Episode 10
Anak-Anak Loki
POV Dani
Tiga hari belakangan kami bolak-balik diomelin habis-habisan oleh pimpinan lewat telepon. Hari disalahkan karena menggunakan kekuatannya di depan banyak anggota polisi, namun itu masih bisa ditoleransi karena termasuk dalam urgensi mempertahankan diri. Pucuk masalah ini adalah meninggalnya Kenia. Dia warga sipil. Untuk itu, guelah yang pasang badan karena gue yang kehilangan pengawasan terhadapnya.
Erna juga kena omel karena gak ada di lokasi. Kondisi tegurannya berimbang karena Erna memiliki alasan untuk giliran menjaga bapaknya di rumah sakit. Di lain sisi, dia tetaplah agen super rahasia yang seharusnya bisa mendahulukan tugas. Padahal, Erna di rumah sakit karena dalam tugas lain yang tidak bisa kami sampaikan ke pimpinan kami.
Akibat teguran itu, CIA akan dilibatkan dalam tugas memburu teroris-teroris berteknologi alien pada kesempatan selanjutnya. Kami terpaksa sampai meminta izin untuk menunda kedatangan mereka sampai urusan pemakaman Kenia selesai dalam waktu seminggu. Untungnya dikabulkan.
Sekarang, udah hampir seminggu.
“Udah kelar nih.” Erna mencuci piring terakhir.
“Sekarang mau gimana?” Tanya gue.
“Kita ke Depok, di sini rawan.” Hari mengusulkan.
“Lewat jalan lain ya, kakak gue masih ngikutin.” Kata Erna.
Begitu tahlilan hari ketiga Kenia kelar di hari Senin, 24 Juli, kami semua berangkat ke Depok untuk berdiskusi dalam kondisi sangat-sangat rahasia. Hari mengemudikan motor nyokapnya, sedangkan gue diboncengi Erna lewat jalan memutar sampai ke Jakarta Barat.
Dua jam kemudian, tepat jam 12 malam, kami tiba di penthouse.
“My bro, Hari.” Pur mengangkat kedua tangannya.
“Pur!” Tegur Laras.
“Gapapa, Ras.” Hari teresenyum getir.
Laras dan Purnawarman tetap kami sembunyikan di Depok. Tapi hal tersebut gak bisa bertahan lama karena beberapa waktu ke depan agen CIA akan datang. Orang-orang Asgrad ini harus dicarikan tempat sembunyi yang baru.
Kami menyampaikan apa adanya atas kondisi ini. Di luar dugaan, tidak ada kepanikan diraut muka Laras dan Pur. Mereka sangat tenang mendengar setiap kata yang terlontar dari kami bertiga.
“Gak usah khawatir kali.” Pur meminum sesuatu.
“Kita udah biasa sembunyi.” Sambung Laras.
“Mau gue ceritain waktu...” sambung Pur lagi.
Gue langsung memotong ucapan Pur. Kami sudah cukup kenal mereka berdua. Sambung-menyambung kata tanpa akhir adalah keahlian mereka dalam kondisi normal begini. Kalo dibiarkan, tiga jam gak akan selesai untuk menyelesaikan cerita mereka.
Sesaat setelah gue memotong perkataan Pur, pintu kamar mandi terbuka.
“Gue kelewatan sesuatukah?” Seorang lelaki bergabung dengan kami.
“Gak kok, Mal. Baru aja mulai ini.” Pur menjawab.
Lelaki bernama Akmal ini duduk di karpet, di antara gue dan Hari. Dia adalah anggota densus misterius yang tiga hari lalu menolong kami kabur dari TKP. Tanpa helm dan masker, gue bisa melihat pipinya yang tirus, rambut klimis dipotong pendek khas polisi, dan badannya yang kurus namun tinggi tegap. Badan khas lulusan baru akpol.
Gue baru sekali ngobrol sama dia selain di Mangga dua, yaitu di RSCM. Dan, sampe sekarang gue gak percaya dengan semua yang dikatakan Akmal, meski dia membantu kami dua kali.
Kali kedua dia membantu kami adalah berbicara dengan komandannya soal insiden tersebut. Dia mengatakan bahwa sempat melihat Kenia ditarik anggota teroris yang menyamar di antara kerumunan warga, tapi kondisinya tepat saat dia berjalan ke pintu masuk timur. Dia merelakan dirinya kena teguran karena tidak bereaksi apa-apa atas apa yang dia lihat.
Ketika gue tanya secara pribadi, dia bilang itu bohong. Akmal gak liat apa-apa. Dia cuma beralasan begitu supaya gue gak terlibat dalam pemeriksaan yang lebih panjang lagi.
“Sekarang udah hadir semua ya.” Hari berbicara tegas.
“Hadir.” Eda muncul dari kamar. “Sorry ketiduran.”
Ada Eda. Kampret. Kok bisa sih.
Kami sekarang akan memulai rutinitas yang udah berjalan sejak kami menjadi agen. Buat Pur, Laras, Akmal, dan Eda, ini hal baru. Oleh karena itu, kami memulai laporan dari orang yang paling berpengalaman menyampaikan laporan rutin. Gue sendiri.
Gue, setelah sempat gak fokus karena ada Eda, menyampaikan segala hal kami lalui selama di Mangga Dua. Gue cerita bagaimana saat menyalakan perangkat-perangkat gue, menyampaikan segala informasi kepada anggota di dalam TKP, sampai momen kehilangan Kenia. Akibatnya, gue melepaskan earphone dan meninggalkan komunikasi. Harusnya ada yang menggantikan dari pihak kepolisian, tapi kenyataannya di lapangan gak ada.
“Giliran gue?” Hari menunjuk dirinya sendiri.
Hari menyambung dengan kejadian dari dalam TKP. Dia menceritakan kranonologi bagaimana alat-alat Hammer Tech berteknologi alien dipamerk, anggota polisi yang dikorbankan untuk pamer, kekacauan dalam beberapa menit sampai Kenia kena tembak, lalu diakhiri datangnya bala bantuan.
“Begitu. Udah semuanya.” Tutup Hari.
“Belom semua. Akmal belom cerita.” Bantah Erna.
Akmal menjawab terbata, selanjutnya dia mulai bicara.
“Oke, kita semua tau kalo laporan gue ke komandan kan bohong. Itu buat nolongin kalian semua. Gue gak liat ada cewek ditarik teroris. Semua bohong.” Jelasnya.
Gue belum puas.
“Kenapa nolongin kami?”
“Ya... gue tertarik sama kalian, agen, inhuman, sorry gue sempet liat monitornya Dani. Gue liat Hari punya mukjizat. Gue cuma tulus mau nolongin.” Jelas Akmal.
Kami semua hening. Hari masih mencoba mengolah kata-kata Akmal. Pur masih terus meminum sesuatu dari gelasnya. Eda masih belum sepenuhnya sadar dari kantuknya, dia kemudian berjalan ke dapur dan menyeduh segelas kopi.
“Pur, lu minum apa sih dari tadi?” Laras risih.
“Tadi sore gue jajan.” Pur lanjut minum.
“Terus?”
“Ada tukang jamu, beras kencurnya enak banget. Gue borong semua.” Pur mendesah lega.
Purnawarman. Pelawak, konyol, dan gak kenal kondisi.
“Sekarang gimana? Hammer Tech udah kalah kah?” Erna memotong, jutek.
“Info yang saya dapet, belom. Mereka masih bergerak di bawah tanah.” Jawab Akmal.
Gue sampe sekarang sama sekali gak percaya dengan Akmal. Tapi, Akmal punya nilai tambah karena punya banyak informasi. Mungkin dia bisa berguna dibandingkan kami yang hanya menunggu laporan masyarakat atau telepon dari petinggi A.T.C.U. Selain itu, menyelidiki banyak hal dengan hanya tiga kepala saat ini sangat sulit.
“Oke, Akmal, kayanya kita punya tempat buat lu.” Hari seperti bertitah.
“Har, tunggu dulu!” Gue memotong.
Gue menjelaskan berbagai kesulitan untuk merekrut tenaga baru. Pertama, merekrut orang bukanlah otoritas kami. Hanya orang pusat yang bisa merekrut dan melakukan penempatan agen. Kedua, kalau pun direkrut, Akmal adalah anggota polisi. Hal itu bisa menjadikan A.T.C.U. bukan lagi organisasi independen.
Gue memberikan solusi agar membiarkan Akmal dengan keinginannya membantu kami. Dia bisa membantu sebisanya, semampunya, tapi gak mendapatkan gaji, honor, atau tunjangan apapun. Selain itu, kami harus izin sebelumnya kepada pusat. Jelas ini akan memakan waktu, tapi efisien.
“Gimana, Mal?” Tanya gue.
“Setuju.” Akmal mengacungkan dua jempolnya tanpa pikir panjang.
Kalimat setuju tanpa pikirnya justru membuat gue makin curiga dan gak percaya. Setelah ini gue akan dan harus terus mengawasinya. Akmal Prawira akan gue tandai sampai tugas kami selesai, bahkan sampai hari-hari setelahnya.
Selanjutnya, kami menyimpulkan kasus Hammer Tech di Mangga Dua selesai. Solusinya, kami akan menambah kesiagaan dan penuh kehati-hatian.
“Oke.” Hari mengangguk.
“Oke.” Eda mengangguk.
“Oke, Cheers” Pur mengangkat beras kencurnya.
Pembicaraan selanjutnya mengenai Roxxon Corporation gak menghasilkan kesimpulan apa-apa. Semua cerita kembali lagi ke kejadian Karang Tengah, baik dari cerita Hari, Pur, dan Akmal dari sudut pandang polisi. Perihal media yang masih berisik juga gak menambah info apa-apa.
Pihak Roxxon sendiri sepertinya tampak lebih berhati-hati setelah mereka kalah di Karang Tengah. Hal ini membuat Eda kurang puas karena dia menjadi korban penyerangan orang-orang Roxxon. Akmal pun juga belum punya informasi lainnya.
“Maaf, semuanya.” Akmal seolah berdosa besar.
Kami beralih ke cerita terakhir. Rosi. Kejadian di rumah sakit untuk menangkap cewek bernama Rosi. Pacar Kakaknya Erna. Sebelumnya, menurut orang-orang Asgard ini, Rosi bukan berasal dari bumi melainkan berasal dari suku bangsa Vanir. Tempatnya ada di dunia Vanaheim.
“Giliran gue nih ya.” Laras membenarkan posisi duduknya.
Laraslah yang bercerita. Mereka melakukan kejar-kejar sejak pertama kali bertatap mata dengan Rosi. Mereka sempat ditangkap satpam karena dikira copet. Lalu lepas karena diberi beberapa lembar uang sama ibunya Erna.
Di luar dugaan, ibunya Erna menjadi saksi penting yang menuntun mereka menemukan Rosi. Akhirnya mereka melakukan strategi ‘kuliah tambahan’. Mereka menyamar menjadi pegawai rumah sakit. Dengan begitu, Rosi gak akan tau kalau dokter yang bercinta dengannya demi punya tempat sembunyi ternyata telah bertukar dengan Pur.
“Rosi udah kami bawa ke Asgrad, nanti ditransfer ke Vanaheim.” Tutup Laras.
“Rumah sakitnya gimana?” Tanya gue.
Salah satu tugas kami sebagai A.T.C.U. adalah mengendalikan semua hal yang berbau alien agar tetap tersembunyi. Kekacauan dalam skala kecil bisa memberikan efek domino, bahkan bola salju. Kalau terbongkar sedikit, ceritanya bisa membesar dan berpotensi menjadi isu nasional.
“Aman kok. Gak ada apa-apa.” Jawab Laras lagi.
“Satpamnya?” Tanya gue lagi.
“Kenyang.” Pur menuangkan beras kencur lagi.
Cerita Pur pun gak teralu beda. Pur hanya menambahkan kalau Rosi memiliki badan yang seksi, payudara yang kecil namun kencang, dan kulumannya yang bersensasi. Lalu, Karena cerita Pur itu, Laras harus menyita beras kencur Pur yang stoknya masih ada dua botol aqua besar.
Erna gak menambahkan apa-apa. Dia hanya melirik ke segala arah. Barulah sebelum laporan ditutup, Erna bersuara.
“Anak-anak Loki itu apa?” Erna lantang.
“Loki? Yang di insiden itu? New York?” Potong Hari.
“Kemarin gue sempet denger Rosi bilang soal anak-anak Loki.” Kata Erna.
Erna menunjuk Pur dan Laras dan menuduh mereka menyembunyikan sesuatu. Erna mengatakan bahwa mereka bisa menjadi ancaman. Katanya, tim ini bisa menang kalau saling percaya, tapi gak akan menang kalau ada pengkhianat di dalamnya. Mirip seperti kata mantan direktur S.H.I.E.L.D., tapi ada benarnya. Gue juga gak kenal banyak soal Einherjar. Apalagi sekarang ada istilah baru. Anak-anak Loki.
“Rosi ngelantur itu.” Pur berhenti minum.
“Gue gak percaya.” Erna blak-blakan.
Erna menceritakan tentang betapa bahayanya Loki. Dalam mitologi nordik, Loki adalah tukang hasut, memanipulasi pikiran orang-orang, dan bisa berubah menjadi siapa saja. Loki pulalah yang sangat ingin mempercepat terjadinya Ragnarok.
Pur dan Laras terbukti bisa menjadi siapa saja. Pur bisa menjadi dokter, Laras bisa menjadi suster, bahkan menjadi Larrson beberapa bulan lalu. Kalau mereka sekarang gak membuka siapa sebenarnya diri mereka, bisa jadi Pur dan Laras memang ancaman kami. Ancaman yang sangat besar. Ragnarok. Kiamat.
“Gue gak percaya~” Pur menyipitkan mata.
“Gak usah nyolot!” Erna membentak lagi.
“Eh, santai aja kali!” Pur tersulut.
Kami semua jadi berdiri. Pur bertingkah kaya orang mabok. Mabok beras kencur tepatnya.
Sebelum kemarahan menjadi lebih besar, gue menahan Erna biar gak bertindak semakin kasar. Hari juga menahan Pur. Di sebelahnya, Laras gak berbuat apa-apa. Gue rasa dia bimbang mau berada di pihak mana. Gue malah jadi menyimpan kecurigaan yang lain lagi.
“Oke, oke tenang semuanya! Gue ceritain semuanya! Tolong berhenti.” Laras angkat bicara.
“Laras!” Pur mendesis.
“Berisik.” Laras balik mendesis.
Laras mengatakan bahwa apa yang dikatakan Rosi memang benar apa adanya. Pur, Laras, dan banyak einherjar lain adalah golongan anak-anak Loki.
“Bener kan gue bilang!” Erna menunjuk Laras.
“Na!” Bentak gue.
“Dengerin dulu, please.” Potong Laras.
Menurut pengakuan Laras, mereka memang anak-anak Loki, tapi bukan anak Loki dalam arti sebenarnya. Mereka dijuluki begitu karena mendapat kesempatan spesial diajari Loki untuk memiliki kemampuan menjadi siapa aja dalam kuliah tambahan.
Laras terus bercerita kalau Loki berperan sebagai dosen dalam akademi einherjar itu. Masa itu pun terjadi ratusan tahun sebelum Loki menghasut Thor untuk menghancurleburkan Jotunheim. Jauh sebelum Loki membelot dan meluluhkantakan New York.
“Sebelum itu, tebak Loki belajar sama siapa? Frigga.” Laras lebih seperti mengetes kami.
”Frigga siapa?” Giliran Eda bertanya.
“Ibunya Thor.”
Laras mengakhiri cerita panjangnya dan menegaskan bahwa mereka penduduk Asgard tulen. Punya KTP Asgard. Mereka juga mengabdi pada raja Odin yang kini sedang menghilang. Mereka kini ditugaskan menyelesaikan tugas-tugas kecil sebelum para buronan Asgard memperparah insiden Ragnarok nanti.
“Kita sebenernya harus ngerahasian ini. Tolong ngerti.” Tutup Laras.
Nafas gue menderu menerima informasi ini.
“Dan sekarang dibongkar semua! Kalian tau, buronan-buronan kami lebih liar daripada Roxxon atau Hammer Tech. Bisa jadi dia lagi denger semua ini.” Pur setengah marah.
Kami semua diam. Bukan diam karena rasa bersalah, tapi diam karena bingung harus bertindak bijak seperti apa. Gue, Hari, dan Erna lebih punya tanggung jawab kepada A.T.C.U. daripada orang Asgrad. Akmal bertanggung jawab kepada kesatuannya. Lalu, Eda kepada... orang tuanya? Kak Rivin?
Mungkin cuma Eda di sini orang yang bebas. Tapi dia manusia biasa tanpa kemampuan militer.
“Sebaiknya kalian jalan sendiri!” Erna memecah keheningan.
“Fine!” Pur berseru.
“Tapi...” Laras menyahut.
“Gak ada tapi, kita pergi sekarang.” Pur menarik Laras.
Mereka mengepaki barang masing-masing dalam tas ransel ukuram 40 Liter. Gue mendengar Pur mengecam Laras untuk gak bertindak semaunya sendiri kaya tadi. Manusia makhluk sosial, katanya. Terlalu sosial. Orang-orang Asgard hidup lebih lama daripada manusia. Orang Asgrad lebih dari paham mengenai jalan pikiran kami.
“Lu begini karena dari kemarin gak bisa apa-apa, ya kan? Ibunya Hari, Bapak lu, Kakak lu, Kenia....” Pur beralih menyulut Erna lagi.
“PUR!” Laras teriak keras.
Erna gak menjawab apa-apa. Sebaliknya, dia lari ke kamarnya sendiri, membanting pintu, dan dikunci rapat-rapat.
“Liat, kan?” Pur membuka kedua tangannya.
“Gue antar keluar ya.” Hari bernada rendah, mencoba kalem.
Pur, Laras, dan Hari keluar dari penthouse.
Situasi mendadak kacau malam ini. Laporan ini harusnya bisa menyatukan kami menjadi kesatuan yang lebih kuat lagi. Baru aja beberapa menit kami terasa lengkap, ada rakyat sipil, polisi, inhuman, orang asgard dalam satu pihak yang sama. Sekarang semuanya bubar jalan.
Mungkin ada benarnya yang dikatakan Pur. Erna sangat terpukul. Satu-satunya hal yang berguna mungkin kejadian di Tonga atau soal pelaku pelecehannya Kak Rivin. Mau gimana lagi, kemampuan Erna sebagai inhuman cuma sebatas pengamat. Kemampuan fisiknya bahkan lebih lemah untuk sekedar berkelahi dibanding gue atau Lina.
Tapi Pur terlalu keras sama Erna.
“Gimana ini?” Eda berdiri kebingungan.
Gue melengos ke kulkas untuk menenggak air dingin. Akmal beralih ke sebelah Eda.
“Lo Eda kan ya namanya?” Akmal mengajak salaman.
“Yoi.”
“Kalo mau cari Roxxon. Saya bisa bantu nanti.” Mereka berbasa-basi.
“Oke, oke.”
Malam ini langsung berantakan. Tapi informasi yang kami kumpulkan sungguh lebih dari lengkap. Nanti gue saring mana yang harus dilaporkan secara tertulis ke pusat. Mungkin suatu hari nanti Pur dan Laras bakal balik lagi ke sini, atau kami yang butuh bantuan mereka.
BERSAMBUNG