Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Sepenggal Kisah - Nadia Safira (NO SARA!)

CHAPTER 7
Mengambil Sikap



Aku tak perlu lagi menceritakan detail kejadian yang sesungguhnya ya, setelah kami pada akhirnya mendapati kenyataan yang begitu pahit, Pak Sardi harus menghembuskan nafas terakhirnya hari ini. Sebabnya karena kecerobohan putri bungsunya yang pergi begitu saja meninggalkan rumah di saat hari ‘H’ pernikahannya. Pun, di perparah dengan aku sendiri yang justru dalang dari semua kejadian ini.

Tak dapat di bayangkan bagaimana Pak Sardi menanggung beban malu, di saat semua tamu undangan hadir, serta bagaimana pemikiran dari pihak keluarga besan-nya, pihak mempelai prianya. Pastilah di mata mereka Pak Sardi adalah orang tua yang tak mampu mendidik dengan baik putrinya. Padahal, jangankan aku – semua orang yang pernah menjadi mahasiswa/i nya pun paham banget bagaimana Pak Sardi, bagaimana baiknya beliau kepada kami.

Jujur...

Aku di sini hanya membawa diri, serta memiliki kemampuan membiayai yang tentu tak terhingga nilainya. Sebagai pengusaha tentulah tabungan pada beberapa rekeningku tak terhitung lagi. Tak perlu ku jelaskan besaran nilainya pada kalian, intinya, untuk menghidupi kedua anak almarhum nantinya, amat sangat cukup.

Setelah mengurus semua administrasi rumah sakit yang ternyata adanya penambahan biaya buat penanganan dan pengantaran jenazah Pak Sardi ke rumah, sebesar 2,5 juta. Maka aku menyempatkan menelfon ke Wahyono, sahabatku.

“Assalamualaikum, bro.” ujarku saat telfonku di jawab oleh Yono.

“Wa’alaikumsalam. Bagaimana bro, udah kelar acara nikahannya?”

Aku menarik nafas dalam-dalam, aku sendiri sejujurnya tak tega menyampaikan ini padanya, karena aku amat sangat tahu jika Yono masihlah berhubungan, berkomunikasi selama ini dengan almarhum. Tapi, adalah kewajibanku tetap harus menyampaikan kabar duka ini padanya.

Maka. Tanpa menunggu lagi, langsung ku sampaikan kejadian yang sesungguhnya di sini. Tentulah minus kejadian aku bersama Tasya, dan akulah penyebab dari masalah yang terjadi. Jangan tanyakan bagaimana reaksi Yono setelah mendengar kabar duka ini. Dia bersedih, bahkan ku dengar dari telfon, suaranya sesenggukan. Bahkan dia membatalkan acara keluarganya yang telah ia rencanakan sebelumnya, dan memutuskan untuk langsung tancap gas bersama keluarganya menuju ke Bandung.

Sebagai pegawai senior di Bank, memiliki mobil pribadi bukan masalah yang sulit. Dan yah, dengan menggunakan mobil, Yono pun langsung menyusul ke Bandung. Mendengar hal itu, ada kelegaan yang ku rasakan. Setidaknya aku tak sendiri di sini. Aku tak memutar otak sendiri untuk mengurus segalanya selama di sini.

Rupanya....

Yono sempat menginformasikan di grup kawanan kampus, kabar duka Pak Sardi ini. Semakin membuatku bernafas lega, karena rupanya bukan Yono saja yang ke sini, melainkan ada beberapa orang – teman kampus dulunya, yang juga berdomisili di Jakarta maupun Bandung, berjanji akan kemari. Kecuali teman-teman yang jangkauannya sangat jauh, mereka hanya menitipkan pesan serta kumpulan dana yang segera di cetuskan oleh Yono sebagai orang yang di tuakan dan di percaya di grup Whatsapp ini.

Okelah. Sepertinya cukup bagiku menceritakan kejadian aku dan Yono.



Kembali ke kejadian sekarang ini.

Akhirnya dengan menggunakan mobil ambulans rumah sakit, jenazah Pak Sardi di berangkatkan pulang ke rumah. Aku tentu membawa mobil sendiri mengikuti rombongan ambulans itu. Sedangkan Nadia dan beberapa pihak keluarga ikut dengan ambulans.

Sesampainya di rumah, aku mencoba mencari salah satu orang yang di tuakan di sini. Rupanya aku di pertemukan dengan Pak RT, Pak Sulaiman.

Aku pun menyampaikan maksudku untuk menanggung semua proses yang akan terjadi dan di butuhkan nantinya. Aku meminta tolong padanya, karena aku tak memiliki kemampuan untuk mengurus semuanya, yang aku mampu, hanya bisa membayar.

“Begitu Pak” ku selesaikan maksudku pada Pak Sulaiman.

“Oh baik Pak Rendi,” tentu beliau tahu namaku, karena sebelumnya aku menyebutkannya. “Nanti kami bantu, bapak tenang saja.... apalagi almarhum juga di sini lumayan di hormati”

Aku pun sekali lagi bernafas lega. Masalah kedua telah selesai.

...

...

...

Pak Sulaiman bener-bener full support, membantu keluarga Pak Sardi dalam pengurusan. Maaf, jika aku lancang, mengatakan memang jika ada duit maka semua akan lancar, semua masalah akan terselesaikan.

Pak Sulaiman tentulah tak sendiri, di bantu oleh beberapa bapak-bapak warga setempat, serta beberapa orang dari pihak keluarga Pak Sardi, akhirnya beres semuanya. Di mulai dari acara penyiapan, seperti tenda, kursi dan juga pihak pemakaman dari masjid, serta penyebaran undangan dan informasi di masjid melalui TOA tentang kabar duka. Maka sejam kemudian, satu persatu orang mulai berdatangan. Mulai memenuhi pekarangan di bawah tenda yang lumayan besar ini, lumayan mampu menampung, memberi tempat berteduh bagi pelayat.

Setelah itu....

Tak berapa lama Yono beserta keluarganya tiba.

Aku lantas menghampirinya dan menceritakan semuanya. Maksudku, semua sudah beres. Yono tentu sangat percaya denganku, karena dia adalah satu-satunya orang terdekatku saat ini.

Singkatnya. Acara pemandian jenazah di mulai, tentu yang mengambil tugas adalah pihak keluarga laki-laki. Setelah itu, kami semua berbondong-bondong ke masjid untuk proses sholat jenazah hingga sampai proses di kuburkannya jenazah almarhum Pak Sardi di penguburan terdekat.



Tak perlu ku ceritakan juga bagaimana perasaanku ketika ‘sesekali’ posisiku yang tanpa di sengaja berada di dekat Nadia ketika proses pengantaran jenazah almarhum Pak Sardi ke tempat peristirahatan terakhirnya. Miris memang, suami bahkan adiknya sendiri tak hadir dalam proses ini. Ckckckckc. Aku bisa merasakan bagaimana terluka, dan bersedihnya Nadia saat ini. Bukan hanya itu saja, bagaimana wajahnya ia tundukkan ketika tanpa sengaja menjadi perhatianku. Untuk menghormatinya, aku selalu mengambil jarak yang agak berjauhan dengannya.

Oh ya, proses pengantaran ini rupanya sudah menjadi tugas pihak ‘Perkuburan’ yang juga telah di urus sebelumnya oleh Pak Sulaiman dan pihak keluarga.

Karena hanya kesedihan yang ku lihat sekarang ini, maka aku pun skip saja proses detailnya. Gak mengenakkan banget perasaan ini, bro.



===========================





Aku menyempatkan berpamitan tadi ke Nadia, satu-satunya pihak keluarga yang ku kenal di sini untuk kembali ke Hotel tempatku menginap buat mandi dan berganti pakaian, serta berjanji, sejam atau dua jam lagi aku kan kembali ke sini.

“I... iya pak. Terima kasih atas semuanya” begitu balasnya, aku tanpa sengaja menatap ke dalam matanya. Sepasang mata yang kini kelopaknya tampak membengkak.

“Kamu tenang saja, ada saya di sini. Dan saya tidak akan pergi kemana-mana, saya hanya ingin berganti pakaian saja di hotel”

“Iya pak. Sekali lagi terima kasih, dan hati-hati” Mendengar kalimat terakhirnya, aku mengangguk penuh hormat di sertai senyuman terbaikku yang ku tunjukkan padanya.

“Kalo butuh sesuatu, kamu bisa ngomong ke Pak Yono. Karena beliau masih di sini”

Nadia mengangguk. “Iya pak.”

“Ya sudah Nadia. Saya pamit ya, Assalamualaikum wr wb”

Begitu aku menyelesaikan ucapanku, rupanya salamku belum terbalaskan. Semakin membuatku menatapnya, menatap ke dalam matanya.

Dia terdiam. Membalas tatapanku.

Menyadari jika ada kekhawatiran di wajahnya, aku sekali lagi melempar senyum padanya. “Saya tidak akan kemana-mana. Saya masih di sini. Saya hanya sebentar saja balik ke hotel buat berganti pakaian. Pegang janji saya, karena saya.... ada untuk kalian. Khususnya untukmu”

Sedikit ku sesali dua kata terakhir yang ku ucapkan padanya. Mendengar itu, ia tertunduk kembali dan tak lagi membalas menatapku.

“Saya sudah bisa pamit sekarang?”

Dalam tundukan kepalanya, ada anggukan pelan di sana.

“Assalamualaikum, dek”

Dia mengangkat wajah, “Wa’alaikumsalam, Pak”

Dan pada akhirnya, aku pun berpisah again and again dengannya. Tapi ini tak lama, karena aku sudah berjanji akan kembali paling lambat dua jam dari sekarang. Beres dengan Nadia, ku hampiri sahabatku bersama keluarganya yang sedang mengobrol-ngobrol di sana. Oh iya, beberapa teman kampusku dulu juga sudah hadir.

Terjadi sedikit obrolan singkat....

Tentu aku hanya berbicara sambil berdiri, menunjukkan sikap bahwa aku akan pamit sebentar saja pada mereka.

“Ente nginap dimana, Ren?” tanya salah satu kawanku.

“Di Hilton, bro” balasku.

“Emang ya, kalo udah tajir hotelnya aja bukan buat kite-kite... muahaaall bro. haha” begitu jawab kawanku itu. Aku hanya senyum saja, sambil geleng-geleng kepala. Tak ingin merespon berlebihan candaan itu.

“Yon, kamu kalo mau stay nanti saya bookingkan sekalian 1 kamar juga buat kamu ma Ayu dan anak-anak” ujarku ke Yono sambil menyebut nama istrinya yang duduk bersebelahan dengannya

“Kami?” celetuk kawan wanita teman kampusku dulu.

“Hmm, kalian kan tinggal di Bandung, jadi buat apa nginap di hotel segala” Yono membalas. Dan akhirnya sekali lagi canda tawa-pun terjadi. Setidaknya, dengan canda tawa ini membuat perasaanku sedikit membaik.

“Gampang Ren. Ntar di bahas” begitu balas Yono padaku.

Setelahnya, aku pun berpamitan pada mereka.



...

...

...

Sore telah lewat. Acara taksiah malam pertama pun telah selesai.

Yang aku sesali, sahabatku malah mengambil tindakan sendiri dengan membooking kamar hotel lain, yang tentu jauh lebih murah dari hotel tempatku menginap tanpa bilang-bilang dulu padaku. Bukankah aku sudah menawarkannya tadi, buat menginap di hotel yang sama denganku.

“Gak apa-apa Ren. Aku gak mau berhutang budi terlalu banyak ke kamu” begitu ujar sahabatku. “Lagian bini juga lebih suka di hotel Horison.”

“Ckck. Ya udahlah, kalo gitu saya juga gak bisa maksa.” Balasku, seikhlas mungkin. Karena beginilah dia, amat sangat jarang ingin menerima bantuan dariku.

Bukan hanya Yono yang ku ajak ngobrol, bininya juga, si Ayu yang juga sangat akrab denganku sejak dulu, sejak mereka memulai hubungan berpacaran. Ya hanya obrolan biasa saja. Tapi selalu dan selalu, si Ayu ini malah tak pernah lupa untuk mengingatkanku, buat mencari pendamping secepatnya. Apalagi umurku sama dengan Yono suaminya, hanya beda bulan saja.

“Udah lah bun. Nyuruh dia buat nikah, buat nyari bini kayaknya nunggu sampai lebaran katak kali.” Yono menimpali.

“Kalo sudah waktunya, pasti akan ada wanita yang cocok buat ku peristrikan Yon, Yu”

“Yaaaa. Tapi kalo gak di cari, gak bakal ketemu. Makanya kudu di niatkan dari sekarang”

Karena tak ingin pembahasan ini terlalu lama, maka dengan kemampuanku dalam berkomunikasi, maka pembahasan ini pun berlalu begitu saja berganti dengan pembahasan hal-hal kecil lainnya.

Setelah ngobrol basa-basi, aku tiba-tiba terdiam.

Kemudian ku niatkan untuk mengajak Yono berbicara sebentar, hanya berdua. Maka, tanpa menunggu lama, ku sampaikan niatku itu. Yono mengiyakan. Dan kami pun beranjak dari duduk, berjalan menjauh dari orang-orang. Lebih tepatnya, berdiri dekat mobilku yang terparkir di luaran sana.

“Ada apa Ren?” Tanya Yono setelah aku membakar sebatang garpit. Oh iya, Yono ini telah lama berhenti merokok, tapi, ia tak pernah mempermasalahkan kebiasaanku yang selalu merokok di dekatnya.

Aku menarik nafas sesaat. Niatku mengajaknya ngobrol tentulah bukan menceritakan tentang, aku yang menjadi penyebab masalah ini. Melainkan, “Bro... sebelum Pak Sardi meninggal, kebetulan saya yang mendampingi bersama putrinya si Nadia, dia sempat meninggalkan pesan pada saya. Lebih ke permohonan terakhirnya sih”

Yono menatapku.

“Boleh tahu apa pesannya?”

“Saya sudah cerita tadi kan, kenapa bisa terjadi ini semua?” maksud aku, cerita tentang kejadian jika Tasya, putri bungsu Pak Sardi kabur dari pernikahan. Yang juga ku ceritakan via phone tadi.

“Ya, gara-gara si Tasya itu kan? Emang kurang aja tuh anak”

Aku menghela nafas.

“Jadi. Pak Sardi meminta tolong pada saya, buat mencari keberadaan putrinya si Tasya itu.... dan.....” tak ku lanjutkan ucapanku, aku menggantung untuk sekedar menikmati tarikan udud sekali lagi.

Rupanya Yono diam, menunggu lanjutan kalimatku itu.

“Dan.... beliau menitipkan kedua putrinya buat,”

“Jangan bilang buat kamu nikahin?”

“Eh.... tidak seperti itu, Yon.... saya juga tak ada hak untuk melakukannya, hanya sekedar bertanggung jawab saja”

“Bertanggung jawab dalam hal apa, Ren?” tanya Yono yang tampak penasaran.

Aku menggidikkan bahu. “Entahlah. Saya belum kepikiran”

“Ren.... jangan mengambil tindakan, mengambil tanggung jawab ini yang kan kamu sesali di kemudian hari, loh. Jadi saranku sebagai sahabat dan saudara laki-lakimu, lebih baik kamu cukup memberikan sejumlah uang saja jika memang kamu berkenan, pada mereka. Lebih tepatnya pada Nadia..... hmm” dari nada suara Yono, sepertinya, dia menggantung juga, sepertinya masih ada lanjutan kalimat yang ingin ia utarakan padaku.

Aku menatapnya, karena penasaran.

“...... ini, hanya aku dan kamu aja ya. Cukup kita berdua saja yang mengetahuinya, karena ini ku ketahui juga langsung dari Pak Sardi dulunya.”

“Apa itu?”

“Hmm jadi.... Nadia ini sebetulnya anak angkat Pak Sardi. Jadi dulu, almarhumah bu Meti dan almarhum pak Sardi, 4 tahun sulit punya anak. Alhasil, untuk memancing, yang konon bisa membuat kehamilan pada bu Meti, mereka berdua memutuskan untuk ke panti asuhan. Dan yah, mereka pun mengadopsi Nadia itu. Rupanya terbukti, rupanya Bu Meti akhirnya mengandung anak pertama dan terahirnya yaitu si Tasya itu.”

Sedikit kaget juga mendengar cerita dari Yono.

Itu artinya Nadia ini bukanlah anak kandung pak Sardi, tapi, kepatuhan pada orang tuanya yang ia tunjukkan padaku, berbanding terbalik dengan yang ku lihat pada Tasya anak kandung yang sebenarnya.

“Terus kamu sudah denger masalah pernikahan Nadia, kah?”

Aku mengangguk, meski aku belum tahu detailnya.

“Jadi, saranku, jangan berani mengambil tanggung jawab besar ini.... apalagi pada Nadia. Ingat, status dia masih istri orang. Meski menurut pak Sardi, mereka sudah bercerai secara agama.”

Fiuh!

Berat banget perasaanku sekarang ini.

Lantas, apa yang harus ku lakukan sekarang? Begitu pertanyaan dalam hati ini.

“Kejauhan kamu mikirnya, Yon” gumamku.

“Sebagai sahabat, aku mengingatkan hal yang terburuknya bro. Apalagi aku amat sangat mengenalmu. Kamu itu, mudah membuat wanita menyukaimu”

Mendengar itu, aku hanya senyum dan geleng-geleng kepala.

“Nadia tidak seperti wanita pada umumnya” aku bergumam.

“Nah mulai deh. Sudahlah bro, tanpa ente sadar, aku langsung nangkap, jika ada secuil rasa terhadap Nadia... jadi berhati-hatilah”

“Tidak seperti itu, bro. ya sudahlah, nanti lihat saja bagaimana dan apa saja yang bisa saya bantukan padanya”

“Nah itu.... untuk mencari keberadaan Tasya, cukup kamu menyuruh orang lain saja. Dengan kemampuan keuangan yang kamu miliki, aku gak perlu khawatir lagi” kata Yono lagi, “Tapi untuk Nadia, tak perlu kamu terlalu jauh bertindak. Takutnya justru kamu akan punya masalah baru dengan pihak sang suami”

Aku mengangguk hikmat.

“Ya sudah. Yuk” ajakku pada Yono, karena sudah tak ada lagi yang harus kami bahas sekarang.

...

...

...

Jam 10 malam lewat sedikit.

Yono beserta keluarga, serta teman-teman yang lain sudah lebih dulu berpamitan. Menyisakan aku sendiri di sini. Yang tentu, niatku ingin mengajak Nadia untuk mengobrol sebentar sebelum aku kembali ke Hotel. Dan tetap akan stay di sini, entah sampai kapan.

Toh, usaha ku di Jakarta bisa ku remote dari jauh kok.

Baru saja ingin beranjak buat mencari keberadaan Nadia, eh, yang ku cari sudah lebih dulu keluar dari rumah. Berdiri mengenakan pakaian yang sama yang tadi ia kenakan, gamis hitam, kerudung hitam beserta khimarnya, langsung mengarahkan pandangannya ke arahku yang baru saja berdiri.

“Mencari saya?” busyet. Pede banget.

Dia mengangguk.

Sedikit senyum ku lemparkan padanya, kemudian aku berjalan mendekat padanya.

“Ngobrol di sini saja,” cetusku. Cukup di luar saja, apalagi masih ada beberapa orang di sini.

“Iya pak”

Aku dan Nadia akhirnya duduk bersama di kursi, di bawah tenda.

Ada jarak satu kursi, yang tentu saja, yang lakukan hal itu adalah Nadia. Jadi posisi kami tidak benar-benar duduk berdampingan.



Beberapa saat kami sama-sama diam.



Hingga....



Wanita itu memulai bersuara, “Mengenai pesan abi”

Aku menarik nafas dalam-dalam. Kemudian mengangguk, menoleh padanya. Menatapnya dari samping. Sedangkan wanita itu, wajahnya masih menatap ke arah rumah, lebih tepatnya ke depan. Tidak menoleh, tidak membalas tatapanku.

“Pak Rendi tak perlu pikirkan. Boleh kan? Nadia mohon, kalo boleh, setelah ini, Nadia mohon Pak Rendi pulang saja ke Jakarta.... biar Nadia yang akan mengurus semuanya” setelah mengatakan itu, secara perlahan, wajahnya akhirnya menoleh padaku.

Aku tak membalas. Ku tatap saja lebih dalam matanya. Mencari kesungguhan, atau mungkin kekhawatiran di dalamnya.

“Boleh saya bertanya?”

Dia mengangguk, dan detik berikutnya, dia kembali menatap ke depan.

“Kamu sudah dapat kabar dari Tasya?”

Dia kembali menoleh. “Nadia sudah beberapa kali menghubungi nomornya, tapi tidak aktif. Nadia juga menelfon teman terdekatnya, tapi semua pada tidak tahu dimana Tasya berada sekarang ini”

Jenak kemudian, dia menunduk.

“Andai.... andai....” perlahan, dari suaranya yang merdu nan pelan itu, berganti dengan suara isak tertahan. “...... andai Tasya tidak kabur, Nadia masih.... masih hiks....”

Perlahan....

Isak itu menjadi tangisan pelan.

Kedua sepasang mata itu, tak mampu lagi membendung laju air mata

“Ya Allah dek. Kenapa kamu melakukan ini semua.... hiks. Hiks. Kenapa harus pergi. Kenapaaaa” sambil menangis, Nadia menengadahkan wajahnya ke atas. Aku bisa merasakan bagaimana kesedihan yang di rasakannya. Bagaimana beban yang kini ia tanggung.

“Di saat abi pergi, kamu malah tidak ada di sisinya. Hiks....”

“Pak Rendi.... hiks” setelah itu, ia menoleh.

Aku yang diam, tapi tetap terharu dalam sana, mengangguk pelan.

“Terima kasih atas segalanya. Terima kasih atas bantuannya.... hiks”

“Kembali kasih, Nadia....”

“Nadia tidak bisa bayangkan, akan bagaimana andai bapak tidak ada.”

“Dek...” dia menatapku. Mencoba untuk menenangkan dirinya.

“Saya bisa, saya bisa pergi darimu sekarang.... jika memang itu yang kamu inginkan. Tapi, jangan larang saya untuk mencari tahu keberadaan Tasya, serta...” ku gantung sesaat, untuk sekedar memberi asupan udara pada sepasang paru-paru ini di dalam sana.

Setelah itu, maka ku lanjutkan ucapanku. “Serta.... jangan larang saya, untuk tetap mengetahui kabarmu. Karena dengan begitu, janji saya kepada almarhum abi, tidak teringkari.... saya mohon, ini permohonan saya juga padamu”

“Tapi pak... buat apa mengetahui kabar Nadia?”

“Nadia orang lain Pak. Nadia juga punya suami.... Jadi, sungguh tak baik, jika Nadia menyambung komunikasi bersama pak Rendi” aku semakin menatapnya. Membuatnya pada akhirnya menunduk. “Jangan pikirkan kata-kata abi kemaren.”

Aku menggeleng. “Saya juga tidak tahu.... dan tidak ingin mencari tahu lebih dalam tentang itu Nadia.”

Dia mengangkat wajah.

Kembali menatapku lagi.

“Yang ingin saya ketahui, dan akan selamanya seperti itu.... adalah tentangmu. Tentang Nadia Safira yang ku kenal satu-satunya di sini.... adalah yang telah menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya, apapun itu. Jadi, jangan tanyakan lagi kenapa saya melakukan itu semua... karena-...” Nadia menyela dengan cepat.

“Pak Rendi... Nadia bukan siapa-siapa... Nadia-...” kini giliranku yang menyela.

“Tapi bagi saya, kamu adalah siapa-siapa, dek. Kamu adalah segalanya bagi saya. Bagi Pak Sardi.....”

Dia menatapku dalam.

Amat sangat dalam.

Bahkan, saking dalamnya, mampu menyihirku hingga membeku seperti sekarang ini.

“Tundukkan wajahmu dek. Jangan menatap saya seperti itu” aku bergumam pelan. Justru kini, akulah yang mengalihkan pandanganku darinya. “Saya tak mampu...”



“Pak Rendi....”

Aku hanya menarik nafas dalam-dalam, tanpa berucap.

“Pak Rendi orang baik. Amat sangat baik, jadi.... amat sangat tidak pantas, jika memberikan perasaan special buat wanita seperti Nadia....”

“Saya tak sebaik yang kamu pikirkan, dek”

“Pak.... lihat Nadia pak.”

Aku pun berhasil kembali menatapnya, setelah beberapa saat, ketidaksanggupan menghampiriku,. Entahlah, perasaan apa yang sekarang ini menjadi penghuni hati ini.

“Nadia sudah bersuami, pak.... Nadia.... adalah wanita yang tidak pantas duduk di samping bapak.”

Karena dia yang terus menerus membahas seperti itu, maka, aku tak sanggup untuk diam saja. Maka, jangan salahkan aku Nadia, jika mulut ini yang sejak tadi ku bungkam pada akhirnya mulai bercerita, mulai mengungkapkan sesuatu.

Setelah menarik nafas panjang-panjang, aku pun mulai membalasnya. “Semua juga tahu jika Nadia sudah bersuami.... bahkan semesta pun juga mengetahuinya dek. Tapi, saya... Rendi Widjaja, hanya percaya pada Allah SWT. Maka kepercayaan itulah, yang membuat saya pun pada akhirnya harus percaya pada aturan yang ada dalam agama. Aturan jika kini, status kamu.... sudah tak lagi secara sah dalam agama, berstatus sebagai istri, melainkan seorang janda. Jadi tak salah, jika ada seorang pria yang mencoba untuk memberikan perasaan special padamu. Mungkin bukan saya, mungkin pria lain. Jadi, kamu jangan pernah melarang pria itu untuk memberimu perasaan special nantinya. Semoga kamu paham sekarang”

Aku menghela nafas lega setelah mengutarakan itu semua.

Kami pun sama-sama diam.

Nadia menunduk.

Aku, menatap ke depan.



Hingga setelah beberapa jenak lamanya keheningan di antara kami terjadi, wanita itu kembali bersuara. Pelan. Amat sangat pelan suaranya.

“Pak......”

Aku tak jawab.

“Untuk kali terakhir, Nadia mohon.... mungkin juga sebagai permohonan yang begitu tulus ke bapak.” Sekali lagi aku tak jawab. Hanya saja, kini kami saling bersitatap. Saling menatap ke dalam mata kami masing-masing.

Setelah mengambil jeda, mengambil nafas, wanita itu melanjutkan, “Berjanjilah pada Nadia pak.... Jangan pernah memberikan perasaan special ke Nadia, ku mohon pak.... Nadia mohon....”



Kini, giliranku menarik nafas dalam-dalam.



“Janji saya untuk mencari Tasya, janji kepada Pak Sardi. Semuanya bisa saya pastikan, tak akan pernah saya ingkari, selama saya masih bernafas.... tapi....” ku ambil jeda sesaat.

Aku menatapnya lagi.

Kini, kami saling bersitatap.

Tatapanku tak berkedip sama sekali. Menunjukkan keseriusan di wajah ini.



“Tapi... untuk berjanji padamu, saya takut Nadia.... saya takut, janji yang kan saya ucapkan ini, akan saya ingkari nantinya. Maafkan saya......................”



Dan pada akhirnya.....

Secara perlahan....

Amat sangat perlahan.....




Sepasang mata sendu yang membengkak itu. Kembali membanjir. Bendungan pada sepasang mata itu, tak mampu menahan laju air mata yang kini, berbeda dari yang tadi. Air mata yang kini terjatuh tak tertahankan, bermakna yang sulit buat ku ungkapkan lagi.



Maafkan saya Nadia Safira, jika kali ini, tangisan yang engkau tunjukkan bukan karena kepergian Pak Sardi, melainkan karena saya. Karena sikap ini terhadapmu.




Bersambung Chapter 8
 
Percakapannya terasa real banget, soalnya percakapan tarik ukur kaya begini umum banget di semua pasangan.
Si cowok yg batu pada pendiriannya sedangkn si cewek yg complicated dan overthinking wlau sebenarnya dalam hati dia mau.
Ane kok jadi kangen masa pacaran ya 😁

Thanks updatenya suhu.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd