- Daftar
- 5 Jul 2018
- Post
- 149
- Like diterima
- 46
Percikan air laut membasahi sweater hitamku saat turun dari kapal motor yang kami tumpangi. Suasana pantai yang damai sedikit mengobati lelah dan duka kami. Lima tahun setelah lulus SMA, setelah semua anak-anak remaja itu tumbuh dewasa dan mulai belajar akan kenyataan dunia, kami mendapat kabar bahwa Bu Rasti, wali kelas kami tercinta di kelas XII IPA 3 meninggal dunia.
Kabar itu datang melalui sebuah surat dengan kertas hitam, tidak hanya kepadaku, semua teman sekelasku mendapatkannya. Tentu saja kami terkejut dengan berita itu, kelas XII IPA 3, angkatan ke-8 memang kelas yang sangat dekat dengan Bu Rasti, beliau bukan hanya sosok guru cantik yang disegani, cara mengajarnya dalam Biologi pun mudah dimengerti. Tapi lebih dari itu, beliau adalah motivator terbaik kami. Masih segar dalam ingatan kata-kata yang dikatakan Bu Rasti kepadaku ketika aku galau saat ingin mengirimkan naskah ceritaku pada penerbit.
“Laila, jangan takut gagal, justru banyak-banyaklah gagal, karena dari sana kamu bisa belajar bagaimana caranya untuk jadi pemenang!”
Itu adalah kalimat yang menjadi motivasiku, tiga tahun ditolak penerbit, belasan naskah kembali ke rumahku, hingga akhirnya dua tahun lalu aku berhasil menerbitkan buku pertama. Novel detektif Lentera Anomali yang kini laris di pasaran, sekarang sedang mengerjakan jilid ketiga.
Jasa-jasa Bu Rasti itulah yang membuat kami sekarang berada di pulau ini, karena pulau kecil yang entah apa namanya ini adalah kampung halaman Bu Rasti, serta tempat dimana beliau akan dimakamkan.
Aku dan enam kawanku lainnya memang baru datang hari ini, ada Jessie yang pakaiannya paling seksi, Sri si kacamata yang dulu pernah menang lomba karya tulis ilmiah, Arman si ketua kelas dan kapten tim basket yang kini bertindak sebagai organizer kami, menyiapkan travel dan segalanya, memang cowok yang bisa diandalkan!
Lalu ada Kribo yang punya banyak kelakar, kudengar dia kini jadi Youtuber yang membuat konten vlog dan video-video lucu walau aku yakin itu hanya alasan saja supaya bisa ngelawak terus-terusan. Lalu ada Bobby, seorang geek di kelas yang selalu baik padaku. Setelah itu ada sahabatku Rana, atlet lari tingkat kabupaten.
“Eh, guys, fotoan yuk!” ajak Kribo seraya mengatur HP dan Tri-Podnya
Jessie menarik tangan Sri ke tepian, membelakangi pemandangan pulau yang asri dan natural. Rana dengan girang mendorong punggungku, padahal dia hapal betul aku alergi dengan kamera.
“E-eh?! Rana!” jeritku pelan, namun dirinya hanya nyengir penuh rasa kemenangan.
“Cheese!”
Setelah selesai berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan ke kampung halaman Bu Rasti. Kami menapaki anak tangga di pinggir tebing. Arman bilang kita cukup mengikuti hilir sungai menuju hulu, tak ada kendaraan bermotor di sini sehingga kami terpaksa berjalan kaki. Untunglah ini hanyalah pulau kecil.
Selamat Datang di Desa Gandamayu.
Tanda jalan dari batu terlihat setelah lima belas menit setelah menaiki tangga.
Napasku sudah ngos-ngosan sejak tadi, wajar saja aku sangat jarang berolah raga. Mungkin cuma sebulan sekali itupun hanya jalan-jalan untuk beli bakso di ujung komplek.
“Ma-masih jauh, Ran?” bisikku.
“Udah capek? Mau kugendong? Sini!” goda Rana.
Langsung kucubit Rana, gadis berkulit gelap ini adalah sahabatku, rambut pendek, periang, juara dua lari seratus meter tingkat kabupaten, walau tergolong tomboy dia adalah anak yang manis dan populer di sekolah. Itu karena kepribadiannya yang seperti matahari, selalu bersemangat, ceria dan memiliki kharisma seorang pemimpin. Hanya saja dia punya kebiasaan buruk, cerewet dan sangat suka menjahiliku.
Kami telah bersama semenjak SMP dan dia selalu berdiri di depanku layaknya pahlawan dalam game-game RPG. Ya, dia memang pahlawan bagiku yang hanya gadis suram korban bully. Berkatnya aku yang sudah hampir putus sekolah berhasil menyelesaikan studiku hingga kuliah, berkatnya kehidupan SMA ku tak lagi penuh siksa dan cemoohan. Walau aku seringkali diabaikan, bahkan orang-orang tak mengingat namaku hingga setengah semester. Tapi itu jauh lebih baik daripada menyayat diri di kamar mandi.
Kami beristirahat di sebuah tikungan yang lumayan luas. Bobby yang sudah mandi keringat mengibas-ngibaskan tangannya bak kipas. Jessie dan Sri juga tampak lelah, mereka bersandar ke tembok batu sambil minum air mineral yang dibawanya.
Rana menggembungkan pipinya kearahku, kesal karena dicubit.
“Nih tetek ngerepotin banget!”
Tanpa aba-aba dia menggoyangkan bongkahan daging payudaraku. Saking kagetnya aku hanya mematung. Para cowok malah melongo dengan mulut mangap melihat itu.
“Ck! Kalian ini udah gede masih kayak anak kecil aja!” cibir Sri lalu mengelap kacamatanya.
“Hehe, sori... sori...” balas Rana.
“Asem lah... Lupa ngerekam!” gerutu Kribo.
“Hiiy!” pekikku sambil menutup dada.
“Wah cari masalah nih si Kribo!”
Tentu saja itu membuatnya jadi bulan-bulanan Rana. Aku menjauh dan berjalan ke pagar, melihat indahnya pemandangan pantai di bawah. Rambut panjang yang kukepang satu bergerak tertiup angin laut yang kencang.
“Laila gak berubah ya, masih sama kaya SMA dulu.” gumam Bobby sambil menyodorkan minuman isotonik.
Eh? Apa maksudnya? Itu pujian atau ledekan?
Aku berterimakasih lalu menoleh ke sekeliling. Bobby mungkin benar, aku masih begini-begini saja jika dibandingkan semua orang yg telah berubah. Jessie terlihat seperti wanita dewasa, tubuhnya seksi, pakaiannya juga modis. Walau kelakuannya masih slutty seperti dulu, tapi jelas terlihat dia sudah lebih matang dalam berpikir. Saat di perjalanan, dia bercerita kalau bekerja sebagai foto model sambil menyelesaikan kuliah fashion.
Lalu ada Sri yang walaupun masih seperti papan talenan, tapi dia terlihat lebih kalem, lebih bisa menahan diri untuk tidak berdebat dengan orang lain. Aku tak terlalu yakin, tapi dari aksesoris seperti totebag dan topi yang dibawanya, kurasa dia bekerja di perusahaan IT besar. Mungkin seorang programmer.
Kribo semakin mirip dengan brokoli, dandanannya memberi kesan kebebasan. Arman malah terlihat seperti seorang eksekutif muda sekarang, Rana bilang dia baru balik dari studi di Belanda.
Lalu Rana sahabatku, kalau diingat-ingat dulu dia hanyalah cewek item dekil yang berlarian kesana-kemari. Sekarang gadis itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang aduhai. Masih bertarung dengan skripsinya.
Kulirik Bobby yang senyum-senyum kepadaku.
“Bo-Bobby... Sekarang kerja dimana?” gumamku canggung.
“Eh? Aku buka rumah makan kecil-kecilan... Kalau kamu?”
Hanya senyuman yang bisa kuberikan padanya, malu sekali kalau bilang aku ini hanya pengangguran yang hampir 24 jam waktuku habis di depan laptop, padahal aku hanya bekerja selama dua sampai empat jam. Sisanya hanya menonton video random di youtube atau menulis fanfiction homoseksual. Kalau aku bilang penulis, dia pasti bertanya tentang buku ku, lalu ceritanya, dan banyak lagi pertanyaan yang mungkin cukup memalukan untuk ku jawab.
“A-aku... kerja lepas...” ujarku kehabisan alasan.
Pemuda gemuk itu tersenyum, “Sudah kuduga kamu memang nggak berubah...”
Entah apa maksudnya, aku tak mengerti. Hanya senyuman canggung yang bisa kulemparkan padanya saat ini.
***
Tiga puluh menit kemudian kami sampai di desa. Sangat unik menurutku, di pulau kecil yang ukurannya kurang lebih hanya lima kilometer ini ada aliran sungai air tawar. Karang yang mengelilingi pulau juga membentuk tembok bukit yang kini ditumbuhi rerumputan hijau jika dilihat dari desa. Mungkin pulau ini sejatinya sebuah gunung dasar laut yang sedikit ujungnya muncul ke permukaan? Tak ada yang tahu, dan sepertinya tak ada yang peduli selain diriku. Kami melewati jalan setapak menuju pemukiman penduduk yang sepertinya terdiri tak lebih dari lima puluh kepala keluarga.
“Duh, gak ada sinyal!” keluh Jessie sambil menapaki jalanan kecil.
“Jangan main HP melulu!” sindir Sri, membuat Jessie mendengus kesal.
Tapi keluh kesah Jessie sebenarnya mewakili kekhawatiran semua orang. Hampir serentak kami mengeluarkan smartphone masing-masing dan mengecek sinyal operator seluler. Tak ada sinyal samasekali sini. Padahal di pantai tadi masih ada sedikit, sepertinya bukit-bukit ini menghalangi pancaran gelombang dari menara provider seluler.
“Pantes aja anak-anak gak ada yang bales WA, gak ada sinyal sama sekali!” gumam Rana.
“Trus kita cari rumah Bu Rasti gimana??” timpal Kribo
“Tanya warga lah!”
Sri membalas Kribo dengan nada meremehkan, memang meyebalkan memang tapi dia ada benarnya.
“Sek tak tanyake warga!”
Kribo berjalan ke arah seorang pria untuk menanyakan alamat, tak lama dia kembali dengan senyum puas.
“Ketemu?” Sri menanyakan.
“Follow me!” seru cowok keriting itu sombong.
Kami mengikuti Kribo berjalan ke arah pria tadi. Bapak itu menyambut kami dengan ramah, usianya tak terlalu tua, mungkin sekitar tiga puluh tahunan.
“Murid-muridnya Bu Rasti ya? Kemarin teman-temannya juga ke sini ramai-ramai, mari saya antar ke pondok!”
Bapak itu meminta kami mengikutinya, sementara Kribo hanya cengengesan. Selama melewati rumah-rumah warga, aku merasa sangat tidak nyaman. Orang-orang tampaknya sedang sibuk mempersiapkan sebuah festival atau semacamnya. Selagi mereka bekerja, tiap orang yang kulewati menatap kami dengan tatapan tajam, mirip seperti bagaimana Sri melihat orang lain. Aku menunduk, melihat antara ujung dada besarku dan kaki Rana. Sesekali kuperhatikan rumah-rumah dan penduduk desa. Ketika Arman bilang tempatnya ada di desa terpencil aku sudah berpikir kalau di sini akan dipenuhi orang-orang tua, tapi tak satupun lansia terlihat. Yang paling tua mungkin berumur sekitar empat puluh tahunan dilihat dari postur dan wajahnya.
“Mar! Ini murid-muridnya Rasti dateng lagi!”
Bapak itu memanggil seorang wanita yang kurasa seumuran dengan Bu Rasti.
“Dik, kenalkan ini Marni, adiknya Bu Guru Rasti.”
“Oh, kami turut berduka, Mbak...” dengan sigap Arman menyalami Marni.
Satu-persatu kami bersalaman dengan wanita itu, beliau tersenyum sendu lalu mengangguk kepada bapak yang mengatarkan kami. Bapak itu pun pamit, menyerahkan kami kepada Marni.
***
Akhirnya kami sampai di pondok peristirahatan. Di sebuah rumah yang kayu kokoh beratapkan ijuk. Lokasinya berada tepat di ujung jalan yang membelah desa. Jadi kuasumsikan tempat ini sebenarnya adalah balai desa, atau bangunan serbaguna yang digunakan untuk acara-acara tertentu. Bagian bawah atapnya tak terlalu tinggi, Arman bahkan bisa menyentuh langit-langitnya jika dia melompat.
Ketika kami masuk hanya ada satu ruangan berbentuk seperti aula, cukup luas mungkin ukurannya sama dengan kelas kami saat SMA. Tapi empat itu kosong, perabotanpun tak ada.
“Maaf ya dik, maunya mbak ajak ke rumah, tapi di rumah lagi penuh banyak barang-barang,” Mbak Marni menerangkan
“Rumahnya Bu Rasti yang mana, Mbak?”
Rana bertanya iseng, Mbak Marni tersenyum, lalu menunjuk rumah panggung besar di ujung jalan, berseberangan dengan jarak kurang lebih lima ratus meter dari bangunan ini.
“Itu yang di sana.”
Aku mendongak ke luar, dari tampilannya rumah itu lebih mencolok daripada rumah lainnya. Keluarga Bu Rasti pasti orang penting di kampung ini.
“Maaf Mbak, temen-temen saya yang lain mana ya?” tanya Arman
“Oh, mereka sudah berangkat duluan, dik.”
“Berangkat ke mana?” tanya Sri datar.
“Ke prosesi upacaranya, besok kita ke sana kok.”
Mbak Marni tersenyum ke arah Sri, seorang anak datang membawa nampan berisi ubi rebus dan teh-hangat. Kami pun duduk mengerubungi nampain cemilan itu bersama dengan Mbak Marni.
“Prosesi upacaranya gimana Mbak? Maaf sebelumnya?” Arman penasaran.
“Di sini sebagian besar penduduknya Penghayat Kepercayaan, Dik... Kepercayaan dari jaman leluhur dulu, Gandamayit namanya” terang Marni, “jadi pas ada yang meninggal, orang-orang undangan ikut nari, nanti bakal disiram-siram pake air sungai, nangkep belut, seru kok, apalagi kalo rame-rame”
Jujur aku tak tahu pasti ritual seperti apa yang akan mengiringi pemakaman Bu Rasti, tapi dari cara menjelaskannya, yang terbayang adalah lomba tujuh belasan di komplek perumahanku.
“Wah! Seru nih! Untung kameraku ready!” sahut Kribo bersemangat ketika mendengar penjelasan Mbak Marni.
"Mau direkam?" tanya Rana.
"Iyalah! Kapan lagi liat kalian kalang kabut nangkepin belut?!"
Tentu saja Kribo yang paling bersemangat, pada dasarnya dia memang rajanya bersenang-senang.
“Duh, mana gue lupa bawa baju item lagi!” keluh Jessie.
“Mbak-Mbak, nanti kudu pakai baju item-item gitu atau baju bebas berarti?”
Rana bertanya, karena dirinya juga sebenarnya juga hanya membawa satu set pakaian hitam.
Mbak Marni terdiam, melihat kami satu persatu, dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu tersenyum, “tenang saja, nanti bakal seragam kok...”
Rana dan Jessie menghela napas lega mendengarnya.
Jam kini menunjukan pukul enam sore, Mbak Marni mohon pamit agar kami bisa istirahat, karena malam nanti katanya prosesi adat sudah dimulai. Setelah menyantap beberapa potong ubi rebus, aku menggeser pantatku dan sisa teh di gelasku dari kerumunan menuju pojokan, mengeluarkan laptop kecil dan mulai menulis kelanjutan naskah novel.
Sri membaca novel di pojokan, novel yang ku tulis rupanya! Tapi sepertinya dia tak tahu aku penulisnya. Sementara Rana, Kribo, Jessie dan Bobby bermain kartu sambil mengenang kebaikan-kebaikan Bu Rasti, termasuk masakan yang beliau buat, jajanan yang hampir tiap minggu dibagikan cuma-cuma kepada kami. Aku tak melihat Arman, mungkin jalan-jalan membunuh rasa bosan.
Matahari sudah terbenam sejak tadi, jam di pojok kanan bawah layar laptopku menunjukan setengah delapan malam. Kelopak mataku semakin terasa berat, pusing dan semua teks yang ada di layar terlihat buram. Kulihat Sri sudah tertidur. Rana yang memiliki stamina atlet juga tak kuasa menahan kantuk.
“La, bagi paha... Mau bobok!” ujar Rana manja sambil merangkak ke arahku.
Kulipat laptop dan kusingkirkan dari pangkuanku, sehingga Rana bisa membaringkan kepalanya di pahaku. Kribo juga ambruk dengan posisi yang sepertinya tak nyaman, seperti patung seni avant-garde, begitu juga dengan Jessie.
“Permisi, Laila...”
Bobby berjalan sempoyongan ke sampingku untuk mengambil tasnya namun akhirnya jatuh dalam lelap. Aku masih berusaha melawan, entah kenapa rasa kantuk ini tak terasa natural. Seolah kami dipaksa untuk tidur. Beberapa kali kuangkat kepalaku, namun pada akhirnya aku tak kuasa melawan. Semua cahaya seperti padam begitu saja.
***
“Uuh...”
“La... Ella, bangun... Tolongin aku...”
Rana mengguncang bahuku, kuangkat kelopak mataku, masih setengah mengantuk berusaha melihat sekitar. Gelap, aku tak bisa melihat apa-apa kecuali bayangan Rana.
“La... Bajuku...” bisiknya.
“Kenapa bajunya Ran?” ujarku ogah-ogahan.
Rasa kantuk langsung hilang 100% ketika Rana menyentuh payudaraku. Jarinya bergerak-gerak di atas puting susuku, tanpa dibatasi oleh kain dari baju yang kukenakan sebelumnya, atau bahkan bra yang menopang gunung kembar ini.
Kudorong Rana karena kaget, kuraba bagian dadaku, terasa kulit yang lebih tebal dari bagian lainnya, lalu kuraba selangkanganku, tekstur kesat seperti rambut dan semakin licin ketika semakin ke bawah. Tak hanya buah dadaku, liang peranakanku juga terekspos tanpa perlindungan apapun. Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa aku bugil? Kemana pakaianku? Hanya itu pertanyaan yang terlintas di kepala.
“Kerjaannya Kribo ini pasti!!” bisik Rana marah.
Jika itu benar, maka ini sungguh sebuah lelucon yang jahat! Tanganku menggerayangi lantai untuk mencari kain, seharusnya tak jauh kecuali Kribo membuangnya. Jemari ini berhenti karena menyentuh sesuatu yang... lucu. Aku tak tahu bagaimana cara menjelaskannya, tapi benda ini lembek sekaligus tidak lembek, kuremas-remas sampai akhirnya benda itu makin keras dan besar.
“Aduh... Aduh!!”
Terdengar suara Bobby mengaduh kesakitan, apa yang kupegang juga seperti bergerak menjauh, menarik tanganku yang masih mencengkramnya.
“Saklarnya mana nih?” seru Kribo, sepertinya sedang mencari saklar lampu.
“Ja-jangan” aku berusaha menjerit tapi suaraku tertahan, ketika lampu sudah dinyalakan secara tiba-tiba.
Di depanku wajahku ada sebuah gelondongan daging besar yang mengacung ke hidungku, ada kantung keriput dipangkalnya yang dipenuhi rambut pendek acak-acakan. Itu adalah sebuah penis, dengan ujung yang terbuka karena telah disunat.
“Eh?”
Bobby menunduk bingung, melotot ke arah payudara jumbo, dengan putting besar berwarna coklat muda yang menggantung di bawah leherku. Sementara aku mendongak ke atas, hingga kami bertatap muka, melongo seperti orang bodoh. Tidak hanya aku dan Bobby. Semuanya terdiam, semuanya telanjang bulat di ruangan itu.
“Hyaaaah!!”
Sri menjerit keras, dia langsung berjongkok, merapatkan kedua kaki dan menutupi dadanya dengan tangan. Diikuti dengan Rana juga Jessie. Boby dengan sigap membalikan badannya, sementara Kribo menonton ketelanjangan kami. Secara refleks pemuda keriting itu mematikan lampu, sebelum kami berteriak lebih keras. Walau ruangan sudah gelap cahaya bulan yang menembus teralis kayu jendela tanpa kaca cukup memberi penerangan untuk melihat apa yang terjadi.
Aku bisa melihat penis milik Bobby dan Kribo perlahan kembali tegang melihat kami. Tentu saja, saat ini ada empat wanita telanjang bersama mereka. Wajar jika keduanya terangsang melihat ini semua.
“Kribo! Ini kerjaanmu kan?!”
Rana berdiri, sepertinya dia ingin sekali memukul wajah orang orang itu namun tak bisa beranjak lebih jauh karena tangannya kutarik lagi. Aku punya firasat tidak enak tentang ini semua.
“Enak aja nuduh-nuduh!” bela Kribo “kalo ini kerjaan ku, kalian semua udah tak rekam kali!”
Kalimat si keriting itu membuat para gadis menjerit jijik.
“Mati aja sana, dasar anjing!” umpat Sri
“Pakaian kita! Tas, semuanya hilang!”
Kami langsung menoleh ke sekeliling mendengar kata-kata Bobby. Dia benar, tak ada apapun yang tersisa, hanya badan kami.
Belum reda rasa panas amarah di dada, jantung yang sedang sensitif ini diberi kejutan tambahan dengan pintu yang didobrak keras.
Arman jatuh tersungkur, sama seperti kami dia juga telanjang namun tubuhnya penuh baret dan memar.
“Arman, lo kenapa?!” pekik Jessie, tertutup oleh suara jeritan kami.
“Tutup pintunya!! Jangan ada yang keluar!!”
“Memangnya kena.... pa...”
Kribo yang menoleh ke luar pintu membeku, tubuhnya gemetaran dan langsung membanting pintu. Ditariknya kunci slot kecil sambil menoleh panik.
Aku berdiri sambil terus menutupi dada dan kemaluanku. Tak sengaja kulihat sesuatu yang bergerak beberapa meter dari jendela. Mataku tarbelalak tak percaya, tenggorokanku terasa kering, ini sungguh sureal, seperti berada dalam buku H.P. Lovecraft!
“Ran... Rana... Itu apa?”
Rana dan lainnya menoleh ke jendela dengan teralis-teralis kayu itu. Sosok manusia berjalan bak orang mabuk, tapi bukan itu yang membuat tubuh kami dibekap oleh terror. Ada yang mencuat dari kepala orang itu, tiga buah tentakel tebal yang mungkin panjangnya sekitar satu meter, bergerak bebas seperti gurita.
Semua terdiam dan menoleh ke arah Arman.
“Monster...” bisiknya.
***
Lima menit berlalu, kami hanya berdiam di pondok ini, Rana duduk bersila di sampingku. Putingnya yang gelap berdiri menantang karena tertusuk udara dingin. Tubuh kami berdempetan saling menghangatkan. Para lelaki berada di sisi pintu, sementara Sri duduk di pojok, kami semua meringkuk malu. Hanya Jessie yang tampaknya sudah tak mempermasalahkan ketelanjangannya, bahkan di hadapan cowok-cowok.
Jessie memang terkenal slutty saat SMA, saat ini katanya dia bekerja sebagai model dan cukup sering melakukan sesi nude-photoshot. Wajar saja dia cepat beradaptasi dengan situasi ini walaupun punya tubuh yang menggoda pria.
Garis lekukan tubuh Jessie terlihat begitu indah ketika memantulkan sepercik cahaya bulan, payudaranya menggoda, sedikit lebih besar dari milik Rana dengan puting berwarna pink, begitu juga dengan area kewanitaannya yang dicukur plontos serta terawat.
Aku menunduk, walau tertutup dengan onggokan daging khas mamalia ini, penglihatanku seolah bisa menembusnya dan melihat lipatan lemak menggelambir di perut. Mungkin bukan obesitas, tapi jelas tak bisa dibilang langsing. Rana sih selalu bilang aku ini montok, atau sintal saat menggunakanku sebagai bantal, tapi tetap saja itu bukanlah sinonim dari “langsing”. Aku juga sering mendengar orang bergunjing dibelakang tentang betapa besarnya payudara dan bokongku, bagaimana cowok-cowok ingin meremasnya, bagaimana itu membuat cewek-cewek iri, tapi mereka mungkin akan kecewa ketika melihatnya tanpa tertutup apa-apa begini. Areola yang bertengger di ujungnya begitu besar, bahkan walau tertutup bra, tepian coklat muda masih terlihat menyembul. Terlebih, aku juga menyadari bahwa aku memiliki inverted nipples setelah beberapa waktu lalu melihat bentuk puting susu Rana yang imut dan menantang.
“Ga usah takut La, aku di sini!” gumam Rana menenangkan.
Jika berpelukan seperti ini, kontras warna kulit kami begitu terlihat. Rana berkulit sawo matang dengan puting kecil berwarna hitam. Mungkin tak terlalu istimewa, tapi perutnya rata, tak menggunung-gunung sepertiku, paha dan kakinya juga kencang! Apalagi didukung dengan wajah manis itu, para cowok pasti ereksi karena melihat tubuh Rana dan Jessie, atau mungkin Sri yang punya tipe badan “petite”.
Dibandingkan denganku yang berkulit putih pucat, berwajah suram dengan lingkaran hitam di bawah mata, dengan tubuh seperti ini juga keseharianku yang hobi bermalas-malasan, aku lebih mirip seperti seekor panda daripada manusia.
“Jangan-jangan... Temen-temen yang lain udah...”
“Jess!!” kami langsung menampik asumsi Jessie.
Aku lupa kalau kami seharusnya tak sendirian di sini, masih ada 29 teman sekelasku yang datang sehari sebelumnya, tapi tak satupun batang hidungnya kelihatan. Wajar saja jika Jessie memikirkan hal terburuk.
“Jangan-jangan, kita ini dijadiin tumbal...” gumam Sri tiba-tiba.
“Tumbal apa?!” timpal Rana.
“Monster itu... Yang kita tau dia nyerang Arman, berarti emang gak friendly samasekali!”
“Jadi dia makan orang?!”
Kesimpulan tiba-tiba Bobby membuat kami merinding.
“Gak tau, yang jelas kita harus keluar dari sini!” ujar Arman, berusaha memotivasi.
“Caranya, kita nggak punya senjata lho!”
Kami kembali terdiam, Rana ada benarnya. Keluar pintu itu berarti besar kemungkinan kami akan berhadapan dengannya, dan berhadapan dengan sesuatu yang kita tak tahu sejauh apa kemampuannya adalah tindakan bodoh.
“Mungkin... Kalau kita lari sampai keluar desa...”
“Lari? Lari katamu?”
Bobby memotong kata-kata Rana, berjalan ke arah kami dengan penis yang masih tegang.
“Terus yang gak kuat kayak aku atau Laila gimana? Mau kalian tinggalin? Mau kalian korbanin biar bisa kabur, gitu?”
“Bob, aku nggak bilang gitu!”
“Aku tau kalo aku nggak penting, aku cuma orang culun, tapi aku nggak mau mati, Ran!”
“Bo-Bobby... tenang dulu!” bujukku pelan.
“Aku nggak mau ditinggal sendirian di sini!”
“Bro, nggak ada yang bakal ninggalin kamu!”
Kini Kribo juga mulai khawatir, terlebih Bobby sudah terlalu dekat diriku dan Rana. Aku menoleh ke arah Arman, Sri dan Jessie, semuanya mendekat, berusaha menarik Bobby.
“Bobby... Tenang dulu!” Rana meninggikan suaranya.
“Kalo aku mati sekarang, paling enggak aku mau ngerasain yang namanya ngentot sama cewek beneran!”
Dengan cepat Bobby merobohkan tubuhnya ke arah Rana. Memaku tubuhnya ke lantai kayu yang dingin.
“Bobby, jangan macem-macem!”
Dorongan kasar Rana tampaknya tak membantu banyak pada serangan tiba-tiba, apalagi dengan beban sebesar ini. Tangan kanan Bobby mencekik leher cewek sawo matang itu, beberapakali Rana terbatuk karenanya. Sementara tangan kirinya memandu sang penis untuk membobol vagina Rana.
Susah payah Bobby membidik penisnya agar tepat di liang senggama Rana, terlebih Arman dan Kribo berusaha menarik Bobby ke belakang, namun dia punya kekuatan mentah layaknya Herkules. Jessie dan Sri yang menjerit samasekali tak membantu apa-apa. Suara decak terdengar dari arah pangkal paha Rana. Sahabatku langsung memekik, sepertinya cowok tambun itu berhasil memacak kejantanannya ke dalam vagina itu.
Dibandingkan badan Rana, Bobby jelas jauh lebih besar, perutnya yang buncit menekan perut rana yang atletis. Dada coklat Rana dengan puting hitam kecil yang bertengger tajam di puncaknya berguncang tiap perempuan itu meronta. Walau sepintas aku bisa melihat rambut kemaluan Bobby dan Rana mengikat satu sama lain, berbeda denganku, Rana memiliki jembut tipis di bagian atas bibir vaginanya yang kehitaman. Mungkin dia melakukan trimming untuk merawatnya agar tak tumbuh liar.
Otot-otot kemaluannya yang kuat membuat Bobby semakin sulit menerobos, ditambah kudengar otot manusia akan semakin tegang jika berada dalam tekanan seperti cekikan, atau jepitan kuat. Bagaimana Bobby mencekik Rana tentu saja berimbas pada tempiknya yang makin menjepit kontol Bobby.
Aku tak percaya Bobby melakukan hal kejam kepada Rana. Saat SMA dia adalah anak yang manis, sangat suka bercanda dan sering membantuku saat piket pagi. Faktanya, Bobby mungkin satu-satunya anak cowok yang betah ngobrol denganku. Kami memang punya kesamaan yang aneh, yaitu sama-sama penyuka teori konspirasi. Kami sering berbicara tentang hantu, alien, atlantis, bahkan teori tentang alchemy dan elemen Tuhan. Bisa dibilang aku dan Bobby adalah seorang geek, atau otaku hal-hal berbau misteri.
Tapi kini sahabatku sedang dalam masalah, Rana yang selalu berdiri di depanku, menjadi perisaiku sedang diperkosa oleh si sahabatku yang lain itu. Kudorong tubuhku maju, kupegang wajah Bobby lalu mendorongnya sekuat tenaga. Terlihat canggung memang, namun efektif, dia melepaskan jerat cekikannya dari leher Rana. Membuat gadis itu bisa bernapas kembali, walau terengah-engah.
“Aku nggak mau mati... Aku nggak mau mati...”
Dia merangkul tubuhku, membekap punggungku dengan kedua tangannya. Masih dalam posisi menindih Rana, menggenjotnya cepat sehingga kedua payudaranya berguncang hebat. Cengkraman kuat Bobby membuat jantungku berdegup kencang, aku sangat ketakutan. Bobby membuka mulutnya lebar-lebar lalu melahap puting kananku. Aku syok, gemetaran, berusaha mendorong bahunya namun tenaga kami sangat jauh perbandingannya.
Tetesan air mata pria tambun itu jatuh di atas buah dadaku, dia menangis seperti bayi sambil menyusu kepadaku, pinggulnya masih bergoyang menyetubuhi sahabatku. Suara Rana yang terus memaki Bobby menggema pelan, aku juga melihat Arman yang berusaha menarik tubuh Bobby menjauh dari kami berdua. Tapi semuanya terasa lambat, seperti efek slow motion yang sangat dramatis. Entah mengapa aku jadi sangat bersimpati kepadanya.
Kata orang sifat manusia yang sebenarnya terlihat saat berada dalam tekanan, saat kematian berada di depan mata. Jika itu benar, maka yang kulihat dari Bobby bukanlah seorang pemuda gendut yang cabul, melainkan seorang anak cengeng yang telah putus asa dengan asmara, dia melampiaskan keputusasaan itu kepada Rana. Tanpa sadar kupeluk lehernya kubekap wajahnya yang masih menetek kepadaku. Aku menangis bersamanya.
Suara gemeretak di samping rumah membuat kami membatu, siluet besar menggeliat terlihat berjalan di sisi jendela. Keributan ini pasti telah mengundang perhatian makhluk belut itu. Bobby masih sesenggukan, aku berusaha menyeka air mataku dan mengajaknya turun dari atas perut Rana. Penis Bobby yang mulai lemas tercabut, diikuti oleh cairan kental yang keluar dari dalam vagina Rana juga ujung penis Bobby.
Kulihat sahabatku itu menangis dalam kepanikan, dia mengorek pintu rahimnya agar semua sperma Bobby tak masuk dan membuahi sel telurnya. Aku sangat ingin memeluknya dan menangis bersamanya saat itu, namun gemeretak di luar pondok kami membuat semua orang kaku ketakutan. Monster tadi menyadari keributan yang kami buat, dan kini berusaha masuk ke rumah!
“Psst...!”
Kami menoleh ke belakang, Sri dan Jessie menemukan sebuah pintu rahasia di pojok lantai. Mereka turun ke pintu itu. Aku dan Arman membantu Rana berdiri, kami berjalan ke arah lubang pintu. Tetapi Bobby terdiam, duduk bersimpuh melihat kami, sementara Kribo akhirnya meninggalkannya dan menyusulku ke arahku.
“Bobby, sini!” bisikku
Pemuda itu menggeleng, “Pergi... Aku pantas mati...”
Suara gemeretak di pintu terdengar makin keras, pintu itu tak akan bertahan lebih lama lagi. Setengah berlari kuhampiri Bobby.
“Maaf, Laila... Sama kamu, sama Rana... Aku...”
Perasaan bersalah karena dikuasai rasa takut, aku paham betul, tapi tak ada waktu lagi, aku harus membujuk Bobby agar mau turun. Kupegang kedua pipi tembemnya, kucium bibirnya dengan tiba-tiba. Aku tak tahu darimana ide itu muncul, terlitas begitu saja. Kurasa aku belajar dari bagaimana Rana menjahiliku selama ini. Ketika dia syok, kutarik tangannya, tak ada perlawanan. Kami berdua turun dengan selamat.
***
Napas kami terengah-engah, lorong sempit dan gelap itu terasa begitu sesak karena kini dipenuhi tujuh orang. Mataku yang sudah beradaptasi dengan kegelapan masih bisa melihat samar-samar sejauh satu atau dua meter ke depan, tapi aku tahu lorong ini cukup panjang karena suara kami bergema.
Rana menghampiri Bobby di anak tangga, tangannya diangkat tinggi-tinggi lalu diayunkan cepat. Suara tamparan di pipi menggema di sepanjang lorong. Pria itu tak merespon, tertunduk dalam penyesalan, tapi Rana belum puas. Dia menjambak rambut Bobby lalu memukulnya hingga tersungkur ke lantai.
“Aku pikir kamu orang baik Bob! Aku salah! Aku kecewa banget!”
“Ran! Rana, udah!!”
Aku dan Arman berusaha memisahkan keduanya. Rana langsung memelukku. Menangis sejadi-jadinya. Hilang sudah senyum ceria yang selalu menghiasi wajah manis Rana. Matahari yang selalu melindungiku kini berubah menjadi hujan deras yang memilukan. Jujur saja melihatnya seperti itu membuat hatiku hancur. Menurutku Rana adalah orang yang suci, yang murni, sehingga melihatnya tertimpa musibah adalah hal yang paling tak kuinginkan. Walau begitu, aku juga tak bisa membenci Bobby. Bukan berarti aku membenarkan tindakannya, hanya saja... Aku merasa mengerti perasaannya. Rasa takut akan ditinggalkan dan dianggap sebagai lalat kecil yang bisa diinjak seenaknya. Aku telah mengalami itu semenjak SMP, membuatku depresi hingga Rana menyelamatkanku.
“Rana... Aku di sini, aku selalu ada untukmu...” bisikku di telinga Rana.
Kami menyusuri terowongan dalam kesunyian yang canggung dan tak mengenakan, semuanya hanya ingin pulang. Rasa paranoid tak hanya muncul dari monster di luar sana, tapi juga kepada kawan kami sendiri. Saat ini semua mengantagoniskan Bobby karena telah memperkosa Rana, walau aku sebenarnya menaruh simpati kepadanya, tapi aku tetap harus waspada. Tidak hanya kepada Bobby, tapi yang lainnya juga. Mungkin hanya Rana yang bisa kupercaya saat ini.
Setelah lima belas menit berjalan, aku bisa melihat jalan keluar. Arman yang berjalan paling depan mempercepat langkahnya, begitu juga dengan kami. Namun tiba-tiba dia berhenti.
“Kenapa, Man?” tanya Jessie.
“Itu... “
Arman menunjuk ke ujung lorong, ada sesuatu yang muncul, berjalan sempoyongan ke arah kami. Dari figurnya seperti perempuan bertubuh ramping.
“Intan!!”
Teriakan Jessie membuat kami terkejut, kupicingkan mataku. Dia memang mirip dengan Intan, salah satu teman sekelas kami yang jadi anggota gengnya Jessie.
“Intan, lo ga apa-apa?! Mana yang lain?”
Jessie setengah berlari ke arahnya, entah kenapa aku punya firasat buruk tentang ini.
“Tan, lo... Kenapa?”
Ketika jaraknya hanya tinggal dua meter dengan tubuh Intan, Jessie menghentikan langkahnya, aku bisa merasakan kalau ada keraguan dalam diri Jessie. Yang dia lihat di depannya bukan Intan yang dia kenal. Benar saja, sesuatu meletus dari mulut dan dubur Intan. Benda abu-abu panjang itu menggeliat, intan mengejan dan berjalan secara tidak normal. Itu tentakel yang sama dengan makhluk di atas.
“Hiiiy!!”
Jessie terjungkal ke belakang, tentakel-tentakel itu merangkak ke arah Jessie dan berhasil melilit kakinya kanannya, Jessie menendang wajah tak bernyawa Intan, namun Intan memegangi Jessie agar tak banyak bergerak, sehingga belut yang ada di mulutnya lebih leluasa menerobos selangkangan Jessie.
“Bitch! Get off!!” jeritnya murka.
Suara berkecipak seirama dengan gelinjang tubuh bugil Jessie yang intens.
“Haaa!! Pull it out!! Pull it out!! You gonna break my pussy!”
Salah satu tentakel berhasil menerobos masuk ke kemaluannya, cukup dalam sehingga membuat Jessie bergelinjang kesakitan.
Dengan panik Arman, Kribo dan Rana berlari dan menolong Jessie. Namun Intan merangkak mundur sehingga tubuh Jessie menempel dengannya ikut tertarik, seperti melihat sepasang anjing yang sedang gantet. Jessie terus meracau, memekik kesakitan dan berusaha mencengkram lantai dengan jari-jari lentiknya. Kantong asi yang bertengger di dadanya bergoyang bak jelly setiap tubuhnya bergeser.
Rana akhirnya berhasil meraih tangan Jessie, lalu dibantu menahan oleh Arman agar tak dibawa oleh Intan. Aku memegang pinggang Rana, membantu menarik.
“FUUUCK!! Pelan-pelan!! Pussy gue bisa hancur!!!” umpat Jessie di sela teriakan.
“Jes, minggir kaki mu!!”
Kribo berlari ke arah Intan dan menendang wajah zombie teman sekelas kami itu dengan keras.
“Aiiieee!!!”
Jeritan Jessie melengking dan bergema di lorong, diikuti oleh semburan air kencing yang tak terkendali. Tampaknya tendangan Kribo tadi membuat tentakelnya tertarik secara paksa, memberikan gaya tarik kuat seperti bagaimana kita menarik tali tambang, hanya saja kali ini terikat dalam rahim Jessie. Walau begitu, tendangan Kribo memberikan sedikit ruang kosong antara mulut Intan dan Vagina Jessie.
“Minggir!”
Sri mendorong Kribo kesamping lalu mengangkat pahanya setinggi yang dia bisa. Tanpa aba-aba, diinjaknya badan tentakel yang menghubungkan Jessie dengan Intan itu.
Selama beberapa detik Jessie mengejan, sementara mayat Intan langsung tengkurap tak bergerak. Sisa badan belut yang menembus anusnya juga mulai lemas dan akhirnya mati.
“A-ada... something... Ada yang masuk... Ke dalem pussy gue...” desah Jessie, napasnya ngos-ngosan, air mata mengalir di pelipis matanya.
Rana membantunya duduk di mulut terowongan agar mendapat cukup sinar. Aku segera berlutut di hadapan Jessie yang masih berusaha mengumpulkan sisa tenaganya. Air seninya baru saja berhenti, bibir kemaluannya masih menganga, memperlihatkan daging pink cerah di dalamnya.
Sesuatu di dalam situ menarik perhatianku, kusentuh dengan jari telunjukku. Lembek dan berlendir, seperti balon yang berisi air. Kuperhatikan dengan seksama kantung penuh urat transparan itu, ada sesuatu di dalamnya, berkedut.
“Hiiiy!”
Aku tersungkur, kaget dan ngeri, tak tahu benda apa yang ada di dalam vagina Jessie, tapi yang jelas itu hidup!
“Kenapa, La?!”
Rana yang terkejut ikut melihat ke arah rahim Jessie. Kribo, Bobby dan Arman juga menunduk untuk melihat tempat paling sensitif milik Jessie itu. Tentu saja mereka satu-persatu malah ngaceng setelah melihatnya dari dekat dan jelas.
“Jangan malah ditontonin, keluarin!!” Amuk wanita yang kemaluannya jadi pameran itu.
“Sri... Sini! Liat yang di dalem memeknya Jessie,” ujar Kribo tanpa berpaling dari pemandangan di depannya.
Sri berjongkok di samping Jessie, mengorek liang senggama cewek jangkung di hadapannya dan menarik benda misterius itu keluar. Cairan kewanitaan mengalir dari lubang vagina Jessie setelah sumbatannya tercabut. Sebuah benda yang menyerupai nukleus yang pernah kami pelajari di biologi SMA.
Bedanya ukurannya sangat besar, kurang lebih hampir sebesar bola tenis. Sedikit transparan dan penuh cairan di dalamnya, ada sesuatu yang mewakili nukleolus berwarna putih pucat terkoneksi dengan urat-urat melingkar. Wajah kami berenam semakin dekat dengan benda itu saking penasarannya. Tiba-tiba inti dari bola itu berkedut.
Refleks, Sri melemparnya ke tanah hingga pecah. Kami juga tak kuasa menyembunyikan rasa terkejut dan mundur. Beberapakali makhluk kecil tersebut menggeliat pelan hingga akhirnya tak bergerak lagi. Sepertinya benar-benar mati.
“Ini embrio, kayanya tentakel itu naruh telurnya di dalam tubuh manusia,” gumam Sri datar saat memeriksa kembali apa yang baru dibuangnya itu.
Aku bergidik ngeri mendengarnya, teringat adegan film Alien, Jessie dan lainnya juga langsung menghindar.
“Itu binatang apa? Tau gak Sri?” tanya Kribo.
Sri menggeleng, dia berjalan ke arah tubuh Intan yang sudah tak bernyawa. Diangkatnya ujung dari makhluk yang keluar dari mulut, lalu beralih ke ujung yang keluar dari anusnya. Memperhatikan bagian interior binatang itu secara seksama. Untuk seorang wanita muda, apalagi yang bertubuh paling kecil di antara kami, Sri benar-benar memiliki nyali yang besar. Aku memang sudah lama tahu, terutama setelah paham betul bagaimana kepribadiannya. Sri adalah cewek cerdas berlidah tajam, sangat sedikit empati yang ditujukan dengan orang lain, tak jarang membuat lawan bicaranya jadi sakit hati dan dia tak menyesal akan itu. Gampangnya dia adalah gadis berengsek bemental baja.
Karena penasaran kami mengintip apa yang dilihat Sri. Bau busuk langsung menyengat saluran pernapasan kami. Kututup hidungku, Jessie, dan Arman sampai terbatuk-batuk. Bagian dalamnya jauh lebih menjijikan dari yang kukira. Cairan dan gumpalan-gumpalan coklat yang berada di sekitar “mulut” belut itu adalah kotoran manusia. Kini kuperhatikan seksama ada gigi-gigi kecil melingkar di sekitar dinding interior belut itu. Bentuknya tak tajam, tapi susunannya mengingatkanku pada ikan lamprey.
“Kayak hibrida belut sama cacing pita!”
Sri mencolek sedikit lendir yang melapisi binatang itu, mengoleskannya ke pergelangan tangannya. Setelah beberapa saat dia meringis, lalu menggaruk-garuknya. Dia berjalan ke arah Jessie dan memeriksa paha dan kaki perempuan itu.
“Eh! Sri! Mau ngapain lo!”
Tak hanya Jessie, kamipun heran dengan apa yang dilakukan bocah nyentrik itu. Dia menepuk selangkangan Jessie.
“Uaaah”
Jessie mendesah, kulihat cairan bening menetes sedikit dari organ kewanitaannya. Wow, dia orgasme, bahkan sampai ejakulasi hanya karena tepukan sederhana?
“Lendirnya bikin kulit kita makin sensitif, hati-hati!” gumam Sri datar, tanpa rasa bersalah.
Jessie hanya menggerutu pelan saat satu-persatu kami melewati mayat Intan. Mataku masih tak bisa berpaling dari tubuh lemas Intan yang terbaring mengerikan, seperti sate dengan makhluk berlendir sebagai pengganti tusuk satenya.
***
Kami akhirnya keluar dari terowongan, berjalan sambil menunduk melewati rerumputan. Napasku memburu karena takut, kulihat siluet beberapa monster di pemukiman, cukup jauh. Namun ada bangunan rumah panggung kecil di pinggir tebing yang menarik perhatianku. Tempat itu seperti pepunden, kuil kecil yang posisinya terisolir dari desa, aku tak bisa memastikan ukurannya, kurasa hanya 3x3 meter.
Setengah berlari, kami berusaha mencari tangga tempat kami masuk tadi. Masuk melalui rimbun pepohonan menuju tangga di bukit tempat kami masuk ke desa, namun perbukitan itu seakan menjauh. Kakiku sakit, beberapa kali ranting pohon bergesekan dengan kulitku memberi luka lecet dan memar. Namun entah kenapa aku melewati gubuk kecil itu lagi. Seperti mengalami fenomena Deja Vu.
“Apa-apaan ini! Dari tadi kita jalan muter-muter aja!!” geram Jessie ketika kami kembali sampai di sisi danau.
“Padahal aku yakin kita berjalan lurus...” gumam Arman lirih.
“Sekarang gimana?” bisik Rana dan Kribo bersamaan.
“Umm... Anu, sebenarnya...”
Tanpa melanjutkan kata-kataku, kuacungkan jari telunjuk ke arah rumah kecil itu yang kulihat tadi. Semuanya menoleh ke arah yang kutunjukan, beberapa masih gagal paham.
“Emang kenapa itu gubuk?” Jessie mengernyitkan kening.
“Me-menurutku itu bukan sekedar gubuk biasa, tapi semacam pepunden, tempat persembahan kecil.”
“Tau darimana?” Kribo meragukan.
“Ornamen di atapnya terlihat mewah kalau hanya sekedar digunakan untuk menyimpan gabah, dan bangunannya itu terlalu kecil untuk jadi tempat tinggal orang penting,” terangku, “jadi kemungkinan satu-satunya ya menyimpan sesuatu yang ada hubungannya sama Penghayat Kepercayaan Gandamayit ini!”
Semua orang melihatku tanpa kata-kata, sepertinya ada yang salah dengan kata-kataku, tapi aku tak tahu yang mana.
“Ke-kenapa?”
“Katanya Rana kamu kuliah ambil jurusan psikologi kan? Memang diajarin yang beginian di kampus?” tanya Arman heran.
“Eh?! Anu...” Aku tergagap, tak berani bilang kalau sebenarnya sejak SMA aku sudah menulis cerita detektif, jadi kemampuan deduksiku juga ikut terasah karena terbiasa memperhatikan hal-hal kecil saat mencari referensi.
“Udahlah, kita cek aja!” sela Sri ketika melihatku panik.
Satu demi satu kami berjalan mengendap ke arah bangunan yang kucurigai sebagai pepunden itu. Kami bertujuh sampai di samping bangunan. Bobby, Kribo dan Rana menoleh ke berbagai arah, melihat apakah situasi sudah aman. Ketika dirasa cukup aman, Rana menaiki anak tangga dan membuka kunci slot, lalu membuka pintu lebar-lebar. Kamipun menyusulnya, masuk ke dalam rumah kayu seukuran 3x3 meter itu.
Di dalam ada lampu pijar kecil yang menerangi ruangan. Interiornya mirip seperti aula tempat kami istirahat pertama kali, namun ada beberapa perabotan kali ini. Selain lampu pijar di atas, ada rak kecil berbentuk segitiga, mengikuti bentuk atapnya. Berisi guci-guci kecil sebesar telapak tangan untuk menaruh air kembang, namun yang menarik perhatian kami adalah sebuah patung kayu berbentuk manusia dengan cabang-cabang sebagai kepalanya, dan kotak kayu besar yang terpaku di tengah ruangan.
“Kenapa sih desa ini? Absurd banget asli!” ujar Kribo sambil menutup pintu.
“Aku nggak tahu, tapi kaya ada sesuatu yang membuat kita terjebak di desa ini?”
Rana mengangguk, “seperti ada di dimensi lain...”
“Ini kayak setan-belut-thingy itu gak sih?”
Jessie mengambil patung kayu itu, bentuknya memang mirip dengan monster-monster tadi. Sri mengambilnya dari tangan Jessie, membolak-balik secara seksama.
“Sepertinya mereka sesuatu yang dipuja.”
“Jadi ular-zombie itu semacam dewa bagi Penghayat Gandamayit gitu?” tanya Arman.
“Seriusan deh, mending cari nama yang gampangan buat nyebut mereka, lidahku capek nyebutnya!” gerutu Kribo.
“Ganda... Mayit...”
Kami menoleh ke arah Bobby yang duduk bersila di depan pintu. Si gendut itu menunjuk ke atas, spontan kami mendongak. Torehan-torehan berbagai aksara, mulai dari aksara latin, jawa, dan banyak lagi yang tak ku kenal. Tapi dari sana aku tahu, nama kepercayaan Gandamayit berasal dari sebutan spesies tersebut.
Ukiran di langit-langit papan terlihat cukup jelas walau terpapar cahaya yang redup. Tak hanya tulisan, beberapa gambar juga terukir di beberapa tempat, seperti gambar-gambar di candi kuno. Aku meraba palang kayu yang dipenuhi visual bagaimana Gandamayit mengambil alih tubuh manusia untuk bisa bergerak di darat. Terlihat gambar figur manusia, lalu figur itu berendam di sebuah kolam, menungu beberapa Gandamayit masuk melalui dubur dan bersarang di perutnya. Manusia yang menjadi inangnya itu akan tetap hidup, menjalankan aktifitas seperti biasa, menggantikan fungsi usus besar. Dan ketika sang inang meninggal, apapun penyebabnya. Gandamayit akan mengambil alih tubuh inangnya selama makhluk itu masih utuh.
“Ini... Mengerikan...” bisik Rana disampingku, sementara aku hanya menutup bibir dengan tangan.
“Di sini juga ada...”
Kribo dan Jessie menyusuri sisi dinding satunya. Aku beralih kepada mereka, yang di sini adalah ilustrasi tentang inkubasi telur-telur Gandamayit yang dimasukan ke dalam rahim seorang wanita. Aku melirik Jessie yang meraba bagian bawah perutnya. Dia yang paling dekat dengan ini semua di antara kami, karena Gandamayit baru saja bertelur di dalam vaginanya.
“Kalau ini adalah ritual desa, berarti semua orang....” ujarku pelan.
“Termasuk temen-temen kita...” timpal Jessie, badannya disandarkan di dinding lalu merosot lemas, teringat akan Intan.
Arman mengetuk-ngetuk kotak yang berada di tengah ruangan, lalu menggoyang-goyangkan bagian atasnya hingga terbuka.
“Err, guys... Coba lihat ini!”
Kami menghampirinya, sebuah buku tebal dengan sampul yang terbuat dari bahan kulit hewan. Kami membaca isinya, sebuah jurnal penelitian yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia ejaan lama. Tentang penemuan spesies belut Gandamayit dan upaya pembudidayaannya di desa ini. Belut dengan kekuatan magis yang mampu memberi kesaktian yang dipakai oleh para pendekar untuk melawan penjajah. Beberapa nama tokoh sejarah tercantum di buku ini. Ketika mencapai halaman terakhir, kami terkejut melihat nama yang tertera di akhir buku sebagai kredit penulis.
Rasti Astika, 1918
Tahun 1918, Indonesia bahkan belum merdeka, tapi nama Bu Rasti tercantum di buku itu.
“Ini maksudnya apa? Hey?” tanya Sri gelisah.
Halaman kusam itu kubolak-balik, mencerna kembali tiap kata demi kata. Ada sebuah halaman yang menempel. Kubuka perlahan agar tak rusak, sebuah foto monokrom yang sudah menguning tertempel di salah satu sisi kertas.
Foto seorang menir belanda berbaju putih yang memegang belut itu. Disampingnya berjejer sekelompok pria dan wanita telanjang. Sepintas mungkin itu terlihat seperti foto sebuah ekspedisi ke suku pedalaman, namun wajah seorang wanita membuatku terkejut.
“Ini... Bu Rasti...”
Sri merebut foto itu, yang lain juga tampak penasaran dan langsung memperhatikan foto itu. Ketika sibuk meneliti gambar lawas tersebut, kulihat ada sesuatu tertulis di balik kertas foto.
Apa artinya?
“Anu... di baliknya ada tulisan!”
“We hebben filosoof steen gevonden... Apaan?” baca Rana bingung.
“Itu bahasa Belanda, artinya...” Arman menahan napasnya, “kami menemukan batu bertuah...”
Aku langsung menoleh ke Bobby, kulihat dia juga menatapku terkejut.
“Batu bertuah itu, apa?!” tanya Jessie bingung.
“Batu keabadian!”
Kami menyahut bersamaan. Bobby menepuk telapak tanganku, kami kegirangan di pondok kecil itu. Tentu saja membuat yang lain bingung. Batu bertuah adalah sebuah substansi legendaris, yang bahkan tak ada dalam tabel periodik. Kasarnya ini adalah sebuah elemen baru! Sebuah substansi yang bisa mengubah logam menjadi emas, yang memberimu keabadian. Banyak yang berusaha mencarinya.
Tarikan kuat dari belakang menjauhkanku dari Bobby.
“Jangan dekat-dekat!”
Rana menengahi kami, dia sungguh membenci Bobby semenjak apa yang terjadi di rumah itu.
“Ahh... Umm... Bu Rasti... Beliau dulunya pasti juga bagian dari ini semua...” gumamku, kembali tersadar pada realita.
Arman menegakan badannya, menunjukan batang yang berdiri tegang di bawah perutnya, “terus gimana ini? Kalo diem gak ngapa-ngapain, kita pasti ketangkep suatu saat nanti!”
“Rumah Bu Rasti! Buku itu... Buku itu ditulis sama Bu Rasti kan?” tanyaku meyakinkan. “pasti ada jalan keluar lain dari sini!”
Semuanya terdiam, menatapku dengan kening mengernyit saat kusimpulkan semua yang ada di pondok ini. Bodohnya aku, malah mengatakan hal yang tidak-tidak! Aku menunduk, merasa bersalah setelah mengutarakan hipotesa tersebut
“Lu-lupakan saja...”
“Ella kamu cerdas!!” Rana mencengkeram lenganku, membuat dada kami yang ukurannya sangat berbeda berguncang keras layaknya balon air yang bergetar. Aku hanya mengangguk pelan.
“Tapi gimana Gandamayitnya? Lo pada udah liat kan pas dia... Ngentotin gue! Mereka itu tenaganya kaya kuda!”
Ya... Mana aku bisa lupa melihat seseorang manusia bisa gantet layaknya anjing seperti itu, butuh tenaga empat orang agar Jessie bisa lepas dari tusukannya.
“Kita butuh pengalih perhatian supaya yang lain bisa bergerak lebih leluasa!” gumam Sri dingin.
“Sri! Jangan gitu!” bentakku, pada dasarnya dia ingin kami meningalkan salah satu teman kami sebagai umpan, seperti yang ditakutkan Bobby.
“Sri ada benarnya, mereka mungkin aja ada banyak dan kuat, tapi geraknya sangat lambat, gak terorganisir!” ujar Arman meluruskan, “kita butuh orang yang gesit, yang larinya cepet!”
Semua orang menoleh ke arah Rana. Tidak... Tidak, ini tak boleh terjadi! Rana tak boleh pergi sendirian!
“Jangan! Jangan Rana! Nggak boleh!”
Aku tak bisa berpikir jernih lagi, kuremas bahu Sri, lalu Arman, benar-benar seperti orang kesetanan.
“A-aku aja! Aku yang jadi umpan! Aku yang gantiin Rana, kalau aku mati nggak ada yang akan sedih! Tapi kalau Rana.. Kalau Rana...”
“Ella!!!”
Rana membentak, aku menolehnya ketakutan, Bobby juga tampaknya sangat khawatir. Semua orang terdiam. Mereka pasti berpikir bahkan sebagai umpanpun, aku tak akan berguna. Aku hanyalah perempuan yang lamban dan menjadi hambatan bagi mereka.
Rana mengusap air mata di pelipisku, dia menatapku dengan sendu.
“Gak apa-apa, La...” gumam gadis berkulit coklat itu.
Dengusan lelah terdengar dari hidung Sri, “Laila, kami masih membutuhkanmu buat urusan lain!”
“Huh?”
“Sadar nggak sih kalo dari tadi kamu itu dari tadi udah bantu kita lewat deduksi-deduksi sok detektif itu?”
“Ah? Maksudnya? Tapi kan... Sri yang lebih tahu soal monster itu...”
“Yang kulakuin cuma mengulang apa yang tertera di buku, nggak lebih kayak ensiklopedi!” tampik Sri, “tapi kamu beda, aku udah lihat bahkan dari baru masuk desa, kamu memperhatikan sekeliling, itu bukan muka turis bego kayak Jessie, itu muka orang belajar dan mengolah data di otak!”
“Hey!!” protes Jessie.
“Lentera Anomali itu kamu yang nulis kan?”
“Eh?! Hu-uh...”
“Lentera Anomali?” tanya Kribo dan Arman berbarengan.
“Novel detektif, walau fiksi tapi dari gaya tulisannya aku bisa tahu kalau si penulis itu pengamat yang detil sama hal-hal kecil karena bisa bikin kasus-kasus nggak terpikirkan macem itu!”
Aku tersanjung, namun sangat malu. Bahkan Rana tak tahu kalau aku adalah seorang penulis buku, hanya Bu Rasti yang tahu.
“Laila... Kamu adalah kunci supaya kami bisa keluar dari sini!” ujar Rana lirih.
Aku melihat ke sekelilingku, semuanya tersenyum. Rasa paranoid berubah menjadi harapan. Kenapa aku tak menyadarinya sedari tadi. Inilah yang seharusnya kami lakukan, saling melengkapi dan membantu dalam satu kesatuan, bukannya curiga dan galau tak jelas!
Selama beberapa menit kami berdiskusi, kuungkapkan semua kemungkinan yang ada di kepalaku, Bobby menceritakan tentang batu bertuah secara mendetail, lalu bersama Sri kami berusaha menarik garis untuk menghasilkan informasi yang sekiranya bisa kita pakai. Sementara Kribo dan Jessie mengumpulkan apapun yang bisa dijadikan senjata, Arman dan Rana membuat rencana pengalihan dan rute melarikan diri.
Akhirnya diputuskan kami akan membagi kelompok menjadi tiga tim. Tim pengalih, Arman dan Rana bertugas untuk menarik perhatian Gandamayit sebagai umpan hidup, mereka akan berjalan lebih dulu agar bisa membuka jalan kami. Kelompok kedua adalah tim investigasi, yaitu Sri, Kribo dan diriku sendiri, bertugas untuk menyusup ke rumah Bu Rasti dan mencari petunjuk. Lalu Bobby dan Jessie bertugas untuk melindungi dan menghalau siapapun yang berusaha mendekati kami, mereka adalah tim penjaga. Dan saat matahari sudah terbit, kami akan menyusup ke rumah Bu Rasti.
***
Matahari menyembul di cakrawala. Kribo dan Sri berjongkok di depanku, sembunyi selagi menunggu aba-aba dari Rana dan Arman. Sementara Jessie dan Bobby beberapa meter di belakang kami agar bisa mengawasi dengan leluasa. Beberapa menit kemudian terdengar suara Rana yang berteriak, berusaha menarik perhatian mayat-mayat yang dikendalikan para Gandamayit.
Rana melompat sambil mengayunkan kedua tangannya ke atas. Kami bisa melihat gunung kembarnya naik-turun kencang, jika ukurannya sebesar milikku pasti akan sangat menyakitkan melakukan itu. Beberapa Gandamayit di sekitarnya berjalan patah-patah menuju sumber suara. Sembilan, tidak... Ada sekitar tiga belas ekor yang berjalan pelan, dua ekor merangkak dengan dua tangannya karena kaki mereka tak lengkap lagi. Arman memberi isyarat bagi kami, lalu berlari ke arah Rana. Mereka berlari sambil terus memprovokasi belut-belut itu agar semuanya terfokus pada mereka.
Tanpa membuang waktu, kami berlari melewati jalanan desa yang sudah lebih sepi itu. Fokus ke rumah besar yang di tunjukan oleh Mbak Marni kemarin sore.
“Hyahhh!”
Jeritan Sri membuatku dan Kribo terkejut, kami menoleh kebelakang, melihat seekor Gandamayit bertubuh pria kurus menangkapnya. Tangannya hanya satu, rusuk-rusuknya tercetak di dada saking kurusnya, kulitnya pun sudah membiru, menandakan itu adalah mayat lama.
Gumpalan coklat menetes dari mulut dua belut yang menggantung di kepalanya, jatuh ke bahu dan punggung Sri yang meronta-ronta. Sampai akhirnya sebuah gelondongan kayu menghantam leher monster itu.
“Lari!! Biar kami yang urus di sini!!” teriak Bobby, sementara Jessie memukul-mukul makhluk yang sudah ambruk itu membabi buta, kotoran kecoklatan muncrat kemana-mana tapi dia sudah tak peduli. Kebenciannya terhadap Gandamayit membuat wanita langsing itu kalap.
Kami langsung mengambil langkah lebar-lebar hingga akhirnya sampai di depan rumah Bu Rasti.
“Pintunya kekunci!” seruku.
“Minggir!”
Kribo mengangkat kayu yang dibawanya lalu dipukulnya jendela kaca yang ada di samping pintu. Dibukanya kunci slot dari dalam, lalu membukakan jendela itu seperti buku.
“Angkat aku!”
Kami mengangkat pantat Sri agar bisa naik melalui jendela. Kami bisa mendengar suara mengaduh Sri saat badannya menghantam lantai, namun tak lama, suara ceklek di pintu membuat kami bernapas lebih lega. Aku dan Kribo masuk dan menutup pintu kembali.
“Kribo jaga pintunya, kalau Jessie sama Bobby udah sampai langsung bawa masuk!” perintah Sri, “Laila, bantu aku cari petunjuk apapun yang ada hubungannya sama Gandamayit!”
Aku mengangguk lalu berjalan ke sebuah kamar di sisi kiri ku, Sri memeriksa ruangan yang ada di ujung lorong dan Kribo mengobrak-abrik ruang tamu. Di dalam kamar, kulihat sebuah lemari pakaian. Kubuka dengan harapan menemukan sesuatu untuk menutupi tubuh kami, walau sudah sangat terlambat, tapi lemari itu hanya berisi tumpukan guci tanah liat yang ditutup dengan sumbatan kayu.
Kubuka sumbatan itu, aroma busuk yang terkompres di dalamnya langsung memenuhi ruangan. Tanganku mengibas-ngibas sambil terus terbatuk, kupanjangkan leherku untuk mengintip isi guci tersebut.
Telur! Tidak, bukan telur, melainkan bayi-bayi belut berwarna putih pucat dan gemuk, seperti ulat kelapa bentuknya. Menggeliat di dalam guci yang penuh dengan lendir. Kututup kembali guci tersebut lalu memeriksa rak di bagian atas lemari. Ada beberapa buku serupa dengan yang kami temukan di pondok kecil itu sebelumnya.
Kubolak-balik isi buku itu, ada yang berisi tentang penjelasan lengkap anatomi belut-belut Gandamayit, buku kedua tentang ritual seperti yang terukir sebelumnya namun lebih rinci, buku ketiga tentang sesuatu yang disebut “Anak Surga”. Kubekap ketiga buku tersebut di depan dadaku, lalu keluar dari ruangan.
“Aku dapat petunjuknya!” gumamku cepat.
Kribo mengangguk, “panggilin Sri!, kita cabut!”
“Sri, ayo keluar dari sini!”
Tak ada respon, aku berjalan pelan ke arah lorong namun suara perempuan yang begitu pelan membuatku menghentikan ayunan kaki.
“Sri... Kamu nggak apa-apa kan?” tanyaku mulai ketakutan.
Suaranya mirip seperti Kayako dari film horror The Grudge, seperti suara orang yang tersedak, atau kesakitan.
“Sri... Jawab aku, ayo kita pergi...”
“Mau pergi kemana? Kalian mau melewatkan pesta utamanya?”
Aku memicingkan mataku, itu bukan suara Sri! Gadis itu seperti tercekik, dengan ekspresi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Mulutnya menganga meneteskan liur dan uap dari napas hangat, matanya berputar ke atas, seolah berusaha melihat dalam tengkoraknya. Aku mundur perlahan, kututup mulut dengan dua tanganku. Sri tidak sendiri, seseorang memeganginya dari belakang. Mengangkatnya hingga membuat cewek bertubuh mungil itu hampir tak menyentuh tanah. Dua belut setebal lenganku menusuk pantat dan vaginanya secara bergantian seperti sebuah piston.
“Ouuhhhh!!” lenguh Sri ketika gelondongan panjang di dua lubangnya masuk semakin dalam, membuat gundukan kecil di perutnya.
“Laila... Tolong... Herk!!”
Darah segar mengalir pelan di paha kurus Sri. Perempuan petite itu meronta lemah, meminta pertolonganku.
Sosok wanita di belakang Sri tersenyum seram kepadaku. Itu Mbak Marni! Sama seperti kami dia juga telanjang. Marni mencumbu putting Sri lalu mengulumnya seolah itu permen lolipop. Aku terpaku, wanita yang mengaku adik dari Bu Rasti ternyata memang salah satu dari mereka, orang-orang yang menjadi inang Gandamayit. Bisa kulihat dari beberapa belut yang menggelayut di antara kakinya. Dua sudah menancap pada alat vital Sri, sementara dua lainnya menggantung bebas, bergerak-gerak sambil terus meneteskan cairan coklat.
Salah satu belut melesat dan langsung melilit pergelangan kakiku. Menggoyahkan keseimbanganku sehingga terjungkal. Dia berusaha menarikku sambil seperti yang dilakukan Intan pada Jessie sambil terus menyodomi Sri yang lemas di pelukannya.
“Lepasin! Lepasin!!”
Jariku mencakar lantai, tentakel tebal mulai menjalar, membelit paha dan menjalar hingga perutku.
“Haahhhh!!”
Mulas dan mual rasanya, semakin kuat lilitannya, semakin besar pula stress yang diderita jeroanku.
“Bangsat!!”
Kribo merangsek maju, berusaha menyergap Mbak Marni, namun satu leher Gandamayit yang tersisa membantingnya ke samping. Aku dan Sri menjerit kesakitan, motion ekstrim yang dilakukan salah satu tentakel yang menggantung di dubur Mbak Marni juga menggerakan tentakel yang menyerang kami berdua secara instan dan cepat.
“Ahuuuhhh... Ahuuuhh... Apa... Maumu!!”
Dengan segenap tenaga Sri meremas Gandamayit licin yang membelit badannya. Bisa kulihat dibalik suaranya yang serak basah itu, dia sangat marah.
“Kami mau kalian turut serta ke ritual kami, memberi nutrisi dan menjadi ibu dari Anak Surga.
“Jangan bercanda, dasar sundal!!”
“Kribo, jangan!!”
Tapi peringatanku terlambat, setika tangannya hampir meraih Sri, memberi secercah harapan ada anak itu, tentakel satunya melesat dan membelit leher Kribo.
“Gaghhh!!”
“Walah... Walah... Gimana toh jagoannya malah kalah...”
Wanita itu berjalan ke arah Kribo, Sri yang terpasak di depannya kejang-kejang dengan panik, akupun tak kuasa melawan tarikan tentakel Gandamayit itu saat menyeretku.
“Kamu ini kok ya munafik banget... Lihat tuh kontolmu ngaceng ngeliatin cewek-cewek ini dientotin.”
Kaki Mbak Marni menginjak testis Kribo dengan pelan, gumpalan kulit itu menggeliat di sela jempol kaki Marni. Walau ekspresinya jauh dari keenakan, tapi tongkat milik lelaki keriting itu menunjukan hal yang berbeda.
“Bangsat!! Jauhi kontolku!!” geramnya.
“Kamu boleh bilang gitu, tapi tubuhmu gak akan bisa bohong,” goda Marni.
Dia mengocok penis Kribo dengan jari kakinya sambil terus menyodok vagina dan anus Sri yang mendesah kesetanan.
Keduanya mencapai klimaks berbarengan, air mani kribo menembak tinggi hingga mengenai tubuh Sri dan Marni di atasnya, sementara Sri mengejan untuk mengeluarkan hujan di area selangkangannya.
“Eeee... Cuma gitu aja?”
Mbak Marni terlihat kecewa, sepertinya Sri dan Kribo hanyalah mainan baginya. Aku berusaha tenang, mencari sesuatu yang bisa kuraih tanpa menarik perhatiannya. Kulihat ada pensil tergeletak di bawah kolong lemari. Dengan hati-hati kuulurkan tanganku untuk meraihnya.
“Huuugggh!!”
Belitan di perutku malah semakin kuat, sedikit gas dalam perutku keluar dengan paksa karena tekanan yang begitu besar.
“Duuh, yang di sini malah kentut! Kalian murid-muridnya Rasti memang nggak diajarin sopan santun ya? Memang Rasti cuma ngajar biologi aja ke kalian?”
Wanita sinting itu terus bicara sendiri, semua sumpah serapah kami diabaikan olehnya. Kami bertiga benar-benar tak dianggap sebagai manusia. Marni berjongkok, dielusnya batang kejantanan Kribo sampai kaku kembali lalu memandu tongkat berbulu itu ke liang senggamanya yang menggelambir dan kendur.
“Ahhhh, gimana rasanya itil mbak? Anget kan? Enak kan? Memeknya mbak ini udah dientotin sama semua orang di desa!”
Kribo hanya meronta-ronta, kakinya menendang-nendang ke lantai di belakang punggul Marni. Sementara pinggul wanita itu bergoyang pelan, menggiling penis Kribo dalam vaginanya. Lilitan Gandamayit di perutku semakin erat, Mbak Marni menarik tubuhku agar mencapai jangkauan tangannya. Dia melempar tubuh Sri yang sudah lemas bak boneka kosong.
Aku mengangkang di sampingnya, pantatku terangkat ditopang lututku dengan pusar mengarah ke langit-langit rumah.
“Mbak!! Kumohon, lepasin kami!”
“Haah? Kalian ini dapat kesempatan sekali seumur hidup buat ngerasain surga lho, kok malah mau pergi!”
Marni menepuk-nepuk kemaluanku yang tembem, menelusuk ke dalam dan mengobok-oboknya.
“Hahahaha, kelentitnya Dik Laila ini gede juga ya...” ujar Marni sambil mencubit klitorisku.
“Ahiiiiyyy!!!”
Aku menjerit kesakitan, kelentit adalah bagian paling sensitif di vagina, saat disentuh dan digosok pelan saja rasanya sudah geli, apalagi dijepit dengan dua jari seperti itu.
Mbak Marni tertawa seperti maniak sambil terus menggoyangkan pantatnya di atas tubuh Kribo, tangannya tak berhenti memblender liang peranakanku sampai benar-benar basah. Aku dan Kribo terengah, oksigen seperti ditarik keluar dari paru-paru kami.
Dia memijat kedua gundukan tembem berminyak di antara pahaku, jarinya menelusuri liang peranakanku, membukanya selebar yang ia mampu lalu menciuminya.
"Tempiknya Dik Laila... Baunya khas... Kaya tempiknya Rasti!" bisiknya menggoda.
Mbak Marni merapatkan tubuhku dengan Kribo, pemuda itu tampaknya sudah tenggelam dalam nikmatnya goyangan pantat Marni. Dia menatapku dan tiba-tiba berusaha melumat bibirku. Kribo benar-benar terbawa suasana dan kini ingin memperluas jangkauan persetubuhannya denganku!
Secara refleks kujauhkan wajahku, dia yg menyadarinya langsung mengerti posisinya, namun tak kuasa menolak surga dunia yang ditawarkan Marni.
Tangan Kribo kini telah bebas, bukannya digunakan untuk melarikan diri, si bodoh itu malah meremas payudara Marni dengan liar. Buah dada berukuran sedang itu pas digenggamannya, tertarik ke kiri dan kanan seiring gerakan liar Kribo.
Marni tersenyum, dia menggenjot pantatnya makin kuat sehingga Kribo mencapai klimaks dan kehabisan energi. Kocokan tangannya terhadap memekku juga makin cepat. Aku menahan semua cairan kewanitaan yang seharusnya sudah muncrat sedari tadi. Rasanya sangat menyiksa, aku sangat ingin melepaskan semua rangsangan seks yang terakumulasi dari pinggul ke bawah, tapi aku tak boleh kalah! aku tak boleh jatuh dalam permainannya seperti apa yang terjadi pada Kribo!
*****
Terakhir diubah: