Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Sepenggal Kisah - Nadia Safira (NO SARA!)

Bimabet
Hasek, mantul hu. Biasanya setelah bendungan air matanya jebol begini bendungan yang satunya bakal lebih parah hu mancurnya. Wkwk.
 
CHAPTER 8
Sesal Yang Terlupakan



Sejujurnya aku menyesal karena telah membiarkan wanita berkerudung hitam yang duduk di dekatku ini sampai menangis karena ucapanku sebagai bentuk ungkapan yang secara tak langsung padanya. Ungkapan jika kini, dalam hati ini – telah terukir sebuah sosok yang masih samar, masih mungil – yang nyaris menyerupainya. Sesosok bidadari berkerudung yang memiliki tatapan yang penuh keteduhan. Yang pada akhirnya ku sadari, jika hal itu sama artinya sebagai perasaan yang mungkin telah masuk ke fase spesial. ‘Mungkin’.

Tapi semua sudah terjadi. Sudah ku ungkapkan juga padanya jika aku tak ingin mengikrarkan sebuah janji baru untuknya, karena aku sendiri takut jika tak mampu menepatinya di kemudian hari.

Lantas....

Apa yang ku lakukan di saat wanita itu menangis, lalu berganti beberapa kali berusaha menenangkan diri, yang semuanya – tampak jelas di hadapanku?

Maka kan ku jawab, ‘hanya diam’. Benar-benar diam sambil menatapnya.

Aku tak mungkin melakukan tindakan dengan mendekatinya, lalu menyentuhnya, dan menyeka, mengusap wajahnya, menghentikan laju air matanya, bukan? Karena jika ku lakukan hal itu, maka aku kan di anggap olehnya sebagai pria yang tak sopan, pria yang kurang ajar dan memanfaatkan situasi.

Sebuah pertanyaan tiba-tiba membisik. Apakah aku mulai menyukai wanita ini? Hmm, kalo boleh aku jujur, aku juga sungguh masih sulit buat menjawabnya. Karena aku tidak tahu pasti, perasaan apa yang kini muncul di dalam sana. Katakanlah aku mungkin menyukainya, tapi atas dasar apa aku menyukainya? Bukankah aku belum mengetahui tentangnya, belum melihat bagaimana rupa parasnya yang tersembunyi di balik khimarnya. Apakah kalimat “Cinta pada pandangan pertama” itu nyata adanya?

Entahlah. Aku juga masih belum percaya hal itu. Karena cinta itu timbul karena seringnya bersama. Tolong koreksi jika aku salah.

Lah aku? Bersama dia saja baru sekarang, yang kemarin mungkin hanya sekedar pertemuan biasa, yang memang biasa terjadi di kehidupanku maupun kehidupan-kehidupan lainnya.



Aku tersadar dari lamunan recehku, di saat wanita itu benar-benar berhasil menghentikan tangisnya. Kini, wajah berkihmar itu kembali menatapku.

Menatap amat sangat dalam.

“Pak Rendi... pulanglah,”

Aku menarik nafas. Setelah ku nanti beberapa saat lamanya, wanita itu menghentikan tangis, malah kalimat pertama yang terlontar dari bibir mungilnya di dalam sana, hanya seperti itu?

“Pulanglah Pak. Jangan buat Nadia menyesal karena telah mengenal bapak.”

Sakit sih.

Aku sekali lagi menarik nafas. Baiklah, mungkin kini, ia sedang di landa keresahan. Aku tak begitu paham makna dari tatapannya itu. Apakah dia sedang marah? Sedang sedih, atau sedang baik-baik saja?

“Maafkan saya, jika saya sempat membuatmu bersedih tadi” gumamku tulus. Benar-benar tulus.

“Gak apa-apa pak. Nadia yang salah....”

Aku menggeleng. “Kamu tak salah apa-apa disini, dek.” Ku ambil jedah sesaat, menarik nafas, menghembuskannya kembali. Lalu, ku lanjutkan kembali ucapanku yang menggantung, “Salahnya hanyalah, penempatan perasaan di dalam sana yang tak sengaja, datang tiba-tiba mengganggu”



Sesal....

Ahh, kenapa aku bisa mengucapkan kalimat seperti itu lagi sih?



Setelah aku merasakan sesal yang mendalam, aku pun tersadar – jika wanita itu, kini menatapku. Menatap dengan tatapan yang sekali lagi sulit buat ku ungkapkan maknanya pada kalian.

“Maaf...” hanya satu kata itu saja yang dapat terucap dari mulut ini. Mulut yang lancang, yang tanpa melihat situasi dan kondisi malah, masih saja memberikan kata-kata yang menghancurkan.

“Mungkin saya yang terbawa suasana, mungkin saya yang terlalu berfikir untuk – menjalankan amanah dan titipan abi pada saya. Jadi sekali lagi maafkan saya” lanjutku, sekedar untuk memberinya pengertian jika ini, aku – sebenarnya juga tak paham mengapa aku bisa merasa seperti ini, kenapa aku bisa dengan lancang mengatakan kalimat menghancurkan padanya, yang notabenenya adalah wanita yang amat sangat layak buat di hormati. Bukan buat di bisikkan kata-kata iblis jahannam seperti tadi.

Nadia tak jawab. Tak ada lagi suara yang ku dengar darinya. Yang ia lakukan, masih menatapku.

“Dek....” aku bergumam.

“Masuklah. Begitu kamu masuk, saya janji, saya juga akan pergi dari sini”

Nafasnya terhembuskan. Dan itu sangat jelas ku dengar.

Aku menarik sisi kiri dan kanan bibirku, membentuk sebuah senyuman, tapi hanya tipis saja. Senyum yang niatnya memberinya kepercayaan, jika apa yang baru saja ku katakan terakhir, benar adanya, benar kan ku lakukan setelah ia beranjak pergi meninggalkanku di luar sini.

Sekali lagi...

Dia menghela nafas.

“Masuklah.” Aku bergumam.

Dan pada akhirnya, ia mengangguk.

“Nadia masuk dulu Pak” dia beranjak. “Assalamualaikum” lalu mengucap salam. Itu tandanya, kami akan kembali berpisah malam ini.

Tapi....

Sebelum wanita itu benar-benar pergi meninggalkanku, ku sempatkan untuk membalas salamnya terlebih dahulu, “wa’alaikumsalam....”

Nadia telah pergi. Berdiri, berjalan membelakangiku. “..... Dek... jangan begadang, tidurlah yang nyenyak, karena besok kamu masih banyak hal yang membutuhkan kamu di sini... jadi kamu jangan sakit, ya”

Dia menoleh.

“Iya pak. Terima kasih....”

Setelah mengatakan itu, Nadia kembali berjalan masuk ke dalam.

Langkahnya sangat anggun. Yang anehnya, kenapa aku malah sulit buat memalingkan pandangan ini darinya, hanya terfokus pada satu arah, hanya terfokus pada punggung belakang wanita berkerudung hitam itu.

Ahhhh....

Ada sesal kembali yang hinggap di diriku. Mengganggu pikiran ini. Sesal karena sepertinya, ketidakikhlasan untuk berpisah malam ini hadir di dalam sana.

Nadia masih melangkah. Melangkah menjauh....

Seolah-olah langkahnya di iringi oleh sebuah backsound music.

Ahhh, aku terlalu banyak berkhayal kayaknya. Lantas, apa yang harus ku lakukan sekarang ini? Apakah aku harus segera pergi? Apakah aku akan baik-baik saja setelah pergi dari sini? Apakah perginya aku, hanya sekedar pergi ke hotel saja, atau kan balik ke Jakarta dan entah – kapan lagi aku akan kembali di sini, pun jikalau memang, wanita itu membutuhkan uluran tanganku untuk membantunya.

Anehnya....

Aku rasanya sulit buat beranjak. Masih duduk di bangku yang sama.

Semakin menjauhnya Nadia, semakin tubuhku agak membungkuk. Semakin menjorok ke depan, bahkan kedua siku ini telah menyentuh sepasang lutut. Ku satukan kedua telapak tanganku. ku dekatkan di dagu, tatapanku masih tak teralihkan.

Baiklah.

Memang sudah seharusnya ini terjadi. Memang sudah waktunya aku pergi dari sini, meski kan ku hadapi sesal yang perkepanjangan nantinya.

Baru ingin beranjak......

“Ren... apakah lo tetap harus pergi begitu saja tanpa mendapatkan sebuah jawaban?” sebuah monolog singkat baru saja hadir.

Tapi jawaban apa yang ingin ku dapatkan?

“Entahlah. Hanya elu yang bisa menjawabnya, jawaban apa yang sedang kamu nanti”

Aku menggeleng.

Tak ada. Tak ada jawaban apapun yang ku cari saat ini.

“Yakin?”

Tidak mungkin kan, aku menanti jawaban atas perasaan aneh yang kini mendera di dalam sana, bukan?

“Who knows?”

Ahhh. Sialan. Kenapa aku malah seperti ini sih?

Apakah aku benar-benar harus mencari jawaban, yang akan membuatku tak lagi merasakan penyesalan nantinya?

Tapi, apakah mungkin aku langsung bertanya pada wanita itu? Bertanya padanya, apakah dia juga merasakan hal yang sama, yang saat ini, detik ini ku rasakan? Lalu, perasaan apa yang sekarang hadir dan mengganggu?

Tanpa sadar...

Aku makin menatap sosok wanita itu, yang semakin jauh, semakin sulit buat ku jangkau. Sedikit lagi, sosok berkerudung itu tak lagi ku lihat – karena sedikit lagi, kan berjalan melewati pintu, dan akan menghilang di balik sana.

Aku mengambil nafas panjang-panjang....

Sebelum sosoknya benar-benar menghilang dari pandanganku. Ku pejamkan mata ini.



“Dek.... aku tak tahu, jawaban apa yang sedang ku nantikan sekarang ini, Cuma.... apakah mungkin, ku buat sebuah pertanyaan ‘bodoh’ yang sering ku lihat di film-film romance selama ini? Yang dimana, untuk membuktikan jika wanitanya pun memiliki perasaan yang sama, maka ia akan berbalik?”



“Tidak mungkin kan, dek.... kamu berbalik dan melihatku kembali yang masih duduk dengan bodohnya di sini, sambil terpejam?”





Tanpa sadar, mataku membuka...........................

And then.

...

...

...

...



Degh!



Tubuhku membeku.

Amat sangat membeku. Jantung dan paru-paruku dalam sekejap bekerja lebih cepat dari biasanya, di saat, di depan sana, pertanyaan yang ku anggap ‘bodoh’ tadi dalam hati, malah.............

Wahai semesta.....

Apakah, menolehnya wanita itu dan menatap ke arahku yang masih duduk ini, serta dari kejauhan, cara dia menatap kini tak sama seperti tadi, cara menatapnya kini, seolah-olah ada senyum di balik khimarnya itu, yang apakah, benar-benar juga di tujukan padaku, adalah sebuah jawaban yang tengah ku nantikan?



Nadia Safira....

Kenapa engkau menolehkan wajahmu dek. Kenapa engkau menatapku seperti itu?

Ya, dia membalas tatapanku, hingga.... jenak berikutnya, sebelum dia melanjutkan langkahnya melewati pintu rumah sana, dan mengilangkan sosoknya dari pandanganku, ada anggukan pelan yang benar-benar secara nyata dan harfiah tertuju padaku.



Ahhhhh.... Sepertinya memang harus ku lupakan penyesalan yang tadi mendera.



Bersambung Chapter 9
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd