Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Sepenggal Kisah - Nadia Safira (NO SARA!)

Mantap ceritanya, suhu.

Tapi saran aja sih....jangan terlalu cepat nyambungnya urusan Rendi dan Nadia ini. Kasih jeda lah
 
CHAPTER 11
Sebuah Perpisahan



Wanita di sampingku....




Wanita yang tak selayaknya menitihkan air mata karena seorang pria sepertiku ini, masih berusaha untuk mencoba menenangkan diri. Sedangkan aku? Apa yang bisa ku lakukan, selain diam? Selain menunggu hingga isakannya nyaris tuntas.

Bro, seandainya aku memiliki keberanian untuk menghentikan laju tangisannya itu, maka sejak tadi pun aku sudah merespon, sudah memberinya ketenangan, menghapus air matanya, menggantinya dengan senyuman. Namun nyatanya, sekali lagi, yang bisa kulakukan hanya diam. Bahkan aku tak berani menolehkan wajah ini padanya. Membiarkannya dengan sendiri menenangkan diri, adalah keputusan yang memang sudah menjadi kewajiban buatku melakukannya.



Singkatnya, setelah ku sadari jika wanita ini telah berhenti menunduk, berhenti dari siksaan gejolak dalam dada, maka aku menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya, bibirku ini amat sangat sulit buat bergerak, buat mengatakan satu kata saja padanya.

Selepas dia menyeka sepasang mata itu, untuk kali terakhir – karena sejak tadi, lengannya yang berminset itu tak henti-hentinya melakukan hal yang sama – maka ia pun mencoba untuk menolehkan kepala padaku. Hal itu ku sadari, ketika dari ekor mata kiriku menangkap gerakan lembut wanita itu.

“Ma... maafkan Nadia, kak.... ka... karena sudah lancang mena... menangis di dekat kakak”

Aku sekali lagi hanya bisa menarik nafas setelah mendengar kalimat pertama usai ia terkena siksaan dari rasa di dalam sana. Setelah mampu sedikit saja, merasa mulai tenang, maka ku balas ucapannya itu, “Yang seharusnya minta maaf, saya dek. Bukan kamu.... saya yang salah, karena telah tega membuatmu bersedih seperti ini.”

Dia menatapku. Masih menatapku dari samping. Sedangkan aku, masih belum berani membalasnya. Sepasang mataku masih berusaha untuk melihat ke depan, apalagi aku tak menghentikan laju kendaraanku sejak tadi.

Sejurus kemudian, “Udah ah.... Nadia bodoh banget. Bodoh banget sampai kebawa suasana kayak gini” ujarnya kembali. Dan pada akhirnya, kalimat tersebut sukses memungkasi acara tatap-menatap ke depan. Karena nyatanya, aku sudah mampu untuk menolehkan wajah ini, dan membalas menatapnya.

Aku tersenyum.

“Maafkan kakakmu ini sekali lagi ya. Saya janji, tidak akan melakukan hal yang sama lagi padamu” Dia tak jawab. Duh, malah aku merasa agak keki sendiri setelah mengucapkan kalimat di atas.

Aku menyempatkan melihat ke depan buat tak hilang fokus. Kemudian menoleh kembali. “Ayolah Nadia. Jangan diam saja.... jawab iya, atau apa kek, biar kakakmu ini bisa merasa lega.” Namun, tentu saja ekspresi yang ku berikan padanya, ekspresi senyum yang menurutku paling terbaik yang ku punya.

“Kak....” dia memanggil.

“Ya dek?”

“Kakak sudah janji kan, tidak akan melakukan hal yang sama lagi ke Nadia? Tidak akan mengatakan sesuatu yang bisa menciptakan sebuah harapan tinggi buat Nadia lagi kan?”

Fiuh....

Berat.

Amat sangat berat jika ku jawab ‘Iya’, padanya. Namun, aku juga tak kuasa untuk menolak, karena aku sungguh tak akan tega lagi menciptakan air mata pada sepasang mata meneduhkannya itu.

“Janji kak?” dia mengingatkan karena beberapa jenak, aku diam tak menjawab. Bahkan memberikan gesture sebagai bentuk jawaban tanpa kata, pun, tak ku lakukan.

“Kak Rendi harus berjanji pada Nadia. Jika kakak, tidak akan mengulanginya lagi.... karena tidak pantas bagi kakak melakukannya. Tak pantas bagi pria terhormat seperti kakak malah......” karena tak ingin mendengar lagi, maka aku menyela dengan cepat.

“Ya, kali ini, kamu bisa lega dek. Kali ini, saya bisa yakinkan diri ini, untuk mengikrarkan sebuah janji.... jika saya, tidak akan lagi untuk berbuat hal yang sama, atau mungkin saja, setelah hari ini, kan ku kubur dalam-dalam rasa ‘Special’ di dalam sana yang telah hadir, karena bertemu denganmu.” Ku ambil jeda, bahkan aku tak menoleh padanya. “Peganglah janji kakak ini, janji seorang pria yang tak akan pernah tega untuk mengingkarinya”

Setelah ku katakan janji tersebut padanya, aku menoleh. Dan kami sempat bersitatap beberapa jenak lamanya. Bahkan tanpa ku sadari, biar tak terjadi sebuah kejadian kecelakaan kecil karena kelalaianku dalam mengemudi, ku tepikan kendaraanku. Apalagi kondisi jalan juga tidaklah seramai jalan utama tadi, hingga memudahkanku untuk me-manuver kecil-kecilan ke posisi kiri, barusan.



Aku mengangguk. Yang entah maksudnya apa.

Dan pada akhirnya, dari sepasang mata meneduhkan milik wanita ini, mulai membentuk sebuah kerutan kecil-kecil di kedua sisinya, itu artinya, kini, Nadia sudah bisa tersenyum. Namun, karena kejadian ini, muncul gejolak dalam dadaku sendiri. Buah simalakama untukku, karena kami – sepasang mata meneduhkannya itu, ku tatap dari jarak sedekat ini – karena memang posisi kami berdekatan, hanya terpisahkan oleh consule box di tengah-tengah.

Ahhh....

Sial.... aku terpesona, lagi dan lagi. Sumpah.



“Kak....” Nadia bergumam saat tak ku alihkan tatapanku padanya. Rupanya dia menyadari dari caraku menatap barusan.

Jenak berikutnya, aku tersadar. Sampai-sampai helaan nafasku cukup kuat, sebagai bentuk pelampiasan atas perasaan sialan yang kembali mendera di dalam sana. Tak pantas, amat sangat tak pantas, jika ku ingkari janjiku yang barusan ku ikrarkan padanya, bahkan belum lewat 5 menit janji itu terucap, karena terpesona oleh cara dia menatapku dengan senyuman.

“Maafkan saya.” Hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku tak lagi membalas menatapnya.

“Seberat itukah untuk tidak mengingkari janji kakak?”

Aku bergeleng. “Tidak berat, dek”

“Kak, kan kakak sudah janji”

Aku mengangguk. “Ya. Dan tak akan pernah saya ingkari”

“Terima kasih kak. Terima kasih, karena sudah baik pada Nadia. Sudah mau mengerti pada Nadia”

“Kembali kasih, wahai Nadia Safira...” balasku. Pelan saja.

“Jadi.........” kini, wanita yang masih nyaman duduk di sisiku ini, menggantung. Aku terpancing, dan memberinya tatapan mengernyit padanya.

Sampai-sampai bibirku bergerak sendiri, tak menimbulkan suara, tapi bergerak seakan berbicara ‘Jadi apa, dek?’.

Nadia menarik nafas panjang-panjang, “Jadi.... sekarang, pulanglah kak. Pulanglah ke Jakarta, dan lupakan apa yang terjadi sejak kemarin.... ku mohon. Boleh kan kak?”

Ahhhh....

Berat kawan.

Berat rasanya untuk mengabulkan, tapi amat sangat berat lagi jika tak ku indahkan.

Pada akhirnya, hanya anggukan kepala ini saja yang memberinya jawaban atas keinginannya itu, lebih kepada sebuah permohonan padaku.

“Terima kasih sekali lagi....”

Aku sekali lagi mengangguk.



“Jadi....” kini, akulah yang mengatakan satu kata itu.

“Jadi apa kak?”

“Sebelum kakak mengantarkanmu ke tujuan, boleh kakak minta nomor rekening kamu?”

“Eh... buat apa kak?”

“Perlukah saya jawab?” balasku, tapi lembut. Bahkan ku buat senyum pada wajahku.

“Kalo Nadia menolak?”

“Maka detik ini, kan ku ingkari janjiku tadi padamu, dek”

“Kak.......?” dia malah senyum, senyuman manja dengan makna protes menatapku, membuatku merasa gemas padanya. Btw, tak perlu lagi ku jelaskan pada kalian ya, bagaimana mungkin aku mengetahui wajahnya sedang bersedih, menangis maupun sedang tersenyum. Aku yakin, kalian yang pernah berinteraksi dengan wanita yang berkhimar sepertinya, pasti paham jelas ekspresi apa saja yang tercipta di wajah wanita itu.

Ku beri ia senyuman kembali, sebagai bentuk, jika yang ku katakan barusan hanyalah sebuah bumbu candaan semata. Aku tak bersungguh-sungguh, meski aku bersungguh-sungguh kan melakukannya, jika ia menginginkan.

“Makanya berikan pada kakak nomor rekeningmu sekarang, tidak pake di tunda lagi.... oke?” Dia menarik nafas. Rasanya berat banget ya dek, buat sekedar memberikan nomor rekeningmu ke kakakmu ini? Aku bergumam dalam hati.

“Kakak mohon, hanya dengan cara seperti inilah, kakakmu bisa membantu, bisa menjalankan amanah dari almarhum abi.”

Aku melanjutkan, sebelum dia menyela, “Dan hanya dengan cara inilah, kakak akan selalu merasa lega ketika kamu, tidak berada dalam jangkauan pandangan kakak nantinya”



Nadia...

Kembali menatapku.

“Ku mohon....”

Dan pada akhirnya, kepalanya teranggukkan.

“Terima kasih dek. Terima kasih ya, karena yang terakhir ini, kamu tidak menolak”

“Na... Nadia yang har... harusnya terima ka... kasih kak” balasnya. Apakah dia gugup lagi? Ah entahlah. Aku berusaha untuk tidak menghadirkan perasaan yang sama seperti tadi, lagi di dalam sana. Berusaha untuk tenang, berusaha untuk tidak memikirkan.

“Tapi, bentar ya. Kalo Nadia sudah di rumah, karena Nadia lupa gak nyimpen nomor rekening.”

Aku menghela, “Ya udah, awas loh. Jangan sampai lupa ngirimin ke kakak”

“Iya kak, Nadia janji”

“Lantas... sekarang, kamu akan kakak antar kemana dek?”

“Seperti yang tadi Nadia katakan ke kakak. Pu... pulang ke rumah, boleh kan kak?” meski sakit, Cuma aku kali ini tidak menunjukkan reaksi berlebih lagi padanya. Aku hanya mengangguk di sertai senyuman penuh keikhlasan.

“Kamu ingin bertemu dengan suami, kan?” aku melanjutkan.

Giliran dia yang mengangguk.

“Kalo begitu, mari kita jalan.... tunjukkan pada kakak alamatnya ya”

“Hmm, kakak akan marah, jika Nadia meminta di antarkan ke terminal saja? Biar Nadia naik bus travel saja buat pulang ke Sukabumi....” cara dia menatap, kali ini, maknanya amat sangat jelas, jika kali ini, dia benar-benar ingin memungkasi kebersamaan kami.

Aku tak menolak.

“Baiklah.... kakak akan mengantarmu ke terminal”

“Ma... makasih kak”

“Kembali kasih, dek”

Karena tak ada lagi kejadian yang berarti, hanya kejadian – wanita itu mengatakan akan mengirim nomor rekeningnya pada pesan WA, kemudian, mulai ku jalankan kembali mobil ini menuju ke terminal yang ia maksud.

...

...

...



Setibanya di terminal.

Barulah perasaanku kembali tercampur aduk di dalam sana. Berat rasanya untuk melepaskan, namun, lebih berat lagi untuk menahannya pergi. Aku takut, sepasang mata yang teduh miliknya, kembali menumpahkan air bah dari dalam.

Ku parkir mobil di parkiran. Ku tolehkan wajah ini, “Akhirnya sudah sampai” gumamku, pelan. Amat sangat pelan.

Wanita itu mengangguk.

“Kak...” Nadia memanggil, tapi tak lagi menoleh menatapku. Tatapannya, lurus ke depan.

“Iya dek”

“Jangan pernah marah, apalagi membenci Nadia karena sikap Nadia ke kakak ya”

Aku menarik nafas dalam-dalam, “Tidak akan mungkin benci itu hadir, dek. Yang ada, malah merindu”

Giliran Nadia yang menarik nafas.

Berat…

Amat sangat berat, rasanya buat melepaskan. Tapi aku harus ikhlas melepaskannya sekarang juga.

Kami masih bertatapan.

“Kak…”

“Ya dek”

“Terima kasih ya”

“Kembali kasih, Nadia.”

“Bo... boleh Nadia pergi... sekarang?”

Ku tarik nafasku. Dalam. Amat sangat dalam.

Ku tatap matanya. Mata yang penuh keteduhan, tapi sarat akan kesedihan di sana. Apakah ia juga merasa amat sangat berat, terjadinya perpisahan? Aku bertanya-tanya.

“Kak.... Nadia mohon. Le... lepaskan Nadia” Pintanya. Terdengar begitu memilukan.

Setelah bertahan dengan gejolak dalam dada ini…

Secara perlahan, ku anggukan kepala ini, menandakan jika aku - telah secara ikhlas melepasnya untuk pergi sekarang.

“Baiklah Dek…” ujarku, meski bibir ini terasa bergetar menyebutkan kata tersebut, tapi aku harus bisa. Aku tak boleh menunjukkan padanya pertahanan yang tak ada artinya.

Ku ingin melepasnya dengan menunjukkan betapa aku benar-benar sudah ikhlas sekarang.

“Terima kasih, kak… terima kasih, sudah bisa melepas Nadia untuk kembali pulang....”

Aku senyum…

Senyum dalam duka di hati.

Setelah menarik nafas panjang, ku anggukkan kepala ini, dan ku tahan diri ini agar tak bertindak bodoh.

Aku, tak ingin memberinya kalimat-kalimat yang kan ia nilai sebagai bentuk memberinya harapan besar. Aku ingin, semua kembali seperti semestinya.

“Kalo begitu, Nadia pamit kak....”

Aku mengangguk, “Iya dek. Hati-hati.”

Tangannya terulur, meminta tanganku untuk ia salim. Dengan perasaan yang amat sangat tak menentu, aku memberikannya.

Wajah berkhimarnya, mulai mendekat pada punggung tangan ini. Kemudian, mulai menempel. Rasa-rasanya, ku ingin menggerakkan kepala untuk menggapai ubun-ubunnya. Tapi, hal itu masih berusaha ku tahan. Keinginan besar untuk sekedar mengecup ubun-ubunnya, berhasil ku tahan.

Ku hembuskan nafasku kembali. Sekali lagi, berat rasanya untuk perpisahan.

Tapi aku harus bisa. Dan harus mampu membiarkannya pergi.



Perlahan....

Kepalanya mulai menjauh dari punggung tanganku.

Tangannya pun, telah ia lepaskan.

“Nadia pamit ya kak.... Assalamualaikum wr... wb”

Dan pada akhirnya, dengan berat hati ku jawab salamnya, “Wa’alaikumsalam wr wb.”

Setelah itu, pintu mobil mulai membuka. Wanita itu yang melakukannya. Sambil membuka, tatapannya tak teralihkan dariku. Ku putuskan untuk ikut keluar dari mobil untuk sekedar melihat kepergiannya dari luar.



Kami kini, sudah berada di luar.

Aku melangkah mendekatinya, yang hanya berdiri diam di dekat pintu mobil setelah ia ikutan keluar. Begitu telah berdiri di hadapannya, ku sempatkan untuk mengambil nafas.

“Kak.... jangan tah... tahan Nadia lagi”

Aku mengangguk.

“Na... Nadia benar-benar harus pe... pergi sekarang” begitu ujarnya. Terdengar berat, terdengar agak menyimpan kepedihan dari nada yang ia ucapkan. Tapi aku tak membalas.

“Nadia t... tak tahu, a... apa pen... penyebab kakak seperti ini ke Na... Nadia. T... tapi Nadia bi... bisa merasakannya kak.” Nadia menjeda. “Na... Nadia juga be... berat buat pergi, jujur.” Dia menunduk.

“Tapi... Nadia harus pergi kak. Ha... harus kembali.”

“Dan untuk terakhir kalinya, Nadia ingin katakan, terima kasih kak.... terima kasih atas perasaan yang begitu besar pada Nadia. Sungguh, Na... Nadia bisa merasakannya se... sekarang. Nad... Nadia bisa mer... merasakan bagaimana pe... perasaan kakak sekarang. Saat ini....”

“Tapi.... Nadia tak punya kesanggupan untuk bertahan di sini kak. Jadi Nadia mohon, ikhlaskanlah Nadia pulang sekarang”

Sedih dan berat sekali rasanya....

Aku tak membalas semua ucapannya itu, karena yang ku lakukan sejak tadi, aku berusaha menahan agar sepasang mata ini, tidak melakukan tindakan bodoh dengan mengeluarkan air mata, dengan cara menengadahkan kepalaku ke atas.



Sudahlah…



Aku harus, benar-benar harus membiarkan ini semua berakhir.



Hingga.....

Suara isak samar terdengar di telingaku. “Hiks.... hiks.... kakkkkkakkk.... Nadiaaaaa gak mampu meninggalkan kakakkkk dengan kondisiii sepertiiii iniiii.....”

“Kakakkkkkshhhh jahatttttt hiksss.... hikssss!”

“Kakak jahaaaattttttt hikssss..... hikssss. Nadia tidak sanggup lagi”



Aku bahkan belum benar-benar menyadari apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba jenak berikutnya.....................



Bugh!



Ya Allah, Nadia Safira, kenapa engkau malah memeluk tubuhku sedemikian eratnya sekarang, di saat kita, nyaris saling mengikhlaskan untuk sebuah perpisahan.



Bersambung Chapter 12
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd