Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

STRING ANCHOR [2019]

Duckkler

Semprot Kecil
Daftar
11 Apr 2017
Post
94
Like diterima
923
Bimabet
Salam,

Terima kasih buat kesempatan mengikuti acara LKTCP ini.... terima kasih, terima kasih.
Kali ini ada satu tulisan yang ditulis seada-adanya.

Semoga menghibur pembaca sekalian yang budiman.

Duckkler
keepkwakking

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
"Ibu Meri, air panasnya sudah siap," suara merdu di pagi hari itu terdengar dari mulut dengan bibir merah tidak bergincu. Perempuan muda itu tersenyum, menyodorkan handuk berwarna krem. nada suaranya merdu, tapi aksen bahasa Indonesianya janggal karena dipengaruhi dialek etnis Kulawi, yang menetap di sekitar Danau Lindu, Kulawi. Di sana anak-anak dari kecil berbicara bahasa Moma. Mereka baru lancar berbahasa Indonesia ketika menginjak bangku SMP.

Mrs. Merryweather mendongak mendengar sapaan yang ringan, tidak bisa menahan senyumnya. Agak sedikit memalukan, sebenarnya, karena semalaman ia merintih di atas tikar busa di dalam Lobo, rumah adat orang Kulawi. Sebagai seorang peneliti, seharusnya ia bersikap profesional dan menjaga citra diri, tetapi kharisma dari Kepala Suku begitu besar. Pria yang berkulit coklat, sedikit lebih pendek tetapi kekar, mempunyai kekuatan menggetarkan sukma yang tidak pernah diketahui orang Barat.

Nama lelaki itu Tanorengke. Tubuhnya kekar dan indah, tanpa ditutupi apapun di bawah lampu 40 watt yang digantung tinggi dilangit-langit. Sepoi angin udara malam terasa sejuk dan membawa harum dari hutan di Gunung Momi. Senyumnya hangat, kedua tangannya ada di sisi kiri dan kanan perempuan bule yang putih dan halus – walau usianya sudah 46 tahun. Kedua pahanya yang panjang jenjang dikangkangkan, selebar-lebarnya. Sepasang paha yang halus, dengan warna putih kemerahan. Berkeringat, berotot, mengangkang lebar untuk membuka jalan seluasnya dan selebarnya. Pria itu panas seperti bumi, bergerak turun naik. Masuk keluar.

Penis itu besar. Lebih besar daripada yang pernah memasuki vaginanya. Merry menggigit bibirnya, menahan nafas, berusaha untuk tidak bersuara ketika batang coklat kekar panjang berdiameter besar itu menerobos masuk. Penuh. Jlebb... jlebb.... ia menggigit bibirnya, menahan tidak bersuara, karena dari dalam sungguh ingin berteriak menyuarakan kenikmatan. Ia masih bisa menahan, selagi baru kepala kekar penis yang menggosok-gosok bibir luar vaginanya. Tidak sabar untuk hujaman, tusukan. Kapan siksaan nikmat ini berakhir?

"Ouuughhhh..... aahhhhhh!" Batang kekar amblas semua di liangnya, sampai mentok. Sepasang kaki perempuan itu menendang-nendang udara. Kepalanya mendongak, matanya terbelalak, merasa seperti diperawani kembali. Setelah lebih dari 17 bulan sejak meninggalkan New Hampshire, Merryweather tidak pernah merasakan kelamin lelaki menerobos vaginanya dengan kekuatan bagaikan ombak lautan. Menghujam. Menghujam. Menghujam. Terbenam sedalam-dalamnya. Merry memutar pinggulnya berusaha mengimbangi hujaman nikmat itu.

Tanorengke tidak mengurangi ritme gerakannya, walau ia memelintir ke kiri dan ke kanan. Kenikmatan disetubuhi, membuat kedua puting Merryweather mengeras seperti kacang di atas dua bulatan payudara yang penuh dan kencang – jauh lebih kencang daripada perempuan kulit putih seumurnya. Kenikmatan itu begitu memabukkan, bahkan mereka tidak perlu berganti posisi selama setengah jam penuh di mana orgasme sudah melanda wanita itu paling sedikit tiga kali. Akhirnya, Tanorengke menggeram dan menghujamkan penisnya dalam-dalam. Bergetar. "Aaarrgghhhhhhh.......!!!"

Crooooottt... semburannya terasa nikmat di dalam sana. Sepasang kaki jenjang Merryweather menekuk dan menahan pantat kekar lelaki yang sedang menindihnya, memastikan penis itu terbenam sampai ke pangkalnya. Sampai bulu bertemu bulu. Sampai tulang bertemu tulang. Orgasme hebat kembali melanda, entah yang keberapa kali. Dunia menjadi gelap, karena ada batas tubuh bisa menahan jumlah orgasme dalam satu kali persetubuhan.

Ketika kesadaran kembali ke kepalanya, Merryweather dengan gemetar berusaha duduk. Tanorengke sudah tidak kelihatan, sebagai gantinya gadis itu, namanya Ngginayo – singkatnya dipanggil Nayo – bersimpuh tersenyum sambil membawa segelas air teh yang harum. Bukan teh biasa, karena terasa hangat dan menguatkan. Saat itu baru Merryweather menyadari keadaannya yang telanjang bulat, dengan lendir masih meleleh keluar dari vaginanya, mengalir ke paha dalam, terus membasahi kain alas tikar.

Tapi Nayo hanya tersenyum, melihat wanita yang baru disetubuhi ayahnya itu gemetar setelah dilanda kenikmatan bertubi-tubi tanpa henti selama satu jam. Ia membawakan 2 lembar kain bersih, satu untuk mengganti alas tikar yang basah berlendir, satu lagi untuk menutupi tubuh telanjang yang entah kenapa terasa enak berbugil ria. Bolehkah tidak usah berpakaian? Semua seperti kabut, kain itu pun dikenakan sambil meluncur dunia tanpa mimpi.

Merryweather pun terlelap, dan baru terbangun oleh sapaan tadi. Malu, bangun kesiangan. Lagi-lagi Nayo hanya tersenyum manis. Gadis yang berpenampilan seperti gadis biasa lain dengan T-Shirt dan rok panjang, sama sekali tidak kelihatan sensual, kecuali sepasang dadanya yang nampak besar. Cantik, polos tanpa make up, dengan rambut hitam tergerai sampai ke pinggang. Kulitnya putih halus, bahkan bule seperti keturunan Belanda.

Oh ya, orang-orang Belanda memang pernah ada di sini, kata Merryweather dalam hati. Mereka dulu juga terpesona dengan keindahan Danau Lindu dan kecantikan gadis-gadisnya, sehingga meninggalkan sejumlah bayi terlahir tanpa ayah. Gen Belanda itu masih ada dan dibawa oleh keturunan etnis Kulawi. Untuk Kabupaten Sigi, mereka memang minoritas, namun jangan salah, mereka punya kebanggaan yang besar. Tidak heran, mereka adalah orang-orang yang mengagumkan. Di satu sisi agak kampungan memang, tidak mengerti segala teknologi tinggi. Mereka belum kecanduan pegang gadget setiap hari, sepanjang waktu. Tetapi bukan tidak cerdas, karena mereka tahu bagaimana caranya hidup lebih enak dengan fasilitas sesederhana ini. Ahhh....

800px-Danau_Lindu_w_bird_2007.jpg

Tak lama kemudian, Merryweather menikmati mandi air hangatnya, kemudian terus bergegas sarapan pagi. Tanorengke adalah Kepala Suku yang dihormati penduduk sana dan disebut Maradika, artinya keturunan raja, tetapi sejak jaman Orba Harto mereka sama susahnya dengan semua penduduk lainnya. Oleh karena itu, melihat hidangan sarapan pagi untuk Merryweather yang beragam terasa istimewa, masakan tradisional Kulawi yang ternyata rasanya enak sekali. Bagaimana cara orang-orang itu memasaknya, ya?

Hanya, bukan soal ngeseks atau makan yang jadi alasan Merryweather ke tempat ini. Sebenarnya, ia adalah seorang peneliti geologi dari USGS, bidang utamanya geomagnetik bumi, dan dalam tiga tahun terakhir menemukan adanya anomali yang muncul dari puncak Gunung Momi, di Sulawesi Tengah. Sinyal elektromagnetik kuat terpancar dan dideteksi oleh satelit NOAA yang memakai perangkat Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR). Karena fenomena hasil pengukuran tidak bisa dijelaskan oleh teori yang ada, maka ia ditugaskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya ada di area itu.

PHOTO%20-%20Jason-3%20rendering%20-%2001292016%20-%201120x534%20-%20landscape_0.jpg

Dan sudah 15 bulan berlalu tanpa hasil. Padahal, ia sudah diperlengkapi oleh citra satelit beresolusi tinggi. Tanorengke selama 15 bulan ini menjadi pemandunya yang baik, yang ganteng, memberi rasa aman... dan akhirnya semalam membuatnya mengetahui ada kenikmatan seks diluar yang pernah dibayangkan. Menggetarkan. Memalukan. Haaaehhhhhh.....

Karena itu, Merryweather bertekad untuk membuat suatu hasil hari ini, dengan semangat baru setelah puas orgasme berulang kali. “I didn’t come here just to fuck, right? ....”

"Nayo kamu ikut?"
"Iya Bu, karena Pak Datu sedang kurang sehat. Jadi saya dan ayah akan menemani Ibu Meri."
"Eh, berapa usiamu, Nayo? Tujuh belas?" -- begitulah penampilan anak remaja tujuh belasan di kotanya.

Nayo tidak bisa menahan tawanya.

"Saya sekarang sudah 20 tahun Bu. Selama ini saya bekerja jadi perawat di Kota Palu. Tapi ayah minta saya kembali." Gadis itu nampak manis sekali.
"Well, wow! Jadi sekarang Nayo sudah menikah...?"
"Eh ah.... belum Bu." Nayo menundukkan kepalanya.

Biasanya, gadis-gadis di sana sudah menikah di usia 17 dan sudah punya satu atau dua orang anak di usia 20. Apalagi gadis secantik Nayo, yang kulitnya lebih putih, badannya tinggi, ramping, dengan pantat membulat.... Merryweather mengangkat sebelah alisnya. Kebiasaan saat ia berpikir dalam. Gadis cantik ini menarik perhatiannya.

Mungkin karena ayahnya adalah Maradika, keturunan raja? Nampaknya tidak semua orang siap meminang putri Raja, bukan? Merryweather tidak bisa melanjutkan pikirannya lama-lama, karena rombongan mereka segera berangkat sekali lagi ke puncak gunung, melintasi hutan yang cukup lebat. Kini waktunya untuk berkonsentrasi, jangan ada instrumen yang tertinggal. Semua teknologi tinggi ini dibuat kuat dan tahan bencana alam – tapi tidak ada yang berguna kalau sampai tertinggal dibawa. Satu orang bertanggung jawab untuk membawa satu peti peralatan kecil, sebesar koper 24 inch. Ada 23 orang pengangkut, serta delapan lainnya yang membuka jalan, atau menjadi inti rombongan seperti dirinya. Juga Nayo. Hmm...

Hari sudah menjelang malam ketika rombongan kecil itu mencapai daerah puncak, yang tidak terlalu tinggi. Di sana pepohonan lebih jarang, kebanyakan ditumbuhi sejenis pohon pinus, dengan beberapa bagian masih berbatu besar-besar. Tapi di sebelah Timur ada tanah yang lapang dan kering, juga di sebelahnya ada aliran air. Mereka pun terus berkemah di tanah lapang itu, sambil mengeluarkan peralatan deteksi yang dibawa beberapa pengangkut.

Dalam dua jam serangkaian peralatan canggih itu terpasang dengan baik, dan Mrs. Merryweather terus menyalakan generator kecil tapi kuat, memberi cukup listrik untuk semua alat-alat itu. Baru sepuluh menit menyala, wanita peneliti itu mengernyitkan dahinya. Semua instrumen panel menunjukkan level yang tidak masuk akal. Radiasi tinggi! Gila-gilaan. Di mana mereka berada?

Merryweather berusaha menemukan apa yang salah hingga larut malam, tanpa hasil. Peralatan tidak kelihatan rusak tapi tetap memberikan hasil deteksi yang tidak masuk akal. Ia sudah diujung rasa putus asa, ketika suara denging pertama terdengar di perkemahan mereka.

ZZIIIIINNNNGGGGGGG....

Orang-orang keluar dari tenda. Seluruh alam seperti dipenuhi oleh suara denging itu, terasa menyeramkan di malam yang penuh bintang.

"Lihat di sana!" Kata Nayo. Gadis itu menunjuk ke bebatuan bewarna biru putih yang menjulang di sisi Utara, yang malam itu nampak berpendar cahaya biru. Cahayanya semakin terang, membuat area di sekitar sana menjadi seperti siang, dan kemudian terpancarlah sinar biru ke arah langit, seperti pilar cahaya yang menikam langit menusuk udara. Bak naga terluka, angin bertiup kencang bahkan bergemuruh, menggoyangkan seluruh pohon. Banyak daun dan ranting langsung terbang terhempas angin. Neraka yang dingin seolah membelah malam, hingga tenda-tenda yang semula berdiri kokoh kini bertumbangan.

13a03e_01d170cdbbd64edca7de672ef2ab71b9.webp

"Oh no..... it can't be..." desis Merryweather. Detektor yang terpasang semua memunculkan kondisi ekstrim. Lalu.... tiba-tiba semua pengukuran menjadi normal, padahal pilar biru masih nampak terang. Merryweather menggenggam tangan Nayo erat-erat, karena gadis itu begitu ketakutan, mau terus berlari turun gunung bersama orang-orang lain sesukunya. Ayahnya nampak memanggil-manggil dengan panik, menyuruh mereka pergi.

"Lihat...." Kata Merryweather terbata-bata. Lelaki yang gagah itu seperti terhantam sesuatu yang besar, terpelanting ke bawah. Nayo terbelalak, kedua tangannya menutup mulut yang ingin berteriak, tapi tidak ada nafas yang bisa keluar. Ia melihat tubuh ayahnya seketika hangus terpanggang, menjadi hitam bagai jelaga lalu tercerai berai ditiup angin yang keras. Merryweather menjadi pucat, ia ingat bagaimana radiasi energi tinggi bisa menjadi sinar pengurai molekul yang efektif.

Merryweather mengerti bahwa sebentar lagi nasib mereka akan serupa seperti Tanorengke. Mereka ada di lingkaran dalam, sehingga efek menghancurkan dari radiasi hebat itu belum menjangkau ke tempat itu. Waktu sudah semakin sempit. Merryweather berpikir keras. Apa yang.... mungkin kalau ditahan tidak bisa, masih bisa diubah frekuensinya. Depolarisasi. Pakai... pakai baju hazmat, diberi muatan radioisotop. Dia masih simpan isotop radioaktif itu, bukan?

Tapi hanya ada satu baju. Dan harus ada orang yang cukup mengerti bagaimana cara memasang semuanya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Namun mereka ada berdua.... hanya satu yang bisa selamat. Lebih baik, daripada mati semua, bukan?

"Sini, cepat!" Merryweather menarik tangan Nayo. Gadis itu disuruhnya memakai pakaian hazmat -- itu adalah baju khusus anti radiasi dan partikel -- kemudian ia memasang berbagai kabel dan pengendali isotop ke sambungan life support di pakaian tersebut. Merryweather melirik, melihat pepohonan di sekelilingnya menghangus dalam bentuk lingkaran yang semakin mengecil. Seberapa cepat lingkaran mengecil? Hanya kira-kira 10 menit saja lagi waktu sebelum radiasi dari pilar biru itu menghantam dan menghancurkan semuanya.

Merryweather mengukur gelombang radiasi yang muncul dan membuat kalkulasi cepat memakai komputer, dalam perhitungan yang sangat rumit. Untung ada laptop lengkap dengan aplikasinya. Ia terus membuat penyesuaian, berdasarkan hitungan yang hanya bisa dibuat satu kali saja. Tidak ada waktu lagi. Kalau salah, mereka berdua mati. Kalau benar, ia saja yang mati, sedangkan Nayo.... semoga tetap hidup. Gadis baik, cantik, masih panjang jalannya. Paling sedikit ini yang bisa ia lakukan: membuat gelombang radioaktif pada frekuensi yang akan meniadakan efek dari radiasi pengurai itu. Tidak cukup untuk dua orang, tapi kalau satu.... mungkin energi dari generator cukup kuat untuk membangkitkan efek pelindung.

Oh Tuhan. Berlomba dengan energi tinggi yang mengerucut, Merryweather mendedikasikan seluruhnya untuk membuat pelindung yang bekerja. Tidak ada yang lain.

Sret!
Klak!
Grung!

Merryweather hanya punya waktu 30 detik menyalakan generator sepenuhnya untuk membuka pengendali isotop, yang terus menyemburkan rasa hangat di seluruh tubuh Nayo. Setelah itu, kengerian Nayo tidak terperi ketika menyaksikan wanita peneliti itu dalam sekejap terurai menjadi debu arang pula, dalam deru angin yang berputaran keras. Alat-alat elektronik, terutama generator, meledak dengan keras sebelum lenyap ditelan angin puyuh. Tapi Merryweather berhasil meniadakan efek pengurai, walau radiasi itu tetap menghantam Nayo dengan kuat.

Nayo merasakan tubuhnya sakit dan panas seluruhnya, seperti ada jutaan jarum ditusukkan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia tidak menyadari dirinya terangkat ke udara oleh putaran angin yang hebat, untungnya pakaian Hazmat itu dengan kuat melindungi tubuhnya dari segala potongan dahan dan ranting yang memenuhi udara.

Entah berapa lama dan jauhnya dari situ, akhirnya Nayo terbanting ke tanah. Semua peralatan wadah isotop yang terpasang di punggungnya hancur berantakan, sedang tubuhnya terus terguling ke bawah di tanah yang melandai. Baju itu tidak tahan juga menahan gesekan dengan batu-batu, sehingga robek di sana sini. Tetapi Nayo tetap hidup, tetap sadar walau seluruh badannya sakit. Dengan baju compang camping, Nayo tertatih-tatih mencoba berdiri. Tidak ada tulang yang patah, tapi rasa pusing hebat melandanya.

Sambil merintih memijat kepala yang sakit, Nayo memandang sekitarnya. Saat itu, pilar biru sudah tidak ada lagi. Malam kembali sunyi senyap, kini jauh lebih sunyi karena radiasi tadi telah menghancurkan apa pun yang ada, yang masih hidup. Nayo melepaskan sisa-sisa baju hazmat dan jubah luarnya yang robek, dan melihat kehancuran mengerikan tersebar merata di seluruh puncak gunung. Ia pun terus jatuh terduduk dan menangis sesenggukan dalam duka yang amat mendalam. Sangat pusing. Sangat sedih.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Para peneliti di USGS tidak dapat mempercayai apa yang sedang terjadi. Tepat jam 18:21 GMT+07, dari Sulawesi Tengah terpancar radiasi kosmik hingga mencapai stratosfer, yang terus menyebar dengan kecepatan cahaya menutupi seluruh bumi. Pengaruh radiasinya bereaksi dengan sesuatu yang ada di angkasa luar, sehingga terjadi resonansi mutualistik.

"Planet ini bertubrukan dengan fenomena String," gumam Prof. Dr. Randolph, yang mengepalai divisi Atmospheric and Geo Magnetic. Orang-orang di ruangan kerja yang penuh monitor itu menatap Profesor, dengan wajah kebingungan. String?

"Kita sudah mengamati fenomena String di antariksa dalam beberapa dekade," kata Profesor lagi, "bahkan Einstein sudah berusaha membuat perhitungan dan teori yang menyatukan berbagai gaya, gravitasi, eletromagnetik, gaya nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah, yang biasanya muncul di sisi luar galaxy spiral.

Planet bumi terletak di sisi luar galaksi Bima Sakti, dan entah bagaimana kita menjumpai fenomena string, mungkin terkait dengan perjalanan tata surya mengitari galaxy," katanya lagi.

"Tapi Prof, fenomena string itu.... kenapa tidak terdeteksi oleh kita?"

"Fenomena string bukan suatu benda yang bisa diamati dengan teleskop atau instrumen pengamat. String itu lebih seperti suatu area di antariksa, di mana dalam ruang di dalamnya ada interaksi secara khusus dan unik, yang belum pernah dipahami manusia. Fenomena string meliputi ruang yang amat sangat luas, mungkin sebesar tata surya kita.... tetapi kita sekarang hanya melintasi sebagiannya saja.

Dan kelihatannya, fenomena ini berinterasi secara khusus dengan inti bumi, sehingga pada susunan geologis tertentu energi yang terbentuk terus keluar. Dalam skala astronomis, ini hal yang biasa saja....

Tapi dalam skala mikrokosmis, dalam kehidupan manusia, entah bagaimana akibatnya. Manusia, bagaimanapun juga, hanyalah mahluk kecil di alam semesta yang maha luas."

Mereka terdiam. Berpikir.
Mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar, di langit di atas gedung mereka. Warna langit biru seketika menjadi ungu dan hijau. Di jalanan, orang-orang segera mendongak ke atas, melihat langit yang tiba-tiba berubah warna.

Dan cahaya radiasi biru pun turun dari langit, menutupi seluruh bumi. Menembus kayu, batu, bahkan beton.
Di seluruh dunia, tidak ada satu pun orang yang terluput.

"AAARRRGGHHHHHH!!!!" Doktor Randolph memekik kesakitan. Di saat yang sama para lelaki lain juga merintih dan mengerang, bahkan ada yang terguling dari kursi mereka. Semua orang di segala penjuru bumi terutama laki-laki, menjerit kesakitan.

Lima belas menit kemudian, cahaya menghilang dan rasa sakit itu berhenti. Orang-orang terus bergegas bangkit dan bergerak keluar, mencari rumah sakit terdekat. Mencari tahu apa yang terjadi pada mereka.

Para dokter menemukan bahwa radiasi itu mempengaruhi manusia. Terhadap perempuan, tubuh mereka menjadi lemah dan frigid. Terhadap lelaki, bukan saja mereka menjadi lemah, tapi mereka juga menjadi impoten. Radiasi itu mempengaruhi tubuh lelaki secara drastis. Tidak ada seorang pun lelaki yang masih bisa ereksi. Itu seperti terjadi kebiri kimia secara masal di seluruh dunia, tidak ada terluput. Tua muda, miskin kaya, semua mengalami hal sama: para lelaki tidak ada lagi yang penisnya bisa ereksi.

Dengan impotensi massal di seluruh dunia, umat manusia hanya mempunyai beberapa puluh tahun lagi sebelum punah semuanya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Nayo tiba kembali di kampungnya, Ekele, hanya seorang diri. Tidak ada satupun yang tersisa hidup dari rombongan yang berangkat. Ketika ia tiba, kampungnya juga sunyi, tidak ada orang. Dengan ngeri Nayo berjalan menyusuri rumah demi rumah, tidak ada kehidupan. Lokasi mereka terlalu dekat dengan sumber malapetaka yang membinasakan semua mahluk hidup. Ia memasuki rumahnya, berusaha beristirahat. Masih ada makanan dan minuman. Lagipula, kepalanya pusing bukan main. Nayo berbaring di ranjangnya, terus tidak sadarkan diri.

Dua hari kemudian, regu penolong tiba di kampung yang sunyi itu. Mereka menemukan Nayo yang tidak sadar, seperti koma, terus membawanya ke Sigi, dari sana terus dibawa ke Kota Palu. Rumah sakit penuh dengan pasien yang mengalami trauma terbakar. Bahkan para dokter dan perawat juga mengalami kesulitan karena mereka juga sakit, terutama yang laki-laki. Kini semua yang sibuk adalah kaum perempuan. Hanya ada beberapa dokter lelaki muda yang masih sanggup bertugas.

Nayo dibiarkan sendiri, di ruang bangsal, masih belum sadar. Ia diinfus sehingga kebutuhan tubuhnya terpenuhi, dengan suhu tubuh turun naik sepanjang waktu. Kadang-kadang, tubuhnya menjadi panas, bahkan sampai lebih dari 40 C, hanya tidak ada suster yang merawatnya. Semua terlalu sibuk dengan pasien lelaki yang mengerang-erang.

Dokter Roy lah yang pertama menemukan Nayo, dan langsung mengenalinya. Bagaimana tidak? Itu adalah perawat yang selama ini bekerja untuknya. Sudah lama Roy menaruh rasa pada Nayo. Bisa dibayangkan betapa kagetnya ketika menjumpai gadis itu tidak sadar dibangsal kelas tiga, di ujung ruangan yang tidak ditunggui siapapun juga!

"Nayo?" Ia memanggil. Gadis itu tidak sadar. Dokter muda itu terus memeriksa kedua pupil mata. Masih bereaksi. Kenapa tidak sadar? Apa yang harus dilakukan?

Dokter Roy menghela nafas. Apa yang bisa dilakukan sekarang? Di Palu sekarang peralatan menjadi sangat terbatas untuk pasien begini banyak. Kalau tidak lakukan rontgen dan CT Scan, bagaimana bisa menentukan penyebab koma ini? Dokter pun manusia, bukan dukun. Kalau tidak bisa menegakkan diagnosa, apa kesimpulan yang bisa dibuat?

Dengan rasa iba, Roy mendekatkan wajahnya pada Nayo. Cantik. Mancung. Bibirnya merah, terbuka.... Dokter muda itu menutup seluruh tirai yang mengelilingi ranjang. Kini hanya ada dia dan Nayo. Dia bergetar. Ah.... seandainya saja.... seandainya dia masih utuh. Tapi, kini tak ada lelaki yang utuh, bukan? Tetapi rasa cinta kasih tidak melulu harus urusan penis ereksi. Cinta itu datang dari lubuk hati, rasa mengasihi, ingin menjagai.

Dengan hati-hati, Roy mencium bibir yang merah itu, seperti yang sudah lama ia impikan. Satu kecupan rasa sayang, pada perawat yang manis dan baik hati dan selalu mau menolong. Satu kecupan itu.... terasa seperti sengatan listrik yang menjalari seluruh tubuhnya.

Mata Nayo mendadak membelalak terbuka. Langsung menatap wajah dokter muda ganteng itu, tetapi Nayo seperti kehilangan kendali, malah terus merangkul dan mencium dengan ganas. Gelagapan, Roy terus mundur dan menjauh dari ranjang, melihat Nayo yang terus bangkit dan mencabut infus, juga membuka rok rumah sakitnya, terus mencabut kateter yang terpasang di ujung liang kemihnya.

Roy mendekat untuk mencegah Nayo melepas-lepaskan semua, tetapi malah ia terus dipeluk kuat oleh Nayo yang seperti kesurupan. Mendekat, Roy bisa merasakan selangkangan gadis itu di ujung tangannya. Vaginanya basah. Seandainya saja....

Tetapi saat Nayo terus mencium bibirnya untuk ketiga kalinya, Roy merasakan sesuatu terjadi pada penisnya, yang sejak kena radiasi itu tidak pernah lagi mengalami ereksi. Padahal, betapa sering ia menikmati bermasturbasi sambil membayangkan Nayo... dan kini Nayo ada di depannya, dengan vagina terpampang terbuka, sedang penisnya sendiri kembali mengeras. Sangat keras. Celana ini, terasa sangat menyakitkan!

Roy melepaskan celananya. Penisnya ereksi besar dan panjang, lebih daripada biasanya. Satu-satunya yang diharapkan adalah agar penis itu terus dibenamkan. Maka, Roy naik ke ranjang, sementara Nayo mengangkang. Penisnya yang keras terus ditekan ke bawah, kepalanya merekahkah bibir vagina yang masih perawan itu.

Menyelinap masuk. Nayo mendongakkan kepalanya, karena rasa sakit menghantam kuat-kuat. Saat itu juga, segala residu radioaktif dari tubuh Roy mengalir, terhisap lewat penisnya, masuk ke Nayo lewat vagina. Roy tidak bisa menahan kenikmatan yang sudah dua minggu tidak dirasakannya, bergerak maju mundur, dalam irama yang semakin cepat. Tak sampai sepuluh menit, ia menyembur kuat-kuat di dalam rahim gadis itu.

"Dokter Roy.....?" Bisik Nayo. Kesadaran kembali padanya, disertai rasa panik karena menyadari dirinya sedang mengangkang dan.... terasa ada benda besar mengganjal di kemaluannya. Terasa sangat enak. Sekaligus, sangat.... apa ini, ia sedang bersetubuh? SEDANG NGENTOT??

"Nayo..."
Plop! Penis itu terlepas. Ada darah di sana, juga di ranjang, bersama dengan cairan lendir yang menetes keluar dari liang kemaluan Nayo.

"Maafkan aku, Nayo," bisik Roy dalam bingung dan takut. Gila benar, bagaimana dokter bisa memerawani pasiennya? Damn. Apa yang terjadi?

SREEETTT.... tirai disingkapkan oleh suster. Mereka menjerit melihat adegan yang terjadi. Nayo yang setengah telanjang dari perut ke bawah, dengan paha mengangkang. Vagina masih basah berlendir, nampak merah berdarah dan berlubang. Dan dokter Roy yang berdiri dengan celana entah di mana, penisnya masih keras ereksi.

Karuan saja, suster terus memanggil teman-temannya dan meringkus Roy, satpam yang masuk langsung melakukan tugasnya mengamankan dokter kurang ajar itu. Suster yang lain terus mengurus Nayo, yang masih dilanda kebingungan yang amat hebat. Apa yang terjadi? Mengapa bisa begini? Ia tidak ingat apa-apa, kecuali saat dirinya merebahkan diri di rumah.

Nayo merasa dirinya lebih sehat, sehingga betapa kagetnya ketika mengetahui dirinya sudah koma selama hampir tiga minggu. Ia menjalani berbagai pengecekan, semua nampak sehat. Sangat sehat malah.... mengingat dirinya baru berada di area pusat bencana.

"Kemana dokter Roy sekarang?" tanya Nayo kepada suster yang merawat.

"Entahlah. Dokter brengsek itu pasti harus berhadapan dengan sidang etik. Mungkin status dokternya akan segera dicabut," kata Suster yang ketus ini. Bagaimana pasien koma yang tidak dikenal, bisa membuat kehebohan begini rupa?

Sidang etik memang berlangsung dengan kepala panas dan amarah bukan main. Bagaimana kurang ajarnya seorang dokter muda, di saat situasi sedang begitu kacau dan heboh, malah bisa-bisanya memperkosa seorang pasien? Jadi bukan saja status Roy dicabut, ia juga terus dilaporkan ke polisi dan dituntut pidana untuk pemerkosaan.

Tak lama, di kota Palu yang tidak begitu besar, berita dokter memperkosa pasien segara tersebar luas, berkat adanya internet. Para netizen segera menyambar berita itu, dengan satu pertanyaan: kok bisa?

Bagaimana mungkin, ketika ada kemalangan terjadi di seluruh dunia sehingga semua lelaki menjadi impoten, ada seorang dokter yang MEMPERKOSA perempuan? Maka, kasus ini mendapat perhatian luas bukan saja di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia.

Ketika situasi bagi seluruh lelaki adalah impoten, kondisi seorang laki-laki mampu memperkosa adalah berita yang sangat krusial, sangat penting, karena mungkin menjadi jawaban atas ancaman punahnya umat manusia karena tidak bisa menghasilkan keturunan. Roy terus dibawa ke Jakarta, untuk ditanyai dan cek kondisi tubuhnya.

Sementara itu, Nayo yang kini sudah sehat dipersilakan pergi. Untung sebelumnya ia tinggal di kota Palu, sehingga masih ada kamar kost lengkap dengan segala barang miliknya. Beberapa waktu lalu ketika ayah memintanya kembali ke kampung, Nayo dalam hati sebenarnya keberatan dan ingin terus tinggal di Palu, yang ada mall dan ada bioskopnya. Betapa Nayo senang menonton! Sangat membosankan tinggal di kampung, namun juga mustahil melawan perintah ayah, bukan?

Nayo menghela nafas. Kini ia kembali ke kamar kostnya tercinta, kembali ke segala boneka dan mainannya, tapi bukan ini yang ia inginkan. Ia meninggalkan kampungnya yang kini mati, tidak ada lagi kehidupan. Ayahnya, saudara-saudaranya, teman-teman masa kecilnya.... semua tiada. Rasa hampa itu menyakitkan, dan membuat Nayo menangis lagi sejadi-jadinya, membenamkan muka di bantal hingga basah seluruhnya.

Puas menangis, Nayo mengambil uang simpanannya di sisi dalam laci lemari – tempat rahasia – berisi tabungannya selama ini dari bekerja sebagai perawat, sebagai pembersih, dan kadang-kadang juga menjadi tukang pijit untuk ibu-ibu kaya. Lumayan, banyak dapat tipsnya. Apa yang perlu dilakukan? Bagaimana ia harus hidup selanjutnya?

Tanpa sadar, Nayo meraba selangkangannya yang masih terasa ngilu. Ini juga suatu kemalangan, karena tidak lagi ada selaput dara di sana. Direnggut dengan cara seperti itu, diperkosa dokter di Rumah Sakit.... Nayo menangis lagi. Menjadi korban perkosaan menimbulkan rasa kesal, rasa marah yang tidak terlampiaskan. Dan pelakunya adalah dokter Roy! Roy!

Bukan sekali dua ia bermimpi bisa berdua dengan dokter Roy. Tetapi, bukan ini. Sama sekali bukan begini yang ia inginkan. Sial, sialan benar! Nayo ingin mengutuki diri, karena pada akhirnya ia menemukan bahwa dirinya tidak mampu membenci Roy. Seharusnya ia murka sebesar-besarnya, tetapi jika itu adalah dokter Roy....

Mungkin lelaki itu bisa diampuninya, bukan? Benar-benar perempuan yang parah. Yang kini, sebatangkara....

Nayo berjalan keluar dengan sedikit uang di tangannya. Ia membawa serta seluruh pakaian dan barang-barang pribadinya, terus melangkah menuju ke terminal angkutan kota, yang terus berangkat ke arah Pelabuhan Pantoloan di Donggala. Sampai di sana, Nayo membeli tiket kapal KM Labobar menuju ke Tanjung Perak, Surabaya. Lumayan murah, tidak sampai Rp 500.000 kalau ambil kelas EK1-A. Tapi, waktu perjalanan lumayan lama, dua hari. Berangkat besok pagi, jam 8 sampai dua hari lagi di Surabaya jam 1 pagi. Aihhh.... mau apa lagi, tidak cukup uang untuk naik pesawat terbang.

Nayo menghabiskan waktu di warung sekitar Donggala, yang pemilik warungnya cukup baik hati dan prihatin melihat perempuan muda cantik ini. Malam pun berlalu, Nayo numpang mandi pada rumah pemilik warung. Setelah siap dan lebih segar, ia membawa seluruh bawaannya ke pelabuhan, naik kapal. Tiket itu memberikan kabin yang kecil namun cukup bersih. Dengan hati merasa berat, ia melangkah masuk. Membenamkan diri di ranjang, dengan rasa hampa. Nayo hanya ingin menjauh dari itu semua, kehilangan keluarga, kehilangan cinta, dan kehilangan keperawanan karena diperkosa.

Bukankah itu semua terlalu banyak untuk seorang gadis berusia 20 tahun?

KM Labobar pun melepas sauh dan mulai bertolak ke lautan lepas, getaran mesin dan gelombang mengayun-ayun. Udara siang itu terasa panas, jadi Nayo keluar naik ke buritan mencari udara segar. Tidak banyak penumpang, dan di pojok sana ada sepasang muda mudi. Mungkin pengantin baru? Nayo memandang dengan sedih dan getir. Apakah dia bisa bersanding dengan seseorang sebagai suaminya? Tak urung Nayo membayangkan dirinya mengikuti upacara pernikahan Kulawi, namanya upacara Pmemua, yang berlangsung dua hari. Saat pengantin lelaki akan ditaburi oleh beras berwarna kuning... itu selalu seru dan lucu. Lalu di hari kedua pengantin melalui ritual Mojunu dengan khidmat, lantas Mantime Bengka yaitu menyembelih kerbau. Setelah itu, kedua pengantin jalan di atas pelepah daun pinang. Haaaaiiiii..... itu impian tiap anak gadis Kulawi! Baru setelah itu bisik-bisik soal malam pertama....

Tetapi, dengan apa yang didengar dan dibacanya di koran kemarin, kini ada situasi serius. Dibilang, kalau para lelaki kini menjadi impoten. Sebagai perawat, Nayo tahu betul soal kemaluan lelaki. Dan mereka bilang semua lelaki impoten??!

Hah! Berita bohong besar itu! Lihatlah, bukankah dirinya baru saja diperkosa? Menjijikkan, menjijikkan sekali.... perempuan yang sudah direnggut kehormatannya.... dan di sana Nayo tidak ingin mengingat Ibu Meri yang sangat baik. Yang di depan wajahnya, hangus dan menjadi abu. Itu adalah peristiwa yang sangat ingin dilupakan Nayo.

Tidak ada pekerjaan lain, Nayo mengambil tempat duduk persis di belakang pasangan muda itu. Yang perempuan memakai hijab warna hitam, dengan baju blouse serta rok panjang. Yang lelaki memakai kemeja dan celana kain biasa. Mereka sedang sibuk bercakap-cakap, berbisik, dengan kepala berdekatan. Penasaran, Nayo memusatkan perhatiannya pada kedua orang di depannya. Tiba-tiba saja, semua pembicaraan mereka terdengar jelas.

“Dinda... bagaimana kalau Abang tidak lagi bisa? Apakah....”
“Abang jangan bilang begitu. Sudah dari tadi bertanya terus.”
“Maafkan Abang, Dinda. Tapi.... kini Abang tidak lagi bisa memuaskan Dinda. Padahal kita baru saja nikah.... baru saja Dinda lewati malam pertama.”
“Tidak apa Abang. Dinda tetap cinta Abang, mau hidup bersama Abang.”
“Tapi, apa artinya jika Dinda tidak bisa lagi merasakan? Apalagi... bagaimana Dinda nanti bisa hamil?”
“Berdoa saja Abang, istigfar.... kan kita juga mau ke Surabaya, buat cari pengobatan. Kata orang ada yang pintar di sana.”

Sang Abang tidak menjawab. Ia tertunduk lesu.

Nayo menghela nafas. Apakah cerita itu memang benar? Apakah kini para lelaki menjadi impoten? Tapi, mengapa.... mengapa ada dokter Roy bisa memperkosanya? Sungguh, Nayo tidak mengerti. Ia memandang punggung sepasang suami istri muda. Entah mengapa, ia membayangkan keduanya sedang bersetubuh. Panas, sepanas udara siang dan wangi laut serta angin yang kencang.

Dari menempelkan kepala, kedua insan itu berciuman dengan agresif. Nayo mengangkat alisnya. Di atas kapal seperti ini? Berciuman? Sungguh tidak biasa. Memang sepi dan tidak ada orang lain, tapi...

Tapi kedua orang muda itu seperti kesetanan dan tidak tahu apa-apa lagi. Mereka berciuman, mulut menempel, lidah saling beradu. Mata terpejam, yang lelaki terus meloloskan celananya. Yang perempuan terus melepaskan rok panjangnya. Semua, bersama dengan celana dalamnya.

“Abang! Oh Abang! Remas susuku Bang!”
“Dinda, sayang... ohhh.... lihat Abang kini bisa keras! Kontolku keras sekali, kangen sekali, Dinda!”
"Sini, Dinda lihat.... aduh... benar keras! Dinda boleh emut ya? Boleh ya? Sluuurpppp..."

Perempuan itu bersimpuh di lantai, sambil mulutnya mengemut kontol suaminya dengan bahagia. Tetapi rupanya, sang suami tidak tahan lagi.

“Sebentar duduk di situ Abang, lihat sudah ngaceng keras. Dinda yang naik ke atas Abang. Biar terus masuk...”
“Ohh.... Abang masuk, Dinda! Ohhh.... enak sekali, Dinda!”
“Dinda juga enak! Ohhh..... kontol Abang menggaruk Dinda di dalam! Aaaarhhhh..... enak, Abang!”

Perempuan itu duduk memunggungi suaminya, penis yang keras itu menghujam dalam. Hilanglah semua kegalauan, digantikan lenguhan dan erangan. Meja di depan bangku mereka menjadi tumpuan tangan si perempuan, sehingga bisa menggerakkan pinggulnya lebih cepat dan kuat. Mereka tidak lagi berkata-kata, hanya mengerang-erang tertahan, berlomba dengan nafas yang memburu.

Sepuluh menit, lima belas menit kemudian, keduanya mengejang-ngejang. Nayo seperti bisa mendengar lenguhan panjang lega lelaki itu.

Memandang adegan di depannya, Nayo merasa selangkangannya sendiri menjadi basah. Celana dalamnya tidak diberi cukup bantalan untuk menampung lendir yang mengalir keluar. Nayo merintih dalam hati. Seandainya saja ada seorang lelaki dan penisnya yang keras menggaruk isi dalam kemaluannya juga!

Ketika kewarasan sudah kembali, kedua orang itu bergegas berpakaian kembali lantas melangkah pergi seolah tidak terjadi apa-apa di sana. Keduanya jelas sebagai pengantin baru yang berbulan madu. Nayo melihat wajah sang istri yang kemerah-merahan, karena baru saja orgasme hebat. Senyum tersungging tanpa henti. Sang suami kini berjalan lebih tegap, karena beban tidak lagi menindih bahunya. Mereka berlalu tanpa berpaling lagi, entah seperti apa wajah mereka.

Nayo bersyukur atas keadaan itu. Tapi, ia juga jadi berpikir tentang apa yang terjadi. Jelas sepasang suami istri itu galau karena si suami tidak lagi bisa ereksi. Kenapa mendadak mereka bisa bersenggama begitu rupa?

Dua hari berlalu, dan di subuh itu, jam empat pagi, KM Labobar merapat ke dermaga. Dengan mata masih berat mengantuk, karena susah tidur nyenyak di kapal yang bergetar sepanjang waktu, Nayo melangkah turun. Ia menatap jalanan lengang di pagi hari yang gelap, berusaha mencari angkutan menuju stasiun Pasar Turi Surabaya.

Kalau tidak salah, teman sekolah perawatnya dulu, si Lusi tinggi di dekat Pasar Turi. Nayo mempunyai alamatnya... entah apa dia masih di sana? Akhirnya Nayo mendapatkan ojek di pagi hari itu, terus sampai ke stasiun. Di depan pintu, ada warung-warung nasi yang kelihatan uap nasinya mengepul keluar. Nayo masuk ke warung nasi, sambil menunggu fajar menyingsing.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Dokter Schmidt memandang hasil diagnosa medis di depannya dan menggelengkan kepala. Ini adalah.... normal. Puluhan tahun menjadi dokter ahli kelamin, ia memandang hasil diagnosa seorang lelaki yang sehat walafiat, sesuatu yang tidak pernah dilihat dengan perasaan tertarik seperti sekarang.

Penyebabnya sederhana: karena kini dokter Schmidt sangat sadar bahwa dirinya, bersama dengan seluruh kaum pria yang ia ketahui, kini tidak lagi normal. Tidak lagi sehat. Mereka tidak lagi berfungsi secara seksual. Tidak bisa apa-apa.

Satu orang sehat, di tengah miliaran penduduk bumi yang sakit – maka sehat adalah anomali. Memandang hasil medis seperti ini sama seperti menemukan air di padang belantara. Lelaki sehat! Artinya, umat manusia tidak perlu punah!

Sebagai pejabat tinggi di UN WHO, dokter Schmidt mengerti bahwa ia sedang melihat penyelamatan umat manusia. Tetapi lebih penting lagi: bagaimana seorang lelaki ini, dokter muda ini, bisa mempunyai kondisi yang berbeda?

Schmidt mempelajari kembali berkasnya. Sejarah seorang dokter muda yang cemerlang, berdedikasi, dan berkali-kali terbukti akurat membuat diagnosa dan mengobati pasien. Tidak pernah ada cacat etika. Tapi di laporannya, ia mengaku bersalah telah menyerang secara seksual seorang pasien yang.... tidak lain daripada bekas perawat anak buahnya sendiri selama 1,5 tahun di Palu.

Siapa nama perempuan itu? Schmidt memicingkan matanya. Ngginayo. Bukan nama yang mudah dibaca. Terdaftar sebagai Perawat di klinik Gembira Sehat Palu, belum menikah, dan cantik. Dokter ini sudah lama bertemu perempuan muda secantik itu, tidak heran kalau ia jatuh hati. Kemudian, karena jatuh hati maka dokter ini terus memperkosa.... sebentar, ada yang salah di sini.

Dokter, di antara banyak profesi lain, sangat memegang teguh kode etik. Apalagi terhadap rekan sejawat, juga terhadap perawat, secantik apapun. Jadi ada banyak keanehan di sini, mengapa dokter muda ini tidak bisa menahan diri untuk terus memperkosa? Dan bagaimana ia mempunyai hasrat memperkosa? Dokter ini sebelumnya juga mempunyai kondisi impotensi yang serupa. Mengapa ia mengaku menyerang dan memperkosa, yang berarti dirinya sudah pulih dari impotensinya?

Dan apa yang membuat impotensinya sembuh? Faktor apakah....

DEGGG

Schmidt buru-buru mengangat telepon di sampingnya. “Clara?” panggilnya kepada koordinator dokter yang masih muda di dalam tim WHO PBB Indonesia. “Kita keliru, jika hanya berfokus pada Roy. Kita juga harus menemukan perempuan korban perkosaannya. Namanya Ngginayo, saya kirim berkasnya via email. Tolong siapkan tim untuk segera memanggil dan memeriksanya.”

“Siap, dokter.” Clara terus menutup telepon dan melakukan beberapa hubungan. Tetapi dokter muda cantik dan sexy itu menemukan kesulitan. Setelah berkali-kali ketemu jalan buntu, ia kembali menghubungi superiornya.

“Eh.... dokter? Pasien Ngginayo ternyata sudah keluar dari rumah sakit sejak lima hari lalu. Kini, keberadaannya tidak diketahui.”

“Please Clara, saya mempunyai dugaan kuat bahwa semua kunci tentang masalah ini ada pada diri perempuan itu. Tolong hubungi otoritas setempat. Kita perlu segera mendapatkan perempuan itu untuk didiagnosa.”

“Baik dokter, kita akan siapkan.”
“Thanks, Clara. You’re the best.”

Clara menutup teleponnya dan mengeluarkan nafasnya yang tertahan. Bekerja bersama dokter Schmidt menuntut kesiapan yang prima. Kerja yang prima dan berkinerja tinggi. Baiklah.... dokter Clara mulai membuat catatan, membaca emailnya, dan melakukan lebih banyak kontak telepon.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Pasangan suami istri muda itu menuruni tangga kapal dengan bahagia. Bagaimana tidak? Semua kegalauan telah hilang! Keperkasaan sudah kembali!

Begitu merapat ke pelabuhan, keduanya mencari hotel yang terletak dekat Tanjung Karang, karena mereka tiba waktu subuh masih gelap. Ada hotel Pesonna yang berjarak cuma 5 menit dari pelabuhan Tanjung Perak. Keduanya lantas check in. Sang istri tersenyum-senyum, ketika mereka mengeluarkan buku nikah sebagai bukti pasangan suami istri. Sambil jalan, sang istri selalu mengelus tonjolan di celana kain suaminya.

Batang yang keras itu, kini amat memuaskannya. Belum pernah dalam hidup ia merasakan kenikmatan seksual sehebat itu, yang langsung membuatnya merasa sangat ketagihan. Tidak sabar rasanya, merasakan kontol kuat suaminya kembali menerobos dan menggaruk bagian dalam liang kemaluannya.

Mereka terus masuk ke dalam kamar, dan tidak keluar-keluar lagi. Beberapa tamu sempat mendengar erangan nikmat di pagi hari itu.

Di siang hari, ketika petugas room service mengetuk untuk menanyakan tentang check-out – karena keduanya di depan resepsionis hanya memesan kamar semalam saja – tidak ada jawaban yang terdengar. Mereka akhirnya mengambil kunci cadangan dan memaksa membuka pintu.

Kedua orang itu, sepasang suami istri, masih dalam keadaan telanjang bulat, tergeletak di ranjang yang basah oleh lendir. Keduanya tidak bernafas lagi. Kemaluan yang lelaki masih menancap di liang kemaluan istrinya, masih keras. Dari kedua mulut mereka keluar busa.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Nayo melangkah dengan ragu. Ya, nampaknya ini jalan yang benar. Tapi, mencari nomor 20 di belakang nomor 24, itu yang mana? Di sini nomornya tidak berurutan, pula banyak rumah yang tidak memasang nomor rumahnya. Tahu darimana ini rumah nomor berapa?

Seiring dengan naiknya matahari, jalanan pun semakin ramai dengan orang yang keluar rumah, bergegas-gegas menuju ke kesibukannya sendiri-sendiri. Nayo melihat seorang pemuda yang bersih dan nampak ramah -- karena senyum manisnya tidak habis-habis -- terus melambaikan tangan pada seorang wanita tua di balik jendela. Mungkin ibunya?

Mungkin orang di sekitar sini, bisa ditanyai, pikir Nayo.

“Permisi Mas... boleh tanya?”
“Ya Mbak?”
“Err... ini Mas, saya mau bertemu dengan Mbak Lusi, rumahnya di jalan ini, katanya nomor 20 di belakang nomor 24. Tapi kok saya nggak ketemu ya?”
“Ohh? Mbak Lusi? Maksudnya Mbak Lusi Ningrum? Ohhh....”
“Betul Mas, kenal ya?”

“Ahhh... gini Mbak, belum dengar ya? Dua tahun lalu ada kebakaran besar di sini, kena rumah nomor 24 dan 20 itu. Tuh, itu di sana.” Katanya sambil menunjuk sepetak area yang ditutupi oleh plat seng yang dicat hijau tua. “Mbak Lusi itu, termasuk yang jadi korban kebakaran, Mbak.... meninggal dunia.”

“Waduh......” Nayo menjadi pucat seketika. Berita kematian lainnya, orang yang diharapkan bisa bergantung di kota yang asing baginya.

“Mbak saudaranya Lusi?”
“Err, bukan Mas, saya kawan lama. Sudah lama tidak bertemu.... aihhh, siapa sangka ternyata sudah dua tahun lalu meninggal. Saya datang dari Palu, Mas. Tadinya mau ketemu Mbak Lusi untuk minta ditemani.”
“Lho, mau ditemani kemana, Mbak?”
“Ya, ini Mas.... saya mau cari tempat kos, lalu cari pekerjaan....”

“Ohhh... kebetulan, Mbak! Ini pembantu ibu saya yang biasa, kemarin baru pulang karena menikah di kampungnya. Ibu saya sudah tua, tinggal sendiri. Saya kan harus bekerja.... apakah Mbak mau bekerja di rumah saya?”

Mata lelaki itu berbinar-binar. Perempuan di depannya begitu cantik, walau baju dan make up nya sederhana. Nayo menunduk. Apakah dia perlu kerja di tempat orang yang baru dikenalnya? Tapi, ke mana lagi dia mau melangkahkan kaki?

“Ah yaaa.... baiklah Mas, saya mau. Terima kasih.” Kata Nayo perlahan. Namun itu cukup membuat pria itu sangat gembira.

“Nah, kalau begitu mari saya antar ketemu ibu! Tapi terus saya tinggal ya, karena saya harus kerja Mari, lewat sini, saya antar.”

Lelaki muda itu terus menunjukkan jalan di depan Nayo yang masih termangu-mangu. Sebentar saja mereka sudah berada di halaman rumah yang penuh tanaman, asri di tengah kota Surabaya yang panas. Nayo merasa senang berada di sana, dan ternyata juga ibunya adalah seorang wanita yang ramah dan banyak senyum.

“Selamat pagi Bu, perkenalkan nama saya Nayo,” katanya dengan sikap hormat. Perempuan tua itu senang dengan tingkah laku dan perkataan Nayo yang sopan dan halus, berbeda dari penduduk Surabaya yang ramai.

“Selamat datang Nayo, saya Maryati, ibunya Gino. Eh nak, nggak terlambat masuk kerja kah?”
“Oh iya, masih sempat Ibu. Nah, saya permisi kembali Bu. Mari Mbak Nayo, saya permisi,” kata pria yang bernama Gino itu penuh semangat. Ia terus saja berlari keluar.

Nayo cukup senang bisa berada di rumah itu, bekerja, walau tidak bisa mengharapkan gaji besar. Toh gajinya adalah sebagian dari penghasilan Gino. Lagipula, ada tempat berteduh dan bisa makan secukupnya, mau apa lagi? Ibu Maryati nampak ramah. Mungkin semua ini cukup untuk meredakan kegalauan hatinya. Nayo berdoa dalam hati. Moga-moga, setelah ini hidupnya dapat kembali tenteram.

Sayang, doa itu rupanya belum terjawab. Karena, dunia menjadi semakin kacau setelah peristiwa kosmik itu.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

“KITA HARUS HANCURKAN PENISTA AGAMA! INI SEMUA HUKUMAN ALLAH!” teriakan lelaki berjubah putih itu terdengar keras. Massa yang berdiri di sekitar mobil bak terbuka dengan speaker besar terpasang turut bergerak, berseru, berteriak-teriak. Mereka menuntut Pemerintah untuk melakukan tobat nasional, untuk membujuk Allah menghentikan hukuman-Nya. Ini pasti gara-gara para penista agama yang bercokol di pemerintahan, mulai dari Presiden, para Menteri, hingga pegawai negeri sipil yang tidak cukup radikal dalam beragama.

Kemarahan karena ‘kesalahan’ Pemerintah yang tidak cukup taat beragama, membuat orang merasa boleh melakukan segala penghukuman sebagai ganti Pemerintah. Mereka memukuli perempuan yang tidak berpakaian sesuai aturan. Mereka memukuli orang yang berbeda agama. “PERGI! KALIAN PEMBAWA SIAL! PERGI!”

Tentunya, perlawanan pun terjadi. Jelas terlihat bahwa mereka yang radikal itulah berkarakteri bagaikan iblis, mau menang sendiri. Justru mereka yang radikal itulah pemicu kemarahan Surga. Maka, perlawanan bahkan penghukuman dimulai, dengan cara sama saja kejamnya. Di dalam tiap tindakan itu, terkandung rasa depresi yang luar biasa, karena lelaki kehilangan kejantanannya. Kehilangan kehormatannya.

Oh benar, kan? Kehormatan lelaki terletak pada ereksi penisnya. Dan kini tidak ada lagi yang terhormat.

Di bagian lain kota yang lebih maju, para perempuan berpikir bahwa jika lelaki cukup mendapatkan rangsangan maka penisnya pasti bisa berdiri. Keras. Jadi, kalau selama ini terlalu tertutup, mungkin sudah waktunya dibuka. Selain itu, apa yang ditakutkan dengan perempuan tidak lagi berbaju tertutup? Toh tidak ada penis yang cukup keras untuk masuk ke vagina.

Jadi, jalan-jalan mulai memperlihatkan perempuan yang molek aduhai. Mula-mula paha terlihat, sampai pangkal paha. Kemudian perut sexy yang rata, dengan pusar yang ditindik. Lalu tank top, tanpa bra.

Dalam hitungan beberapa minggu saja, para gadis mulai berjalan dengan memamerkan payudaranya berayun-ayun sementara mereka berjalan di mana-mana. Ada yang pergi ke mall, atau restoran. Atau berbelanja di pasar tradisional. Tak lama, tidak ada lagi anehnya melihat perempuan bertelanjang dada, dengan celana pendek super mini (atau itu adalah celana dalam? Susah dibilang). Bagi sebagian besar orang, depresi jelas meningkat. Akibatnya pun terlihat nyata, ketika orang mulai mengabaikan segala macam aturan. Melanggar setiap larangan.

Kekacauan mulai terjadi. Penjarahan terjadi di mana-mana. Tentara berusaha menenteramkan massa, mula-mula dengan bujukan, lalu gas air mata, lalu water canon.... tapi ekskalasi bertambah cepat sehingga tentara mulai memakai peluru tajam menghadapi demonstrasi yang radikal.

Tubuh-tubuh bersimbah darah, bergulingan, tercampur lumpur tanah. Kekacauan merebak, oleh mereka yang menjadi gila dalam depresi dalam. Kehilangan yang tidak tergantikan, sebuah lubang menganga besar dalam hati sanubari setiap lelaki. Muda atau tua, miskin atau kaya – tidak ada bedanya. Suatu keputusasaan, ketika memandang perempuan yang sangat sexy, telanjang, mengangkang, tapi kontol-kontol itu tetap kecil mengkerut seperti tikus tanah. Tidak lagi ada ereksi. Bukankah itu suatu yang sangat, sangat memukul hati?

Di banyak negara, pemerintahan tumbang. Perdana Menteri diturunkan. Presiden melarikan diri. Tentara bergerak mengikuti perintah Jenderal, dan tidak jarang satu kesatuan bertempur melawan kesatuan lainnya.

Bagaimana Indonesia? Negara ini relatif masih tetap aman terkendali, hanya ada keributan kecil yang terus bisa dikendalikan. Tetapi, jelas depresi juga melanda – yang tidak ada seorang pun tahu apa obatnya, atau apa yang harus dilakukan. Kota sebesar Surabaya yang resik dan indah di bawah tangan Ibu Risma, tidak urung turut merasakan depresi berat. Orang-orang berjalan dengan tertunduk. Para lelaki tidak lagi bersenda gurau atau bersemangat, mereka kini duduk termangu-mangu di pojok jalan sambil merokok. Berharap masalah bisa hilang seperti asap yang lenyap.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Prof. Dr. Randolph mengamati kembali semua laporan yang bisa diperolehnya dari sisa-sisa peninggalan tim Dr. Merryweather. Ini adalah segala yang masih ada dari hasil evakuasi di atas datarang tinggi Gunung Momi, Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Semacam badai dan anomali kuat telah menghanguskan hampir seluruh gunung, ribuan orang menghilang di malam malapetaka itu.

Tidak banyak yang tersisa dari peralatan yang sudah hancur berkeping-keping. Di balik rongsokan, Dr. Randolph melihat sebuah kotak hitam, yang kelihatannya masih utuh. Ia mengambil obeng dan mulai melepaskan kotak hitam yang berlumpur. Agak sedikit sukar, akhirnya ia mengambil tang dan mulai memotong tepiannya yang tertekuk kuat sehingga tidak bisa dibuka.

Setengah jam kemudian, Dr. Randolph melepaskan sebuah SSD (Solid State Drive) dari dalam kotak hitam. SSD masih utuh, dan karena tidak ada piringan berputar seperti pada harddisk biasa, ada kemungkinan segala rekaman di SSD tersebut masih utuh. Dengan bersemangat, Randolph bergegas membawa SSD itu ke bagian IT untuk dilihat apa saja yang ada di dalamnya.

Para ilmuwan di USGS melakukan rapat darurat tak lama setelah orang-orang IT membuka SSD yang ternyata berasal dari pengendali utama peralatan Dr. Merryweather.

“Tuan-tuan, terima kasih untuk kedatangannya. Saya ingin memberi penjelasan singkat.
Kita tahu bahwa selama 15 bulan, rekan kita Dr. Merryweather melakukan penelitian atas anomali yang ditangkap satelit NOAA di Gunung Momi, di Indonesia tepatnya Sulawesi Tengah.

Dari rekaman detektor pada hari di mana malapetaka menerpa seluruh dunia, kita menemukan ternyata ada kegiatan radioaktif yang sangat kuat di Gunung Momi, yang nampaknya beresonansi dengan kondisi kosmik di luar angkasa.

Kita berdasarkan data ini bisa dengan pasti menyatakan, bahwa pusat dari malapetaka dunia ada di puncak Gunung Momi.

Tetapi, kita juga melihat catatan dari penyetelan yang dilakukan mendiang Dr. Merryweather. Rupanya dia saat itu menemukan cara untuk melawan radiasi yang muncul, di mana ia mengaktifkan seperangkat radioisotop dan meradiasi seseorang yang memakai pakaian hazmat.

Kita tidak tahu apa yang terjadi.... tetapi nampaknya orang itu, kalau benar ia masih hidup, mungkin merupakan satu-satunya orang yang tidak terkena dampak langsung dari radiasi fenomena String yang terjadi. Dan, kalau kita bisa menemukan kadar dan jenis radiasi yang ada padanya, kita mungkin bisa menemukan obat bagi seluruh umat manusia.

Jadi, Tuan-Tuan, saya mengundang Anda semua untuk mempertimbangan dan menyetujui dibentuknya sebuah tim gerak cepat, untuk terbang ke Indonesia, menemukan orang yang selamat. Akan ada pengaturan ulang pendanaan bagi setiap proyek, untuk bisa menyisihkan dana bagi misi yang penting ini.

Apakah Tuan-Tuan setuju?”

Secara aklamasi, mereka menyetujui dan terus membuat perencanaan untuk mengirimkan misi kedua ke Gunung Momi. Perjalanan ke Indonesia bisa menjadi trip yang menyenangkan, seandainya saja tidak mengingat risiko dan malapetaka yang terjadi.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Setelah empat bulan bekerja, Nayo mulai menyukai ketenangan tempat barunya. Dia mengenal Mas Bagus, anak pemilik toko kain, yang muda, atletis, tampan bukan main dengan kulitnya yang berwarna tembaga. Mas Bagus berpacaran dengan orang di sebelah rumahnya, panggilannya Noni Ita. Bagus sudah kuliah, sedangkan Noni Ita sejak lulus SMA terus bekerja menjadi staff administrasi di sebuah distributor garmen.

Jadi ya seperti itu, tiap pagi Bagus menjemput Ita dan mengantarnya ke tempat kerja, setelah itu Bagus terus meluncur dengan sepeda motornya ke ITS. Mereka pasangan yang menyenangkan, ramah kepada semua orang, dan tidak malu untuk menunjukkan kemesraan. Khas Generasi Millennial, tidak takut bilang kepada semua orang: kami pacaran!

Dan mereka itu berani sebab selama empat tahun pacaran ya tidak pernah berbuat macam-macam. Paling jauh hanya berciuman bibir, begitulah kata Noni Ita. Dan itu sangat, sangat membuat hatinya gundah gulana.

Kini Mas Bagus juga lebih jarang tersenyum, tidak lagi humoris atau bercanda dengan bebas. Dan, kita semua tahu apa sebabnya: ia tidak lagi memiliki kejantanannya. Nayo mendengarkan segala curhat Noni Ita di sore hari yang panas itu – gadis muda itu terisak-isak bersimpuh di depannya. Bagaimana tidak? Dua hari lalu akhirnya mereka berdua bertelanjang bulat di kamar Noni Ita. Berharap tubuh indah Ita, yang tingginya 162 cm, pakai BH 36C, kulitnya kuning langsat, dengan lekuk yang semula membuat banyak gadis iri dan banyak lelaki melotot – itu semua terpampang di hadapan Mas Bagas.

Dan Mas Bagas tidak berdiri. Mereka berciuman, saling sentuh, bahkan Mas Bagas melakukan semua yang bisa dilihat di film bokep yang mereka putar... dan tetap impoten. Tidak ereksi. Tidak ada apapun yang terjadi. Setelah mencoba selama satu jam, akhirnya Mas Bagas menyerah, terus berpakaian dan terus pamitan pulang.

“Jadi, Noni harus bagaimana Mbak.... Bagaimana lagi....? Hik hik hik....”
“Err.... boleh gak.... piye kalau Mbak melihat kalian berdua?”
“Hah? Mbak aneh-aneh saja. Mau apa kalau ada Mbak?”
“Yaaa.... gini saja Noni, kalau nanti rumah kosong lagi...”
“Gampang Mbak, biasanya memang rumah kosong. Penuhnya cuma seminggu sekali.”
“Lha, iya begini. Kalau rumah kosong, nanti Mbak bersembunyi. Lantas Noni bawa Mas Bagas.”
“Terus?”
“Terus... ya kalian ciuman, dan barangkali mau itu... mau ngentu”
“Idiiih! Tapi dia nggak iso, tho, Mbak?”
“Tenang.... kalau ada Mbak di dalam, mungkin Mas Bagas jadi bisa.... tapi... bener Noni mau begitu?”
“Bener Mbak! Aduuuhh.... Bener, Mbak!”
“Yo wis, jadi kapan? Lusa?”
“Okay, lusa ya Mbak. Bener ya Mbak, jadi bisa?”
“Kita lihat nanti.... siap-siap saja....”

Rencana ganjil kedua perempuan itu berjalan dengan mulus. Dua hari kemudian, Nayo sudah siap berada di dalam lemari baju di kamar Noni Ita. Lemari itu model lama dengan lubang-lubang dari papan, di depan lemari ada ranjang. Rencananya, sore itu Noni Ita akan membawa Mas Bagas sekali lagi ke dalam kamarnya.

Nayo menunggu selama hampir setengah jam, sebelum akhirnya ia mendengar pintu kamar dibuka. Noni Ita menarik Mas Bagas masuk, lantas mengunci pintu. Sesuai perjanjian, Ita akan membiarkan lampu terang menyala.

“Mas....”
“Ahh.... apalagi, Ta.... Mas sudah tidak mampu....”
“Mas, aku cinta padamu!”
“Aku juga sayang Ita. Tapi... kini Mas sudah tidak bisa....”
“Jangan bilang begitu, tho Mas. Siapa tahu sekarang bisa. Ita tetap cantik kan?”
“Mas selalu kagum.... Mas selalu ingin.... tapi... tapi sekarang tidak bisa.”

Noni Ita dengan cepat berdiri, lantas melepaskan pakaiannya perlahan-lahan. Mulai dari baju blusnya, lalu roknya, sehingga ia hanya memakai BH dan celana dalam. Itu pun keduanya dilepaskan, sehingga tubuhnya yang indah terpampang bugil.

Bagas memalingkan muka, seperti mau menangis. Tapi Ita tidak menyerah, ia terus mendekat dan membuka kancing kemeja Bagas. Pemuda itu tidak menolak, ia membiarkan gadisnya melucuti seluruh pakaiannya. Terakhir, Ita menarik lolos celana dalam Bagas. Penis yang bulat mengkerut menggantung.

Tapi Ita berlaku tidak peduli, ia terus mencium Bagas. Kedua insan itu berciuman, beradu lidah, dan bahkan Bagas mulai meremas-remas payudara Ita yang besar. Gadis itu pun melenguh keenakan.

Nayo yang mulai turut terangsang, terus memperhatikan Bagas dari tempat persembunyiannya. Tiba-tiba saja, ia seperti berada di sana, bisa mendengar desah nafas Ita yang mulai memburu. Bisa merasakan detak jantung Bagas yang semakin cepat. Ia merasakan seperti apa hawa di ruangan itu menjadi lebih panas. Nayo merasa selangkangannya sendiri mulai menjadi basah karena terangsang.

Noni Ita yang pertama memekik kaget, ketika penis itu tiba-tiba mengeras dan menekan sisi bawah perutnya. Bagas tersenyum lebar melihat senjatanya kembali bekerja, bahkan dengan cepat menjadi keras dan besar dan panjang – rasanya lebih panjang daripada biasa.

Pemuda itu semakin ganas menjilati tubuh Ita, dari ciuman terus turun ke leher, terus ke dada, mencari puting susu yang mancung keras di atas buah dada yang besar, putih montok. Ita merintih-rintih, menekan kepala Bagas ke dadanya, hingga ia terbaring terlentang di ranjang. Bagas lebih bernafsu menjilat dan meremas kedua tetek bulat itu bergantian, sementara Ita terus mengangkangkan kaki selebar-lebarnya.

Ya, bukankah ini adalah tanda? Untung Mbak Nayo ada..... Ita tidak sabar lagi. Ia menarik tubuh kekasihnya naik menindih tubuhnya. Merasakan penis keras itu kepalanya menyentuh bibir kemaluannya.

“Maaass.... kontolmu kini besar” Kontol itu menggesek-gesek. Keras dan licin. Panas. Ita berusaha mengangkang lebih lebar lagi.
“Nonn.... ini pepekmu juga basah” Bagas merasakan kepala kontolnya terjepit di antara halusnya daging bibir kemaluan yang sempit. Pepek perawan.

“Digosokkan begini ya Mas? Aaauuuhhh..... “ Noni memutar pinggulnya, sehingga ujung kepala kontol itu melesak sedikit lebih dalam. Bagas merasakan ada yang menahannya. Selaput dara?

“Boleh tekan sedikit, Non?” Kontol Bagas menekan sedikit lagi. Merasakan selaput itu meregang.
“Ayo mas.... tekan.... ya.... begitu, di bawah situ lobangnya....” Ita menjepit tubuh kekasihnya dengan kedua kaki, yang terus menekan ke pantat Bagas. Kontolnya menerobos masuk.

“Auuhhh..... enah sekali Non....” Bagas merasakan kontolnya dijepit kuat oleh daging yang licin, tidak tertahan terus meluncur masuk sampai mentok. Kontolnya tenggelam semua di memek kekasihnya.

“Ayoooo.... Maaaasss..... AAAAARRGGHHHHH.... masuk Mas! Masuuukkkk Maaaaaasss..... kontolmu maasuuuukkkkk!”

Bagas merasa terbang ke langit ke tujuh merasakan batang kejantanannya dengan gagah memasuki liang surga itu dan merasakan kehangatan dan kekuatan jepitannya. Tidak pernah dibayangkan, tidak pernah dirasakan bahwa ada yang seenak itu di dunia. Hilanglah semua kegalauannya. Mereka terengah-engah, dengan alami Bagasi bergerak diatas gadisnya.

Masuk! Tarik sedikit! Tekan lagi! Dalam setiap tekanan, Bagas menggunakan seluruh tenaganya, sehingga tubuh Ita tertekan kuat ke ranjang springbed yang berderik-derik.

Ngiiik! Ngiiik! Ngiiikk! “AAAAAAHHHHHHHHH......”

Hingga akhirnya, sepuluh menit kemudian, keduanya mengejang-ngejang dengan jeritan lirih. Semburan kuat sperma Bagas memenuhi rahim Ita.

Nayo yang sedari tadi sibuk memakai tangannya menggosok kemaluannya sendiri, juga merasakan orgasmenya walau tidak sedahsyat orgasme yang dialami Ita.

Senyum lebar menghiasi wajahnya.

Hanya saja, Nayo tidak tahu bahwa itu menjadi permulaan kehebohan di kelurahannya. Setelah Bagas menemukan ia bisa bersetubuh dengan Ita, mereka melakukannya hampir setiap hari. Ternyata Noni Ita termasuk hiper sex, dia tidak puas hanya dengan persetubuhan biasa. Pula, mereka semakin berani menjerit ketika orgasme hebat datang melanda.

Akibatnya, seminggu kemudian orang-orang ribut karena Hansip menggerebek rumah Noni Ita dan menemukan keduanya masih telanjang bulat dan penuh lendir dan keringat. Kehebohan menjadi ekstra karena semua tahu bahwa para lelaki tidak lagi perkasa. Lha ini lagi ngentot padahal belum nikah!

Bagaimana seorang Bagas bisa tidur dengan Ita? Betapa beruntung Ita itu! Dan rasa iri terus menjalar di antara orang-orang sekelurahan. Para perempuan terus mendekat ke Bagas, dan tanpa rasa malu memamerkan payudara mereka. Mengajak bersetubuh juga!

Para bapak yang melihat putrinya mendatangi Bagas, malah mendorong supaya Bagas boleh membagikan peju nya masuk dalam Rahim anak mereka. Siapa tahu, anak perempuannya bisa hamil dan meneruskan keturunan keluarga! Jadi, bagi Bagas dan Ita sama sekali tidak ada hukuman, tapi kondisi ini juga tidak diharapkan mereka.

Cerita ini juga tersebar dan didengar oleh banyak orang di Surabaya, bahkan terus menjadi berita se-Indonesia, berkat media sosial yang tidak berhenti bekerja. Dengan sendirinya, semua pihak merasa berkepentingan untuk menyelidiki apa yang terjadi. Bagaimanapun, ini adalah jalan keluar kelangsungan umat manusia!

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Clara menatap jalan yang panas di bawah terik sinar matahari. Sementara rumah-rumah seperti bersembunyi di balik pohon-pohon yang rimbun dan tinggi di halaman. Yang mana ya, rumah orang yang bernama Ita itu? Tapi itu bukan hal sukar, karena hampir setiap pertanyaan tentang arah rumah Ita diketahui penduduk di sekitar. Dia itu jadi bintang dalam semalam! Maka sebentar saja, Clara sudah berdiri di depan pintu rumah dari kayu sederhana itu, mengetuk-ngetuk.

Perempuan yang sudah bukan gadis lagi itu membuka pintu. Matanya sembab, tebal. Mungkin kurang tidur. Atau tepatnya, lebih terlihat seperti habis menangis.

“Permisi... dengan Nona Ita?”
“Saya... NONI Ita,” jawab Noni sambil menekankan kata ‘Noni’ itu. Ia belakangan sensitif dengan istilah ‘nona’.

“Oh, ya, Noni Ita. Perkenalkan, nama saya Clara, saya dari WHO, unit PBB Indonesia,” tukas Clara sambil tersenyum manis dan mengulurkan tangan. Dengan ogah-ogahan, Ita menyambut uluran jabat tangan itu. Tangan Ita terasa dingin dan basah. Apakah basah karena airmata?

“Boleh saya masuk?” tanya Clara.
“Umm... yah. Silakan,” jawab Ita sambil berjalan menjauh dari pintu, terus ia duduk begitu saja di kursi sofa. Ita hanya memakai tank top shirt putih yang panjangnya sampai ke lutut. Clara melihat puting perempuan itu tercetak jelas kehitaman di bajunya. Juga ada bayangan hitam di selangkangannya.

Clara mengangkat alis. Perempuan ini, tidak pakai BH, tidak pakai celana dalam, pada waktu siang-siang begini? Apakah ada lelakinya di sini?

“Err.... Noni Ita... tinggal sendirian di sini?” tanya Clara.
“Tidak sih, ada kakak. Tapi sekarang dia bekerja.”
“Oh. Kalau Noni Ita, sekarang masih kuliah? Atau sudah bekerja?”
“Saya dulu kerja. Tetapi sejak ramai-ramai kejadian itu... saya dikeluarkan. Tidak lagi bekerja.” Noni Ita berkata begitu sambil mengangkat bahunya, pasrah. Tidak peduli.
“Kakak ini siapa ya? Untuk apa ke sini?”

“Saya Clara, saya seorang dokter. Saya kerja di PBB – Peserikatan Bangsa-Bangsa, di WHO yang menangani kesehatan, di unit yang ditempatkan di Indonesia.” Jawab Clara dengan resmi.

Merasakan sikap resmi Clara, Noni Ita menjadi sedikit lebih serius. Ada dokter yang datang! Apa-apaan ini? Tapi, Ita diam saja dan mendengarkan baik-baik.

“Saya menyelidiki kondisi yang terjadi di Indonesia. Beberapa laporan pertama menunjukkan bahwa kini semua lelaki di seluruh dunia mengalami krisis impotensi. Saya kira Noni Ita sudah pernah dengar, kan? Jadi, ketika ada kasus seperti ini, kami sangat ingin menyelidiki dan mencari tahu lebih banyak.

Mohon dimengerti. Kondisi ini sangat gawat bagi kelangsungan umat manusia. Jadi Noni ita dengan... siapa itu?”

“Dengan si Bagas. Ah, dia orang brengsek itu, bajingan!
Enak aja dia ngentotin saya sesukanya. Setelah itu, perempuan lain juga mau dientotin, jadi Bagas ngentotin semuanya!
Mana saya bias tahan? Kemarin dua cewek yang tidak tahu malu itu telanjang bulan dan ngasih memek mereka terpentang lebar-lebar.

Bagas sialan itu terus ngentotin semuanya!”

Clara merasa pipinya panas. Dia tidak menyangka perempuan ini mendadak menceritakan peristiwa seksual sedemikian rupa. Tapi, Clara masih perlu penjelasan. Satu keterangan yang paling penting.
“Noni.... saya turut prihatin. Tapi, sebenarnya, bagaimana awal mulanya?
Bukankah Mas Bagas, seperti semua lelaki lainnya, juga impoten? Bagaimana pertama kali dia bisa... ee... ngentot Noni? Maafkan kata-kata saya....”

“Oh itu..... hahaha.... saya juga tidak tahu sih.
Hanya, waktu itu kan, saya cerita pada teman saya. Terus, dia mau lihat.... mau lihat kami....
Dan tahu-tahu, waktu itu, akhirnya.... kami ngentot...”
“Siapakah nama teman Noni Ita?”

“Dia... Nayo. Tinggal di rumah sebelah sana.....” Noni Ita menjelaskan. Clara mengangguk. Dia menemukan mata rantainya yang hilang.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Nayo masih sibuk di dapur ketika bel pintu depan berbunyi. Ia mencuci tangannya, lalu bergegas ke depan. Dari jendela ia melihat seorang perempuan cantik berdiri di depan pintu.

“Selamat siang, apakah benar ini rumahnya Nayo? Boleh saya bertemu?”
“Hai selamat siang!” tiba-tiba suara lelaki yang terdengar riang menyapa dari halaman rumah. Nayo melihat Mas Gino dengan langkah lebar mendekati pintu.

“Lho, ada tamu rupanya. Selamat siang Bu, cari siapa ya?” tanya Gino. Clara menjadi sedikit kikuk, tidak menyangka ada lelaki yang datang.

Diam-diam, Gino juga tertegun melihat perempuan cantik bertamu di rumah ibunya. Mengingat, ibu, ia lantas bertanya kepada Nayo, “Ibu ke mana ya?”

“Ibu Maryati lagi pergi mengunjungi temannya. Itu... anu, suami temannya baru saja meninggal mendadak. Kena serangan jantung, katanya. Temannya sangat sedih, jadi Ibu Maryati masih di sana, di tempat persemayaman.”

“Oh. Jadi.... maaf, ini Ibu siapa ya?” tanya Gino penuh selidik. Perempuan ini cantik sekali.
“Nama saya Clara, Mas. Saya bekerja di WHO dan.... dan kemari mencari perempuan, namanya Nayo.”
“Wah, saya Nayo, Bu. Kenapa cari saya?” tanya Nayo. Ia memandang Mas Gino yang tampan dan Bu Clara yang baru bertemu. Yang satu cantik, satunya lagi ganteng. Entah mengapa, Nayo berpikir bahwa mereka adalah pasangan yang cocok.... Setelah mempersilahkan mereka masuk, Nayo menutup pintu depan. Mas Gino dan Clara duduk di kursi sofa, Clara di sofa panjang dan Gino di sofa pendek.

Clara tiba-tiba merasa panas. Ia seperti kehilangan kata-kata. Mau menjelaskan, tapi tidak tahu apa, sebaliknya ia merasa sangat bergairah. Lelaki di depannya ini, nampak sangat ganteng. Sangat jantan. Clara menggelengkan kepalanya. Tentu saja, seperti apapun penampilannya, lelaki di depannya juga sama saja impotennya.

Gino merasakan hal yang sudah lama tidak terjadi: penisnya mengeras. Tidak pernah sekeras ini, sampai terasa sakit tertahan oleh celananya. Ia menatap Clara dengan pandangan nanar, otaknya dipenuhi oleh pikiran ngeseks yang begitu kuat, sehingga ia tidak bisa berpikir. Tidak bisa berkata-kata, karena kini kebutuhannya adalah bertindak.

Gino terus mendekat kepada Clara, meraih kepala dokter cantik itu dan mencium bibirnya. Mereka berciuman kuat dan bernafsu, dan tiba-tiba merasa semua pakaian ini menjadi penghalang yang harus segera dilepas. Dibuka!

Dalam hitungan kurang dari satu menit, Gino sudah bertelanjang bulat sedangkan Clara tinggal memakai BH dan celana dalam. Penis Gino sangat panjang dan bulat besar, ujungnya sudah mengeluarkan lendir bening. Sebagai dokter, Clara sudah sering melihat penis laki-laki, tapi kali ini ia merasa takjub melihat betapa besar dan kerasnya organ lelaki itu.

Di usianya yang hampir 28 tahun, Clara tidak pernah bergaul dekat dengan lelaki. Terlalu berdedikasi pada pekerjaan, yang membuatnya terpilih untuk masuk tim di PBB. Pengetahuannya luas tentang tubuh manusia, tentunya juga tentang organ seks.

Tapi kali ini, pengetahuannya tidak berarti. Nafsunya lebih kuat menguasai, sampai ke ubun-ubunnya. Tangannya meraih ke belakang, melepaskan jepitan bra. Kemudian ia buru-buru melepaskan celana dalamnya. Kemaluannya tidak ada rambut, karena Clara rajin mencukurnya. Ia tidak menyukai bulu-bulu kemaluan, karena suka memakai celana dalam G-String ketika sedang bermain dengan teman-temannya.

Hanya bermain, tidak lebih. Vaginanya sudah basah karena terangsang hebat – ini sesuatu yang tidak dapat dimengerti. Mengapa terangsang? What the hell.... sebodo amat.

Ia membutuhkan penis keras itu menerobos masuk ke vaginanya.

Nayo hanya bisa duduk dan hanyut menyaksikan kedua orang itu bergumul di sofa. Clara sudah mengangkangkan kedua kakinya yang panjang putih halus. Tangannya menuntun batang kemaluan Gino ke bibir vagina.

Gino terdiam sejenak, kemudian ia menekan masuk ke bawah. Bleessssss..... penis keras itu menusuk masuk. Clara menjerit, melengking tinggi. Gino seperti mendapat aba-aba, terus memompa penisnya di vagina yang terasa nikmat luar biasa.

Tak lama kemudian, keduanya selesai, terengah-engah. Orgasme entah berapa kali. Gino melepaskan penisnya, vagina Clara nampak melelehkan lendir putih bercampur darah. Darah perawan.

Nayo juga mencapai orgasmenya sendiri, karena tangannya sibuk menggosok kelentitnya kuat-kuat.
“Saya.... saya...... “ Gino tiba-tiba seperti tersadar pada keadaan mereka, menjadi pucat mukanya. Apa yang baru saja ia lakukan?

“Ahhhhh...... ini..... “ Clara menunduk. Air matanya menetes. Ia berharap dirinya bersetubuh nanti, tapi bukan begini caranya. Bukan dengan lelaki yang baru saja dijumpai. Bukan di sofa rumah yang baru saja dikunjungi.

Tapi dalam kesadaran yang kembali, membuat Clara menghadap dan menatap Nayo dengan tajam.
“Nayo, ini adalah apa yang kamu perbuat, bukan?”
“Saya? Apa? Ehhhh..... saya berbuat apa?”
“Sesuatu.... sesuatu pada diri kamu membuat saya dan Mas ini terus bersetubuh, bukan?”
“Dari saya.... apa maksud Ibu? Saya tidak punya apa-apa!”

“Tidak mungkin.... kebanyakan lelaki saat ini sudah kehilangan kemampuan seks. Perempuan juga, menjadi frigid, tidak lagi ingin seks.

Tapi di depan Nayo, seperti saya dan Mas ini, kami tidak bisa menahan rangsangannya.
Kenapa seperti itu?”

Nayo mau membuka mulut membantah, tapi kemudian mengingat berbagai hal aneh sejak peristiwa itu. Dokter Roy yang lepas kendali terus memperkosanya. Pasangan di kapal yang ngentot. Mas Bagas dan Noni Ita.

Dan sekarang, Mas Gino dan perempuan ini.... dokter Clara?

Apakah benar dirinya membuat orang-orang menjadi horni dan terus ngeseks?
Nayo tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Apakah sesuatu di puncak Gunung Momi itu telah mengubahnya?

Berpikir begitu, Nayo duduk di hadapan kedua orang itu, Gino dan Clara yang sudah berpakaian lengkap. Banyak tissue dihabiskan untuk melap semua lendir yang tercecer di sofa berlapis kulit. Masih tercium wangi kemaluan di sana.

Gino duduk di dekat Clara, menjangkau jari jemari yang cantik. Dokter itu membalasnya, tangan mereka bertautan jari jemarinya. Gino tersenyum, hubungan ini tidak berakhir di sini, pikirnya.

Tapi dokter Clara lebih terfokus pada Nayo yang mulai menceritakan segala pengalamannya....

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Rombongan Dr. Randolph mencapai kaki Gunung Momi di Sulawesi Tengah. Udara terasa sunyi, karena tidak terdengar suara apapun dari kehidupan. Bahkan nampak pohon-pohon menjadi coklat dan kering, mati. Padahal dari penampakannya seluruh wilayah Gunung Momi ini harusnya merupakan hutan yang subur.

Dengan perlahan, Dr. Randolph menjajaki ulang segala perjalanan Dr. Merryweather, dalam bentuk rekaman jejak GPS yang terekam. Ia tiba pada dataran yang luas dan gersang, tanpa kehidupan. Mereka memasang detektor Geiger, tapi tidak menemukan ada tanda-tanda radioaktivitas apapun. Lantas, kenapa tempat ini terasa seperti kuburan?

Dr. Randolph memasang detektor radiasi kosmik, lalu menghubungkannya dengan generator mini yang mereka bawa. Kaki-kaki antenna terpentang membuka, lantas mengukur segala radiasi sub atomik yang jatuh di tempat itu. Muon, Quark, apa saja.... mereka sangat berlimpah. Dr. Randolph menjadi pucat.

“Cepat, sekarang juga semua pakai baju Hazmat!” perintahnya kepada 20-an peneliti yang ikut bersamanya. Tidak ada orang kampung yang menemani. Mereka semua memikul sendiri perlatan mereka. Baju hazmat yang mereka pakai mempunyai desain yang berbeda dan mampu menolak radiasi kosmik, dengan memakai semacam radioisotop yang secara kontinu membentuk medan pelindung.

Segera saja, di sekitar tubuh setiap orang nampak ada seperti cahaya berpendar, seperti aurora di kutub utara. Warnanya hijau kebiruan.

“Dr. Randolph? Lihat di arah sana ada konsentrasi kosmik yang sangat kuat.” Kata salah seorang peneliti dengan detektor kosmiknya.

“Ya Tuhan....” desis doktor Randolph. Ia terus berjalan mendekat ke bebatuan yang berwarna putih kebiruan di dataran yang lebih tinggi. Pendar cahaya di sekeliling bajunya lantas terlihat lebih besar. Ia menyadari sesuatu yang salah masih terjadi.
“Nampaknya.... kita masih terkait dengan fenomena String,” kata doktor Randolph.

“Bagaimana mungkin, doktor? Bukankah planet bumi hanya melewati saja, sudah beberapa bulan berlalu?”
“Tidak bisa dijelaskan. Tetapi nampaknya.... ada semacam bagian yang terkait di sini. Jadi efek fenomena String masih ada di sini. Lihat saja bagaimana radiasi kosmik mematikan semua kehidupan di sekitar.”
“Apakah ada bahaya?”

Doktor Randolph berpikir keras. Ia sudah lama menduga hal ini, tapi tidak berani berkata-kata sampai ada bukti nyata. Dan sekarang, ia melihat bukti nyata di hadapannya.

“Radiasi kosmik ini dari antariksa terus menembus bumi, sampai ke inti bumi. Menambah energi ke dalam inti bumi.
Jangan lupa, ini adalah fenomena yang sangat besar, sedangkan bumi kita secara astronomis sangat kecil. Energi yang terhubung ke pusat bumi bisa menyebabkan energi di inti bumi menjadi sangat besar.

Paling sedikit, akibatnya terjadi pergeseran kerak bumi. Kita bisa mengalami bencana hebat di seluruh dunia.

Paling parah, akibatnya inti bumi meledak.... menghancurkan seluruh planet ini.
Itulah bahayanya.”

Para peneliti terdiam dan merasa gemetar. Keringat dingin memenuhi baju hazmat mereka.
“Jadi kita harus bagaimana?”
“Kita harus melepaskan ikatan dengan fenomena String. Kita harus mencari tahu apa yang menyebabkan fenomena itu terkait di sini.

Tanpa mengerti situasi ini, kita tidak bisa berhenti. Seluruh umat manusia dan kehidupan di Bumi menjadi taruhannya.”

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Clara menuntun Nayo memasuki gerbang keluar di airport Cengkareng. Para staff WHO, bahkan Dr. Schmidt sendiri, menyambut kedatangan kedua perempuan cantik itu.

“Dokter, apa yang terjadi? Kenapa.... kok jalannya pincang begitu?” tanya Schmidt. Clara hanya tersenyum kecut.

Bagaimana menjelaskan bahwa dalam usahanya, ia harus kehilangan keperawanannya? Dan celakanya, itu terasa benar-benar enak. Clara bertekad setelah ini selesai, ia harus kembali ke Surabaya dan menemui Gino.

Dr. Schmidt tidak membuang waktu dan terus membawa Clara ke RS Cipto Mangunkusumo, di jalan Salemba. Di sana, WHO sudah membuat ruang kerja khusus. Mereka melakukan segala penelitian bekerja sama dengan kedokteran Universitas Indonesia – dokter Clara adalah salah satu lulusannya yang paling cemerlang.

Mereka tidak menemukan sesuatu yang aneh. Nayo terlihat sangat sehat, sangat normal. Tidak ada apapun. Apa yang harus dilakukan?

Clara tidak kehabisan akal. Ia menyuruh Nayo berada di ruang deteksi. Kemudian, Clara menarik dokter Erwin, teman sejawatnya,sesama dokter seangkatan lulusan UI. Waktu masih kuliah, mereka saling tertarik namun tidak pernah ada hubungan apapun. Bagaimanapun, Clara menyukai Erwin....

Clara menarik Erwin berhadapan. Memeluknya. Mereka berpelukan di hadapan Nayo.

Erwin menjadi kikuk, tidak tahu harus bagaimana. Lalu, Erwin mulai merasa panas dan bergairah, demikian juga Clara. Tak lama kemudian, rangsangan itu begitu hebat sehingga Clara dan Erwin seperti kesurupan, hilang ingatan. Dalam sekejap mata mereka bertelanjang bulat. Penis dokter Erwin ternyata tidak panjang, mungkin hanya 12 cm, tapi sangat gemuk.

Clara yang juga sudah penuh terangsang terus duduk di atas dipan pasien, kaki mengangkang. Dokter Erwin segera naik ke atasnya. Penisnya terus terhujam masuk ke vagina yang tidak berambut itu, dan menggenjot kuat-kuat.

Di balik kaca monitor, semua ahli dan perawat melongo disuguhi pemandangan seperti di film bokep itu. Tetapi Dr. Schmidt lebih tertarik melihat betapa hebat radiasi terpancar keluar dari Nayo. Ini adalah radiasi yang tidak biasa, yang tidak dikenalnya.

Radiasi ini yang rupanya mengenai kedua orang itu, dan seketika membuat dokter Erwin yang semula impoten menjadi kuda binal liar yang terus memompa vagina Clara hingga perempuan itu menjerit-jerit tak tertahankan. Entah berapa kali orgasme, sampai Erwin mengejang-ngejang memuntahkan seluruh spermanya di dalam vagina Clara.

Ketika semuanya selesai, Clara yang sudah berpakaian lengkap menghadap dr. Schmidt.
“Dokter, mudah-mudahan.... usaha saya tidak sia-sia.” Katanya lirih.
“Haehhh.... saya tidak bisa berkata-kata. Pengorbananmu luar biasa, Clara,” jawab Schmidt. Ia tahu ada harga mahal yang dibayar oleh dokter cantik ini. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan orang lain.

Tetapi mereka berhasil menemukan rahasia di balik orang-orang yang menjadi kembali aktif seks. Untuk sementara, ini bisa menjadi solusi bagi kelangsungan umat manusia. Mereka mulai berdiskusi tentang cara-cara untuk mengaktifkan efek dari Nayo terhadap pasangan-pasangan agar mereka bisa disembuhkan dari penyakit impotensi aneh ini.

Di tengah rapat yang sampai malam, seorang asisten dr.Schmidt yang juga dari Eropa membawa berita penting dari USGS, yang berasal dari Gunung Momi.

PESAN PENTING

TIM USGS YANG DIPIMPIN OLEH DOKTOR RANDOLPH TELAH MENEMUKAN KETERKAITAN FENOMENA STRING YANG MASIH MELEKAT DI PUNCAK GUNUNG MOMI.

KETERKAITAN INI TIDAK DIKETAHUI DAN DISIMPULKAN ADA SESUATU YANG HILANG. DUGAAN SEMENTARA KAITAN INI TERBAWA OLEH SESEORANG YANG PERNAH ADA DI PUNCAK GUNUNG MOMI PADA SAAT MALAPETAKA TERJADI.

BAGI SEMUA AGENSI DAN LEMBAGA PENELITIAN, HARAP KERJASAMANYA UNTUK MEMBERIKAN PETUNJUK APAPUN TENTANG ORANG YANG PERNAH ADA DI GUNUNG MOMI.


Dr. Schmidt langsung mengetahui bahwa yang dicari oleh tim USGS tak lain adalah Nayo. Tetapi bagaimana mereka dapat memberitakan perihal Nayo, yang memberi harapan kelangsungan umat manusia?

Tapi, ada sedikit firasat Dr. Schmidt bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik pesan itu. Jadi, diam-diam ia menghubungi USGS, yang terus terhubung dengan sekretaris dr. Randolph. Ia memperkenalkan diri jabatannya secara resmi, lalu mendengarkan dengan seksama penuturan tim USGS.

Mungkin, tidak lagi penting untuk memikirkan soal kelangsungan keturunan umat manusia. Jika planet bumi meledak, tidak ada lagi harapan hidup. Sesuatu harus segera dilaksanakan.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kesibukan PBB menjadi sangat intens, dengan misi membawa Nayo kembali ke puncak Gunung Momi. Mereka harus segera menemukan jalan keluar, dan jika Nayo menjadi jangkar fenomena String, bagaimana hal itu bisa dilepaskan?

Mereka tiba di dataran yang gersang itu dan melakukan banyak percobaan – tanpa hasil.

Clara yang dari semula selalu mendampingi Nayo, menghadap Dr. Randolph dan menceritakan semua yang diketahuinya, termasuk radiasi yang dikeluarkan tubuh Nayo dalam kaitan kegiatan seksual. Dr. Randolph menghela nafas panjang, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Semua ini tidak dipahami olehnya. Tidak masuk akal. Clara hanya tertunduk, dan akhirnya mereka berpisah dengan kerumitan dalam pikiran, dengan kecemasan akan nasib planet bumi beserta segala isinya.

Nayo menemukan Clara yang wajahnya masih tertekuk tertegun tidak karuan, seketika firasatnya muncul. Firasat tidak enak.
"Ada sesuatu, Bu Clara?" tanya Nayo.
"Ahhh.... tidak, Nayo. Haha.... kita tidak paham bagaimana semuanya bekerja. Apakah saya harus berhubungan seks di atas sana sambil dilihat Nayo? Bisakah kita lakukan itu lagi?"
"Saya tidak mengerti, Bu Clara? Hubungan seks?" Nayo memicingkan matanya.

"Saya juga tidak mengerti. Tapi satu-satunya petunjuk adalah ada sesuatu pada diri Nayo yang hanya keluar dalam suatu hubungan seks. Dan kita harus secepatnya mengeluarkan itu, demi menyelamatkan seluruh planet ini. Sungguh membingungkan...." Clara menggelengkan kepalanya.

Nayo tidak menjawab lagi. Ia menilai setiap perkataan dokter Clara sebagai kebenaran yang rumit. Bagaimana sebuah hubungan seks di atas batu-batu itu bisa menyelamatkan planet bumi? Bukankah ini hal yang berlebihan?

Di tengah kerumitan itu, Nayo mendengar namanya dipanggil. Ia berbalik. Seorang pria muda berdiri di depan pintu tenda. Nayo bergegas berdiri dan menghampirinya.

“Dokter Roy....” bisiknya.
“Nayo.... saya.... saya mohon maaf,” kata Roy terbata-bata. Dokter muda itu mendengar tentang ekspedisi PBB, jadi dari Palu ia terus menyusul ke Gunung Momi. Hatinya tidak pernah tenang karena Nayo terus ada dalam ingatannya.

Nayo menggenggam tangan Roy. Ini adalah pria yang diam-diam dicintainya. Ketika menyadari Roy telah memperkosa, sebenarnya Nayo tidak berkeberatan, malah ia bahagia.

Paling tidak, keperawanannya diambil oleh orang yang disukainya.
Ketika mereka diam berhadapan, segala detektor menyalakan alarm. Nayo menjadi pucat, mengingat kembali pengalaman buruknya. Ia melangkah keluar, memandang ke bebatuan putih biru itu, yang waktu malam dulu terus mengeluarkan cahaya.

Entah mengapa, Nayo tahu bahwa ia harus kembali ke sana. Ia mulai melangkah, tapi Roy menahan tangannya.

“Mau kemana, Nayo?” tanya Roy.
Nayo tersenyum kecil, senyum sedih. Entah bagaimana, ia tahu bahwa di sinilah akhirnya.
“Saya harus ke sana dok,” katanya pelan, berusaha membuat dirinya tenang padahal dalam hati sangat takut.

“Saya ikut, Nayo. Sampai kapanpun, saya akan menjagai kamu,” kata Roy mantap.
Nayo mengangguk, merasa tidak bisa banyak berkata-kata.

Berdua, mereka berjalan dengan cepat melalui orang-orang yang masih sibuk karena alarm dari detektor-detektor itu. Ada kabut halus yang menutupi area, sehingga tidak bisa melihat atau mengenali orang di sore hari itu. Semua kelihatan putih saja.

Karena tidak ada yang mencegah, keduanya berhasil mencapai dataran di mana ada bebatuan biru.

Nayo memeluk Roy, keduanya berciuman. Bukan nafsu, melainkan ungkapan rasa cinta. Sejenak kemudian, nafsu besar melanda keduanya. Di atas dataran batu yang lebar, keduanya segera melepaskan semua baju mereka. Semua pakaian dalam, yang terus terjatuh ke bawah.

Nayo tidak menginginkan apapun lagi, selain merasakan pria itu memasuki vaginanya kembali. Begitu rindu. Begitu bernafsu, vaginanya sudah penuh dengan lendir ketika kepala penis keras menyentuh bibir-bibirnya. Menggosok.

Menyelinap masuk. Nayo merasa nikmat yang luar biasa. Roy mulai mengambil bagian, ia terus memacu penisnya keluar masuk vagina yang rapat dan basah itu. Udara tidak terasa dingin, malah panas karena mereka seperti berlari sprint. Mengejar orgasme. Mengejar terbang.

Tubuh Nayo bersinar terang. Batuan biru itu juga terus bersinar terang. Sekali lagi, pilar cahaya biru menjulang ke angkasa.

Nayo mengejan, merasakan orgasme hebat melandanya, bersamaan dengan Roy yang ejakulasi jauh di dalam rahimnya. Dalam kenikmatan yang memuncak, Nayo seperti melihat Ayah dan orang-orang Kulawi, sesukunya berdiri di antara terang sinar putih kebiruan. Ayahnya tersenyum. Sang Raja menyambut Putrinya kembali.

Sejurus kemudian, radiasi hebat menutupi tubuh keduanya, yang masih bersatu tubuh. Sinar kosmik itu membelah setiap molekul, membuat tubuh kedua insan itu luluh hancur seperti pasir yang terhembus angin keras.

Nayo dan Roy tidak ada lagi di dunia ini.

Sinar itu kembali mencapai stratosfer, kini membawa radiasi yang semula tertinggal pada diri Nayo. Radiasi yang melingkupi seluruh dunia itu tiba-tiba saja membuat setiap lelaki dan perempuan menjadi terangsang hebat. Penis-penis kembali mengalami ereksi.

Hari itu, menjadi hari persetubuhan internasional, ketika di seluruh dunia lelaki mencari perempuan untuk bersetubuh. Di kantor, di sekolah, di pasar, di mall.... mereka bertelanjang, dan penis menerobos masuk. Tidak peduli kaya atau miskin, atau apa etnisnya, atau apa agamanya.

Semua mempunyai satu kebutuhan yang tidak tertahankan: bersetubuh.
Begitu pula yang terjadi di antara para peneliti dan staff PBB serta pemerintah di puncak Gunung Momi, mereka tidak bisa menahan diri untuk terus mencari pelampiasan nafsu seks yang tidak tertahankan.

Lalu, semuanya selesai.

Doktor Randolph memeriksa pendeteksi radiasi kosmis. Tidak ada lagi. Fenomena String sudah berlalu. Bumi telah selamat.

Mereka berusaha menemukan Nayo, tetapi perempuan itu benar-benar hilang dalam kabut...

Apakah kehidupan di planet bumi kembali seperti biasa?
Tidak juga. Kini mereka ngeseks dengan bebasnya....

TAMAT
 
Terakhir diubah:
  • Like
Reactions: Lyc
Sedikit info, seluruh kisah ini sepenuhnya fiktif ya.... kan untuk LKTCP 2019. Namun, banyak tempat dan budaya merujuk pada tempat yang sesungguhnya. Dan sungguh indah juga!

Gunung Momi itu nama lainnya Bulu Torompupu adalah daerah pegunungan di
Rantewulu, Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah
 
Terakhir diubah:
Muanteppp..ceritanya enak dibaca dan menghibur..
Ada satu kalimat yang bikin ngakak :
Hari itu, menjadi hari persetubuhan internasional, ...
Wakakakkak..:lol:

Sukses suhu...
Makasih, semoga terhibur....

Memang ini judulnya Lomba, tapi kalau sudah menulis sih rasanya sedang berbagi imajinasi, yang sama sekali tidak berupa kompetisi

Lagipula, bagaimana bisa berkompetisi dengan para suhu yang nulisnya asyik2 begini....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd