Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Warung Mbak Ningsih

Celana Dalam

Beberapa hari setelah peristiwa bersama Yason, suamiku menelpon. Ia bertanya kabarku dan keadaan warung. Ia juga bertanya keadaan anakku, pastinya. Kukatakan bahwa minggu depan aku berencana mengunjunginya di pondok. Kukatakan juga bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak ada masalah. Tentu saja aku tak mungkin menceritakan Yason padanya.

Suamiku bilang bahwa pekerjaannya di sana sepertinya masih lama. Ia belum tau kapan bisa pulang. Namun, bagiku itu masih bisa ditunggu. Asalkan aku mau bersabar. Ada perkataan darinya yang justru membuatku kepikiran.

“Dek, mas semalem mimpi ga enak.” kata suamiku.

“Mimpi apa emang, Mas?”

“Mas mimpi...” katanya seolah ragu. “...di mimpi semalem mas ngelihat kamu bersama laki-laki lain, dek.”

“Hah?” aku kaget. Entah kenapa aku langsung dengan perbuatan yang sudah aku lakukan. “M–Maksudnya, Mas?”

“Iya, dek. Kamu bareng laki-laki lain.”

“Bareng laki-laki lain? Barnge gimana, Mas?” tanyaku. Mulai muncul perasaan khawatir dalam diriku.

“Maaf, dek. Mas lihat di dalam mimpi...” katanya lagi agak ragu. “...kamu bercinta sama laki-laki lain.”

“Astaga?! Mas?!”

“Iya, dek. Mas juga ga tau kenapa mimpi begitu.”

Aku terdiam sejenak mencerna apa yang baru saja disampaikan oleh suamiku. “Udahlah, Mas. Itu hanya mimpi. Mungkin mas lupa baca doa sebelum tidur.”

“Iya mungkin, dek.”

“Atau karena udah lama ga nyentuh aku.” Aku berusaha mencairkan suasana agar ia tidak memikiran lagi mimpinya itu.

“Hehe. Mungkin karena itu ya, dek.”

“Bisa jadi, Mas.”

Aku coba terus menenangkan suamiku agar pikiran buruknya soal mimpinya semalam hilang. Aku juga tidak tahu bagaimana bisa suamiku bermimpi demikian. Mungkinkah pengkhianatan yang dilakukan oleh seorang istri bisa langsung tersampaikan pada suaminya? Tiba-tiba aku merasa berdosa. Aku sudah berbohong pada suamiku sendiri. Padahal dia rela merantau demi aku dan anak kami. Tetapi apa mungkin aku berkata yang sejujurnya? Tentu saja tidak. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika suamiku tahu.

Akhirnya aku terus merahasiakan kejadianku bersama Yason.

Aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa. Tidak ada sesuatu aneh yang kembali terjadi. Kalau hanya sekadar godaan dan rayuan dari para sopir, itu aku anggap sudah biasa. Angga masih tetap membantuku seperti biasanya.

“Mbak, malam itu kenapa warung tutup lebih awal?”

“Oh, kemarin itu mbak ngerasa capek banget. Pengin istirahat aja.”

“Kirain mbak sakit atau kenapa gitu?”

“Ngga kok, Ga.”

Diam-diam aku menaruh kecurigaan pada Angga bahwa ia menjadi mata-mata suamiku. Maka aku harus berhati-hati padanya. Jangan sampai ia melapor padaku soal perselingkuhan yang kulakukan. Untuk rayuan dan godaan dari para sopir, kukatakan padanya agar tak melapor pada suamiku.

“Itu hal yang biasa terjadi kalau kita memilih profesi seperti ini,” aku coba memberi tahu Angga. “Semua pekerjaan ada risiko masing-masing, Ga.”

Angga mengangguk-angguk mendengar ucapanku. Ia tidak menjawab apa-apa.

“Mas Udin sudah tahu kondisi ini,” aku melanjutkan. “Tapi untuk menjaga perasaannya, mbak minta tolong kamu ngga perlu cerita ke Mas Udin soal kondisi ini ya?”

“Iya, mbak.” Angga mengangguk. Ia menyanggupi permintaanku.

Namun, hari-hari yang biasa itu akhirnya terhenti ketika Sueb kembali datang ke warung. Ia datang sendiri dan sudah mengantarkan barangnya ke tempat tujuan.

“Kangen soalnya.” jawabnya saat kutanya kenapa kembali ke sini.

“Kangen sama siapa, Mas?”

“Ya sama Mbak Ningsih lah.”

“Kok kangen sama istri orang?”

“Ga boleh ya?”

“Nanti ketahuan suaminya lho.”

“Ah, suaminya juga lagi ga ada kan.”

“Emang kalo lagi ga ada kenapa, Mas?”

“Ya aku bisa gantiin jadi suaminya.”

“Hahaha. Mau gantiin suamiku? Biasanya suamiku bantu-bantu aku nyuci baju sih.”

“Jangankan nyuci baju. Nyuci yang lain juga siap.”

“Kalo emang siap, tuh cucian di belakang udah numpuk, Mas.”

Kukira Sueb tidak serius dengan perkataannya. Ternyata ia bersungguh-sungguh. Ia segera pergi ke belakang dan mencari cucianku. Aku mengikutinya dan rupanya ia sudah mengisi bak dan ember dengan air.

“Lho, Mas. Saya cuma becanda kok.”

“Gapapa, mbak. Demi bisa jadi suami, mbak.”

“Kalo jadi suami saya, suami saya yang beneran gimana?”

“Kan lagi ga ada,” katanya. “Apa ga kangen dipeluk suami?”

“Udahlah, Mas. Saya Cuma becanda tadi. Sini saya mau cuci baju dulu.”

“Hmmm. Kalo saya numpang cucian boleh ngga, mbak?”

“Tapi ga gratis ya?”

“Siap. Nanti saya bayar, mbak.”

“Boleh.” Jawabku. Entahlah bagaimana bisa aku langsung mengiyakan saat aku diminta mencuci baju orang yang bukan siapa-siapa aku.

Tempat biasa aku mencuci berada di antara kamar mandi milikku dan kamar mandi khusus para sopir. Aku segera mencuci pakaianku. Sueb masuk ke dalam pondokan kecil. Tak lama ia kembali dan langsung menenteng pakaiannya. Sementara ia sendiri sudah mengenakan handuk yang ia lilitkan di pinggangnya

“Ini ya, mbak. Saya mandi dulu.” Ia meletakkan di bak besar bersama pakaianku yang lain.

Sueb masuk ke dalam kamar mandi. Kulihat pakaiannya yang ia tumpuk bersama bajuku yang lain. Di sana kulihat celana dalamnya juga. Celana dalam inilah yang ia pakai untuk membungkus kontolnya yang besar itu, pikirku dalam hati. Diam-diam aku kembali terbayang pada kontol Sueb.

Tiba-tiba dari arah kamar mandi, kulihat Sueb keluar. Ternyata ia lupa membawa sabun. Ia masih lengkap dengan handuknya. Ia mengambilnya di pondok kecil lalu setelah itu ia segera masuk lagi. Namun sebelum masuk, ia mengatakan sesuatu padaku.

“Mbak, kalo misal pintunya ga ditutup, ga masalah kan?”

“Nanti ada yang lihat, Mas.” Jawabku.

“Kalo cuma Mbak Ningsih yang lihat ga masalah. Kan istri sendiri.”

“Malu, Mas. Jangan.”

“Katanya boleh jadi suami sementara,”

Aku tidak menjawab ucapannya dan tidak lagi melihatnya. Namun, kudengar suara air yang diguyurkan. Kulirik sedikit dan kudapati bahwa ia benar-benar mandi tanpa menutup pintu. Dari arah samping, aku melihat ia sudah telanjang. Kulihat kontolnya yang besar menggantung. Benar-benar sebuah pemandangan yang kontras: badan kurus dengan ‘senjata’ begitu gagah.

“Ah, tapi aku tidak boleh tergoda, aku harus menjaga dan menahan diriku.” ucapku dalam hati.

“Kalau mau lihat gapapa, mbak,” katanya tiba-tiba dari dalam kamar mandi. Seolah ia tahu kalau aku melirik. “Kayanya lirik-lirik terus mulai tadi.”

“Apaan sih, Mas. Saya lagi nyuci ini,”

“Udah berapa lama, mbak, ga lihat punya suami?” godanya. “Lihat aja sampe puas mumpung gratis, mbak.”

Aku tidak meladeni godaannya. Aku takut ia semakin berani. Meskipun sulit, aku mencoba untuk tidak terbawa arus permainannya. Aku hanya diam saja meskipun aku tidak bisa berkonsentrasi mencuci pakaian.

“Gapapa kalo emang pengin, mbak. Kan ceritanya lagi jadi suaminya. Apapun yang dimiliki suami, untuk istri kok.”

Pertahananku terus mengalami serangan dari Sueb. Kata-katanya seolah ingin memperdaya diriku agar termakan rayuannya. Tapi aku mencoba untuk fokus pada cucianku. Aku tidak bisa terus-terusan tergoda rayuan para laki-laki.

Sejenak tidak terdengar suaranya dari Sueb. Namun, tiba-tiba ia sudah berdiri di sampingku.

“Yakin ga mau sama ini?” katanya.

Astaga. Aku kaget. Tampak kontolnya yang mungkin hanya berjarak 10 cm di depan wajahku.

“Mas...” aku mendongak ke arahnya. “Nanti ada orang.”

Justru aku yang merasa khawatir. Takut tiba-tiba ada yang datang.

“Di mana biar ga ada orang?” tanyanya.

Ini pertanyaan menjebak. Aku tahu maksud dari Sueb. Ia ingin mengetahui bagaimana isi hatiku sebenarnya lewat jawabanku.

“Mau apa sih, Mas? Sudah sana pake baju.” Kataku.

“Aku ingin jadi suamimu, Mbak.”

“Duh, Mas. Saya kan cuma becanda tadi.”

“Ayolah, sayang.” Sueb memotong perkataanku.

Barangkali karena sudah tidak tahan, Sueb membangunkanku dan membawaku ke pondok kecil di belakang. Anehnya aku malah ikut saja begitu ia membawaku.

“Mau apa, Mas?” tanyaku

“Mbak, saya bener-bener tertarik sama mbak. Melihat mbak yang cantik dan badannya yang menggoda,” kata Sueb. “Saya udah ga bisa nahan lagi, mbak.”

“Tapi, Mas, saya kan udah punya suami.”

“Saya tahu mbak pasti lagi kesepian kan?” ucap Sueb. “Wanita mana yang ngga kesepian ditinggal suaminya? Ayolah, mbak. Kita saling bantu. Lagian suami mbak ngga di sini.”

Aku terdiam. Batinku bergejolak dilandang kebingungan. Haruskah aku menerima ajakan Sueb? Ataukah aku harus menolaknya? Di satu sisi aku teringat suamiku dan kesalahan yang sudah kulakukan. Di sisi lain, aku tidak bisa membohongi hasrat kewanitaanku yang juga menginginkan belaian laki-laki.

Aku melihat ke arah Sueb. Tanpa basa-basi Sueb langsung menidurkanku. Aku tak bisa lagi mencegahnya.

“Mas, pake pengaman.” pintaku saat ia mulai mencoba menurukan celana legging-ku.

“Kenapa?”

“Saya takut hamil,”

“Saya keluarin di luar, mbak.”

“Jangan, Mas. Saya takut.”

“Baiklah.” Sueb lalu mengambil sebuah tas kecil dan mengeluarkan sebuah kondom. Apakah semua sopir memang selalu menyediakan kondom?

Ia lalu menyuruhku membuka pakaian yang kukenakan. Aku membuka pakaianku satu per satu dimulai dari kaos ketaku, legging, CD hingga BH. Sueb membantu membuka kaitan BH-ku. Jadilah kini aku bertelanjang di depan Sueb. Lagi-lagi aku kembali tidak berdaya di depan laki-laki lain.

“Tapi saya belum tutup warung, Mas.” kataku.

“Ah, biarin aja. Ga mungkin ada yang dateng kok.”

“Jangan, Mas. Nanti kalo ada yang beli tapi ga ada orang, takutnya nyari ke belakang.”

“Baiklah. Biar saya yang tutup aja.” Sueb langsung turun dari pondok dengan masih bertelanjang.

“Mas, kok ga pake handuk aja?”

“Iya biar saya ambil dulu di kamar mandi.”

Tidak lama menunggu Sueb pun kembali ke pondok. Ia lalu menutup pintu pondok karena takut ada yang melihat. Ia langsung membuka handuk yang ia kenakan dan telanjang kembali.

“Badanmu menggoda banget, mbak.” Puji Sueb. Ada perasaan bangga saat ada yang memujiku seperti itu. Ia mencoba membuka pahaku untuk melihat selangkangan. “Lebat juga ya.” Ya. Aku memang jarang mencukur bulu kemaluanku.

Sueb lalu menidurkanku. Ia menindihku dan memulai semuanya dari bagian dadaku. Mulutnya mulai melahap kedua susuku secara bergantian. Pertemuan dua kulit tubuh kami membuat birahiku semakin meningkat. Sueb tak hanya memainkan mulutnya. Ia juga menggunakan lidahnya untuk memberiku rangsangan. Lidahnya bermain-main di puting susuku.

Ciuman Sueb terus turun ke arah perut dan bahkan akan mencapai selangkangan. Namun, ketika Sueb akan melakukannya aku segera menghentikannya.

“Kenapa?” tanya Sueb.

“Jangan, Mas. Saya belum pernah digituin.”

“Ini akan jadi yang pertama.”

“Jangan, Mas. Yang lain saja.”

“Baiklah.” Sueb menuruti kemauanku.

Sebelumnya aku memang tidak pernah melakukan oral seks. Suamiku selama ini cenderung melakukan seks yang itu-itu saja: buka baju, ciuman, payudaraku, masukin kontol dan selesai. Rasanya aneh bagiku bila ada yang mencium memekku dengan mulutnya. Gagal melakukan oral seks, ia langsung membuka pahaku. Pertama-tama ia meraba memekku dengan tangannya.

“Udah basah ya?” katanya. Aku diam saja. Sebetulnya malu untuk mengakui itu.

Ia mulai mengarahkan kontolnya ke memekku. Dalam hati aku berkata bahwa sebentar lagi aku akan kembali digagahi oleh laki-laki lain. Dalam jangka waktu yang tidak lama, sudah dua laki-laki yang menyetubuhiku. Sueb menggesek-gesekkan kontolnya di memekku membuatku mulai mendesah.

“Ah...ah...” desahku sambil memejamkan mata. Rasa nikmat mulai kurasakan.

Cukup lama Sueb melakukan gerakan itu. Seolah ia ingin membuatku sangat basah terlebih dahulu. Ia sangat berhati-hati agar kontolnya tidak masuk ke memekku.

“Ahh....ah....ah...mas....” desahku makin keras. Aku makin tidak tahan dengan permainan Sueb ini. Bahkan aku mulai merespon gesekannya dengan gerakan pantatku. Itu kulakukan agar semakin menambah kenikmatan yang kurasakan.

“Mas...uuu...daahhh...aa...yyoo...” desahku sambil meminta agar Sueb menghentikan gesekannya. Aku ingin ia segera memasukkan kontolnya.

“Ma...suuukiinn...mas...ahhh...” aku kembali meminta pada Sueb.

Mungkin tidak tega melihatku yang terus mengiba, Sueb mulai melakukan dorongan pada memekku. Namun, aku menghentikannya.

“Pasang dulu,” kataku. Segera ia memasang kondomnya itu pada kontolnya. Karena ukuran kontolnya sangat besar, kondom yang ia kenakan tampak sesak.

Tidak butuh waktu lama karena memekku sudah basah sehingga memudahkan kontolnya untuk masuk walaupun kontolnya terbilang besar.

“Ahh...” desahku saat kepala kontolnya sudah masuk.

Sueb pun perlahan melakukan dorongan kontolnya agar semakin masuk. Perlahan dan perlahan hingga akhirnya nyaris seluruh batang kontolnya amblas ke dalam memekku. Memekku terasa penuh dengan kontol Sueb.

“Nikmat, kan?” kata Sueb padaku. Aku mengangguk.

Sueb mulai menggenjot memekku. Gerakannya pelan. Kami berdua mulai saling mendesah. Sueb berusaha mencium bibirku dan aku langsung menyambutnya. Ciuman itu makin menambah panas adegan kami. Tangan Sueb juga tidak tinggal diam. Ia meremas-remas salah satu susuku.

Karena birahi makin meningkat, gerakan Sueb semakin cepat. Ia mulai melakukan genjotan dengan cepat. Nafas kami menjadi terengah-engah. Kami saling mendesah satu sama lain.

“Ah...ah....ah...”

“E..nakk...say..yaanng?” tanya Sueb. Sekali lagi aku hanya mengangguk. Itu sudah cukup jadi jawaban untuk pertanyaan.

“Mee..mmek..mmu....ahh....” kata Sueb. Ia terus mempercepat genjotannya.

“Aah...ahh...mas...ahh....” aku juga ikut mendesah.

Sueb seperti melakukan genjotan yang membuat kontolnya seolah mentok ke dinding rahimku. Memekku benar-benar terasa sesak. Aku semakin tidak tahan. Kugoyang pantat sebagai respon atas kenikmatan yang kuterima.

“Mass...ee...naak....aah...yaa....” Aku mulai meracau tak jelas.

Tak lama setelah itu, ketika genjotan Sueb kian cepat, aku tak bisa membendung orgasmeku.

“Ahhh....maas...” Kakiku bergetar hebat. Pantatku juga demikian. Aku telah mencapai titik puncakku.

Kulihat Sueb belum menunjukkan akan segera sampai. Ia terus saja menggenjot memekku yang sudah seperti porak poranda dihantam kontol besarnya. Tapi tak lama setelah itu, ia seperti seriga yang meraung.

“Ahhh.......” Sueb pun mencapai orgasmenya. Ia membenamkan dalam-dalam kontolnya ke dalam memekku. Kontolnya berkedut beberapa kali.

Lalu Sueb terbaring di sampingku. Ia tampak terengah-engah. Keringatnya memenuhi seluruh badannya. Ia pun lalu membuka kondom yang masih melekat di kontolnya. Aku juga terbaring lemas. Rasanya tidak ada tenaga untuk sakadar bangun.

“Makasih ya?” kata Sueb. “Pelayanannya memuaskan, mbak. Kok bisa sih memeknya masih nikmat gitu?”

“Kok bisa sih, orangnya kurus tapi kontolnya gede?” tanyaku balik pada Sueb.

“Hahaha. Ini senjata andalan, mbak” katanya. “Mbak puas kan sama ini?”

“Kalo ga puas, ga mungkin saya puji, Mas.”

“Hehe,” jawabnya. “Gak nyesel kan punya suami pengganti kaya saya?”

“Cocok kalo lagi butuh kepuasan,”

Aku langsung mengenakan pakaianku. Tapi sebelum aku mengenakannya Sueb meminta sesuatu padaku.

“Boleh saya minta celana dalam, mbak?” katanya.

“Hah?! Buat apa, Mas?”

“Buat nemenin saya di jalan. Siapa tau kangen sama Mbak Ningsih.”

“Tapi, Mas, itu kan bau.”

“Masa mau sama barangnya ga mau sama baunya?”

Sueb langsung mengambil celana dalamku dan menyimpannya. Aku kembali ke warung tanpa mengenakan celana dalam.

Bersambung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd