Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG TITIK BALIK [By. Ranfast]

Bimabet
Kalan tragis ne ending nya,,,,,ngeri gw ngebayangin nya. Tak selalu yg berkilau itu indah Bu. Seperti nya tokoh utama wanita menyadari apa yg dia lakukan itu mempertaruhkan hal paling berharga yang dia miliki. Semoga sang tokoh wanita siap menerima resiko kehilangan apa yg dia pertaruhkan jika nanti dy kalah. Saya suka cara anda dalam memaparkan ceritanya, membuat saya sebagai pembaca ikut terbawa suasana. Ss nya cukup soft, cuma klo ada pergolakan batin si cewe mgkn bisa lbh detail. Biar lebih greget. Terima kasih telah menyempatkan untuk menulis, tetep semangat, semoga sampai tamat.
Makasih atas masukannya...
Akan dicoba kedepannya, tetaplah kasih masukan yah...
 
gelar tikar di mari ...

nungguin lanjutanya ... apa diana akan menyesali perbuatanya atau tambah binal di akirnya
 
Umurnya 26 apa 36 sih hu, rancu
Saya cek lagi ya?
Makasih atas koreksinya,


Oh ya, salah ketik suhu, mestinya 29 tahun.

Sy akan perbaiki setelah stay di rumah lagi.

Thanks
 
Terakhir diubah:
Mantap ane baca cerita suhu @ranfast , semudah itukah diana terlena, bakalan menguras emosi ini cerita, yang ada tisue di kamar habis bukan buat bersihin hasil coli tapi buat bersihin ingus, btw untuk suhu tetep semangat. Jangan lupa update hu, walaupun ane orangnya baperan, apa lagi kalo cerita bini selingkuh gini, tapi ane ijin mendirikan bangunan sambil memantau ceritanya. :Peace:
 
Cara bertutur yang bagus banget...
Lebih dalam lagi bro.. mengolah
Konflik batinnya diana

Biar makin nyuss
 
:mantap: sekali suhu.... baru membaca awalnya saja ane udah berimajinasi liar .. serasa baca novel Sandra Brown atau Diana Palmer...
Pemilihan kata-katanya benar bener keren....
 
BAB II




Mungkinkah ini rasa cinta yang sesungguhnya? Ataukah ini hanyalah sebuah harapan semu, obsesi yang tiada berujung, sebuah pelarian dari rasa bosan yang semakin melanda?

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.jpg
[/url]​



Hari masih sama seperti kemarin. Aktivitas yang dilakukanpun masih tiada beda. Mencuci pakaian, masak, bersih-bersih, intinya mengurus rumah, itulah yang terus dilakukan Diana, seiring rasa bosan yang perlahan merasukinya.


Ketika pulang kerja dengan tubuh lelah, dia masih harus melaksanakan tugas sebagai Ibu Rumah Tangga. Sementara suaminya? Duduk berselonjor kaki, ditemani segelas kopi dan rokok sambil menonton TV. Segalanya mesti Diana yang mengerjakan urusan rumah, alasan suaminya masih sama, Capek. Padahal? Mereka sama-sama kerja, sama-sama pulang petang, sama-sama pergi pagi...


“Pa..., boleh bantu mama nggak?” harap Diana pada suaminya sambil menunjukkan sekeranjang pakaian kotor yang mesti dicuci.


“Waduh, Ma...” Yanto memelas. “Papa capek. Lagian, mama sih..., papa udah tawarin cari pembantu, terus saja nolak...”


“Papa gimana sih..?!” Kening Diana berkerut.


“Lha, iya kan?” Yanto mulai berkelit. “Mama nyucinya juga pake msein cuci. Semua tinggal dicolokkan ke listrik. Apanya lagi yang bikin capek?”


Diana menggelengkan kepalanya. Hanya dengusan kesal yang keluar, sementara ribuan protes yang hanya berkecamuk dalam hati dan kepalanya.


Aku akan melakukan semuanya dengan usahaku sendiri’ Umpatnya dalam hati.


Tuuuut...! Tuuuut...! Tuuuut...!



HP Diana bergetar. Jaraknya jauh dari tempat dia berdiri, maka otomatis Yanto yang meraih benda itu..


“Hallo...”


“Ya, Hallo...” Suara seorang pria, Yanto tak mengenali suara siapa itu.


“Siapa ya?”


“Oh,,, Saya temannya Diana, Boleh bicara dengan Diana sebentar?”


Yanto memandang ke arah Diana yang saat itu bersikap cuek, seperti tak menginginkannya.


“Temanmu...” sodor Yanto.


Diana mengerutkan dahinya. Agak ragu dia menempelkan benda itu ke telinganya...


“Hallo, ini Diana..., ini siapa yah...”


“Diana? Kaukah itu? Aku...”


“Iya, siapa?”


“Ini aku. Jerry”


Duggghhh!!!



Diana melirik sebentar ke arah Yanto. Suaminya sibuk dengan dunianya sendiri, menonton acara kesukaannya berteman secangkir kopi kental dan sebatang rokok. Ada rasa senang, bahagia dan semacam bangga dalam hatinya, mengingat kebersamaan mereka dulu. Suara ini milik dari seseorang yang sangat romantis, penyayang dan perhatian, mantan pacarnya yang hingga kini menurut pengakuannya dalam chat semalam masih sendiri karena belum bisa move on dari yang namanya Merindukan Diana...


“Ohh, Jerry?” Agak gugup Diana berucap. Tapi itu tak lama, karena dia harus bisa mengendalikan perasaan ini didepan suaminya.


“Iya, Dy..., Maaf baru sekarang aku nelepon, lagian nomor kamu kan baru kamu kasih semalam... hehe”


“Iya,,,” Meskipun telah bersikap biasa saja, namun perasaan kikuk masih juga ada. “Kamu dimana sekarang..?”


“Di Kota kamu!”


“Hah??!” Diana tersentak kaget. Suaminya meliriknya sebentar, lalu fokus lagi ke arah TV.


“Koq kaget? Suami kamu ada?”


“Ada..., emangnya kenapa?”


“Gak kenapa-napa, aku mau datang ke rumah kamu soalnya, mau ketemu sama semuanya, sama suamimu, anakmu, bapakmu, pokoknya semuanya...”


“Ohh,,, iya, silahkan... silahkan...”


“Ya udah, nanti aja kita bicara panjang lebar, gak enak ngobrol lewat HP gini, takutnya nanti suami kamu cemburu.. hahaha”


“Ah, gak koq. Suamiku bukan tipe pencemburu, tenang aja..., pokoknya aku tunggu ya?”


“Oke..., dah...”


Klik!!! Sambungan terputus


“Siapa Ma?” Tanya Yanto sambil terus fokus pada acara TV


“Temanku. Katanya mau datang...”


“Ohhh...”


Diana kembali mendengus. Hanya segitu respon suaminya? Bahkan pada pria yang tak dikenal suaminya, dan pria itu mau datang ketemu, lalu suaminya tak memberi respon apapun?

Dengan perasaan campur aduk Diana melangkah menuju dapur, membawa sekeranjang pakaian kotor. Inilah tugas dan kewajiban seorang istri? dan itukah hak seorang suami?


***​




Hari semakin senja, matahari telah menghilang ditandai dengan warna jingga kaki langit. Diana baru saja menyelesaikan kegiatan dapurnya. Memasak dan menyajikannya tentu saja. Tak pernah jadi masalah baginya, itu adalah sebuah rutinitas yang mau tak mau harus dilakukannya. Bisa dikatakan peran ganda seorang istri, bekerja didalam dan diluar rumah, Ikut membantu suami bekerja mencari tambahan uang, juga bekerja mengurus rumah. Bukankah itu peran ganda? Sebagai Istri, juga sebagai pencari nafkah, meskipun tidak sepenuhnya. Kata sebagian orang, Siang Kerja, Malam Dikerjain...


Setelah selesai membersihkan tubuh penatnya, dengan memakai setelan berhijab, Diana bersandar di kursi teras rumahnya sambil mengutak-atik HP kesayangannya. Sebuah pesan masuk lewat aplikasi BBMnya.


Jerry : Aku sedang menuju rumah kamu. Sudah dekat.


Me : OK. Ku tunggu. Ku sudah siap depan rumah. Dah wangi juga... J J


Jerry : Sip (y)


Diana termenung sesaat. Jerry akan datang ke rumah ini, ketemu dengannya, dengan suami dan anaknya, karena memang alamat rumahnya sudah diberitahunya pada saat mereka chatting semalam. Hal yang membuatnya agak kesal adalah...


“Pa..., bangun pa...”


Sudah sore, sedikit lagi hari mau gelap, dan suaminya masih tidur. Dia ingin suaminya ikut menyambut kedatangan ‘sahabat baiknya’, biar semuanya tidak menjadi sebuah kesalah pahaman kelak, karena bisa jadi suatu saat nanti suaminya akan tahu bahwa Jerry itu adalah mantan pacarnya yang otomatis akan menimbulkan kecemburuan pada suaminya, dan Diana tak ingin itu terjadi, makanya dia berusaha membangunkan suaminya yang sedang tidur.


“Uhhh..., papa ngantuk...” suaminya hanya menggeliat sesaat, lalu kembali berusaha tidur, menikmati kenyamanan alam mimpi.


“Temennya mama mau datang, Pa...”


“Teman yang mana?”


“Teman yang tadi telpon...”


“Ya udah. Itu kan temannya mama, temui aja sendiri...”


“Ihhh... Papa...”


Dengan hati kesal Diana meninggalkan suaminya yang kembali berusaha menggapai mimpinya, entah mimpi apa...

Ini kesekian kalinya suaminya tak pernah mau menemui siapapun temannya yang ingin ketemu dengannya. Ada saja alasannya, dan tentu saja semua ini membuat Diana merasa bahwa suaminya tak pernah mau mengenal siapapun orang-orang yang ‘sedang’ dekat dengannya.


“Baiklah...” gumam Diana agak kesal. “Ini memang bukan urusanmu...”


Diana mematut dirinya depan cermin, berusaha menampilkan senyum manis dan menilai sendiri kecantikan dirinya. Suaminya memang sering memuji kecantikannya, nyaris tiap hari. Tapi sesungguhnya bukan hanya seperti itu yang diinginkannya. Dia bukan pajangan yang hanya sekedar dinikmati kecantikannya, tapi lebih dari itu. Suaminya memang perhatian, sayang dan memenuhi segala hal yang dibutuhkannya, tapi pernahkah suaminya menjadi bagian yang utuh dari dirinya? ikut menemaninya kala dia hendak ketemu teman lamanya, baik itu pria maupun wanita...


Nada dering HP menyadarkan Diana dari lamunannya. Terlihat sebuah nama, JERRY, sedang melakukan panggilan...


“Ya... Hallo...”


“Aku sudah depan rumah kamu. Jemput dong...”


Diana meletakkan Hpnya dan bergegas keluar. Dilihatnya sebuah mobil Terios berada depan rumahnya. Dadanya berdebar, seperti apa Jerry sekarang?


Sesosok tubuh yang cukup dikenalnya keluar dari dalam mobil. Senyum khas yang belum berubah terukir dibibir pria itu. Baju lengan panjang bergaris dengan celana panjang hitam makin menambah kesan eksekutif muda.



Inikah Jerry sekarang? Batin Diana.


“Hallo, Nyonya...”


Sapaan Jerry membuyarkan lamunan sesaatnya. Diana terkekeh, merasa lucu dengan sikapnya sendiri.


“Uhmmm,,, Hallo..., I.. Iya..., eh.. silahkan. Mari masuk...” Tak karuan susunan kalimat yang diucapkannya. Entah mengapa Diana agak merasa gugup.


Jerry merapikan pakaian dan rambutnya, pandangannya diedarkan ke rumah Diana.

Rapi, bersih, terawat, Diana masih seperti dulu. Batin Jerry memuji.

Penuh rasa percaya diri, Jerry masuk ke dalam rumah setelah dipersilahkan masuk.


“Koq sepi, Dy? Mana suami dan anakmu?” Tanya Jerry sambil mengedarkan pandangan keseluruh bagian rumah.


“Anakku sama tantenya, JJS...”


“Suamimu?”


“Uhmm... Dia lagi tidur, capek”


“Ooh...”


“Mau minum apa, Je?”


Je, panggilan Diana untuk Jerry, dan memang seperti itu mereka saling menyebut nama, Je dan Dy.


“Apa ajalah..., tapi sebaiknya gak usah, Dy. Aku sebenarnya pengen ngajak kamu sama suami dan anakmu jalan. Pengen keliling liat-liat kotamu.., jadi sebaiknya aku gak lama-lama...”


“Tapi mereka gak ada, Je. Maksudku anakku lagi sama tantenya, dan suamiku...” Diana tak melanjutkan ucapannya, ada kilatan sedih dibola matanya.


“Ooh...” tersirat nada kecewa dari kalimat itu. “Ya gapapa...”


Diana menangkap rasa itu, dan sungguh dia tak ingin memberi rasa kecewa untuk kesekian kalinya pada pria ini.


“Aku izin suamiku dulu ya?” ucap Diana sambil tersenyum manis. Jerry mengangguk senang.


Tak butuh waktu lama, Diana sudah kembali, sepintas rasa sedih melingkupi dirinya, namun segera berganti raut gembira.


“Hayuk, aku dah izin. Kita mau kemana?”


“Keliling-keliling, makan, pergi kemana saja, liat-liat keadaan kota yang bikin kamu kerasan ini...” ucap Jerry sambil tersenyum penuh canda.


*****​




Langit malam itu terasa indah penuh dihiasi taburan bintang yang berkelip warna-warni. Biasanya malam-malam begini gelap tanpa bintang karena hampir sebulan ini turun hujan setiap malam. Mungkin karena alam memberi restu pada pertemuan dua insan yang lama terpisah, sehingga malam ini beda dengan malam-malam sebelumnya, tak ada hujan, bahkan lautanpun tidak berombak seperti sebelumnya.

Deretan meja dengan lima kursi tiap mejanya dan lampu hias beserta kembang-kembang buatan dan payung lebar turut menambah indahnya suasana malam disepanjang tepian pantai yang sejak dua tahun dijadikan tempat wisata kuliner oleh pemerintah daerah.

Disalah satu meja yang terletak paling ujung, dibawah remangnya lampu hias warna-warni disanalah Diana dan Jerry duduk berhadapan. Dua gelas minuman hangat dan sepiring cemilan khas daerah itu terhidang didepan mereka. Ada sendu dimata Jerry. Entah dengan cara apa dia meluapkan rasa rindu pada wanita didepannya. Ingin rasanya diraihnya kepala wanita itu dan disandarkan kebahunya, lalu dibelainya denga lembut penuh cinta.


“Dy...” bisik Jerry lembut.


Diana tak menjawab. Matanya teduh menatap Jerry dalam keremangan.


“Kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang?”


Diana menarik nafas panjang. Pertanyaan itu tak ingin didengarnya, apalagi itu keluar dari mulut Jerry.


“Iya. Aku bahagia...” desah Diana. “Kamu juga bahagia dengan kehidupanmu sekarang kan?”


Jerry tersenyum kecut. Helaan nafas panjang cukup memberi arti bahwa rasa bahagia itu nyaris tak pernah ada.


“Entahlah, Dy. Aku memang bahagia, jika yang kau tanyakan suasana hatiku saat ini, detik ini...”


“Kamu belum bisa melupakanku?” tanya Diana pelan.


Jerry menggeleng lemah.


“Sebelas tahun, Dy. Selama itu aku dirundung rindu. Aku tak tahu kau telah pergi. Aku mencari info tentang dirimu, seluruh teman aku hubungi, dan setelah hampir sebelas tahun barulah aku menemukanmu...”


Diana tertegun. Tak disangkanya Jerry begitu tulus mencintainya...


“Kemana kau selama ini, Diana? Tahukah kau bahwa selama ini aku mencarimu, merinduimu sehingga tak sedikitpun terbersit keinginanku untuk mencari wanita lain selain dirimu? Kemanakah kau selama ini?” Kalimat itu kini terucap secara lisan, bukan lagi lewat tulisan.


“Tahukah kau..., betapa gembiranya aku saat aku menemukan info tentangmu, lalu aku menemuimu sekarang. Waktu-waktu ini sangat berharga bagiku, bersamamu saat ini lebih berharga daripada seluruh emas dan perak yang dimiliki oleh orang terkaya di dunia ini...”


Bukankah ini berlebihan?


“Kau mungkin menganggap ini berlebihan, Dy. Tapi begitulah yang kurasakan...”


Diana sendu. Hal yang paling dihindarinya adalah membandingkan suaminya dengan pria lain, tapi kali ini hal itu tak dapat dihindarinya lagi. Pria didepannya kini telah membuatnya harus menilainya lebih dari suaminya.


“Yaaa..., aku mengerti, Je. Aku merasakannya...” rintih Diana pelan.


“Kau juga merasakan apa yang kurasakan, Dy?” ucap Jerry seraya meraih tangan Diana dan menggenggamnya dengan erat.


Diana menggeleng lemah.


“Aku merasakan bagaimana perasaanmu detik ini.” ucap Diana getir. “Aku telah memiliki keluarga dan kehdupan sendiri. Apa yang kau rasakan sekarang aku memahaminya, tapi itu hanya bagian dari masa lalu, Je...”


“Tidak Diana..., Tidak. Kau masa lalu dan masa depanku...”


“Masa depanku bersama suamiku, Je...”


“Tidak. Masa depanmu bersamaku, Dy...”


Diana mencoba menatap mata Jerry, mencoba memberi pengertian lewat tatapan bahwa semua telah berlalu dan tak mungkin diulang lagi.


“Kau akan menemukan kebahagiaanmu, Je. Bila kau mau membuka hati untuk itu...” ucap Diana sambil memalingkan wajah, menatap ke langit luas, pada kelipan bintang nun jauh disana. “Masa lalu kita laksana kelipan bintang dilangit sana. Indah namun sulit digapai lagi. Biarlah itu jadi hiasan terindah...”


“Kumohon, Dy...” pinta Jerry memelas.


Diana menggeleng. Ada keinginan untuk mengiyakan dan memberi ‘kebahagiaan’ untuk Jerry. Tapi teringat pada putranya, bagaimana bila dia memilih memberi ‘kesempatan kedua’ pada Jerry, lalu dia mesti terpisah dari putranya?

Suasana hening, kecamuk perasaan menulikan telinga keduanya pada canda dan tawa pengunjung lainnya.


“Aku belum bisa menjawabnya, Je. Beri aku waktu. Ini pilihan yang sangat sulit...” Ucap Diana kemudian.


Senyum tulus dibibir Jerry melambangkan rasa bahagia dalam hatinya.


“Ayo kita pulang. Putraku pasti sedang mencariku dirumah...”


“Baiklah...”


***​



Setitik harapan muncul dihati Jerry, dia masih memiliki kemungkinan Diana akan kembali padanya, merajut hari bersama dalam sebuah rumah tangga, entah dengan cara yang bagaimanapun itu, yang pasti dia ingin mencurahkan rasa rindunya secara utuh dan tak peduli apa kata dunia...


Diana pun diam membisu, tatapannya jauh keujung sinar lampu mobil. Dibiarkannya kaca mobil tidak tertutup, agar terpaan angin mengenai wajahnya, menyapu kebimbangan yang menyelimutinya.

Dia tersadar dari lamunan dan kebimbangan saat Jerry menghentikan kenderaan dan menaikkan kaca mobil. Sesaat Jerry menatapnya sahdu, kerinduan yang amat dalam terlukis dari wajahnya dalam keremangan malam. Suasana jalanan sepi, hanya lampu mobil yang masih menyala, memperjelas raut wajah sendu Jerry.


“Dy...” begitu dekat, begitu lembut suara Jerry.


Diana tercekat. Jerry merengkuhnya dalam pelukan.


“Jangan Je..., jangan...” pinta Diana lemah, selemah keinginannya untuk menolak hal ini.


“Izinkan aku, Dy. Aku sangat mencintaimu. Aku merinduimu, Dy...”


Diana melemah, semakin lemah saat bibir Jerry berusaha menciumnya.


“Kamu tak mencintaiku, Dy? Kamu tak mengizinkan aku, Dy?” suara Jerry semakin serak.

Dipandanginya wajah Diana, berusaha melihat getaran bibir Diana dalam keremangan malam.


“Izinkan aku sekali ini, Dy..., kumohon...”


Dianapun akhirnya membiarkan bibir itu mencium dan mengulum bibirnya. Ada rasa damai, bahagia, dan nyaman. Entah berapa lama mereka saling pagut, seakan tiada lagi waktu dilain hari melakukan ini. Hanya saling pagut...



Bersambung...
 
Terakhir diubah:
:adek: Cerita perselingkuhan emang paling bisa buat si otong :tegang:
Suhu ranfast emang tak ada dua nya
 
Bimabet
jd ceritanya titik balik Diana?
berbahaya ni, bs jd binal.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd