tamara. Ia menengaknya, satu-dua gelas kami minum. Aku sudah tidak tahan, aku memeluknya dan kami berciuman.
Kami berciuman, ketika kedua tangannya ingin memelukku. Aku mengambil gelas
Sampanye ditangan kanan dengan tangan kananku dan menaruhnya ke meja. Kemudian aku memindahkan gelas
Sampanye Sampanye yang kupengang tangan kiriku ke tangan kanan dan menaruhnya di meja. Kami berciuman dengan cukup panas, Tamara menutup matanya menikmati ciuman itu. Perlahan-lahan aku mendorongnya mundur menuju kamarku. Malam itu, aku ingin menuntaskan keinginan untuk berhubungan badan dengannya, ia mulai mengikuti keinginanku. Ia berjalan mudur menuju kamarku. Pintu kamar, tidak pernah kututup kecuali ingin tidur. Kamarku bermodel dua pintu, sehingga jika masuk langsung terlihat sisi samping ranjang. Tamara akhirnya masuk kedalam kamarku, wajahnya semakin memerah. Aku melepaskan ciuman, Tamara membuka mata, diam terdiam. Kemudian “Kalo bapak mau, bapak lakukan saya akan siap layani bapak.” katanya.
Aku memeluknya, dan langsung mencium bibirnya sekali lagi. Dengan penuh nafsu, aku menekan bibirnya keatas, kemudian lehernya. Aroma badannya kembali tercium meski samar-samar. Kuhisap bibirnya dengan lembut, kemudian aku daratkan ciuman kelehernya. “ohh…pak…mmmh…oh….enak…oh.” desahnya dengan pelan. Aku melepaskan peluknya, dan mendorong kekasur. “Tam, posisimu kearah meja tv,” perintahku ia mengarahkan tubuhnya kearah yang kupinta. Aku berbalik, dan mengunci pintu kamarku kemudian berjalan menuju depan Tamara. Aku naik ke kasur, dan menindih Tamara, wajah kami menempel. Kemudian aku bangkit, dan mulai beraksi. Aku mencium bibir Tamara, ia membalasnya semntara tanganku memegang bahunya dan mulai melepaskan gaun yang dia gunakan. Rupanya ia tidak memakai bra karena ada busa payudara dibalik pakaiannya. Aku menelan ludah melihat Payudara yang padat.
Tanpa pikir panjang, aku membuka dasi, kemeja, dan kaos dalamku. Aku melanjutkan permainan kembali. “Aacchh….terus…ohh…h……ahhhh…” ucap Tamara ketika aku mencium dan mengisap payudaranya. Sementara tanganku asyik melepaskan pakaian dibadannya. Tamara mengetahui itu, ia menaikan pantatnya ini mempermudahku. Setelah terlepas aku membuangnya ke lantai. Kini tinggal celana dalamnya, aku melepaskan. Dengan menaikan kedua kakinya dengan tangan kananku, aku melepaskan celana dalamnya dengan tangan kiri. Tamara membantu dengan menaikan pantatnya, kemudian aku kembali membuangnya. Kini Sekertarisku resmi telanjang didepanku, aku merebahkan diri didepannya. Aku memainkan payudaranya, dengan lembut aku meremas kedua buah dadanya yang besar dan menggiurkan itu. Sensasi empuk dan bulat penuh memenuhi tanganku yang tak cukup besar untuk meremas buah dadanya secara keseluruhan.
Aku merasakan putingnya, aku bangkit menjilati lehernya. “Aahh... paak... Mmmhh... Pe... lan.. Pelan...” Tamara mendesah nikmatan. Kedua tangannya mencengkeram erat seprei di ranjangku. Aku masih, kali ini cukup cepat. Kedua tanganku meremas-remas dadanya yang empuk dan besar, yang sudah menjadi kencang karena terangsang. Jari-jariku memainkan putingnya yang sudah tegang dan keras. 15 menit aku puas bermain, aku turun menuju memeknya. Memek mengularkan bau harum, ia menjaga kebersihan kewanitaan bulu-bulunya terpotong rapih, aku membuka kedua pahannya dan megarahkan kepalaku ke memeknya. “Paaaaaaak…ahhhh….. ahhhhh…aahhhhhhh.” desahnya ketika aku mulai menyilati memeknya, mendengar jeritanya aku makin bersemangat menyetubuhinya keringat mulai muncul ditubuh kami malah membuat tenaga kami tidak berkurang. Aku semakin bersemangat memainkan lidahnku di lekuk-lekuk kemaluannya. 20 menit berlalu, Tamara semakin tak bisa menahan rasa ingin mengeluarkan cairan kewanitaannya.
Aku meminumnya sampai habis, dengan penuh kebangaan aku akan menyetubuhi Tamara. Aku hanya memandang Tamara sambil mengelus-elus kemaluannya dengan jari-jari tanganku Tamara tampak lemas, aku melepaskan celanaku, Kontolku sudah ukuran maksimal. Aku membuka kedua paha agar mengangkang lebar, Kemudian aku arahkan kontolku ke memeknya. Aku masukan Kontol kedalam memeknya, ia mendesah. “argghh,” jeritnya. Ada yang menahanku, aku hentakan dengan cukup bertenaga, “…BLESSSSSSS …… “ kontol masuki memeknya, “ARRRRGHHHH…OHHHH…..” jeritnya membuatku kaget, “Aaaaduuuuh …. Sakit Paaaaa …” ujarnya. Ia mencoba mendorongku, namun aku menahan tindakanya itu, aku bingung kenapa ia melakukan seperti, namun aku melupakannya. Sebetulku batang kontol belum seluruhnya, aku kembali menghentak, “ahhhh….pak….oh….,mm…Sak….it…”ujarnya.
Aku turun kebawah, membisik instruksi kepada Tamara, ia mengagguk, aku bangkit. Aku melihat airmatanya keluar, namun aku mencoba fokus. Aku ingin Tamara merasakan hal yang sama. Aku menggerakkan pantatnku maju mundur sedikit bergantian dengan gerakan berputar ke kiri dan ke kanan karena Kontolku masih didalam memeknya, perlahan-lahan Tamara mengikuti permainanku, meski lebih pelan. Ia juga mulai tersenyum, ia merasakan kenikmatan yang sama. “Sekarang sudah jadi enak kan sayang ?” tanyaku sambil menciumi bibirnya, aku mencoba memanggilnya “ Iiiiiyyyaa……pa, nikmaaat sekali …” jawabnya.
Erangan kenakan dari aku dan Tamara terdengar, meski aku merasa erangan keras. Aku kadang-kadang harus menyumpal bibirku dengan ciuman dibibirnya untuk megentikan eranganya. CROOOOK….CROOOOK ….CROK … bunyi yang ditimbulkan kemaluanku yang beradu dengan kemaluan Tamara, memompa kemaluannya lagi, kali ini dengan ayunan yang lebih panjang, cepat dan keras. Karena hentakanku, badan bergeser, dari tengah kasur menuju pinggir. Aku menariknya kembali ketengah.”mmh…ah…oh….pak…terus…terus…nikmat..” desahnya, aku ikut mendesah, “Ahhh…ahhhh…ahhh….” ucapku. Keringat kami bercucuran, udara dingin karena masih hujan tidak kami rasakan. Setelah tiga jam bermain, kami mencapai batas. “Pak, aku…kaya….mau….ken..oh…lagi…ah…ahh…ah..”ucapnya, sambil menjepitkan pahanya pada pinggulku. Sebelumnya dia sudah 2 kali klimaks pertama saat aku memainkan memeknya dan kedua pada aku memasukan semua badan kontolku.
Aku bersiap-siap menyambutnya dengan makin mempercepat gerakan kontolku, tubuh Tamara sampai tubuhku terguncang-guncang dan aku perhatikan kulit muka pak Yanto semakin memerah. “Tahan dul, kita sama keluarinnya,” kataku. “I…oh…ya…”, katanya. Aku memompa 6 kali, pada saat yang sama puncak gelombang kenikmatanku datang. “Tam….saya keluaaaaaar !”SROOOOT ….SROOOTTT …SROOOOOT….SROOOOT….SROOOT …srrtttt…srrttt.” aku berteriak, Kontolku beliau berdenyut dengan keras dan seperti menyemprotkan sesuatu berkali-kali dengan jumlah banyak di dalam rahim dan lobang senggama Tamara. Setiap semprotan seolah-olah merupakan bagian dari puncak kenikmatannya sehingga ia ikut menjerit-jerit kecil. 15 menit, aku melepaskan Kontolku dari Vaginanya yang basah, aku tidak fokus, badan ku angkat sisi tengah sebelah kanan kasur kepalanya ku taruh bantal.
Ia tampak lelah, aku putuskan untuk tidur. Disisi kirinya, kami tidur seperti tidur telanjang macam film ditutup selimut luar hitam dengan dalam putih. Jam menunjukan pukul 1.00 dari kami bermain jam 9 lebih. AC aku nyalakan, aku tidur. Aku bangun pukul 06.00, Tamara sudah tidak ada. Aku memakai pakaian ku yang ternyata sudah dilipat diujung kasur. Pakaian Tamara juga tidak ada, aku pergi mandi dan siap-siap kerja. Setelah mandi, aku berjalan diranjang, ternyata pintu kamarku sedikit terbuka. Dapur seperti ada orang, aku menebak Tamara memasak. Aku berpakaian, sebelum memakai dasi dan jas, aku memutuskan merapihkan kasur. Pada tempat Tamara tidur, sprei dan selimut dalam, ada yang aneh. Noda merah cukup terlihat, aku mencoba mendekatinya anyir. Aku kaget, Tamara masih perawan.
Aku keluar kamar, sprei dan selimut ku taruh kebarang kotor. Tamara sudah siap, namun muka sebam. “Tam, kamu nangis? Maafkan saya ya,” ujarku. “Ada apa pak? Kok minta maaf, ayo makan nanti kita terlambat kerja lho!” katanya, “Aku tau kamu memberikanya ke saya, aku benar-benar mencintaimu.” kataku dengan langsung memeluknya, Ia menangis, “Pak, ini jadi pilihan saya. Semoga pak, menyukainya.” kata Tamara. Aku menghapus air matanya, hari itu aku minta ia menjadi pasanganku. Ia mengaguk setuju. Kami berangkat ke Kantor
Bersambung