Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Episode 9
Pamer


POV Hari

“Kenia??” Gumam gue cukup keras.
“Oh, kenal rupanya.” Bos mereka mendengar ucapan gue.

Gue gak membalas lagi. Gue sadar gumamam tadi bisa memperparah keadaan. Mental para densus kini juga pelan-pelan menciut. Senjata-senjata mereka yang tadi teracung perlahan diturunkan. Selain itu, gak ada satu komunikasi pun yang bisa terhubung dari luar sana.

“Jawab gue, monyet! Kalian saling kenal?” Si bos menggertak.

Gue membalas dengan hanya sebuah anggukan. Kenia di seberang sana hanya bisa menahan tangisnya. Hidungnya berkali-kali menghisap apa yang semestinya keluar dari hidung. Kenia, menurut gue, bahkan terlalu takut untuk bisa menangis di hadapan orang yang menyanderanya.

Bagaimana Kenia bisa sampai di tangan musuh kami. Padahal, sejak kami sampai tadi, Kenia tetap berada dalam pengawasan di dekat mobil barakuda. Berbagai macam teori melintas satu demi satu, mulai dari adanya mata-mata di antara kepolisian, sampai sesuatu yang berbau mistis.

Mistis tetaplah mistis. Hampir mustahil untuk bisa terjadi saat ini. Akan tetapi, setelah banyak yang gue lalui, hal-hal mistis bisa masuk perhitungan gue yang paling terakhir. Setan misalnya, atau inhuman.

“Hahaha, kalo gitu gue simpen lo buat yang terakhir.” Tunjuk si penyandera ke gue.

Masing-masing anggota kami mulai lemas usai senjata mereka dilucuti dan tangannya diikat. Sebagian lagi mulai banyak berdoa. Selanjutnya, bos mereka menyuruh salah satu rekan kami untuk memisahkan diri. Kami tahu kami akan jadi kambing-kambing percobaan yang akan dipertontonkan, dan kami gak sanggup berontak sekarang.

Kami digiring berjalan menghadap sebuah kios dan bersandar pada kios lainnya. Tak lama kemudian, tembok rapuh dibobol dengan sebuah pistol gajah. Dari sini, kami tau senjata yang mereka pakai sudah modifikasi. Seenggaknya, proyektil peluru-peluru mereka merupakan campuran barang alien.

Langit biru yang berawan menyilaukan pandangan kami. Inilah dia, pertunjukan mereka mau dimulai. Gue jelas gak bisa berdiam diri. Gue harus menyusun rencana melarikan diri.

“Maju lo!” Seorang musuh menggiring seorang rekan kami, si Alap.

Helm, masker, dan sarung tangannya udah dilucuti. Dia digiring menuju ujung tembok yang hancur. Satu langkah lagi, maka dia akan terjun bebas ke tanah. Gue yakin di bawah sana, para penolong belom siap dengan balon-balon udara atau trampolin.

“Please.. Please.. Ampun..” si Alap menciut.

Seorang musuh kami yang lain ikut datang dengan mengacungkan senjata yang gak lazim. Ujungnya mekar seperti terompet dengan polesan perak. Beberapa kabel terhubung antar komponen. Benda itu terlihat seperti belum selesai dirakit atau mungkin masih berupa prototype.

“Ampun.” Rekan kami memelas.

Bukan pengampunan, tapi sebuah tonjokan diterima dihidung si Alap. Beruntung dia gak berhidung mancung, so, gak akan merasakan sakitya patah tulang hidung. Sayangnya, mereka belum puas sampai situ. Si Alap ditendang jauh ke depan.

Dia terjun! TERJUN BEBAS!

Teriakannya menggema sampai seantero gedung, disusul suara histeris masyarakat yang ada di bawah sana. Sedetik kemudian, pelatuk senjata berbentuk terompet ditarik. Gelombang berwarna ungu dan merah muda terpancar lagi. Setelah itu, entah apa yang terjadi pada rekan kami.

“HAHAHAHA.” Si bos ketawa keras.

Gue memandangnya penuh dendam. Lalu, muka gue ditonjok.

“Kalian mau tau teman kalian kenapa?” Tanya si bos.

Gak ada jawaban.

“Teman kalian gak sampai ke tanah, hebat kan?”

Menyimak pernyataan tersebut, gue tau rekan kami bukan secara tiba-tiba punya kemampuan terbang. Dia pasti terbakar, hangus, lenyap, bisa jadi atau gosong menjadi abu. Jangan sampai lupa, mereka punya niatan ingin pamer di depan masyarakat umum.

“Kalian pikir kami bakal ketangkap abis ini? Nggak! Kita bakal menghilang!” Si bos berceramah.

Selama musuh kami berceramah, gue melirik ke seorang rekan di sebelah kanan. Dia rupanya diam-diam menggenggam silet untuk berusaha melepas ikatan. Sesaat gue bisa memprediksi bahwa kami punya harapan selamat. Kemudian, gue memberi kode lirikan mata padanya untuk meneruskan pekerjaan, saling mengoper silet kepada rekan lainnya, sementara gue mengulur waktu si bos.

“Kalian gak akan pernah menang.” Gue memotong ceramahnya.
“Apa kata lo tadi?” Si bos tersinggung.

Gue tersenyum sinis.

“Pernah denger Avengers? Oh, pasti tau kan, orang-orang hebat. Punya kekuatan super.” Gue menatapnya dalam-dalam.

Gue mengintimidasinya dengan menyebut organisasi Avengers. Bagaimana Avengers bisa menghadapi musuh-musuh yang turun dari langit, membuat robot dengan kecerdasan buatan, meluluhlantakkan Negara Sokovia dalam hitungan jam, dan menghancurkan bandara di Jerman.

Belum puas, gue juga menyebut organisasi A.T.C.U., organisasi di bawah PBB dan di bawah Sokovia Accords. Mereka merupakan tim tanggap setelah orang-orang S.H.I.E.L.D. menghilang. Mereka bisa mengendus ancaman dari jarak sejauh apapun dan dari negara manapun.

Inilah dia pertunjukkannnya. Gue menyebut bahwa beberapa anggota A.T.C.U. merupakan inhuman yang teregristrasi dalam Sokovia Accords. Gue pun yakin, dia udah tau kalo guelah inhumannya. Gue udah menunjukkan kekuatan sejak tembak menembak di tangga darurat. Toh, ini cuma strategi mengulur waktu.

“Gue tau lo inhuman. Inhuman lemah.” Balas si bos.

Kenia menoleh.

"Inhuman lemah yang gak bisa nolongin temannya sendiri.” Si bos balik melawan perang psikis ini.
“Masa? Liat lagi. Liat sama mata lo sendiri.” Gue membalas.

Kepala gue bergedik ke arah lubang di tembok yang mereka buat. Secara tersirat, gue menyuruhnya melihat korban pertunjukkannya tadi, si Alap. Gue berupaya bermain dalam otaknya untuk meyakinkan bahwa rekan kami belom mati.

Dia pun masuk perangkap. Si bos berjalan ragu ke panggung eksekusi. Dia menyodorkan kepalanya untuk memastikan korban pertamanya memang hilang. Memang begitu kan kenyataannya.

"SEKARANG!"

Gue memberi teriakkan lantang. Seluruh anggota densus 88 yang tersisa serentak berdiri dengan tangan yang sudah lepas dari ikatan. Mereka masing-masing menyergap dan berkelahi jarak dekat satu lawan satu dengan musuh kami. Pun, mereka tahu harus sebisa mungkin berusaha menjatuhkan senjata yang dipegang musuhnya pada kesempatan pertama.

Gue ikut berdiri dengan tangan masih terikat, menarik Kenia menjauh dari zona perkelahian. Kami lalu berdua, berlarian di antara kios-kios. Sayangnya, kami telat bersembunyi. Si bos melihat kami kabur.

“Kita harus keluar dari sini.” Gue membimbing Kenia.
“Mau ke mana, Hah?!” Si bos mengejar kami.

Kami berlarian di antara lorong-lorong, mencari jalan menuju tangga darurat. Pistol si bos teracung berkali-kali. Beberapa kali pula lesatan peluru hampir mengenai kami. Semakin banyak kami berlari, semakin banyak kios yang pintunya bolong. Kadang kami mendengar bunyi kaca pecah dari dalam kios yang tertembak.

“Kak...” Kenia gemetaran.
“Tenang, Ken. kita pasti selamat.” Gue meyakinkan.

Sekarang kami hampir sampai di tangga darurat. Kami tinggal berlari lurus menuju pintu tangga darurat tersebut. Tapi, si bos juga langsung muncul dari arah belakang. Dia menembak berkali-kali. Gue menegakkan tangan gue, berusaha menahan energi kinetik peluru yang jalurnya tepat mengarah kepada kami.

Fokus gue ada pada si bos, sementara Kenia berlari di depan menuju tangga darurat. Kami pasti akan lebih aman setelah sampai sana. Akan tetapi, tepat di depan tangga darurat, musuh-musuh yang tadinya tertangkap di lantai bawah seketika datang.

“HAHAHA!” Si bos beruara lantang.

DORR!! DORR!! DORR!!

Tiga tembakan pertama mengenai badan Kenia. Dia seketika rebah gak berbaya, tertopang dengan badan gue yang masih berdiri. Gue langsung memasang kuda-kuda untuk bertahan dari banyaknya tembakan yang berkelanjutan di dua sisi. Tangan gue teracung. Sementara itu, darah Kenia bercucuran dengan sangat deras, disusul muntah darah. Matanya semakin sayu menatap mata gue.

“Nggak!! Nggak boleh!! Kamu gak boleh mati.” Gue gantian gemetaran.
“Minyak.. ikan.. Minyak...” Kenia meracau.

Gak ada minyak ikan. Gue gak bawa minyak ikan. Benda ajaib pemberian Lina itu teringgal di rumah. Tertutup rapat di atas lemari di kamar nyokap. Gak ada harapan sama sekali. Gue pun gak berdaya.

Dentingan selongsong peluru berbunyi nyaring berbenturan dengan lantai. Kenia merogoh rompi dan celana gue. Dia mencari di setiap kantong yang ada, berburu dengan waktu dan darah yang semakin habis dari dalam tubuhnya. Gue berpasrah diri. Gue pun gak bisa bergerak, kedua tangan masih terbentang keras menyerap energi dari rentetan tembakan.

“Ini...” Kenia menemukan sesuatu.

Kenia menemukan dompet gue. Dia mengeluarkan dompet gue, mencari sesuatu di sana.

Ada minyak ikan! Secara ajaib, ada satu kapsul minyak ikan terbungkus kertas di salah satu bagian dompet yang jarang gue jamah. Kenia pasti menyembunyikannya di sana entah sejak kapan. Kemudian, secepatnya, Kenia menjatuhkan dompet gue, lalu menelan kapsul minyak ikan itu bulat-bulat.

Kenia terjatuh, badannya masih bersimbah darah.

“Nyari mukjizat, Hah?” Si bos berbangga di ujung lorong.

Gen inhuman dalam diri Kenia gak terekspresi.

Selesai udah. Kenia meregang nyawa.

Gue marah, tapi gak bisa berbuat apa-apa.

Seseorang menyentuh kepala gue dari belakang. Rambut gue dijambak kuat-kuat. Inilah saatnya gue melakukan perkelahian jarak dekat yang membabi buta. Gue menepis jambakan itu, lalu mundur beberapa langkah. Tangan kiri gue terangkat untuk menahan sisa-sisa peluru yang masih bisa mereka tembakkan.

Gue maju, mereka maju. Perkelahian jarak dekat adalah favorit gue sejak beberapa waktu belakangan. Gue bisa menyerap setiap energi dari pelepasan ikatan trifosfat dari sel tubuh lawan sesuka hati. Telapak tangan, siku, dada, dan lutut adalah bagian-bagian yang paling mudah didekati.

Dengan lihai gue berhasil menjatuhkan genggaman pistol-pistol mereka. Satu demi satu tangan mereka lemas. Kemudian, kaki-kaki mereka menjadi target selanjutnya. Otot mereka pun fatik dalam waktu singkat. Gue menang. Gue gelap mata. Gue membunuh mereka semua sampai mati lemas.

Enam orang tewas di tangan gue selama kurang dari 10 menit.

Gue dan si bos kini berhadapan dari ujung lorong ke ujung lainnya. Gue bersumpah akan membunuhnya hari ini!

Kami saling berlari. Perkelahian satu lawan satu merupakan hal klasik dalam film-film. Apalagi kalau berhadapan secara terbuka. Di film masa kini, biasanya salah satu pihak memiliki strategi licik yang kapan pun bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan kemenangan.

Buat gue, kecurangan gak berlaku untuk kali ini.

Sambil berlari, jarak antar kami berdua tinggal beberapa meter. Lalu, tiba-tiba gemuruh langkah kaki bala bantuan densus 88 anti teror memenuhi lantai teratas mall ini. Dalam keadaan tercengang, langkah kaki gue berhenti.

Densus 88 menyisir ruangan untuk membantu rekan-rekannya yang sedang berkelahi. Sepersekian detik kemudian, si bos bunuh diri dengan menodongkan pistol ke mulutnya sendiri.

“Lewat sini.” Gue dibisiki seseorang.
“Kenapa nih?”
“Di depan banyak wartawan.” Bisiknya lagi.

Gue diajak kabur dari TKP oleh seorang anggota densus yang baru datang. Dia masih memakai helm dan masker sehingga gue gak bisa melihat wajahnya. Gue gak bisa berpikir jernih, sementara itu, gue terus dibimbing kabur tak terdeteksi hingga sampai basement.

“Keluar lewat kanan, ikutin rel kereta sampe pinggir kali. Temen lu nunggu di sana.” Katanya.
“Adek gue gimana?”
“Jemput di RSCM ntar.” Perintahnya.

Rupanya benar, Dani telah menunggu dengan sebuah motor di tempat yang dijanjikan anggota tersebut. Gak ada pembicaraan di antara kami berdua. Dani terus fokus mengemudi dengan gue yang menangis di jok penumpang. Kami langsung ke RSCM.

---

POV Erna

Gue meniriskan mie rebus, menyajikannya dalam sebuah mangkuk kecil. Gue berjalan dengan aroma mie rasa kari ayam yang menggoda. Kemudian, gue duduk di sofa.

“Tumben pulang.” Gue ngeledek kakak gue.
“Berisik nian lah kau.” Kakak gue jutek.
“Seorang Erwan nan gagah, takluk di tangan alien.”

Gue memutar-mutar garpu menghadap langit-langit. Kakak gue duduk di bawahnya sambil memencet remot tivi sembarangan.

Sore ini kami berdua ada di rumah, minus nyokap yang memutuskan berjaga sampai besok. Nyokap gue bertitah harus menceritakan semuanya ke kakak gue. Jadilah kami sekarang di rumah, di tempat yang aman tanpa telinga-telinga lain.

“Cerita, Na. Please.” Kakak gue memohon.
“Ntar, gue makan dulu. Laper.”

Tiba-tiba hape gue bergetar. Dani menelepon. Suaranya lemah dan banyak sekali suara berisik di seberang telepon sana. Kabar selanjutnya yang gue dengar adalah Kenia wafat.

“Kak, gue pergi dulu.” Gue berlari mengambil kunci motor.
“Lu janji mau cerita.” Kata kakak gue.
“Iya, ntar. Sekarang adeknya temen gue meninggal.”

Kakak gue berhenti bicara.

“Tunggu gue ntar malem, atau besok.” Gue berjanji.

Gue mulai merasa kasihan dengan betapa depresinya kakak gue. Selain itu, nyokap udah menyuruh gue untuk jujur. Semoga dengan cerita nanti, semua hal tetap bisa baik-baik aja di keluarga ini.

Selama perjalanan di atas motor, gue membayangkan kenapa kejadiannya bisa sampai begini. Kenia ikut kakaknya karena merasa akan lebih aman daripada ditinggal sendiri di rumah. Tapi kejadiannya sekarang dia malah tewas akibat ikut kakaknya.

Bukan salah kakaknya, pikir gue. Ini pasti takdir. Hari pasti lebih terpukul dari pada gue. Dia kehilangan dua anggota keluarganya dalam waktu seminggu. Apalagi, dua-duanya didalangi oleh perusahaan pengembang untuk menandingi alien. Hari harus ditenangkan, apalagi urusan mentalnya. Gue harus mengenyampingkan kejadian dia nyaris memerkosa gue. Itu juga bukan salahnya. Tersangka asli udah ditangkap dan dibawa ke Asgard.

Gue langsung memeluk Dani sesampainya di RSCM. Ramai sekali di sini, didominasi wartawan dan keluarga polisi korban kejadian terorisme.

“Hari mana?” Tanya gue.
“Di dalam.” Dani menunjuk kamar mayat.

Gue gak berani masuk sana. Ini waktunya Hari untuk dibiarkan menyendiri, atau berdua dengan Kenia secara tersirat. Sebagai gantinya, gue meminta kronologis kejadian di sana.

Dani bercerita kalau dia kehilangan Kenia yang tadinya diamankan di mobil barakuda. Selanjutnya, ada anggota densus yang dilempar terjun bebas dari lantai atas, ditembak, lalu menjadi abu. Terakhir, seorang anggota densus bermasker dari kelompok yang baru datang menyuruhnya pergi dengan motor pinjaman untuk menunggu Hari keluar dari arah berbeda.

Dani sadar konsekuensinya kalau mereka sebagai wakil A.T.C.U. akan dicari kepolisian untuk dimintai keterangan. Tapi, itu masalah nanti. Dani lebih khawatir kalau petinggi A.T.C.U. yang menelepon. Tanpa disuruh, gue ikut mencarikan alasan yang logis untuk laporan.

Dani merogoh sakunya. Dia menunjukkan sebuah selongsong peluru dalam plastik ziplock. Selongsong tersebut memiliki watermark yang terbaca jelas.

“Gue udah yakin siapa dalangnya.” Kata Dani

Dugaan kami tadi pagi benar. Hammer Tech merupakan pelaku dibalik kejadian ini.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 10
Anak-Anak Loki


POV Dani

Tiga hari belakangan kami bolak-balik diomelin habis-habisan oleh pimpinan lewat telepon. Hari disalahkan karena menggunakan kekuatannya di depan banyak anggota polisi, namun itu masih bisa ditoleransi karena termasuk dalam urgensi mempertahankan diri. Pucuk masalah ini adalah meninggalnya Kenia. Dia warga sipil. Untuk itu, guelah yang pasang badan karena gue yang kehilangan pengawasan terhadapnya.

Erna juga kena omel karena gak ada di lokasi. Kondisi tegurannya berimbang karena Erna memiliki alasan untuk giliran menjaga bapaknya di rumah sakit. Di lain sisi, dia tetaplah agen super rahasia yang seharusnya bisa mendahulukan tugas. Padahal, Erna di rumah sakit karena dalam tugas lain yang tidak bisa kami sampaikan ke pimpinan kami.

Akibat teguran itu, CIA akan dilibatkan dalam tugas memburu teroris-teroris berteknologi alien pada kesempatan selanjutnya. Kami terpaksa sampai meminta izin untuk menunda kedatangan mereka sampai urusan pemakaman Kenia selesai dalam waktu seminggu. Untungnya dikabulkan.

Sekarang, udah hampir seminggu.

“Udah kelar nih.” Erna mencuci piring terakhir.
“Sekarang mau gimana?” Tanya gue.
“Kita ke Depok, di sini rawan.” Hari mengusulkan.
“Lewat jalan lain ya, kakak gue masih ngikutin.” Kata Erna.

Begitu tahlilan hari ketiga Kenia kelar di hari Senin, 24 Juli, kami semua berangkat ke Depok untuk berdiskusi dalam kondisi sangat-sangat rahasia. Hari mengemudikan motor nyokapnya, sedangkan gue diboncengi Erna lewat jalan memutar sampai ke Jakarta Barat.

Dua jam kemudian, tepat jam 12 malam, kami tiba di penthouse.

“My bro, Hari.” Pur mengangkat kedua tangannya.
“Pur!” Tegur Laras.
“Gapapa, Ras.” Hari teresenyum getir.

Laras dan Purnawarman tetap kami sembunyikan di Depok. Tapi hal tersebut gak bisa bertahan lama karena beberapa waktu ke depan agen CIA akan datang. Orang-orang Asgrad ini harus dicarikan tempat sembunyi yang baru.

Kami menyampaikan apa adanya atas kondisi ini. Di luar dugaan, tidak ada kepanikan diraut muka Laras dan Pur. Mereka sangat tenang mendengar setiap kata yang terlontar dari kami bertiga.

“Gak usah khawatir kali.” Pur meminum sesuatu.
“Kita udah biasa sembunyi.” Sambung Laras.
“Mau gue ceritain waktu...” sambung Pur lagi.

Gue langsung memotong ucapan Pur. Kami sudah cukup kenal mereka berdua. Sambung-menyambung kata tanpa akhir adalah keahlian mereka dalam kondisi normal begini. Kalo dibiarkan, tiga jam gak akan selesai untuk menyelesaikan cerita mereka.

Sesaat setelah gue memotong perkataan Pur, pintu kamar mandi terbuka.

“Gue kelewatan sesuatukah?” Seorang lelaki bergabung dengan kami.
“Gak kok, Mal. Baru aja mulai ini.” Pur menjawab.

Lelaki bernama Akmal ini duduk di karpet, di antara gue dan Hari. Dia adalah anggota densus misterius yang tiga hari lalu menolong kami kabur dari TKP. Tanpa helm dan masker, gue bisa melihat pipinya yang tirus, rambut klimis dipotong pendek khas polisi, dan badannya yang kurus namun tinggi tegap. Badan khas lulusan baru akpol.

Gue baru sekali ngobrol sama dia selain di Mangga dua, yaitu di RSCM. Dan, sampe sekarang gue gak percaya dengan semua yang dikatakan Akmal, meski dia membantu kami dua kali.

Kali kedua dia membantu kami adalah berbicara dengan komandannya soal insiden tersebut. Dia mengatakan bahwa sempat melihat Kenia ditarik anggota teroris yang menyamar di antara kerumunan warga, tapi kondisinya tepat saat dia berjalan ke pintu masuk timur. Dia merelakan dirinya kena teguran karena tidak bereaksi apa-apa atas apa yang dia lihat.

Ketika gue tanya secara pribadi, dia bilang itu bohong. Akmal gak liat apa-apa. Dia cuma beralasan begitu supaya gue gak terlibat dalam pemeriksaan yang lebih panjang lagi.

“Sekarang udah hadir semua ya.” Hari berbicara tegas.
“Hadir.” Eda muncul dari kamar. “Sorry ketiduran.”

Ada Eda. Kampret. Kok bisa sih.

Kami sekarang akan memulai rutinitas yang udah berjalan sejak kami menjadi agen. Buat Pur, Laras, Akmal, dan Eda, ini hal baru. Oleh karena itu, kami memulai laporan dari orang yang paling berpengalaman menyampaikan laporan rutin. Gue sendiri.

Gue, setelah sempat gak fokus karena ada Eda, menyampaikan segala hal kami lalui selama di Mangga Dua. Gue cerita bagaimana saat menyalakan perangkat-perangkat gue, menyampaikan segala informasi kepada anggota di dalam TKP, sampai momen kehilangan Kenia. Akibatnya, gue melepaskan earphone dan meninggalkan komunikasi. Harusnya ada yang menggantikan dari pihak kepolisian, tapi kenyataannya di lapangan gak ada.

“Giliran gue?” Hari menunjuk dirinya sendiri.

Hari menyambung dengan kejadian dari dalam TKP. Dia menceritakan kranonologi bagaimana alat-alat Hammer Tech berteknologi alien dipamerk, anggota polisi yang dikorbankan untuk pamer, kekacauan dalam beberapa menit sampai Kenia kena tembak, lalu diakhiri datangnya bala bantuan.

“Begitu. Udah semuanya.” Tutup Hari.
“Belom semua. Akmal belom cerita.” Bantah Erna.

Akmal menjawab terbata, selanjutnya dia mulai bicara.

“Oke, kita semua tau kalo laporan gue ke komandan kan bohong. Itu buat nolongin kalian semua. Gue gak liat ada cewek ditarik teroris. Semua bohong.” Jelasnya.

Gue belum puas.

“Kenapa nolongin kami?”
“Ya... gue tertarik sama kalian, agen, inhuman, sorry gue sempet liat monitornya Dani. Gue liat Hari punya mukjizat. Gue cuma tulus mau nolongin.” Jelas Akmal.

Kami semua hening. Hari masih mencoba mengolah kata-kata Akmal. Pur masih terus meminum sesuatu dari gelasnya. Eda masih belum sepenuhnya sadar dari kantuknya, dia kemudian berjalan ke dapur dan menyeduh segelas kopi.

“Pur, lu minum apa sih dari tadi?” Laras risih.
“Tadi sore gue jajan.” Pur lanjut minum.
“Terus?”
“Ada tukang jamu, beras kencurnya enak banget. Gue borong semua.” Pur mendesah lega.

Purnawarman. Pelawak, konyol, dan gak kenal kondisi.

“Sekarang gimana? Hammer Tech udah kalah kah?” Erna memotong, jutek.
“Info yang saya dapet, belom. Mereka masih bergerak di bawah tanah.” Jawab Akmal.

Gue sampe sekarang sama sekali gak percaya dengan Akmal. Tapi, Akmal punya nilai tambah karena punya banyak informasi. Mungkin dia bisa berguna dibandingkan kami yang hanya menunggu laporan masyarakat atau telepon dari petinggi A.T.C.U. Selain itu, menyelidiki banyak hal dengan hanya tiga kepala saat ini sangat sulit.

“Oke, Akmal, kayanya kita punya tempat buat lu.” Hari seperti bertitah.
“Har, tunggu dulu!” Gue memotong.

Gue menjelaskan berbagai kesulitan untuk merekrut tenaga baru. Pertama, merekrut orang bukanlah otoritas kami. Hanya orang pusat yang bisa merekrut dan melakukan penempatan agen. Kedua, kalau pun direkrut, Akmal adalah anggota polisi. Hal itu bisa menjadikan A.T.C.U. bukan lagi organisasi independen.

Gue memberikan solusi agar membiarkan Akmal dengan keinginannya membantu kami. Dia bisa membantu sebisanya, semampunya, tapi gak mendapatkan gaji, honor, atau tunjangan apapun. Selain itu, kami harus izin sebelumnya kepada pusat. Jelas ini akan memakan waktu, tapi efisien.

“Gimana, Mal?” Tanya gue.
“Setuju.” Akmal mengacungkan dua jempolnya tanpa pikir panjang.

Kalimat setuju tanpa pikirnya justru membuat gue makin curiga dan gak percaya. Setelah ini gue akan dan harus terus mengawasinya. Akmal Prawira akan gue tandai sampai tugas kami selesai, bahkan sampai hari-hari setelahnya.

Selanjutnya, kami menyimpulkan kasus Hammer Tech di Mangga Dua selesai. Solusinya, kami akan menambah kesiagaan dan penuh kehati-hatian.

“Oke.” Hari mengangguk.
“Oke.” Eda mengangguk.
“Oke, Cheers” Pur mengangkat beras kencurnya.

Pembicaraan selanjutnya mengenai Roxxon Corporation gak menghasilkan kesimpulan apa-apa. Semua cerita kembali lagi ke kejadian Karang Tengah, baik dari cerita Hari, Pur, dan Akmal dari sudut pandang polisi. Perihal media yang masih berisik juga gak menambah info apa-apa.

Pihak Roxxon sendiri sepertinya tampak lebih berhati-hati setelah mereka kalah di Karang Tengah. Hal ini membuat Eda kurang puas karena dia menjadi korban penyerangan orang-orang Roxxon. Akmal pun juga belum punya informasi lainnya.

“Maaf, semuanya.” Akmal seolah berdosa besar.

Kami beralih ke cerita terakhir. Rosi. Kejadian di rumah sakit untuk menangkap cewek bernama Rosi. Pacar Kakaknya Erna. Sebelumnya, menurut orang-orang Asgard ini, Rosi bukan berasal dari bumi melainkan berasal dari suku bangsa Vanir. Tempatnya ada di dunia Vanaheim.

“Giliran gue nih ya.” Laras membenarkan posisi duduknya.

Laraslah yang bercerita. Mereka melakukan kejar-kejar sejak pertama kali bertatap mata dengan Rosi. Mereka sempat ditangkap satpam karena dikira copet. Lalu lepas karena diberi beberapa lembar uang sama ibunya Erna.

Di luar dugaan, ibunya Erna menjadi saksi penting yang menuntun mereka menemukan Rosi. Akhirnya mereka melakukan strategi ‘kuliah tambahan’. Mereka menyamar menjadi pegawai rumah sakit. Dengan begitu, Rosi gak akan tau kalau dokter yang bercinta dengannya demi punya tempat sembunyi ternyata telah bertukar dengan Pur.

“Rosi udah kami bawa ke Asgrad, nanti ditransfer ke Vanaheim.” Tutup Laras.
“Rumah sakitnya gimana?” Tanya gue.

Salah satu tugas kami sebagai A.T.C.U. adalah mengendalikan semua hal yang berbau alien agar tetap tersembunyi. Kekacauan dalam skala kecil bisa memberikan efek domino, bahkan bola salju. Kalau terbongkar sedikit, ceritanya bisa membesar dan berpotensi menjadi isu nasional.

“Aman kok. Gak ada apa-apa.” Jawab Laras lagi.
“Satpamnya?” Tanya gue lagi.
“Kenyang.” Pur menuangkan beras kencur lagi.

Cerita Pur pun gak teralu beda. Pur hanya menambahkan kalau Rosi memiliki badan yang seksi, payudara yang kecil namun kencang, dan kulumannya yang bersensasi. Lalu, Karena cerita Pur itu, Laras harus menyita beras kencur Pur yang stoknya masih ada dua botol aqua besar.

Erna gak menambahkan apa-apa. Dia hanya melirik ke segala arah. Barulah sebelum laporan ditutup, Erna bersuara.

“Anak-anak Loki itu apa?” Erna lantang.
“Loki? Yang di insiden itu? New York?” Potong Hari.
“Kemarin gue sempet denger Rosi bilang soal anak-anak Loki.” Kata Erna.

Erna menunjuk Pur dan Laras dan menuduh mereka menyembunyikan sesuatu. Erna mengatakan bahwa mereka bisa menjadi ancaman. Katanya, tim ini bisa menang kalau saling percaya, tapi gak akan menang kalau ada pengkhianat di dalamnya. Mirip seperti kata mantan direktur S.H.I.E.L.D., tapi ada benarnya. Gue juga gak kenal banyak soal Einherjar. Apalagi sekarang ada istilah baru. Anak-anak Loki.

“Rosi ngelantur itu.” Pur berhenti minum.
“Gue gak percaya.” Erna blak-blakan.

Erna menceritakan tentang betapa bahayanya Loki. Dalam mitologi nordik, Loki adalah tukang hasut, memanipulasi pikiran orang-orang, dan bisa berubah menjadi siapa saja. Loki pulalah yang sangat ingin mempercepat terjadinya Ragnarok.

Pur dan Laras terbukti bisa menjadi siapa saja. Pur bisa menjadi dokter, Laras bisa menjadi suster, bahkan menjadi Larrson beberapa bulan lalu. Kalau mereka sekarang gak membuka siapa sebenarnya diri mereka, bisa jadi Pur dan Laras memang ancaman kami. Ancaman yang sangat besar. Ragnarok. Kiamat.

“Gue gak percaya~” Pur menyipitkan mata.
“Gak usah nyolot!” Erna membentak lagi.
“Eh, santai aja kali!” Pur tersulut.

Kami semua jadi berdiri. Pur bertingkah kaya orang mabok. Mabok beras kencur tepatnya.

Sebelum kemarahan menjadi lebih besar, gue menahan Erna biar gak bertindak semakin kasar. Hari juga menahan Pur. Di sebelahnya, Laras gak berbuat apa-apa. Gue rasa dia bimbang mau berada di pihak mana. Gue malah jadi menyimpan kecurigaan yang lain lagi.

“Oke, oke tenang semuanya! Gue ceritain semuanya! Tolong berhenti.” Laras angkat bicara.
“Laras!” Pur mendesis.
“Berisik.” Laras balik mendesis.

Laras mengatakan bahwa apa yang dikatakan Rosi memang benar apa adanya. Pur, Laras, dan banyak einherjar lain adalah golongan anak-anak Loki.

“Bener kan gue bilang!” Erna menunjuk Laras.
“Na!” Bentak gue.
“Dengerin dulu, please.” Potong Laras.

Menurut pengakuan Laras, mereka memang anak-anak Loki, tapi bukan anak Loki dalam arti sebenarnya. Mereka dijuluki begitu karena mendapat kesempatan spesial diajari Loki untuk memiliki kemampuan menjadi siapa aja dalam kuliah tambahan.

Laras terus bercerita kalau Loki berperan sebagai dosen dalam akademi einherjar itu. Masa itu pun terjadi ratusan tahun sebelum Loki menghasut Thor untuk menghancurleburkan Jotunheim. Jauh sebelum Loki membelot dan meluluhkantakan New York.

“Sebelum itu, tebak Loki belajar sama siapa? Frigga.” Laras lebih seperti mengetes kami.
”Frigga siapa?” Giliran Eda bertanya.
“Ibunya Thor.”

Laras mengakhiri cerita panjangnya dan menegaskan bahwa mereka penduduk Asgard tulen. Punya KTP Asgard. Mereka juga mengabdi pada raja Odin yang kini sedang menghilang. Mereka kini ditugaskan menyelesaikan tugas-tugas kecil sebelum para buronan Asgard memperparah insiden Ragnarok nanti.

“Kita sebenernya harus ngerahasian ini. Tolong ngerti.” Tutup Laras.

Nafas gue menderu menerima informasi ini.

“Dan sekarang dibongkar semua! Kalian tau, buronan-buronan kami lebih liar daripada Roxxon atau Hammer Tech. Bisa jadi dia lagi denger semua ini.” Pur setengah marah.

Kami semua diam. Bukan diam karena rasa bersalah, tapi diam karena bingung harus bertindak bijak seperti apa. Gue, Hari, dan Erna lebih punya tanggung jawab kepada A.T.C.U. daripada orang Asgrad. Akmal bertanggung jawab kepada kesatuannya. Lalu, Eda kepada... orang tuanya? Kak Rivin?

Mungkin cuma Eda di sini orang yang bebas. Tapi dia manusia biasa tanpa kemampuan militer.

“Sebaiknya kalian jalan sendiri!” Erna memecah keheningan.
“Fine!” Pur berseru.
“Tapi...” Laras menyahut.
“Gak ada tapi, kita pergi sekarang.” Pur menarik Laras.

Mereka mengepaki barang masing-masing dalam tas ransel ukuram 40 Liter. Gue mendengar Pur mengecam Laras untuk gak bertindak semaunya sendiri kaya tadi. Manusia makhluk sosial, katanya. Terlalu sosial. Orang-orang Asgard hidup lebih lama daripada manusia. Orang Asgrad lebih dari paham mengenai jalan pikiran kami.

“Lu begini karena dari kemarin gak bisa apa-apa, ya kan? Ibunya Hari, Bapak lu, Kakak lu, Kenia....” Pur beralih menyulut Erna lagi.
“PUR!” Laras teriak keras.

Erna gak menjawab apa-apa. Sebaliknya, dia lari ke kamarnya sendiri, membanting pintu, dan dikunci rapat-rapat.

“Liat, kan?” Pur membuka kedua tangannya.
“Gue antar keluar ya.” Hari bernada rendah, mencoba kalem.

Pur, Laras, dan Hari keluar dari penthouse.

Situasi mendadak kacau malam ini. Laporan ini harusnya bisa menyatukan kami menjadi kesatuan yang lebih kuat lagi. Baru aja beberapa menit kami terasa lengkap, ada rakyat sipil, polisi, inhuman, orang asgard dalam satu pihak yang sama. Sekarang semuanya bubar jalan.

Mungkin ada benarnya yang dikatakan Pur. Erna sangat terpukul. Satu-satunya hal yang berguna mungkin kejadian di Tonga atau soal pelaku pelecehannya Kak Rivin. Mau gimana lagi, kemampuan Erna sebagai inhuman cuma sebatas pengamat. Kemampuan fisiknya bahkan lebih lemah untuk sekedar berkelahi dibanding gue atau Lina.

Tapi Pur terlalu keras sama Erna.

“Gimana ini?” Eda berdiri kebingungan.

Gue melengos ke kulkas untuk menenggak air dingin. Akmal beralih ke sebelah Eda.

“Lo Eda kan ya namanya?” Akmal mengajak salaman.
“Yoi.”
“Kalo mau cari Roxxon. Saya bisa bantu nanti.” Mereka berbasa-basi.
“Oke, oke.”

Malam ini langsung berantakan. Tapi informasi yang kami kumpulkan sungguh lebih dari lengkap. Nanti gue saring mana yang harus dilaporkan secara tertulis ke pusat. Mungkin suatu hari nanti Pur dan Laras bakal balik lagi ke sini, atau kami yang butuh bantuan mereka.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd