Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Sepenggal Kisah - Nadia Safira (NO SARA!)

CHAPTER 9
Awal Sebuah Kisah



Tanyakan padaku kawan saat ini, apa yang kini ku rasakan setelah tadi – beberapa jenak yang lalu, ku dapatkan jawaban yang ‘mungkin’ belum pasti, tapi seperti percaya dengan yang dominasi orang lakukan, menanyakan lewat angin, lewat hati, apakah bidadari yang telah mengisi hati di dalam sana pun merasakan rasa yang sama, ketika ia ‘berbalik’ lalu melempar senyum saat telah ingin meninggalkan. Maka kan ku jawab, “Lega”.

Yah, ada kelegaan yang teramat sangat di dalam sana.

Lucu ya.

Belum mendapatkan jawaban pasti, tapi mengapa aku merasa kelegaan yang begitu menjadi-jadi di dalam sana. Bagaimana jika jawaban itu langsung di perdengarkan melalui bibir mungilnya yang terhalangi selembar khimarnya itu ya?

Wah, aku tak mampu untuk mendeskripsikannya lagi, apa yang bakal terjadi, ku rasakan ketika hal itu bener terjadi nantinya.

Karena merasa lega dan telah melupakan sesal yang ada, maka ku pungkasi acara duduk dalam sepiku di sini, dan segera berjalan menuju ke mobil yang ku parkir di depan sana.

Well! Apa yang kan ku ceritakan pada kalian lagi ya? Sepertinya tak ada. Karena kini, yang terjadi aku benar-benar pergi dari rumah duka, bukan pulang ke Jakarta melainkan pulang ke hotel tempatku menginap. Aku belum ingin pulang ke Jakarta. Karena ku yakin, amat sangat yakin jika Nadia, jika pihak keluarga almarhum masih membutuhkan keberadaanku di tempat ini.



Maka ku skip saja kejadian, di mulai dari ku tinggalkan rumah duka, berkendara di jalan yang sepi, sesepi perasaan ini yang merasa seperti kehilangan, menuju ke hotel Hilton.

Bukan hanya itu saja, aku yang tentu saja tak adalagi keinginan untuk mengulang kejadian ‘Semalam’, dengan mencari kembang bunga parahyangan, maka keputusan untuk segera tidur adalah amat sangat jauh lebih baik ku lakukan.

Jadi yah....

Setelah bersih-bersih di kamar mandi, maka ku pungkasi acara lamunan semuku, mengingat kejadian – di kamar dan waktu yang sama kemarin, bersama Anastasya.

Fiuh....

Tasya, dimanakah engkau berada sekarang dek? Tahukah kamu, jika kamu, kita, adalah sumber masalah yang terjadi hari ini. Apakah engkau sama sekali tak ada rasa, tak ada pemikiran untuk kembali, untuk sekedar melihat kakakmu yang kini, hanya sendirian karena di tinggal abimu pergi?

Mungkin, kan ku cari keberadaan Tasya di saat semua urusan di sini telah selesai dan aku kembali ke Jakarta. Jadi, selamat malam wahai para penghuni dunia yang fana ini, izinkan aku, Rendi Widjaja untuk beristirahat malam ini dari riuh dan gemuruhnya perasaan di dalam dada.




===========================





Aku terjaga dari tidur nyenyakku, ketika suara telfon masuk pada ponsel Iphone keluaran terbaruku ini, yang tentu saja hanya segelintir orang saja yang tahu nomor ini, karena buat umum, biasanya aku berikan nomor yang ada pada ponsel androidku yang satunya lagi. Jadi tentu aku langsung paham jika iphone ku yang berdering itu tandanya ada hal penting – tentu saja urusan di kantor. Urusan perusahaan yang baru ku tinggalkan sehari saja di Jakarta sana.

Oh selain urusan kantor, orang terdekatku pun tahu nomor prime ku ini. Salah satunya si Yono. Cuma sahabatku itu lebih banyak menghubungiku di nomor yang aku sematkan pada ponsel android.

Benar saja....

Rasti Widjaja, adik kandungku yang juga sekaligus menjabat sebagai CFTO – Chief Finance, Tax, Officer di kantor yang lagi menghubungi ponselku.

Baru bangun, belum ngapa-ngapain, bahkan belum membasuh muka, aku lantas menjawab panggilan telfon dari Rasti, karena biasanya dia gak akan berhenti menelfon, karena dialah satu-satunya yang amat sangat memahami kebiasaanku selama ini, bahkan dia juga paham kesibukanku selama ini.

“Ya Rasti”

“Assalamualaikum, Kak... kebiasaan gak ngasih salam pas jawab telfon”

“Hehe lupa. Wa’alaikumsalam, gimana dek?” Tepok jidat!

“Kok email dari semalam belum di balas-balas” aku menggeleng. Rupanya dia membutuhkan respon email.

“Email tentang? Ada banyak email masuk sih, Cuma... nanti kakak cek, setelah kakak selesai mandi”

“Bisa sekarang gak? Resti lagi pengen clearkan semuanya, masalahnya internal Tax udah mau ajukan ke pihak perpajakan hari ini”

“Ohh ya udah, kakak segera approve aja via email”

“Woke...”

Rupanya email tentang pengajuan approval pembayaran Tax pajak perusahaanku, yang juga sudah ku percayakan – yang mengerjakannya adalah Rasti bersama tim.

Karena tak butuh pengelolaan data, jadi aku cukup membuka ponsel, membuka applikasi email, mencari email yang di maksud yang tak membutuhkan effort lebih, pada akhirnya email dari adikku itu pun ku temukan.

Aku cukup membalasnya, Approve, silahkan di jalankan.

Done....

Aku mengambil screenshoot email balasan dariku, dan ku kirimkan sekalian via Whatsapp kepada Rasti.

Aku tak perlu menunggu balasan darinya, maka ku letakkan begitu saja ponselku dan memutuskan untuk segera beranjak ke kamar mandi.

Namun, begitu baru melangkah ponselku kembali berdering. Masih ponsel yang sama, itu artinya masih ada urusan pekerjaan yang harus ku selesaikan sebelum benar-benar ku pungkasi semuanya dan memutuskan untuk mandi. Aku hanya menggeleng singkat, dan meraih saja ponselku tanpa mengurungkan niat buat ke kamar mandi.

Sambil berjalan, aku melihat pada layar ponsel iphoneku ini, rupanya ada telfon masuk yang masih saja berdering untuk kali kedua. Yang anehnya, telfon masuk tersebut dari nomor yang tak terdaftar di contact ponsel. Hmm, siapa yang menelfon ya? Aku membatin, dan siapa yang dengan lancang memberikan nomor primeku ke orang lain tanpa izin dariku?

Awalnya ku abaikan. Tapi tetap saja mengganggu konsentrasi, karena ponselku masih saja berdering.

Apakah aku type orang yang sepenasaran itu? Tentu tidak, kawan. Kebiasaan yang menunggu konfirmasi dari pesan atau whatsapp mungkin, apabila ada nomor baru yang belum terdaftar di contact ponselku, barulah kan ku respon atau mungkin langsung melakukan telfon balik dengan memberi alasan tak sempat mendengar atau mungkin memiliki kesibukan lain.

Dan hal itu tak akan pernah berubah.

Jenak berikutnya, ponselku telah berhenti berdering. Berarti, aku sisa menunggu pesan masuk saja.

Ya sudahlah....

Daripada menunggu tanpa kepastian, ada baiknya aku sesegera mungkin buat mandi, karena aku takut ada hal dadakan yang membutuhkan kehadiranku secepatnya, namun aku masih belum siap-siap. Apalagi pagi ini, yang waktu masih menunjukkan pukul 8 pagi, aku harus meniatkan untuk sekedar mampir di rumah almarhum Pak Sardi. Entah, apa tujuanku ke sana, aku belum memikirkan lebih jauh.

...

...

...

Hanya membutuhkan waktu tak sampai setengah jam, aku telah siap. Berdiri di hadapan cermin dalam kamar, mengenakan kaos berkerah sejenis polo shirt, jeans slim, tak lupa smartwatch keluaran terbaru dari Apple Product yang jenis ‘Ultra’, ku lingkarkan pada lengan kananku. Oh ia, aku tidak kidal, tapi mungkin faktor terbiasa mengenakan jam pada lengan kanan saja. Ya sudahlah, forget it, gak penting juga di bahas lebih lanjut. Tak lupa menyemprotkan parfum pada beberapa titik, maka semuanya telah siap. Tertinggal hanya tinggal mengenakan sepatu saja.

Hari ini adalah hari terakhirku berada di hotel ini, karena memang sebelumnya aku hanya membooking 2 malam saja. Itu artinya hari ini, nanti jam 12 lewat waktunya check out. Tapi aku tak ada niat untuk menunggu sampai jam segitu, alhasil, aku pun telah mempersiapkan semuanya untuk melakukan check out di hotel sekarang juga.

Urusan nanti....

Biarlah ku pikirkan selanjutnya.

Setelah semuanya beres, barulah kini giliran ponselku yang menjadi perhatian. Ku raih ponsel yang ku letakkan tadi di samping pemanas air. Perhatianku tertuju pada layar yang on di saat ku raih. Dari layar yang masih terlock itu, menunjukkan adanya pesan whatsapp yang masuk. Tinggal mengarahkan saja ke depan wajah, maka ponsel secara otomatis terunlock.

Pesan dari Yono....

Hmm....

Aku membukanya.

“Bro... maaf saya dan keluarga langsung cabut Jakarta ya hari ini, tapi tenang saja, tadi aku sudah pamitan ke pihak keluarga Pak Sardi, jika nanti, mungkin di malam ke 7 jika memang di buatkan acara takziah maka aku janji akan hadir kembali. Mungkin tak lagi membawa serta keluarga, mungkin hanya aku aja yang datang ke sini....” pesan pertama yang cukup panjang.

“Oh iya, tadi aku udah ngasih nomormu ke Nadia ya.” Aku mengernyit. Nomor yang mana yang Yono kasih?

“Sekali lagi jangan lupa pesanku semalam ya, jangan bertindak jika tak ingin terjadi masalah nantinya. See you in Jekardah lagi, bro.”

Setelah membaca pesan terakhirnya, aku sedikit tertegun. Sedikit menghelakan nafas ini, yang tiba-tiba saja terasa berat. Aku tak yakin jika aku tak akan bertindak nantinya, kawan. Aku membatin. Sedikit membantah keinginan, lebih ke pesan dari sahabatku itu.

Sebelum ku tinggalkan kamar, aku menyempatkan membalas pesan dari Yono itu. “Oke bro.... sampai bertemu di Jakarta. Kalo gak ada halangan, saya juga akan balik hari ini.”

Tak ada balasan. Mungkin dia lagi berkemudi menuju Bandung.



Singkat cerita....



Beres sudah proses check out hotel. Aku pun melangkah menuju ke luar. Berjalan menuju ke mobil yang ku parkir tak jauh dari pintu lobby ini.

Begitu telah duduk di jok kemudi, begitu baru selesai ku nyalakan mesinnya, menyetel AC kembali, ponselku kembali membunyikan notifikasi pesan masuk. Dan dari bunyinya, langsung ku sadari jika pesan tersebut masuk pada nomor primeku.

Yah kalo bukan urusan pekerjaan, paling balasan pesan dari Yono sahabatku.

Begitu aku meraih ponsel.

Begitu ku on kan layarnya.



Degh!



“Assalamualaikum Pak Rendi. Mohon maaf jika mengganggu, ini Nadia Pak. Anak Pak Sardi. Apakah Nadia bisa menelfon bapak? Sekali lagi mohon maaf jika Nadia lancang....”


Ya Allah. Mimpi apa aku semalam.

Itu....

Itu pesan Whatsapp dari sosok yang sampai sekarang, sosoknya masih saja menari-nari dalam pikiran ini. Sosok yang tak semestinya ku berikan perasaan special, sosok yang seharusnya amat sangat ku hormati.

Jangan tanyakan bagaimana perasaanku sekarang ini. Bagaimana jantungku yang berdebar-debar, seperti seorang pemuda yang mendapatkan pesan dari sang gadis incarannya. Fiuhhh....

Sampai-sampai, jariku agak gemetar menyentuh layar untuk sekedar melihat foto profil yang tersemat di sana.

Hanya sebuah foto yang menunjukkan bagian mata.

Mata yang indah.

Mata yang sendu tapi memiliki keteduhan yang teramat sangat.

“Maafkan Nadia yang sudah lancang mengirimi pesan ke bapak. Maafkan Nadia karena lancang menghubungi nomor bapak tadi.”

Jenak berikutnya, setelah adanya pesan masuk susulan dari nomor yang sama, saat itu juga ku sadari rupanya, ia telah mengetahui jika pesannya telah ku baca. Ahh Nadia. Bukan aku tak ingin membalas, tapi, memang efek dari pesan pertama darinya itu sungguh teramat sangat mengejutkan. Lihat saja efek yang terjadi padaku.

Tanpa berlama-lama, segera saja ku hubungi nomornya dengan menggunakan whatsapp call.



Selama berdering, selama itu juga aku menahan nafas.

Hanya 3 kali berdering, kemudian terdengar di seberang sana, suara yang merdu. Suara seorang wanita yang memberi salam di awal. “Assalamualaikum, wr wb.”

“Wa’alaikumsalam, Nadia... maaf. Tadi saya sedang mandi, jadi tidak mendengar jika ada telfon masuk” maafkan aku, jika sudah membohongimu, dek. Aku membatin.

“Maafkan Nadia pak. Nadia tanpa izin sudah menelfon bapak, karena Nadia dapat nomor bapak dari Pak Yono pagi tadi”

“Gak masalah dek. Amat sangat tidak masalah....” pungkasku secepatnya, kemudian aku melanjutkan, “Ada apa Nadia? Kebetulan saya juga ingin mampir ke rumah sebelum kembali ke Jakarta”

“Pa... Pak Rendi sudah mau balik Jakarta?”

Ups! Wait....

Aku terdiam untuk sesaat. Apakah aku telah salah ngomong? Atau hanya perasaanku saja yang terlalu berlebihan?

“Iya Nadia. Karena saya tidak bisa meninggalkan terlalu lama pekerjaan di sana” sekali lagi, maafkan aku karena telah membohongimu, dek.

“Ya... ya sudah pak. Nadia minta maaf”

“Maaf buat apa dek? Kamu tidak salah apapun di sini...” ku ambil jeda, untuk sekedar menarik nafas, “Ada apa? Kalo mau ngobrol ada baiknya bertemu langsung aja, ini kebetulan saya sudah mau ke rumah”

“Nadia.... bo... boleh mi.... minta tolong?” suaranya makin kesini makin terpatah-patah. Terdengar bagaimana gugupnya bidadari berkerudung di seberang sana, berbicara denganku saat ini.

“Dengan segenap hati, saya akan menolongmu apapun itu, selama saya mampu”

Terdengar tarikan nafas panjang darinya.

“Se... semalam, Na... nadia di desak o...oleh pihak keluarga bu... buat mencari ke... keberadaan adik Nad... nadia pak. Tapi....”

“Astagfirullah, saya juga sampai lupa. Maafkan saya, dek” aku mengambil jeda, “Lalu, bagaimana rencana kamu?”

“Rencana Nadia..... jikalau bapak memang ingin membantu, Na... Nadia pengen me... meminjam uang ke... ke bapak bu... buat ongkos untuk mencari adik Nadia. Itu... itupun jika bapak berkenan.... ma...maafkan Nadia karena sudah... sudah lancang pak”

“Astagfirullah.... dek. Saya sudah berjanji padamu, pada abi. Jika saya akan membantu selama saya mampu.”

“Ta... tapi a... apakah bapak ma... mau meminjamkan ua... uang ke Nadia?”

“Kapan rencana kamu ingin mulai mencari Tasya?”

“Ha... hari ini sih pak”

“Bukankah abi baru saja pergi kemarin, kenapa kamu sudah ingin meninggalkan rumah sekarang?”

“Maafkan Nadia Pak... ini, ini Nadia juga sudah tidak di rumah. Nadia hanya orang lain, Nadia merasa memang ini sudah menjadi tanggung jawab Nadia buat sesegera mungkin mencari keberadaan Tasya, Pak”

“Astagaaaa Nad. Kenapa sih pihak keluarga tak mikir dulu sebelum nyuruh ka-“ Nadia tiba-tiba menyela.

“Ini salah Nadia Pak. Ini salah Nadia”

“Iya tapi....”

“Terima kasih andai bapak bisa membantu Nadia.”

“Saya pasti akan membantu kamu.... sekarang kamu dimana, biarkan saya bertemu denganmu dulu.”

“Tapi Pak?”

“Gak ada tapi-tapian.... jangan beranjak dari posisi kamu sekarang, jika memang, engkau masih menganggap saya ada untuk kalian.”

“Pak...”

“Nadia.... jangan buat saya menyesal, karena meninggalkanmu seorang diri tanpa sempat melihatmu sebelum saya kembali ke Jakarta. Jadi ku mohon, biarkan saya bertemu denganmu sekali lagi sebelum saya kembali pulang.... jadi, sekarang kamu lagi dimana. Katakan ke kakak, dek.”

Ada jeda beberapa jenak lamanya, setelah ku selesaikan ucapanku itu. Bahkan wanita di seberang sana, terdiam tanpa kata.

“Dek...”

“Nadia...” aku memanggil dua kali.

“I... iya Pak”

“Katakan.... posisi kamu dimana sekarang?”

“I... iy... iya kak.” Aku tersenyum amat sangat lega, ketika aku mendengar, wanita itu tak lagi memanggilku pak, melainkan kak.

“Kamu tahu cara shareloc posisi kamu, kan?”

“Ta... tahu kak”

“Ya udah, kakak tunggu sekarang.... Assalamualaikum wr wb”

“Wa’alaikumsalam, wr wb.....”




Sambungan telfon terputus.



Fiuh....

Menanti hanya beberapa detik saja, rasanya seperti ratusan tahun lamanya. Katakanlah aku terlalu lebay dalam mengemukakan apa yang ku rasakan sekarang ini. Tapi, nyatanya memang aku tak kuasa untuk menunggu pesan baru darinya, sebuah pesan share location tempat dimana Nadia berada saat ini.



Hingga.....



Ting!


Ponselku pun menunjukkan pesan baru, dari nomor yang saat ini masih terbuka di layar obrolan WhatsApp. Sebuah pesan yang memang amat sangat ku nantikan.

Tanpa berlama-lama, segera ku jalankan mobil menuju ke titik lokasi yang tanpa menggunakan applikasi maps, aku sudah tahu kemana kan ku arahkan mobil ini.




Bersambung Chapter 10
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd