Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT VIRDA

Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
PART 7



POV ANTA

Aku benar-benar heran melihat sikap Deqwo yang sangat berubah saat ini. Aku tak mengerti, mengapa sikap Deqwo sangat tidak bersahabat. Deqwo menunjukkan ketidaksenangannya dengan kedatangan sahabatnya ini. Aku berdiri di hadapannya, sepertinya aku sudah mati rasa untuk mampu memahami omelan Deqwo.

“Wo ... Kenapa sih kau?” Tanyaku, sangat heran.

“Lebih baik lu pergi deh!” Jawab Deqwo sambil menahan tangisnya.

“Deqwo ....!” Seruku.

“Pergi ...!!!” Gertak Deqwo dengan keras.

Sedetik setelahnya, aku berjalan keluar dari kamar Deqwo dan menjauh dari tempat itu. Sahabatku itu terdengar menangis, tak bisa menetralkan tangisan yang menguasainya. Sungguh, aku sangat bingung menghadapi situasi ini, tidak tahu harus berbuat dan berkata apa.

Sebelum menaiki kendaraan, aku menengok ke arah rumah Deqwo. Aku terdiam dan sekali lagi pikiranku berkecamuk memikirkan segala kemungkinan. Aku akhirnya menghela nafas dan tersenyum.

“Oh ... Semoga dia bisa seperti biasa lagi. Dia kelihatan sangat bersedih. Aku tak akan mengganggunya.” Hanya itu yang bisa aku sampaikan meski kenyataannya beribu pertanyaan mengganggu pikiranku.

Aku lajukan kendaraanku dengan berusaha santai. Alunan lagu Justin Bieber menemaniku menyusuri jalanan yang cukup ramai hari ini. Dan hari sudah cukup siang, tiba-tiba aku merasakan cacing-cacing di perutku mulai kurangajar, dia meronta-ronta minta diberi makan sampai aku bisa mendengar perutku berbunyi.

“Nah ... Di sana aja.” Gumamku dalam hati. Aku memberhentikan mobilku di depan sebuah restoran elit yang berada di kawasan pusat kota. Aku melepaskan sabuk pengaman dan segera membuka pintu mobil. Aku berdiri sejenak di samping pintu mobil, setelah menghembuskan nafas, aku segera berjalan memasuki restoran ini.

Aku tahu kalau restoran yang aku pilih ini bukan sembarangan restoran, terlihat dari beberapa pengunjung yang menggunakan pakaian mewah dan barang limited edition. Baru saja empat langkah dari pintu masuk restoran, mataku tertumbuk pada wajah cantik dengan rambut ikal kecokelatan yang kedua matanya begitu jernih serta senyumannya yang teduh dan menawan.

“Virda ....” Gumamku lagi dalam hati.

Tetapi dia tidak sendirian, karena ada seorang pria tampan yang menemaninya. Pria itu terlihat begitu puas diri, begitu bahagia, dan sangat necis. Mereka tidak menyadari kalau aku duduk di dekat mereka berharap mereka melihatku dan mengajakku bergabung dalam makan siang mereka. Seorang pelayan datang memberikan menu kepadaku. Aku segera memilih makanan dan minuman sesuai keinginan. Sambil menunggu, aku perhatikan kebersamaan Virda dengan pria itu. Mereka begitu romantis bak pengantin baru.

Perlahan tapi pasti, hatiku mulai teriris melihat tangan pria itu memegang jemari Virda dengan mesra. Aku sedikit mendengar perbincangan mereka, ternyata mereka teman kampus saat mereka kuliah di Amerika. Saat si pria mencium lembut jemarinya, hatiku seakan digodok di kawah candradimuka, terasa panas sekali dibakar api cemburu.

“Eh ... Tidak ... Tidak ... Aku tidak boleh ...!” Batinku dalam hati. Aku tidak mempunyai hak untuk cemburu. Lagi pula, Virda bukan siapa-siapaku. Aku coba menguatkan hati dan membiarkan mereka adalah lebih baik dan paling baik. Mereka ada tetapi aku acuhkan. Mereka bicara tetapi tak kuhiraukan. Memang ini salah dan aku pun menyadarinya.

Aku mulai menyantap makananku dengan lahap tanpa menghiraukan suasana di sekelilingku. Namun, aku hampir tersedak saat mataku bertatapan langsung dengan matanya. Ekspresi di wajahnya terlihat pias dan redup, terlihat jelas nafasnya memburu, dan matanya sedikit berkaca-kaca.

Aku mengetahui situasi, kalau ini dilanjutkan akan tidak baik untuk Virda. Segera aku sudahi makan siangku dan langsung meninggalkan meja makanku.

“Anta ...!” Teriaknya agak tertahan di tengah nafasnya yang menderu.

“......” Aku balikkan badan. Virda sudah tepat di belakangku.

“Gue ... gue ...” Ucapannya tak jelas dan sulit dipahami. Matanya menyiratkan kecemasan.

“Gak apa-apa kok, Vir ... Lanjutin aja ... Tuh cowok kau nungguin.” Kataku sambil tersenyum yang agak kupaksakan.

“Anta ... Itu temen kerja gue ... Eem, tepatnya atasan gue.” Jelasnya sedikit terbata.

“Apalagi atasanmu ... Sudah sana kau balik ke meja ... Aku balik dulu, ya ...” Ucapku sembari meneruskan langkahku keluar restoran.

Rasa tidak nyaman ini mendorongku agar cepat meninggalkan lokasi. Kondisi hati dan pikiranku seperti benang kusut, semakin suara-suara dan pikiran-pikiran ini berdengung dalam hati, rasanya pikiran dan hatiku semakin kusut. Terkadang seakan aku bisa mengurai pikiranku supaya tidak kusut, tetapi tak lama kemudian menjadi kusut lagi. Kusadari pikiran ini bukan untuk dibuang tetapi untuk diurai.

“Bruuukk!” Tiba-tiba aku merasakan badanku menabrak seseorang. Kuakui memang aku sedang lengah.

“Aduh ... Maaf!” Pekikku seketika. Aku mendongakan kepala dan ternyata aku menabrak seorang wanita berpakaian blazer sangat rapi terkesan bahwa ia seorang pekerja kantoran.

“Oh ... Eh ... Ya ... Gak apa-apa ...” Katanya yang gugup sambil memandangi wajahku.

“Maaf, mbak ... Aku ngelamun ...” Ucapku polos sambil menutup kedua telapak tanganku.

“Gak apa-apa kok, Mas ...” Jawabnya sambil tersenyum manis.

“Naya ....!” Suara yang sangat kukenal itu tiba-tiba ada di belakangku.

“Vir ... Sorry, aku telat!” Kata wanita yang dipanggil Naya sambil memberikan sebuah tas pada Virda. Aku memandangi kedua wanita ini, setelah itu aku pun berlalu dari mereka.

“Anta ...!” Lagi, Virda memanggilku. Aku menengok kecil ke arahnya tanpa bersuara.

Aku tinggalkan Virda dengan seonggok perasaan yang tak terungkap, sekecap perkataan yang tak terbalaskan, dan seuntai mimpi yang tak terkabulkan. Ada perasaan menyesal karena berbagai hal, tetapi aku sangat sadar semua tak perlu disesalkan. Hatiku mulai kutata lagi, serpihan hati yang hancur mulai kususun walau masih ada bekas retak yang tersisa.

Sebelum aku masuk ke dalam mobil, kembali aku berdiri di samping pintu mobil dan menatap ke arah Virda yang sejak tadi tidak beranjak dari pintu restoran. Kulayangkan senyum keikhlasan dan dia pun membalasnya. Betapa Tuhan ciptakan mata dan bibirnya tidak sia-sia, yakni untuk melipur segala duka dan menawar setiap lara yang melanda jiwa. Tetapi aku sadar bahwa ciptaan Tuhan ini bukanlah untukku.

Sepanjang perjalanan pulang hatiku terus bertanya-tanya. “Apakah aku mencintainya? Apakah aku mencintainya lebih dari yang aku sangka? Kalau aku tidak mencintainya, mengapa hatiku merasa tercabik saat melihatnya tadi?” Sepanjang hari ini itulah pertanyaan yang muncul di benakku.

Sesampai di rumah aku pun masih merasa bingung dan kecewa. Ibu yang menjemputku dan melihat kejanggalan dalam diriku ini tentu saja bertanya.

“Ada problem?” Tanya ibu setelah kami duduk di ruang depan.

“Eeemm ... Virda, Mah. Virda jalan ama cowok.” Kataku pelan, penuh penekanan, dengan nafas yang berat.

“Sebaiknya begitu daripada menggantung terus tanpa ada kepastian.” Kata ibu tenang diluar dugaanku.

“Tapi rasanya gak enak, Mah ... Melihatnya pergi begitu aku ingin mengejarnya dan menahannya. Jadi aku bingung, aku sendiri tidak tahu apakah aku mencintainya atau tidak.” Keluhku.

“Perpisahan terkadang baik untuk membantu kita melihat dalam perspektif yang sebenarnya. Rasakanlah dalam beberapa hari ini. Jika perpisahan ini membuatmu sadar bahwa sebetulnya kamu mencintainya, masih belum terlambat bagi kamu untuk mengejar dan menjelaskan padanya. Tapi Mamah gak akan heran kalau setelah lewat beberapa hari emosi kamu akan mereda dan kamu sudah melupakannya.” Kata ibu sambil tersenyum.

“Aku benar-benar tidak tahu.” Kataku.

“Sekarang lupakan kesedihanmu ... Sekarang dengarkan cerita Mamah ... Papahmu menyuruhmu bekerja. Ada relasi papahmu yang mau menerima kamu bekerja di perusahaannya.” Jelas ibuku.

“Aku malas, Mah ... Dan sejak kapan Mamah mau memperhatikanku.” Nadaku sedikit kesal.

“Ibu malu melihat kamu luntang lantung aja ... Sudah saatnya kamu mencari kehidupanmu sendiri. Jangan bergantung terus sama orangtua.” Kini suara ibu sengit.

“Ya ... ya ... Kapan aku mulai bekerja.” Tanyaku sedikit menurunkan tensiku.

“Besok ... Besok papahmu akan ngater kamu ke perusahaan temannya.” Kata ibuku lagi.

Tak lama ngobrol dengan ibu, aku masuk ke dalam kamar dan segera menutup pintunya. Kubaringkan badan di atas kasur dan memejamkan mataku. Aku membayangkan kejadian tadi di restoran. Aku rasa Virda ‘lumayan’ serasi dengan pria itu. Entah kenapa aku masih menggunakan kata ‘lumayan’ untuk menggambarkan tingkat kecocokan mereka berdua.

Aku bukannya tidak merelakan Virda memulai hubungan yang lebih serius dengan laki-laki itu. Aku bukannya ingin menghalangi langkah Virda untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya. Aku bukannya masih mengharap Virda berubah pikiran dan kembali padaku. Bukan itu semua. Hanya saja rasanya tidak percaya ada seseorang yang disebut serasi berdua dengan Virda, dan itu bukan aku.

###


POV VIRDA

Persaanku saat ini sangat campur aduk. Aku sangat tidak menyangka jika aku harus mengalami kejadian seperti ini. Laki-laki yang pernah aku cintai datang tidak pada waktu yang tepat. Aku sangat takut kalau dia sakit hati dan dia menjauh dariku. Haruskah dilema menghantui diriku. Masih adakah kesempatanku untuk kembali dari semua hal dan aturan yang kau anggap telah mati.

“Hei ... Vir ... Ngelamun lagi ...!” Teguran Naya mengakhiri lamunanku.

“Eh ... Eh ... ya ... ada apa?” Benar-benar aku terkejut dibuatnya.

“Aduh, Vir ... Kenapa sih ngelamun jadiin hobby?” Canda Naya sambil merangkul bahuku.

“Nggak kok, Nay ...” Kilahku.

“Selamet ya, Vir ... Kamu jadian ama anak bos.” Bisiknya di telingaku. Entah senang atau sedih yang harus kurasakan saat ini.

“Makasih ya ... Nay ...” Jawabku sambil tersenyum.

“Vir ... Tadi cowok di restoran, kenalin ama aku dong!” Pinta Naya. Sontak saja aku terkesiap kaget. Darahku seakan sirap sejenak.

“Eh ... oh ... ya ... ya ... Nay ...” Jawabanku pun tak beraturan.

“Kenapa sih, Vir ... Keliatan kaget gitu?” Tanya Naya yang kini menghadapkan wajahnya padaku.

“Nggak, Nay ... Ah, aku lagi gak enak badan kali ya?” Kataku berkilah sambil menyembunyikan keterkejutanku.

“Sini, aku pijitin. Tapi kenalin ama dia ya?” Ucapnya. Tak sadar aku menggelengkan kepala karena tidak percaya dengan apa yang aku dengar.

“Kok ... geleng-geleng kepala, Vir?” Lanjut Naya dengan pertanyaan heran.
“Oh ... Bukan, Nay ... Kepalaku pusing.” Terpaksa aku terus berbohong pada Naya.

“Hhhhmm ... Lebih baik kamu pulang deh, Vir ... Kelihatannya kamu memang lagi gak sehat.” Lirih Naya sambil memperhatikan wajahku lagi.

“Tanggung, Nay ... Sebentar lagi jam pulang kerja.” Kataku.

Aku mengurut keningku keras, konsentrasi bekerjaku buyar gara-gara laki-laki itu. Ditambah lagi, rekan kerjaku menginginkannya. Tak tahu apa yang harus dilakukan dalam memecahkan persoalan ini. Betapa rumitnya sebuah rasa yang bernama cinta, begitu banyak hal yang tidak aku pahami.

Kegelisahan ini sudah menghantuiku sejak lama. Kegelisahan yang membuatku merasa tidak nyaman untuk melangkah, sebab apa yang tertinggal di belakang senantiasa mengikuti jejakku. “Oh Tuhan, bila memang aku dan dia tidak bisa bersama, mengapa begitu sulitnya untuk aku merelakan semua?” Jeritku dalam hati.

Aku paksakan mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawabku di perusahaan ini. Aku sibukkan diri untuk aku lupakan dia sejenak. Tiba-tiba smartphoneku berdering kencang. Aku lihat sebuah nama di layar smartphoneku.

“Ya ... Wo ...” Sapaku pada Deqwo di sana.

“Bisa kita ketemuan?” Pintanya.

“Kapan?” Tanyaku.

“Sekarang ... Hari ini maksud gue ... Pulang lo kerja ... Gimana?” Katanya.

“Ok ... Sama Anta, gak?” Tanyaku lagi.

“Nggak ... Kita berdua aja. Di cafe biasa ya?” Jelas Deqwo.

“Ya ... Gue pasti ke sana.” Balasku.

Walaupun aku menyetujui ajakan Deqwo, namun kali ini aku merasa sedikit heran karena dia tidak bersama sahabatnya. Tapi, mungkin ada hal pribadi yang akan Deqwo utarakan padaku. Aku berharap apa yang akan Deqwo katakan nanti adalah hal yang membuatku bahagia.

Tak terasa, matahari mulai tergelincir, sudah pukul 16.30 petang dari kejauhan tampak awan hitam berarak. Aku pun harus bergegas sebelum hujan turun. Aku pun melangkah ke basement mengendarai sepeda mobilku menuju kafe yang biasa tempat kami bertiga berkumpul.

Benar saja satu kilometer menuju kafe rintik hujan pun turun. Aku terlambat ternyata, hujan sedikit menghambat perjalananku.

Setengah berlari aku memasuki kafe menuju tempat pertemuan. Kulihat Deqwo sudah tiba duduk di meja yang biasa juga kami tempati di kafe ini.

“Maaf gue terlambat!” Kataku setelah duduk di hadapannya.

“Santai Vir, gue juga belum lama sampainya.” Sahut Deqwo. Wajahnya terlihat sendu.

“Oh, syukurlah.” Kataku.

“Maafkan aku Vir, sudah lancang meminta waktu lu.” Katanya.

“Oh, iya gak apa-apa. Lu buat gue penasaran, masalah apa ya, yang lu mau dibicarakan?” Tanyaku langsung saja pada inti pembicaraan.

“Kita pesan dulu sesuatu untuk diminum ya!” Ujar Deqwo. Tak lama pelayan pun mencatat minuman pesanan kami, aku menolak tawaran Deqwo untuk memesan makanan, seperti biasa aku cukup dengan lemon tea saja. Lalu Deqwo mulai membuka kisah masa lalu saat masa SMA.

“Gue bisa merasakan energimu tak karuan, lo sedang bermasalah?” Tiba-tiba Deqwo melontarkan pertanyaan yang tidak terduga.

“Lu dukun, ya?” Aku tertawa geli.

“Serius Virda, gue melihat dan merasakannya, gue bukan dukun tentang kemampuan ini ya gue dapatin dengan berlatihlah.” Jelas Deqwo.

“Oh, iya ... Gue lupa kalau sejak dulu lu memang aktif mengikuti ekskul bela diri, dulu gue juga pernah diterawang seperti sekarang oleh Pak Gandi.” Kenangku mengingat masa SMA.

“Apa lu bahagia, Vir?” Tanya Deqwo.

“Emh ... Bukankah lu bisa membaca energi aura gue?” Aku menunduk, ada rasa khawatir apa harus aku berterus terang atau tetap menyimpannya sendirian.

“Lu emang sejak dulu memang introvet, sulit terbuka! Jangan menyiksa diri sendiri. Lu bisa sakit, stres ujungnya lu bisa gila sendiri.” Candanya sambil tertawa.

“Sebenarnya apa yang mau lu bicarain?” Desakku padanya.

“Iya ini gue merasa berkewajiban mengingatkan lu. Wajah lu itu kurang terang kusut Vir, mata lu hanya fokus pada satu titik. Jangan terlalu keras dengan diri sendiri.” Jelas Deqwo yang aku akui memang dia pandai membaca gesture seseorang. Aku hanya terpaku mencerna kata-kata Deqwo, tanganku tak henti mengaduk minuman dalam gelas, tiba-tiba aku merasa sangat mengasihi diriku sendiri, apa memang sebegitunya aku dipandangan orang-orang.

“Terima kasih, akan gue pertimbangkan saran lu.” Dengan wajah masih tertunduk aku lirih menjawab.

“Vir, gue mau bicara soal Dona?” Deqwo mengalihkan objek pembicaraan ke masalah lain.
“Eh, ya ... Ada apa dengan dia?” Senyumku terpaksa karena tidak fokus.

“Lu gak ngerasa kalau dia sangat benci lu?” Tanyanya.

“Hhhmm ... Ya ...” Aku tahu, bahkan merasa sangat terasa tetapi tidak mengerti apa alasannya.

“Apa sekarang sikap Dona baik pada lu, Vir?” Tanya Deqwo beruntun padaku.

“Tidak, dia masih sama seperti dulu, gue tak pernah bisa sejalan dengannya, gue selalu ditentangnya, gue malas sekali dengan dia.” Keluhku, sesaat aku menutup mulut dengan tanganku, kelepasan kenapa aku mengatakannya, semoga Deqwo tidak menyampaikannya lagi pada Dona.

“Tenang, Vir ... Gue gak akan ceritain ke Dona.” Deqwo membaca gesturku dan menangkap keresahanku karena keceplosan, seakan dia bisa baca pikiranku. Aku hanya senyum.

“Apa lu tahu alasan Dona membenci gue, apa dia cerita?” Tanyaku.

“Tentu saja.” Jawabnya pelan.

“What?” Tanyaku kaget.

“Virda, Dona merasa kebahagiaannya lu rebut, dia cemburu dan menderita karena lu.” Jelas Deqwo sambil matanya menerawang entah kemana.

“Bagaimana bisa, apa maksud lu?” Tanyaku penasaran.

“Waktu kita SMA, Dona menganggap lu rebut Anta darinya ... Sekarang, dia merasa gitu juga. Gue gak tau siapa laki-laki itu, tapi yang jelas bukan Anta.” Jelas Deqwo yang membuatku terperangah mendengarkannya.

“......” Aku terdiam. Firasatku mengatakan kalau ada sesuatu yang besar akan aku dengar dari mulut Deqwo selanjutnya.

“Vir ... Gue mau nanya dan jawab dengan jujur. Bagaimana perasaan lu ama Anta?” Tanyanya. Dan itu sudah kuduga. Pertanyaan itu jelas tak mungkin kujawab.

“......” Kembali aku terdiam. Aku semakin tak karuan dibuatnya.

“Ok ... Kalau lo gak mau menjawabnya. Tapi dengar baik-baik ucapan gue kali ini. Biar gue mati gak penasaran, ini harus gue ucapin ama lo. Vir ... Gue sejak dulu ....” Kupotong ucapan Deqwo karena aku tidak ingin mendengarnya.

“Cukup, Wo ... Cukup ... Jangan lu terusin.” Seruku.

“Vir ... Dengar dulu ... Gue belum selesai ...” Kupotong lagi ucapannya.

“Nggak, Wo ... Jangan lu terusin ... Percayalah, gue akan terus jadi sahabat lu!” Kataku seraya berdiri dan berlari meninggalkannya.

Dunia serasa berhenti berputar. Aku hanya bisa mendengar langkah kakiku yang tak karuan. Aku bisa merasakan detak jantungku yang sangat cepat. Aku hanya bisa berlari dan menangis. Aku tidak peduli dengan tatapan aneh semua orang di sekelilingku. Aku berlari, berlari, dan terus berlari. Sampai akhirnya aku sampai di mobilku dan langsung meninggalkan kafe itu.

Sesungguhnya aku tidak ingin menyakiti hati siapapun. Aku hanya ingin tetap menjadi sahabatnya. Aku tidak ingin menyakiti hati Deqwo dan dibalik itu juga aku tidak ingin menyakiti hati Anta. Keduanya orang-orang spesial di hatiku, hanya saja Anta mendapat tempat yang lebih daripada Deqwo di hatiku.

Aku pacu kendaraanku sekencang mungkin untuk menghilangkan kegundahanku. Aku sudah merasa sangat letih dan tidak peduli lagi terhadap apa yang terjadi. Kupacu terus kendaraanku hingga akhirnya sampai juga di rumahku. Aku berlari dan menabrak pintu yang sedikit terbuka dan masih berlari menuju kamarku. Aku benamkan mukaku ke dalam bantal yang selalu setia menemani tidurku.

“Tidak... tidak...” suaraku pun keluar setelah pergulatan dalam hati.

Aku bangkit kemudian termangu menopang dagu dengan mata menerawang jauh, membayangkan wajah-wajah spesial yang dilihatku sepanjang hari ini. Terutama kejadian siang hari itu di restoran, benar-benar membuat hatiku tidak tenang. Entah mengapa, bayangan wajah Anta terus saja muncul mengisi pikiranku. Meski berulang kali aku berusaha untuk membuang jauh bayangannya, namun semakin kuat aku berusaha membuangnya, semakin lekat pula bayangan Anta menggurat di dalam pikiranku.

“Anta ......” Gumamku lagi. Aku menyebut nama itu lagi. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya aku mamanggil Anta. Kadang tanpa kusadari sering menggumam nama Anta. Aku menarik napas panjang dan berat, sembari menggelengkan kepala, aku berpusing-pusing sendiri. Betapa bodohnya aku selalu mengingat wajah Anta.

BERSAMBUNG




Terima kasih kepada si akang baik hati @Nicefor yang telah membantu melanjutkan Virda, tanpa beliau Virda pasti akan macet.

Nuhun yah kang :ampun:

Dan terima kasih kepada kakak tersayangku @merah_delima dan @RSP27 yang selalu mensupport untuk melanjutkan trit ini. :ampun:

Maaf bila mengecewakan para reader, Virda akan berlanjut hingga tamat dengan bantuan kang @Nicefor .
 
Durung ono update yooo

:mindik:
Sudah update om, maaf bipa mengecewakan :ampun:
Ini true story om dewqo ya? Kayaknya cidaha bgt
Bukan om, Virda ini murni imajinasi penulis.
Semoga terhibur om..
Sehat selalu...
Masih menunggu
Sudah update om, maaf bila mengecewakan. Insya Allah akan dilanjutkan oleh kang @Nicefor
Masih menunggu <2>:mancing::mancing:
Papa koko :joget:
Sini udah update nih :D
Sepertinya hari ini mau ada khilaf nih.
Udah khilaf mang, maacih supportnya :ampun:
 
Apa yg kalian bicarakan?
Apa kalian semua ingin update?

Klo gitu saya juga :D
Udah update om, semoga terhibur...
Maaf bila mengecewakan :ampun:
selamat pagi neng @gadissoyu :kangen:

moga selalu sehat, diberkati, dan dilancarkan segala pasal kehidupan....

aamiin.....
Amin ya Allah...
Maacih om kuciang, maaf telat update inssya Allah akan di perlancar :ampun:
Neng khilafkan diriku.. eh dirimu ding..;)
Udah khilaf om, semoga terhibur...
Maaf bila mengecewakan :ampun:
sudah kelar belum nulisnya neng @gadissoyu ?
Udah kelar om, semoga terhibur...
Maaf bila mengecewakan :ampun:

Sehat selalu...:D
 
Udah update om, semoga terhibur...
Maaf bila mengecewakan :ampun:

Amin ya Allah...
Maacih om kuciang, maaf telat update inssya Allah akan di perlancar :ampun:

Santai aja neng jangan dijadiin beban krn RL adalah prioritas utama. Yg penting selalu sehat dan lapang hati.

Wa cuma kangen neng yg dulu aja krn nampaknya akhir2 ini nampak lain...maaf kalo salah ya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd