Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Sandra

Status
Please reply by conversation.
Cerita yg mantaav, sdh jadi fantasy banyak orang utk wewew halus tanpa pakai pelet uang tapi bujuk rayu dg abg/teman sekantor/tunangan orang/anak mantan pacar ... Ditunggu update-nya oom....
 
Pemilihan kata dalam penceritaan hebat banget... Kayak penulis pro...
 
Mohon maaf, ane baru balik dari RL suhu-suhu semua. Dan juga sebenarnya sih agak kecewa, mengingat ternyata cerita ane tidak terlalu diminati di sini. anyway, ane tetep komit lanjutin cerita ini sampai selesai. Semoga berkenan!
---------------------------------

CUCKOLD PLAY


Aku mendorong pelan bokong itu dengan pinggulku. Kurasakan ketegangan penisku masuk ke dalam vaginanya yang basah sekali. Dia mendesis.

"Damn mas, easyyyy..."

Aku memandang sebentuk tubuh indah telanjang di depanku. Rambut panjangnya, Lengkung punggungnya yang indah, pinggulnya, bulatan pantatnya yang kenyal saat ini aku pegang. Aku meremas kencang bulatan itu sambil kembali menarik dan menhunjamkan penisku ke dalam vaginanya, pelan-pelan. Nikmat sekali rasanya. Dia pun aku yakin merasakan hal yang sama, terbukti dari desisannya yang berulang. Aku dengan bangga melihat bekas remasan di bokongnya yang putih mulus tanpa cela itu.

Kami berdua tak sempat makan malam dan langsung ke apartemen. Rencana awalnya adalah pergi makan malam berdua di daerah Jakarta Selatan, resto favoritku, sepulang kantor. Kami tak sempat. Iya, sejak keluar dari kantor, naik mobil berdua (Sandra terpaksa jalan agak jauh dari kantor supaya tak ketahuan kalo dia bakal numpang mobilku), tak henti kami saling menyentuh satu sama lain, mencium, meraba, mengelus, meremas. Awalnya kami biasa-biasa saja mengobrol dalam mobil, tapi entah siapa yang memulai duluan, tiba-tiba saja tanganku sudah masuk ke dalam rok mininya (aku ding yang mulai duluan), mengelus labia mayoranya dari luar celana dalam. Dia pun tak mau kalah, menurunkan ritsleting celanaku dan mengelus-elus ketegangan penisku diantara kemacetan Jakarta sore hari itu. Kami benar-benar high on hormones. Setelah sampai apartemen, kami berlari tak sabar untuk segera .... bergumul.

"Massss," teriaknya manja tatkala pinggulku bergerak lagi, kali ini agak cepat. Tubuhnya yang menungging pun menjemput ayunan pinggulku. Kali ini adalah kali kedua kami ber-doggy style, setelah sebelumnya quickie di kantor waktu itu. Posisi bercinta ini jauh berbeda jika kami berhadap-hadapan. Doggy style jauh lebih kasar, lebih primitif, hanya dengan satu tujuan, orgasme bersama-sama. Mungkin bisa disebut hanya fucking, ketimbang making love. Dengan posisi ini pun, aku merasa penetrasi penisku jauh lebih dalam, dan tampaknya Sandra pun mengamini. Pinggul kami bergoyang seirama, dan sesekali aku pun meremas, bahkan menepuk pelan bokongnya. Seiring goyangan itu, buah dadanya yang super itu bergoyang kesana kemari, menambah pemandangan yang erotis di depanku, dan bikin tambah semangat untuk menggenjot vagina basah itu. Aku membungkuk sedikit dan mencoba meraih dadanya yang bergantung itu. SAndra tampaknya paham dan dia mengulurkan satu tangannya ke belakang, memegang tanganku sehingga punggungnya menjadi agak naik dan mempermudah tanganku satunya untuk meremas dadanya. Hingga ...

Suara ring tone BB yang terkenal itu berbunyi kencang sekali di dekat kami. Itu punya Sandra.

Aku iseng melihat BB itu mengetahui siapa yang menelpon. Andre, tunangan Sandra. SHIT!

"Masss, udah biarin," kata Sandra terengah-engah sambil terus menyambut goyangan pinggulku.

Aku menunjukkan nama penelpon itu ke Sandra, memintanya untuk mengangkatnya. Matanya melotot dan menggeleng kuat-kuat.

"Biarinnnnn," desisnya sambil menahan kenikmatan. Aku menghentikan goyangan pinggulku. Matanya kembali melotot, memintaku meneruskan goyanganku. Aku menggeleng sambil nyengir. BB itu masih berdering dengan amat nyaring. Dia membalas perlakuanku dengan menggerakkan otot vaginanya. Kegel. Giliran aku kelimpungan dengan jepitan enak dari vaginanya. Gantian dia nyengir. Aku tetep menyorongkan hp itu ke dekatnya.

"Hi Ndre," akhirnya dia mengalah dan mengangkat teleponnya.

"Iya, barusan keluar dari kamar mandi, auhhh," baru saja kudorong pinggulku ke arah bokongnya, menghujamkan dalam-dalam penisku.

"Gara-gara lo nih, gue kepeleset ... di depan pintu kamar, ....sakit banget, ....ssssh," kata Sandra, menjelaskan teriakannya barusan. Aku tersenyum penuh kemenangan ketika mendengar desisannya, yang jelas bukan karena terpeleset. Dia berusaha menahan gerakan pinggulku dengan tangannya supaya dia bisa fokus dengan telponnya, tapi tampaknya hanya sekadar usaha sia-sia belaka. Aku terus menggoyangkan pinggulku dan bokongnya pun tetap menyambut sodokan-sodokan itu.

"Iya, ini sekarang lagi aku uruuutt, auhh," katanya menahan sodokanku.

"Lo ...lagi ngapain Ndre? makan ssssiang? sendirian?"

Kupercepat goyanganku. Dia mengikuti irama goyanganku. Kurasakan dia sebentar lagi orgasme. I just knew.

"Ga kemana-mana, ini juga lagi di atas kasurrr, nyeeerrri,"

"Pulangnya jadi ... kapan, .....Ndre?"

Kuhunjam dalam-dalam penisku.

Dengan segera dia me-mute dan mengerang keras ketika mendapatkan orgasmenya.

"FUCCCCCCCCCCKKKKK!"

Suara hallo hallo terdengar samar-samar di telepon. Sandra tertelungkup setelah orgasmenya, dan aku, masih dengan ketegangan penisku, telentang di sampingnya.

"soriiii, kepencet mute barusan, Kulik baru aja lompatin gue di kasur," kata Sandra setelah berhasil mengatur nafasnya. Kulik itu nama kucing Sandra. Alasan yang bagus tapi bikin aku tertawa dalam hati. Aku tak tahan melihat ketelanjangan tubuhnya, kepingin menyentuhnya. tanganku bergerak mengelus alur punggungnya dari mulai tengkuk sampai dengan gundukan pantatnya yang mulus itu, membuat kulitnya yang mulus meremang, dan kemudian turun menuju belahan vaginanya yang super basah setelah orgasme tadi. Sempurna. Dia menengokku, masih bertelepon dengan Andre, dan menggerakkan bibirnya dan berkata "nakal!".

"Iya, tadi sibuk banget di kantor, pulang jam segini, makanya baru sempet mandi sekarang. Gimana urusan di Bay Area? ga ada masalah kan?"

Setahu aku Andre bergerak dalam bidang teknologi informasi. Dia semacam founder tech startup di US sana di bidang internet security, dan sering bolak-balik Jakarta-Silicon Valley untuk mengurus bisnisnya.

Dia melirikku yang masih usil dengan tubuhnya, dan tanggap dengan keadaanku, tangan kanannya yang lembut mulai bergerak mengelus penisku yang mulai layu, sedang tangan kirinya masih tetap memegang telpon sambil sesekali menimpali pembicaraan Andre. Dia tahu bahwa aku belum dapat. Ketegangan penisku pun mulai kembali. Dengan lihainya tangan itu memainkan batang penisku, mengelus, mengurut, memainkan lipatan daging di bagian bawah penis, sampai dengan kantong pelirku. Damn! this woman is an expert in handjob. Semua itu dia lakukan sambil ngobrol biasa dengan ehm, tunangannya. Penisku sekarang tegang alang kepalang.

"Ok, Ndre, take care. Miss you too," kata Sandra menutup pembicaraan di telpon, dan segera setelah itu, dia mendorong tubuhku supaya telentang, dan mengambil posisi di atas tubuhku. Begitu erotis melihat dia memegang dengan mantab batang penisku, dan memasukkannya ke dalam vaginanya, dengan terlebih dahulu menggesekkan kepala penisku ke labia mayoranya. Nikmatnya tak tertahankan!

Kami berdua sama-sama mengerang ketika kedua kelamin itu bersatu, penisku masuk dalam-dalam ke dalam liang vaginanya. Sambil duduk sepenuhnya di pangkal pahaku, Sandra pelan menggoyang pinggulnya, menikmati gesekan antara penisku dan relung-relung vaginanya. Tangannya memegang bahuku, dan tanganku sendiri sibuk mengelus dan meremas dadanya.

"BAKAL GUE BALES! HIH!"

Dia menggoyang cepat, kemudian lambat, mengurut penisku di relung-relung vaginanya. Aku memainkan putingnya yang sudah keras sekali. Kecil, tapi tegang. Seperti penis mini.

lebih cepat ....OK, aku hampir mencapai puncak. Ayoo! dan tiba-tiba dia melambat lagi, dan kemudian diam.

Aku menepuk bokongnya dan menggoyangkan kakiku. Frustrasi. Dia tertawa.

"Emang enak digituin heh?"

"Please, please," mataku memohon kepadanya.

Aku merasakan titik ejakulasiku sudah semakin dekat, dan keadaan nanggung kayak gitu bikin penisku ngilu. Sumpah.

Dia kasihan sepertinya. Tubuhnya rubuh di atas tubuhku, memelukku erat dan pinggulnya bergoyang kembali. Bibirnya dengan ganas mencium bibirku. Dadanya menempel di dadaku, dan kedua kelamin kami beradu semakin cepat, dalam, ditambah dengan remasan-remasan pada bokong kenyalnya.

Sampai akhirnya kurasakan kedutan-kedutan vaginanya di batang penisku. Tanpa basa-basi lagi aku pun menyusul, menyemprotkan cairanku ke dalam vaginanya dalam-dalam. Kami berdua mengerang keras-keras. Aku memeluknya erat-erat. Leleran cairan semen yang keluar dari vaginanya pelan-pelan membasahi kantong zakarku.

Sekitar jam 2 aku terbangun, mengambil laptop, dan meneruskan pekerjaanku yang tertunda. Aku memang lebih suka kerja di dini hari, tanpa suara sedikitpun, dengan ditemani secangkir espresso dan biskuit kelapa. Paduan yang cocok.

Aku masih perlu menyelesaikan review dokumen dan menentukan rate untuk calon client perusahaan, dan biasanya memang Jeff dan Amin menyerahkan hal-hal seperti itu kepadaku.

"belum selesai kerjaannya?"

Tubuh telanjangnya memelukku dari belakang. Kekenyalan dadanya menempel di punggungku, dan sekali lagi aku merasakan konsentrasiku mulai buyar. Otakku bagian bawah yang mulai mengambil alih.

"Varanatha Textile?"

Aku mengangguk. Tubuhnya masih memelukku erat, sambil melihat layar laptopku.

"Mau dikasih berapa management feenya?"

"Sepertinya ga bakal jauh dari angka 1.2%. Tipikal bisnisnya juga mirip yang dulu pernah lo tangani. Mereka juga ga terlalu rese, more like a passive investment with guaranteed return. Ini bakalan mudah. Portfolionya juga ga akan jauh dari bonds."

Dia mengecup tengkukku.

"Let's sleep. I'm tired," dia merengkuh tubuhku, dan aku pun mengalah.

*****

Hi Om. whatchadoin

Chat itu muncul di kala aku sedang pusing sore itu. Too many stupidities in one day! Seharian aku merasa bahwa orang-orang di kantor begitu leletnya mengerjakan tugas, sampai aku harus berpikir bahwa semuanya bisa kukerjakan sendiri tanpa mereka. Bahkan aku marah pada Sandra yang terlambat memberikan assesment yang aku minta. Dia tahu harus profesional, dan sudah minta maaf akan hal itu.

Hi Lis, same old

Sudah lama sekali nih sejak jatah ngedate terakhir, :)

Iya, so sorry.

Udah selesai kerjaan?

Belum. Tapi udah muak aja liat kerjaan bejibun.

Bagus dong, gue ada di lobi nih Om. Ada yang mau gue omongin.

HAH?


Aku bergegas menelepon security Lobby.

"Pak, ada tamu untuk saya?"

"Ada pak, perempuan abg gitu pak, atas nama, eeee, Lisa."

"Ok, suruh duduk pak. Saya turun sekarang."

Sepertinya aku ga bakal lanjut ngantor hari ini. Setelah berpamitan dengan sekretaris general yang baru saja dihire untuk kami bertiga, aku bergegas menuju lobi, untuk menemukan Lisa di sana, duduk tenang sambil membaca buku. Selfish Gene. Wow, buku ringan yang "berat".

"Hei, lo ngagetin gue ...,"

Dia tersenyum manis sekali.

"Gue tadi baru aja dari kampus Om, terus kepikiran ke sini. Sebenarnya mau minta bantuan Om,"

"Ok, apaan?"

Cucu bi Irah rupanya sedang dirawat di Jakarta, pneumonia katanya. Dan sekarang mereka kesusahan mencari biaya rumah sakit. (ingat, BPJS Kesehatan waktu itu belum dimulai). Anak bi Irah, perempuan, Yani namanya, bekerja sebagai tukang masak di sebuah warung makan di bilangan Jakarta Utara. Suaminya kerja di Kalimantan sebagai buruh pabrik plywood. Yani dan suaminya tidak terlalu erat hubungannya dengan bi Irah. Maklum, Yani hamil di luar nikah oleh laki-laki yang akhirnya jadi suaminya itu. Bi Irah sendiri sebenarnya sayang sekali sama cucunya, tapi entah kenapa dia masih susah memaafkan Yani. Secara rutin dia sering mengunjungi cucunya naik taksi, biasanya Okta yang bayarin.

Masalahnya adalah biaya. Bisa saja Lisa meminta Okta, cuman bakal ribet dan malah bikin Okta kepikiran di sana.

"Jadi Om bisa bantu biaya pengobatan anaknya mbak Yani?"

Aku mengangguk cepat. Tentu saja, aku cukup mengenal bi Irah, lebih karena aku bersahabat dengan Okta cukup lama. Lisa menarik tanganku.

"Mau anterin aku ke rumah sakit sekarang?"

Aku menghela nafas. Apa bisa aku berkata tidak?

Kami berdua lalu mengarungi hampir separo Jakarta menuju sebuah rumah sakit daerah di Jakarta Utara, mungkin hampir 3 jam kami di jalan. Eka, cucu bi Irah, sudah terlihat cukup sehat, tapi tetap harus menjalani rawat jalan. Yani, mengetahui bahwa kami datang untuk membereskan biaya rumah sakit, menolak keras ide Lisa itu. Bi Irah juga. Mereka memang keras kepala, mirip sekali wataknya.

"Bi Irah sama Yani ternyata memang bener ibu anak ya," kataku santai. Mereka melongo mendengarku.

"Keras kepala, gengsian, ga mau dibantuin," kataku lebih lanjut sambil tersenyum.

"Lisa datang sore-sore ke kantor saya, dan minta bantuan saya. Dia bisa saja diam saja melihat keadaan Yani dan Eka, tapi dia ga bisa. Karena dia sayang kalian semua."

"Bi Irah telah begitu baik sama keluarga pak Andi dan bu Okta. Bu Okta sahabat saya. Paling tidak biarkanlah kami sekali ini membantu kalian yang telah begitu baik kepada kami."

Mereka terdiam. Lisa tersenyum melihatku.

"Maaf pak, hanya saja ...," bi Irah terbata menjawabku. Aku menepuk pelan bahunya, dan kemudian berjalan menuju kasir untuk menyelesaikan pembayaran.

"Om, dokter bilang mungkin Eka tertular dari salah satu tetangga yang sering mampir. Om tahu sendiri kan daerah *******? perkampungan kumuh," kata Lisa bisik-bisik. Aku mengangguk sambil berpikir.

"Om ada ide ...," Lisa tak melanjutkan omongannya, tapi aku maksudnya.

Paul! Tiba-tiba saja aku teringat dia. Dan sepertinya aku punya nomer dia, dapat dari Sandra. Aku pun langsung menelpon dia dan menjelaskan panjang lebar ke dia tentang Yani.

Kabar baiknya, Paul selalu butuh tukang masak, karena turnover mereka cukup tinggi. Biasalah problem klasik resto.

Aku kembali kepada mereka setelah ngobrol dengan Paul. agak panjang karena Paul, you know, suka chit chat.

"Yan, kamu pinter masak kan?"

Dia mengangguk malu.

"Bisa pak, bukan pinter," kata bi Irah. Yani menyenggol lengannya.

"Aku punya teman yang buka usaha resto mie di Jakarta pusat. Tadi aku tanya, dia butuh karyawan. Dan aku pikir kamu harus pindah dari rumahmu sekarang, demi anakmu."

"Tapi pak, ... "

"Mbak Yani bisa tinggal sama bi Irah dulu di rumah saya," kata Lisa menambahkan.

"Tapi mbak, ..."

Bi Irah menggoyang dan meremas tangan Yani, seakan berkata, sudah, jangan rewel, pikirkan anakmu. Kami tertawa melihat adegan itu.

Setelah mengantar Yani dan anaknya untuk mengambil baju-baju ganti, aku mengantar mereka ke rumah Okta.
Perjalanan menuju rumah Okta penuh dengan keheningan. Sesekali Lisa mengajak ngobrol, baik aku maupun bi Irah. Yani diam saja, mungkin terasa canggung, mengingat dia dan ibunya pun kurang akur. Sampai ada dering telepon memotong suara mereka. Aku melirik ke HP dan melihat nama Sandra di sana. Situasi yang sedikit macet membuatku bisa mengangkat telepon itu.

"Hei Beb," seruku disambut suara tawanya yang renyah di telepon. Entah kenapa aku memanggilnya dengan sebutan Beb. Ada orang lain pula di mobilku. Kurasa aku hanya ingin mengekpresikan rasa. Sayang. Atau membuat seseorang di mobil itu cemburu?

"Bab beb, bab beb," katanya sambil tertawa. Aku pun tertawa. Suka sekali aku mendengar suaranya.

"Lagi ngapain? tadi pulang duluan?"

"Tadi keluar sebentar bantuin ponakan. Lagi dimana? masih di kantor?"

"Hhmmm. masih ngerjain punya mbak Dinar, mas Amin minta secepatnya. Pulang malem lagi kayanya."

"Mau ditemenin?"

"Mauuuu, eh tapi ntar ga kerja malahan," dia tertawa merdu sekali. Aku lagi-lagi ikut tertawa.

"Kasihan. Gue bilang deh sama Dinar, kasih PRnya jangan kebanyakan,"

"Jangan ih, ntar .."

"Iya, becanda doang. Jangan lupa makan ya."

"Udah makan banyak barusan. Ngomong yang lama dong. Pengen denger suaramu. Lagi suntuk mikir nih,"

"ok. Emmmm, Jadi lo pernah denger dongeng tentang Red Riding Hood ga?"

"Woyyyy, ga gitu juga kali ah," Dia tertawan dan aku terbahak.

"Aku lagi nyetir. padet banget ini. mana ujan lagi."

"Eh ya udah deh. Take care ... beib. miss you tonight," katanya lirih. Ah, beib. sudah lama sekali tak dipanggil dengan sebutan itu. Tiba-tiba saja kehangatan melanda seluruh wajahku. I'm super happy.

"miss you too, beib," kataku lirih, udah mirip abg kasmaran, tapi malu sama orang-orang di dalam mobilku.

Kami sampai ketika jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aku melihat Bi Irah sigap sekali begitu datang, segera ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk kami berdua. Dia tahu kami belum makan.

"bi, udah, istirahat aja, Lisa bisa kok terusin masaknya. Lebih baik temenin mbak Yani dan Eka sana di belakang," kata Lisa. Bi Irah tersenyum, tampak bersyukur karena dia tak perlu repot-repot lagi malam itu.

Nasi goreng sosis dan telor ceplok setengah matang.

"Not exactly my best cooking, but it's edible," Lisa tertawa. Aku pun tertawa.

"Thank you," kataku membalasnya. Kami berdua makan cepat dalam diam. Lisa kemudian beranjak mendekati kulkas, dan aku berpindah ke sofa ruang tengah, meluruskan perutku.

"Masih minum Bir Om?"

"Sesekali," aku menjawab dan dia melemparkan sekaleng bir, lalu mengambil duduk di sebelahku. Jadi teringat kebiasaan setelah makan malam di Hanoi, yaitu minum bir setelah makan. Sekitar dua bulan aku di sana untuk membuka cabang investment bank dari US, dan setelah itu berat badanku naik 5 kilo! Gila emang. Itu dan makan babi tentu saja. lots of it!

"Hei, Thanks again Om,"

"Ga usah dipikirin, lah, udah kewajiban,"

"Yang kepikiran cuman Om tadi," katanya sambil menatapku lekat-lekat. Jantungku tiba-tiba saja berdegup kencang. Kenapa anak ini lagi-lagi memberikan efek yang lain kepadaku?

"It's ok," aku mengalihkan pandanganku ke birku yang sudah setengah kosong. Aku meneguknya dalam-dalam. Menghindari pula tatapan matanya yang tajam.

"Om ..."

"Ya ...," Apa-apaan lagi sih ini, kok grogi setengah mati gini?

"Boleh tanya?"

Aku mengangguk.

"Siapa tadi yang telpon Om?"

Aku tak segera menjawab, dan gantian memandang wajahnya. Dia memandangku balik dengan matanya yang tajam bening, tak pernah mengalihkan pandangannya, menunggu jawabanku.

"Someone special,"

"Cantik?"

"Sangat."

"Baik?"

"setahu gue, baik banget,"

"Good in bed?"

Aku mengernyitkan dahi mendengarkan pertanyaan kurang ajar itu, dan memilih diam.

"Om sengaja kan ngomong bab beb di telepon?"

kok dia ....

"Biar gue cemburu gitu ya?"

"Emang apa urusannya gue bikin lo cemburu?"

"Ngaku aja ga papa kok Om, ...."

....

"Dan jawabannya ya, gue cemburu."

"Gue bukan siapa-siapa lo, Lis ..."

"Hampir jadi siapa-siapa gue..."

"Sejak kapan?"

"Sejak terakhir kali kita ...," wajahnya semakin dekat dengan wajahku.

"Sebaiknya gue pulang Lis," dan aku berdiri dari tempat dudukku.

"Oh No, you don't," katanya sambil merengkuh tanganku. Aku kembali duduk.

"Sejak gue mencium bibirmu Om. Om tahu apa yang gue lakukan abis itu?"

"Gue ga tahu, dan kayanya gue ga mau tahu...," tapi sumpah mati aku penasaran. SIAL! DIA NGAPAIN HABIS ITU?

"Gue ke tempat tidur, Om, dan bayangin Om."

Penisku mulai bereaksi. Celanaku mulai sesak. Tapi aku tetap diam. Menunggu kata-kata dia selanjutnya.

"Gue ga tahan Om. Gue jarang banget masturbasi. Tapi entah kenapa, gue pengen banget masturbasi bayangin Om. Bayangin OM meremas dada gue, memilin puting gue, menciumi leher gue, perut gue, menjilat me ...,"

"Mek gue, ssssh."

"Dan Om tahu, bayangin gue masturbasi waktu itu, bikin gue basah lagi sekarang ..."

<<Mohon maaf, agak kentang, semoga minggu depan sudah ada lanjutannya. >>
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd