Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Sepenggal Kisah - Nadia Safira (NO SARA!)

Nice story , akankah bakalan ada cerita cinta segitiga antara mas anu dan kakak adik
 
Bimabet
CHAPTER 10
Siksaan Tak Bertepi



Sudah benarkah apa yang ku lakukan sekarang ini? Sudah benarkah, tindakan yang ku ambil karena mengikuti keinginan dalam hati saat ini? Lantas apa yang kan ku lakukan ketika sudah bertemu dengan Nadia? Mengajaknya sesegera mungkin pergi? Lalu, kan ku ajak kemana wanita itu pergi?



Sudahlah....




Aku tak ingin terlalu banyak berfikir.

Bertemu dengannya saat ini adalah langkah yang seharusnya memang ku ambil, karena membiarkan sendirian wanita yang tak bersalah itu di sini, sama saja seakan mencabik-cabik semua apa yang ada di dalam sana. Khususnya hati.

Tak butuh lama, aku pada akhirnya tiba di titik yang tadi sempat ku lihat dari shareloc pada applikasi whatsappku. Dan dari kejauhan, karena ini masih jam 9 pagi lewat, maka aku dapat dengan mudah melihat bahkan mengenal wanita yang tengah berdiri di pinggir jalan itu, lengkap kerudung dan khimar serta baju gamis lebar yang warnanya amat sangat senada. Warna kuning. Bukan kuning yang mencolok dan terang, melainkan kuningnya soft banget, serasi dengan sosoknya yang ahhh, sudahlah, aku sulit buat mengungkapkan.

Ku tepikan mobil pajero sportku ini, yang sangat setia menemaniku selama berada di sini.

Awalnya aku hanya ingin membuka kaca, namun nyatanya, tanpa menonaktifkan mesin, sambil membuka kaca setengah di bagian kemudi – takut terkunci dari dalam, karena pernah sekali punya pengalaman buruk seperti itu – aku lantas keluar dari mobil untuk menghampiri wanita itu.

Aku memasang wajah sehormat mungkin, serta senyum terbaikku sepagi ini saat sepasang mata sendu itu, yang hanya terlihat di bagian wajahnya, menatap padaku.

“Maafkan saya, jika terlambat tiba, dek” kalimat pertama yang terucap dariku, untuk kali pertemuan dengannya hari ini. Meski aku tahu, jika aku hanya menempuh tidak lebih dari 10 menit untuk bisa tiba di tempat ini.

Wanita itu menggeleng, “Gak a... apa-apa Pak”

“Pak lagi” aku bergumam pelan. Dia menatapku lagi.

Begitu dia ingin merespon gumaman pelanku, ku pungkasi dengan mengajaknya buat masuk ke mobil, “Yuk dek.... gak baik berlama-lama di pinggir jalan kayak gini,”

“Mau kemana kak?” tanyanya. Ada lega yang teramat di dalam sana, ketika kini, ia tak lagi memanggilku pak, sama seperti di awal tadi.

“Hmm, entahlah.... mungkin mencari Tasya, atau mungkin saja kamu pengen ngobrol dengan saya, sebelum kita memutuskan akan seperti apa nantinya” balasku padanya.

Nadia menarik nafas. Tidak terlalu panjang, karena tatapanku masih belum berpaling darinya. Masih menunjukkan ekspresi penuh harap, sebuah harapan jika ia, bisa menerima ajakanku untuk ikut bersamaku ke dalam mobil. Setelah ini, terserah dia, mau kemana dan akan seperti apa perpisahan kami. Setidaknya, mengobrol di dalam mobil jauh lebih baik daripada tetap bertahan untuk ngobrol seperti ini, di pinggir jalan, pula.

“Ku mohon, masuklah ke dalam mobil.... saya janji, tak akan membuatmu menyesal karena telah masuk ke mobil bersama saya.”

“Kakak...”

“Ya dek”

“Gak apa-apa jika Nadia masuk ke mobil?” jiah, dia malah bertanya. Padahal jelas-jelas di sini, akulah yang lebih dulu mengajaknya.

“Apa-apa jika kamu makin lama masuknya dek”

Dari sepasang mata itu, ada senyum sekiranya yang ku tebak.

Jenak berikutnya, anggukan kepala berkerudungnya, mengiringi senyum penuh kelegaan, di sertai tangan kiriku yang terulur buat membukakan pintu sebelah kiri, tentu saja di bagian depan. Tepat di sampingku nanti.

“Silahkan dek”

Dia mengangguk sekali lagi.

Menatapku. Membalas tatapanku, sembari mulai masuk ke dalam mobil. Ahhhh rasanya, feelnya memang syahdu sekali kawan. Hanya saling berNadiatap seperti ini saja, menghadirkan kegugupan.

Plug!

Setelah ia naik, setelah ia duduk dengan nyaman di sisi samping jok kemudi, maka dengan segera ku tutup pintu mobil. Tak perlu keras, yang penting cukup menutup dengan rapat. Setelahnya, aku berlari ke sisi kanan buat ikutan masuk ke dalam mobil.



...

...

...



Di dalam mobil, berjalan dengan laju lambat, sekitar 30 sampai 40an Km/jam saja, aku dan wanita yang duduk di sebelahku, hanya diam. Hanya menikmati iringan suara musik yang seakan menjadi backsound dalam acara diamnya kami berdua. Yang semakin memperkuat adalah, suara musik pun hanya samar saja. Karena volumenya memang sangatlah kecil.

Apa yang akan kalian harapkan sekarang ini? Apa yang ingin kalian baca, hemm?

Jangan terlalu berharap akan adanya kejadian yang aneh-aneh, loh yah. Karena itu tak akan, dan amat sangat tak mungkin terjadi. Jadi, saranku, jauhkan pemikiran aneh kalian itu, wahai para pembaca ceritaku ini.

Lantas, sekarang apa yang terjadi?

Tak ada….

Hanya suara deru mesin diesel serta beberapa kendaraan di luar yang samar-samar dari luar masuk ke dalam kabin Pajero Sport-ku ini. Karena sekarang, aku hanya sibuk mengemudi dan juga sibuk untuk mengontrol perasaanku, serta wanita yang kini duduk di sebelahku, juga duduk diam tanpa suara.

Yang ingin ku tanyakan sekarang ini, kenapa ia harus diam?

Apa yang ia pikirkan, apakah sama seperti yang ku pikirkan juga?

Secara perlahan, ku coba melihatnya dengan memakai ekor mata. Wanita itu, Nadia Safira, hanya duduk dengan pandangan lurus ke depan. Benar-benar sepi melempem jadinya.

Ahhhh, aku benci… amat sangat benci situasi seperti ini.

Semakin jauh mobil ini berjalan, semakin keras pula detak dan irama jantungku di dalam sana. Jangan tanyakan alasannya, karena aku juga tak mengetahuinya. Tapi anehnya, aku seakan tersihir dengan aroma tubuh wanita ini. Padahal aku yakin, dia tidak menggunakan parfum, juga tidak bersolek ria tadi sebelum ikut bersamaku. Yah aku yakin akan hal itu.

Saat ini, dan sekarang ini - isi kepalaku di penuhi dengan pertanyaan demi pertanyaan, yang bahkan aku tak dapat menjawabnya sendiri. Apakah aku harus bertanya langsung padanya?

Arghhh! Benci banget…

Aku benci situasi sekarang ini.


Situasi sekarang ini, sama seperti situasi – ketika aku bercerita, share sebuah kisah ke teman-teman, tapi kalian semua malah hanya diam. Hanya jadi Silent Rider saja, tanpa memberikan komentar berupa saran atau mungkin saja kritikan di setiap kisah yang ku jabarkan pada kalian.



Oke Forget it...


Hanya bercanda.



“Dek....” setelah berhasil – sedikit saja ku kontrol rasa di dalam sana, akhirnya aku memanggilnya. Karena ada beberapa jenak lamanya kami hanya diam. Benar-benar diam.

Nadia menoleh.

“Kalo kamu diam terus, dan saya juga tak tahu harus mengarahkan kemana mobil ini, mungkin saja, kamu, saya – malah akan berlanjut terus ke Jakarta, loh!” sambil berucap, tentu saja ku berikan senyum padanya. Sebagai bentuk, jika ucapanku ini hanyalah sebagai pembuka di sertai bumbu candaan.

“Nadia minta maaf” gumamnya. “Na... Nadia tadi sudah lancang-“ ku sela seera, karena aku tahu kemana arah ucapannya itu. Dan juga, sebagai pengingat bagiku, tentang tujuan awalnya – yang sebenarnya dari wanita itu, harus ikhlas bertemu denganku.

“Dek... kakak sudah bilang, bukan, jika kakak akan membantumu sebisa kakak mampu. Dan masalah niatmu yang meminjam, kakak tidak akan menggubrisnya,” aku sengaja menggantung, untuk sekedar mengambil nafas. Namun, jenak berikutnya, aku tercekat, karena rupanya – yang ku tebak, jika ucapanku itu seolah-olah sebagai bentuk penolakan dariku, itu artinya, dia menebak jika aku tak akan meminjamkannya sejumlah dana yang ia butuhkan.

Dan karena itulah, dia menunduk. Menunduk penuh sesal.

“Astagfirullah, maafkan kakak, sepertinya kamu salah mengira maksud ucapan kakak yang terakhir. Sungguh, maksud kakak itu, kakak tidak akan menggubris permohonan kamu buat meminjam, itu artinya, berapapun yang kamu butuhkan, selama itu masih bisa tercover dari duit di rekening kakak, maka kakak akan berikan padamu. Berapapun itu.... tanpa embel-embel ‘pinjam’.... semoga kamu memahami maksud saya ini, dek”

Akhirnya....

Nadia mengangkat wajahnya kembali.

Dia sekali lagi memberikan tatapan sendu padaku.

“Meski tujuan Nadia di awal untuk segera pulang ke rumah, pulang untuk bertemu dengan suami, dan nanti dari suamilah, ketika Nadia mendapat izin untuk pergi mencari Tasya baru Nadia akan mulai pergi mencarinya?” ujarnya. Sangat cepat, bahkan aku sendiri sampai menahan nafas mendengarnya.

Agak gimana sih rasanya di dalam sana, Cuma aku tak akan mungkin menunjukkan – secuil kekecewaan di dalam sana. Bukankah, niatku memang sudah bulat untuk membantunya?

“Semua keputusan ada di kamu, kakak hanya ingin membantu” ku tolehkan sekali lagi wajahku, buat menatapnya. Rupanya, wanita itu masih tak berpaling. Masih menatapku.

“Kakak gak marah?”

“He? Marah? Marah karena?”

“Karena Nadia....” dia menunduk. Kali ini, tak lagi menatapku. “... karena Nadia menyebut suami, karena niat Nadia yang ingin pulang ke rumah.”

“Sejujurnya.... jika saya memang ingin mengikuti kata hati di dalam sana, ingin melarangmu. Ingin menjalankan amanah dari abi, dan ingin menunjukkan padamu, jikalau kalian, sebetulnya dalam agama sudah resmi tak berstatus sebagai suami istri lagi.” Ku ambil jeda. Untuk sekedar mengambil nafas kembali. “Tapi... percayalah, saya tak ingin terlalu jauh mengusik pribadi kamu, Nadia. Saya minta maaf semalam, saya terlalu terbawa rasa dalam diri ini, makanya, saya agak lancang mengatakan banyak hal padamu, sekali lagi, maafkan saya, Nadia”

Setelah mengatakan kalimat sepanjang itu, Nadia mengangkat wajahnya. Dari ekor mata ini, ku sadari jika ia sedang ‘kembali’ menatapku. Aku menoleh, kami saling berNadiatap. Tapi segera ku alihkan, karena aku harus tetap fokus pada jalan di depan. Lagi menyetir, kawan.

“Bo... boleh Nadia bertanya?”

“Selama saya mampu menjawab, maka akan saya jawab”

“Meski itu hal yang sangat pribadi?” dia kembali bertanya. Waduh, agak deg-deg an nih sekarang.

“Ya, jika memang itu bertentangan dengan hati saya, maka saya akan memilih tidak menjawabnya”

Dia diam lagi.

Tak lagi menatapku dari samping.

“Kenapa semalam, kakak mengatakan itu semua ke Nadia? Apakah Nadia boleh tahu alasannya?”

Jawab....

Tidak....

Jawab....

Tidak....


“Kalo memang bertentangan dengan kakak, maka gak apa-apa jika kakak tidak menjawabnya” Mendengar itu, memaksaku untuk menoleh. Menatapnya dari samping, karena kepala berkerudung itu masih menatap ke jalan.

“Yang ingin kakak tanyakan, percayakah kamu dengan kalimat ‘Cinta Pada Pandangan Pertama’?”

Dia menggeleng.

Eh.... busyet.

Malah jadi bingung mau ngomong apa lagi, kalo dia, sudah memberikan respon seperti itu.

“Ya sudah, case close”

“Tidak mungkin, kakak mencintai wanita hanya dari pertamakali bertemu.... Nadia sulit untuk mempercayai hal itu”

Aku menarik nafas dalam-dalam.

“Dan tak mungkin, kakak merasakan hal yang sama seperti kalimat tersebut, bukan?” dia malah kembali bertanya padaku.

“Bo... boleh ganti topik, kah?” sial, kenapa aku malah kesannya seperti ingin kabur dari kenyataan ya?

“Jika memang kakak menginginkan, silahkan”

“Lantas apa yang mau kita bahas lagi?”

Dia menoleh akhirnya.

Menatapku lagi, dan lagi...

“Boleh Nadia bertanya lagi?”

“Silahkan dek. Mau nanya terus menerus pun, silahkan”

“Kakak tidak sedang menggoda seorang wanita, kan?”

Astagaaaaaa.....

Aku sampai tercekat, bingung, benar-benar bingung buat menjawabnya.

“Meski itu sesuatu yang kurang sopan, yang telah saya lakukan, tapi baiklah.... saya akan jawab.... saya sedang tidak menggodamu. Karena kamu, wanita yang tak selayaknya di goda, tapi di jaga, di hormati.... sungguh” Karena, menurutku sudah sejauh ini. Jadi, memang harus di tuntaskan. Karena menyimpannya hanya akan menjadi beban dalam dada. “Dan.... tanpa sadar, semua keinginan itu pun telah tercipta di dalam hati....”

“Ma… maksud kakak?”

“Saya… dari awal bertemu denganmu, sudah merasakan hal lain di dalam dada ini”

“Tapi Nadia gak pantas untuk di sayangi, kak”

Aku menatapnya.

Benar-benar menatapnya.

“Jika kamu mengizinkan, mungkin saja, dari rasa special di dalam dada kakak, akan berubah menjadi sayang.... mungkin saja sebentuk cinta di awal yang sampai sekarang, kakak masih merasa bingung.”

“Bingung, karena memang tak pantas Nadia mendapatkan semua itu.” Balasnya.

“Amat sangat pantas, buat di cintai.... Nadia, adalah wanita yang pantas untuk mendapatkan cinta yang sesungguhnya. Meski, bukan dari saya, mungkin saja dari pria lain yang tepat dan cocok untukmu, dek”

Setelah itu, aku menarik nafas....

Rupanya, Nadia melakukan hal yang sama denganku.

Jadi, seakan backsound musik. Helaan nafas kami terdengar amat sangat merdu nan syahdu.

“Dan... beruntunglah saya jika memang, sayalah yang mendapatkan kesempatan special itu”

“Ma.. maksud kakak?” satu seruan dan terbata-bata dari Nadia, mengharuskanku menoleh padanya.

“Yah, saya rasa kamu mengerti maksud saya” balasku.

Dia mengangguk.



“Tapi... tidak mungkin itu terjadi, karena Nadia sudah bersuami, kak. Nadia juga tidak pantas untuk mendapatkan semua itu dari kakak.”

Again.

Dia kembali mengingatkanku.

“Tak ada yang mustahil di dunia ini dek. Bahkan untuk menjadikanmu pasangan hidupku di kemudian hari, jika sang khaliq berkehendak, maka terjadilah...”



Nadia terdiam kembali....

Benar-benar diam, dan keheningan terjadi.

Pandangannya ke bawah. Kepalanya tertunduk.

Hingga tak berapa lama, terdengar nafasnya yang berat dan tertahan. Nafas yang langsung ku tebak, jika itu adalah gejolak batin yang menyiksa.

“Kak....”

Aku tak balas. Hanya menoleh lagi.

“Nadia mohon, jangan giniin Nadia.... Nadia mohon” dia menunduk.

“Beginiin.... maksudnya bagaimana, dek?” aku mencoba meminta penjelasan.

“Jangan.... jangan memberikan Nadia harapan yang terlalu jauh.....” pelan, amat sangat pelan suara wanita itu mulai berubah. Mulai terdengar isak yang tertahan di sana. “Nadia takut berdosa.... “

Dan jenak berikutnya....

Tangisan itu nyata terdengar.

“Hiks.... hiks.... Nadia takut, pada akhirnya akan menimbulkan fitnah dalam hati. Nadia takut jika harapan demi harapan yang kakak berikan ke Nadia menjadi boomerang dalam hidup Nadia di kemudian hari.... hiks.... jadi Nadia mohon, berhentilah memberi harapan setinggi itu, yang pada akhirnya, justru akan membuat Nadia malah terperosot jatuh ke dalam kubangan dosa yang tak bertepi”

“Hiks.... Nadia takut kak.... hiks.... hiks.... Nadia takut, jika nantinya, Nadia malah yang akan hancur dan akan terpuruk...... ya Allah, maafkan hambamu ini..... hiks” sampai-sampai, dia menengadahkan kepalanya ke atas.



Ya Allah....



Apa yang telah hamba lakukan barusan, pada wanita bak bidadari di sampingku ini?

Kenapa tangisannya kini mulai terdengar memilukan?



Bersambung Chapter 11
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd