Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

When The Sun Goes Down (NO SARA)

makasih updatenya

ane belum komen banyak ya hahaha, masih nunggu mau gimana alur cerita yang ini.

ditunggu kelanjutannya
 
Episode 4: When Can I See You Again?

=====


=====

Setelah proses negosiasi panjang yang berjalan dengan lancar, akhirnya Unwanted dipastikan untuk memeriahkan acara di kampus Seno. Bayaran untuk kami juga relatif tinggi, dan itu belum termasuk riders pula dimana kami meminta dua botol alkohol dan konsumsi serta beberapa hal lainnya kepada mereka. Tak hanya itu, acara ini juga akan menjadi acara terbesar yang pernah kami datangi setelah mengetahui terdapat sekitar 10 band yang akan ikut meramaikan. Bahkan mereka juga mengundang Rumahsakit, salah satu band alternatif populer asal Jakarta yang mulai merintis karir dari era 90-an.

Selain itu, aku juga diberitahu bahwa band Sam juga diundang. Untuk mempermudah panitia, aku dan Sam juga sepakat untuk menyatukan riders kami untuk mengurangi pengeluaran panitia. Negosiasi juga berjalan dengan mudah karena salah satu anggota band-nya, yang kutebak merupakan teman dari Tiara, masih berstatus sebagai mahasiswa aktif di fakultas tersebut.

Omong-omong tentang Tiara, kami juga masih berbincang secara rutin meski tidak seintensif di awal-awal. Selama dua minggu kebelakang juga kami telah berpindah media sosial ke Wh*tsApp. Sayangnya juga, alur pembicaraan kami selalu konstan. Ia tetap sering mengirimkanku foto selfie dan sebaliknya. Namun tak ada tanda-tanda ia akan menunjukkan sedikit keindahan tubuhnya, meski kini Tiara juga mulai sering mengirimkan foto fit-check kepadaku sebelum ia pergi ke kampus.

Aku juga selalu berkonsultasi ke teh Laras. Menurutnya, Tiara pasti juga memiliki sedikit niatan terhadapku. Dia belum bisa menjelaskannya secara pasti, namun baik hanya ingin menjadi sahabat atau pacar, keduanya masih menjadi win-win solution bagiku.

Akan tetapi aku juga tidak akan memanfaatkan kesempatan yang kupunya. Aku akan bermain di acara yang berletak di fakultasnya akhir bulan nanti. Aku sudah disuguhi kesempatan emas diatas piring perak, dan kenapa tidak aku eksploitasi?

=====

Selagi menunggu waktu acara tiba, aku juga masih sering bertukar kabar dengan Fauzan yang menghubungiku untuk acara ini. Sore ini juga, aku akan berangkat ke fakultas mereka untuk mengobservasi lokasi dan lebih memahami medan tanah disana. Fauzan pun dengan senang hati akan menyambut kedatanganku dan akan menjadi tour guide-ku selama aku berpetualang di fakultasnya.

Alright, who am I kidding here? Tentu saja aku kesana mengharapkan kehadiran Tiara. Bila menggunakan logika, Seno yang berdomisili di dekat sini harusnya bisa saja menemaniku, atau bahkan mengorbankan diri untuk melihat venue. Oleh karena itu, aku juga tidak mau Seno dan Tiara tahu bila aku pergi ke kampus mereka. Aku ingin membuat mereka terkejut dengan kehadiranku.

=====

Hari ini aku mengerjakan tugasku lebih awal, dan beberapa diantaranya akan aku kerjakan di luar nanti. Tentu saja, aku harus menghadapi panasnya mentari ditambah dengan kemacetan yang selalu mengiriku. Akan tetapi, pikiranku yang sudah mengawang dan suasana hatiku yang sedang tentram membuatku bisa melupakan itu semua.

Selagi aku berhenti di kemacetan juga, aku sempat menelusuri lokasi Tiara dari story yang ia buat. Ternyata benar, ia sedang berada di kampus saat ini. Bila aku bisa datang lebih cepat juga, aku bisa bertemu dengannya.

Namun aku juga sudah menyiapkan rencana cadangan. Bila Tiara sudah tidak ada di lingkungan kampus di saat kedatanganku, aku akan menghubungi Tiara dan langkah selanjutnya. Ini memang bukan hal yang bisa kulakukan dengan tenang karena kegrogianku, namun aku rela melakukan ini demi Tiara. Tidak mungkin aku harus menunggu acara yang tak pasti untuk bertemu dengannya, dan aku sudah tidak punya kesabaran bila harus menunggu acara di akhir bulan nanti.

Tepat sebelum mentari menunjukkan sisi jingganya, aku telah tiba di Jatinangor. Bila bukan karena ada keperluan juga, sebenarnya aku tidak ingin kesini. Lokasinya terlalu jauh dari kediamanku dan tidak ada apa-apa juga disini. Wajar bila mahasiswa yang menuntut ilmu di daerah ini lebih banyak mencari hiburan di kota Bandung.

Akupun langsung beranjak ke kampus mereka. Perjalananku dihiasi dengan banyaknya perempuan cantik yang sedang memenuhi lingkungan kampus. Memang benar apa kata orang-orang, kampus ini tidak pernah gagal untuk menghasilkan perempuan-perempuan cantik.

Setelah aku memarkirkan motorku, aku langsung disambut dengan Fauzan yang sedang merokok menantikan kedatanganku. Melihatku dari kejauhan, ia langsung beranjak mendekatiku. Dia juga langsung mendatangi petugas parkir dan memberikan selembar uang untuk biaya parkirku. Bahkan sebelum acara dimulai, aku sudah diberi pelayanan maksimal.

“Kang Fadil, kenalin aku Fauzan.” Ucapnya setelah menjabat tanganku.

“Ih, nyantai aja ama urang mah, Zan. Gak usah kaku-kaku banget.” Balasku.

“Oh, hahahah. Siap deh, kang.” Jawabnya tertawa kecil.

Setelah itu, kami memulai perjalananku mengobservasi fakultasnya. Fauzan pun dengan senang hati menjelaskan segala informasi yang kubutuhkan terkait fakultas ini. Fauzan juga terdengar seperti orang yang menarik. Kami memiliki frekuensi bercandaan yang sama, bahkan setelah apa yang kupinta kepadanya tadi, ia langsung berubah 180 derajat dari yang kulihat via chat.

Perjalanan kami kini terhenti di lokasi acara nanti. Tentu saja, belum ada panggung yang didirikan karena acara berlangsung di akhir bulan nanti. Tapi aku mulai menerka-nerka bagaimana kemungkinan situasi lapangan saat acara nanti.

Lokasi ini diselimuti dengan pohon yang rindang, dan lokasinya juga tidak jauh dari gedung yang menurut perhitunganku akan dijadikan sebagai ruang tunggu penampil. Namun lokasi ini dialaskan oleh aspal, jadi pasti akan sangat menyakitkan bila ada yang terjatuh saat moshing nanti.

“Nah, kurang lebih begini, kang kondisi lapangan.” Jelas Fauzan.

“Enakeun, sih. Cuma kasian, nih yang moshing disini. Kalo jatoh langsung nyium aspal.” Candaku.

“Hahahahaha. Kalem atuh, kang. Ada tim medisnya, kok nanti.” Balasnya.

“Ya, tetep atuh. Bisi aing mau stage-dive kumaha?” Balasku kembali dibalut dengan candaan.

“Ah, berani stage-dive takut kena aspal, kumaha maneh, kang?” Candanya lagi membuat suasana makin cair.

Setelah itu, Fauzan kembali menjelaskan kepadaku bagaimana tataan panggung dan tenda saat acara berlangsung nanti. Panggungnya diletakkan agak jauh dari pohon-pohon, dan dari penjelasannya aku mulai menebak bahwa panggung ini akan memiliki ukuran yang besar. Fauzan juga menjelaskan ketinggian panggung yang ditaksir kurang lebih sedada orang dewasa. Tingginya kurang lebih tak beda jauh dengan panggung dimana aku bertemu dengan Tiara, jadi pasti aman bila aku ingin kembali melancarkan aksiku.

Fauzan juga menjelaskan lokasi tenda-tenda yang akan diisi dengan stand makanan nanti. Ia juga menjelaskan kepadaku terkait sponsor yang juga akan menaruh tenda di acara ini. Mengetahui siapa sponsornya, aku paham ketika mereka berani menaruh harga yang tinggi untuk mengundang band-band di acara ini.

Setelah menyelesaikan tur ini, Fauzan juga mengajakku untuk bertemu dengan panitia-panitia acara yang juga sedang berada di kampus. Bahkan diantaranya juga memiliki paras yang cantik, meski tidak ada yang bisa menggantikan sosok Tiara di benakku. Akupun juga mulai bersikap sopan dan rendah hati kepada mereka. Aku tidak ingin mereka memiliki pandangan buruk kepadaku, ataupun kepada band-ku.

Setelah selesai berbincang, Fauzan kini mengajakku untuk bersinggah di kantin. Dengan senang hati juga aku mengiyakan ajakannya. Tempat itu akan jadi titik terbaik untuk menunggu dan mengharapkan kedatangan Tiara bila ia masih berada di lingkungan kampus.

Kini aku duduk menghadap kearah akses masuk. Dengan ini aku bisa melihat setiap orang yang datang dan pergi. Fauzan juga langsung menduduki kursi di seberangku dan kembali membakar rokoknya.

“Rokok, kang?” Tawarnya.

“Kalem, ada kok aing.” Balasku dan aku mengeluarkan rokok dari kantung flannel yang kukenakan.

“Maneh niat pisan, kang. Jauh-jauh dari Bandung cuma mau liat tempat.” Pujinya selagi menikmati rokok di sore hari.

“Aing, teh pengen survey lokasi juga, Jan. Kan band aing mau bikin showcase kecil-kecilan, kalo bisa main di lingkungan kampus, mah juga mau aing main di Nangor.” Jelasku.

“Wah, kalo di kampus, mah asa susah kang.” Balasnya. “Cuma kalo mau nyari venue mah ada disekitaran sini, mah.”

“Yah, padahal madep kieu, euy kampus sini, mah.” Jawabku kecewa.

“Loh, maneh belum pernah kesini, kah?” Tanyanya.

“Pernah, bassist aing ‘ge kuliah didieu. Aing dateng pas si eta Sempro, Cuman si eta bukan di fakultas ini.” Jelasku.

“Lah, naha maneh yang berangkat kadieu, kang?”

“Aya, lah. Nanti kalo maneh sorean masih di kampus, mah bisa aja ngeliat.” Balasku.

“Cewek, nih pasti.” Ledeknya.

“Eta.” Balasku membuatnya tertawa.

Tak lama kemudian, makanan kami telah tiba di meja. Kami pun langsung menyantap makanan kami. Selagi aku melahap mie instan ini, dering hapeku kembali berbunyi, dan aku melihat teh Laras mengirimkanku pesan.

“KAMU LAGI NGAPAIN DI NANGOR???” tanyanya.

Sepertinya teh Laras melacak posisiku melalui aplikasi Find My di hape. Akupun tertawa kecil melihat chat-nya, dan selagi menyantap makanan, aku membalas chat-nya. Posisiku yang menaruh hape diatas meja juga membuat Fauzan bisa melihat apa yang sedang kulakukan, dan ia kembali meledekku.

“Eta, kang? Cewek maneh?” Tanyanya meledek.

“Nggak. Aing mah single, cuma emang lagi deket sama budak sini. Ieu mah, atasan aing di kantor.” Jelasku.

“Anying, bucin pisan, maneh.” Ledeknya lagi membuatku tertawa.

Setelah mengabari teh Laras, aku kembali fokus melahap santapan yang kupesan. Pandanganku juga terpaku kepada orang yang berada di sekitarku. Tak dapat dipungkiri aku juga mulai gelisah. Semakin hari menjelang malam, mahasiswa yang berada di lingkungan kampus juga mulai beranjak pergi.

Pikiranku pun mulai berkecamuk. Bagaimana kalau Tiara sudah pulang? Akupun mulai merasa bimbang. Keberanianku untuk mengabarinya juga semakin menciut. Hubunganku dengan Tiara juga masih bisa dinilai cukup baik, namun aku begitu takut bila impulsivitasku yang mendatangi kampusnya tidak diterima dengan baik olehnya.

Ah, you know what? Fuck it. Let’s play the hard game.

Setelah mengumpulkan keberanian, aku kembali membuka hapeku. Aku langsung membuka aplikasi Wh*tsApp dan mulai mengetik pesan yang ingin kukirim ke Tiara. Namun, takdir memang berlaku dengan cara yang aneh dan tak terduga.

“Loh, kak Fadil?!” Teriak seseorang dari arah depanku.

Mendengar suara itu, aku juga ikut terkejut dan aku langsung menaruh hapeku di meja. Benar saja, dialah yang menjadi alasan bagiku untuk jauh-jauh menempuh perjalanan dari Bandung. Tatapan kami bertemu, dan ia langsung melambaikan tangannya kearahku selagi berjalan mendekatiku.

“Tiara!” Balik sapaku.

Tiara pun semakin mendekat kepadaku dan Fauzan. Fauzan benar-benar terpana melihatku yang kini sedang bersalaman dengan Tiara. Ia terlihat begitu terkejut, seolah tak percaya aku bisa kenal dengannya.

“Kak Fadil ngapain kesini?” Tanyanya.

“Aku abis liat-liat lokasi, Ra. Akhir bulan kan aku main di acara sini.” Jelasku.

“Wah, keren! Nanti aku mau nonton, deh.” Ucapnya ceria. “Kalo perlu fotografer juga aku kosong, sih, hahahahah.”

“Hahahahaha, gampang itu, mah.” Balasku. “Kamu abis kelas, Ra?”

“Iyaa, kak. Abis ini juga aku masih ada rapat di kampus, sih.” Jelasnya.

“Oalah, masih kuat jadi budak organisasi, toh kamu?” Ledekku membuatnya tertawa manis.

Kami pun berbincang sejenak, dan Tiara langsung mengisi spot kosong disampingku. Selagi kami berbicara, Fauzan jarang sekali mengeluarkan suara. Ia terlihat gugup, dan raut ketidakpercayaannya masih terlihat jelas di mataku. Meskipun begitu, ia tetap berusaha untuk ikut mengobrol dengan kami, dan candaannya juga bisa mencairkan suasana.

Langit mulai menggelap, dan kini hanya tersisa kami bertiga di kantin. Hawa dingin juga mulai menyelimuti kami, dan Tiara juga sepertinya harus lekas pergi.

“Eh, Kak, Zan, aku pergi duluan, yaa. Udah mau mulai rapat soalnya.” Pamitnya.

“Okedeeh, semangat, Raa!” Balasku yang dibalas dengan senyumannya yang sangat manis.

Tiara pun beranjak pergi, namun kepergiannya mengingatkanku tentang sesuatu. Aku memang sudah puas karena aku sudah bertemu dengan Tiara. Akan tetapi, aku juga masih memiliki kartu As-ku untuk menghabiskan hari dengannya. Tiara yang semakin menjauh dari kami pun membuatku harus segera bergegas.

“Eh, Ra!” Panggilku membuatnya kembali menoleh kepadaku. “Kamu malem ini kosong, nggak?”

“Kenapa emangnya, kak?” Tanyanya.

“Kan aku masih ada utang makan siang sama kamu.”

“Lah, udah mau malem, inimah.” Balasnya tertawa. “Hmmm, kosong, sih kak.”

“Mau makan nggak?” Tanyaku lagi memastikan.

“Tapi aku rapat dulu, kak. Nanti kak Fadilnya lama lagi nungguin.”

“Oh, kalem, Ra. Kalo kelamaan juga aku paling mampir ke temen aku dulu.” Jelasku meyakinkannya.

“Hmmm, boleh, deh.” Jawabnya mengiyakan. “Tapi kalo nanti kelamaan nunggunya jangan nungguin aku ya, kak.”

“Kalem, weh. Aku juga nyantai kok.” Balasku.

“Okee, kak. Nanti aku kabarin, yaa.” Jawabnya menyetujui ajakanku. “Dadah!”

Setelah Tiara pergi, aku kembali beranjak ke mejaku dimana Fauzan masih menungguku. Lagi-lagi, Fauzan masih terlihat starstruck. Namun kini ia mulai tersenyum dan raut wajahnya memancarkan kesenangan yang tak terbendung selagi ia sibuk dengan hapenya.

Melihat sikap Fauzan, muncul pikiranku untuk kembali bermain. Entah apakah dia menangkap kejadian tadi sebagai sebuah jawaban, namun aku akan mencoba untuk mencari tahu Tiara dari perspektif orang dalam.

“Si Tiara famous, ya disini?” Tanyaku basa-basi.

“Eh, iya kang.” Jawabnya terkejut. “Banyak juga yang nge-fans sama Tiara.”

“Wajar, sih. Geulis pisan juga si eta.” Balasku.

“Asli, kang. Temen urang juga kemaren pengen nyoba deketin si eta, cuma si eta lagi deket ama cowok juga, ceunah.” Jelas Fauzan.

Oh, shit. Aku mulai sedikit khawatir mendengar jawaban Fauzan.

“Barudak kieu?” Tanyaku menutupi kegelisahanku.

“Nggak, kang. Orang luar, ceunah.” Balasnya.

Thank fuck.

Eh, tunggu dulu. Berarti…

“Maneh kenal Tiara dari mana, kang? Pernah kerja bareng, kah?” Tanyanya.

Alih-alih menjawabnya secara langsung, aku lebih memilih untuk membuatnya kembali bertanya-tanya. Aku hanya membalas dengan tatapan yang rancu kearahnya. Awalnya dia terlihat kebingungan, namun setelah menyadari apa maksudku, ia tertawa begitu kencang tak percaya dengan jawabanku.

“OALAH, MANEH YANG DEKETIN?! HAHAHAHAHAHAHA!” Tawanya kencang.

“MANEH KENAPA BARU NYADAR SEKARANG, ANYING?!” balasku ikut tertawa dan kini kami tertawa terbahak-bahak hingga perutku mulai terasa sakit.

“Wah, goodluck, sih kang kalo mau deketin Tiara, mah.” Ucapnya mematahkan topik pembicaraan.

“Waduh, kenapa, Zan?” Tanyaku tertarik mendengar penjelasannya.

“Si eta, teh banyak banget emang yang deketin. Cuma dari yang urang tau, sih ya. Kan Tiara kating urang, dan si eta teh dari awal aing masuk ke kampus ini juga emang banyak yang deketin.” Jelasnya.

“Tapi Tiara pernah pacaran sama barudak keneh?” Tanyaku lagi.

“Nggak, sih. Cuma seinget aing emang Tiara pernah pacaran, cuma putus dan sampe sekarang si eta masih trauma.” Jawabnya.

Waduh. Halangan mulai tiba.

“Oalah, tapi maneh tau infonya dari siapa?” Balasku kembali bertanya.

“Sahabatnya Tiara, teh kadiv urang di BEM. Si eta yang cerita ke aing.” Jelasnya lagi.

Setelah Fauzan menjelaskan, aku mulai merenungkan keputusanku lagi. Ini pertama kalinya aku merasa se-bucin ini kepada seseorang yang bahkan belum kumiliki. Aku juga tidak bisa memaksakan kemauan Tiara, apalagi dengan kondisi kami yang belum sedekat itu.

Namun, Tiara terlihat seperti perempuan “once-in-a-lifetime” bagiku. Aku benar-benar terpana sejak pertama kali melihat paras cantiknya. Kecantikan itu bahkan hingga saat ini masih terus menghantuiku.

Bahkan aku rela menyampingkan pekerjaanku deminya yang bukan siapa-siapa. Pikiranku pun mulai mengadu, apakah aku harus lanjut atau pergi. Akan tetapi, rasa takut atas penyesalan bila aku tidak mengambil kesempatan ini pasti akan terus menghantuiku kemana pun aku pergi.

“Kalem wae, atuh kang. Kalo si Tiaranya juga cerita ke Kadiv urang dan sampe sekarang akang sama Tiara masih lanjut juga berarti si etanya juga mau, atuh.” Kembali ucap Fauzan meyakinkanku.

“Lah iya kalo emang mau. Kalo karena kasian, gimana?” Tanyaku lagi.

“Aduh, iya ya. Mana si etanya juga friendly pisan ke orang-orang.” Jawab Fauzan sambil mengusap-usap rambutnya.

Tak lama kemudian, dering hapeku kembali berbunyi. Tiara sepertinya sudah selesai rapat. Agak aneh juga sebenarnya karena ini bahkan baru sekitar 15 menit sejak ia pergi meninggalkan kami.

“Kakk wkwkwk aku udah selesai rapat niiih” ucapnya. “Jadi mau makan gaaak”

“Tiara, kang?” Tanya Fauzan selagi aku membalas pesan Tiara.

“He’eh. Mau makan aing sama si eta.” Jawabku.

“Beuh. Liat dari sini atuh kang kalo dia emang tertarik atau nggaknya.” Balasnya.

“Iyak, euy. Moment of truth ieu, mah.” Jawabku yang dibalas dengan Fauzan.

Setelah berpamitan dengan Fauzan, aku langsung beranjak menuju parkiran dan menunggu Tiara di motorku. Penantianku saat ini diselimuti dengan dinginnya hawa menjelang malam dan hangatnya rokok membantuku untuk mengalihkan kedinginan tersebut.

Aneh, sepertinya tadi siang matahari seolah ingin mengulitiku hidup-hidup. Namun saat ini baru petang saja dinginnya sudah sangat menusuk. Kecamatan ini memang selalu memiliki kejutan dibalik kejutan.

Tak begitu lama aku menunggu, Tiara sudah terlihat dari kejauhan. Ia terlihat sedikit menggigil. Kedua tangannya ia lipat selagi berjalan menghampiriku. Sepertinya ia yang menjadi penetap disini juga tak kuat menghadapi dinginnya Jatinangor di malam hari.

Akupun langsung menyalakan motorku dan menghampiri Tiara. Tiara juga langsung menyapaku dan menyalami tanganku sebelum Tiara menaiki motor. Dari dekat juga aku makin yakin kalau dia sedang kedinginan karena tubuhnya terlihat menggigil. Kaus lengan panjang yang ia gunakan juga sepertinya tidak cukup untuk menghangatkannya.

Sebagai gentlemen juga aku tidak akan membiarkannya kedinginan. Aku langsung membuka bomber yang sedang kukenakan, dan aku kalungkan bomberku kepadanya. Meski kedinginan juga, aku masih mengenakan kaus lengan panjang berbahan tebal, setidaknya ini masih bisa melindungiku dari angin malam.

“Ih, pake aja, atuh jaketnya kak.” Ucapnya kaget.

“Gapapah, Ra. Kamu juga keliatannya kayak kedinginan banget, soalnya.” Jawabku membuatnya tersipu malu.

“Eh, kak. Kalo aku mau ke kosanku dulu boleh, nggak? Aku mau naro barang sekalian ganti baju dulu, nih.” Tanyanya.

“Kalem, weh.” Balasku.

Wah, apakah ini saatnya? Apakah ini menjadi penentu kedekatanku dengannya?

=====

Tentu saja tidak. Kenapa aku bisa berpikiran aneh seperti itu, sih? Mana mungkin aku bisa langsung mendapatkan jackpot ketika aku baru dekat dengan Tiara sekitar dua minggu?

Lagipula, mengetahui letak kosnya dimana saja sudah cukup bagiku. Malah tidak tahu diri bila aku ingin masuk kedalam kamarnya. Kosnya juga bukan kos mewah yang bebas, atau setidaknya tidak sebebas kosku, apalagi dengan embel-embel kos muslimah.

Ketika aku menunggu Tiara juga, ada banyak penghuni yang keluar-masuk melewatiku yang sedang menunggu di depan gerbang. Dari sekian banyak penghuninya, menurutku tidak akan ada yang bisa menandingi Tiara. Sosok Tiara di kos ini juga terlihat seperti sebuah anomali, penghuninya rata-rata terlihat lebih ‘rohis’.

Penantianku pun berakhir setelah Tiara keluar dari akses pintu masuk. Awalnya aku juga takut ketika mengetahui modusku yang memberikannya jaket hanya akan bertahan lama. Tapi ternyata tidak.

Tiara kini terlihat begitu berbeda. Ia yang tadinya terlihat menawan dengan pakaian rapinya kini terlihat imut dan kalem dibalut dengan pakaiannya yang lebih santai. Selain itu juga, ia menyesuaikan warna setelannya dengan bomberku yang berwarna hijau lumut. Kaus hitamnya makin memampangkan dadanya yang cukup besar. Sweatpants-nya yang ketat juga menunjukkan lekuk pinggulnya yang indah, dan aku juga sempat melihat lekukan pantatnya ketika ia sedang berjongkok mengikat tali sepatu.

=====

Kami pun berangkat dan Tiara langsung menyarankan sate yang terletak jauh dari kosnya. Untungnya tempat ini tidak begitu ramai. Dengan ini, aku bisa mengobrol dengan Tiara lebih leluasa.

“Ih, mantep juga ini aku lagi makan sama cewek famous.” Candaku ke Tiara setelah kami duduk.

“Ah, apa sih, kak? Nggak famous aku, mah.” Jawabnya malu.

“Ih, tadi si Fauzan aja asa seneng banget bisa ngobrol sama kamu.” Balasku kembali meledek.

“Oh, iya? Hahahahah. Jujur aku juga kurang nyadar aku famous, sih. Lagian juga gak penting buat aku.” Jawabnya.

Setelah itu kami mulai berbincang tentang banyak hal, terutama di dunia musik. Ia menanyakan seluk beluk bagaimana aku bisa menyukai musik dan memilih untuk berkarir di ranah tersebut. Aku juga menjelaskan kepadanya terkait referensi musik yang kubawa dari band-band keras ternama seperti Seringai dan Knocked Loose, band hardcore asal Amerika Serikat.

Tiara pun juga menceritakan sisi pandangnya terkait musik. Ia juga mendengarkan musik-musik alternatif sama sepertiku, namun bukan kearah yang keras. Meski ia menyukai beberapa musik keras yang seringkali memasuki billboard.

“Oooh, berarti kamu sukanya kaya yang alternatif pop-rock gitu, ya?” Tanyaku.

“Iyaa, kak. Aku juga ada yang nyangkut dikit sih lagu keras-keras, cuma jadi casual listener ajaa.” Jelasnya.

“Emang kamu kalo musik alternatif sukanya kaya apa?” Tanyaku lagi.

“Kalo aku, sih, aku suka banget sama Rumahsakit, Grrrl Gang, gitu-gitu, kak.” Jelasnya.

“Wah, pas banget dong, tuh Rumahsakit di acara yan nanti juga diundang.” Balasku.

“Iya! Aku juga kaget banget pas ketuplaknya ngasih tau aku!” Jawabnya kegirangan.

“Hahahahaha.” Tawaku. “Tapi kamu keren loh, suka dateng ke acara-acara underground gitu juga.”

Selagi menyantap makanan kami, Tiara menjelaskan bagaimana ia bisa menyukai musik underground. Tiara memang bukan penikmat lagu keras, tetapi ia gemar mendatangi acara-acara seperti itu. Baginya, ada sebuah keindahan sendiri yang terdapat dalam tiap acaranya.

Dari segi musik juga, acara underground tak selalu didominasi dengan musik keras. Band-band beraliran lebih pelan juga bisa ditemukan, meskipun segmentasinya juga tidak selalu sama. Dengan penampilan band-band perintis yang memiliki karya segar juga menjadi daya tarik bagi pengeksplor musik untuk mendatangi acara ini.

Itulah yang membuat Tiara aktif dalam pergerakan musik alternatif Bandung. Tempat-tempat itulah yang menjadi fondasi awal dari karir Tiara saat ini dimana ia bisa berkenalan dengan musisi-musisi hebat, dan kini bahkan bertemu denganku. Di tempat ini juga Tiara bisa merasakan atmosfer yang berbeda. Baginya, semua orang terlihat lebih hidup, baik pemain, panitia, maupun penonton. Pada akhirnya juga, musik adalah media yang bisa kita gunakan untuk mengekspresikan segala perasaan yang disimpan di hati, dan hal itulah yang menjadi titik keindahan di mata Tiara.

“Tapi emang kak Fadil mau nge-band kenapa?” Tanyanya setelah menjelaskan pandangannya.

Jujur aku juga tidak tahu. Mungkin memang karena aku juga dibesarkan di keluarga musik, dan meski secara akademis aku juga cukup pintar, musik menjadi satu-satunya hal yang bisa kugunakan untuk menaruh makanan di meja bagiku. Lebih ke karena aku tidak yakin dengan ilmu yang kutempa semasa kuliah dapat membantuku untuk bisa mapan dan memiliki kehidupan ideal.

Bermusik juga sebenarnya permainan gambling yang cukup gila dimana kita harus berani mengambil risiko terberat kapanpun. Harusnya aku juga memahami itu, mengingat bagaimana karir ayahku di dunia musik yang gagal. Namun aku tetap memilih ini karena musiklah tempat bagiku untuk bersenang-senang juga.

“Tapi orangtua kak Fadil setuju, kah?” Tanya Tiara.

“Mereka lebih ke ‘yaudah’, sih. Toh aku juga sekarang kerja, dan sekarang keperluan aku di musik juga pake uang sendiri.” Jelasku.

“Terus kak Fadil belajar main gitar gitu-gitu dari siapa, kak?”

“Dari papahku, Ra. Papah aku juga dulunya nge-band, cuma gak gede kayak aku sekarang.” Balasku. “Kalo kamu belajar desain, foto-foto gitu darimana?”

“Otodidak, sih kak. Terus pas dapet kuliah juga aku dihadiahin kamera.” Ceritanya. “Nah, dari situ aku mulai nyari kelas-kelas online buat belajar, terus kalo foto-foto gitu aku banyak belajar pas jadi panitia acara dari SMP.”

“Berarti orangtua kamu support sama kerjaan kamu sekarang?” Tanyaku lagi.

“Jujur, sebenernya nggak, sih kak.” Balasnya mengejutkanku.

“Hah? Aku kira malah support banget, apalagi sampe beliin kamera.” Jawabku terkejut.

Tiara pun mulai menceritakan kisahnya. Awalnya, Tiara hanya sekadar iseng menjadi panitia di acara musik saat SMA. Namun melihat respon positif hingga bahkan di-notice oleh salah satu musisi idolanya, ia merasa bahwa inilah awal dari perjalanan hidupnya.

Tiara mulai menimba ilmu sejak saat itu. Beberapa desainnya juga sudah bisa membuahkan hasil. Ia bahkan sering diminta untuk mendesain dengan bayaran. Orangtuanya pun melihat potensi yang dimiliki anaknya, dan memberikan Tiara hadiah yang menjadi fondasi awal di karirnya.

Namun di jenjang perkuliahan, Tiara mulai terjangkit dengan kehidupan musik yang baru, musik bawah tanah. Momen itu memang menjadi titik awal dari melesatnya karir Tiara. Akan tetapi, orangtuanya tidak merasa itulah jalan yang seharusnya Tiara tempuh, apalagi ditambah dengan stigma masyarakat tentang penikmat musik seperti itu.

Meskipun begitu, Tiara tetap melanjutkan profesinya. Dari situ juga Tiara banyak mendapatkan koneksi dan tawaran pekerjaan. Meski kedua orangtuanya tidak setuju, mereka juga tidak dapat menolak ketika Tiara bisa membantu kebutuhan hidup keluarganya.

Berbicara tentang keluarganya, Tiara juga bukan anak dari orang kaya. Semasa SMA, Tiara untungnya masih diberkahi dengan kecukupan. Namun Tiara masih memiliki dua adik yang saat ini sedang menduduki bangku SMP dan SMA, dan hal itu sangat memberatkan kondisi keluarganya. Ditambah dengan ayahnya yang harus pensiun dini karena dilanda penyakit dan kini pemasukan keluarganya berasal dari usaha yang dijalankan oleh orangtuanya.

Pada akhirnya, kondisi ini menjadi “win-win solution” baginya. Tiara bisa terus merintis karir, dan pemasukan yang ia terima cukup membantu kondisi keuangannya. Tiara saat ini sama sepertiku dimana ia masih mendapatkan pemasukan tetap, namun pekerjaan samping kamilah yang menyokong kebutuhan hidup kami. Tiara saat ini membiayai pengeluarannya untuk menyewa kos dari pekerjaan sampingannya, dan ketika Tiara mendapatkan tawaran pekerjaan dengan budget yang besar, ia sisihkan sebagian untuk keluarganya.

“Yah, namanya pekerja media mah emang gini, Ti.” Candaku.

“Emang, kak. Cuma mau gimana lagi?” Balasnya. “Cape, mah cape banget, tapi kalo aku nggak begini malah ngeberatin ortu aku.”


“Keren, loh kamu.” Pujiku. “Kamu berhak buat duduk di posisi kamu sekarang.”

“Apa? Makan malem sama kak Fadil?” Balasnya bercanda.

“Hahahahaha, jelas itumah!” Candaku lagi.

Setelah itu, kami mengobrol cukup panjang lagi. Aku juga menceritakan pergerakan band-ku dan apa yang akan kami lakukan dalam waktu dekat. Tiara juga menceritakan kesibukannya di organisasi dan kepanitiaan yang ia ikuti.

Kami mengobrol cukup lama. Pandanganku juga tak pernah lepas dari sosok wanita cantik yang sedang duduk di hadapanku. Bahkan kebulan asap yang menemani kami tak mampu menghilangkan ademnya pemandangan yang kulihat saat ini.

Perbincangan ini begitu mengalihkan kami. Hingga di titik kami selesai mengobrol, penjual sudah mulai beberes setelah dagangannya habis terjual. Sedangkan aku merasa kami tidak mengobrol selama itu.

“Eh, jam berapa ini?” Ucapnya gelisah sembari melihat jam.

“Anjir, lama juga, ya.” Balasku. “Kosan kamu udah dikunci jam segini atau kenapa?”

“Aduh, anjir.” Jawabnya terkejut. “Travel ke Bandung udah gak ada lagi kalo jam segini, mah.”

“Lah, kamu mau ngapain ke Bandung?” Tanyaku kaget.

“Mau pulang, kak. Besok aku gak ada matkul jadi mendingan pulang.” Jawabnya.

“Lah, bareng ama aku aja, atuh.” Balasku menawarkan opsi lain.

“Ih, helmnya cuma ada satu.” Jawabnya enggan.

“Cuek, kalo jam segini mah.” Balasku lagi, dan akhirnya Tiara menyetujui tawaranku.

Mengingat waktu, kami pun segera beranjak pergi ke Bandung. Lagi-lagi, momen ini selalu dibalut dengan kehangatan. Angin malam bahkan tak mengusikku sama sekali karena aku terus berbincang dengannya.

Perjalanan yang cukup panjang juga tidak terasa. Candaan yang kami lontarkan membuatku lupa dengan jarak yang memisahkan Bandung dan Jatinangor. Perbincangan ini terus berlanjut bahkan hingga kami sampai di depan rumahnya.

“Aduh, kak makasih banget, loh udah mau nganterin.” Ucapnya berterimakasih.

“Kalem, atuh. Akunya juga nyantai, kok.” Balasku.

Tiara pun beranjak mendekati pagar rumahnya. Rumahnya tidak begitu besar, namun tak kecil juga. Teras dan garasinya dipenuhi dengan tanaman hijau yang membuat rumahnya terlihat makin asri. Dilihat dari motor dan mobil yang ia punya juga, Tiara memang terlihat berkecukupan, namun apa yang terlihat di luar belum tentu mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam.

Tak lama, seseorang keluar dari rumahnya untuk membukakan pintu. Aku juga tidak mau langsung pulang dan aku ingin menunggu Tiara hingga ia masuk kedalam rumahnya. Namun, aku tiba-tiba teringat akan sesuatu.

“Eh, Ti.” Panggilku. “Jaket aku?”

“Oh, iya ya, hahahaha.” Balasnya tertawa. “Eh, tapi ini masih bau asep, kak.”

“Terus kamu maunya gimana?” Tanyaku.

“Kalo aku cuciin dulu aja gimana, kak? Nanti kalo ketemu lagi aku bawain.” Tawarnya.

“Atuh ngerepotin kamu.” Jawabku.

“Gak papa, kaak. Kan aku juga yang make ini.” Balasnya meyakinkanku.

“Oke deeh, sampe ketemu lagi yaa!” Jawabku mengiyakan.

“Sip, kaak.” Balasnya. “Tapi kapan aku bisa ketemu kak Fadil lagi, ya?”

“Nanti kan aku main di kampus kamu.”

“Oh, iya ya. Okedeeh, sampe ketemu lagi, kaak!” Balasnya pamit. “Aku pengen, deh ketemu sama kak Fadil lagi.”

Oh, wow. Apakah ini sebuah kode yang ingin ia sampaikan kepadaku? Apa kubalas dengan kode juga, ya?

“Aku juga mau ketemu kamu lagi cuma buat ngambil jaket sama nonton Rumahsakit bareng, kok.” Kodeku mengeluarkan segala karisma yang kupunya hingga lututku lemas.

Tiara tidak menjawab dengan perkataan. Selagi ia memasuki rumahnya, ia melambaikan tangannya kearahku dan kini Tiara sudah memasuki kediamannya. Namun satu hal yang kuperhatikan, senyumannya tak sedikitpun pudar selagi ia berjalan memasuki rumahnya.

Setelah memastikan Tiara sudah berada di dalam rumah, aku juga beranjak pulang menuju kosanku. Perasaanku juga tak berubah dan tak ada sedikitpun tangkai bunga yang patah di hatiku. Meskipun begitu, aku tahu besok aku akan mendapatkan masalah besar karena tak menyelesaikan tugasku tepat waktu.

Teh Laras pasti akan menggorok leherku.​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd