Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Sepenggal Kisah - Nadia Safira (NO SARA!)

CHAPTER 5
Nadia Safira





Kebaikan yang menjadi malapetaka.



Kalimat di atas sangat cocok untuk menggambarkan bagaimana yang terjadi sekarang ini. Kebaikan dan ketulusan serta keikhlasanku membantu seseorang untuk keluar dari musibah yang ia hadapi, malah impactnya amat sangatlah besar sekali bagi orang lain, bagi orang terdekatnya. Bahkan bisa saja, karena atas keputusanku membantu semalam itu, akan menghilangkan nyawa seseorang.

Sungguh, aku tak mampu memikirkan bagaimana jadinya saat ini, apalagi sempat ku dengar langsung tadi dari Wanita berkerudung jingga, jika ‘abi’ yang jika ku tebak, abi itu adalah panggilan buat ‘bapak’ – yang berarti adalah orang tua, yang mungkin saja orang tua – ayah – yang di maksudnya adalah pak Sardi. Dosen terbaikku saat di kampus, dosen yang juga telah ku anggap sebagai orang tua keduaku kala merantau di Bandung untuk menimbah ilmu, meninggalkan rumah dan orangtuaku di Jakarta, Tengah terkena serangan jantung dadakan.

Oh tidak!

Apakah semua ini karena ulahku? Karena kesalahan yang ku anggap membantu awalnya, malah menjadi musibah besar bagi orang yang amat sangat ku hormati ini?



Bro Rendi, cek dulu baik-baik detailnya, biar lo gak merasa bersalah. Sebuah monolog singkat baru saja mengingatkanku. Memang benar, aku tak boleh menyimpulkan terlalu jauh dulu sebelum aku mencari tahu detailnya di dalam.

Karena dasar pemikiran itulah, pada akhirnya ku beranikan diri untuk melanjutkan niatku untuk bertamu, untuk bertemu dengan sang tuan rumah, alias Pak Sardi di dalam sana. Maka ku langkahkan kaki ini dengan perasaan yang teramat sangat tak mengenakkan.

Begitu kakiku baru melangkah 2 – 3 meteran. Tiba-tiba dari arah pintu masuk yang ingin ku tuju, satu persatu orang mulai keluar. Bukan hanya itu saja, ada dua orang pria yang tengah mengangkat tubuh seorang pria yang tanpa melihat-pun aku sudah bisa menebak siapa orang yang di angkatnya itu, membuat perasaanku semakin menjadi-jadi.

Rasa tak mengenakkan ini di perparah dengan kejadian - dari dalam ambulans, dua orang berpakaian putih dengan sigap mengeluarkan ranjang khusus yang memiliki roda di ke-empat tungkainya untuk membantu dua orang tadi untuk menyambung tanggung jawabnya buat pria yang tengah di angkatnya itu untuk di naikkan ke dalam ambulans. Ingat, hal ini terjadi amat sangatlah cepat. Dan bahkan aku sendiri sampai tak tahu harus berbuat apa sekarang ini.

Pak Sardi?

Apakah aku akan kehilangan engkau hari ini? Pun, karena ulahku sendiri yang dengan bodohnya memberikan uang pada putrinya buat melarikan diri? Oh tidak! Aku bahkan tak sanggup untuk memikirkan lebih jauh apa yang bakal terjadi nanti.

Lo yakin, kalo Tasya yang semalam lo nikmati tubuhnya adalah putri pak Sardi, Rendi? Sekali lagi, sebuah monolog singkat mencoba menggoda, mencoba untuk menyadarkanku.

Tapi, aku yakin jika aku tak salah dalam menebaknya. Jika Tasya yang semalam bersamaku, yang juga telah ku berikan uang 15 juta, adalah putri bungsu pak sardi. Jangan tanyakan bagaimana aku seyakin ini ya, apalagi aku amat sangat yakin jika semesta benar-benar sedang mempermainkanku.

Bodooh….. Bodoh! Kenapa aku bisa senekad itu semalam? Arghhhh! Aku benar-benar menyumpahi, menyalahkan diriku sendiri karena telah melakukan ini semua.



Kembali ke kejadian yang kini ku saksikan dengan sepasang mata ini.

Pak Sardi yang sudah tak sadarkan diri, langsung di naikkan ke dalam mobil ambulans. 3 orang wanita langsung ikut naik ke dalam ambulans, salah satunya wanita berkerudung jingga yang tadi, eh salah, yang semalam ku temui bersama suaminya – yang juga tengah kesulitan buat melanjutkan perjalanan menuju Bandung di karenakan motor butut sang suami bermasalah.

Oh iya, suaminya mana ya? Kenapa aku tidak melihatnya sejak tadi?

Forget it. Gak penting aku memikirkan suaminya.

Begitu aku melihat mobil ambulans, dan beberapa pengendara motor mulai berjalan, ku putuskan untuk Kembali ke mobilku, buat mengikuti ambulans tersebut yang ku yakin bakal menuju ke rumah sakit.



Singkatnya….



Aku kini telah berada di perjalanan menuju ke Rumah Sakit. Mengikuti mobil ambulans di depan sana.

Ahhh, kenapa harus seperti ini sih kejadiannya….

Bukankah kedatanganku ke sini hanya untuk menghadiri pernikahan, malah akhirnya menjadi seberantakan ini?

Jangan tanyakan bagaimana perasaanku sekarang ini ya, dan masih berusaha berdoa agar Pak Sardi di dalam ambulans sana, tidak kenapa-kenapa. Bisa di bayangkan bagaimana bersalahnya aku jikalau beliau sampai menghembuskan nyawanya hari ini. Karena kesalahanku? Bagaimana kepanikan serta kekhawatiran yang begitu besar, kini ku rasakan. Bagaimana doa tak henti-hentinya ku lafazkan dalam hati.

Ya Allah…

Ku mohon, berikan keselamatan buat Pak Sardi, agar aku, bisa terbebas dari rasa bersalah yang teramat besar ini di kemudian hari.







Rombongan ambulans dan lainnya, termasuk aku telah tiba di rumah sakit.

Aku yang notabenenya bukanlah bagian dari keluarga tentulah tak di izinkan terlalu jauh bertindak. Alhasil, aku hanya bisa melihat dari jarak yang tak jauh, berkumpul beberapa orang yang ku yakin awalnya adalah bermaksud yang sama denganku untuk menjadi tamu undangan pernikahan putri pak Sardi. Malah harus rela menyaksikan kejadian hari ini, bahkan sampai harus ikut ke rumah sakit.

Fiuhhh! Ku hela nafasku yang terasa amat sangat berat ini. Jadi…. Di sini, aku hanya menunggu dan menunggu saja.



Hingga….



Entah telah berapa lama aku menunggu, akhirnya aku dapat kabar jika kini Pak Sardi langsung di pindahkan ke ruang ICU untuk penanganan lebih intens karena menurut hasil pemeriksaan tadi, jika beliau sedang dalam kondisi yang teramat sangat kritis.

Gila. Ahhh, gila, kenapa hari ini aku harus menyaksikan ini semua sih?

Tak berapa lama, sosok wanita yang juga tadi sempat menari-nari di pikiranku, baru saja keluar. Dia berdiri di sana, dan beberapa orang langsung mendekatinya. Termasuk aku tentunya. Awalnya aku ingin mendekat, lebih dekat ke wanita itu, Cuma aku tahan. Aku berusaha untuk menahan keinginan ini. Alhasil, setelah berhasil ku tenangkan perasaan ini, aku pun mundur selangkah, mengambil jarak semeteran dan cukup mendengarkan saja apa yang mereka obrolkan di sana.

Cuma dari semua pertanyaan yang di lontarkan oleh ‘mereka’, tak satupun mendapatkan jawaban yang pasti, yang intinya mereka hanya mendapatkan jawaban jika pak Sardi, sedang kritis, sedang di tangani oleh para tim medis di dalam sana.

Yang membuat aku mengernyit, karena pandangan wanita itu seakan kosong, seakan jiwanya tak berada di sana. Sepasang mata sendunya itu mulai mengitari ke sekeliling, seolah-olah berusaha mencari seseorang yang bisa menenangkannya. Apakah dia sedang mencari suaminya?

Sampai sini aku tak bisa menyimpulkan lebih jauh…

Tapi, yang menjadi tanda tanya besar, mengapa suaminya tak mendampingi ya?

“Permisi…. Bagaimana bu? Kita harus segera menandatangani beberapa berkas administrasinya.” Sesosok pria berbaju putih baru saja keluar dari dalam ruangan dan menghampiri Wanita berkerudung jingga tersebut.

Wanita itu, ku lihat seakan menarik nafas dalam-dalam. Sebelum menjawabnya, “Ahhhhh…. Bisa tunggu sebentar pak? S… saya me… menun… menunggu suami saya”

“Bu…. Kami sudah tidak bisa menunggu lagi. Karena kami belum bisa mengambil Tindakan jikalau semua berkas administrasinya belum di tandatangi, sedangkan pasien, harus sesegera mungkin di tangani sekarang”

Ada apa ini?

“Tapi pak” Wanita itu tak melanjutkan. Dia sempat menunduk.

“Ada apa teh Nad?” seorang pria muda bertanya. Tapi ia tak mendapatkan jawaban dari Wanita itu, melainkan dari pria berjubah putih tersebut.

“Ini, kami menunggu pihak keluarga untuk menandatangani beberapa berkas administrasi rumah sakitnya, mas”

“Bukannya Pak Sardi punya BPJS?”

“Itu dia masalahnya pak, BPJS Pak Sardi sedang off, alias harus membayar iuran selama 3 tahun ini agar bisa di aktifkan Kembali”

Ahhhhhh….. aku langsung menarik nafas dalam-dalam setelah mendengarkan hal itu. Dan beberapa detik selanjutnya, satu persatu orang agak mundur dari situ, dan langsung ku simpulkan jika tak ada satupun orang yang berdiri di dekat Wanita itu ingin mengambil tanggung jawab tersebut.

“Kalo begitu, tunggu suami teh Nadia aja”

Sekali lagi Wanita itu hanya menunduk.



And then…..

Tanpa menunggu lagi, aku lantas melangkah ke depan, dan menghampiri Wanita berkerudung jingga itu.

“Assalamualaikum….” Aku memberi salam. Dan beberapa orang membalas salamku meski dengan suara yang pelan.

Setelah tiba dan berdiri di hadapan wanita itu, maka ku lanjutkan ucapanku. Lebih ke niatku yang sudah bulat. “Bu…. Biar saya damping ibu masuk ke dalam. Saya Rendi Widjaja, dan Pak Sardi mengenal saya dengan amat sangat baik…..” begitu ujarku, dan langsung menjadi perhatian semua orang yang berkumpul di sekitar.

Bisik-bisik pun sempat ku dengar, meski tak ku dengar dengan jelas, tapi ku acuhkan saja. Karena fokusku hanya kepada sang wanita.

Wanita itu mengangkat wajahnya. Dia menatapku tanpa kata.

Aku melempar senyum, mengangguk kecil padanya.

“Pak?”

Aku mengangguk sekali lagi.

Aku memberikan tatapan padanya, seolah-olah ingin mengatakan padanya, jika ia tenang saja. Ada aku di sini, ada aku yang akan mengambil semua tanggung jawab di sini. ‘Selama Rendi ada di sini, maka kamu tenang saja, saya akan memastikan semua tanggung jawab akan di bebankan pada saya’. Aku hanya membatin, karena tak elok jika ku lontarkan di hadapannya.

“Syukurlah…. Ayo pak Rendi, bu Nadia…. Kita tak punya waktu lagi”

“Ayo bu…. Saya dampingi ibu” ujarku sekali lagi.

Sekali lagi, Wanita itu hanya menatapku tanpa kata. Setelah aku mengangguk, menatap ke dalam matanya, barulah Wanita itu mengangguk amat sangat pelan.

Setelah itu, kami bertiga langsung masuk ke dalam. Langsung menuju ke meja administrasi.

Aku di persilahkan duduk, sedangkan Wanita berkerudung jingga itu hanya berdiri di sisiku saja.

“Silahkan pak…. Jadi begini……….” Intinya, si petugas rumah sakit itu menjelaskan apa-apa saja yang harus ku tanda tangani, yang tentu saja, semua biaya rumah sakit akan segera di bebankan ke pihak keluarga, karena bpjs pasien Tengah tidak aktif. Awalnya mereka menyarankan untuk membayarkan saja segera tagihan BPJS selama 3 tahun, tapi aku menolak.

“Tak perlu…. Sekarang, yang lebih utama adalah segera menangani pasien di dalam. Masalah biaya, berapapun itu, saya akan selesaikan”

“P… pak?” ku dengar Wanita itu sempat berbisik.

Aku menoleh, dan sekali lagi menatap ke dalam matanya. Ku berikan anggukan padanya, jika aku tidak sedang bercanda. Aku serius. Aku amat sangat serius dengan apa yang ku putuskan sekarang ini.

“Berikan penanganan dan pelayanan yang terbaik yang kalian miliki kepada Pak Sardi.” Sekali lagi, aku berucap. Sembari mengeluarkan salah satu ATM Platinumku dari dalam dompet.

Tentu saja, begitu melihat ATMku tersebut, petugas rumah sakit itu merubah ekspresinya. Hadehhh! Dimana-mana, memang uang adalah segalanya.



“Pak Pin-nya” ujar si petugas setelah menggesek ATM Platinumku pada mesin.

Aku beranjak, “Permisi bu” Wanita itu menggeser sedikit.

Aku berdiri, dan mulai memasukkan 6 kombinasi angka pada mesin tersebut.

Beres……

Dan jenak berikutnya, pada ponselku, ada sebuah pesan masuk dari sms banking, pesan sejumlah dana yang keluar dari rekening pribadiku tersebut. Jumlahnya 12 juta.

“Sudah pak. Kalo misalnya ada biaya lagi yang akan di bayarkan, kami akan kabari selanjutnya”

“Oke…. Segera tangani pasien. Penanganan yang terbaik yang rumah sakit ini miliki”

“Kami akan berusaha pak”



Setelah itu, aku pun berniat untuk Kembali keluar dari ruangan ini. Cuma aku di tahan, “Pak…. Bi… bisa bicara sebentar?”

Aku tersenyum. “Boleh.”

“Kita…. Di si… situ aja”

“Terserah ibu”

Aku, dan Wanita berkerudung jingga itu pun melangkah Bersama keluar dari ruangan administrasinya.

“Kita ngobrol di sini saja bu, gak enak kalo ngobrol di depan, banyak orang dan takut terjadi fitnah” begitu ujarku, memutuskan untuk tidak benar-benar keluar, hanya mengajaknya ngobrol sambil duduk di dalam ruangan, tapi bukan di dalam ruangan administrasi tadi.

Wanita itu hanya mengangguk pelan. Dan kini, aku pun duduk bersamanya. Tidak benar-benar duduk berdamingan. Ada jarak yang memisahkan.

“Silahkan bu, apa yang ingin ibu tanyakan?”

Wanita itu menoleh, “Si… siapa sebenarnya bapak?”

Aku Kembali senyum. “Saya Rendi bu. Pak Sardi adalah dosen saya dulu di kampus. Beliau adalah orang yang amat sangat berjasa bagi saya. Bagi jalan kehidupan saya…. Apakah sudah cukup informasi ini? Tapi jika ibu masih ingin bertanya lagi, silahkan”

Begitu aku membalas tatapannya, dia mengalihkan. Dia tak ingin membalas menatapku.

“Ba… bapak…. Ke… kenapa bapak membantu kami, membantu saya…. Bahkan semalam juga bapak sudah membantu saya dan suami, padahal bapak tidak mengenal kami awalnya”

“Lupakan kejadian semalam” aku bergumam. “Oh iya, suami kemana? Kok belum keliahatan?”

Wanita itu mendesah. “Beliau hanya mengantarkan saya saja tadi, lalu beliau Kembali pulang ke Sukabumi.”

“Haaaaa? Loh….”

“Ada hal yang saya tak perlu menceritakan ke bapak…” balas Wanita itu. Tapi, dari cara dia berucap, dan bersikap, sepertinya, hubungan suaminya dengan keluarga, sedang tidak baik-baik saja.

“Baiklah bu, saya juga tidak akan memaksa” begitu balasku.

“Terima kasih banyak pak. Karena sudah baik membantu kami, khususnya hari ini” sembari berbicara, Wanita ini sering sekali mengalihkan pandangannya dariku.


“Kembali kasih, bu” balasku pelan. Masih menunjukkan senyum terbaikku padanya.

“Nadia aja pak…..” dia menggantung.





Kemudian menoleh Kembali padaku, “Nadia Safira………”



“Begitulah nama panjang saya, Pak”



Hmm…. Nama yang cantik.

Apakah secantik parasmu yang engkau sembunyikan di balik khimarmu, wahai Nadia Safira?





Bersambung Chapter 6
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd