Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Wirdan dan Tamara

Bimabet
Lanjutan

Aku pulang, aku memasuki Flat. Pintu tidak terkunci, “Bentar ya, nanti aku telepon lagi.” ujar Cindy menutup percakapan di Telepon. Ia berjalan mengetahui siapa yang satang, “Heh, mas udah lemburnya. Kok gak kasih tau jam berapa selesai.” ucapnya dengan memeluk. Aku mendekappnya, aku begitu mempercayai Cindy ia tidak mungkin main dibelakangku. “Iya, tadi abis nunggu keputusan Wirdan.” ujarku sambil melepaskan pelukannya dan melepas Jas. “Kamu masak apa sayang?” ujarku kepada istriku. “Masak Sapi sambal hijau dan Capcai kuah, kamu makan aja ya.” ucapnya sambil membawa jasku kedalam kamar. Aku menikmati makanan, meski hanya sendiri. Setelah selesai, aku membawa piring kontor ke dapur dan beranjak kedalam kamar.

“Oh Iya, Kamu romantis amat sih. Jadi kamu udah siapin semuanya buat aku, okay nanti disini biar aku liat barangnya,” ucap Istriku dengan mersa. Ucapnya memang tidak jelas karena, percakapan baru terdengar ketika aku membuka pintu. “Siapa Cin, temanmu ?” ujarku menanyakan. “Eh…i…ya, lah kamu nguping ya mas? Aku gak suka kamu nguping,” ujarnya kian menunggu pembelaanku. “Suaramu kedengaran kok, aku gak nguping tapi mau mandi. Makanya tadi siapa?” tanyaku. “Belinda, dia nawarin emas. Aku mau beli. Kenapa mas, uangku lho yang kepakai nanti.” ujarnya. “Lho Pikiranmu sampai kesana, ingatnya aku gak pernah masalah pakai uang siapa buat beli. Tapi setelah bayar semua tagihan dan tabungan bulan, baru bisa pakai,” ucapku dengan suara meninggi.

“Udahlah, aku malas bedebat dengan kamu, jika masih pakai emosi. Aku mau mandi, oh iya Iwan terima kerjaanku. Jadi jika tidak masalah, kamu bisa ambil job diperusahaan kolegaku?” aku menawarkan kerjaan padanya. “Aku udah klien kok.” ujarnya dengan ketus. Aku meninggalkan dia dan pergi mandi, namun pikiran masih kacau. Haruskah aku mengecek keseharian istriku, aku terdiam. Malam itu kami tidur tanpa meyapa, demikian dengan bangun pagi. Cindy langsung ke
tempat klien, besama teman-temannya. Aku terpaksa membuat makanan sendiri, aku memutuskan membicarakan ini pada anak buahku.

Aku menelepon Jahuari, supir dan teknis lapangan. Aku memohon bantuan untuk mengawasi istriku, aku menambahkan akan menambahkan uang, ia menolak uangnya namun bersedia membantu mengawasi karena ia sedang lowong dua hari ini, aku berterima kasih. Aku memintanya untuk mengirim e-mail laporan untuk menjaga rahasia kami dan istriku.

Tiga hari kemudian, aku pergi bersama Istriku menuju pusat perbelanjaan. Tiba-tiba, Handphone berdering, Jahuari mengirimkan pesan bahwa ia sudah mengirimnya.”SMS dari siapa mas?” ucapnya menanya. “Ini dari teman, ngajak ketemuan buat minta pengurusan kartu pengawainya diurus aku.” ucapku sambil menunjukan sms lainnya.”Oh, selamat ya. Terus kapan datang Iwan?” tanyanya. “Dia baru datang bulan depan, sebetulnya dia udah mulai kerja sih, tapi semua kirim lewat email.” ucapku. “Cin, kamu mau gak berhenti kerja dan kamu fokus urus keluarga. Kita kaya udah siap miliki anak.” ujarku dengan mengajak ke sebuah Restoran untuk makan.

Cindy duduk, “Jadi kamu mau ngomong ini, ngajak aku pergi. aku udah bilang aku belum siap titik,” ucapnya sambil membuang muka. Kami tidak jadi makan, aku malu dengan sikapnya karena ia buru-buru pergi. Aku mencarinya dan tidak menemukanya, ku putuskan untuk pergi kekantor meski hari ini tidak jadwal kerjaku. Aku membuka e-mail dari Jauhari, aku tidak menyangka ini adalah awal aku menceraikan Cindy.

Aku tidak menyangka keputusan membuka 1 mail yang kirim Jahuari akan membuatku mengakui Tamara cukup lihai membaca situasi. Foto-foto terlihat adalah Cindy mempunyai hubungan khusus. Foto Cindy dicium kening oleh seorang pria tidak kenal sama sekali. Itu yang membuatku emosi. “BRAAK,” bunyi tanganku mengepal dan membantingnya dimeja, Laptop berhenti sesaat dan memulai restart dan tampil kembali. Aku penuh emosi, Cindy sudah mengkhianati pernikahan kami. Aku keluar kantor dengan penuh emosi, aku pulang ke rumah.

Aku ingin secepatnya meminta penjelasan dari Cindy, siapa dia? Benarkah dia bernama Hendra. Aku mengetuk pintu, Pintu tidak terkunci. Aku mendadak kaget, aku berani untuk masuk. Aku kaget Cindy sedang berciuman dengan lelaki yang tidak aku kenal. “Ah…Hen…ah….terusin…oh..” ucap Cindy setelah ittu ia mendesah, aku bersembunyi dan mengamati. Rupanya pria itu tangannya bermain dengan memek Cindy. oh…te…ru…s..oh..ah…ah…ah..” ujarnya mengelijang kenikmatan ketika biji klitoris Pria itu mainkan lebih cepat. Dua menit kemudian Cindy klimaks dan Pria turun dan menjilatinya.

Aku megigit gigiku tanda kesalku, “Sial istriku dimain kaya gitu,” ungkap dalam hati. Hatiku rusak ketika melihatnya.“Ah…Cin….Cin…oh…Boleh…masuk?” ucap Pria itu meminta persetujuan memasuki memeknya.

“Boleh…oh…oh..dong……oh….lang….sung..aja…oh….”ucapnya merancau, Pria itu membuka celana, Kontol terlihat tidak sepanjang punyaku. “oh….oh…Hen…setu…buhi…aku..”ujarnya. “jlebs…” kontol masuk kedalam memek istriku. Istriku mengejamkan matanya, “ah…Hen..udah..berapa..kali..oh…kita…gin…oh…i?” ujar Cindy makin mendesah, “Tiga kali, sambil menmemainkan payudara Cindy. Cindy dipangku lelaki itu. Ia masih memakai pakaian saat aku pergi bersamanya. Kaos olahraga model Singlet dengan Celana pendek, kini Kaos sudah tidak menutupi tubuhnya melainkan leher serta celana penedknya kini dimata kaki bersma celana dalamnya. Sedangkan lelaki bernama Hendra, memakai kaos dan celana pendek, ia menyetubuhi istriku. Mereka makin terhayut.

“ahhh…Hen…hamili…oh…please…”ucap Cindy, ia ingin dihamili Hendra. Aku mencoba menahan diri. “Iya…oh…pasti…udah …oh…tiga..kali….masukkan” ucapnya. “Iya…oh…udah…ah…ah….ah…tiga..kali…seks…” ucap Cindy.

“oh…say…ang…nikmat..banget…oh…”ucap Pria itu, suara membuatku jijik dan marah.”Oh…jik…jika…mau…oh…kita…nikah….oh…kita…ga…perlu….oh…oh…oh…pikir…mereka..oh…ti…ngggal…cera…i,”ungkap Pria itu merancau ingin memiliki Cindy. “Semua…ma…suk…ohhh..ke…dal…am….dan,,,cinta…kamu…oh..” ucap Cindy, ucapan Cindy makin aku terbawa emosi. Cindy mempecepat permainan dia memaju dan memundurkan pantatnya, lukisan kaya rupanya membantuku melihatnya.

Kini aku tidak perlu berbalik badan. aku berberdiri dan menyiapkan vas kaca, jika sekali sempat desahan aku akan melmparnya dan keluar. Entah karena apa mengapa setiap nafas menahan emosi dapat kukeluarkan dan mempertahankan Cindy dan Pria itu mempecepat permainan, aku berberdiri dan menyiapkan vas kaca, jika sekali sempat desahan aku akan membantingnya dan keluar. Cindy mempecepat permainan, tapi aku mengamatinya hingga mereka selesai.

Setengah jam kemudian, pria klimaks dan membuang dirahim Cindy, dan saat mereka berdiri. Aku melemparnya kukeluar, mereka kelabakan “ADA APA INI CIN? MAKSUDNYA APA ?” teriakku. “Mas, eh Wirdan aku sangka kau gak pernah tau. Okay kamu tahu udah jelas. Sebenarnya kau gak pernah cinta sama kamu. Sorry aku minta cerai,” ungkapnya. “Tapi kenapa harus terjadi, sekarang kamu seks dengan dia, terus kamu mau hamil dengan dia.” tanyaku dengan mencercar. Aku diam saja, aku berjalan dan menghadap pria itu, “Buk.” Tinju mengenainya, hidungnya patah mengeluarkan darah dan pingsan. “Okay kalian ambil flat ini, tapi kita cerai.” ungkapku dengan penuh emosi kekamar. Aku tidak peduli, aku meberesi barangku tiga koper dan pergi. Sementara Cindy malah sibuk mengelap dan berciuman. Aku pergi ke appartement lain, entah mengapa aku berhenti di Appartement Tamara.

Aku keluar dan menanyakan kamar kosong, Sialnya kamar tersebut didepan kamar Tamara. Aku meminta kamar yang lain, ternyata tidak ada. Kamar Tamara aku ketahui karena melihat daftar nama penghuni. Flat yang dibawah Flatku, mungkin karena itu aku akan mendapatkan hidup yang baru. Aku membayar sewa satu tahun, dan meminta pengelola merahasiakan namaku dengan nama yang lain didaftar penghuni. Aku tidak ingin, Tamara akan menjadi alasan Cindy mengambil hartaku. Aku masuk dan menyusun baju, flat yang bersih. Pintu diketuk, aku melihatnya. Tamara datang, sambil membawa kotak.

Aku kaget, ingin membukanya. Aku takut akan terbongkar, baru satu jam aku tinggal. Masalah baru sudah muncul. Aku memasang handuk dan pura-pura habis mandi, aku membukanya dan memakai bahasa inggris dengan suara diperberat. Tamara tidak menyadari. “I Happy have new neighbors, Lau. And See You Again,” ucapnya Sambil memberikan tangan, aku menyambutnya dan mengagguk. Tamara keluar, aku bisa menangganinya. Akan sulit jika Tamara mengetahuinya. Sore aku pergi ke tempat ibadah dan mencoba menghindarinya, dan aku berhasil keluar untuk pergi.

Setelah ibadah, aku menelepon pengacaraku untuk menyiapkan perceraian. Aku memutuskan untuk pergi minum di berberapa blok dari Appartement. Aku menengah minuman, tanpa sadar dalam 2 jam sudah 4 botol vodka aku habiskan. Aku pulang dengan sedikit sepoyongan, aku pulang ke Flat. Tetapi saat membuka kunci, aku tidak bisa. Seorang membantuku membuka, dia perempuan. Ia membuka pintu dan membawaku masuk, dan menaruhku diranjang. Aku membuka mataku, Pandangku sedikit tidak jelas maka aku menarik tangan perumpuan itu. “Cindy,” ucapku, dengan mata berkaca. Aku menciumnya dan menarik tangannya serta badannya. Aku melupakan pengkhiatannya, sebab aku mencintainya. Tiba-tiba perempuan itu mendorongku, yang kukira istriku. Ia menamparku. Dan pergi, dua menit kemudian dia kembali dan melepaskan sepatuku dan memakaikan selimut lalu benar-benar pergi. aku tertidur, jam berbunyi pukul 6.00. bunyi membengkakan telinga. Aku bangun badan masih terasa capai, aku menelpon Tamara, untuk mengatakan aku terlambat.

Bunyi Handphone Tamara berbunyi dengan lagu Numb dari Linkin Park band yang disukainya. Aku melihat Jas dan kemeja sudah ada dipengangan lemari. Aku keluar, Tamara sedang memasak nasi goreng, dipagi ini. “Tamara, kok kamu tahu aku tinggal disini,” ucapku memanggilnya ia terkejut dan berbalik untung dia mematikan kompor dengan cepat. “Se…sela…selamat pagi pak,” ucapnya dengan terbata-bata. Bahkan dia sudah menyediakan kopi panas, aku bangun dan menenggaknya. “Bapak udah sehat? Kemarin bapak kacau, makanya aku bantu bapak dan minta maaf ke pengelola,” ucapnya dengan khawathir. “Maaf ya repotin Tam, aku lagi ada masalah dengan isriku. Maka aku tinggal disini, maaf pula membuat repot,” ucapku menjelaskan. “Tempat ini cukup bagus, makanya aku pilih disini,” ucapku menambahkan. Kami makan pagi bersama, aku sedikit merasa kaku, karena terakhir kali makan bersamanya ketika makan ramen siang waktu ia melaporkan tindakan Cindy, kini Aku dan Tamara makan bersama. Setelah itu, Tamara pamit untuk bersiap-siap. Demikian dengan aku bersiap karena Tamara sudah mempersiapkannya.

Pagi itu kami berangkat dengan sedikit kaku, menaiki kedaraan umum bersama dan masuk kantor bersama walaupun secara umu, dikantor tidak mempermasalahkannya karena menilai kami tidak ada apa-apa. Aku melanjutkan pekerjaanku, siangnya bertemu dengan pengacaraku untuk mempersiapkan perceraianku. Aku ingin melepaskan Cindy mantan istriku itu, malahan aku masih memikirkan siapa yang aku kecup malam ituyang terlihat seperti Cindy. Mungkin dia Tamara? Rasanya tidak mungkin, aku masih tidak mempercayai kejadian semalam benar-benar terjadi. Dalam tempo dua minggu aku menyerahkan kuasa untuk urusan perceraian. Dengan status yang sama-sama tidak mau rujuk, dalam satu bulan kemudian kami resmi bercerai, waktu itu tepat ketika Iwan sebulan sudah aktif dalam perusahaanku. Iwan pun datang, dengan status yang berbeda dengan dahulu. Ia telah menjadi Pria dengan dua istri aku tidak pernah membayangkannya.

“Hei Iwan, apa kabar? Bagimana Singapore dapat kenyamanan gak ?” ujarku sambil memberikan tangan untuk bersalaman, Iwan mengaggukan kepala. “Katanya kamu abis dari sidang, emang ada masalah apa?” ujar Iwan menyambut uluran tangan. “Aduh disini repot, nanti aja kalo udah pulang.” Kataku, aku lalu memperkenalkan Iwan sebagai Manager Pemasaran kantorku. Dia resmi bekerja dengan aku menunjuk Abdullah sebagai sekertarisnya. “Tamara, tolong atur beli minuman di Flat. Nanti malam dia akan datang ke Appartement,” ujarku Singkat, sebetulnya akum alas memberi tugas, Tamara akan membatasi botol minuman yang dibeli meski aku sering minum diflatku. “Iya pak, saya akan siapkan. Ada lagi pak?” tanyanya aku mengelengkan kepala. Tamara begitu baik terhadapku, bahkan sejak aku tinggal didepan Flatnya ia tidak risih, jika dihari libur atau ada rapat. Dia membangunkan aku dan masak, meski kupikir merepotkan dirinya.

Malam itu, kami ngobrol mulai kenangan masa lalu sampai. Masalah pribadi, “Iwan, gini aku cerai dengan Cindy. Dia selingkuh, jadi aku pindah karena muak dengan kelakuannya.” Ujarku, Iwan terkaget, begitu pula Tamara yang ternyata datang, membawa makanan.”Maaf pak, aku datang. Mestinya gak, aku cuma siapin makanan.” ujarnya sambil membawanya. “Aduh, jadi gak enak nih. Sama kamu, juga soal masalahku jangan kamu sebarin ya cukup kalian sama bos utama aja tau.” ujarku Tamara mengangguk, ia permisi untuk menyelesaikan skripsinya. Aku dan Iwan makan masakan Tamara, begitu enak.

“Hebat kamu dan, bisa menjaga emosimu, aku juga sempat selingkuh.” Ujar Iwan sama pembantuku. “Waktu aku dipecat dia remehkan aku, dan menekan aku. Sedangkan Mia pembantu dia perhatian dan baik. Aku jadi suka dan kami selingkuh. Beruntung Ninda baik, ia mau dimadu.” ucapnya sambil dengan mata berkaca, minuman membuat kami berbicara jujur meski tidak mabuk. “Ini benaran Wan?” tanyaku, Iwan menggagukan kepalanya. “Sekarang dia hamil tiga bulan, aku jadi Ayahdari anaknya.” ujarnya. Aku sedikit menyadari kesalahanku terhadap pernikahanku yang ada kesalahaku yang tidak menanyakan pendapatnya meski aku sudah ambil keputusan sendiri. Aku dan Iwan kembali ngobrol, lalu ia pulang.

Aku mengetuk pintu Tamara, entah mengapa aku begitu membutuhkan dia malam itu. “Iya pak ada apa?” tanyanya. “Bisa bicara, sebentar ?” tanyaku “Bisa pak silakan masuk. maaf jika berantakan baru selesai cicil skripsi.”ujarnya. “Iya, aku mau nanya. Apa yang terjadi saat aku mabuk bulan lalu?” tanyaku. “Bapak mabuk, tidak ganggu sih. Lebih banyak diam dan menatap kedepan. Lalu naik lift, aku mau beli makanan, karena udah laper. Bapak datang sempoyongan dan sulit buka pintu. Aku membantu dan menaruh bapak dikasur dan…” ujar Tamara mengentikan pembicaraan, “apa terjadi selanjutnya. Apa aku melakukan hal yang buruk?” tanyaku “Bapak cium saya, namun bapak masih melihat saya sebagai Ibu Cindy. Makanya saya menolaknya.” ujar Tamara. “Aku minta maaf Tamara, aku memang khilaf waktu itu” ujarku dengan suara lirih. “Iya pak, saya tau bapak khilaf meski..” jawabnya, “Kenapa Tam?” tanyaku. “Tidak apa-apa pak, mungkin saya capai.” ujarnya sambil menguap. Aku tau dia pura-pura, aku akan menunggunya hingga jujur. Aku kembali ke flat

bersambung
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
makasih updatenya suhu....



maaf suhu @wajar22, kayaknya update kali ini ada kesalahan di penulisan atau penebutan nama. yang harusnya Tamara kebalik jadi Cindy, begitu juga sebaliknya yag harusnya Cindy kebalik jadi tamara.
terima kasih atas saran, sudah sedikit diperbaiki
 
Setuju dengan Bung @RAYxy, kayaknya penulisannya agak kurang rapi... Tolong coba diperbaiki.

Saran dari ane:

  1. kalau nulis cerpan jangan buru-buru di-post.

    biasain nulis notepad, wordpad, Word atau semacamnya.
    baca dulu sebelum di-post, supaya salah tulis bisa dikurangi.
terima kasih atas sarannya.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
wew masuk page 2 udah main jotos aje ampe itu idung patah :takut:
 
Lanjutan

Aku memasuki flatku, dan menutupi pintunya. Aku duduk di Sofa, “Hemm, kok jadi sepi ya. Nasibnya duda,” ucapku mengerutu. Aku menuangkan vodka kedalam gelas, Vodka itu sudah habis. Aku menengaknya, “glek..glek.” Aku merasa kurang, aku keluar dan mencari minuman lagi. Cukup sulit, pub yang biasa ku datangi atau sekedar meminta Tamara penuh. Aku mencari minuman, tidak banyak pub atau diskotik yang kutau. Daerah yang kutinggali sebulan adalah daerah perkuliah. Maka aku memilih memberi berberapa botol bir dingin dan makanan kecil di minimarket. Saat ke kasir, aku seperti melihat Tamara ingin masuk kedalam, aku tidak jadi membayar itu dan pura-pura akan mengambil makanan lagi.

Aku ingin memastikan, apakah perempuan itu adalah Tamara atau bukan. Ternyata benar Tamara, ia berbohong padaku. Ia tidak tidur, malah pergi mencari makanan. “Kira-kira, aku masakin Bapak Wirdan bekal gak? Sambil sedikit berpikir ia mengambil berberapa makanan dan dua botol minuman kopi manis dan tiga botol air putih dan memembayarnya. Aku juga pergi kekasir yang berbeda tempat. “Tamara…Tamara…Tamara, tunggu,” ucapku memanggilnya. Tamara berbalik, dan terkejut ia berlari. Aku mengejarnya, aku meraih tali mantelnya. Ia memgunakan mantel karena udara dingin. Aku menariknya, celaka Ia tidak mengenakan mantelnya dengan benar. Mantelnya ku pengang, dan terlepas dari tubuhnya. Ia yang hanya memakai piyama dengan bahan tipis memeluk badan dan berhenti dan jongkok.

“Hey, maaf. Kamu ngapain lari juga, terus pakai bohong segala pake acara Tidur.” ujarku sambil menaruh belanjaanku dan membuka Mantelnya. Aku yang hanya mengunakan Jaket beruntung, Singapura walaupun tropis, musim hujan bahkan terasa dingin terutama pada akhir musim pancaroba menuju musim hujan. Aku menghampirinya,dan jongkok memasangkan mantel. “Thanks, pak. Maaf bangun tadi, aku langung pikir skripsiku malah lapar,” ujarnya. “Mukamu gak kaya tidur. Bibirmu kering dan kamu mengigil. Masih ngontot bicara udah tidur.” kataku menyelidiki. “Iya, aku bohong. Aku lagi bikin skripsi dan lapar.” ucapnya, aku berbalik dan mengambil barang bawanku. Ia mengunakan sudut matanya untuk menyelidiki apa yang kubeli. Aku tahu, inilah yang aku suka darinya cukup pandai membaca situasi. “Ini struknya kamu bisa lihat.”ujarku sambil menyodorkan struk. Ia mengambil, “Mau lihat strukku, mungkin bapak mau baca.” tawarnya “Gak perlu, hanya kamu sekertaris yang punya kebiasaan ngatur kebiasaan yang diluar keperluan kantor. Ayo pulang.” ujarku. Tamara ingin masuk kekamarnya, “Tamara, kamu bawa laptopnya masuk. aku bingung, aku mau lihat skripsimu.” ujarku. “Bentar..bentar..ben…tar, ak…u…ambil..itu…di..kama..r…ru..bah….back..ground,” ujarnya sambil menuju kamarnya. Aku menunggu depan pintu flatnya, ia gelagapan ketika ku minta memperlihat skripsinya, ia muncul. Dengan hanya memakai piyamanya, dia masuk kedalam flatku.

“Lho pak, kok belinya banyak banget. 10 botol lho. Bapak bisa mabuk lho,” ujarnya baru membaca strukku. Aku membuka bir, dan menuangnya dalam gelas dan satu gelas ku berikan pada Tamara. Tamara menolak, “Gak saya gak minum itu. Soalnya…” ujar Tamara. “Kamu itu gak masalah kan. Gak melanggar ajaran agamamu juga. Aku janji walaupun mabuk, aku gak akan kurang ajar sama kamu.” jawabku aku memotong ucapan Tamara. Ia mengambil gelas itu dan meminumnya. “Kamu kedinginan, makannya sekali-kali kamu belajar bergaul sama banyak orang tapi jaga batasan. Ini sulit buat mabuk, kecuali pas dulu aku beli ya paling kuat, tapi karena stress juga sih” ujarku sambil menengak minumanku.

“Coba liat, aku mau liat skripsimu.”ujarku kepadanya. Tamara memberikannya, aku membacanya. “Pak, maaf jika kurang sopan. Beneran apa yang saya dengar tadi Bapak pindah karena Ibu selingkuh?” ucapnya hati-hati. “Iya, sekarang kamu tau. Kenapa saya pindah, dan Ibu Cindy tidak pernah datang. Sekarang pun saya lebih bebas, hanya mungkin kadang kamu sering kritik saya ini-itu.”ucapku, rupanya Tamara sedikit tersinggung. Ia sedikit terdiam, “Pak mulai sekarang, saya gak akan tanya kaya gitu, atau melarang bapak untuk minum.”ucapnya. Aku kaget, Tamara menilai salah apa yang aku katakana, aku cukup suka dengan sikapnya itu. Cindy sering tidak peduli, wajar aku sebagai lelaki cukup butuh perhatian. Terlebih Tamara cantic, seksi dan menarik bahkan lebih dari Cindy.

“Kamu salah menilai pendapatku, aku cukup senang. Hanya, aku pikir perhatianmu lebih dari Cindy.” ujarku sambil melihat ke arahnya, aku menatap wajah sungguh manis dan bibirnya kecil dengan warna merah muda. Aku menatap wajah, aku berusaha tidak meneruskannya. “Ini..harusnya ditulis dengan bahasa yang lebih sederhana. Karena kalau kamu tulis dengan bahasa kaya gini walaupun bahasa inggris kesan pegal kalau diawal.”ujar untung saya aku menemukan kesalahannya menulis. Meski tidak pernah sekolah di Singapore, S2 aku ambil diluar negeri tepatnya Jerman. Aku cukup mengerti pola penulisan tugas ini yang cukup berbeda di Indonesia. “eh…Iya…pak.” Satu jam kami fokus membahasnya, dengan sekali bercanda. Perlahan-lahan aku mulai menyukai Tamara. “Tam, kamu pernah pacaran?” ujarku. “Pernah pak, di Indonesia 2 kali dan Singapore 1 kali. Semuanya putus gara-gara masalah komunikasi, padahal baru jalan 4 bulan semuanya.” ujarnya.

“Lho kenapa, mereka tinggal jauh, berarti sekarang jomblo dong. Emang di Kantor gak ada yang naksir?” tanyaku. “Ada pak, tapi Aku gak suka. Jadi aku menolak, ia awalnya maksa tapi aku gak mau makanya aku ancam lapor ke bapak” ujarnya. “Gak papa, jika gak sopan ngapain diladenin,” ujarku. “Oh iya, kamu tadi mau buat bekal ke Bapak. Gimana jadi gak?” tanyaku sedikit menggoda. “Jadi Bapak udah tahu semuanya?” tanya dia, aku menjadi bingung. “Maaf pak, lupain aja. Aku salah ngomong.” ujarnya. “Tadi obrolan, sampai dimana?” tanya Tamara. “Itu, Lho kamu jadi buat makanan ke saya?” tanya aku mengulang kembali pertanyaan. Tamara berpindah tempat duduk, didepan Sofa yang ku duduki. Ia sudah lebih nyaman meminum birnya.

“Jadi pak, saya buat besok siang.” ucapnya terbata, aku tersenyum. “Terus kamu pernah suka sama sesorang dikantor?” kataku dengan lebih berani. “Pernah pak, tapi saya berusaha untuk melupakannya.” jawabnya. “Kenapa, kalau dia single sih gak papa kan. Siapa tau jodohkan?” ujarku. “Aku gak tau dia suka aku apa gak? Malahan aku mencoba mendekati dia tapi belum ada perkembangan. Dia masih sayang sama seorang,” ujarnya sedikit menunduk. “Yah, sabarlah. Aku juga dulu menilai Cindy sebagai jodohku. Malahan sekarang, dia meninggalkan aku.” ujarku. Tiba-tiba ia berdiri dngan wajah merah padam, “Bapak tau, saya sebetulnya cinta sama bapak. Tetapi saya berusaha melupakan bapak. Tiba-tiba bapak tinggal didepan kamar saya, lalu mencium saya.” ucapnya dengan tegas.

“Bapak mabuk masuk kekamar, awalnya saya curiga dengan Mr. Lau yang gak tunjukin wajahnya. Bapak mabuk, memberikan jawabn, saya membopong bapak kekamar. Lalu bapak malah mencium saya, saya harap itu sebetulnya untuk saya. Tapi saya salah, maka setiap saya buat makanan buat bapak. Saya membayangkan bapak suami saya.” ujarnya, sambil menenggak bir langsung dari botol. Dia sudah menghabiskan 3 botol sedang aku baru dua, Tamara mabu k. Aku menarik paksa botol itu, ia menangis. Rupanya pertanyaanku membuatnya terus menurus minum dan melampiaskan emosinya. Aku menidurkanya diSofa, tubuhnya terlihat seksi, aku menelan ludah, ia merangkulku dan menarikku kedepan tubuhnya, “Pak,cium aku. Tolong aku.” ucapnya mengiba.

Tamara memohon dengan memelas, aku menciumnya. Aku kasihan melihatnya, aku menundukan kepalaku. Tamara mengambil kesempatan itu, Tamara memelukku, dan terus menciumku. Aku mulai terpancing, aku mencium Tamara. Bau parfumnya kembali ku cium, saat terakhir saat ia merapihkan dasiku. Aku merapihkan rambutnya, airmatanya mengalir dari sudutmatanya. Terasa saat aku membelau wajahnya, aku membalasnya. Perasaan berkecamuk, ada rasa sedikit gelisah dan nyaman. Aku mulai terlena. Aku naik kesofa dan menidih badannya, “Ah…pak, kenapa. Bapak mau apa?” tanyanya saat melepaskan ciuman, yang memuatku ingin merasakan kembali. “Gak papa, Cuma…Cuma Tamara. Kamu benaran sayang sama Bapak?” tanyaku kepadanya.

Tamara berkata, “Sayang, aku sayang bapak. Sejujurnya aku mendambakan bapak.”ucapnya dengan lirih. Aku menciumnya kembali, kali ini dengan mersa. Lama kita lalui, awaalnya aku ingin megajarinya dan kebutuhan mencari sekertaris, tetapi Tamara membaut nyaman. Sebulan ini, bahkan aku mau saja Tamara membatasi kebiasaanku. Aku menurunkan ciumanku, aku daratkan ciuman kepipi dan lehernya. “ahh…Pak, terus…terus..”ucapnya sedikit mendesah. Aku makin berani, aku membuka dua kancing piyamanya. “ah…ter..us..ah..ah..ah..”katanya medesah kembali.

Aku mencoba memainkan payudaranya, meski masih mengunakan piyama. Aku dapatkan merasakan Payudara yang cukup padat dan bulat. “32 B?” tanyaku. Tamara menganggu. Aku memainkan nya lagi. “Ah…Pak…terus…terus..oh..oh..oh..”ucapnya kedua tanganku makin asyik memainkanya, sementara mulutnya mencium, dan megigit lehernya membekas dan memberikan bekas cupangan. Aku membuka dua kancingnya lagi, “Ah…Pak…enak…” ucapnya. Selebihnya ia mendesah, tangannya semula memeluk punggungku bergerak liar, tangan menyentuh meja dan benda diatasnya. “PRAANNG.” Bunyi gelas jatuh dn pecah dialantai kami kaget, belum sempat kami sadar. HP Tamara berbunyi, Ibunya menelepon. Kami sadar dan kembali, ia membuka HP dan menjawab telepon, aku mengengam tanganya. Ia menoleh menatapku. Aku sadar, pergi membersihkan kaca.

Satu jam kemudian, Tamara menjawab telepon ibunya. Ia selesai, “Pak, saya buatkan kopi ya.” aku mengangguk. Ia pergi ke dapur dan membuat kopi. Sedangkan aku menyimpan botol bir yang tersisa. “Pak, maaaf saya salah. Saya mengoda bapak, tapi itu tidak akan terjadi lagi.”ujarnya, “Kenapa menyesal? Aku cukup berani, dan baik. Aku juga ada salahnya.”ujarku malam itu kami ngobrol sampai jam 3 pagi sebelum tidur.

Dengan mobil perusahaan, aku mengantar Tamara kekampusnya. Hari ini dia izin untuk bimbingan dan ke perpustakaan. Kami berjanji akan kembali bertemu saat makan siang, Tamara tidak jadi membuat bekal untukku. Ia bangun terlambat, dan lari membangunkankku, untungnya waktu masih sempat untuk tepat waktu kekantor (kami biasa bangun jauh lebih cepat karena jarak cukup jauh dari kantor). “Hey, Iwan gimana gak kesasar kan?” tanyaku pada Iwan. “Gaklah, eh Tamara dimana? Kok gak bareng, berantemnya?”ucapnya berbisik. “Gaklah, dia ada janji sama dosennya buat bimbingan materi skripsi.”ujarku. “Oh, masih kuliah.”tanggap Wirdan. “Wan, aku masih kasih tau. Aku mau menjalin hubungan sama seseorang.’ucapku.”Dengan Tamara?”ujarnya. “Kok tau? Tamara cerita?”tanyaku. “HPnya dan Laptop sama komputer dikantor gambar kamu hanya dikantor dia lukis wajahmu agak buram.”ucapnya. Aku sedikit memahami, Tamara begitu menyayangiku.

Siangnya kamu pulang, dan menyemput Tamara. Seseorang memeluknya. Tiba-tiba aku kesal, aku muak melihat mersa melihat. “Pak udah lama?” tanyanya. “Siapa tadi?” tanyaku. “Lho kenapa pak? Dia temanku.”jawabnya. “Tapi saya tidak suka. Ya sudahlah kita makan dikantin kantor. Aku memutarbalik menuju kanto, “Pak …Bapak kenapa?”katanya dengan mata berkaca. “Kalo gak suka Tamara. Tamara mau kok tandatangani surat resign. Tapi jangan benci Tamara.” ujarnya tersendu,aku memakirkan mobil ke pinggir jalan. Aku menatap wajahnya, aku menghadapkan kepalanya kedepanku. Aku mencumnya, Tamara membalasnya. “Aku cemburu, aku masih belum menerima kamu dekat sama sahabatmu karena butuh waktu.” ujarku. Aku akhirnya merasakan aku mencintai Tamara, meski ini baru permulaan. “Pak, saya sayang bapak. Tapi harap bapak tidak menyepelekannya.”ujar Tamara.

Hari itu, kami makan siang, di sebuah restaurant kecil. Aku mengengam tangannya, siapa peduli. Aku tidak akan melepaskan Tamara, yang mulai kucintai ini. Sejak itu, kami memulai hubungan kami. Tamara orang cukup pemalu, ia menjaga jarak dan kemersaan saat kami dikantor, rapat, atau bertemu klien. Hampir semua karyawan tidak mengetahui kami sudah memiliki hubungan. Tamara makin sering membuatkan makanan diFlatku atau Flatnya, bahkan kami berfoto mersa. Dua minggu kemudian, sebuah surat dikirim atas namaku. Surat dari Cindy, berisi surat tulisan tangan, ia minta maaf dan akan menjalani kehidupanbaru dengan Hendra. Kini ia hamil dua bulan, dan akan menikah tiga bulan kemudian. Aku tersenyum, ia berani menentukan nasibnya, kini aku sudah membuangnya masa lalu, untuk Tamara.

Bersambung
 
Bimabet
lanjutan

Dua bulan berlalu begitu cepat, hubungan ku dekat dengan Tamara, meski aku dan dia belum menjalin hubungan lebih lanjut. “Pak, pagi ini. Saya masakin tonkatsu sama sup sayuran bagimana ?” tanya Tamara, pergi ke dapur untuk memasak sarapan. Ia sudah sering datang pagi hari untuk memasak makanan. “Boleh deh, eh kamu pakai uang sakumu ya. Kalo uangmu kurang, bilang ke saya. Biar aku tambahin, masa bos makan uang bawahan,” kataku menimpali tawarannya. Aku harus berangkat kerja dan pergi ibadah di Sore hari. Tadi malam, aku baru tahu ada pekerjaan belum selesai maka aku hubungi Iwan untuk menyelesaikannya. Iwan baru membaca dini hari, beruntung aku ia mau. Padahal aku berpikir ia akan menolak karena kangen istri.

Aku dan Tamara makan, kopi panas sudah terhidang diatas meja makan. Pernikahanku sebelumnya jarang sakali, awalnya aku berpikir karena Cindy adalah pekerja aku tidak bisa menuntutnya untuk melayaniku. “Pak, kok belum dimakan. Masakan Tamara gak enaknya?” tanya Tamara dengan serius. Perempuan muda yang cantik, yang mau menemaniku ia mencintaiku aku pun mencintainya. Tetapi aku tidak bisa memberikan perasaanku, mungkin saja ia menolakku jika aku meminangnya. “Gak kok, masakanmu enak kok. Hanya aku khawatir aja soalnya kamu lagi skripsi dan kerja juga, takut kamu keganggu mesti buat ini dan itu buat saya,” ujarku menjelaskan. Ia tersenyum,”Buat bapak, apa yang bisa aku kasih. Kenapa gak sih.” katanya sambil mengenggam tanganku.

Aku makan, Tamara tersenyum bahagia melihat aku makan. Ia perempuan cukup polos, sambil menyerupu kopi. 20 menit kemudian, aku menyelesaikan makananku. Hari Minggu ini, kami pergi ke sebuah hotel untuk membicarakan perkembangan bisnis. Aku mendapatkan klien dari luar negeri untuk pengamanan Id Card perusahaannya. Dua jam kami ngobrol, kami berjanji akan bertemu untuk penandatanganan surat. “Tam, baru jam 8.30 nih. Tadi kamu pilih waktunya kepagian. Berutung klien gak masalah,” ujarku sambil menguap. “Bukan gitu pak, Mr. Winston memang mau jam segini atau jam 9 paling telat. Maka saya buat jam 6.00 janjinya. Makanya saya buat sarapan pagi banget,” ujarnya. “Iya deh, kamu memang paling bisa bikin alasan, kita cari tempat ngopi deh.” ujarku sambil bertanya orang lain untuk mencari info café yang buka dipagi hari. Aku meleset, tidak ada, pilihan jatuh ke MCD.

Aku memesan kopi dengan teh hangat untuk kami, kali ini tidak ku biarkan Tamara mengeluarkan uangnya. “Jangan pakai uang kamu, aku yang bayar,” ujarku cukup tegas. Aku mengunakan bahasa Indonesia, aku tidak ingin pembicaraan kami diketahui orang lain. Baru setelah duduk dimeja, kami mengunakan bahasa Inggris, karena kami berbicara menyangkut pekerjaaan. 30 menit berada di MCD, aku memutuskan ingin bicara berdua saja dengan Tamara. Aku mencari tempat yang aman, pikiran tertuju pada ruang kerjaku. “Tam, kita kekantor ya. ada yang aku mau obrolin,” ujarku sambil meraih tangannya pergi dari sana.

Aku menyetop taksi dan menyuruhnya pergi ke kantorku. “Pak, kita ngapain ke kantor. Disana gak ada orang juga,” tanya Tamara. “Gak papa, aku hanya mau ajakin kamu ngobrol, sama minum vodka baru dikasih klien yang minggu lalu ngurusin pengadaan komputer dan sistem keamanan di Malaysia itu, satu botol aku kasih Iwan. Masih ada dua kita minum satu nanti,” ujarku. “Pak, tapi aku…” ujar Tamara, belum sempat ia melanjutkan perkataan aku menempelkan jari telujukku depan mulutnya. Kami sampai dan memasuki lift secepat mungkin, aku mengengam tangannya itu.

Pak, jangan cepat-cepat. Aku pakai hak tinggi, nih kaki saya bisa pengal,”ucapnya dengan manja. Aku menghentikan langkahku senjenak, aku membopongnya, aroma Parfumnya kembali memasuki hidungku. Aroma yang cukup harum dihidungku, “Parfumu wangi banget sih.” ucapku sambil membawanya ke ruang kerjaku. Aku mau berjalan, aku menengok ke ruangan Iwan. Iwan sedang berkerja, aku berjalan dengan pelan. Aku tidak ingin menganggu keyamanan sahabatku itu, meski kami akan menghabisi waktu di kantor.

Sesampainya diruangan, aku mendudukan Tamara di sofa. Aku pergi ke meja kerjaku, mengambil gelas dan Vodka. Aku pun membuka kulkas kecil, rupanya masih ada es batu yang baru dimasukan Jumat lalu. Aku membawa ke meja, “Scress” demikian bunyi penutup botol aku buka. Aku memasukan dua buah es batu ke dalam gelas. Lalu aku menuangkan vodka, dan memberikan pada Tamara. “Pak, saya kurang suka minum,” ucapnya menolak gelas yang aku berikan. “Ayolah, sekali-kali temanin aku minum,” ucapku seraya membujuk ia berpikir dan menerimanya. Kami menenguknya bersama dan ngobrol, waktu menunjukan baru 9.15. Waktunya memang terlalu pagi untuk minum, tetapi tidak apa kami tidak memiliki kegiatan.

Satu jam lamanya kami minum, Tamara mulai menunjukan ia mulai mabuk. “Tam, kamu kuat berdiri. Coba berdiri?” kataku mencoba menjahilinya.”Bisa kok pak, aku kan fokus..eh..eh..kok kakiku pegelnya.” katanya mencoba berdiri, aku bangkit memeluknya. Aku membantunya berdiri. Wajah kami begitu dekat, aku melihat wajahnya yang sayu. Kemudian melihat bibirnya yang kecil itu. Tiba-tiba jantung berdetak kencang, aku putuskan untuk memanfaatkan keadaan ini. “Tamara, kamu benar-benar sayang sama saya?” tanyaku dengan memengang wajahnya dengan kedua telapak tanganku sambil mengelusnya dengan jari-jari. “Iya pak, aku sayang bapak meski bapak tidak mencintai saya. Saya akan mencintai bapak.” Ucapnya dengan suara lirih dan bergetar.

Aku menurunkan wajahku kewajahnya. Kami berciuman, aku memangut bibirnya yang kecil. Dia sedikit terkejut dan diam saja. Dua menit kemudian, ia menyadari bahwa aku benar-benar menciumnya. Ia mendekapku dengan erat, airmata turun dari sudut matanya. Terasa dikedua tanganku. Aku mendudukan ia dimeja, aku menciumnya kembali. Kami saling berciuman cukup lama. 10 menit lamanya, aku mencium. Aku mulai menciumi leher dan pipirnya. “Ahhh…ahhhh..pak….mmmm” ia mulai mendesah. Aku mulai bersemangat, aku ingin menyetubuhinya, tanganku turun ke dadanya. Ia memakai kemeja lengan pendek dengan renda dileher dan kancing. Sebagai penutup ia memakai blus jas warna hitam. Aku melepaskan jasnya itu. “Pak, dingin.” ujarnya, aku membujuk, “Tenang, nanti juga bakal nyaman kok.” Ia sempat bingung, namun mengangguk seperti akan tahu apa yang akan aku lakukan padanya. Aku pergi menuangkan Vodka dan memberinya minum. Ia menengaknya dan menaruhnya di pinggir meja. Aku kembali menciumnya, sambil membuka kacingnya. “ah…pak…terusin..oh..” ucapnya aay aku mencium dan mengigit lehernya ia meremas bahuku. Aku makin bersemangat, tiga kancing terbuka, aku melihat bra yang digunakan abu-abu. Aku makin tak sabar.

Tangan Tamara sudah tidak lagi dipunggung, rupanya ia menyerah dan memberikan kelelusaan aku bermain. Untungnya semua file sudah rapih, aku menidurkan Tamara ke meja, tanpa sadar gerakan kami menjatuhkan gelas. “PRANNG,” bunyi gelas jatuh. Kami tidak peduli, Tamara bangkit ia mencium leherku. Aku merancau.”Ah..ah…mmm…” ucapku. Aku melihat dikaca jendela, ada banyangan didepan pintu ruangan kerja. Aku berpikir itu Iwan. Aku bodoh, aku berkata Masuk aja..wan…ohhh…mmm.” ucapku Tamara mendorongku dan merapihkan pakaiannya.

Aku berbalik untung pakaianku tidak begitu lusuh, Tamara memakai blusnya dengan wajah memerah. Iwan bingung kemudian tersenyum, “Sorry gw kira cuma sendirian. Padahal loe juga ada disini Wir. Sorry banget, Gw pikir ada maling masuk keruangan,” ucapnya sambil tersipu malu. “Kita bicara dipantry ya. Iwan,” ucapku sambil memberi kode Tamara. Ia sudah kadung malu dengan kejadian ini. Sial ketika kami sudah mau melakukannya, selalu aja ada ganjalan yang muncul tiba-tiba menganggu kami. Aku berjalan ke lantai bawah, dan masuk kedalam pantry. ”Maaf wan, aku ganggu kerjaan. Aku lupa kamu masuk hari ini.”ujarku meminta pengertiannya. Ia tersenyum sambil memiringkan kepalanya dan berkata.

“Gak papa santai, anggap aja gak pernah terjadi,” ucapnya dengan kalimat yang santai padaku. “Aku bisa minta kamu rahasiakannya, sama orang-orang kantor kan?” ucapku meminta kepastiannya. “Santai bro, aku gak sempurna kok. Bahkan aku hamilin pembantuku sekarang jadi istriku,” ucap Iwan sembari tangannya merangkul tubuhku. Aku nyaman ia sudah berjanji, ia memang sahabat yang dapat diandalkan jika ada masalah pribadi. “Iya aku tau, tapi gw tadi nafsu. Ditambah ada loe, gw malah izinin langsung bolehin loe masuk. tambah malu,” ujarku sambil keluar ruangan kami sepakat merahasiakannya. Ia masuk ruangan, 10 menit kemudian ia keluar. “Wir, ini filenya. udah bro santai aja. Aku gak bakal laporin kok. Toh loe sama istri loe udah resmi ceraikan bulan lalu. Sampaikan maafku padanya,” ucap Iwan sambil keluar ruangan.

Aku masuk ruangan, Tamara tertunduk malu. Aku mendekatinya. “Tam, maafin saya. Saya bersalah,” ucapku sambil setengah merangkulnya. “Udah pak, mungkin udah seharusnya saya pergi dari bapak. Biar semua mimpi saya untuk sama bapak jadi impian saja,” ucapnya sambil beranjak ingin pergi. Aku menariknya, dan memeluknya. “Kamu itu penting bagi saya. Saya membutuhkan kamu,” ucapku menenangkan ia. 20 menit kami pulang, kembali ke Apartement kami. Sorenya kami pergi, Tamara masih diam saja. Aku coba menawarkan makan malam, ia menolak. “Gak usah pak. Besok aku ada ujian skripsi pak,” katanya. Aku menyetujuinya, ia berjanji akan memasak makan seperti biasanya. Maka kami berbelanja, dan membeli bahan makanan.

Ia memasak makanan dan mengantar ke Flatku lalu pergi. Aku izin menemaninya, ia senang aku menemaninya dan tidak bekerja. Namun perasaanku salah, Tamara serasa sedikit mengambil jarak padaku. Hal berlangsung dua minggu, aku mulai gerah dengan caranya itu. Ia mengajukan pengunduran diri saat aku dan dirinya lembur. “Pak, bisa saya minta tanda tangannya. Ada yang perlukan untuk minta tanda tangan bapak” ujarnya. “Lho apa? sini biar saya lihat suratnya.” ujarku meminta surat dari tangannya. Aku terkejut, ia meminta persetujuan penguduran diri,” MAKSUDNYA APA INI TAM. KAMU SERIUS DENGAN APA YANG KAMU TULIS,” ujarku dengan kata yang keras. Ia menangis, “Saya malu pak, meski gak ada tau. Saya malu dengan kejadian kemarin,” ucapnya.

“Tetapi Gak Seharusnya Kamu Memilih Ini,Kamu Tahu Kamu Cukup Punya Kelebihan,” ujarku menahan emosi. “Iya saya tahu, tapi saya minta pengertian bapak. Saya takut semua tahu.” ujar Tamara memohon. “Emang kalo semua tahu kenapa? Kamu single aku single tidak masalahkan.” ujarku. Ia terkejut, “Jadi, Bapak udah resmi cerai?” ujar Tamara. “Iya, jadi gak ada masalah. Aku pengen kamu jadi punya alasan untuk pergi,” ujarku menegaskan sambil membuang suratnya, ia menganggukan kepalanya. Besoknya aku mengirim memo untuk tidak mengizinkan surat pengunduran diri Tamara disetujui. Paginya kami siap untuk rapat divisi, Iwan menghampiriku sebelum rapat. Kamu kenapa Wir? Gak biasa bawaan cemberut,” tanyanya kepadaku. “Tamara malu sama aku, wan. Dia masih bingung sama kejadian kemarin. Untungnya dia masih belum aku apa-apain,” ujarku sambil mengela nafas, Iwan tersenyum dan berkata, Ya udah, kamu nikah aja. Toh gak ada halangan kok.” ujarnya menenangkanku.

Wirdan mengajak berbicara dengan berbisik, Iya sih, tapi gw sayang, dan pengen miliki dia. Tapi sejak hari itu gw mau nyetubuhin dia.” ujarku pada Wirdan menjelaskan bagimana aku ingin bersetubuh dengan Tamara, aku mencoba menahannya. “Kalau gitu, gw gak bisa janji bakal bantu loe tapi gw usaha bantu sebisa gw,” ujar Iwan ia ingin menawarkan cara aku mendekati kembali Tamara. “Tapi, Tamara gak loe maininkan? Kasihan dia,” ujar Iwan menjelaskan. Aku menyiritkan keningnya ketika Iwan menawarkan bantuannya. “Serius nih Wan, aku bukan minta diajarin lho.” ucapku sambil tersenyum. Iwan tersenyum, kami rapat dan berjanji melanjutkan pembicaraan pada makan siang.

Iwan minta izinku untuk menanyai Tamara tentang perasaannya kepadaku. Aku mengizinkannya, semoga Iwan dapat melamarnya. Aku ingin melamarnya menjadi istriku.

Bersambung.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd