Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Sepenggal Kisah - Nadia Safira (NO SARA!)

CHAPTER 12
Berjuta Dilema



Aku yakin kebanyakan dari kalian, bahkan mayoritas pembaca - setelah membaca adegan yang baru saja terjadi, Nadia baru saja memelukku, erat. Amat sangat erat, pasti akan memikirkan bagaimana empuknya kedua benda sakral milik wanita ini yang begitu erat menempel di dada ini, kan ya?

Sejujurnya aku pun awalnya demikian, tapi sungguh tak elok dan tak sopan jika ku hadirkan dalam pikiran ini, kekurangajaran tersebut buat wanita yang seharusnya ku hormati ini. Yang seharusnya, bahkan beberapa waktu yang lalu telah ku tinggalkan di terminal bus. Namun nyatanya, justru dialah yang menjadi sumber penghalang, sumber penahan diri ini agar tetap tak beranjak dari posisiku ini.

Ku yakin....

Dia menyadari apa yang baru saja ia perbuat. Apa yang baru saja ia khilafkan, karena dengan statusnya sebagai wanita yang tertutup itu, menghadirkan fitnah di pikiran orang lain, pastilah tak baik baginya. Buktinya, setelah ia memeluk tubuhku, pun ku biarkan ia memeluk tanpa menghalanginya, tanpa menjauhkan tubuhku darinya, bahkan jika boleh jujur, selamanya ku ingin seperti ini – pada akhirnya secara perlahan, gadis itu pun mulai kembali pada kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan jika tak seharusnya ia bersikap sedemikian ini terhadap pria yang bukan mahromnya.

“Dek...” aku membisik. Pelan. Tapi jelas dia mendengarkan. Karena begitu selesai ku panggil, ku rasakan tubuhnya bergerak pelan dalam pelukan hangatku ini. Dia pun mulai perlahan melepaskan sepasang lengan berminsetnya itu yang tadi sempat melingkar di tubuhku. “Ini di tempat umum.... bukankah-“ aku tak melanjutkan, karena wanita ini segera menyela dengan amat sangat cepat.

“Astagfirullah.... astagfirullahhhh.....” kan, bener saja. Rupanya dia baru benar-benar sadar sekarang. Dia menunduk, melepaskan diri dari kuasaku. “Ma... maafkan Nadia. Sudah lepas kontrol”

Aku melempar senyum padanya.

“Maafkan saya, karena sudah membuatmu seperti ini.” Aku bergumam. Menatapnya dengan penuh kelembutan.

Nadia....

Wanita yang kini, telah nyaris sempurna mengisi kedalaman relung jiwa, membalas menatap. Dari cara ia menatap, ku yakin, sedikit saja ku lanjutkan kalimat demi kalimat syahdu, maka sepasang bola mata itu akan kembali menitihkan air mata. Dan aku harus bisa menjadi penghalang laju air bah tersebut.

“Kembalilah. Pulanglah.... saya janji, saya akan ikhlas melepasmu, dek”

“Ka... kakak yakin?”

Gustiiii.....

Nadia. Apa sih mau kamu? Bukankah, awalnya justru kamulah yang tak ingin menciptakan harapan di antara kita? Bukankah justru kamulah yang memintaku untuk segera pergi, bahkan pintamu padaku sebagai bentuk sebuah janji, agar aku tak lagi menemuimu, mencarimu. Lantas mengapa sekarang, justru kamulah yang berupaya untuk menggagalkan semua itu?

Karena aku pun tak punya pilihan, maju kena, mundur kena, dilema yang berjuta mendera, pada akhirnya, anggukan kepalaku ini sebagai bentuk, jika aku benar-benar mengiyakannya. Mengikhlaskan wanita ini untuk sesegera mungkin pergi dari hadapanku. Katakanlah aku sejahat ini, tapi, lebih jahat lagi jika aku masih terus berharap, masih terus menyerbunya dengan sebuah harapan yang menurutnya, justru akan menghancurkan hidupnya di kemudian hari, yang akan menjatuhkannya ke dalam lubangan dosa yang tak bertepi.

“Saya yakin, Nadia. Amat sangat yakin buat melepasmu... pintaku hanya satu, hiduplah lebih baik lagi dari sekarang. Yakinlah, jika di ujung dunia sana, masih ada seseorang yang mengharapkan, jutaan kebahagiaan menghampirimu.”

Haiyaaaaa.... begitu baru saja ku selesaikan ucapanku, perlahan, sepasang mata sendunya itu kembali menampung butiran kaca di dalam sana.

“Aduh.... dek. Kakak mohon, jangan lagi bersedih. Jangan sampai, kakak nekad membawamu kabur ke Jakarta loh. Sumpah. Kali ini kakak tidak akan mundur lagi apabila air matamu sampai terjatuh kembali seperti tadi” dan berharap, ucapanku ini mendapat sambutan positif. Namun rupanya aku salah. Wanita ini menatapku, merespon ucapanku yang sedikit bernada candaan meski maknanya serius itu, dengan cara tersenyum.

“Maafkan Nadia kak. Maafkan Nadia karena sempat bimbang” Andai kamu tahu, jika bimbangmu itu adalah keberuntunganku. Aku bergumam.

“Ya sudah, jangan lupa mengirimkan nomor rekening kamu ya. Biar kakak tiap bulan bisa membantumu biar sedikit-sedikit”

“Eh... ja... jangan kak. Nadia hanya i... ingin meminjam saja”

“Perlu kakak ulang lagi apa yang kakak ucapkan sedari tadi?” pungkasku.

Kepala berkerudungnya menggeleng.

“Nah, kalo udah gitu. Di larang keras untuk menolak lagi, kalo tidak mau, Rendi bakal menculik wanita cantik ini.”

Sedikit senyum, tapi sangat mendembarkan jantung ini yang melihatnya. Yah, wanita ini, jika senyum, hanya tipis. Tak berlebihan sama sekali, tapi justru senyumannya itulah yang semakin dan semakin menyiksa semua organ dalam tubuhku ini. Memang agak lebay sih caraku mengungkapkannya, namun nyatanya memang begitu, kawan.

“Dek.... pulanglah” aku mengingatkan.

Kenapa malah sekarang, posisinya kebalik ya? Sejak tadi, ucapan bentuk keinginan untuk menyuruh pulang, sedari awal ku dengar dari wanita ini, justru sekarang, kata tersebut malah terucap dariku.

Nadia menarik nafas dalam-dalam.

“Percayalah, jodoh itu tak akan pernah kita mampu hindarkan. Begitupun jika kita. Kakak dan kamu, di kemudian hari di jodohkan oleh sang khaliq. Maka, kita berdua tak mampu menghindarinya. Jadi, sekarang... mungkin jodoh itu belum datang, entah nanti. Kakak berharap, amat sangat berharap sih di kemudian hari, akan menghampiri kita berdua”

“Amiinnn... Allahumma Amin”

Eh? Itu artinya, Nadia mengharapkan hal yang sama sepertiku ya? Berharap, kami bisa bersatu? Ahhh, sungguh, jangan tanyakan lagi bagaimana perasaanku sekarang ini, mengetahui, dan menyadari dengan amat sangat jelas, jika rasa specialku di dalam sana terhadapnya mendapatkan balasan, meski tak terucap secara langsung.

Mungkin....

Memang sekarang, kami tak bisa menyatu. Dikarenakan statusnya yang masih di gantung oleh mantan suaminya. Kenapa ku katakan mantan, karena sudah sesuai dengan apa yang ku dengar langsung dari mulut almarhum Pak Sardi, yang juga adalah ayah angkat darinya. Ayah yang sedari kecil, menganggapnya sebagai anak kandungnya sendiri.

Jadi. Kalo aku masih terus seperti ini, ku yakin acara pelepasan kepergian wanita ini akan semakin terulur lagi. Dan hal itu, tak ku inginkan. Ku ingin melepasnya sekarang, tapi, tetap saja, ia, akan menjadi prioritas perhatianku meski aku berada di Jakarta nantinya. Serta, begitu aku tiba di Jakarta, aku juga kan merencanakan bagaimana caranya bisa menemukan ‘biang kerok’ dari masalah yang terjadi sampai berakar begini. The one and only, si Anastasya.



Ahhh.... apa yang bakal Nadia pikirkan, ketika mengetahui kejadian yang sebenarnya, jika justru akar masalah itu adalah aku sendiri. Ah, sungguh, bahkan memikirkannya saja, aku tak sanggup melakukannya. Mungkin saja dia akan amat sangat marah dan tak ingin lagi mengenalku nantinya. Menghapus semua ingatannya tentangku.

Yah, aku yakin itu. Maka itu, mungkin sekarang aku juga tak akan mau menceritakan padanya. Biarlah waktu yang akan memberitahukannya nanti. Meski aku sadar, sepintar-pintarnya kita menyembunyikan bangkai pada orang lain, tetap saja, di kemiudian hari bangkai tersebut akan tercium juga aromanya. Sama seperti rahasia yang kan ku simpan, kan ku jaga sampai waktu yang entah kapan kan berakhir, tapi, setidaknya, ku ingin menikmati kondisi dimana, wanita yang masih berdiri menatapku ini, memiliki perasaan yang sama seperti yang ku rasakan.

...

...

...

Singkatnya....

Karena tak ingin lagi adanya kejadian yang begitu menyedihkan, begitu mengharukan, maka sesegera mungkin ku pungkasi acara pertemuanku dengannya, dengan beralasan, “Ya sudah dek. Kakak juga sepertinya harus balik sekarang” sembari berucap, sembari berpura-pura melihat arloji di lengan.

Nadia sampai menarik nafas dalam-dalam.

“Baik kak. Kalo begitu, Nadia pamit dulu....” aku mengangguk.

“Assalamualaikum wr wb” tak lupa, ia meminta tanganku untuk ia salim dengan hikmat. Dan aku, pun tak lagi berniat menahannya. Benar-benar telah mengikhlaskan untuk ia pergi dari hadapanku, dari sisiku.

“Wa’alaikumsalam, wr wb”



Nadia telah pergi.....

Yah, benar-benar telah berhasil membalikkan badannya, membelakangiku, kemudian mulai melangkahkan kakinya menjauh, dan semakin menjauh dari posisiku berdiri, yang juga, hanya mampu menatap kepergiannya dengan perasaan yang teramat sulit buat ku ungkapkan lagi. Intinya, ku biarkan engkau pergi sekarang wahai Nadia, tapi nanti, ketika ‘jodoh’ yang ku maksud tadi menghampiri, maka pantang bagiku untuk melepaskan lagi seperti hari ini.

Percayalah, jikalau ia menghendaki-NYA, maka terjadilah. Maka kamu dan aku, akan menyatu dalam sebuah kehidupan baru nantinya.



=============================





Akhirnya....

Sekali lagi, akhirnya, aku bisa benar-benar ikhlas melepasnya. Buktinya, sekarang aku tak lagi berada di terminal. Sekarang aku telah berkendara pulang menuju ke Jakarta. Aku tak ingin berpaling lagi seperti sebelum-sebelumnya. Ku ingin menjalani kehidupan seperti semula lagi. Meski, memang ku akui setelah ini, melepaskan bayang-bayang indah tentang wanita itu, amat sangat mustahil terjadi.

Aku.... Akui....!

Aku benar-benar telah jatuh pada pesonanya. Pada cinta yang ia tancapkan ke dalam jiwaku ini, yang ia pun tak sengaja melakukannya. Tapi, aku rasa masih banyak waktu dan kesempatan untuk bisa bertemu dengannya lagi. Apalagi, besok, aku lumayan di sibukkan dengan kesibukan usahaku yang telah ku bangun sedari awal itu.

Cerita ini telah selesai. Semuanya telah berakhir. Tapi, mengakhiri memikirkannya, sepertinya adalah kebohongan pada kasta tertinggi sebuah kebohongan. Hahahaha, ya begitulah aku. Kadang aku mikir, mengapa aku bisa seperti ini? Mengapa aku bisa seberlebihan ini menancapkan perasaan ini, mematok rasa special ini hanya untuk wanita yang bahkan belum ku ketahui sama sekali bagaimana paras wajahnya.

Tapi, jika sudah berbicara tentang rasa. Maka sulit buat mendapatkan jawaban pastinya, bukan? Nah, begitulah yang terjadi kepadaku.



Well!

Karena tak adanya kejadian yang berarti lagi dalam hidupku, selain kerja-kerja dan bekerja, menjalankan apa yang seharusnya ku jalankan, serta, meski seberusaha apapun ku cari keberadaan Tasya, tapi sama sekali tak menemukan titik terang - maka mungkin, cerita ini akan banyak terjadi timeskip.



==================================





Telah lewat sebulan lamanya, pertemuan terakhirku dengan Nadia.

Bagaimana kabarmu sekarang, dek? Apakah kamu telah kembali bersatu dengan mantan suamimu itu – baca = rujuk?

Apakah aku uring-uringan? Tentulah tidak, meski kerap kali sedih menghampiri, ingatan pada kejadian bersamanya, meski singkat, meski kenangan itu terjadi tidak lama, tapi efeknya, tentulah amat sangat dahsyat – tapi aku masih bisa mendapatkan cara buat mengalihkannya. Buat sekedar mengistirahatkan pikiran ini tentangnya.

Ingin kesana lagi, lebih tepatnya ke Bandung, ke rumah mendiang Pak Sardi. Tapi keberanian tak menghampiri. Aku takut, jika aku malah malu sendiri nantinya. Aku takut, jika tetap nekad ke sana, justru akan menimbulkan masalah baru. Alhasil, aku hanya mampu memendam sendiri perasaanku ini, selama sebulan lamanya.

Hidupku....

Benar-benar tak ada asyiknya sama sekali. Malah terkesan membosankan.



Hingga......

Pada akhirnya kerinduan ini, pun memuncak. Aku tak tahan lagi untuk bertahan tidak pergi menemuinya.

Aku harus. Dan harus sesegera mungkin melepaskan dahaga atas kerinduanku pada wanita itu, dengan minimal melihatnya saja, mungkin akan sedikit mengobati rasa menyesakkan di dalam sana.



Dan yah........

Itulah yang kini terjadi. Aku lagi dan lagi, kembali berkendara sendiri di sunyinya kabin Pajero Sport-ku, sore ini.

Aku sengaja berangkat sore, bukan di malam hari seperti sebulan yang lalu, karena ketidaksabaranku sejak tadi, sejak aku tuntaskan kerjaan di kantor, lalu berperang dengan kerinduanku akan sosok wanita berkerudung, berkhimar itu, yang sebulan yang lalu sengaja ku tinggalkan ia di terminal.

Jangan tanyakan lagi, bagaimana ketidaksabaran ini menghampiriku saat ini. Apalagi di saat aku telah melewati km 90. Wahhh, perasaanku sulit buat ku ungkapkan lagi. Ketidak sabaran untuk bertemu langsung dengannya lagi, bercerita banyak hal, menceritakan apa saja yang kami lakukan selama sebulanan ini. Bercerita pun, dengan sejujur-jujurnya jika aku, masih belum mampu menghapus bayang-bayangnya. Bahkan, rasa di dalam ini semakin menggunung, semakin besar hingga tak mampu lagi ku tahan.... jangan kawan.

Ahhhh.....

Kerinduan ini.

Sungguh benar-benar membodohiku.



Nadia....

Nadia Safira....


Tunggu kakak dek. Kakak akan bertemu lagi denganmu. Dan kakak akan jujur, betapa kakak amat sangat menyayangimu. Bahkan mungkin teramat sangat mencintaimu. Ahhhh, mana begitu telah memasuki tol km 120an, kemacetan parah mulai terlihat di depan sana, semakin membuat titik kesabaranku semakin sulit buat ku tahan.

Sial.

Macet sialan......



Ya Allah.....

Aku harap, saat setibanya aku di rumah almarhum Pak Sardi. Aku bisa melihat Nadia di sana. Pun jikalau tidak, kan ku tanyakan pada orang sekitar, alamanya di Sukabumi. Karena hambamu ini, tak sanggup lagi untuk bertahan, menahan kerinduan ini untuk tidak bertemu dengannya.

Kabulkan doa hambamu ini........



Ku mohon. Kabulkan doa hamba, ya Allah....................................................





Bersambung Chapter 13
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd