Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Sahabat-Sahabat Istri di Majelis (Collab with Kisanak87 - NO SARA!)

Phat-Phat

Semprot Lover
Daftar
23 Apr 2020
Post
249
Like diterima
21.312
Bimabet
Saya buat Thread baru lagi.... Hohohoho.!

Kali ini, ceritanya ane collab sama suhu @Kisanak87

Semoga pada suka ya.



METM3KP_t.png
 
CHAPTER 1



“Ayah ihhh, buruan nyetirnya. Kok malah lelet amat sih. Jalannya udah kayak jalan kura-kura.” Komentar Dinda.

Gue bareng Dinda lagi berada di perjalanan menuju ke suatu tempat yang jujur, gue anggap sih udah kayak sakral banget di datengin. Khususnya gue, yang sampai sekarang ini masih males buat kesana.

Tapi, yahhhh, namanya bini, kalo maunya ya maunya aja. Sulit bagi gue untuk menolak lagi. Karena sebelum-sebelumnya juga, sudah beribu alasan yang udah gue berikan ke dia ketika ajakan itu muncul. Cuma, untuk kali ini, gue benar-benar sudah habis cadangan alesan lagi.

Dan dengan sengaja buat lambetin lajunya mobil, mungkin salah satu bentuk alesan gue biar gue gak sampe ikut pada kegiatan rutin si Dinda ini di sana. Yahhh, gue rasa kalian pasti sudah bisa nebak, kemana arah tujuan gue, bukan? Dari membaca judulnya aja pasti kalian sudah paham.

“Iya iya. Ini juga udah cepet.” Gue membalas ucapan Dinda. Meski gue gak yakin, apakah dia sadar, kalo sebetulnya gue ngucapin itu sembari menggerutu di dalam hati.

Maklum, siapa coba yang gak kesal.

Gue yang memang notabenennya masih belum siap untuk ikut bersamanya hadir dalam kegiataan pengajian yang rutin ia ikutin itu, entah kenapa justru malam ini dia memaksa. Tidak biasanya. Alasannya sih, karena Pak Kyai yang biasa ia sebut buya itu - lah penyebab dari akar masalah yang sekarang terjadi. Buya menyuruh Dinda untuk ngajakin suaminya buat bertemu.

Dan suaminya itu....

Ya gue lah, tong. Masa orang lain.



“Nanti gak ada waktu buat ayah ketemu ama buya ihhh, kan jam 9 udah di mulai dzikirnya.” Cetus Dinda gak kalah sengitnya.

“Kan masih ada hari-hari lain bun... lagian ayah kan udah bilang tadi, kalo ayah masih belum siap buat ikut....” istri mau menyela, tapi gue langsung tancap gas lagi. “Jadi sekarang ayah cukup anterin aja yah... yah... yah”

“Ya... kan bunda gak nyuruh ikutin pengajiannya, bunda cuma ajakin ayah buat ketemu ama buya. Itu doang kok. Kalo udah ketemu sekali aja, trus ayah ngobrol bentar ama beliau, udah deh. Ayah udah bisa pulang...”

“Iye.... ayah tau kok apa yang lagi bunda rencanain... pasti nyuruh si buya itu buat rukiah suamimu ini kan.”

“Bukan rukiah ayah... ih gimana sih. Emangnya ayah lagi kerasukan gitu? hihihi”

“Iye kerasukan setan seksi....”

“Hahaha, tuh. Emang wajib sih ini di rukiah. Otak ayah makin hari makin gak stabil” malah becanda.

“Namanya juga laki-laki, bun.... jadi wajar kalo otaknya mesum mulu.” gue membela diri. Meski sejujurnya, gue akuin emang otak gue ini sulit banget gue normalin. Kerap kali, pikiran jorok muncul. Apalagi kalo udah lihat bokong seksi dan dada yang menggiurkan.

“Au ah. Pokoknya buruannnn.... jangan ngajakin bunda ngobrol terus. Ntar telat, udah mulai dzikir. Pasti ayah batal lagi ketemu ama buya”

“Hadeh bun. Kalo memang sudah saatnya, tanpa bunda paksa pun, ayah bakal ikut kok”

Karena gue males nyeritain panjang lebar, apalagi mendengar ocehan wanita di sebelah gue ini, mau gak mau, gue skip saja ya. Gak menarik bro. dan gue yakin, kalian juga bakal ikutan kesel bacanya. Hahay!



Well! Karena emang sepertinya malam ini, semesta lagi berpihak ke bini gue, alhasil gue tiba di tujuan tanpa ada hambatan sama sekali. Dan sialnya lagi, acara dzikirnya malah belum di mulai sama sekali. Yang artinya, gue bakal beneran di pertemukan ama abuya yang di maksud.

Hahahaha, tepok jidat. Pengen kabur, tapi keberanian gak menghampiri. Takut kalo Dinda malah berubah menjadi predator betina sambil memegang pisau dan ingin mencabik-cabik lakinya yang masih sepengecut ini buat menemui guru besarnya itu yang biasa ia sebut Buya.

Alhasil, mau gak mau pada akhirnya gue pun tak punya alasan buat tidak ketemu ama buya.

Oh iya, sedikit gue ceritain mengenai tempat yang gue datengin bareng Dinda. Bentuknya seperti rumah besar pada umumnya. Sama sih kayak rumah gue juga. Secara gue kan, bukan datang dari kalangan orang kismin. Gue hidup berkecukupan. Hidup dari kerjaan gue sebagai konten kreator, yang sejak 4 tahun yang lalu memutuskan buat resign dari kantor, dan fokus pada channel youtube, tiktok dan beberapa social media yang mampu menghasilkan pundi-pundi dollar buat gue.

Loh he, kok gue malah nyeritain tentang kehidupan gue ya? Oke forget it. Berjalan aja apa adanya ya.

Gue sendiri? Nama gue Adam Mahendra. Biasa di panggil Dam. Yang manggil kayak gini biasanya irit bicara, atau males manjengin jadi ‘A-dam’. Dan wanita yang tadi gue ceritain, yang sedari awal ngoceh melulu, namanya Dinda Wardani. Bini gue tentunya. Bini yang gue nikahin 6 bulan yang lalu. Yeah! Pengantin baru coyy. Masih hot-hot begete tentunya.

Sejujurnya, gue ma Dinda gak pernah sama sekali mau menunda kehamilannya. Tapi mungkin memang belum di kasih rejeki aja sama sang khaliq. Pun, biasanya ini menjadi senjatanya ketika ia ingin mengajak gue buat bergabung di majelisnya, yang gue samarin aja ya nama majelis ini, sebut saja MKTI. Yes. Itulah namanya. Senjata andalan Dinda awal-awal, adalah alasan supaya, apabila gue ikutan dengannya aktif di kegiatan keagamaan tersebut, mungkin saja, sang khaliq malah membukakan pintu rejeki buat kami mendapatkan keturunan. Tapi kalo udah males sedari awal, tentulah mau dengan cara apapun tak bakal mempan, bro.

Umur gue setaon lagi genep 30. Sedangkan Dinda, masih muda kawan. Masih 25 tahun. Hmm, muda gak yah, kalo segitu?

Kembali ke tempat ini. Gue mau nyebut masjid, tapi ini bukan masjid. Gue mao nyebut mushollah, tapi ini juga menjadi tempat tinggal bagi guru besar abuya, istri, anak-anaknya serta beberapa santri yang aktif disini. Jadi ku sebut saja, rumah MKTI ya. Biar gampang kalo mau lanjut bercerita.

Jadi rumah ini berlantai 3. Dan dari cerita Dinda, jika guru besarnya itu tinggal di lantai dua. Sedangkan di lantai tiganya, yang berupa beberapa kamar – serupa dengan kos-kosan gitu – adalah tempat tinggal para santri dari berbagai daerah. Di lantai satu inilah, tempat di adakannya dziqir dan di sertai dengan ceramah singkat, yang juga luasnya lumayan banget. Intinya begitu kalian masuk di lantai satu ini, kalian akan menemukan bentuk dan luasnya serupa dengan masjid, kali ya. Luas dan dingin.

Oh iya. Ini bukanlah kali pertama gue ke sini. Gue sering nganterin Dinda kalo dia lagi males nyetir. Dan beberapa sahabatnya pun, kenal ama gue. Baik itu ketika Dinda lagi di ajekin nongkrong nyantai, atau sekedar berbalas komentar di social media.

Begitu tiba tadi, memang gue akuin masih belum banyak yang datang. Hal itulah, yang pada akhirnya Dinda mencetuskan untuk ngajakin gue segera bertemu dengan guru besarnya.

Gue pun di ajak masuk Dinda ke sebuah ruangan di sisi samping lantai satu.

“Assalamualaikum wr wb.... buya, ini kak Adam. Suami Dinda.” Begitu Dinda mengenalkanku ke pria tua bersurban yang tengah duduk di singgasananya itu.

“Wa’alaikumsalam.... iya dek Dinda. Kan saya juga kenal sama suami kamu” gue Cuma ngangguk gak jelas saat pria tua itu berucap.

Rupanya ruangan ini, seperti ruangan kantor gitulah. Yang terdapat satu meja kantoran lengkap dengan kursi depan belakang. Di belakang si empunya ruangan tentulah terdapat dua rak bersusun tiga. Semoga kalian memahami bayangan ruangan yang gue jelaskan secara singkat ini ya, karena jujur gue gak berminat untuk menjelaskan secara rinci. Gak guna. Haha....

Pak tua pun mengajak gue buat bersalaman. Tentu saja, saat ia ingin bersalaman dengan gue, ia sempat berdiri dari duduknya. Gak sopan kalo dia Cuma duduk, sedangkan gue yang berdiri. Setelahnya, Dinda pun pamit, beralasan jika mau bertemu dengan temen-temennya di luar.

Kyai abuya ini duduk di kursinya, setelahnya, barulah ia mempersilahkan gue untuk duduk di depan mejanya. Karena memang satu kursi lainnya tersedia di sana. Jadi posisi kami berhadapan di pisahkan oleh meja kantor. Jadi posisi gue tentu saja membelakangi pintu masuk ruangan ini.

“Baik buya” gue sempat membalas ajakannya untuk duduk, sesopan mungkin.

Begitu gue duduk.

Maka....

Di mulailah cuap-cuapan ringan dari si pria tua di hadapan gue ini.

Setelah itu....

Yaelah....

Apa yang kalian harapin ya? Mau dengerin ceramah pria tua ini, tentang ini itunya, yang tujuannya secara tak langsung ngajakin gue buat aktif di sini? Sudahlah yah, gak ada yang menarik menurut gue.

Intinya....

Abuya bercerita panjang lebar sudah seperti rel kereta api, dan mendapatkan tanggapan dari gue yang ‘pura-pura’ serius mendengarkan.

Hingga....

Nah ini. Ini yang mau gue jelasin pada kalian. Kejadian menarik tentunya, jauh lebih menarik daripada nyeritain ocehan pria tua bersurban di hadapan gue ini.



Tiba-tiba saja.....


“Assalamualaikum wr wb.... bi, ini minumannya....” sebuah seruan lembut baru saja terdengar, saat gue masih mencoba ‘mengerti’ apa yang di sampaikan sejak tadi oleh pria tua ini. Tanpa ia sadari pun, sejak tadi mata ini terus menerus melirik ke arloji di lengan. Menghitung berapa lama lagi jam akan menunjukkan pukul 9 malam, yang menurut istri dan memang gue juga tahu karena sering mengantarnya, jika acara rutin mereka akan di mulai di jam 9 teng.

“Wa’alaikumsalam.... iya mi. makasih ya” balas abuya. Pria tua itu tersenyum lembut. Pasti wanita yang sedang membawakan minuman pada kami ini adalah istrinya. Yang juga sering Dinda sebut sebagai umi.

Karena seperti yang gue jelasin tadi, posisi gue sedang membelakangi pintu, maka awalnya gue tak menghiraukan, karena memang gue lagi gak ngelihat ke belakang.

Hingga di saat sebuah tangan yang memegang gelas terulur ke arah meja. Lengan yang tentu saja tertutup dengan kain berlengan panjang yang sama seperti pakaian yang Dinda dan para wanita-wanita yang hadir di sini, gunakan, menaruh dua cangkir minuman yang berasap-asap di atas meja, perhatian gue pun akhirnya teralihkan.



Dan sialnya....

Pada saat menoleh itu..................

Karena posisi si pembawa minuman itu cukup dekat, dan di perparah ruangan yang kami tempati ini gak luas-luas amat, 2 x 3 meteran ada kali, kalo tidak salah perkiraan, alhasil, hanya berjarak beberapa senti saja, hidung gue yang bangir mancung ini nyaris bersentuhan dengan.....



Payudara?

Sekal?

Padat berisi?




Sial....

Kenapa sih, malah di suguhkan pemandangan kek gini. Mana posisinya dekat banget lagi ama hidung sialan ini. Sialnya, wanita pemilik kulit putih bersih, dengan tubuh langsing tinggi semampai. Bokong dan payudaranya kelihatan bulat dan berisi meski dia memakai baju panjang yang agak longgar, malah masih benar-benar tidak sadar, kalo cara dia menaruh gelas di atas meja, bikin cenat-cenut pala atas bawah.

Tapi, mengingat situasi yang sedang gak kondusif, apalagi lakinya berada tepat di depan gue, alhasil gue mau gak mau menjauhkan diri sedikit dengan cara menyandar di kursi. Makanya, karena itulah, gue bisa simpulin di narasi pada paragraf sebelumnya. Wanita berkulit putih bersih, tubuh langsing tinggi semampai dan bla-bla, itu. Karena pada akhirnya gue tetap saja ngeliatin wanita itu, kawan.

Kejadian ini hanya singkat saja. Bahkan begitu wanita yang biasa di sebut ‘Umi’ oleh Dinda dan teman-temannya, telah selesai menyajikan dua gelas minuman panas buat kami berdua, begitu ingin berpamitan, tanpa sengaja, mata sialan gue ini malah terfokus pada sepasang payudara ‘mantap’ yang nyaris saja gue sentuh meski dengan hidung doang, tadi.

Payudaramu mengalihkan fokus gue, umi.....

Untung saja gue membatin doang. Gak sampai bicara secara langusng. Bisa kena bogem mentah nih dari lakinya di depan gue. Hahahaha.....

Dan untungnya, baik itu pria tua ini, maupun si umi yang cantiknya – baru gue sadari Masya Allah banget, tidak menyadari kalo ada sepasang mata nakal yang lagi mencoba menerawang jauh ke balik gamis abu-abunya itu.



Ahhhh sial......

Dinda oh Dinda. Mengapa engkau tidak pernah ngajekin si umi ke rumah selama ini, sih? Atau elu takut kalo lakimu malah jadi tergoda ya? Ckckckckckc.



“Jadi begitu dek Adam... belajar dulu sedikit-sedikit, atau jika memang masih berat dek Adam lakukan, mungkin sisipkan waktu buat sesekali ikut 1 sampai 5 menit kegiatan kami disini, kalo memang dek Adam masih merasa belum siap, kan bisa langsung akhiri saja dan keluar dari sini.” Begitu ujar Abuya, yang tentu saja sudah benar-benar ku acuhkan.



Sepertinya....

Gue gak punya alasan buat menolak kali ini. Apalagi sepasang dada montok yang begitu menggoda tadi, bikin semangat gue membara, bro.....





Bersambung Chapter 2
 
CHAPTER 2



“Sudah yah?” Tanya Dinda begitu gue samperin dia yang lagi bersiap-siap buat ngikutin acara utama dari perkumpulan malam ini. Acara dzikir malam. Pun setelah tak lama juga, gue dan pak kyai buya memungkasi acara pertemuan gue dengannya tadi di ruang kerjanya. Yang juga sebelumnya sempat tersihir - lebih tepatnya sih, habis di suguhin pemandangan indah oleh sesosok bahenol menggoda, yang bikin birahi sedikit tergoda. The one and only, si umi - bininya abuya yang bener-bener napsuin banget.

Asli bro. tadi pas deketen ama bininya abuya, bikin merinding. Kan udah gue jelasin di chapter sebelumnya, kalo gue itu mudah konaknya. Tapi gue juga liat-liat siapa wanitanya sih. Kalo gak ada sesuatu yang special mah, malah yang ada si komeng jadi ngerucut. Nah!.... salah satu wanita yang memiliki sesuatu yang special itu, yah si bininya pak kyai ini lah.

“Jiah malah melamun. Otak mesumnya paling lagi bergerilya tuh” tiba-tiba Dinda bersuara. “Jangan gila yah, disini gak ada wanita yang berbikini loh. Semua wanita disini bergamis besar, dan soleha banget sama seperti istrimu ini. Hihihihi”

Justru yang seperti itu, menimbulkan rasa penasaran sayangku. Aihhh, Dinda. Sampai sekarang kamu masih juga belum mengerti pikiran suamimu.

“Eh apa tadi yang bunda tanyakan?” gue nanya ke Dinda, karena jujur gue lupa tadi apa yang sebelumnya ia tanyakan.

“Ayah ih.... itu loh, ayah udah selesai ngobrolnya?”

“Sudah kok. Kan ayah juga udah keluar dari ruangan buya”

Dinda tersenyum. Senyumnya itu loh, seakan menyimpan sebuah misteri. Gue malah jadi agak was-was. “Tuh kan, hehehe, apa juga yang bunda bilang.... cepet kan, terus keputusan ayah apa dong?”

Haha, kan, bener juga apa yang gue pikirin, kalo emang ini udah jadi rencana Dinda buat ngajekin gue ikutan majelis yang sudah setahunan lebih ini ia ikutin.

“Keputusan apa sih sayang?” gue nanya balik buat sekedar mastiin.

“Yah keputusan apakah ayah bakal ikut ama bunda buat aktif di MKTI ini?”

“Hmm, nanti deh.... ayah lagi gak bisa konsen sekarang”

“Haaaa? Emangnya ayah habis ngapain sampe-sampe gak bisa konsen? Atau jangan-jangan beneran buya habis nge-rukiah ayah?” Asal lo tau, sayang. Bukan buya yang menjadi sebab suamimu ini gagal fokus. Melainkan bininya.

“Gak kok. Mungkin ayah lagi mencoba memahami dan mengerti apa yang di sampaikan buya sedari tadi di dalam sana”

“Ohhh baguslah” kata Dinda.



“Eh dek Dinda... ajekin sekalian suaminya masuk ke dalam. Tuh, udah mau mulai acaranya dek” satu seruan lembut, baru saja menyela obrolan gue ma Dinda.

Gue secara spontan menolehkan kepala buat melihat siapa yang menyela barusan. Begitupun dengan Dinda, seraya berucap, “Eh iya umi. Hehehehe, udah mau di mulai ya dzikirnya?”

Ahhhh dia lagi.... Dia lagi....

Begitu gue berbalik, kembali teringat pada kejadian beberapa waktu yang lalu. Membuat tatapan ini malah sulit buat berpaling. Padahal jelas-jelas Dinda ada di samping. Wajah cantik wanita ini, terlihat polos tanpa bedak apalagi make up. Tapi entah kenapa, gue tetap terpesona pake banget dibuatnya. Di mata gue, si umi ini tetap terlihat menarik dengan jilbab lebar yang ia kenakan.

“Ayah... idih, liatinnya kek gitu banget sih....” celetuk Dinda yang niatnya buat negur lakinya. “Umi. Maafin kak Adam. Dia emang kayak gitu kalo ngeliatin orang. Hehehe”

“Ohhh pantes.”

“Ayah. Kenalan dong sama umi.” Ujar Dinda.

Gue langsung mengangsurkan tangan buat ngajakin si umi buat bersalaman. Kapan lagi coba.

Rupanya wanita itu pun tak ragu menerima ajakan bersalaman gue itu. Begitu tangan gue ma dia bertemu, entah kenapa, gue seakan berusaha berlama-lama memegang telapak tangannya yang begitu halus, serta jari-jarinya pun tampak begitu lentik.

Tapi umi yang entah sadar atau tidak, buru-buru menarik tangan dan melepaskan kedua tangan kami yang sempat bersatu tadi. Mungkin sungkan pada istriku.

“Yuk dek Dinda. Kayaknya udah mulai tuh” ujar si umi, sekali lagi ngajakin Dinda buat masuk ke dalam.

“Iya umi. Iya.”

“Sekalian ajakin dek Adamnya juga”

Gue? Garuk-garuk kepala. Manalah mungkin gue langsung maen masuk kedalam, sedangkan gue lagi bercelana pendek doang, hahaha.

“Nanti aja umi. Malam ini aku belum siap” balas gue lumayan lembut ke wanita itu.

Setelah mengangguk, wanita itu segera pergi meninggalkan gue ma Dinda di luar. Dan setelah bersentuhan tangan tadi, gue menyadari jika sepertinya wanita itu berusaha menghindar dari tatapan gue, deh. Atau hanya perasaan gue doang karena udah terpengaruh ama pesonanya? Atau malah terpengaruh ama birahi yang lagi menggoda di dalam sana.

Ataukah....

Dia juga menyadari, kalo pria yang menjabat tangannya tadi sedang berhasrat pada tubuh sintalnya? Hahahaha.... semoga saja itu benar.



Zigggg!.....



Wadaw.

Rupanya Dinda baru saja hadiahin gue sikutan mautnya tepat di perut gue. Mana lumayan keras pula. “Ckckc.. ayah ih. Liatin umi kok gitu amat sih.... Malu-maluin banget.”

“Gak mungkin kan, ayah lagi sange gegara liatin umi?” Dinda bertanya, tapi tentu bukan Adam namanya kalo gak mampu berkelit.

“Yah enggaklah. Mana ada, ayah sange gegara liatin wanita bergamis dan berkerudung lebar kek gitu. Hahahaha”

“Syukurlah. Lagian kalo lagi birahi, cukup lampiasin ke aku aja.... awas loh yah, kalo sampe ke orang lain.”

Gue reflek melingkarkan lengan gue ke tubuh Dinda, seraya berucap, “Gak mungkinlah, kan kamu cinta sejatinya ayah sayangku. Hehehe, kalo ayah sange liat wanita lain, itu udah lumrah terjadi. Kek yang baru kenal ayah aja sih kamu. Tapi tetap saja, pas ayah lagi pengen, nyarinya yang halal aja deh. Yang udah halal jadi istri ayah. Hehehe”

Dinda memanyunkan bibirnya.

“Dah ah, bunda mau masuk dulu.... ayah mau nunggu atau?”

“Ngapain juga ayah nungguin kek orang begoo di sini, mending ayah pulang aja deh. Ntar aja, kalo bunda udah mau pulang call aja, atau whatsapp aja. Nanti ayah jemput lagi”

“Ya wes. Sana gih, bunda udah mau masuk” balasnya, sembari meraih tangan gue buat ia salim.

“Ayah balik dulu ya, sayangku. Assalamualaikum”

“Wa’alaikumsalam.... hati-hati”

“Wokayyy”



...

...

...

Udahlah, hari ini cukup lah buat mengagumi lekuk tubuh bini Pak Kyai buya tadi. Eh ngemeng-ngemeng, nama wanita tadi siapa yah? Ahhh, sepertinya gue harus nanya ke Dinda sebentar pas di rumah. Hahay!

Ya sudahlah yah. Apalagi yang perlu gue ceritain ke kalian sekarang ya? Gak mungkin kan kalian ingin baca kejadian dimana gue langsung capcus berjalan ke mobil, kemudian segera menjalankan mobil buat balik ke rumah.

Setelah tiba di rumah, gue gak mungkin lah melakukan ritual coli segala seperti yang dulu – sebelum nikah ma Dinda – gue sering lakuin kalo lagi males buat nyari pesolek liar di luar sana, gegara terjebak ama kemolekan dan lekuk menggoda tubuh si umi tadi.

Dan yah....

Setibanya di rumah, yang gue lakuin mah, kembali pada pekerjaan gue. Mengelola beberapa konten gue yang bakal gue upload lagi buat nambah pundi-pundi adsense. Mayan lah, lagi rame nih beberapa konten gue yang udah lama gue upload. Jadi sudah saatnya gue munculin beberapa yang baru, biar viewernya naik kembali.



Singkat cerita......

Di saat gue lagi sibuk-sibuknya mengedit beberapa video, ponsel gue tiba-tiba berdering.

Loh he? Bukannya belum saatnya Dinda pulang? Kenapa ia malah nelfon jam segini ya?

“Ya sayang?” gue segera jawab telfon dari bini.

“Assalamualaikum.... ayah”

“Eh iya lupa. Haha, wa’alaikumsalam.”

“Ayah.... kalo.... hmm”

“Kalo apa sih?” kok, nada suara Dinda agak aneh ya?

“Ini. Kebetulan barusan ada pengumuman, minggu depan lagi mau ngadain acara gitu lah di Sukabumi. Hehehe, kalo bunda kali ini pengen pergi, boleh gak?” waduh.

Jujur sih, emang selama ini kalo dia pengen izin, gue agak kurang ikhlas buat ngizinin ia pergi. Karena gue merasa, kalo gak penting-penting banget ngapain juga ikutan acara majelisnya itu sampai sejauh ini.

“Pleaseee.... kali ini aja. Boleh gak ayah?”

Belum juga gue kasih jawaban, tiba-tiba samar gue denger ada suara orang lain yang sepertinya berada di dekat Dinda. Tapi gue gak gitu jelas mendengar apa yang ia bicarakan ke Dinda.

“Yah.... ini....”

Gue gak jawab. Gak bersuara.

“Umi mau ngomong”

Waduh....

Umi.... bini pak Kyai abuya?

Rasa-rasanya jantung gue nyaris berhenti berdetak, pas Dinda bilang kalo umi mau ngomong.

“Ya sudah” gue akhirnya merespon.

“Assalamualaikum wr wb, dek Adam. Ini dengan Umi Rahmi, dek. Jadi gini, karena acara kali ini di hadiri langsung oleh kyai buya dari Aceh, makanya umi maksa buat ajekin dek Dinda sekalian buat ikutan kali ini.... dibolehin dong atuh. Hehe, kalo perlu, dek Adam juga ikutan aja biar semakin mengenal apa saja yang kami lakukan selama ini di MKTI”

...

...

...

...

...

Duhhhh gustiiiiiiii.....

Suaranya itu loh. Renyah banget gue denger.


Dan satu lagi. Akhirnya, gue tahu juga.... Kalo wanita itu bernama, Rahmi.

Rahmi oh Rahmi.

Aishhh, kok gue malah mulai terobsesi sama MILF bergamis dan berkerudung lebar yah? Tepok jidat!





Bersambung Chapter 3
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd