Chapter 3 (Dalam Dekapan Sang Malam)
Februari 2009
Fiuuhhh.
Aku menghela nafas panjang dan menyandarkan tubuhku di kursi setelah lelah seharian bekerja. Aku pandangi langit-langit ruangan kantorku yang berhias pita merah muda. Di setiap meja karyawan terdapat bunga mawar berbagai macam warna.
Dalam rangka valentine, kantorku di hias sedemikian rupa beraroma merah muda. Setiap tahunnya kantorku memang selalu merayakan valentine, bahkan di malam tanggal 14 Februari kantorku mengadakan acara valentine untuk seluruh karyawannya. Dan setiap karyawan di perbolehkan membawa pasangannya masing-masing ke acara tersebut.
Aku bekerja di perusahaan ini sejak kuliah semester 3 untuk membantu biaya kuliahku. Setelah aku lulus, aku mendapat kenaikan jabatan sesuai ijazah yang aku miliki.
Apa tahun ini kamu juga akan melewati acara valentine ? Mawar namanya wanita yang menegurku. Sama seperti namanya, dia sangat menyukai bunga mawar. Dia rekan kerjaku yang mejanya bersebelahan dengan mejaku.
Yeah, sepertinya.
Ayolah Will kali ini ikut, kan gak harus punya pasangan untuk ikut.
Bukan karna itu kok aku malas untuk ikut, tapi
..
Ucapanku terhenti saat ponselku bergetar, sebuah sms masuk. Saat kulirik layar ponselku, tertera nama
Cahaya sebagai pengirimnya.
Will, aku mendapat cuti 2 hari, dan rencananya Kamis pagi aku sampai ke Jakarta untuk mengurus legalisir ijazahku, apa kamu bisa menjemputku di stasiun.
Aku tersenyum, lalu melirik kalender. Ah hari Kamis besok tepat tanggal 14 Februari. Aku menatap mawar yang masih diam menatapku, menunggu jawaban dariku.
Maaf sepertinya aku harus mengambil cuti pada tanggal 14 dan 15 nanti, jadi aku tidak bisa ikut acara itu.
Stasiun Gambir
Aku pandangi setiap lalu lalang orang-orang yang baru saja turun dari kereta. Mencari-cari seberkas Cahaya indah diantara mereka. Hatiku sungguh berdebar, setelah 6 tahun tak bertemu dengan Cahaya.
Hanya lewat surat, sms, dan telepon aku berhubungan dengan Cahaya. Berbagi cerita tentang setiap kejadian yang kami alami selama ini. Dan masih seperti dulu dan dulu, aku tak pernah bisa menyampaikan perasaanku kepada Cahaya.
Setiap menit seperti berjalan lama sekali, setiap kereta yang berhenti aku selalu perhatikan baik-baik pintu setiap gerbongnya. Memperhatikan dengan sangat berdebar setiap wanita yang melangkah keluar.
Matahari semakin meninggi, dan aku baru sadar kalau ponselku tertinggal di rumah. Aku tidak bisa menghubungi Cahaya untuk menanyakan kenapa belum sampai. Suasana stasiun yang ramai di pagi hari, mulai berkurang semakin siang. Dan aku masih berkutat dalam penantianku disini.
Bahkan hingga matahari telah turun dari kedudukannya yang paling atas, Cahaya belum sampai. Aku terus menunggu di sebuah kursi yang ada di stasiun, aku tak peduli dengan kondisiku saat ini. Yang aku pikirkan hanyalah menunggu Cahaya, tanpa berani untuk melangkah pergi dari penantianku.
Semakin lama semakin memudar, hingga
Will !
Suara yang sangat ku kenal memanggilku, saat itulah aku sadar bahwa aku sudah terbuai dalam alam mimpi. Sebisa mungkin aku buka mataku kembali dan aku dapati seorang wanita tersenyum manis walau masih samar karna mataku yang baru ku buka, tapi aku bisa mengenalinya. Sama seperti dulu ketika dia tersenyum, mata sipitnya tenggelam hampir menutup.
Cahaya, gimana perjalanannya ?
Aku langsung memalingkan wajahku, berpura-pura membasuh mataku. Ah aku masih sama seperti dulu ternyata, tak mampu lama-lama menatap wajah Cahaya yang berkilau-kilau.
Dia telah sedikit berubah, lebih dewasa dengan Cahaya yang terakhir aku lihat 6 tahun yang lalu saat kami lulus SMA. Rambutnya tak lagi panjang hingga sepinggang, kini rambutnya sebahu dan lebih mengembang. Mata sipitnya terlindung kaca mata tipis.
Bukkk.
Seketika itu Cahaya menghamburkan peluknya, mendekap tubuhku sangat erat. Dengan sedikit getaran pada tulang-tulangku, aku membalas pelukannya. Menghirup aroma wangi dari tubuhnya, merasakan tiap detakan jantungnya.
Maaf Will, aku ketinggalan kereta, aku kebingungan mencari tiket untuk perjalanan berikutnya hingga aku dapat perjalanan malam hari.
Cahaya semakin erat memelukku, seolah meminta dan terus meminta maaf atas keterlambatannya yang luar biasa lama. Ah tapi mengapa aku tidak mempermasalahkan keterlambatannya, mendekap Cahaya seperti itu seolah berhasil dengan sukses mengobati kerinduanku selama ini.
Dan aku berharap semoga sang waktu memperlambat langkahnya, agar aku dapat semakin lama menikmati setiap hela nafas yang menghangatkanku malam ini. Bahkan aku tak peduli dengan jarum jam yg hampir berada di angka 12.
*****
Kini kami berada di tempat Simbelin mekar, dibawah terpaan cahaya bulan yang dalam bentuk sempurnanya. Malam ini nampak sangat cerah, hingga gugusan bintang dapat kami lihat dengan indah.
Kami duduk memandang langit sambil bercerita banyak hal. Mengenang saat-saat dulu kami bersama, saat kami kecil sampai ke masa-masa SMA. Hingga sampai kami kehabisan bahan pembicaraan.
Dan binatang malampun menggantikan kami berceloteh, saling sahut menyahut. Cahaya nampak keletihan, dia merebahkan kepalanya di bahuku. Saat-saat yang telah aku nantikan beberapa tahun belakangan ini.
Will, Cahaya kembali membuka pembicaraan, apa disini sering hujan ?
Aku menopang tubuhku dengan kedua tangan kebelakang, memandang kilau cahaya dari bulan dan bintang, seperti yang dulu selalu kita alami di bulan Februari, disini sedang musim hujan Cahaya. Tapi sudah 3 hari ini cuaca disini cerah.
Aku rindu saat hujan bersamamu dan juga Simbelin, Cahaya semakin dalam merebahkan kepalanya di bahuku, membuat tanganku sedikit menekan tanah untuk menahan beban kami berdua.
Yah, aku hirup dalam-dalam aroma wangi Cahaya yang berpadu dengan wangi Simbelin.
Menurutmu di Batam apa sering hujan juga ?
Maksudmu ? aku menatap wajah teduh Cahaya yang sedang memperhatikan bunga Simbelin.
Bulan depan aku pindah ke Batam.
Aku terdiam untuk beberapa saat, menyadari jarak kami yang akan bertambah jauh. Tubuhku serasa melemah, semakin hanyut dalam kesunyian malam.
Apa kamu selalu mengingatku ?
Cahaya menatapku, saat itulah degupan jantungku semakin cepat. Bibirnya yang merah merekah mendekat, nampak sangat berkilau. Aku hanya dapat menatapnya penuh keraguan.
Cup, bibirnya tepat mengenai bibirku, mataku terbelalak lebar tapi tidak dengan Cahaya, dia terpejam wajahnya nampak tenang.
Will, dia membuka matanya, menatapku dengan mata sipitnya yg imut. Kemudian kedua tangannya melingkari tubuhku dan merebahkan tubuhnya di atas tubuhku.
Aku kehilangan keseimbangan, membuat aku terhampar di atas rerumputan, ketika itu pula bibir kami kembali bersentuhan. Aku berusaha mengatur nafasku yang memburu, Cahaya nampak tenang, semakin erat mendekapku.
Rasa ini tak mungkin bisa aku ungkapkan hingga berakhirnya malam. Satu rasa yang aku rasakan kini mengantarkan ku ke sebuah dekapan hangat. Bibir kami telah menyatu, lembut sangat lembut hingga aku ikut terpejam. Jemariku mulai menari membelai punggung dengan penuh kasih.
Tanpa sadar, kecupan lembut kamu mulai berubah, lidahku mulai menyeruak masuk ke dalam rongga mulut Cahaya. Mencari-cari lidah Cahaya yang masih malu-malu pada akhirnya menyapa lidahku dengan kelembutan.
Hmmmmm, terdengar suara lenguhan Cahaya, harum bibirnya dapat jelas memenuhi penciumanku.
Semakin lama lumatan lidah kami semakin liar hingga menghasilkan decak suara liur. Jemariku yang tadi hanya membelai, kini meremas pundak Cahaya. Sesaat kemudian kami membuka mata kami dan melepaskan pagutan kami
Cahaya membelai wajahku perlahan, wajah yang diterpa sinar rembulan. Dia tersenyum manis, untuk kedua kali aku mampu menatapnya berlama-lama. Dan saat inilah aku sadar, bahwa sudah rela membutakan mataku karna menatap kilau Cahaya darinya.
garis tawanya
waktu berhenti apabila ku memandangnya
mengagumkan
melemahkan aku melihat tatap matanya