Malam tahun baru,malam perganitan tahun. Malam dimana semua orang merayakan kebahagiaan akan tahun yang baru. Ramai-ramai mereka mengucapkan resolusi untuk tahun yang baru ini. resolusi? Ha ha ha mungkin mereka hanya ingin ikut-ikutan tren saja, jelas saja mau resolusi, mau resoles, mau rempeyek yang jelas adalah begadang. Dan yang ada dipikiranku, resolusi tidak perlu menunggu tahun baru, setiap hari buatlah resolusi untuk hari esoknya. Simple kan, everyday is a brand new day. Hei... kenapa melenceng dari situasiku saat ini?
DOOOOR!
TUAAANG!
Ya aku berlari dengan posisi merunduk, terdengar suara tembakan dari arah belakangku. Tepat ketika suara itu terdear, aku tersandung dan hampir terjatuh untungnya saja kedua tanganku bisa berhasil menahan tubuhku dan kembali berlari. Untunglah, dan untunglah tembakan mereka meleset, hanya mengenai angin yang berada disekitarku .
Berhenti! ucap seorang lagi. Aku masih berlari dan melompati pagar taman setinggi kurang dari 1 meter, mungkin 0,75 meter. Aku melompatinya dengan degup jantung yang berdetak dengan sangat kencang dan hingga aku melompatinya kuteruskan 1000 langkahku. Sekarang posisiku berada dijalanan perumahan elite, jalan dimana aku datang tadi. aku berlari berlawanan arah dengan arah, entah kemana tujuanku saat ini.
Berhenti atau aku tembak! ucap lelaki satu
Cepat kejar dia! teriak ayahku dari kejauhan dan aku masih bisa mengenali suara ayah
Kejar dia bodoh! Tembak! teriak aspal
cepat! teriak om nico yang mulai samar aku dengarkan karena posisiku menjauh
Sial bagaimana ini? kalau mereka menembakku lagi bisa jad arghhhh.... sial! Eh.... zig-zag! bathinku mengingatkan aku agar berlari zig zag, seperti dalam film-film action dimana berlari zig-zag dapat mengecoh penembak.
Aku kemudian berlari zig-zag menjauh dari mereka.
DOR... DOR...
BERHENTI BAJINGAN! teriak lelaki satu
BERHENTI! teriak lelaki dua yang bersautan dengan lelaki satu
Dua tembakan melewatiku tanpa mengenaiku, menyapa angin disamping, lariku zig-zag mengindari para penembak amatiran ini. Aku terus berlari zig-zag dan terus berlari tanpa mempedulikan mereka yang ada dibelakangku. Tanpa mempedulikan keberadaan mereka.
cepat kalian kejar bajingan itu, jangan menembak lagi bisa ketahuan warga teriak ayah yang samar-samar aku dengar dengan jarakku yang semakin jauh.
Bagus, aku suka sekali kebodohan ayah. Mana ada yang tahu kalau itu adalah suara ledakan pistol. Pasti mereka menduga itu adalah suara kembang api. Tapi dengan mereka tidak menembak aku sedikit lega. Dalam posisi masih berlari zig-zag, Aku menengok kebelakang dan kudapati dua lelaki itu mengejarku jauh dibelakangku. Ku kembalikan fokusku untuk berlari zig-zag untuk berjaga-jaga jika saja mereka menembakku lagi, hingga akhirnya tepat di sebuah gang aku berbelok masuk ke gang tersebut. Ya ini adalah gang dimana aku berangkat, gang dimana kenangan akan sebuah memori indah. Tepat ketika aku memasuki gang, kulihat sebuah lampu baru saja padam. Aku yakin itu adalah lampu sebuah mobil tapi entah mobil siapa. Aku kini berlari lurus tanpa zig-zag. Semakin aku melewati gang ini semakin ingatanku kembali ke masa itu. Argh... bodoh! Aku terus berlari, aku harus masuk ke kebun singkong itu. Tidak, tidak bisa jika dilihat dari jarak kejar kedua lelaki itu pasti mereka tahu aku masuk kesana dan bisa saja lariku terhambat. Aku tidak tahu situasi dari kebun singkong itu, kalau kejeblos dan kesleo bagaiman? Aku harus bagaimana?????! Aku yakin mereka tidak akan melihatku jika aku bisa bersembunyi di salah satu rumah ini.
Semakin dekat dengan tempat dimana cahaya lampu mobil itu padam.
Bu Dian! bathinku. Ya itu adalah mobil bu dian, kenapa ini? kenapa bathinku mengatakan untuk kerumahnya?
Arah lariku menggeser merapat ke arah deretan rumah bu Dian. Mengikuti aliran perasaanku.
Aku melompati parit....
Tanganku menangkap tiang besi yang menjadi pagar rumah bu dian....
Dengan masih dalam kondisi sehabis melompati parit, aku langsung melompati pagar besi itu....
Rumah bu dian terletak diatas, jadi setelah pagar ada sebuah taman yang tingginya hampir sama dengan pagar rumahnya. Brugh... dengan posisi tubuh sedikit merangkak aku menaiki bukit kecil taman bu dian. setelah sampai di atas, aku melihat bu dian sedang berjalan menaiki tanggak kesil menuju pintu rumahnya, tangan kanannya mencari kunci di tasnya. Dia tidak menyadari akan kehadiranku. Aku langsung berlari ke arahnya.
Bu Dian! ucapku keras dengan memegang kedua bahunya. Bu dian mengenakan kaos tanpa lengan panjang yang ditutupi dengan sweater lengan panjang yang terbuka (mirip jaket tapi tanpa resleting), dan celana panjang model pensil. Tas kecil menggantung di bahunya. Ketika aku berkata kepadanya tangan kanannya masih di dalam tas, tatapan matanya adalah tatapan mata terkejut dan kebingungan
Si... siapa kamu? ucapnya gugup, jelas dia tidak tahu siapa aku, wajahku aku tutupi dengan masker dan juga kaca mata hitam.
ini aku bu, arya! ucapku sembari membuka kaca mataku
Ar... Arya.... kenapa kamu ada di sini? ucapnya tiba-tiba, langsung aku memakai kacamataku kembali
tolong sembunyikan aku, Aku dikejar oleh orang yang akan membunuhku, aku butuh tempat bersembunyi, tolog aku bu! ucapku. Tanpa berpikir panjang aku langsung berlari ke arah belakangnya, ke arah tempat mobil bu dian diparkir. Mungkin aku bisa bersembunyi di dalamnya.
Kuambil sebuah batu dengan tangan kiriku dan langsung aku lempar ke atap rumah tetangga bu dian. Dengan tujuan agar ada kegaduhan disebelah rumah, sehingga orang-orang yang mengejarku tidak mencariku di rumah bu dian. Aku terus berlari ke arah mobil bu dian, sreek... bugh... aku jatuh terjungkal tepat di belakang mobil bu dian, kepalaku terbentur lantai paving.
A... teriak kecil bu dian yang melihatku jatuh, namun aku tidak mempedulikannya. Aku langsung berlari ke samping mobil
Bu... Buka pintu mobilnya, cepat! ucapku
Eh... belum aku kunci ucap bu dian
Ingat, Ibu bersikap biasa saja ucapku yang langsung masuk ke dalam mobil, clek... Kulihat dari dalam wanita itu tampak sedikit bingung dengan keadaan yang didekatnya sekarang dan dia kembali pada posisi melangkah menuju pintu rumahnya. Suasana kembali hening sesaat.
ARGH! SIAL KEMANA LARINYA Teriak lelaki pertama yang aku dengar, aku kemudian merebahkan tubuhku di tempat duduk belakang mobil, tepatnya dibawah kursi.
HEI KAMU! JANGAN BERGERAK! BUKAKAN PINTU ATAU KAMU AKU TEMBAK! teriak lelaki ke dua kepada siapa aku tidak tahu. Entah bagaimana geraknya aku tidak tahu
CEPAAAAT! teriak lelaki satu
I... I... ya jangan tembak... ucap bu dian, yang kemudian aku dengar langkah kakinya menuju gerbang. Kriieeeeeeeet.... suara pintu gerbang rumah dibuka.
Kamu tadi lihat lelaki berlari ke arah sini?! bentak lelaki satu kepada bu dian
Trap... trap... trap suara langkah kaki seorang dari mereka. aku rebahkan tubuhku di bawah kursi belakang mobil. Degup jantung berdetak dengan sangat kencang, nafasku ku hemat agar tidak menimbulkan bunyi. Keringat mulai melukis seluruh tubuhku, panasmulai menyelimuti seluruh nyawaku.
tidak aku tidak tahu, hanya tadi ada sekelebat bayangan lari ke arah sana ucap bu dian
Tidak ada tanda-tanda orang itu lari kesini ucap seorang lagi dekat dengan mobil tempatku bersembunyi
SIAPA?! Maling?! teriak seorang lelaki yang tidak aku ketahui siapa, suaranya keras tapi begitu samar aku dengar dari dalam mobil
hei bro, disamping ucap seorang lelaki satu yang semula berbicara dengan bu dian
Trap... trap... trap... suara langkah kaki menjauh dari mobil, ya lelaki dua menjauh mengikuti instruksi dari lelaki satu. Membuat nafasku dapat aku hembuskan dengan sangat lega, semburan kenikmatan bernafas diruanng bersuhu tinggi ini.
Ya sudah mbak , silahkan istirahat. Hati-hati tadi ada maling yang lari kesini, kami intel jadi mbak tenang saja ucap lelaki satu yang aku dengar samar dari dalam mobil
Iya, aku akan hati-hati ucap bu dian, yang kemudian terdengar suara pintu gerbang tertutup
INTEL GUNDULMU PEYANG SU! Bathinku berteriak, bagaimana tidak? Penjahat mengaku intel.
Kucoba mengatur kembali formasi nafasku untuk melegakan jantungku. Hanya atap bagian dalam mobil yang sekarnag menjadi pemandanganku satu-satunya. Keringat-keringat yang melukis tubuhku mulai lelah dan berjalan kebawah tubuhku. Rasa lelah, kantuk, takut, gelisah bertemu menjadi satu seakan-akan menghajarku saat ini.
Ada apa pak? ucap lelaki satu sangat samar terdengar dari dalam mobil bu dian, walau suaranya terdengar sangat kecil tapi dapat aku dengarkan.
Tadi ada suara gaduh, entah siapa tapi suaranya keras ucap bapak tetangga bu dian yang rumahnya aku lempari batu
Entah pembicaraan apa yang mereka lakukan, percakapan mereka mulai tidak bida aku dengarkan. Rasa-rasa ingin segera keluar menghirup udara segar semakin berkobar. Sudah tidak tahan dengan suasan ini, namun jika aku keluar saat ini bisa jadi aku akan jatuh dalam pelukan kematian. Aku melihat sekelebat bayangan melewati mobil dan kemudan masuk kerumah bu dian. bayangan dari sorot lampu teras rumah yang masuk ke dalam mobil bu dian. Dan dapat aku pastikan dengan jelas itu adalah wanita yang menolongku malam ini, bu dian.
Dari dalam mobil tanpa udara masuk ini, semakin lama nafasku semakin sesak. Tak kudengar lagi suara-suara kemarahan. Perlahan aku mendengar sebuah deru suara mobil datang, Kemungkinan mobil yang datang itu adalah mobil ayah dan lainnya. Mobil itu berbunyi dan berhenti, terlihat sangat dekat dengan posisiku sekarang mungkin berada tepat di depan dirumah bu dian. tak ada suara pembicaraan atau obrolan yang aku dengar, nafasku semakin lama semakin sesak. Kurang lebih setengah jam lamanya, aku berada di dalam mobil ditemani oleh suara mobil mereka. menahan panas dan sesak. Mungkinkah aku akan mati kehabisan nafas di dalam sini?
Dasar ******! Sudah tinggalkan tempat ini, nanti warga curiga! teriak ayah samar
Baik bos ucap kedua lelaki bersamaan
Klek... klek... suara pintu mobil tertutup....
Suara ketiga mobil itu menghilang...
Aku masih rebah di dalam mobil, ku coba mengusap keringat-keringat dipipiku. Nafasku masih mengalir, menandakan masih ada sisa oksigen yang bisa masuk ke dalam paru-paruku. Aku akan mati kehabisan nafas, aku akan mati kekeringan didalam sini. Kulihat telapak tangaku sudah banjir keringat yang tak tahu dari mana asalnya. Kuusap keningku.
Aduh sial...! bathinku, keningku ternyata luka akibat jatuh tadi
Setelah beberapa menit suara mobil-mobil itu menghilang...
Tok tok tok...
Eh... aku terkejut adanya ketokan pada pintu depan mobil, aku bangkit dan kudapati bu dian berada disamping kanan mobil
Ayo cepat masuk kerumah... ucap bu dian
Aku kemudian bangkit dan merangkak ke jok depan mobil. Ku buka perlahan pintu depan mobil sebelah kiri...
sudah tenang mereka sudah pergi, masuk lewat pintu samping ucap bu dian yang menunjukan pintu samping rumahnya yang langsung menghubungkan dengan tempat parkir mobilnya
hash hash hash iya... ucapku sambil merunduk aku berlari dan masuk lewat pintu samping yang sud terbuka itu
Aku masuk, dan kudapati diriku di ruang keluarga rumah bu dian. ada sofa dan sebuah TV LED yang berada didepannya. Aku langsung rebahkan tubuh atasku di sofa dengan nafas terengah-engah. Kulepas semua pakaian tebal yang menempel di tubuhku, hanya kaos yang aku sisakan. Selang beberapa menit, bu dian masuk dan menutup pintu samping rumahnya. Menggunakan kaos longgar tanpa lengan dan celana ketat hingga menutupi lututnya.
Kamu ndak papa? ucap bu dian yang berjongkok didepanku
Hash hash hash hash hash ndak papa bu ucapku
Kenapa bisa ada orang yang mengejarmu? Kamu habis apa? ucap bu dian
Hash hash hash hash hash ceritanya panjang, boleh saya minta minum bu? ucapku
Eh iya... maaf aku ambilkan dulu ucapnya bangkit melangkah meninggalkan aku
Itu bisa diminum bu? Hash hash hash ucapku sambil menujuk ke dispenser
Eh bisa ucap bu dian, aku langsung bangkit dengan cepat aku masukan mulutku ke kran air dingin dan langsung aku buka.
Glek glek glek Glek glek glek Glek glek glek...
Pelan mas... ucap bu dian
Glek glek glek Glek glek glek Glek glek glek... masih dalam posisi menyeruput dan mengacungkan jempol
Seakan seperti mengalami musim kemarau 100 tahun yang di guyur oleh badai air. Keringat-keringat yang mengalir di leherku menandakan mereka sudah bosan bersamaku. Hembusan angin membuatku merasakan sejuk.
Hash hash hash hash... hufth... selamat...
terima kasih bu telah menyelamatkan hidupku ucapku sambil duduk bersimpuh dengan kedua tangan mencengkram lututku
Hash hash hash hash hash hash hhhhaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasssssh....
Istirahatlah, aku buatkan teh hangat ya mas? ucap bu dian
Eh... i... iya bu terima kasih hash hash hash hash has ucapku sedikit heran dengan kata-kata yang baru saja dia ucapkan
Nafasku masih tersengal-sengal, kucoba menstabilkannya. Kupejamkan mata ini, mencoba menginngat apa yang terjadi. Terdengar suara ting-ting-ting tanda bu dian sedang mengaduk sesuatu di dapur sana. Rasa takut, gelisah, kantuk, lelah sedikit bosan dan mulai pergi, yang ada sekarang hanyalah rasa aman ketika dekat bersamanya. Selang beberapa menit, aku sudah kembali tenang walau nafasku masih belum bisa teratur. Aku bangkit dan menuju dapur dimana bu dian berada, dengan langkah gontai dan kepala terasa sedikit pusing karena terbentur paving. Kulihat tatapan matanya adalah tatapan mata seseorang yang sedang megkhawatirkan sesuatu. Matanya terus melihat ke arah gelas dengan air yang terus berputar itu. Rambutnya begitu panjang hingga menyentuh pinggulnya, baru kali ini aku bisa melihat rambut panjang bu dian atau memang aku tidak pernah memperhatikannya sama sekali? Sedikit aku terkesima oleh pemandangan itu namun paru-paru ini minta untuk diisi kembali dengan asap dunhill.
Bu, saya tak kebelakang boleh? ucapku
Eh... iya, silahkan mas ucap bu dian, aku mengangguk dan tersenyum.
Entah ada yang aneh dari kata-katanya tapi belum bisa aku temukan dalam kondisi seperti ini. pikiranku masih diselimuti kegelisahan dan kekhawatiran namun aku masih bisa tenang bersamanya. Aku kemudian melangkah menuju halaman belakang rumah bu dian. ku buka pintu belakang rumahnya, terlihat sebuah sedikit tanah lapang berhiaskan rumput jepang dengan kolam ikan yang airnya terus mengalir ke atas karena bantuan pompa. Tepat disamping pintu ada sebuah kursi dan meja. Aku kemudian duduk di lantai bawah, ku ambil sematpon dan dunhill. Kusulut sebatang dunhill... fyuuuuh.... beberapa semburan asap membuatku sedikit tenang malam ini. Sematponku, ingin akku membukannya, membuka rekaman video yang baru saja aku rekam tapi aku urungkan takut jika Bu Dian mengetahuinya.
Rasa sayange... rasa rasa sayange. (buat reader jangan sampe lupa lagu negara kita). Ringtone HP. Ayah.
Aku terkejut melihat nama dilayar sematponku. Pikiranku menjadi keruh dan sangat keruh ketika melihat nama itu. Nama yang selalu membuatku marah, nama yang membakar emosiku. Sebentar aku melihatnya dan tak ada ide yang masuk ke dalam otakku. Hingga nada ringtone itu berhenti aku tetap tidak mengangkatnya. Kemudian panggilan kedua dari ayah datang lagi menghampiriku untuk kedua kalinya.
bagaimana ini? eh... eh... oh iya, pura-pura bangun tidur bathinku, aku pun tersenyum
Hallohh siapah nihh?
Arya, ini Romo, kamu dimana? Sedang apa?!
Hoaaaammmmm... Romo... hoaaammmm... dikos teman romo ughhh... nyam... nyamm.... ada apa romo?
kamu lagi tidur?
tepatnya bangun tidur mo, tadi begadang ndak kuat... ini juga bareng sama temen-temen hoaaaaaaaaammmhh...
Oh ya sudah, romo kira kamu diluar
iya romo, arya mau tidur lagi gih... ngantuk bangethhh hufthh...
Ya sudah, kamu tidur lagi saja
iya hoaaaam romo tuuuuuuuut.....
Hufth... aman.... aku kembali terduduk dan bersandar pada kursi halaman belakang bu dian, kuselonjorkan kakiku. Aku pandangi langit, dan aku berharap semoga saja telepon barusan membuat romo yakin kalau aku benar-benar tertidur dikos temanku. Langit seakan tersenyum kepadaku saat ini, tersenyum atas keberhasilanku selamat dari kematian. Bintang-bintang melambaikan tangannya menandakan sebuah kebahagiaan atas keberhasilanku.
Ehem... mas ini tehnya ucap bu dian yang diawali dengan berdehem, membuatku sedikit terkejut dengan kehadirannya tanpa suara itu. Bu dia kemudian menyerahkan teh hangat itu dan duduk bersimpuh disampingku dan menghadap ke arahku. Aku menoleh ke arahnya, memandang wanita tersebut. Wajahnya begitu datar dan kekhawatiran tergambar di wajahnya.
Oh, iya bu terima kasih ucapku, kuraih teh hangat, segera aku sruput minuman hangat dari bu dian. Rasa hangat mulai menguasai dadaku, seakan mengatakan inilah yang aku butuhkan.
aaahh... mantab bu ucapku, dengan senyum ke arahnya.
Egh... aku sedikit terkejut, tiba-tiba bu dian duduk disampingku pandangan matanya mengahadap ke arah yang sama dengan pandangan mataku. Pandangan menatap ke teras belakang rumahnya.
Bu... ucapku mencoba menolak ketika tangan bu dian merangkul lengan kiriku, dan dipeluknya erat. kepalanya bersandar ke bahuku.
Kenapa? apakah tidak boleh mas? ucapnya hening sesaat
dulu bocah itu juga melakukan seperti ini dan aku tidak melarangnya... lanjutnya dan pelukan bu dian semakin erat, ah aku kalah.
B... bb... boleh kok bu, iya dulu bocah itu memang memeluk bahu kanan bu dian ucapku teringat ketika masa itu aku menunggu bus bersama bu dian.
Aku hanya terdiam disampingnya dengan tangan kananku memegang teh hangat sedangkan tangan kiriku kaku tak bisa bergerak merasakan kehangatan dari wanita disampingku. Bak seekor bateng yang diikat kuat pada sebuah pohonn besar dan tak bisa bergerak ataupun berlari. Rasa lelah, mulai menjalar lagi ditambah dengan rasa dingin dan kantuk mulai menyapaku. Namun perasaan hangat berjalan dengan riang dari kiri tubuhku, seakan membuat semuanya tertunduk dan menyapa kehadiaran perasaan ini.
Mas... ucapnya pelan
Eh... iya bu ucapku dan baru tersadar kalau bu dian memanggilku dengan sebutan mas
hati-hati ucapnya pelan tanpa menoleh kearahku
Iya bu... mmm.... bu ucapku
iya... jawabnya
dipanggil arya saja ndak papa kok bu, biasanya juga arya manggilnya ucapku sambil meletakan gelas teh hangat itu
bocah itu memanggilku dengan sebutan mbake-nya aku juga tidak pernah melarangnya ucapnya pelan, dan aku semakin terpojok dalam suasana ini
bu, kenapa harus bocah itu yang selalu menjadi alasan? ucapku
hemmmmm... hmmmm desahnya melepaskan pelukan dan kemudian duduk memeluk kedua kakinya, dagunya diletakan di salah satu lututnya.
tanyakan saja pada bocah itu, kenapa aku selalu menyebutnya... dia sudah berjanji kepadaku ucap bu dian dengan mata terpejam seakan mengingat kejadian dimasa lampau.
Ah, lagi-lagi Ingatanku kembali kepada janji itu tapi jujur saja ku belum bisa menepati janji itu. Janji seorang bocah kepada seorang wanita dewasa yang diselamatkannya. Bocah yang lugu dan polos yang berbicara semaunya sendiri tanpa melihat situasi serta kondisi waktu itu. Bocah yang dengan santainya bergembira karena ada seorang wanita yang berjalan disebelahnya.
Tapi bu... aku sudah mengatakan kepada bu dian kalau aku.... ucapku terhenti.
dan aku jujur akan semua itu... lanjutku
apakah bocah itu masih tetap sama? ucapnya
aku tidak tahu yang jelas di...ucapku terpotong
Dia ada didalam dirimu dan itu adalah kamu ucap bu dian membuat aku hanya tertegun dan diam. Kutarik kakiku hingga menekuk, kedua tanganku aku pangkukan di lututku. Ketika aku mencoba memegang keningku dengan tangan kananku
Auch... ucapku kesakitan karena tak ingat jika keningku terluka
Eh... sebentar mas, jangan disentuh lagi ucapnya yang langsung bangkit dan berlari ke dalam. Aku hanya mampu memandang dengan pandangan kosong melihat dia begitu sangat khawatir. Selang beberapa menit bu dian keluar dari balik pintu belakang rumahnya dan langsung duduk bersimpuh di hadapanku dan mengusapkan kapas yang telah dibasahi.
ouch... pelan bu ucapku megaduh, dan baru aku tahu itu adalah alkohol yang membasahi kapas itu
eh... maaf, masih sakit? ucap bu dian
heem... ucapku, tanpa bisa aku menolak perlakuan bu dian
Dengan penuh kelembutan dia mengusap luka pada keningku. Luka pada kening yang sangat dekat dengan rambutku. Kulihat matanya sedikit berkaca-kaca ketika melihat lukaku, seakan ada kekhawatiran yang sangat besar didalam mata itu.
Bu... sudah bu, sudah ndak papa tenang saja ucapku pelan
kamu... hati-hati kenapa sich? Aku kan selalu bilang kepadamu mas! Agar hati-hati! Sekarang lihat kamu terluka tadi juga di kejar-kejar orang bersenjata... mana ada orang yang melihat itu semua bisa tenang?! ucap bu dian agak sedikit keras, matanya berkaca tapi tak ada air mata yang keluar. Dahinya mengrenyit, seakan aku kembali ke masa itu, dan aku tersenyum sendiri dihadapannya.
tenag bu, saya masih hidup... ucapku pelan membuat bu dian terkejut seakan dia mengingat sesuatu
kamu masih tetap sama, itu juga yang dikatakan olehnya ucapnya, dibuangnya kapas itu, kedua tangannya kemudian bersedekap dan bibirnya maju. Bu dian kemudian beranjak dan duduk disebelah kiriku lagi. Diraihnya dengan keras tangan kiriku, dipeluknya erat.
Sama? Ah, lagi-lagi bocah itu, lagi-lagi bocah itu. Bocah yang ngomong dengan seenaknya saja setelah maut menghilang. Seperti saat ini bocah itu juga mengatakan hal yang sama kepada wanita yang sama. Ingatan-ingatan yang selalu kembali ke dalam pikiranku, ingatan-ingatan yang bangkit layaknya mayat hidup yang mulai menggerogoti pikiranku.
Bu... ucapku pelan
Hmmm.... jawabnya
Bolehkan aku menginap satu malam ini saja sampai esok hari? ucapku
Heem... balasnya
terima kasih... ucapku
Tak ada kata-kata lagi terucap dari mulut kami berdua. Hanya memandang langit yang warnanya berubah-ubah karena letusan kembang api yang masih terus terbang di langit. Walau tak terlihat, namun cahayanya masih bisa kami lihat. Langit kini tersenyum sangat lebar, menjadi saksi kebersamaanku setelah rembulan. Bintang-bintang, walau cahayanya redup karena cahaya kembang api tapi tak bisa mereka sembunyikan cahahayanya ketika melihatku bersama wanita ini. Kulirik wajah wanita ayu ini, dia tampak lelah dan ngantuk.
Bu dian sudah ngantuk? tanyaku
belum balasnya yang semakin erat memeluk tanganku
tapi wajahnya sudah kelihatan ngantuk bu balasku
aku ngantuk kalau kamu ngantuk jawabnya terlihat judes, kuselonjorkan kaki kiriku dan kutekuk kaki kananku. Kurebahkan pipi kananku di lutut kananku, kupandang wajah wanita ayu yang selalu membuang wajahnya ketika aku memandangnya.
Bu... ucapku pelan
Ngomong terus! ucapnya
Eh... boleh tanya lagi? ucapku, walau takut aku memberanikan diriku
APA? balasnya tanpa menoleh sedikitpun
Anda itu siapa? ucapku
bukan urusanmu! balasnya jutek
Eh... maaf... ucapku sedikit kecewa dengan jawabannya, kenapa juga aku harus menanyakan hal itu kepada wanita yang tidak akan aku pilih
Aku ngantuk bu, boleh aku tidur di sini? ucapku
Eh... jangan, disini dingin, dikamar belakang saja atau dikamarku ucapnya yang kemudian memandangku dengan rasa khawatir
Ndak usah bu, tubuhku kotor tidur disini juga sudah cukup atau kalau diperbolehkan, aku tidur diruang tamu saja ucapku
Dikamar saja nanti kamu sakit! ucapnya sedikit membentak
ndak bu, di ruang tamu saja ucapku yang kemudian bangkit berdiri dan diikuti oleh bu dian
ya sudah, tapi jangan ngrokok di ruang tamu! ucapnya
iya... bu balasku