Episode 13
Jalan Pikiran Erna
POV Erna
“Iya, Dan? Ada apa?” Gue menjawab telepon.
Gue lagi tiduran di ruang tunggu. Bola mata gue terpaku pada langit-langit rumah sakit, melihat berbagai pita frekuensi handphone yang warna-warni, seliweran, datang dan pergi menembus tembok. Telepon dari Dani adalah distraksi yang serius.
“Ada rumor, nanti ada transaksi senjata alien.” Katanya di seberang telepon.
“Terus gue harus gimana nih?”
“Lu di sana aja, inhuman malah jangan disuruh ikut-ikutan.” Terangnya.
“Lah, terus?”
“Gue yang tugas di lapangan.”
Dani menjelaskan situasi lengkapnya mengenai instruksi yang diberikan petinggi A.T.C.U. beberapa waktu sebelumnya. Sat ini Dani berada di lapangan, berganti posisi dengan Hari yang kini hanya berada di penthouse. Di sisi lain, ada masalah baru karena Akmal juga tau informasi ini entah dari mana. Ada kemungkinan dia bisa merusak investigasi C.I.A.
Gue tetap disuruh Dani untuk melakukan rutinitas biasa. Dia mengharuskan gue agar gak usah terpengaruh operasi ini. Gue juga diminta untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk memulihkan diri dari segala macam hal.
“Sial.” Batin gue.
Sebaik-baiknya gue menutupi keadaan diri gue, rupanya Dani masih bisa menciumnya. Atau mungkin memang gue yang gak jago menyembunyikan masalah. Hampir dua tahun lalu, Jennifer juga sempat khawatir berlebih karena gue sering diem sepulang dari Halmahera. Untungnya Jennifer gak paham soal terrigenesis dan inhuman. Sejak itulah gue mencoba untuk lebih berhati-hati menyembuyikan kondisi pribadi.
Sampai detik ini, Dani mengonfirmasi kalo diri gue masih gagal bersembunyi.
“Oke, makasih infonya, Dan. Hati-hati.” Gue menutup telepon.
Gue menghela nafas panjang. Kemudian, mata gue kembali memerhatikan pita-pita frekuensi yang seliweran di langit.
Gue sempat berpikir jika suatu saat bisa menemukan seseorang yang sesama inhuman supaya bisa jadi lebih baik. So, waktu gue tahu kalo Hari merupakan inhuman tulen, gue seneng banget. Pelan-pelan gue coba gabung dengan gengnya. Pelan-pelan juga gue bisa ikut bergabung dengan guyonan-guyonan mereka. Sukses. Hari terasa kaya saudara kandung gue yang terpisah jauh dan baru ketemu kemarin sore.
Sayangnya, ada Kak Puri yang rupanya inhuman juga. Terlebih, dia mantannya Hari. Terakhir, gue mergokin mereka hampir berbuat mesum di markas S.H.I.E.L.D. Hampir-hampir ada yang remuk di hati gue kalo saat itu kejadian Kak Puri balikan sama Hari.
Cemburu kah? Harusnya bukan.
Gue mengidentifikasi perasaan gue seperti semacam saudara yang butuh perhatian. Gue memang punya orang tua kandung, punya kakak kandung, tapi gue masih merasa kosong. Gue paham orang tua gue peduli tentang ke-inhuman-an gue yang terjadi sangat mendadak. Tapi, ada satu hal yang bikin ada jarak dengan mereka. Satu pertanyaan yang gak terjawab. Gen siapakah yang diwariskan gue?
Pertanyaan itu emang naif. Diantara bokap atau nyokap, pasti memang gak ada yang sadar kalo mereka membawa gen inhuman. Masalahnya, mereka gak menjawab tegas kalo mereka gak tau. Saat itu juga, gue bisa mencium ada rahasia yang disembunyikan tapi gak terungkap sampe sekarang.
“Bengong aja.” Sebotol nu green tea dingin nempel di pipi gue.
Kakak gue dateng menjelang sore. Dia jadi lebih rajin ngejenguk bokap terhitung setelah tau pacarnya itu makhluk asing. Mungkin juga dia rajin ke rumah sakit cuma untuk ketemu gue. Yah, gue memang belum menepati janji untuk cerita sama kakak gue sendiri.
“Pasti mau nagih cerita.” Balas gue.
“Tau aja.” Kakak gue beranjak duduk di sebelah.
“Jangan di sini lah. Tempat umum coy.”
“Dari kemarin ngomong begitu.” Ledek kakak gue.
Kami pun sepakat akan pulang ke rumah dan bicara empat mata, toh gue gak ada jadwal apa-apa hari ini. Tentunya itu bisa terealisasi setelah nyokap datang ke rumah sakit untuk berganti shift jagain bokap.
Gue pelan-pelan kembali melamun. Ketika Kak Puri meninggal, gue merasa ada sesuatu yang lega. Begitu perasaan itu makin menjalar, gue berasa jadi orang paling jahat sedunia. Makanya, gue nyoba nyibukkin diri sendiri dengan sering minta Anwar untuk nerima job manggung dan padetin jadwal latihan. Semata-mata gue lakukan itu biar gak sempet main ke penthouse.
Rutinitas itu buyar setelah berjalan dua bulan. Nyokap Hari meninggal, adeknya juga. Gue gak tau gue bisa apa untuk nyenengin Hari. Malah sebaliknya, gue membuat Hari makin kacau, malah dia mau merkosa gue. Gue shock. Rasanya kaya mau kiamat.
Di malam yang sama, tau-tau gue melihat Dani dengan ganasnya menikmati Hari. Dan ternyata, begitu juga sebaliknya. Rasa remuk redam ketika melihat Hari bareng Kak Puri tiba-tiba balik lagi.
Gue terus membantah diri gue sendiri setiap harinya. Ini bukan cemburu namanya!
“Tuh, udah dateng.” Kakak gue lagi-lagi membuyarkan lamunan.
Gue kembali menghela nafas panjang. Nyokap gue udah dateng dan itulah saatnya gue berdua pulang ke rumah. Dari mukanya, jelas seorang Erwan makin gak sabaran dengan cerita negeri dongeng yang keluar dari mulut adiknya. Alisnya naik setinggi-tingginya.
Tiba-tiba hape gue bergetar. Jennifer menelepon.
“Halo! Wey, ke mana aja lu, Na? Baca wa gak? Ada manggung hari Sabtu gila.” Jennifer kedengeran galak.
“Hah, yang bener?”
“Malem ini latihan. Buruan dateng.” Jennifer ngomel beneran.
Gue gak tau sama sekali. Setiap wa di grup yang masuk belakangan ini gue anggap gak penting. Jadinya, gue cuma sekedar buka dan tutup lagi. Harusnya, kalo sepenting itu ya japri aja ya kan. Atau bisa telepon dari jauh-jauh waktu kaya sekarang.
Sebenarnya, ini memang salah gue yang lagi gak fokus dalam hal apapun.
“Umm.. Kak, gue kayanya gak bisa pulang...”
Gue mencoba menjelaskan ke kakak gue dengan hati-hati. Perlahan, setiap penjelasan menyebabkan raut muka kakak gue berubah. Jelas banget. Alisnya yang tadinya naik jadi melengkung turun dan dia gak murah senyum lagi. Gue tau dia boleh marah sama gue. Tapi dia gak mungkin marah sama adik cewek satu-satunya.
“Kak...” Gue memelas.
“Sejak kapan sih kamu gak tepat janji, dek?” Kakak gue bernada rendah.
“Ini ada apa sih?” Nyokap memotong.
“Tau lah. Bodo.” Kakak gue melengos pergi.
Bertambah lagi kesalahan gue dalam kurun waktu dua minggu ini. Gue bisa jadi adalah orang paling bersalah sedunia. Ditambah seakhirat kalo perasaan jahat ke Kak Puri bisa dihitung.
Gue menunggangi motor gue gak karuan. Banyak motor yang gak sengaja gue pepet. Bahkan, gue hampir digencet metro mini dari kiri dan pembatas jalan di kanan gara-gara lupa ngasih sen dan klakson.
“C’mon Erna, lu gak boleh gini!” Gue ngomel sendiri.
Gue buru-buru cuci muka sesampainya di rumah Anwar. Tika pun yang tadinya mau ngomel karena gue bolos latihan 3 kali berturut-turut, langsung iba setelah gue mendadak nangis di depan pintu studio. Satu jam pertama akhirnya dihabiskan untuk mendengarkan curhatan gue ala kadarnya.
“Yaudah latihan yuk. Sorry malah jadi beban.” Gue memaksa tertawa.
“Erna kalo nangis ini pasti masalahnya serius. Kita gak bisa diem kali.” Anwar jadi bijak.
Mereka bertiga emang sahabat sejati yang gue punya. Gak salah gue milih bareng mereka dari zaman maba.
“Segini aja yang mau diceritain, Na?” Jennifer masih memeluk gue.
“Udah kok, udah.” Jawab gue dengan isak tangis yang tersisa.
“Sanggup latihan?”
“Sanggup, bu~” Gue melelehkan suasana yang awkward ini.
Jadilah kami latihan selama dua jam. Lagu yang kami mainkan masih sederhana dan mengulang apa yang udah-udah. Lagu-lagu kami ringan, berbahasa Indonesia, dan cukup menyentuh untuk anak kecil, tapi nyaman didengarkan orang dewasa. Dua lagu andalan kami bertema isu lingkungan dan persahabatan. Sisanya, sekedar sentuhan kecil aransemen lagu-lagu terkenal.
Sedikit improvisasi kami ciptakan untuk mengajak penonton-penonton muda berinteraksi dan mau berkampanye soal sampah dan spesies langka. Untungnya, meski aneh, kami mengusung tema band yang unik. Apalagi ada koneksi dari bapaknya Anwar supaya kami bisa terus dipakai dalam kegiatan-kegiatan bisnis konservasi dan sosial semacam fund raisingnya WWF atau kampanye hari bumi sedunia.
“Abis ini lu nginep sini ya, Na. Gak boleh nolak!” Tika bertitah.
“Iya, ntar gue temenin juga.” Timpal Jennifer.
“Iya, gue nurut.” Jawab gue pasrah.
Gara-gara waktu sejam terbuang untuk nemenin gue nangis, waktu latihan juga molor sejam dari biasanya. Gue pun dipaksa nginep supaya gak kejadian aneh-aneh lagi di jalanan. Jennifer juga mau nemenin gue dengan ikhlas.
“Kalian mau di kamar mana?” Tanya Anwar.
“Mana aja lah.” Jawab gue.
“Di sebelah kamar gue aja ya.”
Usai cuci-cuci muka, tangan, dan kaki, gue menggantung jilbab gue di gantungan belakang pintu. Selanjutnya, yang gue inginkan cuma tidur nyenyak. Gue mau semua beban yang meluap hari ini bisa tertanam lebih dalam lagi. Kalau bisa, hilang semuanya biar gak ada yang terngiang-ngiang setelah gue bangun tidur.
“Langsung tidur?” Tany Jennifer.
“Maunya gitu.” Balas gue secukupnya.
“Yaudah.”
Gue menocba merem. Badan gue miring ke kanan, memunggungi Jennifer. Kalo begini, dia pasti gak bakal curhat lagi soal Jametnya yang tersayang itu. Gejalanya udah kelihatan sejak dia lengket sama hapenya setelah keluar dari kamar mandi tadi.
“Udah tidur, Na?” Jennifer mulai gangguin.
“Hmmmm...”. Gue males ngejawab.
“Oke deh.”
Jennifer masih berisik sama hapenya. Dengusan-dengusan tawanya yang tertahan makin sering terdengar. Ditambah lagi, gue jadi gak berasa ngantuk gara-gara dia. Tapi, gue juga gak mood buat ngomelin Jennifer. Untungnya Jennifer makin tenang seiring waktu sehingga gue masih bisa memperpanjang rasa sabar.
Sayangnya, bukannya keadaan jadi hening total, sekarang malah Tika yang suaranya samar-samar kedengeran dari kamar sebelah. Makin lama, suaranya makin jelas. Tika sedang mendesah. Sialan.
“Eh, kampret, mereka ml.” Jennifer bergumam sendiri.
Gue pura-pura merem dan gak menganggapi Jennifer.
Gue berusaha tertidur secepat mungkin. Dengan suara Tika yang semakin melengking, gangguan naik ke level yang lebih tinggi. Belum lagi Anwar yang suka tiba-tiba menggeram dengan kata-kata menggoda yang ditujukan ke lawan mainya. Lama-lama, kasur gue ikut bergoyang-goyang. Gue tau Jennifer gelisah. Kemudian, gara-gara gue gak tahan lagi dengan semua distraksi ini, gue berbalik badan untuk menegur dia.
“Ho...” Gue ancang-ancang mau menepuk Jennifer.
Yang gue lihat sedetik kemudian adalah Jennifer yang lagi masturbasi. Bajunya udah terangkat sebahu, puting payudaranya mengacung tegak, dan tangannya dengan bebas menggosok celah di selangkangannya. Parahnya lagi, dia gak nutupin badannya pake selimut. Gue melihat semuanya dengan jelas.
“...ii” Gue terpaku di momen ini.
Gue melihat Jennifer. Jennifer melihat hapenya. Dia sedang sexting sama pacar wanna be-nya yang ada di Malang sana.
Sedetik kemudian, Jennifer barulah ngeliat gue. Kami saling menusuk mata masing-masing, seolah bertelepati. Nyatanya, ini momen kosong tanpa kata dan makna yang terjadi antara gue dan Jennifer.
“Eh.. Na? Erna? Belom.. Tidur? Hehehe.” Dia menutupi badannya pake selimut.
Dua minggu ini gue mengalami peningkatan drastis tentang pengalaman ngeliat orang nge-seks. Dari mulai kakak gue, Hari sama Dani, Anwar sama Tika, bahkan Jennifer yang melakukan sexting barusan. Lebih lama lagi gue menjalani kehidupan begini, gue bisa gila.
“Gila.” Gue bergeleng.
Gue turun dari kasur dengan tujuan ke kamar mandi yang jaraknya cuma beberapa langkah. Jennifer dengan sembrononya mencoba mengejar gue. Akibatnya, dia kepeleset g-stringnya sendiri. Aneh kan, ngapain juga dia pake g-string cuma buat latihan ngeband.
Gue buru-buru mengunci kamar mandi. Suara Tika dan Anwar di kamar sebelah menutupi konyolnya kejadian di kamar ini.
“Gila! Gila! Gila! Gila! Gila! Gila! GILAAA!!!!!” Gue menampar muka sendiri.
Gue menghabiskan banyak waktu di kamar mandi, sendirian. Gue mencoba merenungi kejadian ini. Tapi lengkingan suara Tika membelokkan pikiran lurus gue seketika. Dari seluruh temen cewek dalam pergaulan gue, mungkin cuma gue yang masih bisa jaga diri.
Gue lama-lama penasaran juga.
“GAK! GAK BOLEH!” Gue menampar muka lagi.
Gue keluar kamar mandi. Hal pertama yang gue liat adalah betapa berantakannya kasur tempat gue tidur. Hal kedua yang janggal, Jennifer udah gak ada di dalem kamar. Gue menoleh ke pintu, rupanya kebuka.
“Jen? Jennifer?” Gue melirik ke luar kamar.
Tiba-tiba mulut gue disambar sebuah tangan. Sesaat kemudian, muka Jennifer meredakan ketakutan gue. Dia berbisik agar gue diam dan harus mengikuti dia kalo mau gak ada masalah. Gue mengangguk.
Jennifer menarik tangan kanan gue, meremas lebih tepatnya. Gue dibimbing berjalan mengendap dalam gelapnya ruangan yang lampunya dimatikan. Diari kamar sebelah, kamarnya Anwar dan Tika, ada segaris cahaya lampu yang merangsek keluar. Rupanya pintu mereka gak ditutup. Inilah penyebab suara mereka kedengeran jelas.
“Mau ngapain?” Bisik gue.
Jennifer cuma menempelkan telunjuk di bibirnya. Diam adalah mutlak di saat-saat sekarang bagi seorang Jennifer.
Jennifer mengintip pertama, gue menyusul mengintip dari bawah kepala Jennifer. Mata gue langsung menatap hal yang tepat. Tepat untuk membuat gue mendadak basah di selangkangan. Di atas kasur sana, Tika konstan bergerak naik-turun di atas paha Anwar.
Gue gak kenal posisi apapun soal bercinta, yang gue bisa jabarkan adalah Tika duduk membelakangi Anwar, tapi mereka cukup pas untuk bisa berciuman sambil bergerak. Kadang Tika, kadang Anwar yang bergoyang.
Gue berhenti mengintip. Kemudian, gue terduduk dengan pinggul terus bergerak dengan gelisah. Rasa geli timbul karena gesekan alat kelamin gue dengan celana dalam dan pangkal paha, ditambah dengan rasa lembab karena udah membanjir di bawah situ.
Jennifer menoleh ke gue, lalu melotot seolah gak percaya.
“Lu bisa sange juga?” Bisiknya.
Gue balas menatapnya sayu tanpa jawaban.
“Ikut gue.” Jennifer menarik gue pergi.
Dia menarik gue kembali ke kamar, mengunci pintunya, lalu mendorong gue kuat-kuat sampe telentang di kasur.
“Gue gak lesbi! Gila...” Gue berontak.
“Gue juga... tapi nikmatin dulu aja.” Jennifer menjilati leher gue.
Gue terlalu lemah untuk bisa berontak gue. Semua kekuatan yang gue coba keluarkan hanya berupa angan-angan. Angan-angan untuk bisa lepas dari Jennifer, keluar dari kamar ini, lalu kabur dengan motor dan segera pulang. Realitasnya, gue menikmati apa yang Jennifer lakukan.
Baju gue udah terangkat.
“Wah, toge juga lu, Na. Gue baru tau.” Kata Jennifer.
Tanpa jilbab yang menutupi lagi, Jennifer dengan mudahnya menggerayangi leher sampai kedua daun telinga gue. Selang beberapa waktu, tangannya pun mulai berani menyelinap ke balik celana dalam gue.
“Nghhh... hhh...” Gue cuma bisa mengeluarkan suara tanpa makna.
Rangsangan maksimal yang gue terima di payudara dan selangkangan, menyebabkan seluruh otot gue berkontraksi. Tangan dan kaki gue meregang. Kepala gue mendongak. Punggung gue melengkung ke atas.
“Lu udah ngecrot!?” Jennifer berhenti merangsang.
“Hah... Hah...” Gue lemah meresepon.
“Belom ada semenit, jir. Gantian!”
Gue buru-buru membenarkan baju gue yang terangkat tadi, kemudian menutupi seluruh diri gue pakai selimut. Gue punggungi Jennifer dan menolak semua kemauannya. Terjun bebas ke dunia seks adalah hal yang salah. Lebih salah lagi karena gue menuruti kebutuhan biologis sesaat ini.
“Nafsu lu gede juga ya, Na. Belom semenit...” Ledek Jennifer dari luar selimut.
“Berisik.” Potong gue.
“Dasar perawan.” Katanya lagi
“Berisik. Berisik. Berisik.”
“I wanna touch myself. Jangan ganggu.”
Kasur kembali bergoyang, tapi Jennifer akhirnya berhenti ganggu gue.
BERSAMBUNG