Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG {True Story} From Russia With Lusk

Previous Chapter


Chapter 4

Pagi harinya, aku dibangunkan oleh dering HP dari sebuah notifikasi pesan. Entah pukul berapa pagi itu tapi yang jelas terlalu pagi untukku. Ternyata si Devushka yg mengirimkanku pesan lewat FB. Ada tiga pesan bahkan.

"Morning @! So, what time we go to the beach?" bunyi pesan pertama yang ia kirim bersama dengan foto jidatnya berlatar sprei one piece dan kerokeroppi. Lalu, ia lanjut:
"I ate your bread and made omelet for breakfast. I hope you dont mind. I made one for you also."
"Hi. Just wanna check if you're awake already. You're omelet is already cold now I guess."




Ketika aku sedang membaca semua pesan ini, datang lagi pesan yg ke-empat, lima dan enam:
"Hey you're online."
"Morning!"
"Are you awake now?"


Aku membalas pesan itu dengan berteriak dari dalam kamar, "YES VI, I'M AWAKE! UNO MOMENTO, IM GATHERING MY SOUL."

"OKAY,"
teriaknya balik.

Aku tak mengerti kenapa bangunin orang saja harus lewat messenger, "lah, jarak kamar kita kan cuman beda sepercik air," pikirku.

Kala itu aku berasumsi ini karena perbedaan generasi maka perbedaan gaya komunikasi. Kami selisih 6-7 tahun, usiaku ketika itu di senja 20an, doi awal 20an. Padahal mungkin, kayak-kayaknya, dia cuman segan saja membangunkanku secara langsung, apalagi setelah kejadian semalam.

Tak lama, aku bangun, cuci muka, sarapan lalu mandi. Kami lalu berangkat ke pantai. Dari kemarin si Devushka memang sudah meminta diajak ke pantai. Katanya sejak di Indonesia, satu2nya pantai dia pernah datangi cuma Pantai Tuban.

Kali ini aku memilih naik mobil walaupun si Devuska bilang dia lebih senang naik motor.
"I can see the surrounding better and feel the air," alasan doi.

"Iyes elu can feel the air, tp klo ntar ujan gw yg ber-air," dalam benakku.

Di dalam mobil seingatku kami tidak banyak ngobrol, juga tidak ada membahas soal kejadian semalam. Selain si Devushka ini memang cenderung pendiam, sepertinya jg ada kendala kenyamanan berbahasa. Bahasa inggris Vi memang belum ceplas-ceplos. Jika topiknya mulai kompleks, selalu terasa ada jeda 1-2 detik sebelum dia bisa mengutarakan pikirannya.

Aku pun terlalu sombong untuk memulai percakapan, memilih untuk menikmati perjalanan, pemandangan dan musik. Sampai pada satu titik.

Mungkin karena mulai tidak nyaman dengan keheningan di antara kami, mungkin juga dia tahu aku agak bete, atau mungkin karena ingin saja, Vi menjemput tanganku yang sedang berada di atas persneling dan menggenggamnya hangat untuk hampir seluruh sisa perjalanan. Dari situ, karena itu, hawa kedinginan yg sunyi mulai cair dan berubah menjadi summer.

Aku memilih pantai yang jauh dari keramaian walaupun agak susah karena itu akhir pekan. Kami harus berjalan 1-2km dari parkiran untuk menemukan spot yang pas. Di pantai ini kami hanya berdua ditemani sekelompok burung camar. Pantai ini pas bukan hanya karena terhindar dari mata-mata yg jelalatan dan ketidaknyamanan turis lain karena Vi pasti akan memakai two-pieces bikini, tapi juga karena kami bisa bebas untuk nakal-nakal sedikit.

Kemarin malam aku belum betul-betul bisa melihat bentuk bagian bawah bodi si Devushka. Kini aku leluasa menikmati pemandangan badannya dengan santai dilatarbelakangi langit biru yang cerah dan hembusan angin laut.

Bentuk badannya Vi seperti setengah hourglass, atau lebih tepatnya berbentuk segitiga: mungil di perut ke atas, melenggok agak besar di pinggul ke bawah. Betis dan terutama pahanya lumayan besar untuk seorang perempuan yg bukan pesepakbola. Bulu-bulu tipis di kakinya selaras dengan jembut rindangnya yang mengintip sedikit dari balik bikini. Yang paling bikin air liur keluar sih bentuk pantatnya Vi yang sempurna.
(Sayangnya pembaca, folder foto di pantai ini lupa gw taro di HDD mana. Nanti gw coba cari foto doi dr tmpt lain sbg bantuan imajinasi)

Saat ia berbaring terbalik, di bawah teriknya matahari sambil membaca sebuah buku berbahasa Russia, terlihat jelas kedua pipi pantatnya yang bulat membal seperti adonan roti surgawi. Betul-betul menggodaku untuk membenamkan kepalaku di dalamnya. Kuurungkan niatku, "jangan guobloq! jangan cari2 derita sendiri," hardikku ke diri.

Jadinya, aku hanya mencium pucuk kepalanya dan lalu mengambil posisi berbaring di sebelahnya. Dia membalas mencium bibirku singkat. Kubalas lagi. Dan lalu lagi sampai pada akhirnya kami bercumbu cukup panas. Awalnya aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk hanya made out, bercium-ciuman saja dengan Vi tapi kedua-tanganku seperti punya pikiran sendiri. Mereka, kedua-tanganku, mulai menggerayangi pantatnya Vi. Mereka meremas, mencubit-cubit, lalu sekali menampar pantat Vi, semua dilakukan tanpa persetujuanku. Si otong mulai bereaksi. "Wah ini gawat! Main api ini namanya!" terlintas di otakku.

Entah sengamuk apa si penguasa laut selatan jika aku memaksakan bersenggama dengan perempuan yang sedang nggarap sari alias datang bulan di dekat teritorinya. Bagaimanapun, mitos Nyi Roro Kidul sudah bersemayam di alam bawah sadarku.

Sebelum terlalu panas kentangnya, jauh sebelum gosong, aku buru-buru berinisiatif meniriskan dan mendinginkan kentang...Maksudku, suasana.

"Parah kalo gini terus. Pergi maen aer ajalah biar dingin si otong," aku berusaha solutip.

Kudinginkan si otong dan diriku di terpaan ombak-ombak kecil laut selatan. Ombak-ombak yang besar sudah pecah lebih dulu oleh karang-karang di sebelah sana. Tidak lama, Vi berlari kecil menyusulku lalu memelukku dari belakang, sepertinya meminta main gendong-gendongan. Aku yang ragu apakah ini sopan atau tidak, cepat-cepat menurunkannya dan mencoba cari permainan lain yang tidak bersentuhan fisik terlalu banyak. Yah, supaya si Devushka tidak terlalu baper dan penguasa laut selatan tetap tenang. Ini lebih mudah daripada harus menjelaskan tentang mitos sang Nyai ke orang Russia.

Tentu kami tidak berenang di pantai, hanya orang gila atau sakti (atau keduanya) yang berani berenang di pantai selatan. Kami cuma bermain air dan membasahkan kaki. Kenakalan yang kusebut di atas, kami lakukan di pantai, di belakang garis pasang, 20-30 meter dari buih-buih ombak putih.

Hari menjelang sore, sepertinya ashar pun sudah lewat. Kami berberes, mengenakan baju ganti dan mulai berjalan ke mobil.

Kami tidak pulang ke rumah tapi aku langsung mengantarkannya ke stasiun kereta setelah makan malam singkat di suatu kedai.

Di kedai dan juga lalu stasiun, kami tidak ada membahas tentang kelanjutan hubungan ini. Itupun kalau memang ini sebuah hubungan. Aku juga sebenarnya tidak berharap banyak. Walaupun kentang parah, penasaran setengah hidup, aku cukup senang bisa dekat lagi dengan lawan jenis semenjak delapan bulan kemarau panjang, dihitung dari kandasnya hubunganku yang terakhir.

Hampir tujuh tahun aku berhubungan dengan mantanku yang terakhir tersebut. Tujuh tahun pula aku tidak pernah mencari perempuan lain. Seven years out of the game. Ketika akhirnya jomblo lagi, rimba persilatan sudah berubah banyak.

Wartel tempat banyak laki-laki melepas rindu tinggalah sebuah monumen sejarah yang bahkan neonboxnya kini dianggap antik dan diburu remaja-remaja edgy untuk dikoleksi; telpon rumah hanyalah hiasan ruang tamu di rumah-rumah kuno; metode telepon 3 detik ala Mentari yang baru dekade lalu ngetren pun sekarang terlihat amat primitif; dulu dapat pesan SMS satu kata dari yayang sudah seharian girang, sekarang SMS hanyalah untuk ibu-ibu yang minta transfer dan tukang gadai BPKB; tante, bu lik, teman arisan ibu yang dulu berguna sebagai mak comblang sekarang sudah disingkirkan Tinder.

Bukan hanya teknologi dan rimba persilatan yang berubah banyak, tapi terutama adalah kepercayaan diri yang sempat mendem di dasar parung kesadaran. Pertemuan dengan Vi sedikit banyak mengubah ini. Kalaupun harus berakhir di stasiun penuh kenangan ini sekalipun, tak masalah besar. Yang lebih penting, I'm back in the game.

Tapi takdir ternyata berbicara lain.

Bersambung...

ket:
@=namaku
baru sadar, ternyata kata 'g0bl0k' otomatis disensor yah
Masih penasaran sm kelanjutannya hu
 
Sama si Rusia aja belum SS,ditambah lainnya

bakalan panjang nih cerita
manteb deh...
g pakai foto nude malah aman Hu,lebih oke kalau foto2 biasa dy dg minim sensor...
 
Previous Chapter

Lanjut ya gengs. Semoga berkenan.

Chapter 5

Stasiun utama kotaku ini hampir selalu penuh di akhir pekan. Di malam senin seperti saat itu, mudah sekali menemukan sepasang muda-mudi yang sedang saling mengucapkan selamat tinggal; yang sedang menunda - walau untuk semenitpun - kekangenan yang niscaya tak terhindarkan. Aku rasa, saat itu kami bukan salah satu dari pasangan-pasangan ini.

Aku kentang? Ya! Penasaran? Ya! Tapi apakah aku akan kangen Vi? Sepertinya, tidak. Karena bahkan sampai titik ini aku belum merasakan ada chemistry yang selaras.

Tapi toh, ia menitipkan harapan yang hampir seberat desakan.

"Again @, I thank you," katanya sambil tersenyum hangat. "I had the best time in Indonesia, so far."

"My very pleasure, Vi. I had a heck of a time too,"
balasku. "You're always welcome to come back here."

"Orrrr, if you can, visit me in Surabaya. I wanna go to Bromo and Ijen."
Agak terjeda beberapa detik dia melanjutkan, "...or anywhere outside of Surabaya with you."

Aku merespon hanya dengan senyuman, lalu bertanya, "when exactly is the end of your internship program?"

"Dec 24th. After that I have 2 weeks left in my visa. I think I wanna travel outside of Java and Bali. Maybe Lombok."

"Hmm..So, about two months. We still have plenty of time,"
jawabku tanpa menyadari bahwa aku menggunakan kata 'we' ketimbang 'you'.

Si Devushka tersenyum manja, seakan juga menyadari silap lidahku.

Setelah dua atau tiga ucapan-ucapan perpisahan, Vi pun berangkat dengan kereta malam menuju Surabaya.

Sebenarnya, aku memang sudah berencana untuk ke Surabaya akhir pekan depan sekaligus bertemu partner potensial untuk bisnis. Tapi kemudian akibat seorang teman yang datang dari jauh dan seorang gadis dari Semarang, aku menunda Surabaya dan Vi untuk seminggu ke depannya lagi.

-----------------------------------------------------------------------------------------------


Dua minggu kemudian, di hari Jumat pagi-pagi sekali, aku tiba di rumah kawan akrabku di daerah Arjuna, Surabaya. Kawanku dan istrinya masih bersiap-siap untuk berangkat ke kantor ketika aku tiba. Aku memang biasa menginap di sini jika singgah di Surabaya. Mereka justru senang kalau ada yang menginap. Rumah dinas ini, yang sudah lumayan tua, terlalu besar dan terasa angker untuk ditempati hanya oleh pasutri tanpa anak.

Sebelum mereka berangkat kerja, aku mencari celah untuk menanyakan sesuatu ke tuan rumah, "Cuy, ntar gw bawa temen nginep yak?"

"Cowo pa cewe?" pertanyaan retorik darinya. "Kalo cowo ga boleh! Kalo cewe, setrah loe aja coy."

"Ama nyonya oke gak?" aku masih berlagak sopan santun basa basi kesusilaan budaya timur.

"Kayak kagak tau bini gw aja man. Yg penting kenalin dulu nanti. Sisanya, sehepi2 loe pade nakanak mude," kawanku menegaskan jawabannya.

"Kita seumuran tau, cuy," kilahku.

"Iye, tapi kan gw dah nikah!"

"Percuma klo blm punya anak sih!"

"Ehh..Djiamputtt!" kawanku mengumpat. Yang terakhir dariku sepertinya agak kelewatan (hahaha), sampai-sampai temanku harus memakai kata kotor Suroboyoan ketimbang Betawi. Toh kami lalu tetap tertawa bersama.

Tak lama, mereka berangkat. Aku mengistirahatkan badan setelah menyetir 7 jam. Sore nanti sebelum bertemu Vi, masih harus rapat sebentar.

-----------------------------------------------------------------------------------------------


Aku tiba di sebuah kafe di Sutos agak telat dari jadwal rapat. Haiyah, tapi di negeri ini yang tepat waktu hanya proklamasi kemerdekaan. Setelah itu, praktis tak ada yang tak terlambat. Penanganan pandemi saja terlambat :D. Contohnya lagi, aku yang terlambat ini justru yang paling awal tiba. Peserta rapat yang lain selalu masih otw sampai tiba-tiba mereka nongol hampir berbarengan.

Saat rapat masih belum juga dimulai, saat kami masih sibuk beramah tamah untuk melicinkan proses negosiasi, Vi mengirimkan pesan:
"My class is about to finish. See you sooon ." Lalu doi juga bertanya, "which cafe/resto in Sutos?"

Setelah membalas, aku langsung mengecek GMaps untuk memperkirakan jarak dan waktu tiba si Devushka. 10 menit kata Google Maps. Padahal, rapat masih juga belum dimulai.

Perkiraan Google tidak meleset-leset amat. 15-20 menit kemudian, Vi sudah clingak-clinguk berusaha mencari kehadiranku di tengah-tengah kebulan asap rokok yang jadi ciri khas kafe Rolaas milik BUMN ini. (btw, katanya kafe ini skrg udah gk ada yah?)

Doi berpakaian stelan yang mirip seperti saat kami pertama bertemu di terminal bus dua minggu yang lalu: t-shirt v-neck warna putih dan rok batik panjang dari bahan katun. Bedanya, selain beda motif rok batik, kali ini doi berbalutkan cardigan tipis. Seperti saat rendezvous pertama juga, si Devushka tidak terlihat memakai make-up apapun, kayaknya lipstik pun tidak.

Ya mungkin, dengan bibir seperti miliknya lipstik jadi tidak perlu. Kelembutan bibir pink-nya sudah terasa walau hanya diraba dengan mata; membawaku ke saat pertama berciuman dengannya; membuatku menduga-duga bentuk dari labia vaginanya; dan sebab itu menjadikan miting ini kurang produktif.

Akhirnya setelah cukup lama doi clingak-clinguk, pandangan kami beradu. Matanya dengan sedikit memicing bertemu mataku. Doi tersenyum merekahkan bibir merah muda, yang bak magnet, selalu mengundang untuk diadukan dengan bibirku. Memakai mata, bibir dan bahasa tubuh, aku mengisyaratkan agar dia mencari meja kosong dan menunggu sebentar sembari aku menyelesaikan rapat ini.

Di ujung-ujung rapat, salah satu rekan rapat baru menyadari ada gadis bule cantik. Walau sepertinya, tak ada dari mereka yang ngeh kalau Vi hadir di situ untuk menungguku.

"Eh, ono wong londo manis sendirian tuh gengs," kata si rekan rapat ini ke forum. "Raono sing gelem mepet, nih?"

"Ngenteni sopo yo? Kok kayaknya rodo sumringah ngono," timbal satu rekan yang lain.

"Etapi, de'e ora mesen apa-apa tuh. Mejanya kosong. Nungguin 'om-nya' kalik," celoteh cangkem satunya lagi. (yang punya cangkem ini gw masih ingat nama aslinya, krn orgnya bocor tipis. Kita sebut saja Suryo)

Wahiya, betul! Aku juga baru sadar si Devushka belum memesan apa-apa. Ini kebiasaan banyak orang Russia yang kukenal: duduk menunggu di kafe tapi tidak memesan apapun. Selanjutnya, aku memanggil pelayan, memesan minuman untuk diantar ke meja bule yang sendirian di ujung sana.

Rekan-rekan rapatku tak berkomentar, aku cuman merasakan hawa kebingungan beredar. Ketika minuman sampai di meja Vi, doi menoleh ke arahku juga kebingungan. Lagi, dengan bahasa tubuh aku berkata, "from me. For you. 5 more minutes."

"Loh, Mas kenal mbak londo itu?" akhirnya Suryo si bocor tipis itu penasaran.

"Belum sih, Mas Yo. Tapi lima menitan lagi mungkin udah kenal," jawabku setengah guyon.

"Haha, joss tenan, Mas @. Emang orang Jakarta itu gesit dan ulet, yah. Sorenya gesit, malemnya ngulet," balasnya berseloroh.

"Nek projek saiki gol, enthuk dhuwit akeh, tak nggo ngeramik lambemu, Yo!" rekan satunya menghujat Suryo. Kami semua tertawa ngakak.

"Haha.. Sa ae, Mas Suryo. Saya di Jakarta cuman numpang brojol tok," jawabku singkat.

Hampir persis lima menit berlalu, aku mempermisikan diri dari forum. Yang lain, masih kongkow-kongkow di kafe ini. Mungkin sekali mereka sedikit penasaran dengan apa yang akan terjadi. Sebab kelak di rapat selanjutnya, si Suryo, entah sekali atau dua kali, menanyakan ihwal tentang sore itu.

"Act as if we've never met," kata-kata pertamaku ke Vi seraya duduk di kursi berlawanan darinya.

"Why?"

"Long story, tell you later,"
jawabku cepat-cepat.

Setelah pura-pura berkenalan dan mengobrol singkat, aku membayar tagihan kafe, melambaikan tangan ke rekan-rekan yang masih di meja sana, lalu pergi.

Sebetulnya kami buru-buru pergi lebih karena aku sedikit malu dilihat calon rekan bisnis, dan ditambah Vi yang sudah tidak tahan dengan asap rokok di kafe itu. Namun sepertinya, semua aksi ini justru menambah kemisteriusanku bagi bakal calon rekan-rekan bisnis ini dan sedikit banyak juga ada sumbangsihnya untuk kelancaran proyek bersama kami kelak. Entahlah, aku hanya cocoklogi.

Aku dan Vi tadinya berencana nonton. Namun setelah melihat judul-judul film tayang, tidak ada yang membuat berselera, kami pun urung. Aku ajak dia untuk jalan-jalan keluar mall mencari jajanan.

-----------------------------------------------------------------------------------------------


Aku mengubek-ubek tas slempang mencari korek. Jalan malam di trotoar Surabaya dengan seorang gadis, tentu tidak lengkap tanpa sebatang kretek yang membara di mulut.

"Hoof...My eyes are still hurt because all of those smokes," kata Vi sambil mengusap-usap matanya.

Aku jadi langsung membatalkan diri untuk merokok.

"But you never complain about cigarettes smoke back in my place, Vi."

"Different! That cafe was crazy..So many smokers inside!"
Doi lanjutkan, "and you never smoke in front of me."

"Really? I remember I smoked in front of you plenty of time. When we had coffee at that hill, in the temple, even during rain I smoked,"
jawabku sedikit heran.

"Yes, but those were all outdoors," tegasnya.

Bersamaan dengan selesainya pernyataan yang berfungsi bak izin merokok itu, karena ini kan juga outdoor, gerakan ngubek-ngubek tas langsung dimulai lagi.

"Ah, ketemu juga koreknya. Mantap! Ini baru pas," benakku sambil membakar kretek.

Lalu aku melanjutkan, "but I probably have to tell you: I need to smoke after sex."

"Is that so? Who says we're going to have sex tonight?"
doi menyekakku sambil memberi raut setengah nakal.

Oh, tentu ini belum skak mat. Bidak-bidakku masih banyak.

"It was only an FYI. I never said that we're going to have sex," aku meladeni permainannya seperti pribahasa orang lampau: gayung bersambut, kata berjawab.

"So, we're not?" doi menyeringai membalikkan kata-kataku. Lalu tanyanya lagi, "you're sure bout that?"

"It depends on your definition of sex,"
kataku sambil cari-cari cara menguasai permainan ini. "Do you consider me kissing your lips, neck and the back of your ears, as having sex?"

"Hmm..Nope, of course not! That's just us making out,
" jawabnya.

"What about if I squeeze your delicious ass, like in the beach, while gently biting your nipples, is that sex?" Sepertinya aku sudah mendapatkan sela permainan ini.

Vi mulai terlihat merah tersipu. "Still no. That is just you having fun," jawab Vi lagi, semakin terjebak dalam permainannya sendiri.

"Okay..okay. What if I told my two fingers to penetrate your wet vagina then rockin rollin it to the heaven and back, while the rest of me enjoying the rest of you. Do you count that as sex," tanyaku lagi.

Nampaknya, dilihat dari gerak tubuh dan ekspresi, aku berhasil membuatnya cukup sange. Kalaupun tidak, sedikit-dikitnya aku berhasil membuat diriku sendiri cukup sange.

"Well, that is just me having sex with your fingers. Not us," jawab Vi.

"What if..." saat aku baru memulai kalimat pamungkasku, Vi langsung memotong.

"I don't want your two fingers. I want you and your dick!" Akhirnya, skakmat.

Wow. Aku tak menyangka dia akan selugas itu. Benar ternyata, dia juga sudah horny. Ke-horny-anku juga ikut memuncak karenanya. Memang betul kata mantanku yang penari dulu, "horny itu kayak nari Tango, cuma bisa maksimal kalau selaras bersama."

Tapi biar begitu aku memang orangnya cenderung tidak mau terlalu dikontrol syahwat. "Makan bubur jangan panas-panas," petuah orang-orang bijak dulu. Maka, aku tidak cepat-cepat langsung menggotong Vi pulang. Kami tetap meneruskan dulu berjalan-jalan nikmati malam Surabaya (plus polusi), menikmati lebarnya trotoar Surabaya, dan bahkan sempat jajan di pinggir jalan juga, sebelum akhirnya pulang ke rumah dinas temanku.

Begitupun untuk para pembaca, kita bawa agak selow yah, jangan terburu-buru syahwat. :p

bersambung...


Next Chapter

ket:
@= namaku
 
Terakhir diubah:
Anggaplah ini seperti segue atau intermezzo, atau bilanglah cerita sampingan. Kalopun gk dibaca, gk akan mengganggu jalannya cerita utama. Cerita ini kupercepat narasinya supaya ga kepanjangan intermezzo-nya.



Jadi, beberapa hari setelah aku berpisah dengan Vi di stasiun, seorang teman surfing/selancar dari Brazil menghubungiku. Namanya, Alejon. Intinya dia bilang: sekarang dia di Padang (dari Mentawai) mau main ke kotaku, dan kalo boleh menumpang sebentar di rumahku. Ya pasti boleh, si Alejon ini teman lama sempat mementorku kala awal-awal belajar surfing dulu.

Si Alejon ini memang kuakui ganteng sih, dan agak poll gantengnya. Sepertinya dia berdarah campuran, layaknya banyak orang Brazil lainnya. Untuk orang latin, dia tidak terlalu tinggi. Mungkin sekitar 175an, cuman badannya surfer abis. Singkatnya, tipe2 kegemaran cewek-cewek endonesa, asia timur, atau sesama bule. Cewek manapun lah.

Ketika itu dia emng lagi gemar2nya maen Tinder. Dilalah,nyangkutlah satu gadis Semarang. Dari foto, teks dan lalu telpon, mereka berdua ada kecocokkan. Si Ale juga ngaku penasaran dengan gadis ini. Agak cilakanya, bahasa Inggris si gadis belepotan terbata-bata. Si gadis bahkan harus sering-sering memakai google translate untuk berkomunikasi.

Saat Ale di rumahku, aku lah yang sering dipakai untuk penerjemah. Capek disuruh jadi translator bolak balik via telpon, kuajaklah si gadis untuk datang saja ke kotaku.

"Maen kesini, gk usah nginep gpp," kurang lebih itu yang kusampaikan. Si gadis Semarang ini pun mau walau agak malu-malu.

Akhir minggu itu ia datang, bahkan menginap juga di rumahku. Sudah pasti, peranku sebagai penerjemah masih diperlukan. Karena hal inilah rencanaku untuk ke Surabaya, kutunda seminggu.

Sudah ada dugaan sebetulnya kalau lambat demi laun malah aku yang semakin dekat dengan si gadis Semarang. Awalnya kami hanya teman platonik, lalu ujuk-ujuk nantinya gadis ini malah menjadi pacarku selama enam bulanan, lebih kurang. Setengah terasa seperti mengambil durian runtuh, setengah seperti tabrak lari.

------------------------------------------------------------


Kalau dinilai cerita dengan si gadis Semarang ini menarik, komen yah suhu2 yg budiman. Bilanglah ada 20an orang yg tertarik, gw akan coba cari waktu utk menulis ttg doi. Sementara kita selesaikan cerita si Devushka alias Vi dulu yap.
 
Terakhir diubah:
Sama si Rusia aja belum SS,ditambah lainnya

bakalan panjang nih cerita
manteb deh...
g pakai foto nude malah aman Hu,lebih oke kalau foto2 biasa dy dg minim sensor...

Tenkyu broo :ampun:
Awalnya kirain cuman bakal 3 or 4 chapter juga hu. Mbuh, pas mulai ngetik sering keterusan, ada detil2 yg tiba2 inget.
Penampakan selanjutnya nanti di berikutnya yah hu. Tak cari2 yg nyambung dgn jalan cerita.

makasih updet chapter 5 om @DEPOTCHKA


sama2 om subes..:beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd