n00bietol
Semprot Baru
- Daftar
- 27 Jan 2015
- Post
- 48
- Like diterima
- 234
Terimakasih atas sambutan suhu-suhu semua. Walaupun ane tak mampu membalas satu per satua komentarnya, ane selalu monitor tanggapan teman-teman. Perlu ane tekankan, tak banyak sex scene di cerita ini, tapi semoga masih tetap bisa dikategorikan sebagai cerita panasss. Dilanjut. Hari ini mega update, sampai dengan minggu depan. Semoga cukup memuaskan suhu-suhu semua.
****
A DANCE WITHOUT MUSIC
Aku sudah menduga bahwa reorganisasi itu bakal menuai protes keras, bahkan dari partnerku sendiri.
Kami bertiga, aku, Amin dan Jeff, serta Mitha, direktur HR and compliance mengadakan meeting tertutup pagi itu di ruanganku. Aku menyajikan presentasi yang aku buat minggu lalu bersama dengan Sandra (secara rahasia, tentunya). Kubeberkan semua angka yang sudah kuolah, dan bukti-bukti meyakinkan bahwa ada maling atawa calon maling di kantor kami.
Amin adalah salah satu dari tiga partner pendiri termasuk aku. Daniel, Hero, Chandra adalah bawahan dia. Tentu saja Amin punya salah di sini karena membiarkan ketiga cecunguk itu bisa leluasa, tapi harus kuakui bahwa Amin sangat berjasa membawa banyak akun pada saat berdirinya perusahaan kami, pun hingga sekarang. Dia juga teman akrabku sejak kami berdua begitu lulus dari Columbia dan bekerja di Piper Jaffray. Dia sendiri jarang ngantor, dan pada akhirnya terlalu mempercayai ketiga orang ini untuk menjalankan day-to-day operation.
"Min, lo ga tau anak-anak ini ngapain aja selama ini?" tanya Jeff sambil mengerutkan dahinya dan membaca kembali report itu.
Amin cuma mengangkat bahunya. Terlihat bahwa Jeff mulai tidak nyaman.
"yang gue tahu, mereka manajer-manajer gue yang paling ok," katanya santai.
"Ini fatal Min, ga bisa ditoleransi. Were you involved in this shit?"
Jeff melempar tumpukan kertas itu ke meja. Aku hanya diam saja karena aku tahu aku sudah di ambang emosi melihat santainya Amin. Amin diam saja tak menjawab, tapi wajahnya merah padam. Aku dan Jeff merasa bahwa itu hanyalah pertanyaan retorik, pertanyaan yang tak perlu dijawab.
"Van, Kita udh ada deal belum untuk perusahaan-perusahaan yang bermasalah itu?"
"Luckily we haven't, tapi ada 2 yang hampir MoU," kataku.
"Ok ok. Just fire them then, but spare Chandra. I still need him," kata Amin.
"Van, you got our OK, just do it," kata Jeff sambil berlalu dari ruangan. Tampaknya dia jengkel sekali melihat Amin.
"Ok, jadi lo mau gue ngapain?"
Mitha bertanya setelah Jeff dan Amin keluar dari ruanganku. Mitha, pegawai pertama perusahaan kami, adalah tangan kanan dan kiri kami, one of the most effective and efficient woman I've ever met.
"Easy. Gue mau lo koordinasi sama Amin, supaya Daniel, Hero, ga pegang akun lagi, kunci semua akses ke sistem, email, tarik semua benefit mereka termasuk insentifnya, kemudian pindahkan mereka di ruang kaca di lantai 7, tepat di resepsionis. ASAP. Kasih SP tiga ke Chandra dan pastikan insentifnya kita tunda sampai tahun depan."
"Gila lo. Lo mau mempermalukan mereka?"
"yang jelas gue ga mau pecat mereka. Ongkos mahal, dan entah bagaimana mereka nanti bereaksi. Gue mau mereka resign. Got it?"
"Noted Van," dan dengan kata pendek itu Mitha keluar dari ruanganku.
Berita itu dengan cepat menyebar seantero gedung. Orang-orang kasak kusuk dimana-mana, dan tepat besok harinya jam 12 siang, aku sudah menerima surat pengunduran diri Hero. Good, artinya aku sudah berhasil menyingkirkan satu orang dan tinggal 1 cecunguk yang tersisa. Daniel bisa dibilang yang paling keras kepala di antara yang lain. Sepertinya dia tahu betul bahwa aku mastermind dari "pengucilan" dia. Aku sendiri sudah cukup siap dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Dia bertahan selama kurang lebih seminggu di "pengucilan" sampai pada akhirnya menyerah dan mengundurkan diri, itupun dengan meninggalkan satu pesan pendek yang dikirimkan ke BB kami bertiga. Isinya hanya pendek.
"Watch out"
***
Tentu saja kami segera mendapatkan pengganti kedua orang itu (thanks to Mitha), namanya Jen dan Ardi, dan karena Amin tak mau tahu dengan soal handover itu (he's truly an asshole), pada akhirnya aku harus turun tangan menangani semuanya. Aku harus go through report by report, dan untungnya aku dibantu oleh Sandra dan Mitha. Dari pagi sampai malam, hanya kami bertiga. Non stop.
"Van, San, gue harus pulang, anak gue nungguin, gue udah ga bisa mikir lagi," kata Mitha menyerah.
Aku mengangguk.
"Pastikan Jen dan Ardi mendapatkan handover ini tepat waktu ya Mit. Semua benefit udah disiapkan kan?"
Gantian dia mengangguk.
"San, ga ikutan pulang?"
"Ga mas, nanggung."
"Gila kalian, pulang semua deh. Get a life, go to pubs, ..." Mitha terus meracau dan akhirnya pergi. Kami berdua hanya tertawa, dan kemudian lanjut lagi dengan pekerjaan, ditemani seteko kopi dan permen.
"Mas, Laper ga?"
Aku memandangnya dan tersenyum.
"Sori lo harus stay sampai malam ya San. Dengan semua yang terjadi ini, kayanya cuman lo dan Mitha yang bisa gue percaya sekarang."
"It's ok, mas."
"Dan ya, gue laper banget. Kayanya kita udahan aja malam ini. Hmm, kenapa kalo kita tinggal berdua topiknya tak jauh-jauh dari makanan ya San?"
Dia tertawa. Giginya yang putih rapi terlihat, dan sekali lagi aku dibuat terpesona. Dia mengangkat bahunya.
"Mau makan di luar? Gue lagi ga pengen makan sendirian. You choose?"
Dia tersenyum dan mengangguk cepat.
"Mobilmu aja boleh? Gue besok kayanya ga pengen ke kantor ..."
Kami akhirnya makan di sebuah resto kecil (lebih tepat sih warung makan) di daerah **********, punya sahabat Sandra (Sandra bilang dia juga punya saham di warung tersebut). Paul namanya. Sebelum Sandra ke sana, dia sudah telepon dulu untuk memastikan restonya masih buka. Maklum warung dia cukup laris.
"Sori ya Paul, datang agak maleman. Kangen masakanmu," katanya sambil cipika-cipiki. Kami datang di sana dan warung sudah setengah tertutup dan dipasangi tulisan TUTUP. Tampaknya pemiliknya memang sengaja menunggu Sandra.
"Gue pikir lo tadi mau makan sama Andre ...," katanya sambil melirik aku. Andre nama tunangan Sandra (aku juga baru tahu kemudian setelah diberitahu Sandra. Mungkin karena aku dan Sandra jarang sekali mendiskusikan pasangan).
"Oya, kenalin ini mas Evan. Mas, ini Paul."
Dengan cepat Paul menyajikan masakan khas warung itu kepada kami yang sudah sangat kelaparan.
"Enjoy," katanya sambil hendak berlalu.
Sandra memegang tangannya.
"Ikut ngobrol di sini yuk Paul, biar rame," katanya. Kami akhirnya ngobrol heboh bertiga di tengah sepinya warung yang sudah kosong itu. Paul ini rupanya enak sekali buat diajak ngobrol, sangat sociable.
Dia memang chef berbakat. Bapak ibunya orang Indonesia, tapi dia lahir dan besar di Hong Kong sebelum akhirnya pindah ke Indonesia for good, bersama dengan partnernya, expat Hong Kong yang bikin pabrik kain di daerah Ungaran. Kami menikmati seporsi besar mi daging sapi (rasanya mirip sekali dengan Kau Kee di Central, HK), Sandra sampai ga habis sangking banyaknya, dan aku dengan "gentleman"nya, menghabiskan sisa minya. Minumnya sederhana, es teh tarik.
"Wow, super good. Makasih ya Paul, masakanmu masih enak kaya dulu."
"Lah lo pake diet-dietan segala sih, jadi jarang banget ke sini. Sekalinya datang bawa orang ganteng," kata Paul, sambil memandangku dan tersenyum lebar.
Sandra nyengir. Aku salah tingkah.
"Belum pernah dipuji gay ya?" tanyanya tak bisa menahan tawa setelah Paul berlalu. Tangannya memukul lenganku mesra. Mesra? jangan geer lah Van.
"Sejujurnya, baru kali ini."
"He is right, tho ...," katanya sambil memandangku lekat-lekat. Aku kembali salah tingkah. Damn, perempuan yang 16 tahun lebih muda daripadaku bisa membuat aku salah tingkah dan bertingkah aneh seperti ini.
"Thank you. you too," kataku. Entah bagaimana, tanganku kemudian memegang tangan dia yang halus itu. Dia pun tak menolak.
"Ok, gue kayanya harus pesen taksi sekarang," kataku enggan.
"Oya Mas, berapa koleksi Satchmu di rumah?"
Aku paham dia lagi ngomongin Joe Satriani.
"Lumayan. Mau pinjem?"
"Boleh. Sekalian gue anter pulang aja mas, gue ambil."
"Gue ga mau ngrepotin lo San. besok aja?"
"Santai mas, deket ini."
Sandra pun mengantar aku pulang sehabis itu dengan Yarisnya, mobil menengah biasa yang tak menarik perhatian. Itu memastikan banyak hal, dia sangat independen, dan bukan tipe show-off, walaupun sebenarnya dia bisa.
Apartemenku ada di bilangan Senopati. Aku termasuk orang yang mau praktis dan memilih tempat tinggal yang dekat dengan kantor. Kami menuju ke sana dan walaupun jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, macetnya masih saja membuat emosi.
"Naik ke atas aja yuk, di lobi sepi," kataku sambil mengajaknya naik ke lantaiku setelah sampai di gedung apartemenku. Kami berdiam diri di dalam lift, tak tahu apa yang harus dibicarakan. Lagi-lagi bau harumnya yang khas merasuk hidungku. Untungnya perjalanan itu cepat.
"Welcome to my crib. Have a seat."
"very nice mas, for a single," katanya sambil duduk di sofa besar. Dia menyilangkan kakinya dan melepas kedua stilettonya. Sekilas saja aku melihat betapa putih pahanya.
Segera aku mencari CD koleksi master Satchku. Banyak, karena ku koleksi sejak aku di US dulu. Ada beberapa album khusus yang aku ambil, yang menurutku bakal disukai oleh Sandra.
"Surfing with the Alien, dan Time Machine," kataku sambil menyerahkan CD yang sudah di-remastered berulang kali itu.
"Is it good?"
"Definitely, the god himself playing. Mau minuman panas? Kopi atau coklat?"
"Ga mas, pulang langsung aja," tapi bahasa tubuhnya seperti enggan beranjak dari sofa.
"San," aku menarik pelan tangannya. Dia urung memakai high heelsnya.
"Yes mas?"
Aku terdiam sebentar. Dia menunggu dan memandangku lekat dengan matanya yang besar. Entah kenapa tapi aku belum pengen dia pergi dari sini.
"Would you like to dance with this old man? Again? Maaf waktu itu ...," akhirnya kata itu terucap setelah aku mengumpulkan cukup banyak keberanian. Tak banyak wanita yang bisa bikin aku tak percaya diri seperti ini. Sumpah! Dulu mungkin hanya Dewi.
Dia tersenyum. Manis sekali. Sekali lagi tampak sedikit gigi putihnya. Sudah dua kali kuhitung dia tersenyum dengan menampakkan sedikit giginya. Tak banyak perempuan yang tersenyum seperti itu.
<< berhenti di sini dulu>>
****
A DANCE WITHOUT MUSIC
Aku sudah menduga bahwa reorganisasi itu bakal menuai protes keras, bahkan dari partnerku sendiri.
Kami bertiga, aku, Amin dan Jeff, serta Mitha, direktur HR and compliance mengadakan meeting tertutup pagi itu di ruanganku. Aku menyajikan presentasi yang aku buat minggu lalu bersama dengan Sandra (secara rahasia, tentunya). Kubeberkan semua angka yang sudah kuolah, dan bukti-bukti meyakinkan bahwa ada maling atawa calon maling di kantor kami.
Amin adalah salah satu dari tiga partner pendiri termasuk aku. Daniel, Hero, Chandra adalah bawahan dia. Tentu saja Amin punya salah di sini karena membiarkan ketiga cecunguk itu bisa leluasa, tapi harus kuakui bahwa Amin sangat berjasa membawa banyak akun pada saat berdirinya perusahaan kami, pun hingga sekarang. Dia juga teman akrabku sejak kami berdua begitu lulus dari Columbia dan bekerja di Piper Jaffray. Dia sendiri jarang ngantor, dan pada akhirnya terlalu mempercayai ketiga orang ini untuk menjalankan day-to-day operation.
"Min, lo ga tau anak-anak ini ngapain aja selama ini?" tanya Jeff sambil mengerutkan dahinya dan membaca kembali report itu.
Amin cuma mengangkat bahunya. Terlihat bahwa Jeff mulai tidak nyaman.
"yang gue tahu, mereka manajer-manajer gue yang paling ok," katanya santai.
"Ini fatal Min, ga bisa ditoleransi. Were you involved in this shit?"
Jeff melempar tumpukan kertas itu ke meja. Aku hanya diam saja karena aku tahu aku sudah di ambang emosi melihat santainya Amin. Amin diam saja tak menjawab, tapi wajahnya merah padam. Aku dan Jeff merasa bahwa itu hanyalah pertanyaan retorik, pertanyaan yang tak perlu dijawab.
"Van, Kita udh ada deal belum untuk perusahaan-perusahaan yang bermasalah itu?"
"Luckily we haven't, tapi ada 2 yang hampir MoU," kataku.
"Ok ok. Just fire them then, but spare Chandra. I still need him," kata Amin.
"Van, you got our OK, just do it," kata Jeff sambil berlalu dari ruangan. Tampaknya dia jengkel sekali melihat Amin.
"Ok, jadi lo mau gue ngapain?"
Mitha bertanya setelah Jeff dan Amin keluar dari ruanganku. Mitha, pegawai pertama perusahaan kami, adalah tangan kanan dan kiri kami, one of the most effective and efficient woman I've ever met.
"Easy. Gue mau lo koordinasi sama Amin, supaya Daniel, Hero, ga pegang akun lagi, kunci semua akses ke sistem, email, tarik semua benefit mereka termasuk insentifnya, kemudian pindahkan mereka di ruang kaca di lantai 7, tepat di resepsionis. ASAP. Kasih SP tiga ke Chandra dan pastikan insentifnya kita tunda sampai tahun depan."
"Gila lo. Lo mau mempermalukan mereka?"
"yang jelas gue ga mau pecat mereka. Ongkos mahal, dan entah bagaimana mereka nanti bereaksi. Gue mau mereka resign. Got it?"
"Noted Van," dan dengan kata pendek itu Mitha keluar dari ruanganku.
Berita itu dengan cepat menyebar seantero gedung. Orang-orang kasak kusuk dimana-mana, dan tepat besok harinya jam 12 siang, aku sudah menerima surat pengunduran diri Hero. Good, artinya aku sudah berhasil menyingkirkan satu orang dan tinggal 1 cecunguk yang tersisa. Daniel bisa dibilang yang paling keras kepala di antara yang lain. Sepertinya dia tahu betul bahwa aku mastermind dari "pengucilan" dia. Aku sendiri sudah cukup siap dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Dia bertahan selama kurang lebih seminggu di "pengucilan" sampai pada akhirnya menyerah dan mengundurkan diri, itupun dengan meninggalkan satu pesan pendek yang dikirimkan ke BB kami bertiga. Isinya hanya pendek.
"Watch out"
***
Tentu saja kami segera mendapatkan pengganti kedua orang itu (thanks to Mitha), namanya Jen dan Ardi, dan karena Amin tak mau tahu dengan soal handover itu (he's truly an asshole), pada akhirnya aku harus turun tangan menangani semuanya. Aku harus go through report by report, dan untungnya aku dibantu oleh Sandra dan Mitha. Dari pagi sampai malam, hanya kami bertiga. Non stop.
"Van, San, gue harus pulang, anak gue nungguin, gue udah ga bisa mikir lagi," kata Mitha menyerah.
Aku mengangguk.
"Pastikan Jen dan Ardi mendapatkan handover ini tepat waktu ya Mit. Semua benefit udah disiapkan kan?"
Gantian dia mengangguk.
"San, ga ikutan pulang?"
"Ga mas, nanggung."
"Gila kalian, pulang semua deh. Get a life, go to pubs, ..." Mitha terus meracau dan akhirnya pergi. Kami berdua hanya tertawa, dan kemudian lanjut lagi dengan pekerjaan, ditemani seteko kopi dan permen.
"Mas, Laper ga?"
Aku memandangnya dan tersenyum.
"Sori lo harus stay sampai malam ya San. Dengan semua yang terjadi ini, kayanya cuman lo dan Mitha yang bisa gue percaya sekarang."
"It's ok, mas."
"Dan ya, gue laper banget. Kayanya kita udahan aja malam ini. Hmm, kenapa kalo kita tinggal berdua topiknya tak jauh-jauh dari makanan ya San?"
Dia tertawa. Giginya yang putih rapi terlihat, dan sekali lagi aku dibuat terpesona. Dia mengangkat bahunya.
"Mau makan di luar? Gue lagi ga pengen makan sendirian. You choose?"
Dia tersenyum dan mengangguk cepat.
"Mobilmu aja boleh? Gue besok kayanya ga pengen ke kantor ..."
Kami akhirnya makan di sebuah resto kecil (lebih tepat sih warung makan) di daerah **********, punya sahabat Sandra (Sandra bilang dia juga punya saham di warung tersebut). Paul namanya. Sebelum Sandra ke sana, dia sudah telepon dulu untuk memastikan restonya masih buka. Maklum warung dia cukup laris.
"Sori ya Paul, datang agak maleman. Kangen masakanmu," katanya sambil cipika-cipiki. Kami datang di sana dan warung sudah setengah tertutup dan dipasangi tulisan TUTUP. Tampaknya pemiliknya memang sengaja menunggu Sandra.
"Gue pikir lo tadi mau makan sama Andre ...," katanya sambil melirik aku. Andre nama tunangan Sandra (aku juga baru tahu kemudian setelah diberitahu Sandra. Mungkin karena aku dan Sandra jarang sekali mendiskusikan pasangan).
"Oya, kenalin ini mas Evan. Mas, ini Paul."
Dengan cepat Paul menyajikan masakan khas warung itu kepada kami yang sudah sangat kelaparan.
"Enjoy," katanya sambil hendak berlalu.
Sandra memegang tangannya.
"Ikut ngobrol di sini yuk Paul, biar rame," katanya. Kami akhirnya ngobrol heboh bertiga di tengah sepinya warung yang sudah kosong itu. Paul ini rupanya enak sekali buat diajak ngobrol, sangat sociable.
Dia memang chef berbakat. Bapak ibunya orang Indonesia, tapi dia lahir dan besar di Hong Kong sebelum akhirnya pindah ke Indonesia for good, bersama dengan partnernya, expat Hong Kong yang bikin pabrik kain di daerah Ungaran. Kami menikmati seporsi besar mi daging sapi (rasanya mirip sekali dengan Kau Kee di Central, HK), Sandra sampai ga habis sangking banyaknya, dan aku dengan "gentleman"nya, menghabiskan sisa minya. Minumnya sederhana, es teh tarik.
"Wow, super good. Makasih ya Paul, masakanmu masih enak kaya dulu."
"Lah lo pake diet-dietan segala sih, jadi jarang banget ke sini. Sekalinya datang bawa orang ganteng," kata Paul, sambil memandangku dan tersenyum lebar.
Sandra nyengir. Aku salah tingkah.
"Belum pernah dipuji gay ya?" tanyanya tak bisa menahan tawa setelah Paul berlalu. Tangannya memukul lenganku mesra. Mesra? jangan geer lah Van.
"Sejujurnya, baru kali ini."
"He is right, tho ...," katanya sambil memandangku lekat-lekat. Aku kembali salah tingkah. Damn, perempuan yang 16 tahun lebih muda daripadaku bisa membuat aku salah tingkah dan bertingkah aneh seperti ini.
"Thank you. you too," kataku. Entah bagaimana, tanganku kemudian memegang tangan dia yang halus itu. Dia pun tak menolak.
"Ok, gue kayanya harus pesen taksi sekarang," kataku enggan.
"Oya Mas, berapa koleksi Satchmu di rumah?"
Aku paham dia lagi ngomongin Joe Satriani.
"Lumayan. Mau pinjem?"
"Boleh. Sekalian gue anter pulang aja mas, gue ambil."
"Gue ga mau ngrepotin lo San. besok aja?"
"Santai mas, deket ini."
Sandra pun mengantar aku pulang sehabis itu dengan Yarisnya, mobil menengah biasa yang tak menarik perhatian. Itu memastikan banyak hal, dia sangat independen, dan bukan tipe show-off, walaupun sebenarnya dia bisa.
Apartemenku ada di bilangan Senopati. Aku termasuk orang yang mau praktis dan memilih tempat tinggal yang dekat dengan kantor. Kami menuju ke sana dan walaupun jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, macetnya masih saja membuat emosi.
"Naik ke atas aja yuk, di lobi sepi," kataku sambil mengajaknya naik ke lantaiku setelah sampai di gedung apartemenku. Kami berdiam diri di dalam lift, tak tahu apa yang harus dibicarakan. Lagi-lagi bau harumnya yang khas merasuk hidungku. Untungnya perjalanan itu cepat.
"Welcome to my crib. Have a seat."
"very nice mas, for a single," katanya sambil duduk di sofa besar. Dia menyilangkan kakinya dan melepas kedua stilettonya. Sekilas saja aku melihat betapa putih pahanya.
Segera aku mencari CD koleksi master Satchku. Banyak, karena ku koleksi sejak aku di US dulu. Ada beberapa album khusus yang aku ambil, yang menurutku bakal disukai oleh Sandra.
"Surfing with the Alien, dan Time Machine," kataku sambil menyerahkan CD yang sudah di-remastered berulang kali itu.
"Is it good?"
"Definitely, the god himself playing. Mau minuman panas? Kopi atau coklat?"
"Ga mas, pulang langsung aja," tapi bahasa tubuhnya seperti enggan beranjak dari sofa.
"San," aku menarik pelan tangannya. Dia urung memakai high heelsnya.
"Yes mas?"
Aku terdiam sebentar. Dia menunggu dan memandangku lekat dengan matanya yang besar. Entah kenapa tapi aku belum pengen dia pergi dari sini.
"Would you like to dance with this old man? Again? Maaf waktu itu ...," akhirnya kata itu terucap setelah aku mengumpulkan cukup banyak keberanian. Tak banyak wanita yang bisa bikin aku tak percaya diri seperti ini. Sumpah! Dulu mungkin hanya Dewi.
Dia tersenyum. Manis sekali. Sekali lagi tampak sedikit gigi putihnya. Sudah dua kali kuhitung dia tersenyum dengan menampakkan sedikit giginya. Tak banyak perempuan yang tersenyum seperti itu.
<< berhenti di sini dulu>>
Terakhir diubah: