Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

When The Sun Goes Down (NO SARA)

Episode 3: Beautiful Day
=====

Senyum lebar di wajahku tertanam dari awal aku memejamkan mata hingga aku membuka mataku di pagi hari yang cerah ini. Mood-ku juga menjadi sangat baik dan aku ingin terus menyampaikan ke dunia bahwa aku merasa sangat senang saat ini. Akupun langsung memanfaatkan kondisiku saat ini dengan membereskan kamarku yang sangat berantakan dan aku juga langsung bebersih sebelum kembali melaksanakan tugasku.

Tubuhku terasa sangat segar meski sebagian tulangku terasa remuk setelah moshing semalam. Otak dan hatiku yang sedang jernih juga sangat membantuku selagi menulis artikel tentang acara tadi malam. Bahkan hingga saat ini juga, aku masih terbayang-bayang oleh paras cantiknya Tiara. Gila, senyuman itu masih menghantuiku dan aku sama sekali tidak keberatan dengannya.

Setelah selesai menulis artikel, aku langsung beranjak mengambil hapeku yang sedang diisi daya. Alangkah terkejutnya aku melihat begitu banyak notifikasi dari media sosialku. Jumlah pengikut akunku dan band juga meningkat cukup tinggi hanya karena aku memberontak dan menaiki panggung untuk menyanyikan lagu “Dilarang di Bandung”.

Namun semua itu tak ada artinya bagiku. Semua notifikasi ini berasal dari orang yang tak dikenal, dan sebagian dari mereka juga hanya mencantumkan akunku di stories mereka mengabadikan momen aku menjadi vokalis. Lagipula, aku juga tahu apa yang mengalihkan pikiranku.

“3 messages from Tiara”

Aku yang salah tingkah langsung berjingkrak-jingkrak di kamarku. Rasanya aku tak pernah segirang ini hanya karena perihal romansa. Lagipula kan belum tentu juga percakapan ini bisa terus berlanjut, kenapa aku malah sebahagia ini?

“Kak fadill, ini foto2 yang kemaren yaa, sumpah kak fadil keren banget di foto ini” ucapnya lewat chat.

*tautan foto*

“Kalo mau di post tag aku juga ya kaak hehe makasiiih ✨

Aku kembali melihat foto yang kulihat semalam, dan hasilnya ternyata jauh lebih bagus dari yang kulihat semalam. Kualitas kamera memang tidak dapat berbohong, namun semua juga tergantung dengan bagaimana pilot mengendalikan alatnya. Sama saja seperti jika kamu memiliki alat musik yang harganya selangit namun tidak digunakan dengan semestinya.

Setelah menjawab pesan dari Tiara, aku juga jadi ikut penasaran melihat portofolionya yang dia ceritakan semalam. Malam itu aku tidak menyadari akun pekerjaannya, dan setelah kulihat lagi bahkan pengikut akun jasanya lebih banyak dari band kami. Melihat klien-kliennya juga sepertinya Tiara memiliki ratecard yang tinggi.

Tak lupa juga, aku melihat akun pribadinya hingga ke postingan yang paling bawah. Aku jadi tahu bahwa Tiara mulai mengenakan hijab semenjak ia masuk kuliah. Gaya berpakaiannya juga tidak jauh berbeda, ia tidak banyak mengenakan baju minim tapi ia tetap menunjukkan lekukan tubuhnya yang indah, meski bagiku Tiara memiliki auranya sendiri ketika ia menggunakan hijab.

Tak lama kemudian, Tiara kembali membalas pesanku dan responnya yang cukup meyakinkanku membuat perbincangan ini akan kulanjutkan. Gaya ketikannya juga menunjukkan kalau dia juga tertarik untuk melanjutkan perbincangan. Kami berbincang via chat cukup lama sembari aku menulis artikel berikutnya. Tiara juga pembalas cepat, sehingga aku tak perlu lama menunggu.

“Kak fadil chatan begini nggak ganggu akivitasnya kak?” Tanyanya tiba-tiba.

“Nggak kok, ini aku juga sambil nyambi nyicil tulisan buat acara kemaren” jawabku.

Tak lupa, aku mengirimkan selfie aku sedang mengerjakan tugasku. Tiara juga langsung membuka fotonya, namun kali ini responnya cukup lama. Akupun kembali menulis sampai akhirnya dering hapeku berbunyi dan aku mendapatkan notifikasi pesan darinya.

“View photo”

Akupun dengan sigap membuka chat-nya, dan apa yang ia kirim kepadaku membuatku kembali meleleh. Tiara mengirim foto selfie dimana ia juga sedang duduk di depan laptopnya. Ia juga memperlihatkan layar laptopnya yang terpampang aplikasi desain dengan foto-foto hasil jepretannya semalam.

Namun aku lebih berfokus kepada sesosok malaikat tak bersayap ini. Ia kini sedang mengenakan mukena, dan kemanisannya yang dibalut dengan kain yang menutupi auratnya semakin terpampang dengan jelas. Tak hanya itu, mukena yang lebar itu bahkan tak menolong teteknya yang masih menonjol meski tidak sejelas yang kulihat semalam.

“sama nih kak aku juga masih ngedit2 foto kmrn wkwkwkwk” isi pesan singkat yang mengiringi kiriman fotonya. “Maaf balesnya lama kak aku tadi nyari mukena dulu 😭

“Lah padahal mah gausah bales foto juga gapapa meren wkwkwkwk” jawabku.

“Ih gaenak atuh kak fadil udah tiba2 ngirim selfie masa aku ngga wkwkwkw” balasnya lagi.

Aneh, tapi lucu.

Kami pun kembali berbincang meski tidak seresponsif tadi. Sembari kami berbincang juga aku kembali memerhatikan akunnya. Aku takut bila aku memulai pergerakan dan dibalas seperti ini ternyata memiliki kegelapan yang belum terkuak. Bagaimana bila Tiara hanya meresponsku untuk menjilat pekerja media berharap dapat direkrut? Atau hanya membalasku karena kasihan. Atau mungkin dia sedang mencari selingkuhan, atau yang lebih buruknya, mencari partner threesome?

Ah, yang terakhir terlalu berlebihan, sih. Tak mungkin juga bisa seburuk itu. Lagipula juga setelah kutelaah lagi tak ada satupun hal yang mengarah kepada seseorang yang spesial di akunnya kecuali orangtuanya.

=====

Sinar mentari semakin menyengat. Cahaya siang mulai mengisi kamarku yang gelap, dan Tiara juga masih membalas pesanku meski kami juga sudah tidak seintensif tadi pagi. Sinar yang memancar kearah mataku ini mulai membuatku kembali mengantuk, namun sebelum aku bisa memejamkan mataku, aku mendengar ketukan pintu dari luar kamarku.

“Dil? Tidur lu, ya?” Tanya Seno dari balik pintu.

“Masuk aja, Sen!” Suruhku.

Seno pun memasuki kamarku. Keringat membasahi wajah dan rambutnya. Ia juga terengah-engah kepanasan setelah harus menghadapi macetnya kota Bandung di hari Minggu. Ia juga membawa tas Bass dan ransel digenggamannya.

“Buset, diusir dari kosan, lu?” Tanyaku bercanda.

“Ih, bangsat. Lu gak liat chat gua, yak?” Balasnya jengkel.

Oh, iya. Aku lupa melihat chat orang lain karena aku sibuk berbincang dengan Tiara.

“Aduh, sorry gak buka hape gua Dari tadi.” Bohongku.

“Alah, pepek. IG lu aja tadi keliatan online lama tadi.” Sanggahnya. “Chat-an sama siapa, sih lu? Sekali nyanyi bareng ama Sam aja langsung jadi kayak seleb.”

“Ada, dah. Entar gua ceritain.” Jawabku singkat. “Lu mau ngapain, Sen?”

“Temenin beli Bass, dong. Udah pas, nih budget gua.” Pintanya.

“Ah, males kalo jalan sekarang. Panas banget.” Jawabku.

“Kalem, sih. Orangnya juga nyelo. Entar gua bayarin makan, dah.” Bujuknya.

“Nah, gas deh.”

Kami pun mengobrol sejenak menunggu sinar mentari melembut. Menjelang jam 3 sore kami beranjak pergi.

=====

Si bangsat satu ini tidak memberitahuku kalau rumah pemiliknya berada jauh di pinggiran kota. Meski sudah menjelang sore, panasnya mentari tetap terasa menusuk ditambah dengan kemacetan serta bising lalu lintas yang kembali membuatku mumet setelah terus tersenyum selama pagi ini.

Untungnya bagiku, Seno juga membeli Bass yang tepat dengan budget yang tidak melunjak. Meskipun harus tetap dibawa ke servis untuk maintenance, kondisi Bass-nya juga tidak seburuk itu. Namun tempat langganan kami juga terletak cukup jauh dari sini, dan lagi-lagi ia meminta tolong kepadaku untuk dibawakan sekalian aku ingin mengurus satu gitarku yang ingin kujual nanti.

Berhubung hari masih panjang, aku dan Seno juga memutuskan untuk menikmati hari libur ini, meski aku sama sekali tidak bisa menikmati kemacetan bangsat ini. Tak lupa, kami juga mengajak Morris dan Umair untuk ikut. Namun Umair berhalangan karena dia masih dikejar deadline tugas dan dia tidak ingin mengulang mata kuliah itu lagi.

Morris pun meminta dijemput oleh kami ke apartemennya, dan dari apartemen Morris kami pergi ke sekitar Lembang. Seno bilang dia tahu sebuah spot yang indah untuk menikmati malam disuguhi dengan indahnya city light Bandung. Meski masih harus melalui kemacetan, perjalanan ini tidak begitu membosankan karena Morris kembali menceritakan kisah ranjangnya setelah bermabukan di kosku.

Seno pun menepati janjinya. Ia membayarkan makanan dan minuman kami sementara aku dan Morris berpatungan untuk membelikan kami rokok. Akan tetapi, Seno juga menagihkan cerita sesuai janjiku tadi siang.

“Gua liat-liat tadi malem ada yang ikutan manggung ama orang, nih.” Ledek Morris kepadaku.

“Kagak, anying. Itu ‘ge kalo gua gak naik juga pasti orang-orang pada naik juga.” Jelasku ke Morris yang tidak percaya.

“Lagian juga itu lagu juga pasaran banget, sih Ris. Wajar ae kalo seheboh itu.” Sambung Seno.

“Gua ae kagak tau lagunya, bangsat!” Balasnya.

“Lagian. Salah lu kalo ngomongin metal-metalan ke Morris, mah. Sibuk party bocahnya.” Ledekku ke Morris membuat mereka tertawa.

“Tapi ada, Ris. Orang berangkat kerja malah moshing sama nyanyi di panggung, pulangnya dapet gandengan.” Ucap Seno membalikkan ledekan kembali kearahku.

“Anying, naon gandeng-gandeng?” Balasku sewot.

“Cerita, bangsat! Daritadi di jalan juga kaga ceritain lu!” Balasnya lagi.

“Iyaa. Gua kenalan ama cewek di acara kemaren.” Jawabku.

Akupun menceritakan secara detil bagaimana aku mengajak Tiara berkenalan. Aku juga bercerita kalau aku dan Tiara sampai detik ini pun masih saling membalas pesan. Mereka mendengarkanku fokus. Namun alih-alih karena terkesima denan ceritaku, mereka lebih ke tidak percaya dengan ceritaku karena ini pertama kalinya aku berani mengajak perempuan asing berkenalan di tempat umum.

“Anjing! Sumpah gua gak percaya Fadil bisa kayak gini.” Ledek Morris.

“Asli, men. Coba gua ikut kemaren.” Sambung Seno.

“Eleh, kalo lu ikut juga gua jamin itu Bass di kamar Morris kagak bakal ada disini sekarang.” Balas ledekku.

“Tapi cakep, gak orangnya, Dil?” Tanya Morris.

“Wah, asli men. Ini juga kalo gua liatin ke Seno dia bakal demen banget pasti.” Balasku menjelaskan selera kami yang kurang lebih sama.

“Coba sosmednya apa, gua mau liat.” Kembali tanya Morris.

“Tiarlfin”

Mendengar ucapanku, Seno menunjukkan reaksi yang aneh. Ia tidak langsung meresponku, akan tetapi ia terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia memikirkan nama yang kusebut tadi seolah ia mengenali siapa orang itu.

“Bentar, Dil.” Ucapnya. “Orangnya yang hijaban, kan?”

“Iya.” Balasku singkat.

“Anjing, itu mah cewek famous, bangsat!” Jawabnya mengejutkanku dan Morris.

“Hah serius, lu?!” Tanya kami bersamaan.

“Iya, cok. Dia anak kampus gua juga. Di kampus gua juga dia terkenal sering jadi ketua divisi dokumentasi.” Jelasnya.

“Kalo nggak juga, dia sering banget dibayar buat jadi tim dokum, sama dia di dunia skena Bandung udah ada nama juga dia. Dia sering dipanggil buat jadi videografer buat video klip atau buat acara-acara gitu.”

“Hah, anying. Bentar gua mau liat dulu, kali aja gua pernah ketemu ama dia juga.” Sambung Morris.

Morris juga sebenarnya memiliki reputasi yang besar di dunia malam Bandung. Berkat itu juga kami tertolong karena awalnya Morris lah yang berhasil membawa banyak massa. Akupun tak heran bila Morris juga mengenalinya.

“Wah, sampe Tiara pernah jadi mangsa lu juga, gua bakal potong titit, sih. Masa gua dapet sloppy second elu?” Candaku ke Morris yang sedang memerhatikan wajah Tiara.

“Oh, nggak kenal deh gua.” Jawab Morris.

“Alhamdulillah.” Balasku lega.

“Emang bukan bocah party-an juga si Tiara, Ris. Dia banyak terjunnya ke acara gig lokal-lokal gitu.” Jelas Seno.

“Wah, tapi kalo yang kayak gini gua juga demen, sih. Pengen nyoba juga gua rasanya cewek hijaban kayak gimana.” Balasnya.

“Nggak, anjing. Kalo yang kayak gini mah bakal gua dorong jauh dari lu.” Potongku.

“Yaelah kayak bakal jadi ‘ae, Dil. Kalo ujungnya kayak Kabem waktu itu gimana?” Ledek Morris yang hanya kubalas dengan tawaan.

Tak mungkin aku menyahuti candaannya. Masa aku harus bercerita kalau Morris yang menjadi alasan dia meninggalkanku? Sekalipun aku bercerita, dia pasti akan meledekku sampai mati.

Entah. Mungkin ia juga bisa menginstropeksi diri, tapi aku lebih takut bila Morris akan menuai kebencian kepadanya. Dengan pengaruhnya juga, aku yakin Syifa akan mendapatkan banyak ujaran kebencian. Aku masih belum siap untuk menghadapi itu karena Syifa tidak pantas untuk menerimanya.

“Wah, gila lu, Dil. Jarang ngejar cewek, tapi sekalinya dapet, langsung spek dewa begini tarikannya.” Puji Seno.

“Lumayan, tuh Dil, kalo lu bisa dapetin Tiara kita gak perlu bayar videografer lagi.” Sanggah Morris.

“Yeh, bangsat. Pacaran, mah pacaran. Profesi, mah profesi.” Balasku menolak.

Selagi kami mengobrol, tiba-tiba dering hapeku berbunyi. Akupun dengan sigap mengambil hapeku mengharapkan sebuah balasan dari Tiara. Namun ternyata tidak dan itu membuatku sedikit kecewa awalnya.

Namun ternyata, chat itu menjadi puncak dari arus kesenangan bagiku malam ini.

“Halo kak fadil, maaf mengganggu waktunya.” Isi awal pesan dari nomor tidak dikenal tersebut.

“Kenalin kak, aku fauzan sebagai panitia dari acara musik XXX. Tujuan aku menghubungi kak fadil adalah untuk mengundang band Unwanted untuk mengisi acara kami yang akan diadakan pada tanggal 18 November bulan depan. Kira-kira apakah band unwanted bersedia untuk menjadi pengisi acara? Dan kalo boleh tau, ratecard dari band unwanted sendiri berapa ya kak? Terimakasiih”

“COK! DAPET TAWARAN MANGGUNG KITE!” Teriakku mengejutkan Seno dan Morris.

“Beuh, gas sih! Kapan, Dil?” Tanya Morris.

“Pertengahan bulan depan, Ris. Pada kosong, kan?” Balas tanyaku.

“Kosong, sih gua. Main dimana?” Tanya Seno.

“Acara di kampus lu, dah kayaknya ini, Sen.” jawabku.

Seno pun langsung mencari tahu detil acara tersebut. Setelah mendapatkan informasi, Seno mengiyakan ucapanku dan menunjukkan kesenangannya bisa bermain di acara tersebut.

“Wah, kalo dari fakultas ini gua gas banget, sih!” Ucap Seno.

“Bukan fakultas lu, ini?” Tanyaku basa-basi.

“Kagak, Dil. Fakultasnya Tiara, ini.” Jawabnya, membuatku makin semangat.

“Wah, gas banget, bangsat!” Teriakku kegirangan.

Dunia ini ternyata sempit juga, ya. Aku berkenalan dengan seorang perempuan idaman, dan ternyata Seno mengenali Tiara. Aku hanya ingin merusuh dan menaiki panggung, ternyata Sam masih mengingatku. Ditambah ini. Aku akan tampil di acara kampus, dan ternyata acara ini dikelola oleh mahasiswa fakultas Tiara.

Tapi, siapa yang peduli? Aku tidak akan membiarkan hal-hal lain mengganggu mood-ku yang sedang diatas langit saat ini. Setelah perbincanganku dengan Tiara tadi pagi, menghabiskan libur bersama sahabat-sahabatku, dan juga mengakhiri hari dengan tawaran untuk tampil, this is such a fucking lovely day.​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd