Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Sepenggal Kisah - Nadia Safira (NO SARA!)

CHAPTER 6
Titipan Berharga



Menurutku, tak perlulah mengagumi nama wanita ini berlama-lama dan penuh dramatisir - yang mulai sekarang kan ku sebut saja ‘Nadia’, setelah ku ketahui namanya barusan. Pun, langsung dari empunya nama yang mengatakan secara lengkap. Mengagumi nama yang menurutku minoritas banget ku dengar, adalah hal yang tak perlu juga di permasalahkan lagi ya. Meski memang suasana saat ini agak kurang pantas buat mengagumi. Mungkin tadi, hanya spontan saja.

Setelah ia menyebut namanya, aku hanya melempar senyum saja. Tak pantas jika aku malah mengeluarkan suara dengan mengatakan nama yang cantik.

“Baiklah bu Nadia. Salam kenal juga,” baru saja aku tercekat, terdiam di saat baru saja ku ulurkan tangan yang niatnya mengajaknya bersalaman, Nadia dengan cepat menyatuhkan kedua telapak tangannya di depan dada. Barulah aku sadar jika bukan muhrim di larang bersentuhan langsung.

“Maaf.” Gumamku setelahnya. Wanita itu malah mengangguk sopan. Amat sangat sopan, mungkin saja ia pun merasa jika tadi, sempat ia sedikit mempermalukanku, meski sejujurnya aku tak merasa di permalukan sama sekali olehnya.

“Kalo saya, bu Nadia bisa memanggil Rendi saja”

“Nadia aja pak, gak perlu pake bu.” Ia membalas. Dari sepasang matanya, lebih tepatnya di bagian yang terlihat itu, aku menyadari jika baru saja terjadi perubahan. Pupilnya agak mengecil. Yang awalnya sejak tadi cara ia menatap agak sendu, tapi kini, aku sadari ada senyum meski tipis saja di sana.

“Saya takut tak sopan jika memanggil dengan nama saja, apalagi pada orang yang lebih tua dari saya”

Tiba-tiba saja Nadia menatapku.

“Abi udah pensiun 7 tahunan.... dan menurut info dari bapak jikalau abi adalah mantan dosen bapak, entah tahun berapanya, Cuma 7 tahun yang lalu saja, waktu abi masih aktif, Nadia baru tamat sekolah, Pak”

What the?

Aku mengernyit, otakku langsung memproses satu demi satu kata, makna yang sebenarnya ingin ia sampaikan padaku.

“Itu artinya kamu masih berumur kurang lebih 25 tahunan ya, bu Nadia?”

“Nadia saja pak.”

“Maaf salah” balasku, sekali lagi melempar senyum padanya.

“Lebih tepatnya april nanti genap 26 pak”

“Ohh i see, i see....” ujarku sambil ngangguk-ngangguk. Baru sekarang ku pahami, ternyata wanita ini masih muda. Masih selisih 10 tahun denganku. Wahhh, berarti kalo dia 26 tahun, adiknya masih di bawahnya dong? Aku membatin, dan sedikit saja, mengembalikan ingatanku pada kejadian semalaman itu. Kejadian yang pada akhirnya menjadi awal dari segalanya.

“Pak Rendi. Mohon maaf, jika sudah tak ada lagi yang mau di bahas, Nadia ijin pamit, boleh?”

“Pamit ke?”

Dia kini telah berdiri.

“Maksud Nadia pamit beranjak, pak. Karena tak baik jika berlama-lama duduk di sini, berdua dengan bapak.... takut ter-“ langsung ku sela dengan cepat.

“Ya, saya paham. Akan terjadi fitnah kalo kita duduk hanya berdua saja di sini dan dalam waktu yang lama”

“Iya pak. Maafkan Nadia”

“Gak masalah Nadia” balasku tulus.

“Kalo begitu Nadia permisi sekalian mau lihat kondisi di dalam”

“Silahkan Nadia”

“Assalamualaikum” salamnya, sebagai bentuk salam yang mengharuskanku dengannya, mengakhiri obrolan yang sangat singkat ini, meski jujur, agak kurang ikhlas juga obrolan kami harus berakhir dengan cepat.

“Wa’alaikumsalam” pada akhirnya mau tak mau, aku pun membalas salamnya dan merelakan wanita itu pergi dari sini.



Kini....

Ia tak lagi berada di dekatku.

Aku hanya menarik nafas sembari menatap kepergiannya dari belakang. Anehnya, kok kepergiannya agak meninggalkan sesak di dada, ya? Agak loh ya, bukan bener-bener nyesak.



Lantas sekarang, apa yang kan ku lakukan lagi?

Entahlah, aku juga bingung mau ngapain sekarang, tapi, jika aku pergi sekarang alias pulang kembali ke Jakarta sepertinya bukan pilihan yang tepat, apalagi, tadi – si petugas rumah sakit mengatakan padaku jika mungkin saja akan ada biaya tambahan nantinya, dan aku tak yakin, jika keluarga Pak Sardi memiliki sejumlah tabungan buat menanggungnya.

Apalagi Nadia.....

Fiuhhhh! Itu artinya, aku memang harus tetap stay di sini sampai semuanya kelar, sampai pak Sardi kembali sadar dan bisa di pertemukan denganku.

...

...

...

Ku sempatkan menikmati udud dan secangkir kopi di kantin depan rumah sakit, buat sekedar penetral perasaan yang sempat tak mengenakkan sejak tadi.

Apa yang patut ku ceritakan sekarang? Hmm, sepertinya tak ada. Karena tak ada yang menarik yang bisa ku ceritakan selama proses ngudud dan ngopiku yang memakan waktu hanya 15 menitan saja di sini.

Hingga....

Dari arah pintu masuk rumah sakit, ku lihat – kembali.... sosok wanita berkerudung yang warnanya masih sama. Nadia. Dia seperti sedang mencari seseorang? Wait, apakah dia sedang mencariku?

Ada apa ini? Di saat aku sempat melihat sorot matanya yang menatap ke segalah arah, sepertinya ada keresahan dan kekhawatiran di sana. Apakah bener-bener dia sedang mencariku?

Aku harus menunjukkan diri padanya.

Maka ku pungkasi acara nongkrong santaiku di kantin, tak lupa membayarnya terlebih dahulu, kemudian melangkah keluar.

Aku tak perlu memanggilnya. Karena di saat aku keluar, pandangan Nadia langsung terhenti tepat ke arahku. Dari cara dia menatap, ada kelegaan yang ku tangkap. Sekiranya aku bisa menceritakan hal ini, karena memang jarakku dengannya tak begitu jauh.

“Ada apa Nadia?”

“Pak Rendi...” balasnya.

Aku akhirnya mendekat padanya.

“Ada apa Nad? Nyariin siapa?”

“Nya... nyariin bapak” Nadia membalas, tapi dari cara dia membalas, suaranya agak menyimpan duka di sana. Jantungku pun langsung terpukul, berdebar, dan perasaanku kembali tak mengenakkan. Apakah telah terjadi sesuatu pada Pak Sardi?

“Ada apa Nad? Ceritakan ke saya”

“Abi, pak.... abi sudah sadar dan Nadia sempat cerita kalo Pak Rendi mantan mahasiswanya datang, dan beliau langsung nyuruh Nadia buat memanggil bapak”

“Baiklah.... ayo kita ke dalam” ajakku sesegera mungkin.

Kami berjalan agak cepat menuju ke ruang ICU. Dimana Nadia ku sadari berjalan di belakangku, bukan di sisi sampingku.

Bukan perkara yang patut di masalahkan, karena fokusku, harus segera bertemu dengan Pak Sardi.



Singkat cerita....



Kami tiba di ruang ICU. Ku lihat dua orang tenaga medis di dalam sana, membantu menangani Pak Sardi. Aku belum bisa menebak apa yang bakal terjadi ketika ku temui mantan dosenku di dalam sana. Apakah sebaiknya ku ceritakan saja apa yang sebenarnya terjadi, atau aku menyimpan rahasia ini saja?

Anggap aku seorang pengecut, tapi bukankah menyembunyikannya akan menjadi hal yang baik di kemudian hari, biar hubunganku dengan beliau tidak rusak?

“Pak Rendi.... masuk yuk, abi nungguin” begitu ujar Nadia yang menyadarkanku.

Aku hanya mengangguk.

Mencoba tenang, meski agak sulit ku lakukan, apalagi ada beban yang ku bawah bersama saat ini.

Aku pun melangkahkan kaki menuju ke dalam.

“Silahkan Pak” di bantu oleh suster, menarik kursi, aku duduk tepat di sisi samping ranjang tempat Pak Sardi terbaring, lengkap dengan peralatan medis di tubuhnya, matanya pun masih terpejam.

“Terima kasih sus” balasku.

Aku sempat menyadari, Nadia rupanya hanya berdiri di sampingku. Tidak mengambil duduk seperti yang ku lakukan.

“Assalamualaikum Pak Sardi, ini saya Rendi pak”



Matanya membuka…

Menatapku.

“Nak... Rendi.... te... terima kasih sudah da... datang dan membantu orang tua ini.” Begitu ujar Pak Sardi. Pelan, dan lemah. “Na... Nadia udah cer... cerita semuanya ke bapak”

“Iya Pak… Maafkan Rendi karena baru hadir sekarang” ku raih tangannya yang lemah. Ku genggam. Beliau mengangguk. Meski lemah, meski tak berdaya, tapi ku lihat siratan senyum kelegaan di wajahnya.

“Sekali lagi.... maafkan Rendi, Pak” ungkapku tulus. Benar-benar meminta maaf, atas apa yang terjadi, yang hingga sekarang sulit buat ku ungkapkan padanya.

“Rendi tidak ada salah apa-apa di sini. Buat apa minta maaf nak?” Andai bapak tahu kejadian sebenarnya, aku yakin bapak pasti tidak akan mau melihat mukaku lagi. Aku membatin.

Pak Sardi menggeleng.

“Btw, bag... bagaimana kabarmu sekarang nak? Bapak dengar usaha kamu di Jakarta semakin sukses saja. Berbanding terbalik dengan sahabatmu Yono yang masih sering menghubungi bapak”

“Fiuh. Alhamdulillah pak, dan juga Yono menitip salam jika dia gak bisa hadir katanya, lagi ada urusan keluarga gitu. Dan dia menitipkan ini....” aku meraih amplop dari dalam tas, dan sempat ingin memberikan kepada pak Sardi.

“Be.. berikan ke putri saya aja nak”

Aku mengangguk, setelahnya, amplop itu ku angsurkan ke Nadia.

“Terima kasih pak” balas Nadia.

“Iya.... si Yono juga sudah kabari sehari sebelumnya” Pak Sardi kembali berbicara, meski masih lemah. Aku ingin sekali menyuruhnya berhenti berbicara saja, karena aku lihat dia kesulitan sekali untuk mengucapkan satu kata, apalagi dalam bentuk sebuah kalimat.

Aku hanya mengangguk merespon.

“Maafkan saya, ha... harusnya hari ini, nak Rendi tak harus meli... melihat kejadian ini semua.... ini... ini semua karena ulah putri bungsu saya, nak Rendi” setelah mengatakan itu, dari sudut kedua matanya, secara perlahan mulai menitihkan air mata. Aku hanya bisa menarik nafas beberapakali, karena sekali lagi ku katakan dan ku jelaskan, andai aku tak membantu Tasya semalaman itu, dan juga tak melakukan perbuatan persetubuhan dengannya, mungkin hari ini, Pak Sardi dan keluarga akan tersenyum bahagia melihat putri bungsunya itu menikah dengan pria yang ia pilih.

Tapi, apakah Tasya juga akan bahagia?

Ahhhhh, sebuah peraduan antara dua kubu dalam pikiran ini saling mengganggu.

“Sekali lagi maafkan saya ya nak Rendi. Ba... bahkan sampai harus mengeluarkan biaya seban...” belum juga ia menyelesaikan, aku menyela.

“Biaya yang saya keluarkan tidak seberapa, pak.... tidak sebanding ajaran dan motivasi dari bapak pada Rendi hingga bisa survive sampai sekarang ini”

“Semua kembali pada masing-masing orangnya, nak Rendi. Buktinya.... uhuk.... uhuk” Pak Sardi tak lagi mampu menyelesaikan ucapannya, bukan karena aku menyela, melainkan dia terbatuk-batuk dan dua suster yang stand by langsung menanganinya.

“Abi sudah bi.... jangan bicara lagi” Nadia yang sejak tadi diam, menegur ayahnya. Aku sempat menoleh, dan dari sepasang mata itu mulai menampung butiran-butiran kaca di sana.

“Oh iya nak Rendi.... uhuk....”

“Abi sudah bi”

“Nad... waktu abi sudah tidak banyak lagi, abi ingin meminta tolong ke nak Rendi untuk terakhir kalinya, dan berharap, nak Rendi mau menolong abi”

Degh!

Aku tertegun. Terdiam kaku setelah mendengar kalimat tersebut.

“Tidak bi.... hiks. Tidak, abi pasti sehat. Abi pasti akan kembali seperti dulu lagi” rasanya tak tega melihat wanita itu menitihkan air mata, tapi apa daya, tangan tak sampai untuk menghentikannya. Menghentikan laju air matanya karena kesedihan melihat orang tuanya dalam keadaan seperti ini.

“Uhuk uhuk.... nak Rendi”

“Saya pak”

“Nak Rendi.... bapak boleh minta tolong, tolong cari putri bapak, si Tasya yang entah pergi kemana... uhuk... uhuk” degh! Perih. Sudah benar apa yang ku pikirkan, jika benar - putri pak Sardi adalah gadis yang semalam itu.

“Kasian dia.... dan sampaikan permintaan maaf saya ke Tasya karena telah memaksakan kehendak untuk menikahkannya dengan pilihan bapak tanpa memikirkan bagaimana perasaannya selama ini”

“Rendi akan lakukan pak. Rendi janji, akan menemukan dia”

“Abi sudah bi.... sudah.... hiks”

“Nadia sayang.... waktu abi sisa sedikit,”

“Hiks... hiks” Nadia sampai tak sanggup lagi berkata apa-apa. Dia hanya menutup wajahnya dengan telapak tangannya yang bersarung tangan hitam itu.

“Sebelum bapak pergi… maukah kamu menerima keinginan terbesar bapak tuk terakhir kalinya?”

Aku tak jawab. Karena aku juga bingung, apa yang harus ku putuskan sekarang.

“Bapak mohon, nak”

Secara tak sadar, kepalaku teranggukkan, mengiyakannya.

“Jagalah kedua adikmu ini.... Tasya dan Nadia, berikan mereka berdua kehidupan yang layak, yang tak mampu bapak berikan selama ini..... bo... boleh kan nak Rendi?”



Ahhhh! Berat. Aku merasakan bagaimana beratnya kini.



“Abi.... hiks... Nadia sudah punya suami”

“Uhuk... mantan suami nak. Meski kalian belum resmi bercerai secara hukum, tapi suami kamu dengan teganya di depan abi, memberikan talak tiga.... yang artinya sudah sah secara agama”

“Hiks... hiks tapi bi”

“Sudah nak. Maafkan abi, yang dulu memaksamu menikahinya”

“Hiks... iya bi”

Satu persatu pertanyaan dalam kepala ini mulai terjawab, bagaimana Nadia dengan suaminya, kenapa suaminya tak hadir saat ini dan ini itulah. Mulai terangkai sempurna, hasil dari penjelasan dari Pak Sardi ini. Aku seakan tengah menonton sebuah film, atau membaca sebuah novel, dimana adegan ini sama saja seperti seseorang yang sudah menjemput ajal, menitipkan seseorang untuk di jaga, untuk di lanjutkan perjuangannya dalam menjaga orang yang di titipkannya.

“Nak Rendi.... boleh kan, tolong bapak?”

“Insha Allah, selama Rendi mampu.... maka Rendi akan jalankan amanah dari bapak”

“Alhamdulillahhh.... terima kasih nak.... semoga kebaikanmu di balaskan oleh sang khaliq.”

“Aminn Allahumma Amin.....”



Setelah aku bahkan Nadia mengucapkan kata amin tersebut, tiba-tiba saja.....

Pak Sardi terpejam, di susul bunyi panjang dari mesin monitor di dalam ruangan ini.



Bip! Bip! Bip!

BIIIIIIIIPPPPPPPPPP!!!


“ABIIIIII!!!. Hiks… hiks… hiks… Abi…. jangan tinggalin Nadia bi”



Pecah sudah tangis Nadia, dan segera bergerak mendekat ke ranjang, memeluk tubuh Pak Sardi.

“Hiks…”

“Innalillahi, wainnaillahi Rojiun.” ujar kami yang lainnya nyaris bersamaan, di saat melihat Pak Sardi pada akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dengan ekspresi yang amat sangat lega, senyumnya juga menunjukkan jika ia pergi dengan begitu tenang dan damai.

“Pak Rendi.... hiks.... hiks Abi telah pergi. Hiks” ujar Nadia, menoleh, mengangkat wajahnya dan menatap ke arahku yang hanya terdiam kaku, dengan perasaan yang tentulah menyedihkan. Aku bersedih, serta merasa amat sangat menyesal atas kejadian hari ini.

Dan karena penyesalan yang mendalam itulah, tanpa sadar, ku raih tubuh Nadia dan segera memeluknya. “Iya Nad.... maafkan saya”

“Biarkan abi tenang.... alhamdulillah, sekarang abi sudah bersama sang khaliq”

“Kamu yang sabar, ya dek” tanpa sadar juga, ku panggil dia dengan sebutan dek.

“Hiks… hiks… abi… hiks… kenapa abi ninggalin Nadia sendirian. Hiks”

“Sabar dan ikhlas… dek”



Dan setelah beberapa jenak, meluapkan semua kesedihan, maka para tenaga medis mengambil alih jenazah Pak Sardi, dan mulai menutup tubuh hingga ke kepala dengan kain putih.

Sekali lagi, Nadia langsung menghambur memelukku.

Masih menangis…

Aku sendiri, hanya bisa berkaca-kaca tanpa dapat berbuat apa-apa lagi.

Intinya…

Ku ucapkan janji dalam hati ini, kan ku jaga titipan Pak Sardi. Dan akan segera mencari keberadaan Tasya, putri satunya lagi. Aku janji dan akan menepatinya.

Kan ku berikan mereka hidup yang layak.

Kan ku anggap mereka, sebagai adik kandungku.



Pak Sardi..... Saya.... Rendi Widjaja.

Berjanji, kan memberikan kedua putri bapak, hidup yang layak.

Kan memberikan mereka, hidup yang baik, dan masa depan yang bisa saya pastikan, akan jauh lebih baik dari yang sekarang. Itulah janji saya, janji seorang laki-laki yang sampai sekarang masih tak sanggup untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.


Bersambung Chapter 7
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd